Anda di halaman 1dari 20

Nama : Putri Ramadhani Anggitasari

NIM : 103112350750007
Matkul : Studi Lingkungan Hidup Global
Dosen : Doddy W. Syahbudin

Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

Bumi adalah tempat tumbuh dan berkembang berbagai spesies makhluk hidup termasuk
manusia didalamnya. Alam dan makhluk hidup secara natural membentuk keseimbangan, sinergi,
homeostatis, rantai makanan, dan daur hidup. Segala sesuatunya berhubungan di alam dan saling
melengkapi satu sama lain. Namun, manusia kadang lalai bahwa bumi ini tidak dihuni sendiri oleh
mereka, banyak spesies, flora dan fauna yang semuanya berbagi ruang kehidupan dengan
manusia.1

Pemanasan global ditandai dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (Green
House Gases). Gas rumah kaca adalah gas-gas yang terdapat di atmosfer yang menyebabkan efek
rumah kaca. Efek rumah kaca pertama sekali ditemukan oleh Jean Baptiste Joseph Fourier, seorang
matematikawan dan fisikawan Perancis pada tahun 1824.2

Istilah efek rumah kaca awalnya diambil dari cara menanam yang digunakan petani di
daerah/negara yang memiliki empat musim. Petani tersebut menanam sayuran di dalam rumah
kaca untuk menjaga suhu ruangan agar tetap hangat. Sinar matahari yang masuk dipantulkan oleh
benda-benda permukaan dalam rumah kaca tersebut, saat dipantulkan, sinar tersebut berubah
menjadi energi panas berupa sinar inframerah, selanjutnya energi panas tersebut terperangkap
dalam rumah kaca dan tidak bercampur dengan udara di luar yang dingin. Maka suhu dalam rumah
kaca akan lebih tinggi daripada suhu di luar rumah kaca.3

1
Kuncoro Sejati, Global Warming, Food, and Water Problems, Solutions, and The Changes of World Geopolitical
Constellation (Pemanasan global, Pangan, dan Air Masalah, Solusi, dan Perubahan Konstelasi Geopolitik Dunia),
Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2011. Hal 7.
2
“Jean Baptiste Joseph Fourier”, http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Baptiste_Joseph_Fourier
3
Abdul Razak, “Kajian Yuridis Carbon Trade dalam Penyelesaian Efek Rumah Kaca”, Makalah Etika dan
Kebijakan Perundangan Lingkungan, Yogyakarta, Universitas Gajah Mada, 2008. Hal 7-8.
Sama halnya dengan atmosfer bumi, fungsinya sama dengan rumah kaca yang digunakan
oleh petani dalam becocok tanam. Menurut Protokol Kyoto, Gas-gas rumah kaca tersebut terdiri
dari : Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide (N2O), Sulphur Hexafluoride (SF6),
Hydro Fluoro Carbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC).

Gas rumah kaca sebenarnya sangat dibutuhkan oleh semua makhluk di bumi, karena tanpa
gas rumah kaca maka bumi akan menjadi sangat dingin. Suhu rata-rata bumi adalah 15° Celcius,
bumi sebenarnya telah lebih panas 33° Celcius dari suhunya semula. Jika tidak ada gas rumah
kaca, suhu bumi hanya -18° Celcius sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi.

Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami, tetapi dapat juga timbul karena aktivitas
manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat
penguapan air dari laut, danau, dan sungai. Karbon dioksida (CO2) yang timbul dari berbagai
proses alam seperti letusan vulkanik, pernapasan hewan dan manusia (yang menghurup oksigen
(O2) dan melepaskan karbon dioksida (CO2)), juga pembakaran material organik. Karbon dioksida
dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap oleh tanaman untuk proses
fotosintesis.4

Matahari merupakan sumber energi bagi bumi. Sebagian besar energi tersebut adalah
radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba di permukaan bumi,
energi ini akan berubah dari energi cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi.

Permukaan bumi menyerap sebagian panas dan memantulkan sisanya ke luar angkasa.
Sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan dipantulkan kembali dari
permukaan bumi ke angkasa. Sinar tampak adalah gelombang pendek, setelah dipantulkan kembali
berubah menjadi gelombang panjang yang berupa energi panas (sinar inframerah), yang kita
rasakan. Namun sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus kembali atau lolos
keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya (komposisinya
berlebihan). Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas ke angkasa (stratosfer) menjadi
terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer) atau adanya energi panas tambahan kembali lagi
ke bumi dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah efek
rumah kaca berlebihan karena komposisi lapisan gas rumah kaca di atmosfer terganggu, akibatnya

4
Abdul Razak, Op. Cit, hal. 11.
memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah pemanasan global. Karena
suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah
perubahan iklim secara global.5

Sumbangan gas rumah kaca juga diberikan oleh aktivitas internal bumi, juga aktivitas
manusia. Aktivitas internal bumi ternyata menimbulkan dampak terhadap bumi itu sendiri. Contoh
proses vulkanik gunung berapi yang menyebabkan pemanasan global adalah letusan Gunung
Krakatau yang terletak di Selat Sunda yang terjadi pada 26-28 Agustus 1883. Letusan Gunung
Krakatau sangat dahsyat. Gunung Krakatau yang pada mulanya merupakan pulau vulkanis yakni
Pulau Krakatau, pada tahun 1883 Pulau Krakatau terangkat ke atas menjadi bagian-bagian yang
lebih kecil, batu, pasir, dan debu, kemudian terlempar dengan kekuatan yang sangat amat dahsyat
mencapai ketinggian troposfer, bahkan sampai sangat mungkin sampai pada ketinggian stratosfer.
Hal ini dikarenakan material vulkanik tidak hanya jatuh di Selat Sunda tetapi sampai ke daerah-
daerah lain. Bahkan debu (abu) vulkanik setelah berbulan-bulan masih menutupi atmosfer Eropa.
Konon, setelah lewat dari 6 bulan, sebagian debu (abu) vulkanik jatuh di daratan Eropa.6

Pada saat debu (abu) vulkanik Krakatau melayang-layang di atmosfer, terjadilah lapisan
“selimut abu” mengungkung bumi. Jadilah Pemanasan global pada tahun 1883 yang disebabkan
aktivitas internal bumi. Sedangkan sumbangan gas rumah kaca akibat aktivitas manusia menurut
hasil laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007, secara umum
kontributor emisi gas rumah kaca ini dapat dibagi menjadi tujuh kategori. Lebih dari seperempat
emisi gas rumah kaca dihasilkan dari produksi listrik dan panas (26%). Sementara itu kegiatan
industri menyumbang seperlima bagian (20%). Proporsi yang hampir mirip jika dibandingkan
dengan gabungan emisi transportasi (13%) dan bangunan (8%). Deforestasi atau penebangan hutan
di negara-negara berkembang juga menyumbanang hampir seperlima bagian (17%). Kegiatan
perkebunan, terutama yang menghasilkan gas metan (methane) mewakili 13% emisi global, dan
sampah yang juga menghasilkan gas metan hanya 3%.7

5
Haneda, “Hubungan Efek Rumah Kaca, Pemanasan Global dan Perubahan Iklim”, 2004. Sebagaimana dimuat
dalam http://www.scribd.com/doc/137891172/Efek-Rumah-Kaca-1
6
Wisnu Arya Wardana, Dampak Pemanasan Global. Hal. 55-56.
7
Araund Bohre, Nick Eyre, dan Nicholas Howarth, Carbon Markets An International Bussiness Guide, London,
Earthscan, 2009, hal. 8.
Perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming), pemicu utamanya adalah
meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi fosil/BBF (Bahan Bakar Fosil).
Pengguna terbesarnya adalah negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia,
Kanada, Jepang, China, dan lain- lain. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup
masyarakat negera- negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negara selatan.
Untuk negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga berkontribusi dengan skenario
pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu industrialisme dan meningkatnya pola
konsumsi tentunya, meski tak setinggi negara utara.8

Berdasarkan kronologis sejarah pemanasan global dimulai dari tahun 1841. Saat itu
ilmuwan Jean Baptiste Joseph Fourier menulis tentang pemanasan bumi di surat kabar
“Milwaukee Sentinel and Wisconsin Farmer” pada 4 Desember 1841. Namun saat itu
pemanasan bumi dianggap sebagai suatu perkembangan positif bagi kehidupan manusia.

Pada tahun 1894 mulai banyak tulisan di surat kabar yang memberitakan tentang revolusi
industri, seperti dimuat dalam “The Daily Mail North Western” dan di “The Daily Nebraska State
Journal”.9 Pada zaman ini peradaban manusia menemukan momentumnya ketika muncul revolusi
industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap, lampu dan telepon. Manusia kemudian
menciptakan mesin- mesin yang memudahkan hidupnya. Industrialisasi memberi banyak kebaikan
sehingga pertumbuhan populasi manusia mulai meningkat pesat. Namun para ilmuwan mencatat
periode ini menjadi titik awal polusi lingkungan dan proses industrialisasi.

Mulai dari jaman revolusi industri, konsentrasi gas karbon dioksida di atmosfer telah
meningkat. Peningkatan gas-gas ini menyebabkan kemampuan atmosfer untuk menahan panas
menjadi lebih besar. Sulfat aerosol, yaitu polutan udara yang umum ditemui, mendinginkan
atmosfer dengan merefleksikan kembali radiasi cahaya dari matahari ke luar angkasa. Tetapi
senyawa sulfat ini mempunyai siklus umur yang pendek di atmosfer.

8
“Efek Global Warming Terhadap Perubahan Iklim”, http://www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-
global/1589--efek-global-warming-terhadap-perubahan-iklim
9
Divisi Penerbitan dan Dokumentasi PPLH Seloliman Malang Science Research Institution, “Ada Apa Dengan
Ozon?” Mojokerto, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, 2007, hal. 29.
Para ilmuwan berasumsi bahwa pembakaran dari bahan bakar fosil dan beberapa aktivitas
manusia yang memicu dan menjadi penyebab utama meningkatnya konsentrasi karbon dioksida di
atmosfer. Respirasi dari tanaman dan proses dekomposisi bahan organik melepaskan karbon
diokasida sepuluh kali lebih banyak dari yang mampu dihasilkan oleh aktivitas manusia, tetapi
selama berabad-abad pelepasan karbon diokasida ini diimbangi dengan penyerapan karbon
dioksida oleh vegetasi terestial dan laut. Keseimbangan ini terganggu disebabkan adanya
pelepasan tambahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Bahan Bakar Fosil (BBF) dibakar
sebagai sumber energi untuk menggerakan hampir seluruh peralatan manusia. Meningkatnya
kegiatan agrikultural, penggundulan hutan, dibukanya area kosong sebagai tempat
pembuangan, produksi industri, dan pertambangan juga meningkatkan emisi dengan bagian
yang cukup signifikan.10

Tahun 1913-1914 ilmuwan Swedia Laureate Svente Arrthenius memprediksi iklim bumi
akan memanas secara perlahan. Seperti dikutip dalam Washington Post tanggal 23 Maret 1913,
Arrhenius memprediksi perubahan ini akan terjadi ribuan tahun yang akan datang.

Tahun 1949-1950 seorang peneliti bernama GS Callendar menulis di Koran “The


Nebraska State Journal” pada tanggal 23 Oktober 1949, bahwa efek gas rumah kaca adalah
diakibatkan oleh ulah manusia. Respon dari para ilmuwan saat itu adalah mengembangkan cara
baru untuk mengukur iklim bumi.

Tahun 1950-1970 pengembangan teknologi baru membawa kekhawatiran lebih besar


tentang pemanasan global dan efek rumah kaca. Sejumlah studi menunjukkan tingkat karbon
dioksida di atmosfir terus meningkat setiap tahunnya dan sarat tentang bahaya polusipun semakin
meningkat.

Manusia telah mulai menyadari masalah pemanasan global ini merupakan masalah global
yang perlu dibicarakan secara serius di tingkat internasional. Tahun 1972 dilaksanakan
konfrensi lingkungan hidup pertama di Stockholm, Swedia. Pada pertemuan ini menghasilkan
pendirian United Nations Environment Programme (UNEP), Maurice Strong dari Kanada
mengetuai konferensi dan akan ditunjuk sebagai Direktur Eksekutif UNEP yang pertama.

10
Forum Hijau Indonesia, “Menyingkap Kebenaran Pemanasan Global”, 2012, sebagaimana dimuat dalam
https://www.facebook.com/ForumHijauIndonesia/posts/321688517922252
Pertemuan lingkungan hidup ini lah yang menjadi cikal bakal pertemuan- pertemuan
selanjutnya untuk membahas masalah lingkungan global terutama masalah pemanasan global.
Bagian ini hanya membahas sejarah pemanasan global. Sedangkan konferensi-konferensi
internasional terkait pemanasan global secara rinci akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Dampak Pemanasan Global dan Upaya Internasional Dalam Menyelamatkan Bumi Dari
Pemanasan Global

Dunia internasional saat ini sedang mengarahkan perhatiannya terhadap pemanasan global.
Pemanasan global berdampak langsung terhadap perubahan iklim. Maknanya bahwa pemanasan
global berdampak pada seluruh makhluk hidup di bumi. Mencairnya gunung-gunung es di kutub,
naiknya permukaan air laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil merupakan beberapa efek domino
yang sekarang terpantau jelas di depan mata. Hilangnya sejumlah spesies, putusnya mata rantai
makanan, munculnya berbagai macam penyakit, berkurangnya kemampuan tumbuhan untuk
berkembang secara baik, merupakan dampak lain yang kini kian dirasakan.

Dampak dari pemanasan global yang melanda bumi ini salah satunya dapat
menyebabkan hilangnya daratan. Pemanasan global menyebabkan permukaan es mencair. Es yang
mencair tersebut menyebabkan volume air laut meningkat, sehingga lambat laun dapat
menenggelamkan daratan yang ada di bumi ini.

Sebagai contoh pada abad ke-20, permukaan air laut naik sebesar 10-20 cm. Memuainya
air laut disebabkan oleh panas atmosfer yang menembus ke dalam laut dengan kedalaman 3000m.
Sehingga kenaikan suhu paling terlihat terjadi di kedalaman 300m, di mana suhunya naik sekitar
0,25 Ԩ. Keadaan seperti itu terjadi dalam 40 tahun terakhir ini. Daratan di bumi ini bisa lebih cepat
lagi terendam air laut, jika tidak ada air yang tertimbun di dalam waduk atau perairan lain yang
ada di daratan.11

11
Kodoatie R.J. & Roestam Sjarief, Tata Ruang Air, Yogyakarta, Andi, 2010, hal 99.
Meskipun kenaikan suhu udara dan muka air laut kelihatannya kecil, beberapa tempat atau
ekosistem atau masyarakat tertentu akan sangat rentan menghadapi perubahan tersebut.
Kondisinya akan diperburuk apabila kemampuan ekosistem atau masyarakat untuk beradaptasi
dengan perubahan iklim rendah. Peningkatan suhu yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi,
sehingga akan menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan
pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami, dan keanekaragaman hayati.

Dampak lainnya yang akhir-akhir ini terjadi adalah pada awal Januari 2014 di belahan
selatan Bumi, Australia memanas. Pada 3 Januari 2014, ABC melaporkan bahwa Australia
mengalami musim panas ekstrem akibat pengaruh gelombang panas. Wilayah Queensland
mencapai suhu 40° Celsius. Beberapa tempat lain bahkan melebihi 45° Celsius.

Sementara Australia luar biasa panas, Amerika Serikat luar biasa dingin akibat pengaruh
“polar vortex”. Suhu di beberapa wilayah Amerika Serikat misalnya di Allaghas, Maine, bisa
mencapai -36° Celsius, sementara di Kansas City bisa mencapai -22° Celsius. Dengan pengaruh
angin, warga bisa merasakan seolah berada di tempat bersuhu hingga -50° Celsius. Peristiwa ini
menyebabkan sekitar 21 orang tewas.12

“Polar vortex” adalah semacam siklon yang terdapat di kutub yang dalam kondisi normal
tetap berada di wilayah kutub. Namun, aliran massa udara panas dari Pasifik menyebabkan udara
dingin dari kutub bergerak ke selatan. Massa udara panas berperan sebagai pemandu. Sebagai
akibatnya, udara dingin dari kutub menjalar jauh ke selatan, mencapai wilayah utara dan
tengah Amerika Serikat, memicu musim dingin ekstrem.

Pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Army Susandi, mengatakan,
fenomena musim panas dan dingin ekstrem di Australia dan Amerika merupakan bukti
perubahan iklim. Sebagaimana diketahui, Amerika Serikat tidak menandatangani Protokol Kyoto
yang bertujuan untuk mengurangi pemanasan Global. Belakangan Kanada ikut keluar dari
Protokol Kyoto. Sekarang kedua negara tersebut terlanda suhu dingin ekstrem.

12
“The Big Thaw Begins: FROZEN BODIES Found in Snow as Temperatures Begin to Rise After Brutal Polar Vortex
Leaves 21 Dead and 11,000 Flights Grounded”, http://www.dailymail.co.uk/news/article-2535695/So-cold-Hell-
frozen-Small-Michigan-town-country-plunged-freezing-temperatures polar vortex-things-warming-day-two.html
Sementara itu, daerah tropis atau lintang rendah akan terpengaruh dalam hal produktivitas
tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman. Peningkatan suhu pada gilirannya akan mengubah
pola dan distribusi curah hujan. Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan menjadi
makin kering dan daerah basah menjadi semakin basah sehingga kelestarian sumber daya air akan
terganggu. Maka perlu ada tindakan nyata dari dunia internasional dalam upaya penyelamatan
bumi serta usaha-usaha pencegahan agar dampak pemanasan global dapat dikurangi.13

Dampak pemanasan global yang terjadi sekarang ini sudah terasa diseluruh penjuru
bumi. Pemanasan global yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia. Hal ini
dikarenakan zaman yang semakin maju, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) semakin
berkembang.

Sadar atau tidak berbagai aktivitas manusia tersebut memicu menipisnya lubang ozon
sehingga mengakibatkan pemanasan global. Negara maju maupun negara berkembang sudah
menyadari terjadinya pemanasan global yang telah memberi banyak dampak bagi negara mereka.

Negara-negara maju disebut-sebut sebagai negara-negara penghasil emisi karbon yang


lebih besar daripada negara berkembang tidak luput dari dampak pemanasan global, walaupun
dampak yang mereka rasakan tidak sebesar yang dirasakan oleh negara berkembang yang
kebanyakan berada di sekitar khatulistiwa. Negara-negara berkembang seperti Indonesia,
Filipina, Tanzania, Brazil, dan lain-lain yang umumnya berada di sekitar khatulistiwa menderita
dampak kenaikan suhu bumi. Negara-negara berdataran rendah juga menderita banjir besar
seperti Bangladesh, Laos, Nigeria, Argentina, dan lain-lain. Tampaklah bahwa dampak
perubahan iklim memukul negara berkembang lebih besar ketimbang negara maju.

Kesadaran bahwa pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim akan


mengancam keberlanjutan kehidupan di dunia, menjadikan negara-negara di dunia baik negara
maju maupun negara berkembang berputar otak mencari cara untuk mengatasi pemanasan global
yang tengah terjadi.

13
Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Jakarta, Kompas, 2003.
Hal. 18-19.
Pemanasan global telah lama disadari bahwa benar terjadi dan mengancam peradaban di
bumi. Namun baru mulai kurun waktu 1970an diadakan pertemuan yang secara sungguh-sungguh
membahas masalah lingkungan terutama pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim.
Sejak masa itulah masyarakat internasional mulai mencoba mencari solusi untuk menurunkan
emisi karbon yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim dengan berbagai cara.

Cara yang paling mudah untuk mengurangi karbon dioksida di udara adalah dengan
reboisasi (reforestation). Selain itu banyak dikembangkan cara-cara lain seperti penggunaan energi
terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir
masih kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya.

Alat penyaring khusus gas buangan perlu digunakan oleh kendaraan bermotor pada bagian
knalpot (tempat keluar gas buangan) yang dapat menetralisir dan mengurangi dampak negatif gas
buangan tersebut. Bisa juga dengan mengganti bahan bakar dengan bahan bakar alternatif yang
ramah lingkungan, seperti tenaga surya (matahari) atau biodiesel. Perlu dikeluarkan regulasi
tentang usia kendraan bermotor yang boleh beroperasi agar tidak menimbulkan pencemaran.

Selain itu perlu diadakan kerja sama internasional untuk mensukseskan pengurangan gas-
gas rumah kaca. Apabila pada suatu negara diterapkan peraturan kebijakan lingkungan yang ketat,
maka ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan
tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Oleh karena itu, perlu adanya
upaya yang serius, konsisten, dan berkelanjutan agar masalah pemanasan global ini dapat diatasi
atau diminimalisir.

Salah satu upaya internasional dalam menyelamatkan dunia dari pemanasan global
selain dari teknologi-teknologi tersebut adalah perdagangan karbon antar negara di dunia. Cara ini
diharapkan dapat menekan emisi karbon yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia.
Perdagangan karbon ini dapat menimbulkan simbiosis mutualisme antara negara-negara pelaku
bisnis perdagangan karbon itu sendiri.

Perdagangan karbon diharapkan dapat membantu menekan emisi karbon yang bermanfaat
bagi pembangunan berkelanjutan dan bermanfaat bagi perekonomian negara-negara pelaku
perdagangan karbon. Selain cara-cara yang dapat dilakukan manusia untuk mempertahankan
keberlanjutan kehidupan di bumi, manusia juga sudah sejak lama memikirkan untuk mencari
planet pengganti bumi yang usianya sudah semakin menua. Para ilmuwan dunia melakukan
berbagai studi tentang penemuan planet pengganti bumi yang disebut Super-Earth sejak
sekitar dua dasawarsa lalu. Penemnuan terakhir pada tahun 2013, ditemukan beberapa planet yang
berjarak 22 tahun cahaya dari matahari.

Planet-planet ini dapat dihuni, karena diperkirakan memiliki permukaan dan atmosfer yang
sama dengan bumi, juga memiliki hari dan tahun yang sama panjangnya dengan bumi. Penemuan
mengatakan bahwa siang planet-planet tersebut akan diterangi oleh matahari dan saat malam
hari bulan juga akan bersinar, sama halnya di bumi.14

Ketentuan Tentang Pemanasan Global dalam Hukum Internasional

Hukum Internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah keseluruhan kaidah dan


asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara negara dengan
negara, dan negara dengan subjek hukum lain yang bukan negara atau subjek hukum bukan negara
satu sama lain.

Pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim merupakan permasalahan yang


melintasi batas negara mengenai suatu fenomena dalam lingkup internasional, termasuk
di dalamnya akan mencampurkan aspek ilmu pengetahuan alam hayati yang tentunya dibalut
dalam nuansa scope internasional, sehingga dapat dilihat dan ditarik keterkaitan serta kompleksitas
antara masalah lingkungan global dengan hubungan antar negara.

Pemanasan global merupakan isu lingkungan hidup yang pemahamannya berakar dari
disiplin Ilmu Alam Hayati yang dijadikan menjadi isu internasional belakangan ini kerap diangkat
dalam berbagai forum dan kajian kerjasama internasional. Isu pemanasan global menjadi salah
satu kajian yang dapat diklasifikasikan dalam kajian yang keberadaannya dapat mendorong
negara- negara atau masyarakat internasional untuk ikut terlibat dalam penanganannya, hal ini
dikarenakan masalah pemanasan global dianggap bersifat implikatif yang menimbulkan reaksi

14
“Three Super-Earths Discovered In Habitable Zone Of Same Star For The First Time”, sebagaimana dimuat
dalam http://rt.com/news/super-earths-habitable-zone-228/
berantai. Begitu penting dan tingginya tingkat urgensi masalah pemanasan global hingga
mendorong banyak pihak untuk mengangkat dan menjadikannya menjadi komoditas isu hangat
dalam setiap pertemuan forum internasional yang menghasilkan beberapa perjanjian internasional
seperti deklarasi, konvensi, protokol, dan juga agreement (persetujuan).

Konferensi PBB – Stockholm, Swedia

Isu pemanasan global pertama kali diangkat sebagai sebagai salah satu agenda dalam
pertemuan negara-negara dalam ranah hubungan internasional pada tahun 1972, hal ini ditandai
dengan diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan
hidup di Stockholm, Swedia. Konfrensi Stockholm ini menghasilkan sebuah deklarasi yang
disebut dengan Deklarasi Stockholm. Dalam Deklarasi Stockholm telah disadari bahwa kegiatan
manusia dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang akhirnya berdampak pada pemanasan
global.

Salah satunya dalam article 3 Deklarasi Stockholm diproklamirkan:15

“Man has constantly to sum up experience and go on discovering, inventing, creating and
advancing. In our time, man's capability to transform his surroundings, if used wisely, can bring
to all peoples the benefits of development and the opportunity to enhance the quality of life.
Wrongly or heedlessly applied, the same power can do incalculable harm to human beings and
the human environment. We see around us growing evidence of man-made harm in many regions
of the earth: dangerous levels of pollution in water, air, earth and living beings; major and
undesirable disturbances to the ecological balance of the biosphere; destruction and depletion of
irreplaceable resources; and gross deficiencies, harmful to the physical, mental and social health
of man, in the man-made environment, particularly in the living and working environment.”

15
“Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment”, dalam
http://www.unep.org/Documents.Multilingual/Default.asp?documentid=97&articleid=1503
Artinya, manusia secara terus-menerus memperbanyak pengalamannya dan terus
menggali, menemukan serta terus mengalami kemajuan, di masa kini, kemampuan manusia untuk
mengubah lingkungannya jika digunakan secara bijak, dapat membawa manfaat yang membangun
bagi semua bangsa dan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup.

Penerapan yang salah dan semena-mena, dapat sangat membahayakan manusia dan
lingkungannya. Namun kenyataannya semakin banyak bukti dari kebrutalan kelakuan manusia di
berbagai belahan dunia tingkat pencemaran baik air, udara, bumi serta makhluk hidup berada pada
tingkatan yang berbahaya, bencana hebat yang tidak dikehendaki terhadap keseimbangan biosfer,
kehancuran dan penipisan sumber daya non hayati.

Sejak Deklarasi Stockholm 1972 dideklarasikan, persoalan lingkungan hidup mulai


menjadi pusat perhatian masyarakat Internasional. Satu dasawarsa setelah dilaksanakannya
Konferensi Stockholm 1972, masyarakat Internasional berusaha untuk mengurangi rusaknya
lingkungan.

Earth Summit – Rio de Janeiro

Pada tahun 1992 diadakan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang
Lingkungan dan Pembangunan yang lebih dikenal dengan nama United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil dalam rangka penyelesaian
masalah lingkungan di dunia. Para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi rencana-rencana
besar yang terkait dengan upaya konservasi lingkungan sementara menyejahterakan manusia
melalui pembangunan.

Dalam KTT Bumi ini menghasilkan Deklarasi Rio, Prinsip-prisnsip Kehutanan (Forestry
Principles), Agenda 21, Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on
Climate Change/UNFCCC) dan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pada kesempatan itu juga,
154 negara peserta menandatangani kerangka kerja perubahan iklim yang selanjutnya disebut
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan paling utama
konvensi ini adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada level mencegah bahaya
terjadinya perubahan sistem iklim akibat kegiatan manusia. Hal ini dimuat dalam article 2
UNFCCC sebagai berikut:

“The ultimate objective of this Convention and any related legal instruments that the
Conference of the Parties may adopt is to achieve, in accordance with the relevant provisions of
the Convention, stabilization of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that
would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system. Such a level should
be achieved within a time-frame sufficient to allow ecosystems to adapt naturally to climate
change, to ensure that food production is not threatened and to enable economic development to
proceed in a sustainable manner.”

Para pihak yang meratifikasi UNFCCC ini kemudian tergolong dalam Conference of
Parties (CoP). CoP mengadakan pertemuan rutin yang membahas mengenai permasalahan
lingkungan global termasuk masalah pemanasan global dan perubahan iklim. Pada sidang pertama
Konferensi Para Pihak (First Session of the Conference of Parties CoP 1) yang diadakan di Berlin,
Jerman tahun 1995.

Dalam pertemuan tersebut menghasilkan komitmen negara-negara maju yang bertujuan


untuk mengembalikan emisi ke tingkat 1990 menjelang 2000, sangat tidak memadai untuk
mencapai tujuan panjang konvensi untuk menghindari pengaruh manusia yang
membahayakan sistem iklim bumi. Petemuan ini menghasilkan Mandat Berlin (Berlin
Mandate). Setelah delapan kali bersidang Ad Hoc Group in Berlin Mandate menghasilkan sebuah
teks yang diajukan kepada CoP 3 untuk menghasilkaan negosiasi terakhir.16

16
Siti Khairunissa, Analisis Yuridis Atas Penerapan Carbon Trading Dalam Prepektif Protokol Kyoto dan
REDD+Untuk Kawasan Hutan Di Indonesia, Medan, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012. Hal.
16
Kyoto Protocol

Pada pertemuan CoP 3 yang diadakan di Kyoto pada tahun 1997. Konferensi tersebut
menghasilkan suatu Protokol yang disebut dengan Protokol Kyoto (Kyoto Protocol). Dalam
Protokol Kyoto mengatur lebih lanjut klausul-klausul tertentu dari Konvensi Perubahan Iklim
(UNFCCC) yakni menstabilkan gas rumah kaca seperti yang disebutkan dalam article 2 UNFCCC
dan diarahkan melalui article 3 UNFCCC yang akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya.

Negara-negara yang sepakat ambil bagian dalam upaya menstabilkan gas rumah kaca yang
mengakibatkan perubahan iklim harus melakukan tindakan-tindakan untuk melindungi iklim yang
bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Protokol inilah yang merupakan
dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka
paling sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012.

Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi gas rumah kaca secara bersama-sama.
Jumlah emisi gas rumah kaca yang harus diturunkan tersebut dapat meringankan negara yang
emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya rendah atau bahkan karena kondisi tertentu
tidak mengeluarkan emisi dapat meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi.

Penurunan gas rumah kaca melibatkan negara-negara maju dan negara- negara
berkembang. Dalam Protokol Kyoto negara-negara tersebut dibagi dalam negara-negara Annex I
dan negara-negara non-Annex I. Negara-negara Annex I adalah negara-negara yang telah
mengontribusikan gas rumah kaca hasil kegiatan manusia lebih banyak disbanding negara-negara
non-Annex I. Sedangkan negara- negara non-Annex I adalah negara-negara selain Annex I, yang
mengemisikan gas rumah kaca jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih
rendah dibanding negara-negara Annex I.

Hingga memasuki periode kedua Protokol Kyoto tahun 2013, 200 negara telah meratifikasi
Protokol Kyoto.17 Amerika Serikat menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto, karena Amerika
Serikat menganggap bahwa Protokol Kyoto akan berpengaruh negatif terhadap perekonomian
Amerika Serikat dan kewajiban negara maju menurunan emisi karbon dianggap tidak adil oleh
Amerika Serikat.

17
“Kesempatan Kedua untuk Protokol Kyoto”, dalam http://www.hijauku.com/2012/12/09/kesemp atan-kedua-
untuk-protokol-kyoto/
Untuk memberi jalan bagi upaya pengurangan emisi, maka Protokol Kyoto membentuk
tiga mekanisme yang disebut Flexible Mechanism atau mekanisme fleksibel. Disebut mekanisme
fleksibel karena ketiga mekanisme ini memberi kesempatan bagi negara-negara yang menyetujui
Protokol Kyoto untuk bisa memilih mekanisme mana yang akan membantu negara-negara tersebut
untuk mengurangi emisi.18 Ketiga mekanisme ini adalah: Emission Trading (Pasal 17), Joint
Implementation (Pasal 6), dan Clean Development Mechanism (Pasal 12).19

CoP 4 tahun 1998 diadakan di Buenos Aires, Argentina, mengadopsi Buenos Aires Plan of
Action (BAPA) yang dirancang untuk program mengoprasikan secara detail Protokol Kyoto. Pada
CoP 5 tahun 1999 di Bonn, Jerman, menargetkan pencapaian terukur agar Protokol Kyoto
berkekuatan hukum, pertemuan ini menghasilkan Plann Agreements.

Tahun 2000 diselenggarakan CoP 6 di Den Haag, Belanda, pertemuan ini gagal bersepakat
mengambil keputusan dibawah BAPA. Lalu diadakan CoP 6 part II di Bonn pada tahun 2001. Para
pihak mengadopsi perintah Bonn (Plann Agreements), mendaftarkan consensus politik atau isu-
isu kunci dibawah BAPA. Para pihak juga menyelesaikan sejumlah keputusan detail namun
masih menyisakan beberapa sisa kesepakatan.20

Pada CoP 7 di Marrakesh tahun 2001, memfinalkan dan mengadopsi hasil keputusan CoP
6b (CoP 6 part II) yang hasilnya disebut dengan Marrakesh Accord. Isu-isu kritis yang dibahas
dalam CoP 7 berkaitan dengan implementasi BAPA, yakni menyangkut pedoman pelaksanaan
Pasal 5 tentang sistem nasional dan metodologi yang akan digunakan dalam inventarisasi emisi
pada tingkat nasional, Pasal 7 tentang komunikasi informasi, dan Pasal 8 Protokol Kyoto tentang
peninjauan informasi yang disampaikan para pihak; tentang Land Use, Land Use Change, and
Forestry (LULUCF), mekanisme protokol dan penataan.

18
Bernadinus Steni, Perubahan Iklim, REDD, dan Perdebatan Hak: Dari Bali Sampai Copenhagen, Jakarta,
Perkumpulan HuMa, 2010. Hal. 21.
19
Bernad Hansjurgens, dan Ralf Antes, ed., Economics and Management of Climate Change, Liepzig/Oldenburg,
Springer, 2008. Hal. 3.
20
“CoP 13 Tonggak Sejarah DNPI”, 2013, xdll_20131009_paper__Buku%205%20Tahun%20DNPI-
Perubahan%20Iklim%20dan%20Tantangan%20Peradaban%20Bangsa-Bab%201.pdf
Memberikan masukan bagi World Summit Sustainable Development (WSSD) tahun 2002
di Johannesburg, Afrika Selatan yang menyebutkan perlunya:

a. Menekankan prinsip Common but Differentiated Responsibilities/CBDR.


b. Menegakkan terus pilar pembangunan berkelanjutan.
c. Keterkaitan antara UNFCCC dan CBD.
d. Mempertimbangkan kemajuan yang telah dibuat sejak UNCED di Rio de Janeiro 1992.

Bali Road Map

Penguhujung tahun 2007, Bali, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan negara-negara
guna membahas isu lingkungan global mengenai perubahan iklim sebagai kelanjutan dari KTT
Bumi. Pertemuan ini dihadiri sekitar 180 negara di dunia.

Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali menghasilkan Bali


Roadmap, dimana terdapat tiga hal penting, yaitu:21

1. Tercapainya kesepakatan dunia.


2. Menyepakati 4 agenda sebagai berikut:
a. Aksi untuk melakukan kegiatan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim
(misalnya banjir dan kekeringan).
b. Cara mengurangi emisi GRK.
c. Cara mengembangkan dan memanfaatkan teknologi yang bersahabat dengan iklim.
d. Pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi.
3. Menyepakati target waktu pelaksanaan, yaitu pada tahun 2009.

Adapun Bali Roadmap sendiri terdiri atas lima hal, yaitu komitmen pasca 2012, dana
adaptasi, alih teknologi, Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries
atau dalam bahasa Indonesia disebut REDD (mengurangi emisi akibat penggundulan hutan di
negara berkembang), dan CDM (Clean Development Mechanism).

21
“Bali Roadmap”, sebagaimana dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Bali_roadmap
Copenhagen Accord - Denmark

Pertemuan selanjutnya, diadakan Konferensi Perubahan Iklim 2009 (United Nations


Climate Change Conference 2009) atau biasa disebut CoP 15 yang merupakan KTT internasional
mengenai perubahan iklim di Copenhagen (Denmark). Dalam Copenhagen Accord yang
dihasilkan dari konferensi ini, terdapat substansi prinsip-prinsip pokok sebagai berikut: Pertama,
Accord menetapkan pembatasan peningkatan suhu global 2° Celcius dibanding tingkat praindustri
pada 2050. Kedua, Accord memuat komitmen negara maju untuk menyediakan pendanaan US$30
miliar selama 2010-2012 bagi adaptasi (penyesuaian pola pembangunan) dan mitigasi (penurunan
emisi) di negara berkembang. Ketiga, Accord menyepakati satu format penyampaian informasi
tentang upaya mitigasi melalui target pembatasan dan penurunan emisi yang harus dapat
dikuantifikasi bagi negara maju dan indikasi aksi mitigasi yang sejalan dengan pembangunan
berkelanjutan oleh negara berkembang. Keempat, Accord mengenali Proses Mid-Review, yaitu
bahwa Accord akan dikaji ulang pada tahun 2015 termasuk kemungkinan mengubah target
stabilisasi menjadi 1,5° Celsius.

Cancun Agreements - Mexico

Pertemuan dilakukan kembali pada Desember 2010 di Cancun, Mexico. CoP 16 ini
menghasilkan Cancun Agreements dengan kesepakatan kunci untuk mencegah kenaikan suhu
permukaan bumi tidak lebih dari 2° Celcius. Cukup realistis untuk berharap agar CoP 16 Cancun
menjadi momentum untuk membangun kepercayaan negara maju dan berkembang dalam
perundingan multilateral perubahan iklim dibawah UNFCCC, serta menjadi pijakan untuk
tercapainya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat.22

Dalam Cancun Agreements, kesepakatan untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi
tidak lebih dari 2° Celcius dikemukakan dalam article 3 dan 4:

22
“Siaran Pers: COP 16 Cancun Harus Menjadi Pijakan Untuk Kesepakatan Perubahan Iklim yang Ambisius, Adil,
dan Mengikat”, dimuat dalam http://www.iesr.or.id/2010/11/siaran-pers-cop-16-cancun-harus-menjadi-pijakan-
untuk-kesepakatan-perubahan-iklim-yang-ambisius-adil-dan-mengikat/
Article 3: “Recognizes that warming of the climate system is unequivocal and that most of
the observed increase in global average temperatures since the mid-twentieth century is very likely
due to the observed increase in anthropogenic greenhouse gas concentrations, as assessed by the
Intergovernmental Panel on Climate Change in its Fourth Assessment Report;”

Article 4: “Further recognizes that deep cuts in global greenhouse gas emissions are
required according to science, and as documented in the Fourth Assessment Report of the Inter-
governmental Panel on Climate Change, with a view to reducing global greenhouse gas emissions
so as to hold the increase in global average temperature below 2 °C above pre- industrial levels,
and that Parties should take urgent action to meet this long-term goal, consistent with science and
on the basis of equity; also recognizes the need to consider, in the context of the first review, as
referred to in paragraph 138 below, strengthening the long-term global goal on the basis of the
best available scientific knowledge, including in relation to a global average temperature rise of
1.5 °C;”

Louis Verchot, peneliti senior CIFOR mengemukakan bahwa Perjanjian Cancun juga
berhasil menyediakan kerangka kerja untuk beberapa komponen penting dalam upaya mengatasi
perubahan Iklim, salah satunya adalah mekanisme REDD+76 (Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation, carbon stock enhancement and forest conservation).
Perjanjian Cancun memberi kerangka kuat bagi masuknya hutan hujan tropis dalam agenda utama
penanganan perubahan Iklim, melalui skema REDD+, adaptasi, konservasi dan peningkatan
cadangan karbon hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan.

Durban Platform – Afrika Selatan

CoP 17 kembali melaksanakan pertemuan pada tahu 2011 di Durban, Afrika Selatan.
Pertemuan ini menghasilkan Durban Platform. Ada dua kesepakatan utama dari CoP 17 Durban,
yaitu diperpanjangnya mandat Kelompok Kerja Ad Hoc untuk kerjasama jangka panjang (The Ad
Hoc Working Group On Long-Term Cooperative Action Under The Convention) dan dibentuknya
badan baru yaitu Kelompok Kerja Ad Hoc Durban Platform (Ad Hoc Working Group on Durban
Platform). Ad Hoc Working Group on Durban Platform bertugas menyepakati kerangka
multilateral perubahan iklim dengan dua pilihan utama, yaitu membentuk protokol baru atau
melalui format hukum lain yang memiliki legal certainty pasca berakhirnya komitmen kedua
Protokol Kyoto.

Selain itu, CoP 17 juga menyepakati diperpanjangnya masa kerja Kelompok Kerja Ad Hoc
untuk komitmen dibawah Protokol Kyoto (The Ad Hoc Working Group on Further Commitments
for Annex I Parties under the Kyoto Protocol) antara lain adalah disepakatinya komitmen kedua
dari Protokol Kyoto yang dimulai tahun 2013 sampai 2020. Durban Platform ini menjadi pengikat
terutama bagi negara-negara maju terhadap komitmen mereka pada perubahan iklim.23

Doha Climate Gateaway - Qatar

Pada 2012, CoP 18 melakukan pertemuan di Qatar National Convention Centre, Doha.
Konferensi ini sepakat untuk memperpanjang masa berlaku dari Protokol Kyoto yang sedianya
akan berakhir pada akhir 2012 hingga tahun 2020, dan juga disepakati bahwa pengganti Protokol
Kyoto akan dirumuskan pada tahun 2015, dan dilaksanakan pada tahun 2020. Konferensi ini juga
memperkenalkan konsep "kerugian dan kerusakan" untuk pertama kalinya, yaitu prinsip
kesepakatan yang menyatakan bahwa negara-negara kaya bisa bertanggung jawab secara
finansial kepada negara-negara lain karena kegagalan mereka dalam mengurangi emisi karbon.

Dokumen hasil Konferensi ini diberi nama Doha Climate Gateway yang berisikan tentang
perpanjangan masa berlaku Protokol Kyoto hingga tahun 2020, yang membatasi emisi karbon
dioksida global dalam skop hanya 15% karena kurangnya partisipasi dari Kanada, Jepang,
Rusia, Belarus, Ukraina, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Selain itu, fakta bahwa negara-
negara berkembang seperti RRC (salah satu emitor terbesar di dunia), India dan Brazil juga tidak
tunduk pada pengurangan emisi di bawah ketentuan Protokol Kyoto.

Konsep "kerugian dan kerusakan" (loss and damage) sebagaimana telah disebutkan
diresmikan untuk pertama kalinya dalam dokumen konferensi. Konferensi ini juga membuat
sedikit kemajuan terhadap pendanaan Green Climate Fund.

23
Sayulidewi Subagyo, “COP 17 dan Dampaknya Bagi Indonesia”, http://www.oxfamblogs.org/indonesia/cop-17-
dan-dampaknya-bagi-indonesia/
Doha Climate Gateway memuat bahwa CDM dan mekanisme fleksibel di bawah Protokol
Kyoto tetap berlanjut. Maka hal ini berkaitan dengan pasar karbon yang berpengaruh pada
penurunan emisi karbon.

Perkembangan terakhir, digelar konferensi pada November 2013 lalu di Warsawa,


Polandia, bahwa masalah pemanasan global dan perubahan iklim disoroti begitu tajam oleh hukum
internasional. Hal ini membuat para pemikir serta para peneliti berpikir keras untuk mencari tahu
pola perubahan iklim yang terjadi serta solusi yang dapat ditawarkan baik pada tataran mikro
maupun makro.

Salah satu harapan besar dari pertemuan CoP di Warsawa, Polandia adalah hadirnya
instrumen hukum yang bukan hanya efisien tapi juga lebih efektif dalam rangka melakukan
penanggulangan perubahan iklim baik pada tataran preventif maupun represif. Salah satu ide besar
yang coba diusung dalam pertemuan CoP tahun ini adalah menggerakkan komitmen dari negara
berkembang untuk segera bertindak aktif dalam melakukan penanggulangan terhadap perubahan
iklim (applicable to all).24

24
“COP 19: Menitip Asa di Warsawa”, http://www.blog.epistemainstitute.org/?m=201311

Anda mungkin juga menyukai