Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemanfaatan media sosial semakin luas di Indonesia, sehingga tak jarang
dari beberapa individu maupun kelompok dijadikan sebagai wadah untuk promosi
dan usaha. Salah satu contoh seperti promosi tentang calon Presiden 2019.
Namun, pada umumnya tidak diimbangi dengan perkembangan teknologi
informasi yang pararel antara kehidupan di dunia nyata dengan maya. Hal ini
ditunjukkan banyaknya informasi palsu (hoax), provokasi, fitnah, sikap intoleran
dan anti Pancasila yang memenuhi media sosial saat ini. Keberadaan internet
sebagai media online membuat informasi yang belum terverifikasi benar dan
tidaknya tersebar cepat. Hanya dalam hitungan detik, suatu peristiwa sudah bisa
langsung tersebar dan diakses oleh pengguna internet melalui media sosial.
Kegaduhan yang terjadi di media sosial dinilai bisa merambat ke dunia
nyata jika tidak segera diatasi. Perbincangan yang terdapat di media sosial
berpotensi mengkonstruksi pemahaman publik mengenai suatu hal dalam
kehidupan masyarakat. Kegaduhan di media sosial dapat berdampak dalam
kehidupan riil karena media sosial ini juga membentuk konstruksi pemaknaan
tentang asumsi sosial kita. Kegaduhan yang terjadi di media sosial semacam itu
kerap kali menggunakan sentimen identitas yang bermuara pada hujatan dan
kebencian dan karenanya dapat melunturkan semangat kemajemukan yang
menjadi landasan masyarakat dalam berbangsa. Pada akhirnya konsep tentang
kebinekaan mengalami dekonstruksi oleh argumen-argumen yang ikut dibentuk
melalui media sosial.
Menko Polhukam Wiranto menyebut pelaku hoax bisa dijerat UU
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme karena penyebar hoax dinilai sebagai
peneror masyarakat. Untuk itu, Wiranto menyebut para penyebar hoax itu bisa
dijerat pula dengan aturan soal terorisme. Sementera itu, Polri menambahkan
bahwa pelaku hoax dapat dijerat dengan undang-undang pemberantasan tindak
teroris apabila teridentifikasi terkait jaringan teroris. Hal ini banyak menimbulkan

1
pro dan kontra dalam masyarakat, khususnya bagi pendukung masing-masing
calon Presiden. Mereka yang kontra beranggapan bahwa pengertian dari hoax
tidak dapat disama artikan dengan tindakan terorisme.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian dari terorisme?
2. Bagaimanakah pengertian dari hoax?
3. Bagaimanakah keterkaitan pasal tentang terorisme dengan pelaku hoax
pada politik?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Menjabarkan pengertian dari terorisme.
2. Menjabarkan pengertian dari hoax.
3. Menjabarkan keterkaitan pasal tentang terorisme dengan pelaku hoax pada
politik.
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mampu memahami pengertian dari terorisme.
2. Mampu memahami pengertian dari hoax.
3. Mampu memahami keterkaitan pasal tentang terorisme dengan pelaku
hoax pada politik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Terorisme
Secara bahasa, kata “terorisme” berasal dari kata “to terror” dalam bahasa
Inggris, dalam bahasa Latin kata ini disebut Terrere, yang berarti “gemetar” atau
“menggetarkan”. Kata terrere adalah bentuk kata kerja (verb) dari kata terrorem
yang berarti rasa takut yang luar biasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mengartikan teror sebagai usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan
kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu (Depdikbud, 2013). Pengertian
yang tidak jauh berbeda diungkap dalam Webster’s New School and Office
Dictionary, yaitu membuat ketakutan atau kengerian dengan melakukan
intimidasi atau ancaman untuk menakut-nakuti (Meriam, 1996). Telah banyak
usaha yang dilakukan oleh para ahli untuk menjelaskan perbedaan antara teror dan
terorisme, sebagian berpendapat bahwa “teror” merupakan bentuk pemikiran,
sedangkan “terorisme” adalah aksi atau tindakan teror yang terorganisir
sedemikian rupa. Jadi dapat disimpulkan bahwa terorisme adalah seseorang yang
melakukan teror terhadap suatu golongan tertentu dengan cara memberi rasa takut
dan tidak aman yang disertai dengan perilaku kekerasan.
James H. Wolfe menjelaskan beberapa karakteristik yang bisa
dikategorikan sebagai terorisme, yaitu: (1) tindakan terorisme tidak selamanya
harus bermotif politis; (2) sasaran terorisme dapat berupa sipil (masyarakat,
fasilitas umum) maupun non-sipil (pejabat dan petugas negara, fasilitas negara);
(3) aksi terorisme ditujukan untuk mengintimidasi dan mempengaruhi kebijakan
pemerintahan; dan (4) aksi terorisme dilakukan melalui tindakan-tindakan yang
tidak menghormati hukum dan etika internasional. Sedangkan menurut Terorism
Act menyatakan terorisme berarti penggunaan ancaman untuk menimbulkan
ketakutan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) penggunaan kekerasan terhadap
seseorang (atau kelompok) dan menimbulkan kerugian baik berupa harta maupun
nyawa; (2) sasaran atau tujuan terorisme dimaksudkan untuk mempengaruhi
pemerintah atau organisasi internasional dan beberapa bagian tertentu dari public;

3
serta (3) terorisme dibuat dengan memiliki alasan politis, agama, rasial atau
ideologi.

B. Pengertian Hoax
Definisi Hoax adalah kabar, informasi, berita palsu atau bohong. Sedangkan
dalam KBBI disebut dengan hoaks yang artinya berita bohong. Hoax merupakan
ekses negatif kebebasan berbicara dan berpendapat di internet. Khususnya media
sosial dan blog. Sedangkan menurut wikipedia, hoax adalah usaha untuk menipu
atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang
pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Hoax
bertujuan membuat opini publik, menggiring opini, membentuk persepsi, juga
untuk bersenang-senang yang menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna
internet dan media sosial. Muncul dan berkembangnya hoax dibuat seseorang atau
kelompok dengan beragam tujuan, mulai dari sekedar main-main, hingga tujuan
ekonomi (penipuan), dan politik (propaganda/pembentukan opini publik) atau
agitasi (hasutan). Hoax biasanya muncul ketika sebuah isu mencuat ke
permukaan, namun banyak hal yang belum terungkap atau menjadi tanda tanya.
Di Indonesia, hoax marak sejak pemilihan presiden 2014 dan 2019 sebagai
dampak gencarnya kampanye di media sosial. Hoax bermunculan guna
menjatuhkan citra lawan politik alias kampanye hitam alias kampanye negatif.
Menurut Dewan Pers, di Indonesia maraknya hoaxjuga karena adanya krisis
kepercayaan terhadap media mainstream sehingga publik menjatuhkan ke media
abal-abal. Menurut Yosep Adi Prasetyo selaku Ketua Dewan Pers hoax
merupakakan dampak berubahnya fungsi media sosial dari media pertemanan dan
berbagi sarana menyampaikan pendapat politik dan mengomentari pendirian
orang lain. Adapun ciri-ciri dari berita hoax, yaitu: (1) didistribusikan via email
atau media sosial karena efeknya lebih besar; (2) berisi pesan yang membuat
cemas, panik para pembacanya; (3) diakhiri dengan himbauan agar si pembaca
segera memforwardkan warning tersebut ke forum yang lebih luas.
Hoaxmemanfaatkan iktikad baik si pembaca, sehingga pembaca email ini tanpa
meneliti terlebih dahulu kebenaran beritanya, langsung segera menyebarkannya ke

4
forum yang lebih luas. Akibarnya lalu lintas peredaran data di internet makin
padat dengan berita yangtidak benar; dan (4) biasanya pengirim awal hoax ini
tidak diketahui identitasnya.

C. Keterkaitan Pasal tentang Terorisme dengan Pelaku Hoax pada Politik


Ketentuan hukum Indonesia memaparkan bahwa aksi terorisme dikenal
dengan istilah Tindak Pidana Terorisme (Asshiddiqie, 2003). Indonesia
memasukkan terorisme sebagai tindak pidana, sehingga cara penanggulangannya
pun menggunakan hukum pidana sebagaimana tertuang dalam peraturan
pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) Republik Indonesia Nomor 1
tahun 2002 yang kemudian diperkuat menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 15
tahun 15 tahun 2003. Judul Perpu atau Undang-Undang tersebut adalah
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 1 ayat 1 Perpu No. 1 Tahun 2002
menyatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur pidana sesuai dengan ketentuan Perpu. Perbuatan tersebut
termasuk yang sudah dilakukan ataupun yang akan dilakukan. Dua hal ini
termaktub dalam pasal 6 dan pasal 7 (Perpu, 2002). Terkait dengan unsur-unsur
tindak pidana terorisme, ada perbedaan antara pasal 6 dan 7.
Pasal 6 menyatakan bahwa: Pelaku tindak pidana terorisme adalah setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas,
atau menimbulkan korban yang bersifat massal. dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain. mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau
lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional. Inti sari dari isi
pasal 6 adalah suatau aksi atau tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana
terorisme bila mengandung unsur: (1) dilakukan dengan sengaja; (2)
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan; (3) menimbulkan suasana teror
atau rasa takut secara luas; (4) menimbulkan korban massal, baik dengan cara
marampas kemerdekaan dengan menghilangkan nyawa atau harta benda orang
lain; dan (5) mengakibatkan kerusakan pada obyek-obyek vital.

5
Pasal 7 menyebutkan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau tindakan ancaman kekerasan yang dimaksudkan
untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhaddap orang secara luas atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional
dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup. Inti sari dari isi Pasal 7
ialah suatu aksi atau tindakan dpaat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme
bila mengandung unsur: (1) dilakukan dengan sengaja; (2) menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan; (3) dimaksudkan untuk menimbulkan korban
massal; dan (4) mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas
internasional.
Hoax atau berita bohong diatur dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.1)Kutipan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal
28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik berbunyi : (1) setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak
menyebarkan berita bohongdan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugiankonsumen dalam Transaksi Elektronik; dan (2) setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Sedangkan ancaman hukumannya sebagai berikut :Pasal 45 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
berbunyi: (3) setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal, 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Dalam pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan mengenai ujaran kebencien (hate
speech). Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 dijelaskan bahwa
ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-

6
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya diluar KUHP, yang
berbentuk antara lain: (1) penghinaan; (2) pencemaran nama baik; (3) penistaan;
(4) perbuatan tidak menyenangkan; (5) memprovokasi; (6) menghasut; (7)
penyebaran berita bohong. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebarkan berita hoax merupakan
suatu kejahatandengan anacaman pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pasal terorisme
dapat menjerat pelaku hoax apabila pelaku terlibat dalam jaringan teroris,
menciptakan radikalisme, dan menimbulkan kekerasan secara masal. Selain itu,
hoax hanya dijerat oleh pasal pelanggaran informasi dan transaksi elektronik
sehingga pelaku akan ditindak sesuai semestinya.

7
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Terorisme adalah seseorang yang melakukan teror terhadap suatu
golongan tertentu dengan cara memberi rasa takut dan tidak aman yang
disertai dengan perilaku kekerasan.
2. Hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya
untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut
tahu bahwa berita tersebut adalah palsu.
3. Pasal terorisme dapat menjerat pelaku hoax politik apabila pelaku terlibat
dalam jaringan teroris, menciptakan radikalisme, dan menimbulkan
kekerasan secara masal. Selain itu, hoax hanya dijerat oleh pasal
pelanggaran informasi dan transaksi elektronik sehingga pelaku akan
ditindak sesuai semestinya.

B. Saran
Hendaknya kita sebagai masyarakat dalam menghadapi pemilihan presiden
harus mampu bijak dalam menghadapi pemberitan-pemberitaan di sosial media.
Harus mencari betul apakah informasi tersebut benar atau hanya hoax. Pilpres
2019 yang dilaksanakan merupakan pesta Demokrasi sehingga jangan sampai
membuat antar suatu golongan menjadi bertikai.

8
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, J. (2003). Konsolidasi naskah UUD 1945. Jakarta: Yarsif


Watampone.

Anto Satriyo Nugroho, Tips Menghadapi Hoax dan Spam.


www.ilmukomputer.com. Diakses tanggal 20 februari 2017.

Herlinda. Pengertian Hoax: Asal Usul dan Contohnya.


http://www.komunikasipraktis.com/. Diakses tanggal 20 Februari 2017.

Herlinda, Hoax.http://www.komunikasipraktis.com. Diakses tanggal 20 Februari


2017.

KBBI Daring, Hoaks, https://kbbi.kemdikbud.go.id, diakses tanggal 3 April 2017.

Manullang, A.C. (2001). Menguak tabu intelijen teror, motif dan rezim. Jakarta:
Panta Rhei.

Merriam, W. (1996). Webster’s new school and office dictionary: Houghton


Mifflin Harcourt.

Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 11 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik. Jakarta.

Wikipedia. PemberitaanPalsu. https://id.wikipedia.org/wiki/pemberitaan_palsu.


Diakses 20 Februari 2017.

Anda mungkin juga menyukai