Anda di halaman 1dari 20

TUGAS AKHIR PRIBADI

STUDI NASKAH PAI DAN BAHASA ARAB

Tinjuan Umum Tentang Realita Pendidikan Islam di Papua Barat


(Antara Tantangan, Hambatan & Peluang)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Studi Naskah PAI Dan Bahasa Arab
Dosen pengampu : Dr. H. Surahman Amin, Lc., M.A

Disusun Oleh :

Muhammad Salman : NIM 41P122014

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SORONG
2023

1
A. PENDAHULUAN
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan
tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia.
Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar. Salah satunya adalah
memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun
teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia
tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia
terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah
kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi
penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan
bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia
Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang
pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang
menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya
menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan
bangsa di berbagai bidang.1
Pada era abad ke-21 ini, pendekatan pendidikan Islam berlangsung melalui
proses operasional menuju pada tujuan yang diinginkan, memerlukan model yang
konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spritual dan intelektual yang
melandasinya. Sebagaimana yang pertama kali dibangun Nabi Muhammad SAW nilai-
nilai tersebut dapat diaktualisasikan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan manusia
yang dipadukan dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Sehingga dapat
mencapai cita-cita dan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia di segala
aspek kehidupannya. Tetapi apa yang terjadi, kondisi pendidikan Islam pada era abad
ke-21, mendapat sorotan yang sangat tajam dan kurang menggembirakan dan dinilai

1
Fauzan Ramadhan, “Analisis Keterbelakangan Pendidikan di Papua Barat" kompasiana.com .
https://www.kompasiana.com/fauzangaskarth/551119b3a333111c42ba7e1f/analisis-keterbelakangan-
pendidikan-di-papua-barat , diakses pada tanggal 20/07/2023

2
menyandang keterbelakangan. Itu semua bermuara pada kelemahan yang dialaminya.
Kelemahan pendidikan Islam justru pada sektor utama, yaitu pada konsep, sistem, dan
kurikulum3. Dianggap mulai kurang relevan dengan kemajuan peradaban umat manusia
dewasa ini atau tidak mampu menyertakan disiplin-disiplin ilmu lain yang relevan
dengan kebutuhan masyarakat.
Kenyataan yang ada saat ini, memasukkan pendidikan Islam dalam klasifikasi
yang belum dapat dikatakan telah berjalan dan memberikan hasil secara memuaskan.
Hal ini mempunyai pengertian belum mampu menjawab arus perkembangan zaman
yang sangat deras, seperti timbulnya aspirasi dan idealitas yang serba multi interes dan
berdemensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang amat beragam, serta perkembangan
teknologi yang amat pesat. Dengan demikian, pendidikan dipandang tidak mampu
merespon perkembangan dan kebutuhan yang ada. Sehingga selalu berada di garis
belakang dibandingkan dengan tuntutan Kurikulum bergonta ganti dari tahun ke tahun,
sehingga tenaga pendidik hanya dibingunkan dengan perubahan tersebut.
Kebutuhan dan perkembangan lingkungan. Kemudian pilihan untuk berada di
lembaga pendidikan formal kadang digugat. Bahkan fenomena lembaga bimbingan
belajar semakin berkembang seiring keinginan untuk mendapatkan hasil belajar yang
instan. Tidak sebatas itu saja, gugatan berkembang dengan semakin banyaknya tempat
pelatihan. Dimana seolah-olah lembaga pendidikan tidak mampu lagi mengelola
pendidikan itu sendiri. Melihat kenyataan ini, maka pendidikan Islam perlu mendapat
perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan yang harus disumbangkan, dengan
usaha menata kembali keadaannya, terutama di Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan
melihat keterkaitan dan peranannya di dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia yang
mayoritas Muslim, sehingga perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi
pelaksanaannya dalam menghadapi perubahan zaman. Tetapi dalam beberapa daerah
seperti Papua dan Papua Barat, justru umat Islam berada dalam posisi minoritas.
Dengan demikian, kita tidak bisa melakukan justifikasi secara general, sebab
perkembangan pendidikan Islam juga berlangsung di daerah-daerah minoritas.
Selama ini tinjauan pendidikan lebih banyak berada di tempat Islam sebagai
mayoritas. Usaha penataan kembali akan memperoleh keuntungan majemuk, pertama,
pendidikan Islam subsistem pendidikan nasional di Indonesia, akan dapat memperoleh
dukungan dan pengalaman positif. Kedua, pendidikan Islam dapat memberikan
sumbangan dan alternatif bagi pembenahan sistem pendidikan di Indonesia dengan

3
kekurangan, masalah, dan kelemahannya. Ketiga, sistem pendidikan Islam yang dapat
dirumuskan akan memiliki akar yang lebih kokoh dalam realitas kehidupan masyarakat.
Dengan penataan ini, maka pesantren dalam bentuk madrasah akan lebih
memberikan daya dukung bagi pengembangan sumber daya manusia. Secara umum
permasalahan pendidikan tersebut mungkin saja terjadi dimana-mana. Dalam skala
wilayah Papua Barat, dimana muslim menjadi minoritas dan pesantren mengambil
perannya untuk memberdayakan masyarakat.
Pendidikan Islam bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam
kepada generasi mudanya, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem
pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkungkung dalam
kemunduran, kekalahan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan
kemiskinan. Sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat
Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila
diberi embel-embel Islam juga dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan,
meskipun sekarang secara berangsur angsur banyak di antara lembaga pendidikan Islam
yang telah menunjukkan kemajuan. Pandangan ini sangat berpengaruh terhadap sistem
pendidikan Islam, yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua
dalam konstelasi sistem pendidikan di Indonesia, walaupun dalam undang-undang
sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-sistem
pendidikan nasional. Tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat
padanya, bahkan pendidikan Islam sering dinobat hanya untuk kepentingan orang-orang
yang tidak mampu atau miskin. Pendidikan Islam lebih banyak diakses kalangan
pedesaan dan kaum tidak berada. Dengan biaya yang tidak membebani peserta didik.
Dengan pandangan tersebut, maka pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini
memberi kesan yang tidak mengembirakan. Sebab masih banyak factor lain yang justru
sebaliknya sebagai tanda bahwa geliat dan dinamika pendidikan Islam justru mengalami
kemajuan. Dalam konfigurasi sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam di
Indonesia merupakan salah satu variasi dari konfigurasi sistem pendidikan nasional,
tetapi kenyataannya pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang luas untuk
bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apabila dirasakan, memang terasa
janggal bahwa dalam komunitas masyarakat Muslim, pendidikan Islam tidak mendapat
kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apalagi
perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya,

4
padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran
masyarakat yang sosialistis religius. Tetapi justru pendidikan Islam lebih banyak
menunjukkan pola swadaya. Sehingga walaupun tanpa perhatian dari stakeholder,
pendidikan Islam tetap dapat berkembang dengan baik. Bahkan sama sekali bukan
menjadi beban, tetapi sebaliknya menjadi kebanggaan bangsa di tengah minimnya
perhatian pengambil kebijakan pendidikan.
Realitas pendidikan Islam pada umumnya memang diakui mengalami
kemunduran dan keterbelakangan, walaupun akhir-kahir ini secara berangsur-angsur
mulai terasa kemajuannya. Ini terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan
Islam dan beberapa model pendidikan yang diterapkan. Tetapi tantangan yang dihadapi
tetap sangat kompleks, sehingga menuntut inovasi pendidikan Islam itu sendiri dan ini
tentu merupakan pekerjaan yang besar dan sulit. Sebagaimana A. Mukti Ali,
membeberkan tentang kelemahan kelemahan pendidikan Islam dewasa ini disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu kelemahan dalam penguasaan sistem dan metode, bahasa
sebagai alat untuk memperkaya persepsi, ketajaman interpretasi, kelemahan dalam
kelembagaan, ilmu, dan teknologi. Maka dari itu, pendidikan Islam didesak untuk
melakukan inovasi tidak hanya yang bersangkutan dengan kurikulum dan perangkat
manajemen, tetapi juga strategi dan taktik operasionalnya. Strategi taktik itu, bahkan
sampai menuntut perombakan model-model sampai institusi-institusinya sehingga lebih
efektif, dan efisien, dalam arti pedegogis, sosiologis, dan kultural dalam menunjukkan
perannya.2
B. PEMBAHASAN
1. Tinjuan Umum Tentang Realita Pendidikan Islam di Papua Barat (Antara
tantangan, Hambatan & Peluang )
Pendidikan di wilayah Provinsi Papua Barat masih menjadi perhatian serius
pemerintah daerah, terutama terkait banyaknya anak usia sekolah namun tidak
bersekolah dan juga tenaga guru. Masalah pendidikan di Provinsi Papua Barat bukan
soal infrastruktur bangunan sekolah tetapi hak konstitusi anak mendapatkan pendidikan
yang sempurna sebagaimana ketentuan Undang Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

2
Wekke, Ismail Suardi, and Cholichul Hadi. "Pendidikan Agama Dan Kewirausahaan Santri:
Kajian Pesantren Rodhotul Khuffadz Sorong Papua Barat." (2012): 20-21.

5
Akademisi Universitas Papua Agus Sumule pada rapat pokok kebijakan rencana
induk pembangunan otonomi khusus bidang pendidikan dan kesehatan bagi orang asli
Papua memaparkan bahwa ada 68.988 anak usia sekolah di provinsi Papua Barat yang
tidak bersekolah. Dari jumlah itu, anak usia tingkat sekolah dasar atau SD yang tidak
sekolah sebanyak 24.725 orang, tingkat sekolah menengah pertama atau SMP yang
tidak bersekolah sebanyak 25.326 orang. Selanjutnya anak usia sekolah yang
seharusnya saat ini menempuh pendidikan di tingkat SMA dan SMK namun tidak
bersekolah sebanyak 18.938 orang. Mereka tersebar pada 13 kabupaten dan kota di
wilayah Provinsi Papua Barat.
Hal ini tentunya menjadi perhatian serius pemerintah di wilayah Provinsi Papua
Barat dengan berbagai skema pembangunan sektor pendidikan agar hak anak untuk
bersekolah terpenuhi. Sebab keberhasilan pembangunan suatu daerah ditentukan oleh
kualitas sumber daya manusia. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, semakin
tinggi pula kualitas sumber daya manusia di daerah itu. Sebaliknya ketika banyak anak
yang tidak bersekolah, guru yang bermutu terbatas jumlahnya, serta banyak penduduk
dewasa yang rendah pendidikannya, maka sangat sulit bagi suatu daerah untuk
mencapai kesejahteraan yang diharapkan.
Di sini lain Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap
warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Khusus di Papua, Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Otonomi Khusus mengamanatkan
setiap penduduk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berhak memperoleh
pendidikan yang bermutu sampai dengan tingkat sekolah menengah, dengan beban
masyarakat yang serendah-rendahnya.3
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pendidikan di Papua atau Papua Barat
tidak bisa terlepas dengan pendidikan Islam yang merupakan bagian dari pendidikan itu
sendiri. Keadaan pendidikan Islam sebelum integrasi Papua ke NKRI tidak begitu
berkembang dan banyak mendapat kekangan dari pemerintah Belanda, untuk
pendidikan Islam secara formal belum ada yang ada hanya pendidikan Islam secara
tradisional yaitu dengan belajar mengaji di masjid atau surau. Masjid yang pertama

3
Ernes Broning Kakisina, “Mencari jalan keluar masalah pendidikan di Provinsi Papua Barat”
antaranews.com, https://www.antaranews.com/berita/3179529/mencari-jalan-keluar-masalah-
pendidikan-di-provinsi-papua-barat, diakses pada tanggal 20/07/2023

6
berdiri di Papua khususnya di Kota Sorong yaitu masjid Al-Falah di Kampung Baru dan
masjid Baiturrahim di Doom.
Pengaruh Islam terhadap penduduk Papua dalam hal kehidupan sosial budaya
memperoleh warna baru, Islam mengisi suatu aspek cultural mereka, karena sasaran
pertama Islam hanya tertuju kepada soal keimanan dan kebenaran tauhid saja, oleh
karena itu pada masa dahulu perkembangan Islam sangatlah lamban selain dikarnakan
pada saat itu tidak generasi penerus untuk terus mengeksiskan Islam di pulau Papua,
dan merekapun tiadak memiliki wadah yang bias menampungnya.
Namun perkembangan Islam di Papua mulai berjalan marak dan dinamis sejak
irian jaya berintegrasi ke Indonesia, pada saat ini mulai muncul pergerakan dakwah
Islam, berbagai institusi atau individu-individu penduduk Papua sendiri atau yang
berasal dari luar Papua yang telah mendorong proses penyebArab Islam yang cepat di
seluruh kota-kota di Papua. Hadir pula organisasi keagamaan Islam di Papua, seperti
muhammadiyah, nahdhalatu ulama, LDII, dan pesantren-pesantren dengan tradisi ahli
sunnah wal jamaah.
Satu hal yang menggembirakan, dan harusnya menjadi panutan seluruh muslim
di Indonesia yakni di sini ada pemandangan menyejukkan dengan "bersatunya" dua
ormasterbesar, NU dan Muhammadiyah di dalam sebuah institusi pendidikan.
Keduaormas yang di luar tempat ini (Papua) kerap ribut, di sini mereka membentuk
yayasan gabungan bernama Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) pada 15 Desember 1968.
Keberadaan Yapis ini bukan saja mendapat respon positif dari kalangan Muslim,
tapi juga orang tua non-Muslim. Banyak dari mereka yang menyekolahkan anak-
anaknya ke sekolah ini dengan alasan bervariasi antara lain: disiplin yang tinggi dan
melarang murid untuk mabuk-mabukkan, sementara mabuk merupakan budaya
sebagian masyarakat yang masih terasa sulit dihilangkan. Saat ini kedudukanYapis di
mata masyarakat Papua hampir sama sejajar dengan Lembaga Pendidikan Kristen
Kristus Raja. Ada ratusan sekolah di bawah naungan Yapis dan dua Perguruan Tinggi
(STIE dan STAIS) yang bernaung di bawah bendera Yapis. Selain NU dan
Muhammadiyah sejumlah institusi dakwah dapat disebutkan di sini seperti Dewan
Dakwah Islamiyah, Hidayatullah, Persatuan Umum Islam, LDII, Pondok Pesantren
Karya Pembangunan dll.
Adapun keadaan atau perkembangan pendidikan Islam setelah Integrasi Papua
ke NKRI, berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama di Papua khususnya di

7
Sorong yaitu Drs. KH. Uso bahwa pendidikan Islam setelahnya Integrasi Papua ke
NKRI tidak banyak hambatan dalam perkembangan, karena sudah banyaknya para
pegawai-pegawai yang ditugaskan oleh pemerintah khususnya oleh Departemen Agama
Islam, bahkan setelahnya integrasi Papua ke NKRI sudah mulai bermunculan lembaga-
lembaga pendidikan yang didirikan oleh berbagai ormas Islam.4
2. Telaah Tentang Realita Pendidikan Islam dan Kearifan Lokal di Fakfak Papua
Barat
a. Tinjuan Umum Tentang Kearifan Lokal di Fakfak Papua Barat
Dalam perjalanannya, penyebaran Islam di tanah Papua dalam berbagai penelitian
ilmiah telah menunjukan, bahwa wilayah Semenanjung Onin (Fakfak) di tanah Papua
merupakan salah satu wilayah sentuhan batas akhir dari proses penyebaran Islam di
dunia. Sebab penyiaran Islam tidak berhenti di Philipina dan atau Maluku seperti yang
diduga selama ini, akan tetapi di Semenanjung Onin kabupaten Fakfak.
Dalam buku Sejarah Masuknya Islam di Fakfak yang disusun oleh Tim Ahli dari
Pemerintah Daerah Fakfak tahun 2006, menyimpulkan bahwa Islam masuk di Fakfak
pada tanggal 8 Agustus 1360 M dengan kehadiran mubaligh Abdul Ghaffar asal Aceh di
Fatagar Lama, Kampung Rumbati2 Fakfak. Penetapan tanggal awal masuknya Islam
tersebut berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan oleh Putra Bungsu Raja Rumbati
XVI (Muhammad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali Bauw).
Mubaligh Abdul Ghaffar berdakwah selama 14 tahun (1360 -- 1374 M) di Rumbati dan
sekitarnya, kemudian ia wafat dan dimakamkan dibelakang Masjid Kampung Rumbati
pada tahun 1374 M.
Informasi lain tentang Abdul Gafur mubaligh asal Aceh, yang disampaikan
Ibrahim Bauw (Raja Rumbati), bahwa Adul Gafur dan teman-temannya mendarat di
Fatagar Lama, yang sebelumnya mencari rempah-rempah di Ternate, Bacan (Maluku
Utara), dan pulau Misool. Menurutnya peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1502 M, yakni
pada masa berkuasanya Raja Rumbati Mansmamor (Manimbo). Hingga saat ini makam
Gafur masih terdapat di samping masjid kampung Rumbati, Teluk Patipi Fakfak, seperti
yang dikutip Ismael Bauw dalam tulisannya.

4
Asep Abdul Muhidin, "Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Papua" Kompasiana.com,
https://www.kompasiana.com/aamuhyiddin/552bdb6c6ea83438428b4571/sejarah-perkembangan-
pendidikan-islam-di-papua, diakses pada tanggal 20/07/2023

8
Dari catatan sejarah, kedatangan agama Islam dan penyebarannya di Tanah Papua
dilakukan secara damai, oleh musafir dan pedagang dengan memperkenalkan ajaran
Islam kepada penduduk setempat. Bahkan ada yang menetap diberbagai pemukiman
penduduk dan menempuh cara perkawinan dengan gadis-gadis setempat. Maka dengan
berbuat demikian, ada yang dijadikan imam dan diangkat sebagai pemimpin agama
Islam. Wilayah-wilayah sentuhan syiar Islam pada waktu itu, adalah Jazirah Onin
(Fakfak dan Kaimana). Kepulauan Raja Ampat dan babo (Teluk Bintuni), Geser/Seram
bagian timur dan Banda (Maluku tengah) merupakan basis penyebaran agama Islam,
karena dari sini pertama kalinya memperkenalkan agama Islam di Jazirah Onin (fakfak
dan Kaimana), serta kepulauan Raja Ampat di Jazirah Onin (Fakfak dan kaimana) serta
kepulapuan Raja Ampat (Salawati dan Misol)5
Fakfak merupakan salah satu kabupaten tertua di Papua bersama delapan
kabupaten lainnya yang pertama kali dibentuk pemerintah Indonesia dan terletak di
bagian leher dari “kepala burung” Pulau Papua yang saat ini menjadi bagian dari
Propinsi Papua Barat. Di era kolonialisme Belanda, Fakfak bersama Manokwari dikenal
sebagai dua pusat pemerintahan yang disebut Afdelling. Bahkan bila ditarik jauh ke
belakang, pada masa kerajaan Majapahit, khususnya masa pemerintahan Hayam Wuruk,
Papua telah dianggap sebagai bagian dari wilayah negara nusa Majapahit. Hal ini
tercatat dalam Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga Prapanca tahun 1365,
dalam Kidung 13, 14, dan 15 secara khusus memuat nama-nama daerah yang berada di
bawah kedaulatan Majapahit dan salah satu daerah di antaranya adalah Wwanin atau
Fakfak saat ini (Onim, 2007).
Kehadiran agama Islam sejak abad ke-16 dan Kristen serta Katolik pada abad
ke-19 (Onim, 2007) dan perjumpaannya dengan tradisi dan budaya Fakfak justru
melahirkan sejumlah nilai dan norma sosial yang mengikat masyarakat Fakfak dalam
keseimbangan. Masyarakat tidak ingin penetrasi agama memecah belah hubungan
kekerabatan dan persaudaraan yang telah terbentuk di antara mereka sejak lama. Maka
terbentuklah tradisi agama keluarga, yang meyakini bahwa meskipun dalam satu
keluarga ada perbedaan agama, tetapi mereka merasa harus tetap menjadi keluarga yang
utuh sehingga perbedaan agama tidak menjadi soal bagi masyarakat di Fakfak.

5
Salwa Nisrina, "Sejarah Pendidikan Islam di Tanah Papua", kompasiana.com,
https://www.kompasiana.com/salwanisrina1018/63c0af1ba4d94b4169254ff2/sejarah-
pendidikan-islam-di-tanah-papua, diakses pada tanggal 21/072023
9
Dari pemahaman ini muncul filosofi dan kearifan lokal yang disebut Satu
Tungku Tiga Batu, sebagai lambang harmoni sosial di antara masyarakat. Secara
sederhana filosofi Satu Tungku Tiga Batu merupakan gambaran kultural tentang
persaudaraan masyarakat Fakfak. Dalam konstruksi tradisional masyarakat Fakfak, Satu
Tungku Tiga Batu menggambarkan keseimbangan, ibarat satu tungku yang ditopang
oleh tiga batu saat memasak makanan oleh orangorang di zaman dahulu. Tanpa tiga
kaki dari batu, tungku tersebut tidak akan stabil dan mengakibatkan masakan akan
mudah tumpah. Tiga batu ini diibaratkan sebagai tiga agama besar yang berada di
Fakfak yaitu agama Islam, Katolik dan Protestan (Iribaram, 2011).
D a l a m pemikiran masyarakat adat Fakfak, kalau tiga kaki dari batu itu stabil
maka semua persoalan dapat diatasi dengan baik, sehingga implementasi dari filosofi
Satu Tungku Tiga Batu dimaknai bukan saja dalam kehidupan beragama tetapi
menjangkau semua aspek kehidupan dalam masyarakat. Nilai-nilai dasar dari Satu
Tungku Tiga Batu sebagaimana tertuang dalam bahasa Baham-Iha adalah tentang cinta
kasih (idu-idu), perdamaian (mani nina) dan kerukunan (yoyo). Idu-idu adalah
pandangan bahwa semua orang Fakfak harus membangun cinta kasih di antara mereka.
Semua masalah harus diselesaikan dengan menanggalkan emosi dan menumbuhkan
semangat cinta kasih yang menjadi dasar persaudaraan sejati. Sedangkan Mani Nina
adalah pandangan bahwa tujuan hidup seseorang di dunia ini adalah untuk menciptakan
perdamaian. Sehingga bagi masyarakat Fakfak, hanya orang-orang yang bisa menjaga
perdamaian di dunia ini yang bisa memperoleh kedamaian di alam sesudah mati
(akhirat). Adapun Yoyo adalah pandangan tentang kerukunan yang menjadi tanggung
jawab semua orang Fakfak (Wawancara dengan Jubair Hubrow, 6 November 2013).6
Beberapa aspek kehidupan yang diwujudkan oleh masyarakat Fakfak dan
seringkali dipraktekkan/dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai implementasi
dari filosofi satu tungku tiga batu antara lain :
1). Perayaan Hari Besar Keagamaan
Suasana perayaan hari besar keagamaan seperti hari besar Islam maupun Kristen
di beberapa perkampungan di Kabupaten Fakfak diwarnai dengan pemandangan
yang unik. Bilamana perayaan Natal, maka sanak saudara dan keluarga di
perkampungan yang mayoritas Islam sering diundang untuk menghadiri perayaan

6
Ernas, Saidin, Heru Nugoro, and Zuly Qodir. "Agama dan Budaya dalam Integrasi Sosial
(Belajar dari Masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat)." Harmoni 13.1 (2014): 22-35.

10
Natal dan berkunjung ke saudara/keluarganya yang beragama Kristen sembari
memberi ucapan selamat merayakan Natal. Begitu pula sebaliknya, bila hari raya idil
fitri/idil adha maka saudara/keluarga yang beragama Kristen berkunjung duluan ke
rumah untuk memberi ucapan. Selain itu dibeberapa perkampungan yang mayoritas
muslim, selama bulan Ramadhan sampai dengan shalat iid, yang menjaga masjid
sejak sholat taraweh sampai dengan sholat id adalah warga yang bergama kristen.
Sebaliknya ketika Misa pada perayaan Natal, yang menjaga gereja adalah warga
beragama Islam. Praktek seperti ini hampir setiap tahun diikuti dengan himbauan
resmi dari pemerintah Daerah dan kepolisian serta tokoh agama kaitannya dengan
pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, keamanan dan ketertiban selama
perayaan hari-hari besar keagamaan bahkan secara khusus bila perayaan Natal maka
diikuti dengan himbauan untuk menjaga keamanan selama perayaan Natal tersebut.
2). Saling Menghormati Praktek saling menghormati
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Fakfak sebagaimana yang ditunjukkan
oleh warga yang berada di perkampungan Kristen yang sangat menghormati
saudaranya yang beragama Islam. Hal ini terlihat ketika kunjungan keluarga muslim
ke rumah keluarga Kristen dalam pelayanannya disediakan wadah yang khusus untuk
menyuguhkan makanan dan minuman. Pengetahuan tentang makanan yang tidak
diperbolehkan Islam dan dalam Islam telah diketahui sehingga mereka menyimpan
wadah yang pernah digunakan mengolah makanan yang diharamkan dan
menggunakan wadah baru.
3). Kebersamaan dalam Event Kegiatan Berskala lokal dan Regional
Seringkali kegiatan berskala lokal dan regional yang dilaksanakan di Kabupaten
FakFak dan melibatkan seluruh komponen masyarakat Fakfak dimeriahkan dengan
menampilkan berbagai seni dan tarian yang diwakili oleh dan mencerminkan budaya
golongan agama tertentu. Misalnya kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ)
tingkat Provinsi diisi juga dengan tari-tarian perwakilan dari keluarga Kristen,
kemudian kegiatan PESPARAWI maka masyarakat muslim juga nengambil bagian
dengan mengisi tari-tarian bernuansa Islam, serta peringatan hari jadi kota FakFak
maka diisi dengan tari-tarian bernuansa Kristen dan Islam secara kolaborasi. d.
Kerjasama Membangun tempat Ibadah Kerja sama antar umat beragama juga terlihat
ketika pembangunan rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya dilakukan secara
bergotong-royong yang dilandasi nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang

11
dijunjung tinggi. Sesungguhnya kehidupan harmonis timbul atas dasar kesadaran
bersama dan rasa saling menghormati karena masyarakat Fakfak sudah berada dalam
kehidupan kekeluargaan yang berbeda-beda keyakinan dan terpelihara sejak dahulu
kala. Masyarakat memiliki satu cerita/ mitologi yang menggambarkan pertalian
darah yang saling terkait antara orang yang ada di daerah atau perkampungan Kristen
dengan perkampungan Islam. Wujud lainnya dalam kerjasama ini adalah partisipasi
sebagai panitia pembangunan tempat ibadah, jika pembangunan masjid maka yang
menjadi panitia adalah keluarga dan atau saudara yang beragama kristen
(katolik/Protestan), sebaliknya yang dibangun itu adalah gereja maka yang menjadi
panita adalah keluarga dan atau saudara yang beragama Islam.
Perwujudan filosofi masyarakat Fakfak ini disebabkan karena lahirnya suatu
filosofi sesungguhnya sebagai motivasi dan pedoman dalam memberikan panduan
bagi masyarakatnya sehingga prakteknya dalam kehidupan masyarakat khususnya di
Fakfak tidak dapat dielakkan. Hal ini antara lain dapat dilihat dimana dalam satu
keluarga terdapat tiga agama yang dianut oleh anggota keluarga tersebut yang bersal
dari beberapa marga besar misalnya marga Rohrohmana, Kabes, Iba, Tanggahma,
Wagap, Hindom, Patiran, Heremba, Hegemur, Tuturop, Tigtigweria, Fuad,
Kutanggas, Tanggareri dan lain-lain. Mereka sekeluarga, yaitu adik, kakak, dan
ponakan, yang membedakan mereka adalah agama. Kondisi seperti ini sangat
mempengaruhi Islam dan kehidupan keluarga mereka, dan sudah menjadi sesuatu
yang biasa bahwa di dalam satu marga ada tiga agama dan tidak ada pertentangan
dalam satu marga. Meskipun agama berbeda, tetapi tetap satu keluarga. Kekerabatan
yang kental dan saling menjaga. Mereka menganggap agama yang mereka anut
bukanlah alasan untuk memisahkan ikatan kekeluargaan dan persaudaran di antara
mereka. Maka dengan mudah kita dapat menemukan sebuah keluarga yang terdiri
dari tiga agama; Islam, Kristen dan Katolik.7
b. Relevansi Pendidikan Islam dan Kearifan Lokal di Fakfak Papua Barat
Berdasarkan apa yang diungkapkan penulis di atas, berdasarkan realita yang ada
bahwa kearifan lokal melalui filosofi satu tungku tiga batu tentu memiliki dampak
dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat di Fakfak Papua Barat termasuk dalam
dunia pendidikan.

7
Husen, Mohamadon D. "Islam dan Filosofi Masyarakat Fakfak." Wahana Islamika: Jurnal
Studi Keislaman 4.1 (2018): 37-41.

12
Setelah mencermati bagaimana praktek dan tata cara kehidupan masyarakat
Fakfak berlandaskan filosofi “satu tungku tiga batu” sebagaimana diatas, begitu pula
sebaliknya bagaimana konsep Islam yang rahmatan lil alamiin maupun transformasi
Islam di Fakfak, dapatlah dipahami bahwa dengan konsep rahmatan lil alamiin
tersebut salah satu aspek yang mendasarinya adalah ajaran Islam bersifat universal
yang tentunya ada prinsip (fleksibilitas) dalam pengertian bahwa ajaran Islam dapat
berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis situasi kemasyarakatan. Karena watak
ajaran Islam yang demikian itu , maka Islam tidak secara serentak menggantikan
seluruh tatanan nilai yang telah berkembang (baku) di dalam kehidupan masyarakat
Indonesia sebelum datangnya Islam. Olehnya itu dapat dipahami bahwa seiring
dengan masuknya Islam di Fakfak tidak serta merta menggantikan kebiasaan dan
nilai yang telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Fakfak termasuk kebiasaan
dan nilai filosofi masyarakat Fakfak.
Sehubungan dengan itu beberapa prinsip dasar ajaran Islam yang digali dari
sumber pokoknya (Al-Qur’an) untuk mendekati dan melihat korelasi dan
integrasinya dengan filosofi masyarakat Fakfak tersebut, antara lain :
1). Agama Keluarga
Salah satu perwujudan dari filosofi masyarakat Fakfak yakni saling
menghormati antara sesama pemeluk agama karena yang berlaku dan sangat kental
adalah agama keluarga karena di Fakfak terdapat tiga agama yang hidup
berdampingan, yaitu Islam, Katolik, dan Protestan, dimana dalam satu keluarga ada
yang menganut agama Islam, Katolik dan Protestan sehingga melahirkan prinsip dan
ajaran tentang tolerasi antar umat beragama. Dalam kaitan ini maka Islam
memberikan prinsip umum tentang sikap dalam beragama dan tolerasi antar umat
beragama sebagaimana diterangkan dalam Q.S Al-Kaafiruun, ayat : 6

ࣖ ‫ﱄ ِدﻳْ ِﻦ‬ ِ ِ
َ ‫ﻟَ ُﻜ ْﻢ دﻳْـﻨُ ُﻜ ْﻢ َو‬
Terjemah : Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Berdasarkan hal tersebut, maka peranan pendidikan Islam sangat urgen dalam
menanamkan nilai-nilai keislaman terutama tentang pendidikan Tauhid dalam
keluarga. Pendidikan tauhid sangat penting dalam keluarga karena pendidikan
tauhid dalam Islam tidak hanya sekedar memberikan ketentraman batin dan
menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan dan bermanfaat bagi

13
kehidupan umat manusia, akan tetapi juga berpengaruh besar terhadap
pembentukan sikap dan perilaku keseharian seseorang. Pendidikan tauhid itu
tidak hanya pengakuan bahwa Allah satu-satunya pencipta dan Ilah,
namun ketauhidan tersebut harus sejalan dengan semua aktivitas seorang
hamba, keyakinan tersebut harus diwujudkan melalui ibadah, amal sholeh yang
langsung ditujukan kepada Allah SWT tanpa perantara serta hanya untuk Dialah
segala bentuk penyembahan dan pengabdian. Ketauhidan ini harus dimiliki oleh
setiap muslim, oleh sebab itu ditanamkan kepada para generasi penerus karena tanpa
tauhid semuanya akan hancur, baik masa depan agama maupun bangsa.
Pendidikan ketauhidan perlu ditanamkan sejak dini. Awal kehidupan serta
lingkungan pertama dan utama yang dikenal anak adalah keluarga. serta pendidikan
di lembaga informal yaitu sekolah dan lembaga sekolah non formal memiliki tanggung
jawab dalam pendidikan Islam terutama tentang ketauhidan yang merupakan asas dari
ajaran Islam.
2). Kesatuan Manusia
Terdapat kepercayaan dikalangan masyarakat Fakfak bahwa semua manusia
berasal dari leluhur yang satu dan dari situlah berkembang biak dan turun-temurun
menjadi berbagai macam manusia dimuka bumi. Jika diibaratkan, maka asal usul
manusia khususnya yang mendiami jazirah Mbaham/Onin ibarat sungai, semuanya
berasal dari satu mata air dan mengalir membentuk anak sungai dan bermuara ke laut.
Hal ini senada dengan petunjuk dalam agama Islam yang menegaskan bahwa semua
manusia diciptakan oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa berasal dari jiwa yang
yang satu, kemudian berkembang turun-temurun menjadi berbagai macam manusia
dengan berbagai suku bangsa, suku dan ras sebagaimana dalam Q.S. Al-Hujurat, ayat :
13:
ۤ
‫ﱠاس اِ ﱠ َخلَ ْق ٰﻨ ُﻜ ْﻢ ِّم ْﻦ ذَ َك ٍر ﱠواُنْـثٰى َو َج َعلْ ٰﻨ ُﻜ ْﻢ ُش ُع ْوً ﱠوقَـبَاى َل ﻟِتَـ َع َارفـُ ْوا ۚ اِ ﱠن اَ ْكَرَم ُﻜ ْﻢ عِﻨْ َد ا ِّٰ اَتْـ ٰقى ُﻜ ْﻢ ۗاِ ﱠن‬
ُ ‫َٰٓﻳـﱡ َها اﻟﻨ‬
ِ
ٌ‫ا َّٰ َعلْي ٌﻢ َخبِ ْﲑ‬
Terjemah: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti.
14
Hal ini sejalan dengan realita pendidikan Islam di Fakfak Papua Barat dimana
dalam proses pendidikan maupun lingkungan yang kondusif dapat merealisasikan
kearifan lokal satu tungku tiga batu
3). Tolong Menolong dan Kerjasama
Salah satu kebiasaan masyarakat Fakfak yang juga sebagai implementasi dari
filosofi “satu tungku tiga batu” adalah saling tolong menolong dan kerjasama. Tolong
menolong dan kerjasama yang dilakukan dalam hal ini selain dalam bentuk yang
lumrah sebagaimana biasanya ketika warga yang lain sedang berhajat, yang terpenting
adalah saling tolong menolong dan kerjasama dalam membangun tempat ibadah baik
pembangunan gereja maupun masjid termasuk menjadi panitia pelaksananya (yang
beragama Kristen menjadi panitia pembangunan masjid, sebaliknya yang beragama
Islam menjadi panitia pembangunan gereja).8 Terhadap hal ini maka dalam Islam
terdapat petunjuk tentang saling tolong menolong dan bekerjasama didasarkan atas
niat untuk kebaikan dan taqwa sebagaimana sebagaimana diterangkan dalam Q.S Al-
Maidah, ayat : 2
ِ ‫اﻻ ِْﰒ واﻟْ ُع ْدو ِان ۖواتﱠـ ُقوا ا ّٰ ۗاِ ﱠن ا ّٰ َش ِدﻳْ ُد اﻟْعِ َق‬
‫اب‬ ِ ۖ ِِ
َ َ َ َ َ ْ ‫ا َوتَـ َع َاونـُ ْوا َعلَى اﻟْ ّﱪ َواﻟتﱠـ ْق ٰوى َوَﻻ تَـ َع َاونـُ ْوا َعلَى‬
Terjemahnya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah
sangat berat siksaan-Nya.
Berdasarkan pembahasan tentang korelasi dan integrasi ajaran Islam yang sesuai
dengan pendidikan Islam dengan filosofi masyarakat Fakfak sebagaimana diatas
dapatlah dipahami bahwa sebenarnya secara realistik umat Islam dan masyarakat
Fakfak umumnya sudah terbiasa dengan suasana kehidupan yang majemuk dan sangat
menghargai pluralitas bahkan toleransi antar sesama sejak dahulu kala. Hal ini sejalan
dengan konsep pemikiran tentang sisi lain ajaran Islam yang bersifat kemanusiaan dan
kemasyarakatan sebagaimana pandangan Madjid (1997) bahwa Islam adalah agama
kemanusiaan, ajaran-ajarannya sejalan dengan kecenderungan alami manusia yang
menurut fitrahnya bersifat abadi. menurut Nata (2001), bahwa essensi dan misi
diturunkannya agama adalah untuk mengangkat harkat dan martabat manusia ke dalam
kedudukannya sebagai makhluk yang paling mulia melalui penegakkan prinsip-prinsip

8
Husen, Mohamadon D. "Islam dan Filosofi Masyarakat Fakfak." Wahana Islamika: Jurnal
Studi Keislaman 4.1 (2018): 45.

15
keadilan, kesederajatan, kebersamaan, musyawarah, tolong-menolong dalam kebaikan
dan kasih sayang.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka menurut penulis bahwa Tolong Menolong
dan Kerjasama yang ditunjukkan dalam hal tersebut di atas, harusnya mempunyai
batasan yang jelas bahwa tolong menolong yang sesuai dengan koridor Islam yaitu
masalah keduniaan ataupun muamalah ( hubungan antara sesama manusia) tidak
dalam hal peribadatan atau menjurus kepada kesyirikan kepada Allah Swt. Maka
pendidikan yang ditanamkan kepada peserta didik harus bisa menanamkan akidah
yang lurus melalui tauhid yang benar.
Kebudayaan hidup dan berkembang karena proses pendidikan, sedangkan
pendidikan hanya ada dalam suatu konteks kebudayaan. Salah satu tugas pendidikan
sebagai bagian dari kebudayaan adalah mampu membentuk dan mengembangkan
generasi baru menjadi orangorang dewasa yang berbudaya, terutama berbudaya
nasional. (Pidarta, 2009:171) Sedangkan kebudayaan nasional berakar dari
kebudayaan daerah, maka sudah sewajarnya pendidikan pendidikan Islam berbasis
kearifan lokal dan… berfungsi untuk mengembangkan kebudayaan daerah (lokal).
Melalui proses itulah diharapkan peserta didik mempunyai ketrampilan bertahan hidup
dan sikap atau karakter untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa
melupakan kebudayaan lokal salah satunya adalah berdasarkan budaya Islam.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin sangat menjaga hubungan baik
sesama manusia (hablum minannas) di tengah-tengah kehidupan umatnya agar terjaga
persatuan dan persaudaraan yang harmonis. Dalam bidang muamalah, umat Islam
dalam berkehidupan harus selalu menghargai berbagai kearifan lokal yang tidak
melanggar syariat Islam dan wajib meluruskannya manakala bertentangan dengan
syariat Islam, sehingga kearifan lokal tetap harus tunduk kepada aturan Allah SWT,
tidak sebaliknya.Karena tidak semua kearifan lokal sesuai dengan syariat ajaran Islam.
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak
dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri, karena kearifan lokal ini menjadi
satu kesatuan dengan masyarakat setempat. Masyarakat disetiap daerah pun memiliki
kearifan lokal yang berbeda-beda, tergantung dengan kultur dan kebiasaan
masayarakatnya tersendiri. Kearifan lokal (local wisdom) ini biasanya diwariskan
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi setelahnya melalui cerita dari
mulut ke mulut yang disyiarkan melalui masyarkaat setempat itu sendiri. Kearifan

16
secara harfiah, berasal dari bahasa Arab dari akar kata – ‫ عرف يعرف‬/’arafa-ya’rifu
berarti memahami atau menghayati, kemudian membentuk kata “kearifan” yang bisa
diartikan dengan sikap, pemahaman, dan kesadaran yang tinggi terhadap sesuatu.
Kearifan adalah kebenaran yang bersifat universal sehingga jika ditambahkan
dengan kata lokal maka bisa mereduksi pengertian kearifan itu sendiri. Setiap kali kita
berbicara tentang kearifan maka setiap itu pula kita berbicara tentang kebenaran dan
nilai-nilai universal. Menentang kearifan lokal berarti menolak kebenaran universal.
Kebenaran universal itu sesungguhnya akumulasi dari nilai-nilai kebenaran lokal.
Tidak ada kebenaran universal tanpa kearifan lokal. Hal ini memperhadap-hadapkan
antara kearifan lokal dan kebenaran universal.
Meskipun memberikan banyak dampak positif, kearifan lokal terkadang juga
menyimpang dengan ajaran-ajaran syariat Islam, Dalam kearifan lokal yang
berbungkus adat istiadat, Tidak sedikit tradisi (adat-istiadat) yang mayoritas dianut
oleh muslim di Indonesia sangat jauh dari nilai-nilai murni dan shahih dari Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah SAW. Kearifan lokal merupakan akumulasi pengetahuan dan
kebijakan yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas yang merangkum
perspektif teologis, kosmologis dan sosiologis.
Kearifan lokal bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, dan perilaku yang
melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya alam dan manusia,
dirumuskan sebagai formulasi pandangan hidup (world view) sebuah komunitas
mengenai fenomena alam dan sosial yang mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
Pandangan hidup tersebut menjadi identitas komunitas yang membedakannya dengan
kelompok lain Oleh karena itu, kearifan lokal tidak boleh menyimpang dari ajaran
Islam. Pendidikan berbasis kearifan lokal dengan tidak menyimpang dari ajaran Islam
adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi
konkret yang mereka hadapi dengan ajaran Islam. Namun dalam kenyataannya banyak
guru yang belum mengintegrasikan kearifan lokal Dalam pembelajaran sehingga
tujuan pendidikan belum tercapai selain itu belum mengenal kearifan lokal
berdasarkan ajaran Islam di lingkungannya.9

9
Unang Wahidin, Muhammad Sarbini, and Imam Tabroni, “Evaluasi Penggunaan Media
Pembelajaran Dalam Praktik Pengalaman Lapangan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama
Islam,” Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam 11, no. 03 (2022): 831,
https://doi.org/10.30868/ei.v11i03.3175.
17
C. PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
a. Pendidikan Islam bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam
kepada generasi mudanya, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam
sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan
terkungkung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan,
ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan. Sebagaimana pula yang
dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan
dengan mereka yang non Islam.
b. Pendidikan di wilayah Provinsi Papua Barat masih menjadi perhatian serius
pemerintah daerah, terutama terkait banyaknya anak usia sekolah namun
tidak bersekolah dan juga tenaga guru. Hal ini tentunya menjadi perhatian
serius pemerintah di wilayah Provinsi Papua Barat dengan berbagai skema
pembangunan sektor pendidikan agar hak anak untuk bersekolah terpenuhi.
Sebab keberhasilan pembangunan suatu daerah ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusia.
c. Pendidikan di Papua atau Papua Barat tidak bisa terlepas dengan pendidikan
Islam yang merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri. Keadaan
pendidikan Islam sebelum integrasi Papua ke NKRI tidak begitu berkembang
dan banyak mendapat kekangan dari pemerintah Belanda Namun
perkembangan pendidikan Islam di Papua mulai berjalan marak dan dinamis
sejak irian jaya berintegrasi ke Indonesia
d. Dalam buku Sejarah Masuknya Islam di Fakfak yang disusun oleh Tim Ahli
dari Pemerintah Daerah Fakfak tahun 2006, menyimpulkan bahwa Islam
masuk di Fakfak pada tanggal 8 Agustus 1360 M dengan kehadiran mubaligh
Abdul Ghaffar asal Aceh di Fatagar Lama, Kampung Rumbati2 Fakfak.
Kehadiran agama Islam sejak abad ke-16 dan Kristen serta Katolik pada abad
ke-19 (Onim, 2007) dan perjumpaannya dengan tradisi dan budaya Fakfak
justru melahirkan sejumlah nilai dan norma sosial yang mengikat masyarakat
Fakfak dalam keseimbangan

18
e. D a l a m pemikiran masyarakat adat Fakfak, kalau tiga kaki dari batu itu
stabil maka semua persoalan dapat diatasi dengan baik, sehingga
implementasi dari filosofi Satu Tungku Tiga Batu dimaknai bukan saja dalam
kehidupan beragama tetapi menjangkau semua aspek kehidupan dalam
masyarakat.
f. Setelah mencermati bagaimana praktek dan tata cara kehidupan masyarakat
Fakfak berlandaskan filosofi “satu tungku tiga batu” sebagaimana diatas,
begitu pula sebaliknya bagaimana konsep Islam yang rahmatan lil alamiin
maupun transformasi Islam di Fakfak.
g. Korelasi dan integrasi ajaran Islam yang sesuai dengan pendidikan Islam
dengan filosofi masyarakat Fakfak sebagaimana diatas dapatlah dipahami
bahwa sebenarnya secara realistik umat Islam dan masyarakat Fakfak
umumnya sudah terbiasa dengan suasana kehidupan yang majemuk dan
sangat menghargai pluralitas bahkan toleransi antar sesama sejak dahulu kala.
h. Kebudayaan nasional berakar dari kebudayaan daerah, maka sudah
sewajarnya pendidikan pendidikan Islam berbasis kearifan lokal dan
berfungsi untuk mengembangkan kebudayaan daerah (lokal). Melalui proses
itulah diharapkan peserta didik mempunyai ketrampilan bertahan hidup dan
sikap atau karakter untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa
melupakan kebudayaan lokal salah satunya adalah berdasarkan budaya Islam.
i. Kearifan lokal bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, dan perilaku yang
melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya alam dan
manusia, dirumuskan sebagai formulasi pandangan hidup (world view)
sebuah komunitas mengenai fenomena alam dan sosial yang mentradisi atau
ajeg dalam suatu daerah. Pandangan hidup tersebut menjadi identitas
komunitas yang membedakannya dengan kelompok lain Oleh karena itu,
kearifan lokal tidak boleh menyimpang dari ajaran Islam. Pendidikan berbasis
kearifan lokal dengan tidak menyimpang dari ajaran Islam adalah pendidikan
yang mengajarkan peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi konkret
yang mereka hadapi dengan ajaran Islam.

19
DAFTAR PUSTAKA

Fauzan Ramadhan, “Analisis Keterbelakangan Pendidikan di Papua Barat"


kompasiana.com.https://www.kompasiana.com/fauzangaskarth /551119b3a33
3 111c42ba7e1f/analisis-keterbelakangan-pendidikan-di-papua-barat, diakses
pada tanggal 20/07/2023
Wekke, Ismail Suardi, and Cholichul Hadi. "Pendidikan Agama Dan
Kewirausahaan Santri: Kajian Pesantren Rodhotul Khuffadz Sorong Papua
Barat." (2012): 20-21.
Ernes Broning Kakisina, “Mencari jalan keluar masalah pendidikan di Provinsi
Papua Barat” antaranews.com, https://www.antaranews.com /berita
/3179529/mencari-jalan-keluar-masalah-pendidikan-di-provinsi-papua-barat,
diakses pada tanggal 20/07/2023
Asep Abdul Muhidin, "Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Papua"
Kompasiana.com, https://www.kompasiana.com /aamuhyiddin/ 552bdb6c6ea
83438428b4571/sejarah-perkembangan-pendidikan-islam-di-papua, diakses
pada tanggal 20/07/2023
Salwa Nisrina, "Sejarah Pendidikan Islam di Tanah Papua", kompasiana.com,
https://www.kompasiana.com/salwanisrina1018/63c0af1ba4d94b4169254ff2/
sejarah-pendidikan-islam-di-tanah-papua, diakses pada tanggal 21/072023
Ernas, Saidin, Heru Nugoro, and Zuly Qodir. "Agama dan Budaya dalam Integrasi
Sosial (Belajar dari Masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat)." Harmoni
13.1 (2014): 22-35.
Husen, Mohamadon D. "Islam dan Filosofi Masyarakat Fakfak." Wahana
Islamika: Jurnal Studi Keislaman 4.1 (2018): 37-41.
Husen, Mohamadon D. "Islam dan Filosofi Masyarakat Fakfak." Wahana
Islamika: Jurnal Studi Keislaman 4.1 (2018): 45.
Unang Wahidin, Muhammad Sarbini, and Imam Tabroni, “Evaluasi Penggunaan
Media Pembelajaran Dalam Praktik Pengalaman Lapangan Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Agama Islam,” Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan
Islam 11, no. 03 (2022): 831, https://doi.org/10.30868/ei.v11i03.3175.

20

Anda mungkin juga menyukai