PEMERIKSAAN/IDENTIFIKASI
JENIS IKAN DILARANG TERBATAS
(KEPITING BAKAU/Scylla spp.)
2016
i
Pedoman Pemeriksaan/Identifikasi Jenis Ikan Dilarang Terbatas (Kepiting
Bakau/
Scylla spp.)
Pengarah:
Kepala Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan
Penanggung Jawab:
Kepala Bidang Keamanan Hayati Ikan
Editor:
Heri Yuwono
Penyusun:
Sulistiono
Etty Riani
Aries Asriansyah
Wawing Walidi
Djoko Darman Tani
Awliya Prama Arta
Sri Retnoningsih
Yeni Anggraeni
Risman Ferdiansyah
Atit Wistati
Enggar Rahayuningsih
Anton Ojak Panjaitan
Adang Supardan
Diterbitkan oleh:
Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan
Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
2016
ISBN 978-602-97141-1-1
ii
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------- iii
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------- iv
DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------- v
DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------------- vi
I. PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------ 1
1.1. Latar Belakang ---------------------------------------------------------- 1
1.2. Tujuan -------------------------------------------------------------------- 2
1.3. Sasaran ------------------------------------------------------------------- 2
1.4. Ruang Lingkup ---------------------------------------------------------- 2
1.5. Dasar Hukum ------------------------------------------------------------ 2
1.6. Definisi Istilah ---------------------------------------------------------- 3
II. JENIS-JENIS KEPITING BAKAU -------------------------------------- 4
III. MORFOLOGI DAN ANATOMI KEPITING BAKAU -------------- 8
3.1. Morfologi Kepiting Bakau -------------------------------------------- 8
3.2. Anatomi Kepiting Bakau ---------------------------------------------- 12
IV. DISTRIBUSI DAN HABITAT -------------------------------------------- 14
4.1. Distribusi ----------------------------------------------------------------- 14
4.2. Habitat -------------------------------------------------------------------- 15
V. BIOLOGI ---------------------------------------------------------------------- 18
5.3. Sumber Makanan dan Kebiasaan Makan ---------------------------- 18
5.4. Siklus Hidup ------------------------------------------------------------- 18
5.5. Tingkat Kematangan Gonad ------------------------------------------ 20
DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------ 30
iv
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1. Jenis-jenis Kepiting Bakau menurut Estampador (1949) dan
Keenan dkk (1998) ------------------------------------------------------ 5
Tabel 2. Perbedaan Kepiting Bakau Jantan dan Betina ---------------------- 9
v
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1. Jenis-jenis Kepiting Bakau menurut (Keenan dkk. 1989) ------ 5
Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla serrata
(Keenan dkk. 1999) ---------------------------------------------------- 6
Gambar 3. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla paramamosain
(Keenan dkk. 1999) ------------------------------------------------- 6
Gambar 4. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla tranquebarica (Keenan
dkk. 1999) ------------------------------------------------------------ 7
Gambar 5. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla olivacea (Keenan
dkk. 1999)------------------------------------------------------------- 7
Gambar 6. Bagian-bagian Tubuh Kepiting Bakau --------------------------- 9
Gambar 7. Perbedaan Secara Morfologis Kepiting Bakau Jantan dan
Betina ------------------------------------------------------------------ 10
Gambar 8. Tiga Bentuk Penutup Abdomen. A. Tipe Meruncing dan
Triangular (V shape), B. Tipe Lebar dan Globular (U shape),
dan C. Tipe Antara V dan U (intermediate V-U) --------------- 10
Gambar 9. Morfologi Kepiting Bakau (tampak atas) ------------------------ 11
Gambar 10. Morfologi Kepiting Bakau (tampak bawah) --------------------- 12
Gambar 11. Bagian Organ Dalam Kepiting Bakau ---------------------------- 13
Gambar 12. Distribusi Kepiting Bakau di Dunia ------------------------------ 14
Gambar 13. Jumlah Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla spp.)
(Sunarto, 2015) ------------------------------------------------------ 16
Gambar 14. Siklus Hidup Kepiting Bakau ------------------------------------- 19
Gambar 15. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 21
Gambar 16. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 21
Gambar 17. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 22
Gambar 18. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 22
Gambar 19. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Awal
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 23
vi
Gambar 20. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Awal
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 24
Gambar 21. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 24
Gambar 22. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 25
Gambar 23. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Sempurna
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 26
Gambar 24. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Sempurna
(M. S. Islam dkk. 2010) -------------------------------------------- 26
Gambar 25. Perkembangan Gonad Melalui Pengamatan Luar
(Tanpa Pembedahan - Karapas) Gonad Mulai Matang Kuning
(a,b) dan Gonad Sudah Matang Kuning-Oranye (c,d,e) -------- 28
Gambar 26. Perkembangan Telur yang telah dibuahi, Mulai Dari
Telur Berwarna Kuning (Gambar. a) Hingga Telur
Berwarna Kehitaman (Gambar. f) ---------------------------------- 29
vii
viii
I. PENDAHULUAN
1
jenis kepiting bakau yang terdapat di Indonesia serta stadia bertelur dan tidak
bertelur. Oleh karena itu, perlu disusun Pedoman Pemeriksaan/Identifikasi Jenis
Ikan Dilarang Terbatas (Kepiting Bakau/Scylla spp.).
1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan pedoman ini adalah untuk memberikan acuan bagi
petugas UPT-KIPM dalam mengidentifikasi jenis dan stadia bertelur kepiting
bakau.
1.3. Sasaran
Sasaran pedoman ini adalah petugas UPT-KIPM agar mampu
mengidentifikasi jenis dan stadia bertelur kepiting bakau.
2
6. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Capit (Claw atau Chela) : bagian kaki pertama yang umumnya paling
besar;
Kaki jalan : kaki kepiting yang umumnya berjumlah 4,
yang berfungsi untuk berjalan;
Kaki renang : kaki kepiting yang ujungnya berbentuk
dayung, berfungsi untuk berenang;
Merus : bagian kaki kepiting yang dekat denga
bagian badan;
Corpus : bagian kaki kepiting yang terletak atara
merus dan propodus;
Propondus : bagian kaki kepiting yang posisinya jauh dari
badan
Dactylus : bagian propondus yang dapat digerakkan;
Duri kepala (frontal spine) : duri yang terdapat pada bgian dahi kepala
kepiting bakau;
Duri lengan : duri yang terdapat pada bagian lengan
corpus;
Duri samping (lateral spine): duri yang terdapat pada bagian samping
badan kepiting bakau;
Karapas : cangkang keras yang melindungi organ
dalam;
Perut (abdomen) : bagian perut yang umumnya terdapat pada
bagian bawah dari kepiting bakau.
3
II. JENIS-JENIS KEPITING BAKAU
4
Tabel 1. Jenis-jenis Kepiting Bakau Menurut Estampador (1949) dan Keenan
dkk (1998)
Penamaan oleh Estampador (1949) Penamaan oleh Keenan dkk (1998)
Scylla oceanica Scylla serrata
S. serrata S. olivacea
S. tranquebarica S. tranquebarica
S. serrata var. paramamosain S. paramamosain
5
Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla serrata (Keenan dkk.
1999)
Kepiting bakau jenis Scylla serrata memiliki duri yang tinggi dengan
warna kemerahan hingga oranye terutama pada capit dan kakinya. Pada duri
bagian depan kepala umumnya lancip, dan memiliki duri tajam pada bagian
corpus.
Kepiting bakau jenis Scylla paramamosain memiliki duri yang relatif agak
tinggi/sedang, memiliki warna karapas cokelat kehijauan, sumber pigmen
polygonal terdapat pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki-kaki.
6
Gambar 4. Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla tranquebarica (Keenan dkk.
1999)
Kepiting bakau jenis Scylla olivacea memiliki warna karapas hijau keabu-
abuan, rambut atau setae melimpah pada bagian karapas, duri bagian kepala
umumnya tumpul, dan memiliki duri tajam bagian bagian corpus. Secara ringkas
perbedaan perbandingan karakter kepiting genus Scylla dijelaskan pada Tabel 2
berikut.
7
Tabel 2. Perbandingan Karakter Pada Genus Scylla
Capit
Muka
karapas
8
III. MORFOLOGI DAN ANATOMI KEPITING BAKAU
9
Gambar 6. Bagian-bagian Tubuh Kepiting Bakau
10
Gambar 7. Perbedaan Secara Morfologis Kepiting Bakau Jantan (kiri) dan Betina
(kanan)
A B C
Gambar 8. Tiga Bentuk Penutup Abdomen. A. tipe Meruncing dan Triangular (V
shape), B. Tipe Lebar dan Globular (U shape), dan C. Tipe Antara V
dan U (intermediate V-U)
11
usus, tepi posterior, daerah protobranchial, daerah mesobranchial, daerah
metabranchial, propodus, dactylus, kaki jalan, dan kaki renang.
Keterangan:
1. Capit 7. Daerah orbital 13. Daerah metagastric 19. Badan
2. Manus 8. Mata majemuk 14. Daerah jantung, 20. Daerah protobranchial,
3. Carpus 9. Daerah epigastric, 15. Daerah 21. Daerah mesobranchial,
anterolateral
4. Merus 10. Daerah propogastric 16. Branchial Lobe 22. Daerah metabranchial,
5. Ischium 11. Daerah hati 17. Usus 23. Propodus,
6. Daerah frontal 12. Daerah mesogastric 18. Tepi Posterior 24. Dactylus, B-D. kaki jalan,.
dan E. kaki renang
Jika dilihat dari bawah, tampak beberapa bagian antara lain: dactylus,
propodus, carpus, merus, ischium, basis, coxa, thorax, badan, daerah sub hepatic,
merus dengan 3 mexilliped, ischium dengan 3 mexiliiped, tiga mexilliped, manus,
cheliped, a-d sternum ke 7, 6, 5, 4. (Gambar 10).
12
Foto: Asriansyah, 2016
Gambar 10. Morfologi Kepiting Bakau (tampak bawah)
Keterangan:
1. Dactylus 7. Coxa 13. Ischium dengan 3 Maxiliped
2. Propodus 8. Thorax 14. Tiga Maxiliped
3. Carpus 9. Badan 15. Manus
4. Merus 10. Daerah subhepatic a-d. Sternum ke 7,6,5,4
5. Ischium 11. Hepatic
6. Basis 12. Merus
13
Gambar 11. Bagian Organ Dalam Kepiting Bakau
14
IV. DISTRIBUSI DAN HABITAT
4.1. Distribusi
Kepiting bakau mempunyai habitat hidup di daerah pantai dengan vegetasi
bakau di sekitar muara sungai. Genus Scylla spp. memiliki penyebaran yang
sangat luas (Gambar 12). Menurut Moosa dkk. (1985) dalam Mardjono dkk.
(1994) kepiting bakau mempunyai daerah penyebaran geografis mulai dari Pantai
Barat Afrika Selatan, Madagaskar, India, Sri Langka, Seluruh Asia Tenggara
sampai kepulauan Hawaii; Di sebelah Utara: dari Jepang bagian Selatan sampai
Pantai Utara Australia, dan di Pantai Barat Amerika bagian Selatan. Kepiting
bakau sesuai dengan jenisnya, memiliki wilayah habitat yang juga spesifik.
Scylla serrata merupakan spesies kepiting bakau yang memiliki distribusi
penyebaran paling luas dibanding spesies lainnya (Hubatsch dkk., 2015). S.
serrata dapat ditemukan di wilayah pesisir perairan tropis dan subtropis,
diantaranya adalah pantai selatan dan timur Afrika, Laut Merah, Teluk Aden,
Teluk Persia, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Australia. Selain itu, S. serrata juga
ditemui di kepulauan Indo Pasifik seperti Kepulauan Mariana, Kepulauan Fiji,
Kepulauan Samoa, Kepulauan Seychelles, Kepulauan Maladewa, dan Pulau
Mauritius. Populasi S. serrata menyebar hingga wilayah perairan sampai 38°
Lintang Selatan, sedangkan 3 spesies lainnya berpusat di perairan sekitar garis
khatulistiwa (Hubatsch dkk., 2015).
Distribusi kepiting bakau jenis S. tranquebarica, S. olivacea, dan S.
paramamosain menyebar di wilayah perairan Landasan Kontinen (wilayah laut
dangkal di sepanjang pantai dengan kedalaman kurang dari 200 meter) Asia dan
hanya jenis S. olivacea yang dapat ditemukan di wilayah perairan bagian utara
Australia. Ketiga spesies tersebut menyebar di Laut Cina Selatan, dan Laut Jawa
dimana kepiting bakau jenis S. serrata jarang ditemukan di wilayah tersebut
(Keenan dkk., 1998).
15
Sumber: Hubatsch dkk., 2015
Gambar 12. Distribusi Kepiting Bakau di Dunia
Indonesia dengan potensi hutan bakau yang sangat besar (4,25 juta ha)
tersebar di beberapa pulau seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku
dan Papua, diduga merupakan habitat dan fishing ground kepiting bakau. Kepiting
bakau terdapat di wilayah perairan pantai estuari dengan kadar garam 0 sampai 35
ppt. Hewan ini menyukai perairan yang berdasar lumpur dan lapisan air yang
tidak terlalu dalam (sekitar 10-80 cm) dan terlindung, seperti di wilayah hutan
bakau. Di habitat seperti itu kepiting bakau hidup dan berkembang biak.
Ekosistem hutan bakau atau mangrove merupakan ekosistem hutan yang
tumbuh di lingkungan pantai dan sebagai sumber produktivitas primer, sehingga
berfungsi sebagai daerah untuk mencari makan (feeding ground), tempat
berlindung/daerah asuhan (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning
ground) berbagai biota perairan, termasuk kepiting bakau. Ekosistem mangrove
juga berfungsi menghasilkan berbagai makanan yang dibutuhkan oleh kepiting
bakau dalam bentuk material organik maupun jenis pakan alami lainnya.
Ketersediaan pakan alami, produktivitas maupun kualitas habitat ekosistem
16
mangrove sangat mempengaruhi keberlangsungan kehidupan kepiting bakau di
dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Kepiting bakau yang sudah dewasa dan mengandung telur terdapat di
daerah laut dekat pantai yang merupakan tempat melakukan perkawinan
(spawning ground). Selain itu kepiting bakau banyak dijumpai berkembangbiak di
daerah pertambakan dan hutan bakau yang berair tak terlalu dangkal (lebih dari
0,5 m).
4.2. Habitat
Habitat hutan bakau merupakan habitat utama kepiting untuk tumbuh dan
berkembang (nursery ground) dikarenakan terdapat organisme kecil yang menjadi
makanan dari kepiting bakau. Habitat alami kepiting bakau adalah daerah
perairan payau yang dasarnya berlumpur dan berada di sepanjang garis pantai
yang banyak ditumbuhi pohon bakau (mangrove). Vegetasi mangrove yang umum
dijumpai di wilayah pesisir Indonesia, antara lain api-api (Avicennia sp.), nyrih
(Xylocarpus sp.), bakau (Rhizophora sp.), pedada (Sonneratia sp.), tanjang
(Brugueira sp.), tengar (Ceriops sp.) dan buta-buta (Exoecaria sp.).
Berdasarkan hasil penelitian Sunarto (2015), di wilayah pertambakan dan
hutan bakau Kabupaten Indramayu ditemukan 2 jenis kepiting bakau, yaitu Scylla
paramamosain dan S. olivacea. Jenis S. paramamosain umumnya mendominasi
wilayah di Indramayu dengan habitat dominan Rhizopora sp. ataupun Avicenia
sp., namun demikian pada kanal dominan Avicenia sp., jenis S. olivacea dijumpai
cukup banyak dibandingkan dengan habitat lain (Gambar 13).
17
Keterangan Lokasi Stasiun:
1 = Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp. (TSDR)
2 = Tambak silvofishery dominan Avicennia sp. (TSDA)
3 = Kanal dominan Rhizopora sp. (KDR)
4 = Kanal dominan Avicennia sp. (KDA)
5 = Pinggiran Hutan Mangrove (PHM)
Gambar 13. Jumlah Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla spp.) (Sunarto, 2015)
18
V. BIOLOGI
19
Sumber: Hubatsch dkk., 2015
Gambar 14. Siklus Hidup Kepiting Bakau
Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus
menerus berganti kulit sebanyak lima kali sambil terbawa arus ke perairan pantai
sampai (zoea V). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi
masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini, kepiting
mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai. Zoea
membutuhkan waktu pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali untuk
menjadi kepiting dewasa.
Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung relatif cepat sekitar 3-4 hari
tergantung pada kemampuan tubuhnya. Pada fase megalopa, proses pergantian
kulit berlangsung relatif lama sekitar 15 hari. Setelah fase megalopa, kemudian
akan tumbuh menjadi juvenil dan bentuknya sudah sempurna sampai remaja
hingga kepiting dewasa. Kemudian, pada saat dewasa kepiting beruaya ke
perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Kanna,
2002).
20
5.3. Tingkat Kematangan Gonad
Kepiting bakau merupakan organisme yang dioceous, artinya mempunyai
jenis kelamin jantan dan betina pada individu yang berbeda. Perbedaan kepiting
jantan dan betina dapat diketahui secara morfologi.
Sistem reproduksi kepiting betina terdiri atas ovarium, saluran telur, dan
spermateka, sedangkan pada kepiting jantan terdiri atas testis, saluran sperma, dan
alat ejakulasi. Pada betina, ovarium terletak di dalam rongga abdomen, melintang
tepat di atas kelenjar pencernaan, demikan juga pada kepiting jantan. Ujung
spermateka mengarah pada koksa dari pasangan kaki ketiga, sedangkan saluran
sperma terbuka kearah koksa pada pasangan kaki terakhir. Ujung dari saluran
telur mengalami modifikasi membentuk spermateka dan vagina untuk menangkap
pleopod jantan. Ukuran spermateka berubah-ubah sesuai volume sperma yang
dikandungnya (Diesel, 1991).
Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) pada kepiting bakau betina
dapat dilakukan dengan dua pemeriksaan yaitu pemeriksaan secara morfologis
dan histologis. Pengamatan secara morfologis dilakukan dengan melihat
perubahan ukuran dan warna yang tampak pada bagian bawah abdomen. Kedua
teknik penentuan tingkat kematangan gonad dari kepiting bakau ini berdasarkan
Kasry (1996) yang dikombinasikan dengan Islam dkk. (2010) dan Ikhwanuddin
dkk. (2014) yaitu:
21
Keterangan: O: Ovary; D: Digestive gland
Gambar 15. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang (M. S.
Islam dkk. 2010).
Keterangan: O: Ovary
Gambar 16. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang (M. S.
Islam dkk. 2010).
22
plastik di kolam air tambak atau saluran tambak, setelah 5-10 hari, gonad sudah
mulai agak berkembang.
Sedangkan ciri histologisnya berupa ovari yang masih kecil dan terlihat
kuning telur dengan ukuran kecil. Kuning telur tersebut menyebar di dalam
sitoplasma, ukuran diameter telur sekitar 45-100µm (Gambar 18).
23
Keterangan: P: Primary oocytes; V: Vacuolated globule
Gambar 18. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang (M. S.
Islam dkk. 2010).
24
Keterangan: O: Ovary; D: Digestive gland; Cs: Cardiac stomach
Gambar 19. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Awal (M. S.
Islam dkk. 2010).
25
4. TKG IV matang sampai matang akhir (mature-fully mature, secondary-
tertiary vitellogenesis)
Gonad pada fase matang, gonad memiliki ciri morfologis antara lain
butiran telur semakin membesar dan terlihat jelas berwarna orange serta dapat
dipisahkan dengan mudah karena lapisan minyak sudah semakin berkurang
(Gambar 21).
Ciri histologisnya antara lain butiran kuning telurnya lebih besar dari TKG
III dan lapisan minyaknya menutupi seluruh sitoplasma (Gambar 22). Pada fase
ini ukuran diameter telur berkisar 120-200 µm.
26
Keterangan: F :Follicle cell; N: Nukleus; Yg: Yolk globule; Nu: Nucleolus
Gambar 22. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir (M. S.
Islam dkk. 2010).
27
Keterangan: O: Ovary
Gambar 23. Kondisi morfologis gonad dalam keadaan matang sempurna (M. S.
Islam dkk. 2010).
28
perairan. Di seluruh perairan tropis di Indonesia, hewan ini melakukan pemijahan
sepanjang tahun, namun karena adanya perbedaan musim hujan dan musim
kemarau, puncak kegiatan memijah tidak sama untuk setiap tempat dan setiap
tahunnya. Proses pemijahan biasa dilakukan pada dasar perairan, di sekitar
kawasan hutan mangrove di pinggir pantai, akan tetapi pada saat tertentu kepiting
ini juga ada di sekitar tambak dan estuaria. Berdasarkan penelitian Kasry (1996)
dan Kanna (2002), kepiting bakau juga dapat dipijahkan di laboratorium dengan
masa inkubasi 12 hari, namun tingkat kelulusan hidup (survival) larva hasil
pemijahan di laboratorium masih rendah. Tingkat perkembangan indung telur
(gonad) merujuk pada tingkat kematangan gonad, menjelang matang (mature)
belum dapat dilihat dengan mata telanjang dan terbentuk sepasang filamen seperti
sari susu berwarna kuning keputihan. Ketika telur matang sedang, ukuran gonad
bertambah besar dan mengisi hampir seluruh permukaan ruang bagian punggung
dan daerah dada, terlihat berwarna kemerahan atau kuning keemasan. Selanjutnya
telur itu akan berkembang dengan baik (Poovachiranon, 1991).
Perkembangan gonad juga dapat diamati dari luar, dengan memperhatikan
kondisi perkembangan gonad (betina) dan melihat morfologis abdomen bagian
belakang. Untuk menentukan tingkat perkembanagan gonad, dapat dilihat dengan
cara sedikit menekan bagian belakang abdomen. Jika bagian tersebut terlihat
warna kuning ataupun oranye, maka kepiting tersebut dipastikan adalah kepiting
bertelur (Gambar 25). Cara lain untuk mengetahui kepiting berpotensi telur adalah
dengan menggunakan cahaya lampu. Akan tetapi cara ini hanya dapat dilakukan
ketika kepiting memasuki TKG IV. Kepiting pembawa telur tidak tembus cahaya
pada bagian anterior karapasnya. Sementara telur yang telah dibuahi akan keluar
melalui gonopore dan disimpan di balik segmen abdomen (antara sternum dan
abdomen).
29
a b
c d
30
Telur yang baru difertilisasi (dibuahi) berwarna kuning-oranye. Semakin
berkembang embrio dalam telur, warna telur akan berubah menjadi semakin gelap
yaitu kelabu akhirnya coklat kehitaman ketika hampir menetas (Gambar 26).
Induk yang mengerami telur umumnya sedikit atau tidak makan sama
sekali. Induk itu selalu menggerakkan kaki-kaki renangnya dan sering tampak
berdiri tegak pada kaki dayungnya, agar telur-telur mendapat aliran air segar yang
cukup oksigen.
a b c
d e f
Gambar 26. Perkembangan Telur yang Telah Dibuahi, Mulai Dari Telur
Berwarna Kuning Hingga Telur Berwarna Kehitaman
31
DAFTAR PUSTAKA
32
Hutabarat, R. B. 1983. Beberapa Segi Kehidupan Kepiting Bakau, Scylla serrata
(Forskal) di Perairan Mangrove Ujung Alang, Cilacap. Skripsi Fakultas
Biologi Universitas Jend. Sudirman, Purwokerto.
Hutasoit, B. 1991. Telaah Segi-Segi Ekologi Kepiting Bakau. Fakultas Perikanan
IPB, Bogor.
Ikhwanuddin, M., J. Nur-Atika, A.B. Abol-Munafi, H. Muhd-Farouk. 2014.
Reproductive biology on the gonad female orangemud crab Scylla
olivacea (Herbst, 1796) from the West Coastal Water of Peninsular
Malaysia. Asian Journal of Cell Biology 9 (1):14-22.
Juwana, S dan K. Romimohtarto. 2001. Cara Budidaya Kepiting, Rajungan dan
Menu Masakan. Djambatan, Jakarta.
Kanna, I. 2002. Budi Daya Kepiting Bakau Pembesaran dan Pembenihan.
Kanisius. Yogyakarta. 80 hlm.
Karim, M. Y. 2005. Kinerja pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata
Forsskal) pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya pada Salinitas
Optimum dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Disertasi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 50 hal.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bharata, Jakarta.
93 p.
Keenan, C. P., P. J. F Davie, dan D. L. Mann. 1998. ‘A Revision of The Genus
Scylla de Haan, 1833 (Crustacea : Decapoda : Brachyura : Portunidae)’,
Raffles Bulletin of Zoology 46 : 217-245.
Keenan C. P. 1999. The fouth spesies of scylla. Dalam Mud crab aquaculture and
biology. ACIAR proceedings. 78. ACIAR. Canberra. 48-58.
Kordi, G. H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistim
Polikatur. Dahara Press. Semarang.
Kordi G. H. 2012. Jurus Jitu Pengelolaan Tambak untuk Budi Daya Perikanan
Ekonomis. ANDI. Yogyakarta. 396 hlm.
M. S. Islam dkk. 2010. Ovarian Development of the Mud Crab Scylla
paramamosain in a Tropical Mangrove Swamps, Thailand. Hournal of
Scientific Research. 2 (2), 380-389.
Macnae. 1968. A General Account of Fauna of The Mangrove Swamps of Inhaca
Island, Mocambique. J. Ecol. 50 : 93-128.
Mardjono, M. 1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau. Direktorat Jendral
Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.
Moosa, M. K. 1980. Systematical and zoogeographical observation the Indo-West
Pasific Portunidae. LON - LIPI. Jakarta. Hal 1-138.
Motoh, H. 1977. Biological synopsis of alimango, Genus Scylla. Quart. Res. Rep.
SEAFDEC. 3 : 136-157.
Motoh H. 1979. Edible crustaceans in the Philippines, 11th in a series. Asian
Aquaculture 2:5.
33
Nirmalasari I. W. 2011. Pengelolaan Zona Pemnafaatan Ekosistem Mangrove
Melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla
seratta) Di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Disertasi
IPB, Hal: 1 – 293.
Poovachiranon, S. dan P. Tantichodok. 1991. The Role of Sesarmid Crabs in The
Mineralization of Leaf Litter of Rhizophora apiculata in a Mangrove,
Southern Thailand. Research Bulletin of Phuket Marine Biological Centre
56: 63-74.
Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Species Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.
Retnowati, T. 1991. Menentukan Kematangan Gonad Kepiting Bakau (Scylla
serrata, Forskal) Secara Morfologis dan Kaitannya dengan
Perkembangan Gamet. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Fakultas
Perikanan, IPB.
Rusdi I., dan A. Hanafi, 2009. Pembesaran Krablet Kepiting Bakau Scylla
paramamosain Asal Hatchery di Lahan Mangrove. Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali 2009.
Siahainenia, L. 2000. Distribusi Kelimpahan Kepiting Bakau (S. serrata, S.
oceanica dan S. tranquebarica) dan Hubungannya dengan Karakteristik
Habitat pada Kawasan Hutan Mangrove Teluk Pelita Jaya, Seram Barat-
Maluku. Tesis Program Pascasarjana IPB, Bogor. 95 p.
Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem
Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Disertasi Program Pascasarjana
IPB. Bogor.
Stephenson, W., B. Campbell. 1959.‘The Australians Portunids (Crustacea:
Portunidae) III, The genus Portunus’, Aust J.mar. Freshwat. Res. 10: 84 –
124.
Sunarto, 2015. Hubungan Antara Keberadaan Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Dengan Kondisi Mangrove Dan Substrat Di Kawasan Tambak
Silvofishery, Eretan Indramayu. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Wahyuni, I. S. dan Sunaryo. 1981. Beberapa Catatan tentang Scylla serrata
(Forskal) di Daerah Muara Dua, Segara Anakan, Cilacap. Makalah pada
Kongres Nasional Biologi V di Semarang, 26-28 Juni.
Wahyuni I.S. dan W. Ismail. 1987. Beberapa Kondisi Lingkungan Perairan
Kepiting Bakau (Scylla serrata, Forskal) di Perairan Tanjung Pasir,
Tangerang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 38: p. 59-68.
Warner, G. F. 1977. The Biology of crab. Elek Scientific Book Ltd. London.
34