Disusun
Oleh
Nama: Neni Yulia Yahya
Nim: D1A 016219
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2019
KATA PENGANTAR
Sejak era perjuangan kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mengikatkan diri kepada
demokrasi sebagai alternatif bagi bentuk dan pemerintahan otoritarianisme. Di awal revolusi
kemerdekaan, tekad itu dituangkan ke dalam konstitusi sebagai blue print negara Indonesia
merdeka. Di dalam konstitusi alternatif yang ditetapkan di pertengahan dan akhir revolusi pun
komitmen demokrasi itupun dipertahankan. Begitu pula didalam konstitusi yang gagal ditetapkan
oleh Dewan Konstituante hasil pemilu 1955. Dan bahkan di dalam konstitusi yang diamandemen
di era reformasi inipun demokrasi dirumuskan secara lebih rinci.
Runtuhnya rezim militer Soeharto tidaklah dengan sendirinya membuka jalan bagi
demokratisasi dan dinikmatinya kebebasan setiap orang tanpa diganggu atau dipatahkan. Kendati
beberapa tahun lalu tersedia ruang yang lebih besar bagi kebebasan berpendapat, berkumpul dan
berserikat yang disusul dengan terbukanya kebebasan pers, pembebasan tahanan politik serta
pemilihan umum yang demokratis, tetapi beberapa kebebasan inilah barulah syarat perlu belum
menjadi syarat yang cukup bagi kemajuan dan perlindungan hak-hak manusia yang menyeluruh.
Tidak ada jaminan bahwa kebebasan itu dilindungi dengan penuh dan otoriterisme negara tak
akan kembali.
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ........................................................................................ 17
B. Saran .................................................................................................. 18
Daftar Pustaka ........................................................................................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelusuran historis dan pentakrifan (pemberitahuan) paham HAM itu harus
dimulai dengan memfokuskan penelahan terhadap suatu periodesasi awal sejarah
perkembangan HAM itu sendiri. Kajian ini berguna untuk membantu kita agar
memverifikasi, dan mentataurutkan keseluruhan silsilahnya, guna mempermudah
pentransmisiannya agar tidak mengalami penceceran dalam proses pengejewantahnya, dari
satu konteks pemahaman periodik ke sistematika pemahaman komperhensif yang utuh
tentang pengakuan HAM sebagai ideology universal (total) bukanya yang particular. Ide ini
merupakan parameter untuk mengukur derajat perkembangannya pemahaman dan
pemenuhan HAM itu bersesuaian dengan dimensi perubahan zaman. Ini salah stau fakta
mendasar dalam kehidupan manusia dan harus di kaji, dan dipertahankan terus-menerus
dalam pikiran kita.
Dalam paham HAM bahwa hak itu tidak dapat dihapus atau dinyatakan hilang dan
tidak belaku oleh negara. Negara dapat saja mengakui hak asasi itu, sehingga hak asasi itu
tidak dapat dituntut di depan hakim. Dalam perkembangannya, paham ini menyatu dengan
satu tesis filosofis john locke dalam toleransi religius, yang berp0edoman bahwa semua
manusia diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah (natural right) yang tidak dapat
dipisahkan, diantaranya adalah hakatas hidup, hak kemerdekaan dan milik, dan juga untuk
mengusahakan kabahagiaan. Hahk-hak ini tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia
sebagai manusia dalam kehidupannya. Tetapi, dan justru itulah, yang menentukan bahwa
hak-hak tetapa dimiliki dan melekat dalam diri manusia. Suatu negara yang tidak mengakui
hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, menunjukkan bahwa martabat manusia
belum diakui secara sepenuhnya dalam negara itu. Inilah prinsip dasar pemahaman akan hak
asasi manusia. Melalui hak asasi itu, tuntutan moral yang prapositif dapat direalisasikan
dalam hukup positif. Melihat silsilah dokumen politik HAM ini, dapatlah digambarkan
bahwa teks-teks ini bukanlah hanyadikodifikasikan pertama kali di inggris, bahkan juga
dikodifikasi juga pada deklarasi Amerika (1776-1789) dan deklarasi Prancis (1789), dengan
secara tegas mengumandangkan suatu konsepsi khusus tentang manusia dan masyarakat. Dan
ini dijadikan pedoman bagi setiap pernyataan tentang pengagungan hak alamiah manusia itu.
Bagi deklarasi-deklarasi ini, “manusia” dapat dikatakan manusia bila ia telah memenuhi
kriteria pokok terhadap pengakuan hak-hak yang dimilikinya. Keutuhan hak-hak alamiah itu
melekat dalam diri manusia sebagai sati kesatuan yang utuh dalam eksistensi dan
kemartabatannya, sehingga ia tidak bisa diganggu oleh siapapun juga. Adapun hak-hak itu
meliputi, hak asas kemerdekaan, kebebasan, menikmati hak miliknya tanpa diganggu, itu
ditindas oleh suatu pemerintahan yang tiran dan mampu menyatakan pendapat dengan
bebas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mencobamengkerucutkan permasalahan
yang ada dalam suatu rangkaian rumusan masalah, sebagai berikut :
PEMBAHASAN
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pidana mati merupakan jenis pidana yang dijatuhkan oleh pemerintahan suatu
Negara (kerajaan) yang dianggap merupakan pidana terberat dan tertua dilihat dari
sejarahnya. Dalam perkembangannya pidana mati ini sering diselewengkan oleh penguasa
yang ada sebagai suatu senjata yang ampuh dalam menyingkirkan lawan-lawan politiknya
dan juga sebagai sarana yang paling sering digunakan untuk mempertegas kedudukannya
sebagai penguasa dihadapan masyarakat luas.
Dalam bentuknya pidana mati ini juga merupakan suatu jenis pidana yang paling
banyak memiliki variasi dalam pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, di salibkan,
ditenggelamkan, di adu hingga mati dengan binatang buas dalam suatu gelanggang arena,
digergaji, ditarik oleh 4 kuda hingga mati terpotong-potong, bahkan pada sekitar abad ke 4
sampai dengan cara digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai
penerangan jalan. Semua bentuk-bentuk tersebut dilaksanakan dengan alasan dan tujuannya
masing-masing tetapi dengan hasil akhir yang sama yakni matinya seseorang. Berbagai
bentuk tidak manusiawi dan penerapan akhir yang seringkali dianggap merupakan
kesewenangan penguasa inilah yang membawa pro-kontra terhadap pidana mati ini terus
berlangsung hingga kini.
Sebagian berpendapat agar pidana mati tersebut harus segera dihapuskan, tetapi
sebagian orang lainnya menyatakan bahwa pidana mati ini masih merupakan suatu jenis
pidana yang dibutuhkan hingga saat ini.
Dibutuhkan hikmat serta pemikiran yang dalam dan objektif dalam mengkaji
mengenai masih diatur dan dilaksanakannya pidana mati tersebut dalam kehidupan
bernegara. Dan jika pelaksanaan pidana mati tersebut masih tetap harus dipertahankan, maka
harus juga dipikirkan dalam-dalam bagaimana pelaksanaan pidana mati itu dilakukan
sehingga dilakukan dengan cara yang paling tepat, manusiawi, meringankan si terdakwa dan
tidak berdampak negatif/buruk terhadap pandangan masyarakat luas.
B. Saran
Menurut penulis, bukanlah antara pro kotra tentang hukuman mati yang harus
diperdebatkan, tetapi yang harus dilakukan adalah penegakan Pasal 7 dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang menjamin atas hak atas perlindungan hukum yang sama
tanpa diskriminasi di depan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Gaffar Afan, Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992.
Harahap Krisna, pasang Surut Kemerdekaan Pers di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001.
Moerdiono, M Soemantri Sri, dkk, Politik Pengembangan Hukum Nasional, UII Press,
Yogyakarta, 1992.
Naning Mardiniah, dkk, Memperkuat Posisi Politik Rakyat, Cesda-LP3ES, Jakarta, 2004.
Tanuredjo, Budiman, Pasung Kebebasan, Menelisik kelahiran UU Unjuk Ras, Elsam, Jakarta,
1999.