KERANGKA TEORI
1
a. Penilaian secara langsung :
1) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, dkk., 2006).
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri merupakan
dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter
disebut indeks antropometri. Rekomendasi dalam menilai status gizi
anak di bawah lima tahun yang dianjurkan untuk digunakan di
Indonesia adalah baku World Health Organization-National Centre
for Health Statistic (WHO-NCHS).
2) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai
status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-
perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat
gizi . Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial
tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-
organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid
(Supariasa, dkk.,2006). Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik
secara menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan. Bagian tubuh yang
harus lebih diperhatikan dalam pemeriksaan klinis adalah kulit, gigi,
gusi,bibir, lidah, mata (Arisman dalam Yuliaty, 2008). Penilaian
status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji
secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan
tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja
dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot (Supariasa,
dkk., 2006). Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode
2
penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya
jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa,
dkk., 2006).
b. Penilaian secara tidak langsung
1) Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Metode survei konsumsi makanan untu individu :
- Metode recall 24 jam
- Metode esthimated food record
- Metode penimbangan makanan (food weighting)
- Metode dietary history
- Metode frekuensi makanan (food frequency).
2) Statistik vital
Menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian sebagai
akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan
gizi (Supariasa, dkk., 2006).
3) Faktor ekologi
3
a. Tentang Pola Makan
Pola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis
bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan
bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Suwiji,
2006). Pola makan merupakan ciri khas untuk status kelompok
masyarakat tertentu. Pola makan suatu daerah dapat berubah-ubah.
Pola makan masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya
diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang umum dan
diproduksi setempat. Misalnya pada masyarakat nelayan di
daerah-daerah pantai ikan merupakan makanan sehari-hari yang
dipilih karena dapat dihasilkan sendiri. Daerah-daerah pertanian
padi , masyarakat berpola makan pokok beras. Daerah-daerah
dengan produk utama jagung seperti pulau Madura dan Jawa
Timur bagian selatan, masyarakatnya berpola pangan pokok
jagung. Gunung Kidul dan beberapa daerah lain di Jawa Tengah
dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan pokok ubi kayu
karena produksi tanaman pangan utama adalah ubi kayu (Suwiji,
2006).
Pengertian pola makan adalah berbagai informasi yang
memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan
makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan
ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan
ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah : kebiasaan
kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan
sebagainya. Sejak zaman dahulu kala, makanan selain untuk
kekuatan/pertumbuhan, memenuhi rasa lapar, dan selera, juga
mendapat tempat sebagai lambang yaitu lambang kemakmuran,
kekuasaan, ketentraman dan persahabatan. Semua faktor di atas
4
bercampur membentuk suatu ramuan yang kompak yang dapat
disebut pola konsumsi (Santoso dan Ranti, 2005).
Pemilihan bahan makanan ternyata dipengaruhi oleh unsur
unsur tertentu. Pertama, sumber-sumber pengetahuan masyarakat
dalam memilih dan mengolah pangan mereka sehari-hari.
Termasuk dalam sumber pengetahuan dalam memilih dan
mengolah pangan adalah : sistem sosial keluarga secara turun
temurun, proses sosialisasi dan interaksi anggota keluarga dengan
media massa. Kedua, aspek asset dan akses masyarakat terhadap
pangan mereka sehari-hari. Unsur asset dan akses terhadap pangan
adalah berkenaan dengan pemilikan dan peluang upaya yang dapat
dimanfaatkan oleh keluarga guna melakukan budidaya tanaman
pangan dan atau sumber nafkah yang menghasilkan bahan pangan
atau natura (uang). Ketiga, pengaruh tokoh panutan atau yang
berpengaruh. Pengaruh tokoh panutan terutama berkenaan dengan
hubungan bapak anak, jika keluarga yang memperoleh pangan
atau nafkah berupa uang kontan melalui usaha tani majikan
(Santoso dan Ranti, 2007).
Kebiasaan makan adalah cara-cara individu dan kelompok
individu memilih, mengkonsumsi, dan menggunakan makanan
makanan yang tersedia, yang didasarkan kepada faktor-faktor
social dan budaya di mana ia/mereka hidup. Kebiasaan makan
individu, keluarga dan masyarakat dipengaruhi oleh :
1. Faktor perilaku termasuk di sini adalah cara berpikir,
berperasaan, berpandangan tentang makanan. Kemudian
dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih
makanan. Kejadian ini berulang kali dilakukan sehingga
menjadi kebiasaan makan.
5
2. Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan,
tingkat, dan sifat-sifatnya.
3. Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang
kontan, dan sebagainya.
4. Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi,
system usaha tani, sistem pasar, dan sebagainya.
5. Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh kondisi
kondisi yang bersifat hasil karya manusia seperti sistem
pertanian (perladangan), prasarana dan sarana kehidupan
(jalan raya dan lain lain), perundang-undangan, dan pelayanan
pemerintah.
6. Faktor perkembangan teknologi, seperti bioteknologi yang
menghasilkan jenis-jenis bahan makanan yang lebih praktis
dan lebih bergizi, menarik, awet dan lainnya.
6
yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima.
2. Memahami (Comprehension)
Diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi
materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (Aplication)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil
(sebenarnya).
4. Analisis (Analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di
dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Synthesis)
Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (Evaluation)
Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-
penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan
sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur
dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan
yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan
tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmodjo, 2006).
7
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan
gizi didasarkan pada tiga kenyataan :
a) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan
kesejahteraan.
b) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang
dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan
untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan
energi.
c) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga
penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik
bagi perbaikan gizi.
c. Penyakit Infeksi
Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya
agent penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi
tidaklah sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin
tidak kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada
permukaan luar tubuh, atau pada barang, pakaian atau barang-
8
barang lainnya, bukanlah infeksi, tetapi merupakan kontaminasi
pada permukaan tubuh atau benda (Himawan, 2006).
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui
gangguan masukan makanannya dan meningkatnya kehilangan
zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan
berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi
(Pudjiadi, 2005). Ada hubungan yang sangat erat antara infeksi
(bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka
menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan
penyakit infeksi, dan juga infeksi mempengaruhi status gizi dan
mempercepat malnutrisi. Mekanisme patologisnya dapat
bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan,
yaitu :
1. Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan,
menurunnya absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada
saat sakit.
2. Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat diare, mual/
atau muntah dan pendarahan yang terus menerus.
3. Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan
akibat sakit (human host) dan parasit yang terdapat dalam
tubuh.
9
kurang gizi juga menyebabkan penyakit infeksi. Ada tendensi di
mana, adanya penyakit infeksi, malnutrisi (gizi lebih dan gizi
kurang), yang terjadi secara bersamaan di mana akan bekerjasama
(secara sinergis), hingga suatu penyakit infeksi yang baru akan
menyebabkan kekurangan gizi yang lebih berat. Ini dikenal
dengan siklus sinergis (vicious cycle) yang banyak dan sering
terjadi di negara-negara berkembang, menyebabkan tingginya
angka kematian di negara tersebut (Supariasa, 2006).
10
disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah
makanan. Kemiskinan merupakan penghambat keluarga untuk
memperoleh akses terhadap ketiga faktor penyebab kekurangan
gizi di atas, tetapi untuk mencegah gizi buruk tidak harus
menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah
kemiskinan dituntaskan. Pembangunan ekonomi rakyat dan
menanggulangi kemiskinan memakan waktu lama. Pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu lebih dari 20
tahun untuk mengurangi penduduk miskin dari 40% (1976)
menjadi 11% (1996).
Data empirik dari dunia menunjukkan bahwa program
perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat
menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari
program pembangunan untuk memakmurkan rakyat (Soekirman,
2001).
e. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan adalah total jumlah pendapatan dari semua
anggota keluarga , termasuk semua jenis pemasukan yang diterima
oleh keluarga dalam bentuk uang, hasil menjual barang, pinjaman
dan lain-lain (Thaha, 1996 dalam Rasifa 2006). Rendahnya tingkat
pendapatan keluarga, akan sangat berdampak rendahnya daya beli
keluarga tersebut. Pada masyarakat nelayan, rendahnya tingkat
pendapatan keluarga , sangat berdampak terhadap rendahnya rata-
rata tingkat pendidikan, yang pada gilirannya akan berimplikasi
terhadap rendahnya tingkat pengetahuan dan perilaku (khususnya
pengetahuan dan perilaku gizi). Rendahnya pengetahuan gizi
dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga , yang
selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi
pangan. Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan,
11
merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak
balita (Suhardjo, 2007).
12
2.1.5 Gejala klinis gizi kurang
Gejala klinis gizi kurang secara garis besar dapat dibedakan sebagai
marasmus, kwashiorkor, atau marasmic-kwashiorkor. Tanpa mengukur
atau melihat berat badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit
lain adalah KEP berat / gizi buruk tipe kwashiorkor.
a. Kwashiorkor
- Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki.
- Wajah membulat
- Pandangan mata sayu
- Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa rasa sakit atau rontok
- Perubahan status mental, apatis, dan rewel
- Pembesaran hati
- Otot mengecil ( hipotrofi ), lebih nyata bila diperiksa pada posisi
berdiri atau duduk.
- Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.
- Sering disertai : penyakit infeksi, anemia, diare.
b. Marasmus
- Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
- Wajah seperti orangtua
- Cengeng, rewel
- Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai
tidak ada.
- Sering disertai : penyakit infeksi ( umumnya kronis berulang )
- Diare kronis atau konstipasi / susah buang air
13
c. Marasmik-Kwashiorkor
- Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala
klinik kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U <60% baku
median WHO- NCHS disertai edema yang tidak mencolok.
14
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi kurang terhadap
perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan
gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah
penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi
sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri
dan tentu saja merosotnya prestasi anak (Nency, 2005).
Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan
dan kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-
hal yang dapat mencegah terjadinya kondisi gizi kurang pada anak. Berikut
adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi kurang pada anak:
a. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan.
Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai
pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah
berumur 2 tahun.
b. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein,
lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak
minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan
sisanya karbohidrat.
c. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program
Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas.
Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.
d. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan
e. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan
kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang
dari rumah sakit. kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan
gula.
15
mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan
hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan
meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan
meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah
intelegensia di kemudian hari.
16
BAB III
Pola Makanan
Pendapatan
17
3.2 Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota
suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki kelompok lain
(Notoatmodjo, 2005). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas
dan variabel terikat :
1. Variabel bebas yaitu variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Arikunto, 2006). Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan Ibu nifas tentang pola
menyusui dengan terjadinya bendungan ASI.
2. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat karena adanya variabel bebas (Arikunto, 2006). Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah bendungan ASI.
18
Risiko Tinggi : Apabila kurang mengkonsumsi makanan gizi seimbang yang
mengandung 3 fungsi pokok zat gizi.
Risiko Rendah : Apabila sehari-hari mengkonsumsi makanan gizi seimbang
yang mengandung 3 fungsi pokok zat gizi yaitu sumber energi, zat
pembangun dan zat pengatur (pelindung) proses tubuh.
c. Pengetahuan Ibu
Yang dimaksud dengan pengetahuan ibu dalam penelitian ini adalah
pengetahuan tentang gizi, di peroleh dengan jumlah jawaban yang benar dari
semua pertanyaan yang ada yang di beri nilai dengan skor kemudian hasilnya
dinyatakan dalam persen.
Kriteria Obyektif
Kurang : Jika presentase jawaban responden <75%
cukup : Jika presentase jawaban responden ≥75%
d. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi adalah Riwayat penyakit yang pernah diderita oleh anak yang
menyebabkan terganggunya status gizi Balita, seperti Diare, ISPA, dll selama
1 bulan terakhir sampai dilakukan penelitian.
Kriteria objektif
Risiko tinggi : Jika anak balita pernah menderita penyakit infeksi seperti
Diare, ISPA, Dll.
Risiko rendah : Jika anak balita tidak pernah menderita penyakit infeksi
tersebut.
e. Pekerjaan orang tua : segala usaha yang dilakukan oleh orangtua yang
menjadi sumber mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya.
Pendapatan adalah upah / penghasilan keluarga dalam satu bulan.
Risiko tinggi : Jika pendapatan keluarga responden < Rp.500.000
Risiko rendah : Jika pendapatan keluarga responden ≥ Rp.500.000
19
BAB IV
METODE PENELITIAN
1. Populasi
2. Sampel
n= N
1+N (d)2
Keterangan :
n : Besar Sampel
N : Besar Populasi
20
d : Nilai presisi adalah derajat ketepatan yang diinginkan berarti
penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan. Apabila
menginginkan derajat ketepatan yang tinggi maka diambil angka
0,10 (10%) (Notoatmodjo, 2010).
n = N
1+N (d)2
n = 453
1+453 (0,10)2
n = 453
1+453 (0,01)
n = 99,7 atau 100 orang
21
4.5 Cara Pengumpulan Data
1. Data Primer
Diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan atau
kusioner yang telah tersedia.
2. Data Sekunder
Diperoleh dari Dinas kesehatan serta puskesmas Plumbon Cirebon.
22
c. Penyakit infeksi merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.
Tingkat pekerjaan orang tua merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang
pada balita.
d. Tingkat pekerjaan orang tua merupakan factor resiko gizi kurang
e. Tingkat pendapatan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurag pada
balita
2. Hipotesis Nol (Ho)
a. Pola makan bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada
balita.
b. Pengetahuan ibu tentang gizi bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi
kurang pada balita.
c. Penyakit infeksi bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada
balita.
d. Pekerjaan orang tua bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang
pada balita.
e. Pendapatan bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada
balita.
23