Anda di halaman 1dari 54

DAFTAR ISI

NAMA KELOMPOK......................................................................................................i

KATA PENGANTAR..................................................................................…...…...…ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR......................................................................................................v

DAFTAR TABEL…………………………………………………………………..…vi

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................

1.1 Skenario………………………………......................................................................1
1.2 Step I. Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci………………………….……...1
1.3 Step II. Identifikasi Masalah……………………………………………...…….…...1
1.4 Step III. Hipotesis Sementara……………………………………………….............2
1.5 Step IV. Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping.......................................................4
1.6 Step V. Learning Objective……………………………………………………........5
1.7 Step VI. Belajar Mandiri………………………………………………………........5
1.8 Step VII. Pembahasan Learning objective………………………………………….5
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................
1.1 Menjelaskan patomekanisme (terutama imunopatogenesis dari reaksi skenario)…6
1.2 Menjelaskan klasifikasi hipersensitifitas dan contoh penyakit…………………...15
1.3 Menjelaskan organ-organ yang berperan dalam reaksi hipersensitifitas…………26
1.4 Menjelaskan faktor resiko penyakit sesuai skenario yang dikaitkan dengan tanda-
tanda pada skenario……………………………………………………………….29
1.5 Menjelaskan histopatologis perubahan pada jaringan kulit sehingga terjadi bercak
merah……………………………………………………………………………...31

iii
1.6 Menjelaskan mengapa bercaknya berbatas……………………………………….35
1.7 Menjelaskan perbedaan reaksi inflamasi alergi dan infeksi………………………38
1.8 Menjelaskan perbedaan alergi dan iritasi…………………………………………41
1.9 Menjelaskan diagnosis deferensial………………………………………………..44
1.10 Menjelaskan cara pengobatan imunoterapi dan densesitasi…………………...46

BAB III PENUTUP .........................................................................................................

3.1 Kesimpulan……………………………………………………….........………...48

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................vii

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1 Reaksi hipersensitifitas tipe I………………………...............................10

Gambar 2.1.2 Reaksi hipersensitifitas tipe II….............................................................11

Gambar 2.1.3 Reaksi hipersensitifitas tipe III................................................................12

Gambar 2.1.4 Reaksi hipersensitifitas tipe IV…………………………………………13

Gambar 2.2.1 Urutan kejadian pada hipersensitifitas segera (tipe I)…………………..16

Gambar 2.2.2 Mekanisme jejas yang diperantarai antibodi...........................................19

Gambar 2.2.3 Penyakit kompleks imun………………………………………………..22

Gambar 2.2.4 Mekanisme rekasi hipersensitifitas diperantarai Sel T (tipe IV).............24

Gambar 2.5.1 Hipersensitifitas yang ditandai oleh vasodilatasi, kongesti, dan edema serta
reaksi fase lambat yang ditandai oleh sel radang………………………………..32

Gambar 2.5.2 Reaksi hipersensitivitas tipe-lambat pada kulit………………………...33

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.2.1 Kesimpulan kegiatan mediator sel mast pada hipersensitifitas segera……18

Tabel 2.2.2 Contoh Penyakit yang Diperantarai Antibodi ……………………………21

Tabel 2.2.3 Contoh Penyakit yang Diperantarai Kompleks Imun ………………...…..23

Tabel 2.2.4 Penyakit yang Diperantarai oleh Sel T………………...………………….25

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario
Seorang Ibu rumah tangga berumur 20 tahun datang ke dokter dengan keluhan
bercak kemerahan berbatas tegas di pergelangan tangan, muncul 4 hari yang lalu.
Bercak tersebut agak hangat pada perabaan, terasa gatal dan tidak ada nyeri pada
penekanan. Kelainan ini sifatnya kambuhan terutama setelah mencuci. Lokasi
kelainannya bisa di sela-sela jari tangan.

1.2 Step I. Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci


a. Kata Sukar -
b. Kalimat Kunci
1. Seorang Ibu rumah tangga berumur 20 tahun
2. Keluhan bercak kemerahan berbatas tegas di pergelangan tangan, muncul 4
hari yang lalu.
3. Bercak tersebut agak hangat pada perabaan, terasa gatal dan tidak ada nyeri
pada penekanan
4. Kelainan ini sifatnya kambuhan terutama setelah mencuci
5. Lokasi kelainannya bisa di sela-sela jari tangan.

1.3 Step II. Identifikasi Masalah


1. Mengapa bercak terasa agak hangat?
2. Mengapa tangan gatal tanpa ada nyeri tekan?
3. Apa penyebab terjadinya bercak merah pada sela-sela jari?
4. Apa penyebab reaksi ini sifatnya kekambuhan?
1
5. Apa hubungan mencuci dan timbulnya bercak merah?
6. Diagnosis apa kira-kira yang sesuai dengan skenario?
7. Imunoglobulin yang berperan terkait dengan skenario?
8. Kenapa bercak memiliki batas tegas?
9. Apakah ada hubungan bercak merah dengan alergi?
10. Bagaimana respon tubuh terhadap tanda-tanda yang ditimbulkan?
11. Apakah gejala tersebut dapat hilang secara permanen?

1.4 Step III. Hipotesis Sementara


1. Bercak merah terasa hangat karena ini merupakan salah satu respon tubuh
terhadap patogen yang masuk ke jaringan inflamasi yaitu kalor (hangat) juga saat
patogen masuk terjadi vasodilatasi sebagai pemercepat penyembuhan dengan
banyak sel antibodi yang bergerak cepat ke daerah inflamasis. Vasodilatasi
pembuluh darah dipicu oleh sekresi histami dari sel mast.Proses lainnya adalah
dengan dilepaskannya prostaglandin hal ini akan memicu suhuh tubuh menjadi
tidak normal.
2. Gatal merupakan reaksi inflamasi akibat sel mast yang menyesekresikan
histamine. Kemudian tidak ada nyeri tekan disebabkan karena hal ini hanya
terjadi pada lapisan epidermis tidak sampai ke lapisan dermis yang dimana pada
lapisan epidermis tidak ada saraf didalamnya.
3. Hal ini merupakan gejala hipersensitifitas yang dimana terjadi kontak dengan zat
kimia (sela-sela jari) yang akan menimbulkan bercak-bercak merah. Bercak-
bercak merah ini merupakan suatu proses alergi dimana diperantai oleh IgE.
4. Reaksi ini sifatnya kekambuhan karena hanya terjadi jika kontak dengan allergen
yaitu hapten. Jika terjadi kontak maka akan menimbulkan alergi terjadi.
5. Zat kimia akan memicu dikeluarkan berbagai mediator inflamasi yang akan juga
merusak keratinosit pada kulit dan rangsang aktivitas proliferasi serta
melepaskan prostaglandin yang berperan ialah netrofil, sel mast, dan limfosit.
2
6. Dermatitis kontak alergi atau dermatitis kontak iritan.
7. Imunoglobulin yang berperan ialah IGE, alergi dipicu oleh antigen yang akan
menyebabkan sel mast mengeluarkan histamine.
8. Batasan terjadi karena yang terkontak dengan alergi ialah tangan dan kaki, bisa
jadi juga karena pada pergelangan tanganlah yang memiliki hipersensitifitas
tertinggi.
9. Bercak merah timbul setelah mencuci, gatal merupakan sebuah reaksi
peradangan yang melibatkan igE, berikatan dengan sel mast dan basofil yang
mendorong untuk merusak zat disekitar jari tersebut.
10. Tanda bercak merah dan gatal karena sel limfosit membentuk antibody untuk
mengikat pathogen. Jika normal tidak akan sakit karena menghasilkan
immunoglobulin yang berperan sebagai reseptor untuk hasilkan sulfur. Pada
skenario igE berespon cepat yaitu anafilaksis yang akan menepel sel mast yang
sebabkan degranulasi atau pecah yang dipicu oleh histamine dan bradikinin yang
memicu vasodilatasi, permeabilitas kapiler dan memicu alergi.
11. Penyebabnya ialah hapten. Bisa hilang secara permanen jika ibu tersebut
menjauhi kontak dengan hapten.

3
1.5 Step IV. Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping

Seorang ibu 20 tahun

Datang ke dokter swasta

Keluhan

- Bercak merah pada kulit


- Gatal dan tidak nyeri
- Berada di sela-sela jari

Gejala
Melibatkan igE dan lama kontak
dengan zat kimia - Timbul bercak merah
- Gatal
- Tidak ada nyeri

Dermatitis
Kontak Gejala dapat dihilangkan

4
1.6 Step V. Learning Objective
Mahasiswa/i mampu :
1. Menjelaskan patomekanisme (terutama imunopatogenesis dari reaksi skenario)
2. Menjelaskan klasifikasi hipersensitifitas dan contoh penyakit
2. Menjelaskan organ-organ yang berperan dalam reaksi hipersensitifitas
3. Menjelaskan faktor resiko penyakit sesuai skenario yang dikaitkan dengan tanda-
tanda pada skenario
4. Menjelaskan histopatologis perubahan pada jaringan kulit sehingga terjadi bercak
merah
5. Menjelaskan mengapa bercaknya berbatas
6. Menjelaskan perbedaan reaksi inflamasi alergi dan infeksi
7. Menjelaskan perbedaan alergi dan iritasi
8. Menjelaskan diagnosis deferensial
9. Menjelaskan cara pengobatan imunoterapi dan densesitasi

1.7 Step VI. Belajar Mandiri


Hasil belajar pada step 7

1.8 Step VII. Pembahasan Learning objective


Diskusi dan Presentasi Hasil Belajar Mandiri

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Menjelaskan patomekanisme (terutama imunopatogenesis dari reaksi skenario)

Hipersensitivitas adalah semua bentuk jejas yang diperantarai sistem imun secara
kolektif. Hipersensitivitas menunjukkan sensitivitas terhadap suatu antigen yang
abnormal atau berlebihan. Reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi tipe I-IV.1

2.1.1 Hipersensitivitas tipe I


Reaksi hipersensitivitas satu merupakan suatu respons jaringan yang
terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam hitungan menit) setelah terjadi
interaksi antara alergen dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikatan pada
permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi. Bergantung pada
jalan masuknya, hipersensitivitas tipe I dapat terjadi sebagai reaksi lokal yang
benar-benar mengganggu (misalnya, rhinitis musiman atau hay fever atau sangat
melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang
fatal: anafilaksis). Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap
yang dapat ditentukan secara jelas: (1) respons awal, ditandai dengan
vasodilatasi, kebocoran vaskular dan spasme otot polos, yang biasanya muncul
dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit setelah terpajan oleh suatu alergen dan
menghilang setelah 60 menit dan (2) kedua, reaksi fase lambat, yang muncul 2
hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase
lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis
lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran
jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa. 1
6
Karena sel mast dan basofil merupakan inti dari terjadinya
hipersensitivitas tipe I, beberapa karakteristiknya yang menonjol akan dikaji
ulang pertama kali dan kemudian akan dibahas mengenai mekanisme imun yang
mendasari bentuk hipersensitivitas ini.1
Sel mast berasal dari sumsum tulang dan tersebar secara luas dalam
jaringan, sel ini ditemukan menonjol pada daerah di dekat pembuluh darah dan
saraf serta di dalam subepitel. Sitoplasmanya mengandung granula dilapisi
membran yang mempunyai berbagai mediator yang aktif secara biologis. Seperti
yang akan digambarkan kemudian, sel mast (dan basofil) diaktivasi oleh IgE yang
bertautan silang yang terikat pada permukaan sel melalui reseptor Fc yang
berafinitas tinggi. Sel mast dapat pula dipicu oleh rangsang lain, seperti
komponen komplemen C5a dan C3a yang berikatan pada reseptor membran sel
mast spesifik. Sel mast dapat pula diinduksi untuk mengeluarkan granulanya oleh
sitokin tertentu yang berasal dari makrofag (misalnya, IL-8), obat-obatan seperti
kodein dan morfin, melitin (terdapat dalam bisa lebah), dan rangsang fisik
(misalnya, panas, dingin, dan sinar matahari).1
Dalam banyak hal, basofil serupa dengan sel mast, tetapi secara normal
tidak terdapat dalam jaringan. Basofil justru masuk sirkulasi darah dalam jumlah
yang sangat sedikit dan seperti granulosit lainnya, dapat direkrut menuju tempat
peradangan. Pada manusia, reaksi tipe I diperantarai oleh antibodi IgE.
Rangkaian kejadiannya dimulai dengan pajanan awal terhadap antigen tertentu
(alergen). Alergen tersebut merangsang induksi sel T CD4+ tipe Th2. Sel CD4+
ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin
yang disekresikannya (khususnya lL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksinya
IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta
merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc
berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil, begitu sel mast dan
basofil "dipersenjatai", individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk
7
menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan uiang terhadap antigen yang sama
mengakibatkan pertautan silang pada IgE yang terikat sel dan memicu suatu
kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Salah
satu perangkat sinyal mengakibatkan degranulasi sel mast disertai pengeluaran
mediator praformasi atau primer; perangkat sinyal lainnya akan menginduksi
sintesis de novo serta melepaskan mediator sekunder, seperti metabolit asam
arakhidonat dan sitokin.1

MEDIATOR PRIMER
Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast
dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe I. Histamin, yang
merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas
vaskular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain
yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan
menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil.
Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral
(misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen
untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).1

MEDIATOR SEKUNDER
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa: mediator lipid dan sitokin.
Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A, yang memecah fosfolipid
membran sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat
merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.1
 Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipoksigenase pada prekursor asam
8
arakhidonat dan sangat penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I.
 Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal
paling poten; pada dasar molar, agen ini beberapa ribu kali lebih aktif dari pada
histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil,
eosinofil, dan monosit.
 Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenase dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat
serta meningkatkan sekresi mukus.
 Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan
agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga
bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali
oleh aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolisme asam
arakhidonat.
 Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan
kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF
merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi
leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk
mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.1
Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme
memerantarai reaksi hipersensitivitas tipe I. Beberapa senyawa ini dilepaskan secara
cepat dari sel mast yang tersensitisasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera
yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis sistemik. Senyawa
lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk
rekruitmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya
melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.
9
Eosinofil direkrut oleh eotaksin dan kemokin lain yang dilepaskan dari epitel yang
diaktivasi oleh TNF dan merupakan efektor penting pada cedera jaringan dalam
respons fase lambat pada hipersensitivitas tipe I. Sebagai contoh, eosinofil
menghasilkan protein dasar utama dan protein kationik eosinofil, yang toksik terhadap
sel epitel. Demikian pula, leukotrien C, dan faktor pengaktivasi trombosit yang
dihasilkan oleh eosinofil secara langsung akan mengaktivasi pelepasan mediator sel
mast. Akibatnya, sel yang direkrut akan memperkuat dan mempertahankan respons
peradangan pada saat tidak adanya pajanan alergen tambahan. Karena inflamasi
merupakan komponen utama reaksi fase lambat dalam hipersensitivitas tipe I,
biasanya pengendaliannya memerlukan obat anti inflamasi berspektrum luas, seperti
kortikosteroid.1

Gambar 2.1.1 Reaksi hipersensitivitas tipe I


Sumber: Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 7. Jakarta:
EGC; 2012. Hal 124

10
2.1.2 Hipersensitivitas tipe II atau sitotoksik
Reaksi hipersensitivitas dua fokus biasanya pada sel yang secara
antigenik aktif atau protein matriks ekstrasel, dengan hapten berikatan dengan sel
endogen atau sel darah asing masuk ke organisme. Setelah sensitisasi/alergisasi
pada kontak pertama dengan alergen, pajanan antigen berikutnya menyebabkan
pembentukan IgM dan IgG spesifik alergen dalam jumlah besar dan terikat secara
padat ke permukaan sel alergenik (opsonisasi).2
Dengan cara ini, sistem komplemen diaktifkan dan sel NK
mengembangkan efek sitotoksiknya yaitu antibody dependent cell mediated
cytotoxicity (ADCC). Keduanya menyebabkan kerusakan sel alergenik dalam
beberapa jam (sitolisis). Karenanya pengikatan hapten ke eritrosit menyebabkan
anemia hemolitik, pengikatan hapten ke trombosit menyebabkan
trombositopenia, begitu juga dengan agranulositosis dan sindrom goodpasture.2

Gambar 2.1.2 Reaksi hipersensitivitas tipe II


Sumber: Silbernagl S, Lang F. Color atlas of phatofisiology. New York: Thieme; 2000. 53p
11
2.1.3 Hipersensitivitas tipe III
Reaksi hipersensitivitas tiga ini disebabkan oleh pembentukan dan
pengendapan kompleks imun (kompleks antigen-antibodi), dengan antigen
umumnya berikatan satu sama lain melalui keikutsertaan IgM dan IgG. Kompleks
imun ini tidak saja mengaktifkan komplemen, tetapi juga makrofag, granulosit,
dan trombosit (melalui reseptor Fc). Pengaktifan ini terutama jika terdapat
kelebihan antigen sehingga akan terbentuk kompleks imun yang kecil dan larut
serta beredar dalam darah dalam jangka waktu lama dan hanya secara lambat
diuraikan. Kompleks ini terutama mengendap di kapiler glomerulus tetapi dapat
juga ditemukan di sendi, kulit dan tempat lain. Dinding kapiler kemudian akan
diserang oleh sistem komplemen serta fagosit yang telah tertarik secara
kemotaksis dan kemudian menjadi aktif. Fagosit mengeluarkan protease, oksidan
dan mediator peradangan sehingga terjadi glomerulonefritis, nyeri sendi
urtikaria, limfadenitis dan demam.2

Gambar 2.1.3 Reaksi hipersensitivitas tipe III


Sumber: Silbernagl S, Lang F. Color atlas of phatofisiology. New York: Thieme; 2000. 53p
12
2.1.4 Hipersensitivitas tipe IV
Reaksi hipersensitivitas empat ini terutama melibatkan sel Th1, sel T
pembunuh dan makrofag, mencapai efek maksimalnya dalam 2-4 hari (reaksi tipe
lambat). Reaksi ini dipicu terutama oleh protein dari patogen, protein asing, dan
hapten misalnya obat, logam, kosmetik dan parfum. Penolakan primer organ
transplantasi juga merupakan rekasi hipersensitivitas tipe IV.2

Gambar 2.1.4 Reaksi hipersensitivitas tipe IV


Sumber: Silbernagl S, Lang F. Color atlas of phatofisiology. New York: Thieme; 2000. 54p

Antigen difagositosis oleh makrofag, diolah dan disajikan ke sel T helper.


Sensitisasi memerlukan waktu lebih dari 5 hari. Pada kontak berulang, sejumlah
sel T diaktifkan menjadi sel Th1. Sel-sel ini merangsang produksi monosit di
sumsum tulang melalui IL-3 dan GM-CSF, menarik monosit dan makrofag melalui
kemokin misalnya MCP, IFNγ dan TNFβ menyebabkan reaksi peradangan hebat
yang dapat merusak jaringan transplan atau endogen secara luas. Hapten dikulit
sering merupakan penyebab reaksi tipe IV dalam bentuk dermatitis kontak.
Contohnya nikel dalam perhiasan atau jam tangan dapat masuk
13
ke kulit , setelah berikatan dengan protein endogen, zat tersebut difagositosis oleh
makrofag kulit (sel langerhans) dan diproses. Kemudian makrofag bermigrasi ke
kelenjar limfe regional dan disana makrofag menyajikan antigen ke sel T spesifik-
antigen dari darah dan limfe. Terakhir makrofag berproliferasi dan berdiferensiasi
dan dengan cara ini mencapai tempat pajanan antigen dalam jumlah besar.2

14
2.2 Menjelaskan klasifikasi hipersensitifitas dan contoh penyakit

Reaksi hipersensitivitas biasanya dibagi dalam empat tipe berdasarkan


mekanisme utama yang terkait dengan jejas, tiga tipe merupakan variasi jejas yang
berdasarkan reaksi antibodi, sedangkan yang keempat berdasarkan reaksi sel T .
Dasar pemikiran dari klasifikasi ini adalah bahwa mekanisme jejas secara imunologi
menjadi prediktor yang baik dari wujud klinis dan membantu untuk merencanakan
terapi. Akan tetapi, klasifikasi ini tidak sempurna, karena beberapa reaksi imun
mungkin bersama-sama terjadi pada suatu penyakit.1

2.2.1 Hipersensitivitas Segera (Tipe I)


Hipersensitivitas segera adalah reaksi jaringan yang terjadi secara cepat
(biasanya dalam beberapa menit) setelah interaksi antara antigen dan antibodi IgE
pada permukaan sel mast pada individu yang tersensitisasi (terpapar antigen).
Reaksi dimulai dengan masuknya antigen, yang disebut alergen karena memicu
alergi. Banyak alergen yang berasal dari lingkungan yang tidak berbahaya untuk
sebagian besar individu yang terpapar. Beberapa individu tampaknya
menurunkan gen yang menyebabkan mereka rentan terhadap alergi. Kerentanan
ini berwujud sebagai reaksi TH2 yang kuat dan diikuti pembentukan antibodi IgE
terhadap alergen.1
ReaksiIgE tersebut mengaktifkan sel mast disertai pelepasan mediator
yang menyebabkan manifestasi klinis dan patologis dari reaksi hipersensitivitas
segera mungkin hanya berupa gangguan yang ringan (contoh rinitis yang
bergantung pada musim atau demam rumput kering), bisa juga penyakit yang
parah (asma), atau bahkan fatal (anafilaksis). Urutan kejadian pada reaksi
hipersensitivitas segera aktivasi sel TH2 dan produksi antibodi IgE. Alergen
mungkin masuk lewat inhalasi, ingesti atau suntikan.1
15
Variabel yang mungkin berperan terhadap reaksi kuat sel TH2 terhadap
alergen meliputi pintu masuk, dosts dan kronisitas pemajanan antigen, serta
komposisi genetik tuan rumah. Tidak jelas apakah zat yang bersifat alergen juga
mempunyai struktur unik yang cenderung memicu reaksi kuat sel TH2.
Hipersensitivitas segera merupakan prototip dari reaksi yang diperantara sel
TH2. Sel TH2 akan mensekresikan beberapa sitokin, termasuk IL-4, 1L-5 dan
1L-13, yang bertanggung jawab untuk hampir semua reaksi hipersensitivitas
segera. 1L-4 merangsang reaksi sel B yang spesifik terhadap alergen, memicu
perubahan kelas rantai berat imunoglobulin ke IgE dan mensekresikan antibodi
isotip tersebut. IL-5 mengaktifkan eosinofil dan didatangkan ketempat reaksi,
sedangkan IL-13 bekerja pada sel epitel dan merangsang sekresi mukus. Sel TH2
sering didatangkan ketempat reaksi alergi akibat perngaruh kemokin yang
diproduksi setempat, termasuk eotaksin yang juga mendatangkan eosinofil
ketempat yang sama.1

Gambar 2.2.1 : Urutan kejadian pada hipersensitivitas segera (tipe 1).


Sumber: Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9. Jakarta: EGC;
2014.
16
Sensitisasi set mast oleh antibodi IgE. Sel mast berasal dari prekursor di dalam sumsum
tulang, tersebar luas di berbagai jaringan, dan sering berada dekat pembuluh darah dan
saraf, serta pada daerah sub epitel. Sel mast memaparkan reseptor yang berafinitas tinggi
untuk bagian Fc dari rantai berat E dari IgE, disebut FceRI. Walaupun konsentrasi IgE
serum sangat rendah (dalam rentang antara 1 sampai 100 p.g/ mL), afinitas reseptor
FcERI pada sel mast sangat tinggi sehingga reseptor selalu diduduki oleh IgE. Sel mast
yang mengandungi antibodi tersebut tersensitisasi untuk bereaksi apabila antigen
berikatan dengan molekuI antibodi. Basofil merupakan mitra sel mast dalam sirkulasi.
Mereka juga memiliki FcεRI, tetapi peranannya pada sebagian hipersensitivitas segera
belum jelas (karena reaksi biasanya terjadi dalam jaringan dan tidak di dalam sirkulasi).
Sel ketiga yang memaparkan FcεRI adalah eosinofil, yang sering berada pada reaksi, dan
berperan dalam reaksi imun berdasarkan IgE terhadap infeksi helmint, akan diuraikan
kemudian. 1
1. Aktivasi sel mast dan pelepasan mediator. Apabila seseorang yang sudah pernah
tersensitisasi oleh pemajanan terhadap suatu alergen kemudian terpajang kembali
terhadap alergen itu, maka alergen akan berikatan dengan banyak molekul IgE
spesifik pada permukaan sel mast, biasanya pada atau di dekat pintu masuk alergen.
Pada waktu molekul IgE ini mengalami ikatan silang (cross linked), serangkaian
isyarat biokimia akan dipicu di dalam sel mast dan diikuti sekresi berbagai mediator.
Tiga kelompok mediator yang paling penting dalam reaksi hipersensitivitas segera:1
a. Vasoaktif amin yang dilepaskan dari penyimpanan dalam granula. Granula sel
mast berisi histamin yang dilepaskan dalam waktu beberapa detik atau menit pada
waktu aktivasi. Histamin menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas
vaskular, kontraksi otot polos dan sekresi mukus. Mediator lain yang cepat
dilepaskan adalah adenosin (yang menyebabkan penyempitan bronkus dan
menghambat agregrasi trombosit) dan faktor kemotaksis untuk neutrofil dan
eosinofil.1
17
b. Mediator lipid mempunyai peranan penting dalam reaksi hipersensitivitas segera.
Prostaglandin D2 (PGD2) merupakan prostaglandin paling banyak yang
diproduksi oleh jalur siklooksigenase dalam seI mast. Zat tersebut menyebabkan
bronkospame yang kuat dan peningkatan sekresi mukus.1
c. Sitokin. Aktivasi sel mast menyebabkan sintesa dan sekresi beberapa sitokin yang
penting dalam reaksi fase lambat. Ini termasuk TNF dan kemokin, yang
mendatangkan dan mengaktifkan leukosit IL-4 dan IL-5 melipat gandakan reaksi
sel TH2 dan IL-13 yang merangsang sel epitel untuk sekresi mukus.1

Tabel 2.2.1 Kesimpulan Kegiatan Mediator Sel Mastpada Hipersensitivitas Segera


Sumber: Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9. Jakarta:
EGC; 2014.

2.2.2 Penyakit Berdasarkan Reaksi Antibodi Hipersensitivitas Tipe II


Kelainan Hipersensitivitas yang diperantarai antibodi (Tipe disebabkan
oleh antibodi yang ditujukan terhadap antigen sasaran pada permukaan sel atau
unsur jaringan lain. Antigen mungkin berupa molekul normal bagian intrinsik
dari membran sel atau pada matriks ekstrasel, atau mungkin berupa antigen
18
eksogen yang diserap (contoh metabolit obat).Abnormalitas yang diperantarai antibodi
adalah penyebab yang mendasari banyak penyakit pada manusia. Pada semua kelainan,
kerusakan jaringan atau kelainan fungsi disebabkan oleh beberapa mekanisme yang
terbatas.Antibodi dapat menimbulkan penyakit apabila berikatan atau melapisi sel
sasaran untuk meningkatkan fagositosis, atau mengaktifkan komplemen, memengaruhi
fungsi sel yang normal.Antibodi yang bertanggung jawab biasanya adalah antibodi
berafinitas tinggi yang dapat mengaktifkan komplemen dan berikatan dengan reseptor
Fc dari fagosit.1

Gambar 2.2.2 Mekanisme jejas yang diperantarai antibodi.


Sumber : Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9.
Jakarta: EGC; 2014.

19
1. Opsonisasi dan fagositosis.
Apabila sel yang beredar , seperti eritosit atau trombosit, dilapisi
(opsonisasi) oleh autoantibodi, dengan atau tanpa protein komplemen, maka sel
akan menjadi sasaran fagositosis oleh neutrofil dan makrofag. Fagosit tersebut
memaparkan reseptor untuk bagian ekor Fc dari antibodi Ig-G dan reseptor
protein komplemen C3, dan menggunakan reseptor tersebut untuk mengikat dan
menelan partikel yang teropsonisasi. Sel yang mengalamai opsonisasi biasanya
disingkirkan di dalam limpa, dan oleh karena itu splenektomi bermanfaat secara
klinis pada trombositopenia autoimun dan beberapa jenis anemia hemolitik
autoimun.1
2.
Inflamasi (peradangan)
Antibodi terikat pada antigen sel atau jaringan dan mengaktifkan sistem
komplemen melalui jalur klasik. Produk-produk aktivasi komplemen memiliki
beberapa fungsi, satu di antaranya adalah mendatangkan neutrofil dan monosit,
memicu inflamasi pada jaringan. Leukosit mungkin juga diaktifkan dengan
melibatkan reseptor Fc, yang mengenal antibodi yang terikat. Mekanisme jejas
semacam ini dicontohkan oleh sindrom Goodspasture dan pemfigus vulgaris.1
3.
Disfungsi sel yang diperantarai antibodi.
Pada sebagian kasus,antibodi yang ditujukan kepada reseptor permukaan
sel memengaruhi atau mengganggu regulasi fungsi sel tanpa menyebabkan jejas
seI atau inflamasi. Pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin
pada ujung saraf motorik dari otot seran lintang menghambat transmisi
neuromuskular, sehingga menyebabkan kelemahan otot. Antibodi juga dapat
merangsang reaksi sel berlebihan. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap
reseptor hormon perangsang tiroid (thyroid stimulating hormone) merangsang
epitel tiroid untuk mensekresi hormon tiroid dan menyebabkan hipertiroid.1
20
Tabel 2.2.2 Contoh Penyakit yang Diperantarai Antibodi
Sumber: Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9. Jakarta:
EGC; 2014.

2.2.3 Penyakit Kompleks Imun (Hipersensitivitas Tipe III)


Kompleks antigen antibodi (kompleks imun) yang dibentuk di dalam peredaran darah
dapat mengendap pada pembuluh darah, diikuti aktivasi komplemen dan peradangan
akut. Antigen di dalam kompleks tersebut mungkin berupa antigen eksogen, seperti
protein mikroba, atau antigen endogen, seperti nukleoprotein. pembuatan kompleks imun
sendiri tidak sama dengan penyakit hipersensitivitas, kompleks antigen antibodi dalam
jumlah kecil mungkin diproduksi selama reaksi imun normal kompleks imun yang cukup
besar, menetap dan mengendap di jaringan yang bersifat patogen. Kompleks imun yang
patogenik mungkin dibuat di dalam peredaran darah dan selanjutnya mengendap di
pembuluh darah, atau kompleks imun mungkin mengendap di tempat antigen
ditanamkan (komplek-imun in situ).

21
Gambar 2.2.3 Penyakit Kompleks imun
Sumber: Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9. Jakarta: EGC;
2014.

Kompleks imun dapat menyebabkan jejas sistemik apabila dibentuk di dalam


sirkulasi dan mengendap di beberapa organ, atau terlokalisasi pada organ tertentu
(contoh ginjal, sendi atau kulit) apabila komplek simun dibentuk di sirkulasi dan
mengendap di tempat yang spesifik.Mekanisme dari jejas jaringan sama, tidak
bergantung kepada pola distribusi. Walaupun demikian, urutan kejadian dan keadaan
yang menyebabkan pembentukan kompleks imun sistemik atau lokal berbeda, yang akan
dibahas terpisah kemudian. Penyakit kompleks imun adalah sebagian dari penyakit
imunologi yang paling sering.1
22
Tabel 2.2.3 Contoh Penyakit yang Diperantarai Kompleks Imun
Sumber: Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9. Jakarta:
EGC; 2014.

2.2.4 Hipersensitivitas Berdasarkan Reaksi Sel T (Hipersensitivitas Tipe IV)


Beberapa kelainan auto imun, demikian juga reaksi patologis terhadap bahan
kimiaun lingkungan dan mikroba yang bersifat menetap, sekarang diketahui disebabkan
oleh reaksi sel T. Terjadinya dan makna jejas jaringan yang diperantarai oleh Iimfosit T
telah dikenal setelah perbaikan metode mendeteksi dan memurnikan sel T dari sirkulasi
dan lesi penyakit. Golongan penyakit ini sangat menarik perhatian klinis karena banyak
dari terapi biologis yang dirancang untuk penyakit radang yang berdasarkan reaksi imun
telah dikembangkan untuk melawan reaksi sel T yang abnormal. Dua jenis reaksi sel T
yang dapat menyebabkan jejas jaringan dan penyakit: 1). radang yang disebabkan oleh
sitokin, yang terutama diproduksi oleh sel T CD4+, dan 2). sitotoksisitas sel langsung,
yang diperantarai oleh sel T CD8+. Dalam inflamasi, yang dicontohkan oleh
hipersensitivitas lambat, sel T CD4+ dari subset TH1 dan TH17 mensekresikan sitokin,
yang mendatangkan dan mengaktifkan sel lain, terutama makrofag yang merupakan
efektor utama pada jejas.1

23
Gambar 2.2.4 Mekanisme reaksi hipersensitivitas diperantarai sel T (tipe IV)
Sumber : Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9.
Jakarta: EGC; 2014.

Pada bentuk jejas jaringan yang diperantarai sel T, CTL CD8+ membunuh sel
sasaran yang memaparkan antigen. Seperti yang dibahas lebih dahulu, molekul MHC
kelas I berikatan dengan antigen peptida intrasel dan menyajikan peptida tersebut kepada
limfosit T CD8+, merangsang diferensiasi sel T menjadi sel efektor yang disebut CTL.
Sel-sel jenis CTL mempunyai peranan yang penting dalam pertahanan terhadap infeksi
virus dan beberapa jenis tumor. Mekanisme dasar dari daya bunuh CTL bergantung
kepada sistem perforin-granzim. Perforin dan granzim disimpan di
24
dalam granula dari CTL dan dilepaskan secara cepat ketika CTL bergabung dengan sel
sasaran (sel yang mengandungi molekul MHC kelas 1 yang mengikat peptida yang
tepat). Perforin berikatandengan membran plasma dari sel sasaran dan mendukung
masuknya granzim, yang bersifat protease yang memecah secara spesifik dan
mengaktifkan kaspase seluler. Enzim-enzim tersebut menginduksi kematian apoptotik
dari sel sasaran . CTL memainkan peranan penting dalam reaksi penolakan transplantasi
organ padat dan mungkin berperan pada banyak penyakit imunologi , seperti diabetes
tipe I (di mana sel B pulau-pulau pankreas yang memproduksi insulin dirusak oleh reaksi
autoimun sel T).1

Tabel 2.2.4 Penyakit yang Diperantarai Sel T


Sumber : Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9.
Jakarta: EGC; 2014.

25
2.3 Menjelaskan organ-organ yang berperan dalam reaksi hipersensitifitas
Organ dan jaringan limfoid dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu organ
limfoid primer seperti timus, ekivalen bursa fabricius dan sumsum tulang.yang
berfungsi sebagai embriogenesis dari sel-sel imunologik, dan organ limfoid sekunder
seperti, kelenjar limfe, limfa dan jaringan limfoid lainnya, yang bereaksi aktif
terhadap stimulasi antigen. Kelenjar timus, dianggap sebagai organ limfoid utama
dalam imunogenesis dan menjadi pusat pengendalian aktivitas organ serta jaringan
limfoid yang lainnya.Menurut fungsinya, sistem limfoid dibagi dalam dua
kompartemen yaitu :3
a. Kompartemen sentral Merupakan tempat terjadinya diferensiasi sel-sel yang
mampu beraksi dengan antigen.3
b.
Kompartemen perifer Sebagai tempat terjadinya reaksi sel-sel limfoid dengan
antigen. Rangsangan untuk maturasi sel pada kompartemen sentral tidak
diketahui secara pasti, namun diduga proliferasinya dipengaruhi oleh hormon
timus dan dapat terjadi tanpa stimulasi antigen. Sebaliknya, maturasi sel pada
kompartemen perifer terjadi atas stimulasi antigen.3

Organ Limfoid Primer

a. Kelenjar Timus
Kelenjar timus terletak dibagian depan mediastinum, terbagi dalam dua
lobus dan banyak lobulus yang masing-masing terdiri atas korteks dan medula.
Sel induk pluripoten yang merupakan cikal bakal sel T, masuk kedalam timus
lalu berproliferasi menjadi sel yang disebut dengan timosit. Proses diferensiasi
limfosit didalam timus, dipengaruhi oleh epitel timus dan sel dendritik yang
berasal dari sumsum tulang (interdigitating cells). Sel dendritik ini
mengekspresikan MHC kelas II dalam jumlah banyak dan diduga berperan dalam
mendidik limfosit T untuk mengenal antigen diri (self). Dalam proses maturasi
ini sel T menjadi imunokompeten. Dua sampai tiga hari, setelah sel induk masuk
kedalam timus, limfosit meninggalkan timus lalu masuk kedalam
26
sirkulasi dan selanjutnya menetap didalam organ limfoid perifer.3

Organ Limfoid Sekunder

Pembentukan limfosit dalam organ limfoid primer diikuti dengan migrasi sel-sel
tersebut kedalam organ-organ limfoid perifer atau limfoid sekunder. Migrasi ini
merupakan salah satu proses sirkulasi limfosit didalam tubuh. Adapun tahap-tahap
surveillance imunologik dari limfosit di dalam tubuh adalah sebagai berikut :3
1. Migrasi sel induk pluripoten dari hati janin atau sumsum tulang kedalam organ
limfoid primer serta diferensiasi dan distribusi limfosit kedalam organ limfoid
perifer. 3
2. Resirkulasi limfosit dari peredaran darah kedalam limfa atau kelenjar limfe
kembali ke peredaran darah lagi.3
3. Distribusi sel efektor ketempat-tempat tertentu bila diperlukan untuk melakukan
reaksi imunologik.3
4. Limfosit T cendrung bermigrasi ke kelenjar limfe perifer, sedangkan limfosit B
lebih banyak bermigrasi ke jaringan limfoid yang terdapat pada sepanjang
mukosa (mukosa associated lymphoid tissue = MALT). 3

Adapun jenis-jenis dari organ limfoid sekunder adalah sebagai berikut :3

a. Kelenjar Limfe
Dalam bagian sinus dari kelenjar limfe terdapat banyak makrofag,
sedangkan dalam bagian korteksnya terdapat banyak sel T yang berasal dari
darah, serta sel B yang menyusun diri membentuk nodul. Dibagian tengah dari
nodul, terdapat pusat germinal dimana kelompok-kelompok sel B membelah diri
secara aktif. Bila kelenjar dirangsang oleh antigen, maka pusat-pusat germinal itu
membesar dan berisi banyak limfoblast. Pusat-pusat germinal diatas juga dihuni
oleh banyak sel dendritik yang mempunyai reseptor untuk C3 dan fragmen Fc
dari IgG. Dengan demikian antigen yang tidak diproses dapat dipertahankan pada
permukaan sel ini dalam bentuk kompleks antigen antibodi-C3 selama beberapa
bulan. Antigen yang tertangkap ini diduga memberikan rangsangan secara
periodik dengan sewaktuwaktu melepaskan iccomes yang kemudian ditangkap
dan diproses oleh APC dan disajikan kepada sel T. Hal ini akan mengakibatkan
sel T secara terus menerus akan merangsang sel B memory untuk berproliferasi
dan membentuk pusat-pusat germinal.3
27
b. Limfa
Limfa terdiri atas pulpa merah sebagai tempat penghancuran eritrosit dan
pulpa putih yang terdiri atas jaringan limfoid. Didalam limfa limfosit T
menumpuk dibagian tengah lapisan limfoid periarteriolar, sedangkan sel B
terdapat didalam pusat-pusat germinal dibagian perifer. Sel B dapat dijumpai
dalam bentuk tidak teraktivasi maupun teraktivasi. Dalam pusat-pusat germinal
juga dijumpai sel dendritik dan makrofag. Makrofag spesifik umumnya terdapat
didaerah marginal dan sel ini bersama-sama dengan sel dendritik berfungsi
sebagai APC yang menyajikan antigen kepada sel B.3
c. Jaringan Limfoid lain
Jaringan limfoid lain tersebar dalam jaringan submukosa saluran nafas,
saluran cerna dan saluran urogenital. Contoh jaringan limfoid yang tersusun baik
dan mengandung banyak pusat-pusat germinal adalah tonsil yang merupakan
garis pertahanan pada pintu masuk saluran cerna dan saluran nafas, dan Peyer,s
patch yang tersebar dalam mukosa saluran cerna. Peyer,s patch dan apendiks
termasuk kedalam gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam jaringan
limfoid ini terdapat bagian yang dipengaruhi oleh timus. Mucosa associated
lymphoid tissue (MALT), yang terdapat pada saluran nafas, saluran cerna dan
urogenital berfungsi untuk memberikan respons imunologik lokal pada
permukaan mukosa. Jaringan limfoid ini selain berisi limfosit juga berisi fagosit
sehingga mampu memberikan respons imun nonspesifik maupun respons imun
spesifik. Didalam jaringan limfoid sepanjang saluran cerna dan saluran nafas
akan terbentuk IgA sekretorik dan Ig E yang disekresikan untuk mempertahankan
tubuh terhadap antigen yang masuk melalui mukosa.3

28
2.4 Menjelaskan faktor resiko penyakit sesuai skenario yang dikaitkan dengan
tanda-tanda pada skenario

2.4.1 Autoimun
Gangguan autoimun adalahkegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh
yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga
tubuh melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau
berbahaya.Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek
seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang
menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan
autoimun tidak terjadi.4
Sistem kekebalan pada keadaan tertentu tidak mampu bereaksi terhadap
antigen yang lazimnya berpotensi menimbulkan respon imun. Keadaan tersebut
disebut toleransi kekebalan (immunological tolerance) dan terjadi melalui
beberapa mekanisme, yaitu :4
a. Deleksi klonal, yaitu eliminasi klon (kelompok sel yang berasal dari
satu sel) limfosit, terutama limfosit T dan sebagian kecil lmfosit B,
selama proses pematangan.4
b. klon, yaitu ketidakmampuan klon limfosit menampilkan fungsinya
supresi klon, yaitu pengendalian fungsi “pembantu” limfosit T.4

Pada umumnya, sistem kekebalan dapat membedakan antar antigen diri


(self antigen) dan antigen asing atau bukan diri (non-self antigen). Dalam hal ini
terjadi toleransi imunologik terhadap antigen diri (self tolerance). Apabila sistem
kekebalan gagal membedakan antara antigen self dan non-self, maka terjadi
pembentukan limfosit T dan B yang auto reaktif dan mengembangkan reaksi
terhadap antigen diri (reaksi auto imun).4

29
2.4.2 Kontak Langsung
Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai allergen biasanya berat molekulnya
kecil (berat molekul < 500 Da), larut dalam lemak yang disebut hapten.Reaksi
yang terjadi adalah reaksi hiperensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut
klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T. 4
Hapten dapat memicu terjadinya alergi jika hapten berkonjugasi dengan protein
carrier dan sel t helper yang terpicu oleh peptida dari protein carier sksn terikat
dengan sel mast di bwah kulit. Jika ada hapten yang berikatan dengan igE di
permukaan sel mast maka akan memicu sel mast mengeluarkan berbagai
mediator reaksi alergi.4

30
2.5 Menjelaskan histopatologis perubahan pada jaringan kulit sehingga terjadi
bercak merah

Reaksi hipersensitivitas segera dapat terjadi sebagai suatu kelainan sistemik atau
sebagai kelainan setempat. Bentuk reaksi seringkali ditentukan oleh pintu masuk
pajanan antigen. Pajanan sistemik terhadap antigen protein (contoh racun lebah) atau
obat (contoh penisilin) dapat menyebabkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa
menit setelah pajanan pada individu yang tersensitisasi akan timbul rasa gatal,
urtikaria (biduran) dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas yang cepat
disebabkan bronkokonstriksi dan diperburuk oleh hipersekresi mukus. Edema laring
dapat menyebabkan eksaserbasi karena obstruksi jalan napas. Di samping itu, otot
polos seluruh saluran gastrointestinal dapat terjangkit, disertai muntah, perut tegang
dan diare. Tanpa intervensi segera dapat terjadi vasodilatasi sistemik disertai
penurunan tekanan darah (syok anafilaktik), dan penderita mengalami kolaps
peredaran darah serta kematian dalam beberapa menit. Reaksi setempat biasanya
terjadi apabila antigen terbatas pada tempat tertentu, seperti kulit (kontak,
menyebabkan urtikaria), saluran gastrointestinal (tertelan, menyebabkan diare), atau
paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum dari alergi kulit dan
makanan, demam rumput kering dan bentuk tertentu berupa asma adalah contoh
reaksi alergi yang bersifat setempat. Walaupun demikian, masuknya alergen lewat
mulut atau inhalasi juga dapat memicu reaksi sistemik. 1
Kerentanan terhadap reaksi tipe I yang bersifat setempat memiliki unsur genetik
kuat, dan istilah atopi digunakan untuk menggambarkan predisposisi keluarga dalam
hal reaksi setempat tersebut. Para penderita yang mengalami alergi nasobronkial
(termasuk demam rumput kering dan sebagian dari asma) seringkali memiliki
riwayat keluarga yang mirip. Gen yang terkait dengan kerentanan terhadap asma dan
kelainan atopik lain termasuk yang menyandi molekul HLA (yang terkait dengan
reaksi imun terhadap antigen tertentu), sitokin (yang
31
mengelola reaksi sel TH2), unsur FcɛRI, metaloproteinase yang mungkin terlibat
pada remodeling saluran napas. Reaksi hipersensitivitas segera jelas tidak
berkembang sendiri untuk menyebabkan gangguan atau penyakit pada manusia.
Reaksi imun bergantung kepada sel TH2 dan IgE khususnya, reaksi inflamasi fase
lambat memainkan peranan protektif yang penting dalam memerangi infeksi parasit.
Antibodi IgE diproduksi sebagai reaksi terhadap infeksi helmint, dan fungsi faali
eosinofil dan sel mast untuk memusnahkan helmint. Sel mast juga terlibat dalam
pertahanan terhadap infeksi bakteri.1

Gambar 2.5.1 Hipersensitivitas yang ditandai oleh vasodilatasi ,kongesti, dan edema serta reaksi
fase lambat yang ditandai oleh sel radang
Sumber: Kumar V,Abbas A,Aster JC.Robins Basic Pathology. Ed9.Philadelphia: Elsvier ;2014

Gambaran histopatologik dermatitis kontak iritan tidak karakteristik. Pada DKI


akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuclear
di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis
dan edema intrasel, dan akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat
kerusakan epidermis dapat menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula
ditemukan limfosit dan neutrofil.5

32
Gambar 2.5.2 Reaksi hipersensitivitas tipe-lambat pada kulit.
Sumber: Kumar V,Abbas A,Aster JC.Robins Basic Pathology. Ed9.Philadelphia: Elsvier ;2014

Hipersensitivitas lambat (HL) adalah reaksi yang diperantarai sel T yang


berkembang sebagai reaksi terhadap tantangan antigen pada individu yang sebelumnya
telah terangsang. Sebaliknya dengan hipersensitivitas, reaksi HL tertunda selama 12 jam
sampai 48 jam, yang diperlukan untuk mendatangkan sel T efektor ketempat tantangan
antigen dan diaktifkan serta mensekresikan sitokin. Contoh klasik dari HL adalah reaksi
tuberkulin, yang dipicu oleh tantangan dengan ekstrak protein M. tuberculosis
(tuberkulin) pada seseorang yang sebelumnya telah terpajan terhadap basil tuberkulosis.
Antara 8 sampai 12 jam setelah suntikan tuberkulin Intra kutis, tampak suatu area eritema
setempat dan indurasi, yang mencapai puncak (khasnya berdiameter 1 cm sampai 2 cm)
dalam 24 jam sampai 72 jam, yang kemudian berangsur menurun. Pada pemeriksaan
histologis, reaksi HL mempunyai ciri berupa penumpukan perivaskular "cuffing" sel T
penolong CD4+ dan makrofag.Sekresi di sitokin setempat menyebabkan peningkatan
permeabilitas mikrovaskular, yang menimbulkan edema kulit dan pengendapan fibrin
yang merupakan mekanisme utama dari indurasi jaringan.
33
Reaksi HL terutamavdihasilkan oleh aktivasi sel TH1, sedangkan peranan seI TH17 tidak
jelas. Reaksi tuberkulin digunakan untuk menapis orang-orang yang pernah terpajan oleh
tuberkulosis, sehingga di dalam peredaran darahnya terdapat sel T memori yang bereaksi
terhadap protein mikobakterium.1
Reaksi HL yang berlangsung lama terhadap mikroba yang menetap atau stimulus lain
dapat menyebabkan pola reaksi morfologik yang khusus yang disebut inflamasi
granulomatasa. Infiltrat perivaskular yang semula terdiri dari sel T CD4+ secara cepat
diganti oleh makrofag dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Penumpukan makrofag
ini secara khas memperlihatkan bukti morfologik dari aktivasi; yaitu mereka menjadi
besar, datar, dan eosinofilik, dan disebut sel epiteloid. Sel epiteloid tersebut kadang-
kadang berfusi karena pengaruh sitokin (contoh 1FN-γ) untuk membentuk sel datia
berinti banyak. Agregat mikroskopik dari sel-sel epiteloid secara khas dikelilingi oleh
kelim limfosit, disebut granuloma . Proses tersebut adalah pada dasarnya sebagai bentuk
inflamasi yang diperantarai sel T dan aktivasi makrofag . Granuloma yang lebih lama
membentuk kelim fibroblas dan jaringan ikat. 1

34
2.6 Menjelaskan mengapa bercaknya berbatas

Penyakit kulit lazim terjadi dan bervariasi, dimulai dari akne yang bersifat iritatif
sampai kelainan yang mengancam kehidupan seperti melanoma. Banyak kelainan
hanya terbatas (intrinsik) pada kulit, tetapi beberapa kelainan merupakan manifestasi
suatu penyakit yang mengenai berbagai jaringan, seperti lupus eritematosus sistemik
atau sindrom yang berhubungan dengan kelainan genetik seperti neurofibromatosis.
Pada keadaan seperti ini kulit merupakan suatu "jendela" yang secara unik dapat
dicapai dan memungkinkan berbagai kelainan dapat dikenal. Kulit tidak hanya
berfungsi sebagai lapisan pelindung, tetapi merupakan suatu organ kompleks yang
secara aktif berpartisipasi dalam regulasi sel dan peristiwa molekuler yang
berhubungan dengan interaksi tubuh dan lingkungan sekitarnya. Kulit secara terus
menerus terpajan pada antigen mikroba dan non-mikroba. Fungsi protektif kulit
terhadap pajanan tersebut dilakukan oleh sel Langerhans intraepitelial, dengan cara
meneruskan muatan antigen ke kelenjar getah bening regional dan menimbulkan
respons imun alamiah. Sel skuamosa (keratinosit) memiliki fungsi sebagai pengatur
homeostasis kulit mengaktifkan barier terhadap lingkungan dengan cara mensekresi
banyak sitokin yang mempengaruhi lingkungan mikro- skuamosa dan dermis.
Daerah dermis mengandungi limfosit T baik yang bersifat penolong (helper) (sel T
CD4+) maupun yang bersifat sitotoksik (sel T CD8+). Sebagian dari limfosit tersebut
tertarik ke daerah kulit melalui reseptor khusus seperti antigen limfosit kulit
(cutaneous lymphocyte antigen). Epidermis mengandungi limfosit intraepitel,
termasuk sel T γ/δ, yang membentuk komponen sistem imun alami/bawaan (innak
immune system). Reaksi imun lokal yang melibatkan sel-sel imun dan sitokin
berperan dalam membentuk pola mikroskopik dan ekspresi klinis berupa proses
radang kulit dan penyakit infeksi.1

35
Pembahasan pada bab ini dipusatkan pada subset kecil dari penyakit kulit yang
lazim dan memberikan ilustrasi pathogenesis. Dalam memperhatikan penyakit-penyakit
ini, penting untuk menghargai penerapan dermatologi yang bergantung kepada
kerjasama timbal balik dengan klinisus terutama spesialis penyakit kulit. Riwayat
penyakit dan tampilan makroskopik serta distribusi lesi yang dilaporkan oleh klinikus
sama pentingnya dengan penemuan mikroskopik dalam rangka menegakkan diagnosis.
Kelainan kulit dapat membingungkan mahasiswa, sebagian karena spesialis penyakit
kulit (dermatolog) dan spesialis patologi kulit (dermatopatolog) menggunakan
kosakata/ungkapan yang bermakna luasatau unik untuk menguraikan lesi kulit.
Pengetahuan mengenai kosakata/ungkapan tersebut merupakan dasar untuk membangun
pemahaman dan komunikasi yang jelas. Beberapa istilah dan ungkapan yang lazim
digunakan akan dijelaskan dibawah ini. 1

Istilah untuk Lesi Makroskopik : 1

1. Ekskoriasi: Lesi akibat trauma yang merobek epidermis dan menyebabkan garis
linear kemerahan (yaitu, suatu garukan yang dalam); sering terjadi akibat perbuatan
sendiri.
2. Likenifikasi: Kulit yang menebal dan kasar ditandai oleh perubahan kulit perubahan
kulit berupa "tanda" , biasanya sebagai hasil gesekan atau gosokan yang berulang
kali (lihat "Liken Simpleks Kronik").
3. Makula: Lesi datar, berbatas tegas, diameter kurang atau sama dengan 5 mm,
terdapat perbedaan warna dengan sekitarnya. Apabila lebih besar dari 5 mm. Apabila
lebih besar dari 5 mm, disebut sebagai bercak (patch)
4. Plak: Lesi yang menonjol dengan bagian atap rata (flattopped), biasanya berukuran
lebih besar dari diameter 5 mm.
5. Pustul: Lesi yang menonjol dan berbatas tegas berisi pus (nanah).

36
6. Skuama: Pertumbuhan keluar, bersifat sebagai lapisan tanduk, menyerupai sisik
(lempengan), biasanya terjadi akibat komifikasi yang tidak sempurna.
7. Vesikel: Penonjolan berisi cairan dengan area kurang atau sama dengan 5 mm. Bila
diameter lebih dari 5 mm disebut sebagi bula. Lepuh/gelembung (blister) merupakan
istilah rutin yang digunakan untuk vesikel dan bula.

Istilah Mikroskopik : 1

1. Akantolisis: Hilangnya ikatan antar sel pada lapisan keratinosit. Akantosis:


Hiperplasia epidermis difus.
2. Diskeratosis: Keratinisasi abnormal yang terjadi secara prematur di dalam sel
secara individu atau kelompokan sel di bawah stratum granulosum.
3. Hiperkeratosis: Hiperlasia dari stratum corneum, seringkali berhubungan dengan
kelainan keratin secara kualitatif.
4. Lentigenus: Proliferasi melanosit secara linear sepanjang lapisan basal epidermis,
dapat timbul akibat perubahan reaktif atau sebagai bagian dari neoplasma
melanositik.
5. Papilomatosis: Penonjolan kepermukaan disebabkan oleh karena hiperplasia dan
pembesaran papil dermal. Parakeratosis: Keratinisasi yang ditandai oleh retensi inti
sel di daerah stratum corneum. Pada membran mukosa sel skuamosa, seperti pada
daerah mukosa bucal, parakeratosis adalah normal. Spongiosis: Edema antar sel
dari epidermis.

37
2.7 Menjelaskan perbedaan reaksi inflamasi alergi dan infeksi

2.7.1 Alergi
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme
imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun
selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut
reaksi hipersensitivitas.6
a) Alergi disebabkan oleh : alergen
b) Respon imun: imunoglobulin E
c) Komponen utama : imunoglobulin, komplemen dari sel T
d) Hasil akhirnya : eritema, keratosis, autoimun

Reaksi infalamasi hipersensivitas


Urutan peristiwa dalam reaksi inflamasi yang diperantarai sel T dimulai dengan
pemajanan pertama terhadap antigen dan pada dasarnya sama seperti reaksi imunitas
seluler (Gambar 4-4). Limfosit T CD4+ yang naif mengenaI antigen peptida dari diri atau
protein mikroba yang bergabung dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel
dendrit (atau makrofag) yang memproses antigen. Apabila sel dendrit memproduksi IL-
12 maka sel T yang naif berdiferensiasi menjadi sel efektor dari jenis TH1. Sitokin IFN-
y yang dibuat sel NK dan sel TH1 sendiri, menunjang diferensiasi sel TH1 lebih lanjut
dan membuat lingkaran umpan balik yang positif. Apabila APC memproduksi 11-1, IL-
6 atau IL-23, yang seharusnya IL-12, maka sel CD4+ berdiferensiasi menjadi efektor
TH17. Pemajanan kepada antigen selanjutnya sel efektor yang sudah terjadi ditarik
ketempat pemajanan antigen dan diaktifkan terhadap antigen yang dipresentasikan oleh
APC. Sel TH1 mensekresikan IFN-γ, yang merupakan sitokin paling kuat yang bersifat
mengaktifkan makrofag.6

38
Makrofag yang teraktivasi mempunyai aktivitas fagositik dan mikrosidal yang
meningkat. Makrofag yang teraktivasi juga memaparkan molekul MHC kelas II dan
kostimulator lebih banyak yang menunjang kapasitas penyajian antigen, mensekresikan
IL-12 lebih banyak sehingga meningkatkan reaksi sel TH1. Pada aktivasi oleh antigen,
sel TH17 mensekresikan IL-17 dan sitokin lain, yang mengatifkan neutrofil (dan
monosit) yang menyebabkan inflamasi. Karena sitokin yang dihasilkan sel T
meningkatkan pemanggilan dan aktivitas leukosit maka reaksi radang menjadi kronik
kecuali bila penyebabnya atau siklusnya diputus dengan pengobatan. Ternyata, inflamasi
terjadi sebagai reaksi dini terhadap mikroba dan sel mati, tetapi sangat meningkat dan
diperpanjang bila sel T terlibat.6

2.7.2 Infeksi
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen,
dan bersifat sangat dinamis. Secara umum proses terjadinya penyakit melibatkan
tiga faktor yang saling berinteraksi yaitu : faktor penyebab penyakit (agen), faktor
7
manusia atau pejamu (host), dan faktor lingkungan.
a) Infeksi disebabkan oleh : bakteri, virus, jamur dan parasit , dengan
b) Respon imun: migrasi neutrofil,
c) Komponen utama : reaksi vascular dan respon sel,
d) Hasil akhirnya : resolusi, radang akut dan jaringan parut
Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung dari
tingkat infeksi, patogenisitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu. Dengan proses
perawatan yang tepat, maka akan meminimalisir penyebaran dan meminimalkan
penyakit. Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan keperawatan yang
diberikan. Berbagai komponen dari system imun memberikan jaringan kompleks
mekanisme yang sangat baik yang jika utuh, berfungsi mempertahankan tubuh terhadap
mikroorganisme asing dan sel-sel ganas.7

39
Pada beberapa keadaan, komponen-komponen baik respon spesifik maupun non
spesifik bisa gagal dan hal tersebut bisa mengakibatkan kerusakan pertahanan hospes.
Orang-orang yang mendapat infeksi yang disebabkan oleh defisiensi dalam pertahanan
dari segi hospesnya disebut hospes yang melemah. Sedangkan orang-orang dengan
kerusakan mayor yang berhubungan dengan respon imun spesifik disebut hospes yang
terimunosupres.Ciri-ciri umum yang berkaitan dengan hospes yang melemah adalah :
infeksi berulang, infeksi kronik, ruam kulit, diare, kerusakan pertumbuhan dan
meningkatnya kerentanan terhadap kanker tertentu.7

40
2.8 Menjelaskan perbedaan reaksi alergi dan iritasi

2.8.1 Alergi
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme
imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun
selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda
yang secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan
terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang
normal. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4
tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga reaksi
anafilaktik atau reaksi alergi. 8
Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak
berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut allergen Antibiotik
dapat menimbulkan reaksi alergi anafilaksis misalnya penisilin dan derivatnya,
basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid dan lain-lain. Obat-obatan
lain yang dapat menyebabkan alergi yaitu anestesi lokal seperti prokain atau lidokain
serta ekstrak alergen seperti rumput-rumputan atau jamur, Anti Tetanus Serum
(ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti bisa ular juga dapat menyebabkan
reaksi alergi. Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis
dan dapat menimbulkan alergi misalnya zat radioopak, bromsulfalein,
benzilpenisiloilpolilisin. Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara
(kotoran tungau dari debu rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti
gamaglobulin dan kriopresipitat juga dapatmerangsang mediator alergi sehingga
timbul manifestasi alergi.8

41
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan dikarenakan
maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain selain ASI(Air
Susu Ibu), contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan akan
menimbulkan manifestasi penyakit alergi.Hal ini disebabkan makanan yang masuk
masih dianggap asing oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang 13belum matur
sehingga makanan tidak terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan kemudian
menimbulkan hipersensitivitas.8

2.8.2 Iritasi
Iritasi pada kulit meliputi adanya benjolan, terasa nyeri, terjadi ruam kulit,
serta sensasi rasa panas seperti terbakar. Gatal-gatal dan iritasi pada kulit
memang dapat menyerang siapa saja dan di bagian mana saja seperti tangan,
kaki, leher dan sebagainya. Beberapa penyebab iritasi pada kulit yang sering
ditemukan adalah:9
a. Pembersih rumah tangga
Kebanyakan orang menyadari bahwa pembersih rumah tangga
tidak dimaksudkan untuk kulit. Bahan kimia yang digunakan di dalamnya
dapat memiliki efek iritasi pada kulit. Ini termasuk pembersih all in one,
deterjen piring, deterjen, pembersih jendela, furniture polish dan
desinfektan toilet. Mengenakan sarung tangan pelindung sebelum
menangani zat-zat tersebut dianjurkan untuk mencegah terjadinya iritasi
pada kulit saat pemakaian bahan-bahan kimia tersebut.9
b. Pewangi atau pelembut pakaian
Pemakaian pewangi atau pelembut yang mengandung pakaian
pada pakaian Anda juga bisa mengakibatkan yang tertutup oleh pakaian
Anda. Solusinya jangan lagi gunakan pewangi atau pelembut pakaian
tersebut untuk menghindari pada kulit.9

42
c. Pakaian
Bahan pakaian kasar seperti wol, dapat menjadi masalah bagi
orang yang menderita kelainan kulit yang disebut dermatitis atopik,
bentuk paling umum dari eksim. American Academy of Dermatology
memperkirakan bahwa 10% sampai 20% dari anak-anak dan 1% hingga
3% dari orang dewasa mengembangkan kondisi ini. Jika Anda menduga
bahwa kain pakaian Anda yang menyebabkan gatal-gatal, pada kulit atau
ruam, Kami menyarankan gunakan pakaian yang berbahan katun.9
d. Makanan
Alergi makanan tentu dapat menyebabkan reaksi iritasi pada kulit
mulai dari gatal-gatal dan ruam. Hal ini dikenal dengan istilah atopi
dermatitis. Makanan yang sering menyebabkan alergi tersebut adalah
dimaksud adalah seafood, telur dan susu sapi.9
e. Nikel
Nikel adalah bahan alergen yang sering menjadi penyebab . Hal
ini dapat ditemukan dalam perhiasan kostum, watchbands, ritsleting, dan
barang-barang sehari-hari lainnya. Solusinya adalah secepatnya lepas kan
bahan tersebut dari tubuh Anda.9
f. Sabun
Pemakaian sabun yang tidak berpelembab pada wajah dan tubuh
dapat mengikis minyak dari kulit. Apalagi jika hal itu dilakukan lebih dari
2 kali sehari, tak ayal dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Padahal
minyak pada wajah dan tubuh berguna untuk menjaga kelembaban.
Solusinya gunakan sabun yang mengandung pelembab yang aman
digunakan kapan saja dan sesering mungkin untuk menjaga kelembaban
kulit.9

43
2.9 Menjelaskan diagnosis deferensial
Sesuai dengan skenario, pasien diduga mengalami dermatitis kontak. Dermatitis
kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari suatu zat
yang bersentuhan dengan kulit. Dermatitis kontak sendiri memiliki 2 jenis. Pertama,
dermatitis kontak iritan (DKI) yang disebabkan oleh iritasi kimia dan kedua
dermatitis kontak alergi (DKA) yang disebabkan oleh antigen (alergen) dimana
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat), tidak
berhubungan dengan atopi, dank arena merupakan rreaksi hipersensitivitas tipe
lambat, dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang
menyebabkan peradangan dan edema pada kulit.10
Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi
imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan
bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi
penyebaran yang menyeluruh.10
Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih muda (18 sampai 25
tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk terjadi dermatitis
dibandingkanorang tua. Kompetensi reaksi imun yang dimediasi sel T pada anak-
anak masihkontroversi. Studi ini masih menganggap bahwa anak-anak jarang
mengalami DKA karena sistem kekebalan tubuh yang belum matang, namun Strauss
menyarankan bahwa hiporesponsifitas yang jelas pada anak-anak mungkin karena
terbatasnya paparan dan bukan karena kurangnya imunitas. Dengan demikian, reaksi
alergi terlihat terutama pada pasien anak yang lebih tua dan yang terjadi sekunder
oleh karena obat topikal, tanaman, nikel,atau wewangian.10

44
Sesuai dengan skenario, pasien tersebut memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan
Dermatitis Kontak Iritan. Karena dermatitis kontak iritan sendiri disebabkan oleh
faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang menyebabkan terjadinya DKI
antara lain yaitu genetic, jenis kelamin, umur, etnis, lokasi kulit, dan riwayat atopi.
Faktor eksogen meliputi sifat-sifat kimia iritan (pH, keadaan fisik, konsentrasi,
ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan pembawa dan kelarutan),
karakteristik paparan (jumlah, konsentrasi, durasi, jenis kontak, paparan simultan
terhadap iritan lainnya, dan interval setelah paparan sebelumnya), faktor lingkungan
(suhu, dan kelembapan), faktor mekanik (tekanan, gesekan, atau abrasi), dan radiasi
ultraviolet (UV).10

45
2.10 Menjelaskan cara pengobatan imunoterapi dan densesitasi

Imunoterapi (Allergen immunotherapy) adalah terapi dengan cara memberikan


ekstrak alergen dalam dosis bertahap pada pasien yang alergi terhadap alergen
tersebut. Saat ini, imunoterapi terutama diindikasikan sebagai terapi rinitis alergi,
asma, dan hipersensitivitas terhadap racun bisa Hymenoptera. Metode yang umum
digunakan adalah imunoterapi subkutan dan imunoterapi sublingual. Imunoterapi
bertujuan untuk mengurangi gejala yang terjadi karena paparan terhadap alergen,
meningkatkan kualitas hidup serta menginduksi toleransi jangka-panjang.11
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai IgE atau alaergi terhadap seranggga. Imunoterapi dapat menghambat
pelepasan histamine dan basofil pada tantangan dengan antigen E. 11
Ketika seseorang memiliki alergi yang parah, mereka bisa mendapatkan
perawatan imunoterapi alergen. Seperti vaksinasi, imunoterapi memungkinkan untuk
mendapatkan perlawananatau kekebalan terhadap hal-hal yang dapat memicu alergi.
Dengan begitu, tubuh tidak akan bereaksi berlebihan ketika terkena pemicu alergi
atau alergen, sehingga gejala alergi dapat diminimalisir dan tidak begitu mengganggu
aktivitas sehari-hari.Namun, dibutuhkan kesabaran saat menjalani terapi ini, sebab
tidak cukup dengan satu suntikan saja, melainkan berkali-kali. Pertama-tama dokter
akan menyuntikkan alergen dalam dosis kecil lalu meningkatkan dosisnya setiap
minggu, tergantung pada kesensitivitasan tubuh. Tindakan ini dapat memakan waktu
4 sampai 6 bulan hingga mencapai dosis pemeliharaan. Dosis ini diberikan setiap 1
sampai 2 minggu, atau setiap 3 sampai 4 minggu, dan berlanjut selama 3 sampai 5
tahun atau lebih.Kabar baiknya adalah, setelah proses ini, seseorang yang memiliki
alergi akan menjadi kurang sensitif terhadap pemicu alergi, sehingga mereka tidak
membutuhkan obat-obatan anti alergi, bahkan tekadang tidak perlu sama sekali.
Mereka pun dapat menikmati kegiatan sehari-hari mereka dengan lebih mudah.11
46
Suntikan alergi mungkin diperlukan untuk orang-orang yang terkena banyak alergen
(misalnya, serbuk sari, tungau debu) yang mana kondisi tersebut dulit untuk
dihindari, atau apabila gejala alergi sudah sangat parah namun obat alergi tidak dapat
mengendalikannya. Jika Anda mengalami alergi, konsultasikan dengan dokter
mengenai tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Jika masalah alergi
Anda berkaitan dengan asma, umumnya para ahli akan menyarankan imunoterapi
yang sangat membantu bagi penderita asma karena serangan asma kebanyakan dipicu
oleh allergen.11

47
BAB III
PENUTUP

3.1Kesimpulan

Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi. Yang termasuk sel
mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan basofil mengandung
mediator kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator
tersebut adalah histamine. Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang
spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel
mast.
Sesuai dengan skenario, pasien diduga mengalami dermatitis kontak. Dermatitis
kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari suatu zat
yang bersentuhan dengan kulit. Dermatitis kontak sendiri memiliki 2 jenis. Pertama,
dermatitis kontak iritan (DKI) yang disebabkan oleh iritasi kimia dan kedua
dermatitis kontak alergi (DKA) yang disebabkan oleh antigen (alergen) dimana
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat),
dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang menyebabkan
peradangan dan edema pada kulit.
Sesuai dengan skenario, pasien tersebut memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan
Dermatitis Kontak Iritan karena faktor eksogen meliputi sifat-sifat kimia iritan (pH,
keadaan fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan
pembawa dan kelarutan).

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9. Jakarta:
EGC; 2014.
2. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of phatofisiology. New York: Thieme; 2014.
3. Suardana IBK.Diktat Imunologi Dasar.Fak.Kedokteran Udayana Denpasar Hal
31-35.
4. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
6thed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2013.
5. Indriani F.Pengaruh riwayat atopik terhadap timbulnya dermatitis kontak iritan
di perusahaan batik putera laweyan Surakarta. 2014. Available from :
http://eprints.ums.ac.id/9190/2/J500060036.pdf [diakses hari Sabtu, 27 Oktober
2018, pukul 09.20 WIT].
6. Muhammad Rafi, Asmawati Adnan, Huriatul Masdar. Gambaran Rinitis Alergi
Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2013-2014.
JOM FK. [internet]. 2012. [citied on 2018 Okt 16]; 7(1).
Availble from : http://jurnal.fkm.unand.ac.id

7. Liza Salawati. Pengendalian Infeksi Nosokomial Di Ruang Intensive Care Unit


Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. . [Internet]. 2012. [Citied On
2018 Okt 16]; 12(1).
Availble From : Http://Jurnal.Unsyiah.Ac.Id
8. Uthari LH. Hipersensitifitas. (internet). Jakarta: Academia edu ;2016. (Cited
2018 Okt 16).
Available from: undip.ac.id/46316/...220101111100d84_Lap.KTI_Bab2.pdf
9. Mayasari K. Penyebab iritasi pada kulit. (internet). Jakarta: Academia
edu;2015. (Cited on 2018 Okt 16). Available from: http:www.penyebab-iritasi-
pada-kulit.226543737.pdf

vii
10. Wijay IPGI, Darmada IGK, Rusyanti LMM. Edukasi dan penatalaksanaan
dermatitis kontak iritan kronis di RSUP Sanglah Denpasar bali tahun 2014/2015.
2016 Agustus; 5(8): 6. Available from :
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/22867/14999
11. Hamelmann E, Wahn U. Anti-IgE therapy. In: Lockey RF, Ledford DK eds.
Clinical Allergy and Immunology Series : Allergens and Allergen
Immunotherapy. 4th ed. New York : Informa, 2016

viii

Anda mungkin juga menyukai