Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

“TUMOR DISTAL CBD (Common Bile Duct)”

Disusun oleh :
Wilham Riyadi
H1A014080

Pembimbing : dr. Mamang B, Sp.PD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA
BARAT
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas laporan kasus yang
berjudul “Tumor distal CBD (Common Bile Duct)”. Tugas ini saya susun guna
untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Fakultas Kedokteran
Universitas Mataram. Terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu, terutama kepada pembimbing saya yaitu dr. I Made Windutama,
Sp.PD yang telah banyak membantu dalam penyusunan tugas ini. Pada
penyusunan tugas ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta meningkatkan
pengetahuan pembaca terkait topik yang dibahas dalam tugas ini.
Dalam laporan kasus ini tentu tidak terlepas dari kesalahan dalam
penyusunan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna perbaikan bagi penyusunan tugas-tugas yang selanjutnya.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih.

Mataram, Januari 2019

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker duktus biliaris lebih jarang dibandingkan kanker kandung empedu.
Pada studi otopsi, insiden 0.01-0.2 % telah di laporkan. Diperkirakan ada kira-kira
500 kasus baru per tahun di amerika. Ada beberapa bukti bahwa insiden mungkin
meningkat; bagaimanapun hal ini mungkin berkaitan dengan aplikasi duktus
biliaris imaging dengan ERCP. Tumor duktus biliaris proksimal lebih sering
dibandingkan bagian distal. Tumor duktus biliaris jinak lebih jarang, kurang dari
150 kasus dilaporkan. Kebanyakan pasien mengalami jaundice akibat obstruksi
biliaris oleh tumor tersebut. Umumnya tumor berukuran kecil dan sukar untuk
dideskripsikan pada pemeriksaan radiologi, seperti ultrasonography dan CT-Scan,
tetapi teknik tersebut berguna untuk mendeteksi adanya obstruksi dan membantu
menentukan metastase. Penatalaksanaan pada kebanyakan kasus tumor kandung
empedu meliputi pencegahan obstruksi biliaris rekuren dengan komplikasi infeksi,
penyebaran lokal, dan kematian dalam 6-12 bulan. Terapi tergantung pada luas
danlokasi dari luka dan reseksi pembedahan dapat meningkatkan prognosis dan
survival (Zieve et al., 2013).
Kolangiocarcinoma merupakan penyakit mematikan kedua setelah
karsinoma hepato seluler. Pasien dengan intra hepatic cholangiocarcinomas
(cholangio cellular carcinoma) mempunyai prognosis yang buruk pada tumor
metastase awal. Penggunaan thoro trast (suatu medium kontras yang dimasukan
kedalam pembuluh darah) pada tahun sebelumnya menjadi satu-satunya
kemungkinan terapi. Kanker saluran empedu berbeda dengan kanker kantong
empedu. Kanker ini distribusinya sama pada pria dan wanita. Semua
cholangiocarcinoma pertumbuhannya lambat, infiltratif lokal, dan metastasenya
lambat (Darwin, 2014).
Keganasan primer yang paling sering terjadi pada saluran empedu adalah
kolangikarsinoma. Kolangiokarsinoma adalah suatu kegansan dari sistem duktus
biliaris yang berasal dari hati dan berakhir pada ampulla vateri. Jadi proses
keganasan ini dapat terjadi sepanjang system saluran biliaris, baik intra hepatik
atau ekstra hepatik. Kolangiokarsinoma adalah tumor yang jarang terjadi dengan

3
bentuk patologi dan manifestasi klinis yang luas sehingga memberikan gambaran
klinis dan radiologi yang bermacam-macam. Penyakit ini merupakan jenis tumor
hati terbanyak kedua di Indonesia setelah karsinoma hepatoseluler. Penyakit
inibiasanya ditemukan pada orang-orang berusia diatas 60 tahun dan lebih banyak
terjadi pada pria. Tumor ganas ini biasanya tumbuh secara perlahan dan lambat
menyebar, sehingga pada saat diagnosis ditegakan banyak diantaranya yang sudah
terlalu parah untuk dilakukan tindakan operasi. Oleh karena itu peranan
pemeriksaan radiologi sebagai salah satu komponen penunjang diagnosis
sangatlah penting. Beberapa teknik yang sering digunakan adalah kolangiografi,
USG abdomen, CT-scan dan ERCP. Dengan teknik pemeriksaan radiologi yang
semakin berkembang, diharapkan diagnosa untuk kolangiokarsinoma dapat
ditegakkan secara dini, sehingga dapat meningkatkan derajat keberhasilan terapi
dan menurunkan angka mortalitas pada pasien-pasien dengan kolangiokarsinoma.

4
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : IQ. H
Usia : 51 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dasan Baru
Suku : Sasak
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Nomor Rekam Medik : 464131
Masuk Rumah Sakit : 07 Januari 2019
Waktu Pemeriksaan : 08 Januari 2019
2.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Nyeri Perut Kanan Atas
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang sudah dirasakan
sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan ketika beraktivitas dan bahkan saat
makan. Nyeri dirasakan seperti diremas-remas akan tetapi nyerinya tidak menjalar
ke pinggang dan daerah lain. Pasien juga mengeluhkan badannya menjadi kuning
sejak 1 bulan yang lalu. Pasien menyatakan bahwa nyeri perut dan kulit kuning
dirasakan terus menerus hingga saat ini. Pasien juga mengeluhkan mual dan
muntah setelah makan. Pasien menyatakan satu hari sebelum masuk rumah sakit
badannya terasa panas dan semakin terasa lemas. Pasien juga mengeluhkan BAB
bewarna seperti dempul, pasien BAB terakhir 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
BAK pasien berwarna seperti the (+), gatal-gatal pada kulit (+), akan tetapi pasien
tidak mengeluhkan sesak (-).

5
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Keluhan serupa disangkal, riwayat hipertensi (-), riwayat penyakit jantung (-),
riwayat diabetes melitus (-), riwayat maag (-), riwayat asma (-).
D. Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluhan serupa dalam keluarga tidak ada, riwayat hipertensi (-), riwayat
diabetes melitus (-), riwayat maag (-), riwayat penyakit jantung (-).
E. Riwayat Alergi :
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan di sangkal.
F. Riwayat Sosial :
Riwayat merokok, konsumsi alkohol, dan narkotika di sangkal oleh pasien.
G. Riwayat Pengobatan :
Pasien belum pernah melakukan pengobatan sebelumnya.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis :
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 37,4oC
Saturasi Oksigen : 99% tanpa Oksigen
B. Status Lokalis :
a) Kepala :
- Ekspresi wajah : normal, pasien tidak tampak kesakitan
- Bentuk dan ukuran : normal
- Parese nervus VII : (-)
- Massa : (-)
- Nyeri tekan kepala : (-)
b) Mata :
- Posisi : simetris
- Bentuk : normal

6
- Exopthalmus : (-/-)
- Ptosis : (-/-)
- Edema palpebra : (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-), hiperemis (-/-)
- Sklera : ikterik (+/+)
- Pupil : isokor, bulat, refleks pupil (+/+)
- Kornea : normal, jernih
- Lensa : katarak (-/-), jernih
- Pergerakan bola mata ke segala arah (+/+) normal
- Nyeri tekan retroorbita (-/-)
c) Hidung :
- Bentuk : normal
- Posisi : simetris
- Tidak ditemukan adanya deviasi septum,
- Napas cuping hidung (-/-)
- Perdarahan (-/-), sekret (-/-)
- Penghidu dalam keadaan normal
d) Leher :
- Tidak ada deviasi trakea
- Pembesaran kelenjar getah bening (-)
- Pembesaran otot SCM (-)
- Penggunaan otot bantu napas (-)
- Pembesaran kelenjar tiroid (-)
- Didapatkan JVP 5+4
e) Dada :
- Inspeksi :
 Bentuk dan ukuran : bentuk normal (+), simetris (+)
 Pergerakan dinding dada : simetris (+) tidak ada ketertinggalan gerak
 Permukaan dinding dada : ginekomasti (-), massa (-), skar (-)
 Penggunaan otot bantu napas : hipertrofi otot SCM (-)
 Iga dan sela iga : melebar (-), menyempit (-), simetris (+)

7
 Tipe pernapasan : torako-abdominal
- Palpasi :
 Palpasi dinding dada : nyeri tekan (-), massa (-), krepitasi (-), deformitas (-)
 Posisi mediastinum : tidak ada deviasi trakea
 Ictus cordis : teraba di ICS V midclavicula line sinistra, pulsasi teraba
normal
 Palpasi nadi radialis dan brakialis : simetris antara kiri dan kanan, frekuensi
12x/menit, amplitudo kuat angkat teratur
 Penilaian gerak dinding dada :
Depan :
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal

Belakang :
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal

 Penilaian vocal fremitus :


Depan :
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal

Belakang :
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal

8
- Perkusi :
 Perkusi dinding dada :
Depan :
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

Belakang :
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

 Kronig isthmus : didapatkan suara sonor di kanan dan kiri


 Batas paru-jantung :
Inspirasi : di ICS VI
Ekspirasi : di ICS IV
 Batas jantung :
Kanan : 6 cm Kiri : 5 cm
- Auskultasi :
 Cor : S1S2 tunggal reguler (+), Murmur (-), Gallop (-)
 Pulmo :
Vesikuler :
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler

Rhonki :
- -
- -
- -

9
Wheezing :
- -
- -
- -

f) Abdomen :
- Inspeksi :
 Bentuk : normal, distensi (-), asites (-)
 Permukaan : skar (-), massa (-), pelebaran vena (-), striea (-), lesi (-), ruam (-),
jejas (-)
 Pulsasi aorta : tidak terlihat adanya pulsasi
 Umbilikus : letaknya normal di tengah, tanda inflamasi (-)
 Inguinal : hernia (-), tanda inflamasi (-)
- Auskultasi :
 Suara bising usus (+) normal dengan frekuensi
- Perkusi :
 Perkusi abdomen :
Redup Timpani Timpani
Redup Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani

 Perkusi hepar : 15 cm
 Perkusi lien : didapatkan suara tetap timpani (Traube space +)
 Pemeriksaan shifting dullness : (-)
- Palpasi :
 Palpasi ringan : nyeri tekan (+) di daerah epigastrium dan kuadran kanan bawah
adomen, massa (-)
 Palpasi dalam : massa (-)
 Palpasi hepar : Teraba / hepatomegali (+)
 Palpasi lien : tidak teraba / splenomegali (-)

10
 Palpasi ginjal : tidak teraba
- Pemeriksaan tambahan :
g) Ekstremitas
- Akral hangat :
+ +
+ +

- Edema :
- -
- -

- Clubbing finger :
- -
- -

- Sianosis :
- -
- -
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan darah lengkap :
Parameter Hasil 7/1/2018 Nilai Normal
WBC 13.84 3.70-10.1[10^3/µL]
RBC 5.18 4.06-4.69 [10^3/µL]
HGB 11.1 12.9-14.2 g/dL
HCT 30.1 37.7-53.7 %
MCV 80.3 81.1-96.0 fL
MCH 27.0 27.0-31.2 pg
MCHC 33.7 31.8-35.4 g/dL
PLT 657 155.-366 [10^3/µL]
MPV 7.18 6.90-10.6 fL

11
Hasil pemeriksaan serum :
Hasil
Parameter Nilai Normal
02/01/2019
SGOT 74.2 0.0-37.0 IU/L
SGPT 45.2 0.0-42.0 IU/L
HbsAg Negatif

Pemeriksaan USG Abdomen tanggal 07/01/2019, didapatkan :


- Pelebaran ductus pancreas e.c tumor distal CBD (common bile duct)
2.5 RESUME
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Nyeri dirasakan
ketika beraktivitas dan bahkan saat makan. Nyeri dirasakan seperti diremas-remas
akan tetapi nyerinya tidak menjalar ke pinggang dan daerah lain. Pasien juga
mengeluhkan badannya menjadi kuning. Pasien juga mengeluhkan mual dan
muntah setelah makan. Demam (+) dan badan terasa lemas. BAB (+) bewarna
seperti dempul, BAK (+) pasien berwarna seperti teh, gatal-gatal pada kulit (+).
Untuk hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :
- Pemeriksaan darah lengkap :
WBC 13.84 [10^3/µL] (↑)
RBC 5.18 [10^3/µL] (↑)
- Pemeriksaan glukosa :
Glukosa : 336 mg/dL (↑)
Glukosa puasa : 232 mg/dL (↑)  237 mg/dL (↑)
- Pemeriksaan serum :
SGOT : 74.2IU/L (↑)
SGPT : 45.2IU/L (↑)
- Pemeriksaan USG abdomen :
Pelebaran IHBD + CHBD dan Pelebaran ductus pancreas e.c tumor distal CBD
(common bile duct)

12
2.6 ASSESSMENT
- Ikterus sups Obstruktif ec Tumor di distal CBD
2.7 RENCANA TERAPI
A. Diagnostik
- CT-Scan abdomen dengan kontras
- Cek Bilirubin direck dan bilirubin total
B. Non-Farmakoterapi
- Perubahan gaya hidup terutama melakukan diet rendah lemak
C. Farmakoterapi
- IVFD NaCL 20 tpm
- Ezfasor 3x1 caps
2.8 PROGNOSIS
Dubia ad bonam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
B. Anatomi
Sistem bilier terdiri dari kandung empedu dan saluran yang berasal dari
hepardan vesica fellea. Fungsi primernya adalah sebagai organ yang
memproduksi,menyimpan empedu dan mengalirkan ke duodenum melalui
saluran-saluranempedu. Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah
alpukat denganukuran ± 5 x 7 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus
umumnya menonjolsedikit keluar tepi hati, di bawah lengkung iga kanan, di tepi
lateral M. rektusabdominis. Sebagian besar korpus menempel dan tertanam di
dalam jaringan hati. Masing-masing sel hati juga terletak dekat dengan beberapa
kanalikulus mengalirke dalam duktus biliaris intralobulus dan duktus-duktus ini
bergabung melaluiduktus biliaris antar lobulus membentuk duktus hepatikus
kanan dan kiri. Diluarhati duktus ini bersatu dan membentuk duktus hepatikus
komunis. Panjang duktushepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm,
sedangkan panjang duktushepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada
letak muara duktus sistikus. Duktus sistikus berjalan keluar dari kandung empedu.
Panjangnya ±30-37mmdengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya mengandung
katup berbentuk spiralHeister, yang memudahkan cairan empedu mengalir masuk
ke dalam kandungempedu tapi menahan aliran keluarnya. Duktus hepatikus
komunis akan bersatudengan duktus sistikus dan membentuk duktus koledokus
yang panjangnnya 7,5 cmdengan diameter 6 mm. Duktus koledokus berjalan di
belakang duodenummenembus pankreas, bergabung dengan duktus pankreatikus
mayor wisungi danbersatu pada bagian medial dinding duodenum desenden
membentuk papila vateri.Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi.
Dinding duktus biliarisekstrahepatik dan kandung empedu mengandung jaringan
fibrosa dan otot polos.Membran mukosa mengandung kelenjat-kelenjar mukosa
dan dilapisi oleh selapissel kolumnar.
C. Fisiologi
Fungsi utama dari sistem bilier adalah sebagai tempat penyimpanan
dansaluran cairan empedu. Empedu di produksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-

14
1500ml/hari. Empedu terdiri dari garam empedu, lesitin dan kolesterol
merupakan4komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin,
asam lemak dangaram anorganik. Di luar waktu makan, empedu disimpan
sementara di dalamkandung empedu dan di sini mengalami pemekatan sekitar
50%. Pengaliran cairanempedu diatur oleh 3 faktor , yaitu sekresi empedu oleh
hati, kontraksi kandungempedu dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan
puasa produksi akandialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan,
kandung empeduberkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam
duodenum. Alirantersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara
intermiten tekanansaluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan sfingter.
Hormon kolesistokinin(CCK) dari selaput lendir usus halus yang disekresi karena
rangsang makananberlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus,
merangsang nervus vagus, sehingga terjadi kontraksi kandung empedu. Demikian
CCK berperan besarterhadap terjadinya kontraksi kandung empedu setelah
makan, Empedu yang dikeluarkan dari kandung empedu akan dialirkan ke duktus
koledokus yang merupakan lanjutan dari duktus sistikus dan duktus hepatikus.
Duktus koledokuskemudian membawa empedu ke bagian atas dari duodenum,
dimana empedu mulaimembantu proses pemecahan lemak di dalam makanan.
Sebagian komponenempedu diserap ulang dalam usus kemudian dieksresikan
kembali oleh hati.
D. Ikterus
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan
lainnya(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin
yangmeningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk
sebagaiakibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel
darahmerah. Ikterus sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari,
denganmelihat sklera mata. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada
skleramata, dan kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5
mg/dl.(34 sampai 43 umol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata
makabilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg/dl (Sudoyo,
2007).

15
D.1. Patofisiologi
Tahapan metabolisme bilirubin dibagi menjadi menjadi 5 fase yaitu fase :
1).Pembentukan bilirubin, 2). Transpor plasma, 3). Liver uptake, 4). Konjugasi,
dan5). Ekskresi bilier (Sudoyo, 2007).
Fase Prahepatik
1. Pembentukan Bilirubin. 70-80% bilirubin berasal dari pemecahan sel
darahmerah yang matang, sisanya 20-30% dari protein hem lainnya yang
beradaterutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem
dipecahmenjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan
enzimhemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah
biliverdinmenjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel
sistemretikuloendotelial (mononuklear fagositosis). Peningkatan hemolisis sel
darahmerah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan
bilirubin(Sudoyo, 2007).
2. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin
takterkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan
tidakdapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air
seni.Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa
bahanseperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan
denganalbumin (Sudoyo, 2007).Fase Intrahepatik.
3. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
secararinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y,
belumjelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan
cepat,namun tidak termasuk pengambilan albumin (Sudoyo, 2007).
4. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati
mengalamikonjugasi dengan asam glukuronik membentuk bilirubin diglukuronida
ataubilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh
enzimmikrosomal glukuronil-transferase menghasilkan bilirubin yang larut
air.Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan
bilirubinmonoglukuronida, dengan bagian asam glukuronik kedua ditambahkan
dalamsaluran empedu melalui sistem enzim yang berbeda, namun reaksi ini

16
tidak6dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukuronid
jugaterbentuk namun kegunaannya tidak jelas (Sudoyo, 2007).
Fase Pascahepatik
5. Ekskresi Bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam
kanalikulusbersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat
mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri
men''dekonjugasi'' danmereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan
mengeluarkannya sebagianbesar ke dalam tinja yang memberi warna cokelat.
Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali dalam jumlah kecil mencapai air seni
sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak
bilirubinun konjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap yang khas
padagangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak
terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya
bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam
plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi
dengangula melalui enzim glukuronil transferase dan larut dalam empedu cair
(Sudoyo,2007).
D.2. Penyakit Gangguan Metabolisme Bilirubin
Penyakit akibat gangguan metabolisme bilirubin dibedakan menjadi dua yakni:
1. Hiperbilirubiemia Tak Terkonjugasi
Hemolisis. Peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis
dapatmelampaui kemampuan hati memetabolisme kelebihan bilirubin (Sudoyo,
2007).
Sindrom Gilbert. Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia
indirek(tak terkonjugasi). Patogenesisnya belum dapat dipastikan. Adanya
gangguan(defek) yang kompleks dalam proses pengambilan bilirubin dari plasma
akibatkeaktifan enzim glukuroniltransferase rendah. Bilirubin indirek berfluktuasi
antara2-5 mg/dL (34-86 umol/L) yang cenderung naik dengan berpuasa dan
keadaanstres lainnya. Sindrom Gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan
hepatitis7dengan tes faal hati yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin,
dan fraksibilirubin indirek yang dominan (Sudoyo, 2007).

17
Sindrom Crigler-Najjar. Penyakit ini disebabkan keadaan kekurangan
glukuronil transferase, dan terdapat dalam 2 bentuk. Autosom resesif tipe 1
(lengkap=komplit) mempunyai hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya
meninggal pada umur 1 tahun. Autosom resesif tipe II (sebagian=parsial)
mempunyai hiperbilirubinemia yang kurang berat (< 20 mg/dL, < 342 umol/L)
danbiasanya bisa hidup sampai masa dewasa tanpa kerusakan neurologic
(Sudoyo,2007).
2. Hiperbilirubiemia Konjugasi
Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-kolestasis
Sindrom Dubin-Johnson. Penyakit autosom resesif ditandai dengan
ikterusyang ringan dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar terjadinya gangguan
ekskresiberbagai anion organik seperti juga bilirubin, namun ekskresi garam
empedu tidak terganggu. Hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin
konjugasi dan empeduterdapat dalam urin. Hati mengandung pigmen, namun
gambaran histologi normal. Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai
aminotransferase dan fosfatasealkali normal (Sudoyo, 2007).
Sindrom Rotor. Penyakit yang jarang ini menyerupai sindrom Dubin-
Johnson, tetapi hati tidak mengalami pigmentasi dan perbedaan metabolik lain
yang nyata ditemukan (Sudoyo, 2007).
Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis
1. Kolestasis intrahepatik
2. kolestasis ekstrahepatik (sumbatan pada duktus bilier, di mana
terjadihambatan masuknya bilirubin ke dalam usus).
Kolestasis Intrahepatik. Istilah kolestasis lebih disukai untuk
pengertianikterus obstruktif sebab obstruksi yang bersifat mekanis tidak perlu
selalu ada. Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel
hati8(kanalikulus), sampai ampula Vater. Untuk kepentingan klinis, membedakan
penyebab sumbatan intrahepatik atau ekstrahepatik sangat penting. Penyebab
paling sering kolestatik intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit
hati karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering

18
adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik
dan penyakit- penyakit lain yang jarang (Sudoyo, 2007).
Virus hepatitis, alkohol, keracunan obat (drug induced hepatitis), dan
kelainan autoimun merupakan penyebab yang tersering. Peradangan intrahepatik
mengganggu transport bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus (Sudoyo,
2007).
Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan
sekresinya, dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus
rnenerus bisa menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan
berbagai tingkat ikterus. Perlemakan hati merupakan penemuan yang sering,
biasanya dengan manifestasi yang ringan tanpa ikterus, tetapi kadang-kadang bisa
menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alkohol biasanya memberi gejala ikterus
sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada
nekrosis sel hati ditandai dengan peningkatan transaminase yang tinggi (Sudoyo,
2007).
Kolangitis sklerosis primer (Primary sclerosing Cholangitis/ PSG)
merupakan penyakit kolestatik lain, lebih sering dijumpai pada laki-laki, dan
sekitar 70% menderita penyakit peradangan usus. PSG bisa menjurus ke
kolangiokarsinoma. Banyak obat mempunyai efek dalam kejadian ikterus
kolestatik, seperti asetaminofen, penisilin, obat kontrasepsi oral, klorpromazin
(Torazin) dan steroid estrogenik atau anabolik (Sudoyo, 2007).
Kolestasis Ekstrahepatik. Penyebab paling sering pada kolestasis
ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab
lainnya yang relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada
duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, Pankreatitis atau pseudocyst
pankreas dan kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi
empedu. 9 Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis
empedu (Sudoyo, 2007).
Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang
terpenting bilirubin, garam empedu dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan
kegagalannya untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin

19
menghasilkan campuran hiperbilirubiemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi
masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa
mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi
selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun
sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga patogenesis gatal masih belum
bisa diketahui dengan pasti (Sudoyo, 2007).
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K,
gangguan ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan
hiprotrombinemia. Pada kolestasis yang berlangsung lama (primary biliary
cirrhosis), gangguan penyerapan Ca dan vitamin D dan vitamin lain yang larut
lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia.
Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis
kolesterol di hati dan esterifikasi yang berkurang dalam darah turut berperan;
Konsentrasi trigliserida tidak terpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai
lipoprotein densitas rendah yang unik dan abnormal yang disebut sebagai
lipoprotein X (Sudoyo, 2007).
Manifestasi Klinis Kolestasis Intrahepatik dan Ekstrahepatik
Gejala awal terjadinya perubahan warna urin yang menjadi lebih kuning,
gelap, tinja pucat, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh adalah tanda klinis
adanya kolestasis. Kolestasis kronik bisa menimbulkan pigmentasi kulit
kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, perdarahan diatesis, sakit tulang, dan
endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran seperti di atas tidak
tergantung penyebabnya. Keluhan sakit perut, gejala sistemik (seperti, anoreksia,
muntah, demam atau tambahan tanda gejala mencerminkan penyebab penyakit
dasarnya daripada kolestasisnya dan karenanya dapat memberi petunjuk
etiologinya (Sudoyo, 2007).
E. Definisi Kolangiokarsinoma
Kolangiokarsinoma adalah suatu tumor ganas dari epitelium duktus biliaris
intrahepatik atau ekstrahepatik. Tumor keras dan berwarna putih, dan sel-sel
tumor mirip dengan epitel saluran empedu. Lebih dari 90% kasus merupakan
adenokarsinoma dan sisanya adalah tumor sel squamosa. Sekitar 2/3

20
kolangiokarsinoma berlokasi di regio perihilar, dan 1/4 lainnya berlokasi di
duktus ektrahepatik dan sisanya berlokasi di duktus intrahepatik (Dahnert, 2007;
Boris 2008).
F. Etiologi
Faktor predisposisi kanker saluran empedu ,meliputi : (Darwin, 2014)
 Primary Sclerosing Cholangitis ( PSC)
Primary Sclerosing Cholangitis dengan atau tanpa kolitis ulseratif
merupakan faktor predisposisi utama terjadinya kolangiokarsinoma (5 35%).
Mayoritas pasien dengan PSC yang menderita kolangiokarsinoma mengalami
ulserasi radang usus besar. Timbulnya kolangiokarsinoma pada pasien dengan
kolitis ulseratif dan PSC meningkat jika mereka menderita keganasan kolorektal.
• Riwayat keluarga sejak lahir fibrocysts
• Hepar sejak lahir fibrosis
• Dilatasi Cystic (dengan kata lain, Caroli penyakit)
• Hati Polycystic
• Von Meyenburg kompleks
• Infestasi parasite Clonorchis sinensis
• Batu empedu dan hepatolithiasis
• Material beracun
− Torium Dioksida ( thorotrast)
− Radionuklida
− Segala penyebab kanker (misalnya, arsenik/warangan, digoxin, nitrosamines,
polychlorinated biphenyls)
• Obat/Racun
− Kontrasepsi oral -Methyldopa
− Isoniazid
− Penyakit tipus kronis carier mempunyai insiden kanker hepatobiliary lebih besar,
termasuk cholangiocarcinoma. Kanker Saluran empedu juga terkait dengan biliary
cirrhosis

21
G. Insiden dan Epidemiologi
Angka kejadian pria : wanita 5:1. Setiap tahun di AS tercatat 2500 kasus
penyakit kolangiokarsinoma, 5000 kasus untuk kanker kandung empedu dan
15000 kasus untuk kanker hepatoseluler. Prevalensi tertinggi terdapat di kalangan
orang Asia yang diakibatkan oleh infeksi parasit kronik endemic (Zieve, 2014).
H. Klasifikasi Anatomi
Kolangiokarsinoma diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis menjadi
intrahepatik dan ekstrahepatik. Kolangiokarsinoma tipe ekstrahepatik yang
melibatkan pertemuan duktus hepatikus kanan dan kiri berkisar antara 80%
hingga 90% dan yang melibatkan duktus intrahepatikus meliputi 5%-10%. 12
Kolangiokarsinoma ektrahepatik dapat dibagi berdasarkan klasifikasi Bismuth
menjadi menjadi tipe I-IV.
Tipe I : meliputi duktus hepatikus komunis, dibawah pertemuan duktus hepatikus
kiri dan kanan
Tipe II : mencapai pertemuan duktus hepatikus kiri dan kanan
Tipe III : menyumbat duktus hepatikus komunis juga salah satu duktus hepatikus
kanan (IIIa) atau kiri (IIIb)
Tipe IV : multisentrik atau melibatkan duktus hepatikus bilateral
Kolangiokarsinoma ekstrahepatik berbentuk sklerotik, modular dan
papilaris yang sering disertai dengan adanya infiltrasi tipe periduktal dan
sklerosis. Tumor ini memiliki ciri khas dengan adanya penebalan anular pada
duktus biliaris akibat adanya infiltrasi dan fibrosis jaringan periduktal.
Kolangiokarsinoma intrahepatik diklasifikasikan menjadi membentuk
massa (mass forming), infiltrasi periduktal, dan pembentukan massa disertai
dengan infiltrasi periduktal dan intraduktal. Klasifikasi ini berhubungan dengan
prognosis penyakit.
Secara histopatologi adenokarsinoma tipe (90%). Tipe histologi lainnya
meliputi adenokarsinoma papilaris, adenokarsinoma tipe intestinal, Lear All 13
adenocarcinoma, signet-ring cell carcinoma, squamous cell carcinoma, dan obat
cell carcinoma.

22
I. Tanda dan Gejala Klinis
Gejala utama kolangiokarsinoma ekstrahepatik adalah obstruksi bilier
yang menyebabkan terjadinya ikterus tanpa rasa nyeri. Kolangiokarsinoma
intrahepatik paling sering muncul sebagai massa intrahepatik yang menyebabkan
nyeri pada kuadran kanan atas dan gejala yang berkaitan dengan tumor seperti
kakeksia dan malaise. Gejala kolangitis jarang terjadi jika tidak dilakuka tindakan
instrumental sebelumnya (Boris, 2008; Khan 2012).
Feces berwarna kuning dempul, urin berwarna gelap, pruritus, rasa sakit
pada perut kuadran kanan atas (abdomen) dengan rasa sakit yang menjalar ke
punggung, Penurunan berat badan (Darwin, 2014).
J. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan kadar
bilirubin, alkaline fosfatase dan glutamiltransferase (GGT). Anemia lebih berat
dibandingkan dengan karsinoma ampula, hitung leukosit normal tinggi dengan
peningkatan pada granulosit. Feses pucat dan berlemak. Tidak dijumpai
glukosuria (Dooley, 2011).
Konsentrasi serum tumor marker CA19-9 seringkali meningkat pada
pasien dengan keganasan dukktus biliaris. Kadar yang ekstrim tinggi juga
dilaporkan pada tumor jinak pada traktus biliaris. Sensitivitas tumor marker
CA19-9 untuk mendeteksi kolangiokarsinoma pada pasien PSC adalah sebesar
50-60% (Dooley, 2011).
Ultrasonografi, adalah pemeriksaan pertama yang dilakukan jika
mencurigai pasien dengan obstruksi bilier. Dengan pemeriksaan ini kita dapat
mengekslusikan adanya batu empedu. Kolangiokarsinoma intrahepatik ditandai
dengan massa intrahepatik yang tidak spesifik (hiperekoid). Kolangiokarsinoma
ekstrahepatik ditandai dengan adanya dilatasi pada duktus biliaris intrahepatik
diikuti dengan perubahan kaliber duktus mendadak pada bagian distal. Jarang
ditemukan adanya massa tumor (Boberg, 2004; Boris, 2008).
CT-Scan. Langkah pemeriksaan radiologi yang berikutnya untuk
mendiagnosis kolangiokarsinoma adalah dengan pemeriksaan CT-Scan atau MRI.
CT-Scan dengan kontras dapat memperlihatkan lesi massa intrahepatik, duktus

23
intrahepatikus yang berdilatasi, limfadenopati yang terlokalisasi dan metastasis
ekstrahepatik (Boberg, 2004; Khan, 2012).
Pada tumor intrahepatik tampak lesi hypoattenuating dikelilingi dengan
massa dengan tepi yang ireguler dan dilatasi duktus biliaris intrahepatik dengan
segmen dan derajat yang bervariasi. Keterlambatan waktu enhancement bahan
kontras ke dalam lesi mengindikasikan adanya kolangiokarsinoma. Perihilar
kolangio karsinoma biasanya tampak sebagai massa pada hilum hepar dengan
dilatasi pada duktus biliaris. Tumor ekstrahepatik distal menyebabkan dilatasi
pada duktus biliaris ekstra maupun intrahepatik dan distensi dari kandung empedu
(Boberg, 2004).
ERCP adalah suatu cara pemeriksaan invasif yang hanya dilakukan
apabila ada indikasi positif yang kuat. Biasanya merupakan langkah terakhir dari
suatu seri pemeriksaan dan dipakai untuk deteksi atau diferensiasi suatu
penyakit saluran empedu atau pankreas. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
visualisasi dengan bahan kontras secara retrograde dan mengetahui langsung
saluran empedu eferen dan duktus pankreatikus dengan memakau suatu
duodenoskop yang mempunyai padangan samping.
Duodenoskop dimasukan peroral, oleh karena itu kemungkinan adanya
divertikel dan stenosis harus dipertimbangkan kembali berdasarkan tanda-tanda
klinis. Duodenoskop ini dimasukkan sampai ke duktus biliaris lalu disemprotkan
kontras (Conray-60 atau Urografin 60%) dengan pengawasan fluoroskopi lalu
dilakukan pengambilan foto X-ray. Dapat terlihat massa tumor intraduktal yang
eksofitik (46%) dengan diameter 2-5mm. Sering didapatkan striktur fokal
konsentrik yang panjang atau terkadang pendek pada tipe kolangitis sklerotik
infiltratif dengan yang irreguler. Dilatasi prestenotik difus/fokal dari system bilier.
Striktur pada duktus yang progresif. Selain itu, ERCP dapat juga digunakan untuk
mendapatkan bahan kepentingan pemeriksaan histology antara lain sitologi
hapusan, biopsy , aspirasi dengan jarum.
Pada biopsi hati ditemukan duktus yang besar akibat obstruksi. Tetapi
biopsi hati dapat menyebabkan komplikasi hati yang serius seperti peritonitis
biliar dan hanya dilakukan jika diagnosis meragukan (Dooley, 2011).

24
Sitologi dilakukan saat melakukan tindakan ERCP atau drainase
perkutaneus. Perkutaneus biopsi dikontraindikasikan pada tumor yang resektabel
karena dapat menyebabkan penyebaran tumor akibat lesi jarum. Biopsi jaringan
diperlukan pada pasien yang unresektabel atau tumor yang telah bermetastasis
guna terapi paliatif. Pendekatan dapat dilakukan dengan sitologi aspirasi fine-
needle pada tersangka 17 tumor yang dipandu dengan fluoroscopi, USG, atau
kolangioskopi dengan biopsi endobilaris (Dooley, 2011).
K. Penatalaksanaan
Operasi reseksi adalah terapi utama untuk kolangiokarsinoma. Kolangio
karsinoma distal direseksi dengan pankreaduodenektomi, dengan kemungkinan
hidup 5 tahun sekitar 30%. Pada pasien dengan penyebaran tumor sepanjang
duktus biliaris komunis, dapat dilakukan reseksi hati dan pankreaduodenektomi.
Karsinoma middle duktus biliaris dilakukan reseksi dengan eksisi pohon bliaris
dan limfadenektomi hilar (Khan, 2012).
Tumor tipe hilar (Klatskin) direseksi dengan hepatektomi kanan atau kiri
diperluas tergantung duktus hepatikus yang terlibat. Pohon biliaris dieksisi dan
duktus biliaris bagian proksimalnya di drainase ke dalam Roux-en-Y loop di usus
halus. Limfadenektomi hilar radikal dilakukan karena adanya kemungkinan
diseminasi limfatik. Pada tumor klatskin, biasa dilakukan lobektomi kaudate
karena 1 segmen duktus akan bergabung dengan duktus hepatikus lainnya dan
sangat mungkin telah terinfiltrasi oleh tumor. Angka harapan hidup setelah reseksi
agresif kolangikarsinoma adalah 18-40 bulan. Reseksi lokal dapat dilakukan pada
tumor Bismuth tipe I atau II dengan mortalitas perioperatif yang rendah (Dooley,
2011).
Teknik operasi dengan bilateral hepatojejunostomi dengan Roux-en-Y
Transplantasi hati Pada umumnya kolangiokarsinoma dikontraindikasikan untuk
transplantasi 18 hati. Kolangiokarsinoma yang unresektabel memiliki rekurensi
yang tinggi. Pada kolangiokarsinoma unresektabel stadium awal, kombinasi
transplantasi hati dengan kemoradiasi perioperatif dapat memperpanjang harapan
hidup (Khan, 2012).

25
Operasi Paliatif Operasi ini meliputi anastomosis jejunum dengan segmen
III duktus pada globus kiri yang biasanya dicapai di atas tumor hilar. Jaundice
menghilang kira-kira 3 bulan pada 75% pasien. Jika bypass segmen III tidak
mungkin dicapai (akibat metastasis atau atrofi), maka dapat dilakukan operasi
anastomosis duktus hepatikus sisi kanan dapat dilakukan pada segmen V. Operasi
paliatif jarang sekali diindikasikan pada pusat-pusat kesehatan dengan fasilitas
ERCP dan intervensi biliaris perkutaneus (Dooley, 2011).
Terapi Paliatif non Operasi Pada pasien-pasien dengan tumor yang
inresektabel, ikterus dan gatal dapat diobati dengan menempatkan endoprostesis
melintasi striktur baik menggunakan rute endoskopi atau dengan rute perkutaneus.
Dengan rute endoskopi, dapat diinsersikan stent dengan keberhasilan 90%.
Komplikasi awal yang utama adalah kolangitis (7%). Mortalitas dalam 30 hari
antara 10-28% tergantung dari meluasnya tumor ke hilum. Insersi endoprotesis
perkutaneus transhepatik juga efektif tetapi memiliki resiko komplikasi yang
tinggi seperti perdarahan dan kebocoran empedu. Endoprostesis metal mes dengan
perluasan diameter 10 mm di dalam striktur setelah insersi kateter dengan ukuran
5-7 French lebih mahal dibandingkan dengan tipe plastik tetapi memiliki kekuatan
yang lebih lama (Dooley, 2011).
Belum ada penelitian yang membandingkan antara terapi operasi paliatif
dengan terapi paliatif non operasi. Umumnya teknik nonoperatif diterapkan pada
pasien yang memiliki resiko tinggi dengan harapan hidup yang pendek (Dooley,
2011).
Tidak ada bukti yang mendukung keberhasilan kemoterapi atau radioterapi
pada pasien yang telah mengalami metastasis. Peran radioterapi eksternal atau
kombinasi radioterapi dengan drainase bilier tidak terbukti. Obat sitotoksik seperti
gemcytabin sediri atau dikombinasikan dengan cysplatin juga tidak efektif
(Dooley, 2011).
Terapi fotodinamik intraduktal dikombinasikan dengan pemasangan stent
pada pasien kolangikarsinoma menunjukkan manfaat. Tatalaksana ini mahal
namun menawarkan paliasi yang baik. Terapi ini masih dalam penelitian (Dooley,
2011).

26
L. Prognosis
Prognosis bergantung pada lokasi dan stadium serta tata laksana tumor.
Kolangiokarsinima distal lebih resektabel dibandingkan di bagian hilum.
Karsinoma poliploid memiliki prognosis yang baik. Jika tidak direseksi maka
harapan hidup 1 tahun pasien dengan kolangiokarsinoma hanya 50%, dengan 20%
bertahan hidup selama 2 tahun dan 10% bertahan selama 3 tahun (Dooley, 2011)

27
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Nyeri dirasakan
ketika beraktivitas dan bahkan saat makan. Nyeri dirasakan seperti diremas-remas
akan tetapi nyerinya tidak menjalar ke pinggang dan daerah lain. Pasien juga
mengeluhkan badannya menjadi kuning. Pasien juga mengeluhkan mual dan
muntah setelah makan. Demam (+) dan badan terasa lemas. BAB (+) bewarna
seperti dempul, BAK (+) pasien berwarna seperti teh, gatal-gatal pada kulit (+).
Dari keluhan tersebut, nyeri yang dirasakan pasien berada di hipokondrium kanan
dimana terdapat organ kandung empedu, hepar dan pankreas. Nyerinya dirasakan
diremas-remas dapat dikatakan sebagai nyeri kolik, dimana nyeri tersebut terjadi
karena distensi kandung empedu akibat obstruksi akut karena batu atau tumor.
Keluhan tersebut juga memicu terjadinya peradangan sehingga mediator inflamasi
dilepaskan menyebabkan terjadinya demam, mual, dan muntah.
Hasil pemeriksaan fisik mata tampak sklera ikterik (+) dan kulit berwarna
kuning. Palpasi didapatkan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Ikterik yang
terlihat pada sklera mata dan kulit pasien disebabkan karena obstruksi saluran
empedu akibat adanya batu yang menyumbat sehingga menghambat ekskresi
bilirubin dan menyebabkan bilirubin terserap dalam darah lalu mengendap pada
jaringan elastik yang pada fase awal ditemukan pada mata. Pemeriksaan fisik
murphy’s sign juga didapatkan hasil positif yang sesuai dengan keluhan nyeri
pada hipokondrium kanan akibat dari penyumbatan duktus koledokus.
Hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan leukositosis dan
peningkatan sel darah merah. Pemeriksaan serum didapatkan peningkatan SGOT
dan SGPT. Peningkatan leukosit menandakan adanya inflamasi yang dapat
disebabkan karena adanya batu atau tumor di kandung empedu yang mengiritasi
dinding kandung empedu. Hal ini juga dapat menyebabkan peningkatan bilirubin
direct karena adanya obstruksi di duktus koledokus oleh batu. Peningkatan SGOT
dan SGPT menandakan adanya gangguan pada hepar.
Hasil pemeriksaan USG abdomen didapatkan Hepatomegali disertai
pelebaran IHBD dan EHBD, tumor di distal CBD (common bile duct). USG

28
abdomen merupakan salah satu pemeriksaan penunjang penting untuk melihat
kelainan pada organ-organ yang berada di abdomen dan membantu dalam
menegakkan diagnosis. Hasil USG abdomen didapatkan pelebaran saluran
empedu intrahepatik dan ekstrahepatik, dimana pelebaran dinding kandung
empedu dan ditemukan adanya tumor menandakan adanya inflamasi pada dinding
kandung empedu yang mengarahkan diagnosis pada kolangiosarkoma.
Dari hasil pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang tersebut telah sesuai dengan teori yang ada. Pasien di diagnosis dengan
ikterus obstruktif ec tumor di distal CBD karena didapatkan adanya demam, nyeri
kolik, nyeri perut setelah makan, murphy’s sign (+) dan ditemukan adanya tumor
serta penebalan dinding koledokus pada pemeriksaan USG abdomen.

29
BAB V
KESIMPULAN
Dilaporkan pasien perempuan berusia 51 tahun dengan diagnosis tumor di
distal CBD. Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan pasien, yaitu nyeri perut
kanan atas yang dirasakan seperti diremas-remas, mata ikterik, dan kulit berwarna
kuning. Hal ini didukung oleh pemeriksaan fisik, yaitu berdasarkan pemeriksaan
abdomen didapatkan nyeri tekan dan teraba keras pada perut kanan atas, perkusi
redup pada kanan atas. Diagnosis didukung juga berdasarkan hasil pemeriksaan
penunjang, yaitu pemeriksaan laboratorium pada enzim hepar terdapat
peningkatan SGOT dan SGPT, untuk pemeriksaan USG abdomen didapat
Pelebaran IHBD + CHBD dan Pelebaran ductus pancreas e.c tumor distal CBD
(common bile duct).

30
DAFTAR PUSTAKA
Boberg, K. M., dan Erik S., 2004, Diagnosis and Treatment of Cholangiocarcinoma,
Current Gastroenterology Report, Oslo : Current Science Inc.
Dahnert, W., 2007, Radiology Review Manual : Cholangiocarcinoma, Third edition,
USA : Lippincott’s Williams and Wilkins
Darwin, 2014, Medscape: Cholangiocarcinoma, diunduh pada tanggal 20 Juli 2014:
http://www.emedicine.com/med/topic 343.htm: cholangiocarcinoma
Dooley, J. S., et al., 2011, Sherlock’s Disease of Liver and Biliary System, Twelfth
Edition, UK : Blackwell Publishing.
Khan, S. H., et al., 2012, Guidelines for The Diagnosis and Treatment of
Cholangiocarcinoma: An Update, London.
Sudoyo, A. W., et al., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FKUI
Zieve, et al., 2013, Gallblader Disease, diunduh pada tanggal 20 Juli 2014 :
http://www.health.alreferer.com/health/cholangiocarcinoma.htm

31

Anda mungkin juga menyukai