Anda di halaman 1dari 47

PEDOMAN

PEMERIKSAAN/IDENTIFIKASI
JENIS IKAN DILARANG TERBATAS
(KEPITING BAKAU/Scylla spp.)

PUSAT KARANTINA DAN KEAMANAN HAYATI IKAN


BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU
DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

2016

i
Pedoman Pemeriksaan/Identifikasi Jenis Ikan Dilarang Terbatas (Kepiting
Bakau/
Scylla spp.)

Pengarah:
Kepala Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan
Penanggung Jawab:
Kepala Bidang Keamanan Hayati Ikan
Editor:
Heri Yuwono

Penyusun:
Sulistiono
Etty Riani
Aries Asriansyah
Wawing Walidi
Djoko Darman Tani
Awliya Prama Arta
Sri Retnoningsih
Yeni Anggraeni
Risman Ferdiansyah
Atit Wistati
Enggar Rahayuningsih
Anton Ojak Panjaitan
Adang Supardan

Diterbitkan oleh:
Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan
Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
2016

ISBN 978-602-97141-1-1

ii
KATA PENGANTAR

Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki


nilai ekonomis penting dan sebagai sumber pendapatan nelayan serta devisa bagi
negara. Indonesia sebagai negara dengan lahan hutan bakau yang luas,
mempunyai potensi kepiting bakau yang sangat menjanjikan.
Tingginya permintaan pasar terhadap kepiting bakau khususnya pasar luar
negeri, berakibat terhadap semakin tingginya tingkat eksploitasi biota tersebut di
alam. Eksploitasi yang tidak bertangungjawab akan menyebabkan terancamnya
kelestarian sumberdaya kepiting bakau. Guna mengantisipasi hal tersebut,
pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
1/PERMEN-KP/2015 telah menetapkan kepiting bakau (Scylla spp.) sebagai salah
satu jenis ikan (krustasea) yang dilarang penangkapan maupun peredarannya
dalam kondisi bertelur dan di bawah ukuran (layak tangkap).
BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan) sebagai benteng terakhir pengeluaran produk perikanan, perlu
membekali petugasnya di UPT-KIPM (Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan,
Pengendali Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) dalam mengidentifikasi
kepiting bakau (Scylla spp.) baik jenis maupun stadianya dalam kondisi bertelur
atau tidak bertelur. Oleh karena itu, guna menghindari kesalahan dalam
pemeriksaan/identifikasi dan penegakan hukum, diperlukan Pedoman
Pemeriksaan/Identifikasi Jenis Ikan Dilarang Terbatas (Kepiting Bakau/Scylla
spp.). Pedoman ini disusun dalam rangka memberikan acuan bagi petugas
karantina ikan di UPT-KIPM dalam melakukan pemeriksaan/identifikasi jenis dan
stadia kepiting bakau (Scylla spp.)
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan sehingga penyusunan pedoman ini dapat berjalan dengan
baik dan lancar. Semoga pedoman ini bermanfaat bagi petugas karantina ikan dan
pemangku kepentingan terkait lainnya di lapangan dalam
memeriksa/mengidentifikasi kepiting bakau (Scylla spp.).

Jakarta, Agustus 2016


Kepala Pusat Karantina dan
Keamanan Hayati Ikan

Dr. Ir. Riza Priyatna, M.P.

iii
DAFTAR ISI

Hal.
KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------- iii
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------- iv
DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------- v
DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------------- vi
I. PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------ 1
1.1. Latar Belakang ---------------------------------------------------------- 1
1.2. Tujuan -------------------------------------------------------------------- 2
1.3. Sasaran ------------------------------------------------------------------- 2
1.4. Ruang Lingkup ---------------------------------------------------------- 2
1.5. Dasar Hukum ------------------------------------------------------------ 2
1.6. Definisi Istilah ---------------------------------------------------------- 3
II. JENIS-JENIS KEPITING BAKAU -------------------------------------- 4
III. MORFOLOGI DAN ANATOMI KEPITING BAKAU -------------- 8
3.1. Morfologi Kepiting Bakau -------------------------------------------- 8
3.2. Anatomi Kepiting Bakau ---------------------------------------------- 12
IV. DISTRIBUSI DAN HABITAT -------------------------------------------- 14
4.1. Distribusi ----------------------------------------------------------------- 14
4.2. Habitat -------------------------------------------------------------------- 15
V. BIOLOGI ---------------------------------------------------------------------- 18
5.3. Sumber Makanan dan Kebiasaan Makan ---------------------------- 18
5.4. Siklus Hidup ------------------------------------------------------------- 18
5.5. Tingkat Kematangan Gonad ------------------------------------------ 20
DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------ 30

iv
DAFTAR TABEL

Hal.
Tabel 1. Jenis-jenis Kepiting Bakau menurut Estampador (1949) dan
Keenan dkk (1998) ------------------------------------------------------ 5
Tabel 2. Perbedaan Kepiting Bakau Jantan dan Betina ---------------------- 9

v
DAFTAR GAMBAR

Hal.
Gambar 1. Jenis-jenis Kepiting Bakau menurut (Keenan dkk. 1989) ------ 5
Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla serrata
(Keenan dkk. 1999) ---------------------------------------------------- 6
Gambar 3. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla paramamosain
(Keenan dkk. 1999) ------------------------------------------------- 6
Gambar 4. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla tranquebarica (Keenan
dkk. 1999) ------------------------------------------------------------ 7
Gambar 5. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla olivacea (Keenan
dkk. 1999)------------------------------------------------------------- 7
Gambar 6. Bagian-bagian Tubuh Kepiting Bakau --------------------------- 9
Gambar 7. Perbedaan Secara Morfologis Kepiting Bakau Jantan dan
Betina ------------------------------------------------------------------ 10
Gambar 8. Tiga Bentuk Penutup Abdomen. A. Tipe Meruncing dan
Triangular (V shape), B. Tipe Lebar dan Globular (U shape),
dan C. Tipe Antara V dan U (intermediate V-U) --------------- 10
Gambar 9. Morfologi Kepiting Bakau (tampak atas) ------------------------ 11
Gambar 10. Morfologi Kepiting Bakau (tampak bawah) --------------------- 12
Gambar 11. Bagian Organ Dalam Kepiting Bakau ---------------------------- 13
Gambar 12. Distribusi Kepiting Bakau di Dunia ------------------------------ 14
Gambar 13. Jumlah Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla spp.)
(Sunarto, 2015) ------------------------------------------------------ 16
Gambar 14. Siklus Hidup Kepiting Bakau ------------------------------------- 19
Gambar 15. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 21
Gambar 16. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 21
Gambar 17. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 22
Gambar 18. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 22
Gambar 19. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Awal
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 23

vi
Gambar 20. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Awal
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 24
Gambar 21. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 24
Gambar 22. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 25
Gambar 23. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Sempurna
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 26
Gambar 24. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Sempurna
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 26
Gambar 25. Perkembangan Gonad Melalui Pengamatan Luar
(Tanpa Pembedahan - Karapas) Gonad Mulai Matang Kuning
(a,b) dan Gonad Sudah Matang Kuning-Oranye (c,d,e) -------- 28
Gambar 26. Perkembangan Telur yang telah dibuahi, Mulai Dari
Telur Berwarna Kuning (Gambar. a) Hingga Telur
Berwarna Kehitaman (Gambar. f) ---------------------------------- 29

vii
viii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejak tahun 1980-an, kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan
penting, mempunyai nilai ekonomis penting, dan memiliki harga yang tinggi baik
di pasar dalam negeri maupun luar negeri, antara lain di Asia (seperti Singapura,
Thailand, Taiwan, Hongkong dan China) (Rusdi dan Hanafi, 2009), maupun di
Amerika dan Eropa. Dalam perdagangan internasional jenis kepiting bakau
dikenal sebagai Mud Crab atau bahasa Latinnya Scylla spp.
Perkembangan usaha perdagangan kepiting bakau sampai saat ini terus
meningkat karena peluang pasar ekspor yang terbuka luas (dengan lebih dari 10
negara konsumen), potensi lahan bakau yang merupakan habitat hidupnya cukup
besar, pengetahuan dan teknologi yang semakin meningkat baik budidaya
(pembenihan, pembesaran), maupun teknologi penangkapannya. Peluang pasar
yang cukup besar dengan harga tinggi tersebut menyebabkan bisnis kepiting
berkembang di banyak tempat di negara kita seperti di Kalimantan (Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara), Sulawesi (Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah), Jawa (Subang, Indramayu, Cilacap,
Pemalang, Gresik, Sidoarjo), Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Utara, Lampung),
Papua, Papua Barat dan lain-lain, dengan target pemasaran lokal maupun ekspor
(antara lain Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia,
Australia dan Prancis).
Sebagai salah satu sumber pendapatan nelayan dan devisa negara, kepiting
perlu mendapatkan perhatian dari segi kelestarian dan keberlangsungan hidupnya
di alam. Dalam rangka perlindungan dan menjaga kelestarian kepiting bakau,
Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang
Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan
(Portunus pelagicus spp.).
Dalam penerapan peraturan tersebut, petugas Unit Pelaksana Teknis
Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (UPT-KIPM)
di lapangan menemukan beberapa kendala diantaranya dalam mengidentifikasi

1
jenis kepiting bakau yang terdapat di Indonesia serta stadia bertelur dan tidak
bertelur. Oleh karena itu, perlu disusun Pedoman Pemeriksaan/Identifikasi Jenis
Ikan Dilarang Terbatas (Kepiting Bakau/Scylla spp.).

1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan pedoman ini adalah untuk memberikan acuan bagi
petugas UPT-KIPM dalam mengidentifikasi jenis dan stadia bertelur kepiting
bakau.

1.3. Sasaran
Sasaran pedoman ini adalah petugas UPT-KIPM agar mampu
mengidentifikasi jenis dan stadia bertelur kepiting bakau.

1.4. Ruang Lingkup


Ruang lingkup pedoman ini meliputi morfologi, jenis, habitat dan
distribusi, serta biologi kepiting bakau (Scylla spp.).

1.5. Dasar Hukum


Dasar hukum penyusunan pedoman ini adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

2. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,


Ikan, dan tumbuhan;

3. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United


Nation Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati);

4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Pengesahan


Cartagena Protocol on Biosafety to The Convention on Biological
Diversity (Protokol Cartagena Tentang Keamanan Hayati Atas
Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati);

5. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009;

2
6. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi


Sumberdaya Ikan;

9. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 1/PERMEN-


KP/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting
(Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.).

1.6. Definisi Istilah


Berikut ini beberapa istilah yang umum ditemukan pada kepiting bakau:

Capit (Claw atau Chela) : bagian kaki pertama yang umumnya paling
besar;
Kaki jalan : kaki kepiting yang umumnya berjumlah 4,
yang berfungsi untuk berjalan;
Kaki renang : kaki kepiting yang ujungnya berbentuk
dayung, berfungsi untuk berenang;
Merus : bagian kaki kepiting yang dekat denga
bagian badan;
Corpus : bagian kaki kepiting yang terletak atara
merus dan propodus;
Propondus : bagian kaki kepiting yang posisinya jauh dari
badan
Dactylus : bagian propondus yang dapat digerakkan;
Duri kepala (frontal spine) : duri yang terdapat pada bgian dahi kepala
kepiting bakau;
Duri lengan : duri yang terdapat pada bagian lengan
corpus;
Duri samping (lateral spine): duri yang terdapat pada bagian samping
badan kepiting bakau;
Karapas : cangkang keras yang melindungi organ
dalam;
Perut (abdomen) : bagian perut yang umumnya terdapat pada
bagian bawah dari kepiting bakau.

3
II. JENIS-JENIS KEPITING BAKAU

Menurut Stephenson dan Campbell (1960), Motoh (1977), Warner (1977),


Moosa (1980) dan Keenan dkk (1998), kepiting bakau dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Klass : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Scylla (de Han)
Spesies : Scylla serrata (Forskal, 1775), S. tranquiberica
(Fabricus, 1798), S. paramamosain (Estampador,
1949), dan S. olivacea (Herbst, 1796).

Menurut Keenan dkk. (1998), terdapat paling sedikit 4 (empat) spesies


kepiting bakau di bawah genus Scylla yang terdiri atas S. serrata, S. olivacea, S.
paramamosain dan S. tranqueberica (Gambar 1), dengan ciri-ciri pokok atau
pembeda di antara jenis tersebut berupa duri pada dahi dan lengan corpus yang
disampaikan pada Gambar 1. Hal ini didasarkan pada hasil deskripsi morfologi
maupun investigasi metode genetik yakni mitokondria DNA dan allozim
elektroforesis. Pemberian nama tersebut berbeda dengan nama-nama spesies yang
disampaikan oleh Estampador (1949), dan hingga kini paling layak untuk diacu
sebagai kunci identifikasi di alam. Perbandingan pemberian nama Estampador
(1949) dan Keenan dkk (1998) disampaikan pada Tabel 1.
Pada beberapa perairan di Indonesia, jenis-jenis tersebut dapat ditemukan,
di utara Jawa dapat ditemukan S. serrata, S. olivacea dan S. paramamosain, di
selatan Jawa juga ditemukan ketiga jenis tersebut. Di wilayah Papua ditemukan
empat jenis yaitu S. serrata, S. olivacea, S. paramamosain dan S. tranqueberica.

4
Tabel 1. Jenis-jenis Kepiting Bakau Menurut Estampador (1949) dan Keenan
dkk (1998)
Penamaan oleh Estampador (1949) Penamaan oleh Keenan dkk (1998)
Scylla oceanica Scylla serrata
S. serrata S. olivacea
S. tranquebarica S. tranquebarica
S. serrata var. paramamosain S. paramamosain

Scylla paramamosain Scylla serrata

Scylla tranquebarica Scylla olivacea

Gambar 1. Jenis-jenis Kepiting Bakau Menurut Keenan dkk (1998)

5
Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla serrata (Keenan dkk.
1999)

Kepiting bakau jenis Scylla serrata memiliki duri yang tinggi dengan
warna kemerahan hingga oranye terutama pada capit dan kakinya. Pada duri
bagian depan kepala umumnya lancip, dan memiliki duri tajam pada bagian
corpus.

Gambar 3. Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla paramamosain (Keenan


dkk. 1999)

Kepiting bakau jenis Scylla paramamosain memiliki duri yang relatif agak
tinggi/sedang, memiliki warna karapas cokelat kehijauan, sumber pigmen
polygonal terdapat pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki-kaki.

6
Gambar 4. Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla tranquebarica (Keenan dkk.
1999)

Kepiting bakau jenis Scylla transquebarica memiliki warna karapas


kehijauan sampai kehitaman dengan sedikit garis-garis berwarna kecoklatan pada
kaki renangnya. Duri bagian depan kepala umumnya tumpul, dan memiliki duri
tajam bagian bagian corpus.

Gambar 5. Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla olivacea (Keenan dkk.


1999)

Kepiting bakau jenis Scylla olivacea memiliki warna karapas hijau keabu-
abuan, rambut atau setae melimpah pada bagian karapas, duri bagian kepala
umumnya tumpul, dan memiliki duri tajam bagian bagian corpus. Secara ringkas
perbedaan perbandingan karakter kepiting genus Scylla dijelaskan pada Tabel 2
berikut.

7
Tabel 2. Perbandingan Karakter Pada Genus Scylla

Karakter Scylla olivacea Scylla paramamosain Scylla serrata Scylla tranquebarica

Capit

Muka
karapas

Sumber: Carpenter dkk., 1998

8
III. MORFOLOGI DAN ANATOMI KEPITING BAKAU

3.1. Morfologi Kepiting Bakau


Kepiting bakau merupakan salah satu kelompok Crustacea. Tubuh kepiting
ditutupi dengan karapas, yang merupakan kulit keras atau exoskeleton (kulit luar)
dan berfungsi untuk melindungi organ bagian dalam kepiting (Prianto, 2007).
Kulit yang keras tersebut berkaitan dengan fase hidupnya (pertumbuhan) yang
selalu terjadi proses pergantian kuit (moulting). Kepiting bakau genus Scylla
ditandai dengan bentuk karapas yang oval bagian depan pada sisi panjangnya
terdapat 9 duri di sisi kiri dan kanan serta 4 yang lainnya diantara ke dua matanya.
Spesies-spesies di bawah genus ini dapat dibedakan dari penampilan morfologi
maupun genetiknya. Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi di bawah
karapas. Anggota badan berpangkal pada bagian cephalus (dada) tampak mencuat
keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 (lima) pasang kaki.
Pasangan kaki pertama disebut cheliped (capit) yang berperan sebagai alat
memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga
sebagai senjata dalam menghadapi musuh, pasangan kaki kelima berbentuk
seperti kipas (pipih) berfungsi sebagai kaki renang yang berpola poligon dan
pasangan kaki selebihnya sebagai kaki jalan (Gambar 6). Pada dada terdapat
organ pencernaan, organ reproduksi (gonad pada betina dan testis pada jantan).
Bagian tubuh (abdomen) melipat rapat dibawah (ventral) dari dada. Pada ujung
abdomen itu bermuara saluran pencernaan (dubur).

9
Gambar 6. Bagian-bagian Tubuh Kepiting Bakau

Berdasarkan morfologinya, perbedaan pada kepiting bakau jantan dan


betina dapat dilihat pada Tabel 3. dan Gambar 7.

Tabel 3. Perbedaan Kepiting Bakau Jantan dan Betina


Bagian tubuh Jantan Betina
Capit Lebih besar dan panjang Lebih kecil dan relatif
lebih pendek
Abdomen berbentuk segitiga, ruas berbentuk membulat, ruas
abdomen sempit dan agak abdomen lebih melebar
meruncing di bagian pada bagian ujungnya atau
ujungnya dengan sudut menyerupai bentuk huruf
menyerupai huruf “V”, “U”, berbentuk seperti
berbentuk seperti tugu stupa di bawahnya terdapat
bulu-bulu atau umbai-
umbai sebagai tempat
pengeraman telur
Pleopod (kaki renang) berfungsi sebagai alat berfungsi sebagai tempat
kopulasi meletakkan telur
Ukuran Tubuh Memiliki ukuran tubuh yang Memiliki ukuran tubuh
besar cenderung lebih kecil

10
Gambar 7. Perbedaan Secara Morfologis Kepiting Bakau Jantan (kiri) dan Betina
(kanan)

Pada kepiting betina, berdasarkan bentuk penutup abdomen terdapat 3


jenis atau tipe meruncing dan triangular (V shape), tipe lebar dan globular (U
shape), dan tipe antara V dan U (intermediate V-U) (Gambar 8).

A B C
Gambar 8. Tiga Bentuk Penutup Abdomen. A. tipe Meruncing dan Triangular (V
shape), B. Tipe Lebar dan Globular (U shape), dan C. Tipe Antara V
dan U (intermediate V-U)

Menurut Siahainenia (2008), kepiting bakau memiliki warna karapas yang


bervariasi dari ungu, hijau, sampai hitam kecoklatan. Hal itu karena habitat alami
hewan ini yang berada di kawasan mangrove yang bertekstur tanah pasir
berlumpur. Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang dalam keadaan
normal capit (cheliped) sebelah kanan lebih besar dibandingkan capit sebelah kiri
(Kasry, 1996).
Morfologi kepiting bakau secara detail dapat dilihat pada Gambar 9 dan
Gambar 10. Jika dilihat dari bagian atas, terdapat bagian-bagian antara lain: capit,
manus, carpus, merus, ischium, daerah propogastric, daerah hati, daerah
mesogastric, daerah metagastric, daerah jantung, daerah anterolateral, daerah

11
usus, tepi posterior, daerah protobranchial, daerah mesobranchial, daerah
metabranchial, propodus, dactylus, kaki jalan, dan kaki renang.

Foto: Asriansyah, 2016


Gambar 9. Morfologi Kepiting Bakau (tampak atas)

Keterangan:
1. Capit 7. Daerah orbital 13. Daerah metagastric 19. Badan
2. Manus 8. Mata majemuk 14. Daerah jantung, 20. Daerah protobranchial,
3. Carpus 9. Daerah epigastric, 15. Daerah 21. Daerah mesobranchial,
anterolateral
4. Merus 10. Daerah propogastric 16. Branchial Lobe 22. Daerah metabranchial,
5. Ischium 11. Daerah hati 17. Usus 23. Propodus,
6. Daerah frontal 12. Daerah mesogastric 18. Tepi Posterior 24. Dactylus, B-D. kaki jalan,.
dan E. kaki renang

Jika dilihat dari bawah, tampak beberapa bagian antara lain: dactylus,
propodus, carpus, merus, ischium, basis, coxa, thorax, badan, daerah sub hepatic,
merus dengan 3 mexilliped, ischium dengan 3 mexiliiped, tiga mexilliped, manus,
cheliped, a-d sternum ke 7, 6, 5, 4. (Gambar 10).

12
Foto: Asriansyah, 2016
Gambar 10. Morfologi Kepiting Bakau (tampak bawah)
Keterangan:
1. Dactylus 7. Coxa 13. Ischium dengan 3 Maxiliped
2. Propodus 8. Thorax 14. Tiga Maxiliped
3. Carpus 9. Badan 15. Manus
4. Merus 10. Daerah subhepatic a-d. Sternum ke 7,6,5,4
5. Ischium 11. Hepatic
6. Basis 12. Merus

3.2. Anatomi Kepiting Bakau


Berdasarkan anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan
terletak pada bagian bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut
berfungsi dalam memegang makanan dan memompakan air dari mulut ke insang.
Kepiting memiliki rangka luar yang keras, sehingga mulutnya tidak dapat dibuka
lebar. Hal ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan capit dalam
memperoleh makanan. Makanan yang diperoleh dihancurkan dengan
menggunakan capit, kemudian baru dimakan. Anatomi tubuh kepiting bagian
dalam dapat dilihat pada Gambar 11. Pada gambar tersebut, dapat dilihat antara
lain lambung, hepatopankreas, insang, pembersih insang, dan jantung.

13
Gambar 11. Bagian Organ Dalam Kepiting Bakau

Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih (phyllobranchiate),


mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang berbeda. Insang yang
terdapat di dalam tubuh berfungsi untuk mengambil oksigen biasanya sulit dilihat
dari luar. Insang terdiri dari struktur yang lunak terletak di bagian bawah karapas.
Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagian depan karapas.

14
IV. DISTRIBUSI DAN HABITAT

4.1. Distribusi
Kepiting bakau mempunyai habitat hidup di daerah pantai dengan vegetasi
bakau di sekitar muara sungai. Genus Scylla spp. memiliki penyebaran yang
sangat luas (Gambar 12). Menurut Moosa dkk. (1985) dalam Mardjono dkk.
(1994) kepiting bakau mempunyai daerah penyebaran geografis mulai dari Pantai
Barat Afrika Selatan, Madagaskar, India, Sri Langka, Seluruh Asia Tenggara
sampai kepulauan Hawaii; Di sebelah Utara: dari Jepang bagian Selatan sampai
Pantai Utara Australia, dan di Pantai Barat Amerika bagian Selatan. Kepiting
bakau sesuai dengan jenisnya, memiliki wilayah habitat yang juga spesifik.
Scylla serrata merupakan spesies kepiting bakau yang memiliki distribusi
penyebaran paling luas dibanding spesies lainnya (Hubatsch dkk., 2015). S.
serrata dapat ditemukan di wilayah pesisir perairan tropis dan subtropis,
diantaranya adalah pantai selatan dan timur Afrika, Laut Merah, Teluk Aden,
Teluk Persia, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Australia. Selain itu, S. serrata juga
ditemui di kepulauan Indo Pasifik seperti Kepulauan Mariana, Kepulauan Fiji,
Kepulauan Samoa, Kepulauan Seychelles, Kepulauan Maladewa, dan Pulau
Mauritius. Populasi S. serrata menyebar hingga wilayah perairan sampai 38°
Lintang Selatan, sedangkan 3 spesies lainnya berpusat di perairan sekitar garis
khatulistiwa (Hubatsch dkk., 2015).
Distribusi kepiting bakau jenis S. tranquebarica, S. olivacea, dan S.
paramamosain menyebar di wilayah perairan Landasan Kontinen (wilayah laut
dangkal di sepanjang pantai dengan kedalaman kurang dari 200 meter) Asia dan
hanya jenis S. olivacea yang dapat ditemukan di wilayah perairan bagian utara
Australia. Ketiga spesies tersebut menyebar di Laut Cina Selatan, dan Laut Jawa
dimana kepiting bakau jenis S. serrata jarang ditemukan di wilayah tersebut
(Keenan dkk., 1998).

15
Sumber: Hubatsch dkk., 2015
Gambar 12. Distribusi Kepiting Bakau di Dunia

Indonesia dengan potensi hutan bakau yang sangat besar (4,25 juta ha)
tersebar di beberapa pulau seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku
dan Papua, diduga merupakan habitat dan fishing ground kepiting bakau. Kepiting
bakau terdapat di wilayah perairan pantai estuari dengan kadar garam 0 sampai 35
ppt. Hewan ini menyukai perairan yang berdasar lumpur dan lapisan air yang
tidak terlalu dalam (sekitar 10-80 cm) dan terlindung, seperti di wilayah hutan
bakau. Di habitat seperti itu kepiting bakau hidup dan berkembang biak.
Ekosistem hutan bakau atau mangrove merupakan ekosistem hutan yang
tumbuh di lingkungan pantai dan sebagai sumber produktivitas primer, sehingga
berfungsi sebagai daerah untuk mencari makan (feeding ground), tempat
berlindung/daerah asuhan (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning
ground) berbagai biota perairan, termasuk kepiting bakau. Ekosistem mangrove
juga berfungsi menghasilkan berbagai makanan yang dibutuhkan oleh kepiting
bakau dalam bentuk material organik maupun jenis pakan alami lainnya.
Ketersediaan pakan alami, produktivitas maupun kualitas habitat ekosistem

16
mangrove sangat mempengaruhi keberlangsungan kehidupan kepiting bakau di
dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Kepiting bakau yang sudah dewasa dan mengandung telur terdapat di
daerah laut dekat pantai yang merupakan tempat melakukan perkawinan
(spawning ground). Selain itu kepiting bakau banyak dijumpai berkembangbiak di
daerah pertambakan dan hutan bakau yang berair tak terlalu dangkal (lebih dari
0,5 m).

4.2. Habitat
Habitat hutan bakau merupakan habitat utama kepiting untuk tumbuh dan
berkembang (nursery ground) dikarenakan terdapat organisme kecil yang menjadi
makanan dari kepiting bakau. Habitat alami kepiting bakau adalah daerah
perairan payau yang dasarnya berlumpur dan berada di sepanjang garis pantai
yang banyak ditumbuhi pohon bakau (mangrove). Vegetasi mangrove yang umum
dijumpai di wilayah pesisir Indonesia, antara lain api-api (Avicennia sp.), nyrih
(Xylocarpus sp.), bakau (Rhizophora sp.), pedada (Sonneratia sp.), tanjang
(Brugueira sp.), tengar (Ceriops sp.) dan buta-buta (Exoecaria sp.).
Berdasarkan hasil penelitian Sunarto (2015), di wilayah pertambakan dan
hutan bakau Kabupaten Indramayu ditemukan 2 jenis kepiting bakau, yaitu Scylla
paramamosain dan S. olivacea. Jenis S. paramamosain umumnya mendominasi
wilayah di Indramayu dengan habitat dominan Rhizopora sp. ataupun Avicenia
sp., namun demikian pada kanal dominan Avicenia sp., jenis S. olivacea dijumpai
cukup banyak dibandingkan dengan habitat lain (Gambar 13).

17
Keterangan Lokasi Stasiun:
1 = Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp. (TSDR)
2 = Tambak silvofishery dominan Avicennia sp. (TSDA)
3 = Kanal dominan Rhizopora sp. (KDR)
4 = Kanal dominan Avicennia sp. (KDA)
5 = Pinggiran Hutan Mangrove (PHM)
Gambar 13. Jumlah Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla spp.) (Sunarto, 2015)

Di wilayah hutan mangrove Sancang, Kabupaten Garut (Jawa Barat),


dijumpai 3 jenis spesies kepiting bakau (Avianto dkk, 2013), yaitu S. serrata, S.
tanquaberica, S. olivacea. Jenis kepiting bakau S. serrata diperkirakan
mendominasi di wilayah zona dekat laut, dengan kadar salinitas >28 ‰. Di Zona
penelitian yang agak ke tengah (yang merupakan kawasan tengah hutan mangrove
dengan toleran pada salinitas 24 - >28 ‰) ditemukan S.tanquaberica. Pada zona
agak jauh dari pantai (yang merupakan wilayah belakang hutan mangrove dan
diduga toleran pada salinitas cukup rendah 22,44 ‰) ditemukan cukup banyak
jenis S. olivacea. Pada wilayah hutan mangrove yang dekat dengan pantai,
umumnya didominasi oleh jenis Avicenia sp. dan Sonneratia sp., pada zona agak
ke tengah ditemukan banyak jenis Rhizopora sp., sedangkan wilayah yang agak
jauh dari pantai umumnya ditemukan cukup banyak Bruguiera sp. dan Rhizopora
sp.

18
V. BIOLOGI

5.1. Sumber Makanan dan Kebiasaan Makan


Di dalam habitat alaminya kepiting bakau mengkonsumsi berbagai jenis
pakan antara lain alga, daun-daun yang telah membusuk, akar serta jenis kacang-
kacangan, jenis siput, kodok, katak, daging kerang, udang, ikan, bangkai hewan
(Kasry, 1996), sehingga kepiting bakau bersifat omnivore (pemakan segala).
Kepiting bakau aktif makan pada waktu malam hari, namun sebenarnya waktu
makannya tidak beraturan. Pada saat stadia larva, kepiting bakau lebih cenderung
mengkonsumsi pakan dari jenis planktonik seperti Diatom sp., Tetraselmis sp.,
Chlorella sp., Rotifer (Brachionus sp.), serta larva Echinodermata, Moluska,
cacing dan lain-lain (Kasry, 1996; Kordi, 1997).

5.2. Siklus hidup


Amir (1994) dalam Agus (2008), menyatakan bahwa kepiting bakau
dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian
induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau hutan bakau untuk
berlindung, mencari makanan, atau tumbuh berkembang. Kepiting betina matang
pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm sedangkan kepiting jantan matang
secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup
berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari
ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm.
Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki
hutan bakau dan tambak. Proses perkawinan kepiting tidak seperti pada udang
yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap) tetapi kepiting bakau juga
melakukan perkawinan pada siang hari (Ditjen Perikanan 1994). Spermatofor
kepiting jantan akan disimpan di dalam spermateka kepiting betina sampai telur
siap dibuahi. Jumlah telur yang dihasilkan dalam sekali perkawinan berkisar 2-8
juta butir telur (Kordi 2012), bergantung dari ukuran dan umur kepiting. Siklus
hidup kepiting bakau disampaikan pada Gambar 14.

19
Sumber: Hubatsch dkk., 2015
Gambar 14. Siklus Hidup Kepiting Bakau

Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus
menerus berganti kulit sebanyak lima kali sambil terbawa arus ke perairan pantai
sampai (zoea V). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi
masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini, kepiting
mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai. Zoea
membutuhkan waktu pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali untuk
menjadi kepiting dewasa.
Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung relatif cepat sekitar 3-4 hari
tergantung pada kemampuan tubuhnya. Pada fase megalopa, proses pergantian
kulit berlangsung relatif lama sekitar 15 hari. Setelah fase megalopa, kemudian
akan tumbuh menjadi juvenil dan bentuknya sudah sempurna sampai remaja
hingga kepiting dewasa. Kemudian, pada saat dewasa kepiting beruaya ke
perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Kanna,
2002).

20
5.3. Tingkat Kematangan Gonad
Kepiting bakau merupakan organisme yang dioceous, artinya mempunyai
jenis kelamin jantan dan betina pada individu yang berbeda. Perbedaan kepiting
jantan dan betina dapat diketahui secara morfologi.
Sistem reproduksi kepiting betina terdiri atas ovarium, saluran telur, dan
spermateka, sedangkan pada kepiting jantan terdiri atas testis, saluran sperma, dan
alat ejakulasi. Pada betina, ovarium terletak di dalam rongga abdomen, melintang
tepat di atas kelenjar pencernaan, demikan juga pada kepiting jantan. Ujung
spermateka mengarah pada koksa dari pasangan kaki ketiga, sedangkan saluran
sperma terbuka kearah koksa pada pasangan kaki terakhir. Ujung dari saluran
telur mengalami modifikasi membentuk spermateka dan vagina untuk menangkap
pleopod jantan. Ukuran spermateka berubah-ubah sesuai volume sperma yang
dikandungnya (Diesel, 1991).
Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) pada kepiting bakau betina
dapat dilakukan dengan dua pemeriksaan yaitu pemeriksaan secara morfologis
dan histologis. Pengamatan secara morfologis dilakukan dengan melihat
perubahan ukuran dan warna yang tampak pada bagian bawah abdomen. Kedua
teknik penentuan tingkat kematangan gonad dari kepiting bakau ini berdasarkan
Kasry (1996) yang dikombinasikan dengan Islam dkk. (2010) dan Ikhwanuddin
dkk. (2014) yaitu:

1. TKG I belum matang (immature, polyferation)


Pada tingkat kematangan gonad pertama, gonad memiliki ciri morfologis
antara lain ovarium berbentuk sepasang filamen yang mengarah ke punggung,
berwarna kuning keputihan, seluruhnya ditutupi selaput peritoneum tipis (Gambar
15).
Sedangkan ciri histologisnya antara lain epitel folikel yang menutupi sel
telur tidak begitu jelas, sitoplasma berwarna agak lemah, nukleus dan nukleolus
sangat jelas. Sebagian besar ovarium yang belum matang mempunyai bentuk yang
tidak beraturan, sel telur yang mengalami asteria (ketidakjelasan bentuk) relatif
banyak, ukuran diameter telur sekitar 35-50 µm (Gambar 16).

21
Keterangan: O: Ovary; D: Digestive gland
Gambar 15. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang (M. S.
Islam dkk. 2010).

Keterangan: O: Ovary
Gambar 16. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang (M. S.
Islam dkk. 2010).

Pada perkembangan gonad dari tidak matang menjadi berkembang


diperlukan waktu sekitar 5-10 hari. Pada kondisi praktis di lapang, kepiting yang
tidak matang gonad dapat ditempatkan dalam suatu kolam tertutup atau wadah

22
plastik di kolam air tambak atau saluran tambak, setelah 5-10 hari, gonad sudah
mulai agak berkembang.

2. TKG II berkembang (developing, previtellogeneisis, early maturing)


Gonad memiliki ciri morfologis antara lain.ukuran ovarium bertambah dan
meluas baik ke arah lateral maupun antero posterior, butiran telur belum kelihatan
dan warnanya menjadi kuning keemasan (Gambar 17).

Keterangan: O: Ovary; D: Digestive gland; Cs: Cardiac stomach


Gambar 17. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang (M. S.
Islam dkk. 2010).

Sedangkan ciri histologisnya berupa ovari yang masih kecil dan terlihat
kuning telur dengan ukuran kecil. Kuning telur tersebut menyebar di dalam
sitoplasma, ukuran diameter telur sekitar 45-100µm (Gambar 18).

23
Keterangan: P: Primary oocytes; V: Vacuolated globule
Gambar 18. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang (M. S.
Islam dkk. 2010).

Pada perkembangan gonad dari kondisi berkembang menjadi menjelang


matang diperlukan waktu 10-15 hari. Pada kondisi tersebut tersebut, gonad sudah
mulai berkembang, namun masih belum besar (kurang dari 20%).

3. TKG III menjelang matang (maturing, primary vitellogenesis)


Pada fase ini gonad memiliki ciri morfologis antara lain ovarium semakin
membesar. Warnanya mulai orange muda dan butiran telurnya sudah terlihat,
namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak (Gambar 19).
Sedangkan ciri histologis gonad pada fase ini antara lain butiran kuning
telurnya makin membesar dan hampir seluruh sitoplasma tertutup kelenjar
minyak, ukuran diameter telur sekitar 80-150 µm (Gambar 20).

24
Keterangan: O: Ovary; D: Digestive gland; Cs: Cardiac stomach
Gambar 19. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Awal (M. S.
Islam dkk. 2010).

Keterangan: F: Follicle cell; N: Nukleus; Yg: Yolk globule; Nu: Nucleolus


Gambar 20. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Awal (M. S.
Islam dkk. 2010).

Pada perkembangan gonad dari kondisi menjelang matang menjadi matang


diperlukan waktu 15-20 hari. Pada kondisi tersebut tersebut, gonad berkembang
sampai sekitar 50%.

25
4. TKG IV matang sampai matang akhir (mature-fully mature, secondary-
tertiary vitellogenesis)
Gonad pada fase matang, gonad memiliki ciri morfologis antara lain
butiran telur semakin membesar dan terlihat jelas berwarna orange serta dapat
dipisahkan dengan mudah karena lapisan minyak sudah semakin berkurang
(Gambar 21).

Keterangan: O: Ovary; D: Digestive gland


Gambar 21. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir (M. S.
Islam dkk. 2010).

Ciri histologisnya antara lain butiran kuning telurnya lebih besar dari TKG
III dan lapisan minyaknya menutupi seluruh sitoplasma (Gambar 22). Pada fase
ini ukuran diameter telur berkisar 120-200 µm.

26
Keterangan: F :Follicle cell; N: Nukleus; Yg: Yolk globule; Nu: Nucleolus
Gambar 22. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir (M. S.
Islam dkk. 2010).

Pada perkembangan gonad dari kondisi menjelang matang menjadi matang


diperlukan waktu 20-30 hari. Pada kondisi tersebut tersebut, gonad berkembang
sampai 50% atau lebih.
Sedangkan pada fase matang akhir, gonad memiliki ciri morfologis yang
mirip dengan matang, namun ukurannya volume gonad mendekati penuh (Gambar
23). Ciri histologis gonad pada matang akhiir antara lain sel telurnya seperti pada
kondisi matang, namun ukuran sel telur sekitar 150-250 µm (Gambar 24).

27
Keterangan: O: Ovary
Gambar 23. Kondisi morfologis gonad dalam keadaan matang sempurna (M. S.
Islam dkk. 2010).

Keterangan: F: Follicle cell; N: Nukleus; Vt: Vitellus


Gambar 24. Kondisi histologis gonad dalam keadaan matang sempurna (M. S.
Islam dkk. 2010).

Berdasarkan perkembangan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) di atas,


maka kepiting bakau dianggap bertelur apabila sudah mencapai TKG 3 sampai
dengan TKG 4.
Proses pemijahan telur dari kepiting bakau umumnya berlangsung
sepanjang tahun, akan tetapi ada perbedaan dari masa puncak bertelur pada setiap

28
perairan. Di seluruh perairan tropis di Indonesia, hewan ini melakukan pemijahan
sepanjang tahun, namun karena adanya perbedaan musim hujan dan musim
kemarau, puncak kegiatan memijah tidak sama untuk setiap tempat dan setiap
tahunnya. Proses pemijahan biasa dilakukan pada dasar perairan, di sekitar
kawasan hutan mangrove di pinggir pantai, akan tetapi pada saat tertentu kepiting
ini juga ada di sekitar tambak dan estuaria. Berdasarkan penelitian Kasry (1996)
dan Kanna (2002), kepiting bakau juga dapat dipijahkan di laboratorium dengan
masa inkubasi 12 hari, namun tingkat kelulusan hidup (survival) larva hasil
pemijahan di laboratorium masih rendah. Tingkat perkembangan indung telur
(gonad) merujuk pada tingkat kematangan gonad, menjelang matang (mature)
belum dapat dilihat dengan mata telanjang dan terbentuk sepasang filamen seperti
sari susu berwarna kuning keputihan. Ketika telur matang sedang, ukuran gonad
bertambah besar dan mengisi hampir seluruh permukaan ruang bagian punggung
dan daerah dada, terlihat berwarna kemerahan atau kuning keemasan. Selanjutnya
telur itu akan berkembang dengan baik (Poovachiranon, 1991).
Perkembangan gonad juga dapat diamati dari luar, dengan memperhatikan
kondisi perkembangan gonad (betina) dan melihat morfologis abdomen bagian
belakang. Untuk menentukan tingkat perkembanagan gonad, dapat dilihat dengan
cara sedikit menekan bagian belakang abdomen. Jika bagian tersebut terlihat
warna kuning ataupun oranye, maka kepiting tersebut dipastikan adalah kepiting
bertelur (Gambar 25). Cara lain untuk mengetahui kepiting berpotensi telur adalah
dengan menggunakan cahaya lampu. Akan tetapi cara ini hanya dapat dilakukan
ketika kepiting memasuki TKG IV. Kepiting pembawa telur tidak tembus cahaya
pada bagian anterior karapasnya. Sementara telur yang telah dibuahi akan keluar
melalui gonopore dan disimpan di balik segmen abdomen (antara sternum dan
abdomen).

29
a b

c d

Gambar 25. Perkembangan Gonad Melalui Pengamatan Luar (Tanpa


Pembedahan Karapas) Gonad Mulai Matang Kuning (a,b) dan
Gonad Sudah Matang Kuning-Oranye (c,d,e)

Kepiting betina yang sudah kawin dan memijah (melepaskan telur-


telurnya), telur tersebut dibuahi (fertilisasi) oleh sperma yang sudah disimpan
ketika perkawinan terjadi. Telur yang sudah terfertilisasi tidak dilepaskan ke
dalam air melainkan segera menempel pada rambut-rambut yang terdapat pada
umbai-umbai di bagian bawah abdomen. Di Indonesia yang beriklim tropika telur
itu “dierami” selama 20 - 23 hari sampai menetas (tergantung tingginya suhu air).
Seekor induk betina kepiting bakau yang beratnya 100 gram (lebar karapas 11 cm)
menghasilkan telur 1-1,5 juta butir. Semakin besar /berat induk kepiting, semakin
banyak telur yang dihasilkan.

30
Telur yang baru difertilisasi (dibuahi) berwarna kuning-oranye. Semakin
berkembang embrio dalam telur, warna telur akan berubah menjadi semakin gelap
yaitu kelabu akhirnya coklat kehitaman ketika hampir menetas (Gambar 26).
Induk yang mengerami telur umumnya sedikit atau tidak makan sama
sekali. Induk itu selalu menggerakkan kaki-kaki renangnya dan sering tampak
berdiri tegak pada kaki dayungnya, agar telur-telur mendapat aliran air segar yang
cukup oksigen.

a b c

d e f

Gambar 26. Perkembangan Telur yang Telah Dibuahi, Mulai Dari Telur
Berwarna Kuning Hingga Telur Berwarna Kehitaman

31
DAFTAR PUSTAKA

Agus M. 2008. Analisis Carring Capacity Tambak pada Sentra Budidaya


Kepiting Bakau (Scylla sp) di Kabupaten Pemalang-Jawa Tengah. Tesis.
Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas
Diponegoro, Semarang.
Avianto I, Sulistiono, I Setyobudiandi. 2013. Karakteristik Habitat Dan Potensi
Kepiting Bakau (Scylla serrata, S. transquaberica, dan S. olivacea) Di
Hutan Mangrove Cibako, Sancang, Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal
Ilmu Perikanan dan Sumberdaya perairan. Aquasains. 97-106 p.
Baliao, D.D., E.M. Rodriques and D.D. Gerochi. 1981. Culture of the Mud Crab,
Scylla serrata (Forskal) at Different Stocking Densities in Brackish
Waterpond. SEAFDEC. Quar, Res, Report, 5 : 10 - 14.
Carpenter, Kent E., and Volker H. Niem. 1998. The Living Marine Resources Of
The Western Central Pacific Volume 2: Cephalopods, crustaceans,
holothurians and shark. Food And Agriculture Organization of the United
States. Roma.
Catacutan, M. R. (2002). Growth and body composition of juvenile mud crab,
Scylla serrata, fed different dietary protein and lipid levels and protein to
energy ratios. Aquaculture, 208(1-2), 113-123.
Clark JE. 1974. Coastal Ecosystem : Ecological Consideration for Management
of the Coastal Zone. The Conservation Foundation Washington, D.C.
NOAA Office of Coastal Environment U.S. Dept. Of Commerce.
Diesel, R. 1991. Sperm Competition and the Evolution of Mating Behavior in
Brachyura, with Special Reference to Spider Crabs (Decapoda: Majidae).
In: Bauer, R. T. & Martin, J. W. (Hg.): Crustacean Sexual Biology, pp
145-163. Columbia University Press, New York.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau
(Scylla serrata). Balai Budidaya Air Payau, Direktorat Jenderal Perikanan.
40 hlm.
Estampador, E. P. 1949. "Studies on Scylla (Crustacea: Portunidae) I. Revision of
the genus. Philipp. J. Sci. 78(1): 95-108. pls. 1-3.
Giri, I.N.A, F. Johnny, K. Suwirya dan M. Marzuqi. 2002. Kebutuhan vitamin C
untuk pertumbuhan dan meningkatkan ketahanan benih kerapu macan,
Epinephelus fuscoguttatus. Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut Gondol-Bali. TA. 2003. Halaman: 133-143.
Hubatsch H.A., Lee S.Y., Meynecke J.O., Diele K., Nordhaus I., Wolff M. 2015.
Life-history, movement, and Habitat use of Scylla serrata (Decapoda,
Portunidae): Current Knowledge and Future Challenges. Journal of
Hydrobiologia (2016) 763:5-21.

32
Hutabarat, R. B. 1983. Beberapa Segi Kehidupan Kepiting Bakau, Scylla serrata
(Forskal) di Perairan Mangrove Ujung Alang, Cilacap. Skripsi Fakultas
Biologi Universitas Jend. Sudirman, Purwokerto.
Hutasoit, B. 1991. Telaah Segi-Segi Ekologi Kepiting Bakau. Fakultas Perikanan
IPB, Bogor.
Ikhwanuddin, M., J. Nur-Atika, A.B. Abol-Munafi, H. Muhd-Farouk. 2014.
Reproductive biology on the gonad female orangemud crab Scylla
olivacea (Herbst, 1796) from the West Coastal Water of Peninsular
Malaysia. Asian Journal of Cell Biology 9 (1):14-22.
Juwana, S dan K. Romimohtarto. 2001. Cara Budidaya Kepiting, Rajungan dan
Menu Masakan. Djambatan, Jakarta.
Kanna, I. 2002. Budi Daya Kepiting Bakau Pembesaran dan Pembenihan.
Kanisius. Yogyakarta. 80 hlm.
Karim, M. Y. 2005. Kinerja pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata
Forsskal) pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya pada Salinitas
Optimum dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Disertasi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 50 hal.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bharata, Jakarta.
93 p.
Keenan, C. P., P. J. F Davie, dan D. L. Mann. 1998. ‘A Revision of The Genus
Scylla de Haan, 1833 (Crustacea : Decapoda : Brachyura : Portunidae)’,
Raffles Bulletin of Zoology 46 : 217-245.
Keenan C. P. 1999. The fouth spesies of scylla. Dalam Mud crab aquaculture and
biology. ACIAR proceedings. 78. ACIAR. Canberra. 48-58.
Kordi, G. H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistim
Polikatur. Dahara Press. Semarang.
Kordi G. H. 2012. Jurus Jitu Pengelolaan Tambak untuk Budi Daya Perikanan
Ekonomis. ANDI. Yogyakarta. 396 hlm.
M. S. Islam dkk. 2010. Ovarian Development of the Mud Crab Scylla
paramamosain in a Tropical Mangrove Swamps, Thailand. Hournal of
Scientific Research. 2 (2), 380-389.
Macnae. 1968. A General Account of Fauna of The Mangrove Swamps of Inhaca
Island, Mocambique. J. Ecol. 50 : 93-128.
Mardjono, M. 1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau. Direktorat Jendral
Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.
Moosa, M. K. 1980. Systematical and zoogeographical observation the Indo-West
Pasific Portunidae. LON - LIPI. Jakarta. Hal 1-138.
Motoh, H. 1977. Biological synopsis of alimango, Genus Scylla. Quart. Res. Rep.
SEAFDEC. 3 : 136-157.
Motoh H. 1979. Edible crustaceans in the Philippines, 11th in a series. Asian
Aquaculture 2:5.

33
Nirmalasari I. W. 2011. Pengelolaan Zona Pemnafaatan Ekosistem Mangrove
Melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla
seratta) Di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Disertasi
IPB, Hal: 1 – 293.
Poovachiranon, S. dan P. Tantichodok. 1991. The Role of Sesarmid Crabs in The
Mineralization of Leaf Litter of Rhizophora apiculata in a Mangrove,
Southern Thailand. Research Bulletin of Phuket Marine Biological Centre
56: 63-74.
Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Species Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.
Retnowati, T. 1991. Menentukan Kematangan Gonad Kepiting Bakau (Scylla
serrata, Forskal) Secara Morfologis dan Kaitannya dengan
Perkembangan Gamet. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Fakultas
Perikanan, IPB.
Rusdi I., dan A. Hanafi, 2009. Pembesaran Krablet Kepiting Bakau Scylla
paramamosain Asal Hatchery di Lahan Mangrove. Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali 2009.
Siahainenia, L. 2000. Distribusi Kelimpahan Kepiting Bakau (S. serrata, S.
oceanica dan S. tranquebarica) dan Hubungannya dengan Karakteristik
Habitat pada Kawasan Hutan Mangrove Teluk Pelita Jaya, Seram Barat-
Maluku. Tesis Program Pascasarjana IPB, Bogor. 95 p.
Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem
Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Disertasi Program Pascasarjana
IPB. Bogor.
Stephenson, W., B. Campbell. 1959.‘The Australians Portunids (Crustacea:
Portunidae) III, The genus Portunus’, Aust J.mar. Freshwat. Res. 10: 84 –
124.
Sunarto, 2015. Hubungan Antara Keberadaan Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Dengan Kondisi Mangrove Dan Substrat Di Kawasan Tambak
Silvofishery, Eretan Indramayu. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Wahyuni, I. S. dan Sunaryo. 1981. Beberapa Catatan tentang Scylla serrata
(Forskal) di Daerah Muara Dua, Segara Anakan, Cilacap. Makalah pada
Kongres Nasional Biologi V di Semarang, 26-28 Juni.
Wahyuni I.S. dan W. Ismail. 1987. Beberapa Kondisi Lingkungan Perairan
Kepiting Bakau (Scylla serrata, Forskal) di Perairan Tanjung Pasir,
Tangerang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 38: p. 59-68.
Warner, G. F. 1977. The Biology of crab. Elek Scientific Book Ltd. London.

34

Anda mungkin juga menyukai