PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Permasalahan Pendidikan di Tingkat Regional
Wilayah Indonesia yang luas dan terdiri atas ribuan pulau serta
beragamnya kekayaan adat yang dimiliki beserta suku-suku di dalamnya membuat
sebagian warga tersebut tidak dapat menikmati proses pendidikan dan fasilitas
lainnya yang diberikan oleh pemerintah kepada anak bangsa. Harus diakui juga
bahwa faktor sarana dan prasarana penghubung seperti jalan, jembatan dan lain
sebagainya memberikan pengaruh terhadap kurangnya akses yang dapat dirasakan
oleh penduduk di daerah terpencil. Apabila kita berbicara tentang permasalahan
pendidikan di tingkat regional, hal tersebut bisa melingkupi kawasan pedesaan,
daerah terpencil, dan kawasan perbatasan.
Melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, sulit untuk membuat
gambaran umum untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya. Jika sekilas kita
melihat pada sekolah-sekolah unggulan yang ada di kota, mungkin kita bisa
berbangga dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Sekolah-sekolah tersebut
sudah sangat mapan dalam hal fasilitas dan kualitas. Para murid dan guru dari
sekolah-sekolah elit selalu dimanja dengan fasilitas pendidikan yang lengkap dan
mutakhir. Segala proses pembelajaran dijalankan dengan nyaman dan mudah
sehingga dapat menghasilkan murid yang berkualitas. Namun, ketika kita melihat
kondisi pendidikan di daerah perbatasan, keadaan tersebut sungguh berbanding
terbalik.
Tak banyak yang mengetahui atau peduli dengan nasib pendidikan anakanak di daerah terpencil dan perbatasan. Banyak anak di perbatasan yang bernasib
malang karena tak dapat memperoleh pendidikan yang bermutu. Di beberapa
perkampungan atau dusun di perbatasan Kalimantan misalnya, anak-anak harus
berjalan kaki 1-2 jam sejauh hingga 6 Km melintasi hutan dan menuruni bukit
untuk mendapatkan pendidikan di sekolah setiap hari.
Jika kita analisa bahwa pokok permasalahan yang terjadi pada
pendidikan di daerah perbatasan adalah sebagai berikut :
a) Minimnya sarana dan prasarana yang dapat menunjang proses belajar
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
mengajar
Kurangnya jumlah tenaga pendidik
Rendahnya kualitas tenaga pendidik
Masih sedikitnya jumlah sekolah
Berbentuk komunitas kecil
Tertutup dan homogen
Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan
Pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau
Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub sistem
Peralatan teknologinya sederhana
Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat
relatif tinggi.
l) Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik.
Keterbatasan akses layanan pendidikan menimbulkan
masalah
pendidikan di daerah perdesaan yang terpencil, hal ini dapat disebabkan oleh
berbagai faktor diantaranya kondisi geografis wilayah yang spesifik, aksesibilitas
pendidikan, dan infrastruktur wilayah. Selaian itu bahwa faktor utama yang dapat
menyebabkan terjadinya kesenjangan antar wilayah adalah : (1) geografi; (2)
sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial budaya;
dan (7) ekonomi.
2.2 Permasalahan Pendidikan ditingkat Nasional
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan
menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami sakit.
Dunia pendidikan yang sakit ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya
membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak
begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia
cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia,
menghasilkan manusia robot. Kami katakan demikian karena pendidikan yang
diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan
ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir
(kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi
cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak
hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang
belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati,
membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang
sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan
instruksi dari guru kepada murid.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke
bawah). Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta
didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai
pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa
isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi.
Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru
ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan
tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan
guru.Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek.
Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan
bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah
wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang
dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar
budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat
bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau
Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
strategi kebudayaan Asia, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu
kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional. Kali ini saya sebagai penulis ingin mengajak kita semua
untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita.
Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural
untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta
keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai
keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain.
2.3 Permasalahan Pendidikan ditingkat Global