Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MANDIRI

NAMA : SYAHID BIN MUZAAT

NIM : 41P122026

MATA KULIAH : STUDI NASKAH PAI DAN BAHASA ARAB

DOSEN PENGAMPU : DR. SURAHMAN AMIN Lc.MA

TANTANGAN, KENDALA DAN REALITA PENDIDIKAN ISLAM DI PAPUA BARAT


DAN PAPUA BARAT DAYA

Pembangunan pendidikan yang bermutu, adil dan merata adalah dambaan semua bangsa.
Selain sebagai ruh pembangunan, pendidikan juga menjadi garda terdepan dalam mewujudkan
peradaban sebuah bangsa yang bermoral dan bermartabat. Tapi acapkali pendidikan luput dari
perhatian. Termasuk daerah-daerah yang berada di daerah terdepan, tertinggal, terpelosok dan
terluar wilayah Indonesia (4T). Hal ini tentu ditengarai karena faktor geografis dan luas wilayah
yang dimiliki oleh negara kita. Hampir sebagian besar wilayah Indonesia yang terbentang dari
Sabang sampai Merauke berada pada daerah 4T. Itu sebabnya, pembangunan kerap kali belum
menyentuh sebagian besar daerah yang berada di pedalaman. Baik yang ada di Sumatera dan
Sulawesi, Kalimantan dan Papua, atau bahkan Indonesia Timur dan Indonesia Barat.
Pembangunan pendidikan Islam yang bermutu dan merata di seluruh wilayah Indonesia
merupakan cita-cita besar yang belum terwujud. Banyak hal yang menjadi kendala, terlebih
ketika ingin membangun pendidikan islam di daerah-daerah terpencil di wilayah Provinsi Papua
barat dan Papua Barat Daya.
Bahkan Menurut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua James Mondou mengakui,
sulitnya membangun pendidikan secara menyeluruh di wilayahnya. Menurutnya, pembangunan
pendidikan di Papua harus dilakukan secara kontekstual parsial. Kontekstual dalam arti
menyesuaikan dengan budaya sosial masyarakat Papua. Hal ini, kata dia, mengingat Papua yang
unik secara geografis juga termasuk daerah yang memiliki bermacam-macam kebudayaan. Ada
budaya masyarakat yang bermukim di daerah pesisir selatan, atau daerah rawa, yang memiliki
pola hidup serta mata pencahariaan yang sangat berbeda.
Menurut Prof. Dr. Victor Nikijuluw MSc mengemukakan, ketimpangan antara wilayah
Timur dan Barat terjadi di semua bidang. Bahkan seperti tak ada perubahan meski ada otonomi
daerah dan pemekaran wilayah. Dia mengatakan bahwa ketimpangan itu terjadi sebagai akibat
pembangunan dan kebijakan yang status quo. Hal itu ditandai dengan tidak adanya perubahan
struktur ekonomi dan tidak ada terobosan pembangunan oleh pemerintah. Menurutnya, jika
program dan langkah pemerintah berubah drastis dengan terobosan dan konsisten serta dukungan
infrastruktur yang jumlahnya lima kali lipat dari yang ada saat ini, maka dibutuhkan sekitar 36
tahun untuk mengatasi ketimpangan dan kesenjangan wilayah Timur dan Barat.
Papua Barat di antara salah satunya. Dari beberapa daerah yang tergolong 4T, dalam hal
pendidikan, Papua Barat seringkali menjadi sorotan publik atas “ketidak hadiran” negara dalam
menyediakan pendidikan bahkan Pendidikan Islam yang tidak merata, berkualitas dan
berkeadilan di daerah itu. Apalagi, menurut data yang tertera dalam Badan Pusat Statistika (BPS)
Papua, bahwa Papua menempati Indeks Pembangunan Manusia yang paling rendah di seluruh
Indonesia. Memang tidak bisa dimungkiri bahwa letak georafis dan medan Papua yang sangat
sulit menyebabkan pembangunan dan pertumbuhan pendidikan tidak bisa dilakukan secara
maksimal.
Kendala yang dihadapi sesungguhnya tidak seperti yang ada di Sumatera atau Jawa.
Kendati demikian, bukan berarti tidak mungkin. Yang penting, bagaimana menata sistem dengan
baik, bagaimana melibatkan setiap elemen untuk sama-sama turun tangan dan bersinergi dalam
memperbaiki pendidikan di tanah Cendrawasih itu.

Ketika kita melihat di daerah pedalaman masih ada Seagian Masyarakat “Mereka selalu
berpindah-pindah untuk mencari makan dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari makan di
daerah-daerah rawa,”daerah pegunungan
Pendekatan yang dilakukan untuk membangun pendidikan, tentunya akan berbeda
dengan wilayah lainnya. Masyarakat pegunungan yang sangat tekun dengan aktivitas pertanian
memiliki gizi yang terbilang rendah. Masyarakat pegunungan lebih banyak mengonsumsi
makanan yang mengandung karbohidrat dan sangat kurang mengasup makanan yang
mengandung protein. Belum lagi masyarakat di daerah pesisir pantai utara. Meski terbilang jauh
lebih maju jika dibandingkan dengan masyarakat pegunungan, tetap memerlukan pendekatan
yang berbeda.
Sehingga pendekatan yang kita lakukan adalah kontekstual parsial. Kita lakukan konteks
terhadap budaya sosial ekonomi dan parsial dalam arti jarak yang secara geografis kita lakukan
pemetaan wilayah,” papar James.Ia menjelaskan, pemetaan tersebut kemudian membagi
wilayah-wilayah di Papua dalam beberapa lingkaran. Lingkaran pertama, adalah kota. Kedua,
daerah pinggiran, lingkaran ketiga adalah daerah terpencil, dan lingkaran ke empat adalah
daerah-daerah terisolasi.
Untuk di kota dan sebagian daerah pinggiran di Papua, pendekatan dalam pembangunan
pendidikan difokuskan pada peningkatan mutu. Sedangkan untuk daerah lainnya lebih
menitikberatkan pada membuka dan meluaskan akses pendidikan.
Yang menjadi kendala dalam pembangunan pendidikan di Papua, Papua barat adalah luasnya
wilayah sehingga membuat jarak menjadi berjauhan, dan status gizi yang rendah. Selain itu,
peradaban masyarakat tradisional juga menyebabkan benturan lain karena sistem di sekolah
sangat dominan dengan sistem yang disiplin sehingga harus dilakukan berbagai penyesuaian
secara sosial dan budaya.
Tantangan Besar dari lingkungan
Pertama yaitu, daerah pendidikan di Papua barat sebagian besar berada pada garis terluar dan
terpelosok. Wajar kalau pendidikan islam disana lebih cenderung terintegrasi dengan
kebudayaan adat setempat. Untuk itu, motode pengajaran dalam pendidikan islam yang ada di
Papua barat dan Papua barat daya harus menitiberatkan pada konsep alam yang tersedia. Pendi-
dikan Islam harus diselenggarakan dan disesuaikan dengan kontekstual parsial yang ada disana.
Sebagai guru, tentu saja saya sangat mendukung setiap program dan kebijakan yang digulirkan
oleh pemerintah. Tapi, bijaksananya perlu kematangan konsep, sistem dan kesesuaian program
sebelum semuanya itu digulirkan secara nasional.
Kedua adalah mengacu pada persoalan guru (tenaga pendidik) yang tidak merata di seluruh
wilayah Papua Barat. dan Papua barat daya Fakta menunjukkan bahwa 66 persen sekolah di
daerah terpencil kekurangan guru. Sedangkan secara nasional, 34 persen sekolah Indonesia
masih kekurangan guru (Munif Chatib, dalam bukunya Gurunya Manusia, Hal XIV). Ini secara
langsung menunjukkan bahwa ketersediaan guru-guru di daerah pedalaman sangatlah mepri-
hatinkan. Padahal, ujung tombak pendidikan dan Pendidikan Islam seharusnya berada di pundak
para guru. Pertanyaan yang muncul lantas apa yang akan kita harapkan dalam pendidikan di
daerah terpencil seperti Papua Barat Kab Teluk Bintuni bila guru-gurunya saja tidak tersedia?
Simpulnya, mungkinkah kita meraih pendidikan yang bermutu dan merata bila tenaga pendidik
tidak terdistribusi dengan baik?
Majunya pendidikan kita, dilihat dari kehadiran guru-guru serta kualitasnya dalam
melakukan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Kualitas pendidikan tidak lagi terpatok
pada hebatnya sebuah kurikulum, tetapi bagaimana melahirkan guru-guru yang cakap, kreatif
dan unggul. Logikanya, tidaklah mungkin seorang guru yang kurang kompeten mampu menerap-
kan kurikulum yang bagus. Tetapi sebaliknya, sesulit apapun kurikulumnya, kalau guru-guru kita
sudah cakap dan kompeten maka penerapannya bisa terealisasi dengan baik. Intinya, guru yang
mesti dibekali terlebih dahulu.
Peran menyalurkan pendidikan bukan hanya seorang pendidik akan tetapi lingkungan
juga memiliki peran besar dalam menyalurkan pendidikan. Kurangnya perhatian dilingkungan
terhadap pendidikan akan membuat hancur sistem pendidikan itu. Tantangan pendidikan islam di
masih banyak salah satunya lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, Masyarakat maupun
lingkungan masyarakat.

Anak yang kurang bimbingan dan perhatian dari keluarga akan mencari bimbingan dari
luar, akan tetapi seorang anak tidak tahu apakah yang didapati benar atau tidak. Alhasil banyak
dari anak tersesat karena salah mendapati pembimbing. Alih-alih mendatangi guru atau ustadz
terkadang pembimbing mereka masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
Tantangan seorang Pendidik yang sering terjadi :

1. Peserta didik belum bisa mengaji


Setiap tahun pendidik khususnya di sekolah agama seperti MI, MTs, MA, maupun di
sekolah Umum bahkan perguruan tinggi masih mendapati peserta didik yang belum
bisa mengaji. Padahal sudah banyak ustadz/ustadzah di mesjid maupun mushola yang
mengajar mengaji.Dan apabila mendapati siswa yang belum tahu mengaji pastinya
pendidik mengajari menggunakan Iqro, memberi motivasi serta menyuruh keTPQ
terdekat. Akan tetapi kurangnya dorongan keluarga dirumah mengakibatkan Peserta
didik malas pergi belajar mengaji.
2. Peserta didik Sering berkata kotor
Begitu besarnya pengaruh lingkungan Peserta didik sehingga Sering kali guru
disekolah mendapati siswa/I yang berkata kotor seperti menyebutkan nama-nama
hewan, berkata kasar atau semacamnya padahal tentu disekolah pendidik tidak pernah
mengajari demikian dan bahkan mengajarkan akhlak-akhlak baik. Sudah barang tentu
mereka mendapati itu dari lingkungan keluarga maupun masyarakat yang menjadi
tempat pergaulan peserta didik dalam keseharian
3. Penggunaan Tekhnologi yang kurang pengawasan dari orang tua
Dengan perkemangan Tekhnologi yang semakin canggih sedikit banyaknya membawa
pengaruh yang sangat besar terhadap perkebangan peserta didik ,apalagi ketika
pengawasan orang tua yang kurang terhadap anaknya,pengaruh bisa kepada pergaulan
bebas, perkataan yang kotor ataupun hal-hal lainnya

Banyaknya kasus seperti ini membuat pendidikan di Papua khususnya di Kab Teluk
Bintuni kurang berkembang. Belum lagi lingkungan masyarakat yang cukup kental dengan
tradisi dan adat yang jauh dari kata pendidikan agama Islam. Pendidik selalu memberikan arahan
dan ilmu disekolah tentang akhlak yang baik, larangan-larangan dalam Islam, serta pentingnya
belajar agama Islam. akan tetapi hal itu kuat jika mendapat dukungan dari lingkungan keluarga
maupun masyarakat begitupun sebaliknya. Bagi menghadapi tantangan ini, maka tidak ada
pilihan bagi lembaga pendidikan kecuali adanya kerja sama antara lingkungan keluarga,
masyarakat dan sekolah.

Lingkungan adalah salah satu faktor yang paling besar pengaruhnya bagi pendidikan.
Lingkungan mempengaruhi perkembangan karakter anak. Bila anak tumbuh dan berkembang di
lingkungan yang baik, santun, dan taat beragama maka anak pun akan tercetak menjadi pribadi
yang baik. Tetapi sebaliknya, pengaruh buruk dari lingkungan juga merupakan kebiasaan yang
mudah menular, oleh karena itu orang tua harus benar-benar memperhatikan pengaruh
lingkungan terhadap pendidikan anak.

Keluarga lingkungan awal dan terdekat anak pada masa tumbuh kembangnya, sementara
orang tua menjadi teladan pertamanya. Untuk itu, orang tua harus menjaga sikap karena itu yang
akan ditiru oleh anak. SIkap yang baik dari orang tua akan turut serta menanamkan kebiasaan
baik di rumah, misalnya taat beribadah, berkata sopan, menjaga kebersihan, dan lain sebagainya.
Kebiasaan-kebiasaan baik yang telah ditanamkan semenjak dini akan terpatri dalam dirinya
sehingga tidak akan hilang walaupun si Anak sudah tumbuh dewasa.
“Kita minta dukungan dan Perannya dari pemerintah Daerah dan Pemerintah pusat baik secara
materi maupun moril untuk memperhatikan tentang perkembangan Pendidikan Islam di Papua
Barat Khususnya Kab Teluk Bintuni. Agar Tantangan, Kendala dan Realita yang terjadi dapat
teratasi dan segala masalah yang terjadi dapat di selesaikan.

Anda mungkin juga menyukai