NAMA KELOMPOK......................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................…...…...…ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................v
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………..…vi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................
1.1 Skenario………………………………......................................................................1
1.2 Step I. Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci………………………….……...1
1.3 Step II. Identifikasi Masalah……………………………………………...…….…...1
1.4 Step III. Hipotesis Sementara……………………………………………….............2
1.5 Step IV. Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping.......................................................4
1.6 Step V. Learning Objective……………………………………………………........5
1.7 Step VI. Belajar Mandiri………………………………………………………........5
1.8 Step VII. Pembahasan Learning objective………………………………………….5
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................
1.1 Menjelaskan patomekanisme (terutama imunopatogenesis dari reaksi skenario)…6
1.2 Menjelaskan klasifikasi hipersensitifitas dan contoh penyakit…………………...15
1.3 Menjelaskan organ-organ yang berperan dalam reaksi hipersensitifitas…………26
1.4 Menjelaskan faktor resiko penyakit sesuai skenario yang dikaitkan dengan tanda-
tanda pada skenario……………………………………………………………….29
1.5 Menjelaskan histopatologis perubahan pada jaringan kulit sehingga terjadi bercak
merah……………………………………………………………………………...31
iii
1.6 Menjelaskan mengapa bercaknya berbatas……………………………………….35
1.7 Menjelaskan perbedaan reaksi inflamasi alergi dan infeksi………………………38
1.8 Menjelaskan perbedaan alergi dan iritasi…………………………………………41
1.9 Menjelaskan diagnosis deferensial………………………………………………..44
1.10 Menjelaskan cara pengobatan imunoterapi dan densesitasi…………………...46
3.1 Kesimpulan……………………………………………………….........………...48
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................vii
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.5.1 Hipersensitifitas yang ditandai oleh vasodilatasi, kongesti, dan edema serta
reaksi fase lambat yang ditandai oleh sel radang………………………………..32
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2.1 Kesimpulan kegiatan mediator sel mast pada hipersensitifitas segera……18
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
Seorang Ibu rumah tangga berumur 20 tahun datang ke dokter dengan keluhan
bercak kemerahan berbatas tegas di pergelangan tangan, muncul 4 hari yang lalu.
Bercak tersebut agak hangat pada perabaan, terasa gatal dan tidak ada nyeri pada
penekanan. Kelainan ini sifatnya kambuhan terutama setelah mencuci. Lokasi
kelainannya bisa di sela-sela jari tangan.
3
1.5 Step IV. Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping
Keluhan
Gejala
Melibatkan igE dan lama kontak
dengan zat kimia - Timbul bercak merah
- Gatal
- Tidak ada nyeri
Dermatitis
Kontak Gejala dapat dihilangkan
4
1.6 Step V. Learning Objective
Mahasiswa/i mampu :
1. Menjelaskan patomekanisme (terutama imunopatogenesis dari reaksi skenario)
2. Menjelaskan klasifikasi hipersensitifitas dan contoh penyakit
2. Menjelaskan organ-organ yang berperan dalam reaksi hipersensitifitas
3. Menjelaskan faktor resiko penyakit sesuai skenario yang dikaitkan dengan tanda-
tanda pada skenario
4. Menjelaskan histopatologis perubahan pada jaringan kulit sehingga terjadi bercak
merah
5. Menjelaskan mengapa bercaknya berbatas
6. Menjelaskan perbedaan reaksi inflamasi alergi dan infeksi
7. Menjelaskan perbedaan alergi dan iritasi
8. Menjelaskan diagnosis deferensial
9. Menjelaskan cara pengobatan imunoterapi dan densesitasi
5
BAB II
PEMBAHASAN
Hipersensitivitas adalah semua bentuk jejas yang diperantarai sistem imun secara
kolektif. Hipersensitivitas menunjukkan sensitivitas terhadap suatu antigen yang
abnormal atau berlebihan. Reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi tipe I-IV.1
MEDIATOR PRIMER
Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast
dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe I. Histamin, yang
merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas
vaskular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain
yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan
menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil.
Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral
(misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen
untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).1
MEDIATOR SEKUNDER
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa: mediator lipid dan sitokin.
Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A, yang memecah fosfolipid
membran sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat
merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.1
Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipoksigenase pada prekursor asam
8
arakhidonat dan sangat penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I.
Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal
paling poten; pada dasar molar, agen ini beberapa ribu kali lebih aktif dari pada
histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil,
eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenase dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat
serta meningkatkan sekresi mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan
agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga
bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali
oleh aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolisme asam
arakhidonat.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan
kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF
merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi
leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk
mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.1
Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme
memerantarai reaksi hipersensitivitas tipe I. Beberapa senyawa ini dilepaskan secara
cepat dari sel mast yang tersensitisasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera
yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis sistemik. Senyawa
lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk
rekruitmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya
melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.
9
Eosinofil direkrut oleh eotaksin dan kemokin lain yang dilepaskan dari epitel yang
diaktivasi oleh TNF dan merupakan efektor penting pada cedera jaringan dalam
respons fase lambat pada hipersensitivitas tipe I. Sebagai contoh, eosinofil
menghasilkan protein dasar utama dan protein kationik eosinofil, yang toksik terhadap
sel epitel. Demikian pula, leukotrien C, dan faktor pengaktivasi trombosit yang
dihasilkan oleh eosinofil secara langsung akan mengaktivasi pelepasan mediator sel
mast. Akibatnya, sel yang direkrut akan memperkuat dan mempertahankan respons
peradangan pada saat tidak adanya pajanan alergen tambahan. Karena inflamasi
merupakan komponen utama reaksi fase lambat dalam hipersensitivitas tipe I,
biasanya pengendaliannya memerlukan obat anti inflamasi berspektrum luas, seperti
kortikosteroid.1
10
2.1.2 Hipersensitivitas tipe II atau sitotoksik
Reaksi hipersensitivitas dua fokus biasanya pada sel yang secara
antigenik aktif atau protein matriks ekstrasel, dengan hapten berikatan dengan sel
endogen atau sel darah asing masuk ke organisme. Setelah sensitisasi/alergisasi
pada kontak pertama dengan alergen, pajanan antigen berikutnya menyebabkan
pembentukan IgM dan IgG spesifik alergen dalam jumlah besar dan terikat secara
padat ke permukaan sel alergenik (opsonisasi).2
Dengan cara ini, sistem komplemen diaktifkan dan sel NK
mengembangkan efek sitotoksiknya yaitu antibody dependent cell mediated
cytotoxicity (ADCC). Keduanya menyebabkan kerusakan sel alergenik dalam
beberapa jam (sitolisis). Karenanya pengikatan hapten ke eritrosit menyebabkan
anemia hemolitik, pengikatan hapten ke trombosit menyebabkan
trombositopenia, begitu juga dengan agranulositosis dan sindrom goodpasture.2
14
2.2 Menjelaskan klasifikasi hipersensitifitas dan contoh penyakit
19
1. Opsonisasi dan fagositosis.
Apabila sel yang beredar , seperti eritosit atau trombosit, dilapisi
(opsonisasi) oleh autoantibodi, dengan atau tanpa protein komplemen, maka sel
akan menjadi sasaran fagositosis oleh neutrofil dan makrofag. Fagosit tersebut
memaparkan reseptor untuk bagian ekor Fc dari antibodi Ig-G dan reseptor
protein komplemen C3, dan menggunakan reseptor tersebut untuk mengikat dan
menelan partikel yang teropsonisasi. Sel yang mengalamai opsonisasi biasanya
disingkirkan di dalam limpa, dan oleh karena itu splenektomi bermanfaat secara
klinis pada trombositopenia autoimun dan beberapa jenis anemia hemolitik
autoimun.1
2.
Inflamasi (peradangan)
Antibodi terikat pada antigen sel atau jaringan dan mengaktifkan sistem
komplemen melalui jalur klasik. Produk-produk aktivasi komplemen memiliki
beberapa fungsi, satu di antaranya adalah mendatangkan neutrofil dan monosit,
memicu inflamasi pada jaringan. Leukosit mungkin juga diaktifkan dengan
melibatkan reseptor Fc, yang mengenal antibodi yang terikat. Mekanisme jejas
semacam ini dicontohkan oleh sindrom Goodspasture dan pemfigus vulgaris.1
3.
Disfungsi sel yang diperantarai antibodi.
Pada sebagian kasus,antibodi yang ditujukan kepada reseptor permukaan
sel memengaruhi atau mengganggu regulasi fungsi sel tanpa menyebabkan jejas
seI atau inflamasi. Pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin
pada ujung saraf motorik dari otot seran lintang menghambat transmisi
neuromuskular, sehingga menyebabkan kelemahan otot. Antibodi juga dapat
merangsang reaksi sel berlebihan. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap
reseptor hormon perangsang tiroid (thyroid stimulating hormone) merangsang
epitel tiroid untuk mensekresi hormon tiroid dan menyebabkan hipertiroid.1
20
Tabel 2.2.2 Contoh Penyakit yang Diperantarai Antibodi
Sumber: Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9. Jakarta:
EGC; 2014.
21
Gambar 2.2.3 Penyakit Kompleks imun
Sumber: Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9. Jakarta: EGC;
2014.
23
Gambar 2.2.4 Mekanisme reaksi hipersensitivitas diperantarai sel T (tipe IV)
Sumber : Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9.
Jakarta: EGC; 2014.
Pada bentuk jejas jaringan yang diperantarai sel T, CTL CD8+ membunuh sel
sasaran yang memaparkan antigen. Seperti yang dibahas lebih dahulu, molekul MHC
kelas I berikatan dengan antigen peptida intrasel dan menyajikan peptida tersebut kepada
limfosit T CD8+, merangsang diferensiasi sel T menjadi sel efektor yang disebut CTL.
Sel-sel jenis CTL mempunyai peranan yang penting dalam pertahanan terhadap infeksi
virus dan beberapa jenis tumor. Mekanisme dasar dari daya bunuh CTL bergantung
kepada sistem perforin-granzim. Perforin dan granzim disimpan di
24
dalam granula dari CTL dan dilepaskan secara cepat ketika CTL bergabung dengan sel
sasaran (sel yang mengandungi molekul MHC kelas 1 yang mengikat peptida yang
tepat). Perforin berikatandengan membran plasma dari sel sasaran dan mendukung
masuknya granzim, yang bersifat protease yang memecah secara spesifik dan
mengaktifkan kaspase seluler. Enzim-enzim tersebut menginduksi kematian apoptotik
dari sel sasaran . CTL memainkan peranan penting dalam reaksi penolakan transplantasi
organ padat dan mungkin berperan pada banyak penyakit imunologi , seperti diabetes
tipe I (di mana sel B pulau-pulau pankreas yang memproduksi insulin dirusak oleh reaksi
autoimun sel T).1
25
2.3 Menjelaskan organ-organ yang berperan dalam reaksi hipersensitifitas
Organ dan jaringan limfoid dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu organ
limfoid primer seperti timus, ekivalen bursa fabricius dan sumsum tulang.yang
berfungsi sebagai embriogenesis dari sel-sel imunologik, dan organ limfoid sekunder
seperti, kelenjar limfe, limfa dan jaringan limfoid lainnya, yang bereaksi aktif
terhadap stimulasi antigen. Kelenjar timus, dianggap sebagai organ limfoid utama
dalam imunogenesis dan menjadi pusat pengendalian aktivitas organ serta jaringan
limfoid yang lainnya.Menurut fungsinya, sistem limfoid dibagi dalam dua
kompartemen yaitu :3
a. Kompartemen sentral Merupakan tempat terjadinya diferensiasi sel-sel yang
mampu beraksi dengan antigen.3
b.
Kompartemen perifer Sebagai tempat terjadinya reaksi sel-sel limfoid dengan
antigen. Rangsangan untuk maturasi sel pada kompartemen sentral tidak
diketahui secara pasti, namun diduga proliferasinya dipengaruhi oleh hormon
timus dan dapat terjadi tanpa stimulasi antigen. Sebaliknya, maturasi sel pada
kompartemen perifer terjadi atas stimulasi antigen.3
a. Kelenjar Timus
Kelenjar timus terletak dibagian depan mediastinum, terbagi dalam dua
lobus dan banyak lobulus yang masing-masing terdiri atas korteks dan medula.
Sel induk pluripoten yang merupakan cikal bakal sel T, masuk kedalam timus
lalu berproliferasi menjadi sel yang disebut dengan timosit. Proses diferensiasi
limfosit didalam timus, dipengaruhi oleh epitel timus dan sel dendritik yang
berasal dari sumsum tulang (interdigitating cells). Sel dendritik ini
mengekspresikan MHC kelas II dalam jumlah banyak dan diduga berperan dalam
mendidik limfosit T untuk mengenal antigen diri (self). Dalam proses maturasi
ini sel T menjadi imunokompeten. Dua sampai tiga hari, setelah sel induk masuk
kedalam timus, limfosit meninggalkan timus lalu masuk kedalam
26
sirkulasi dan selanjutnya menetap didalam organ limfoid perifer.3
Pembentukan limfosit dalam organ limfoid primer diikuti dengan migrasi sel-sel
tersebut kedalam organ-organ limfoid perifer atau limfoid sekunder. Migrasi ini
merupakan salah satu proses sirkulasi limfosit didalam tubuh. Adapun tahap-tahap
surveillance imunologik dari limfosit di dalam tubuh adalah sebagai berikut :3
1. Migrasi sel induk pluripoten dari hati janin atau sumsum tulang kedalam organ
limfoid primer serta diferensiasi dan distribusi limfosit kedalam organ limfoid
perifer. 3
2. Resirkulasi limfosit dari peredaran darah kedalam limfa atau kelenjar limfe
kembali ke peredaran darah lagi.3
3. Distribusi sel efektor ketempat-tempat tertentu bila diperlukan untuk melakukan
reaksi imunologik.3
4. Limfosit T cendrung bermigrasi ke kelenjar limfe perifer, sedangkan limfosit B
lebih banyak bermigrasi ke jaringan limfoid yang terdapat pada sepanjang
mukosa (mukosa associated lymphoid tissue = MALT). 3
a. Kelenjar Limfe
Dalam bagian sinus dari kelenjar limfe terdapat banyak makrofag,
sedangkan dalam bagian korteksnya terdapat banyak sel T yang berasal dari
darah, serta sel B yang menyusun diri membentuk nodul. Dibagian tengah dari
nodul, terdapat pusat germinal dimana kelompok-kelompok sel B membelah diri
secara aktif. Bila kelenjar dirangsang oleh antigen, maka pusat-pusat germinal itu
membesar dan berisi banyak limfoblast. Pusat-pusat germinal diatas juga dihuni
oleh banyak sel dendritik yang mempunyai reseptor untuk C3 dan fragmen Fc
dari IgG. Dengan demikian antigen yang tidak diproses dapat dipertahankan pada
permukaan sel ini dalam bentuk kompleks antigen antibodi-C3 selama beberapa
bulan. Antigen yang tertangkap ini diduga memberikan rangsangan secara
periodik dengan sewaktuwaktu melepaskan iccomes yang kemudian ditangkap
dan diproses oleh APC dan disajikan kepada sel T. Hal ini akan mengakibatkan
sel T secara terus menerus akan merangsang sel B memory untuk berproliferasi
dan membentuk pusat-pusat germinal.3
27
b. Limfa
Limfa terdiri atas pulpa merah sebagai tempat penghancuran eritrosit dan
pulpa putih yang terdiri atas jaringan limfoid. Didalam limfa limfosit T
menumpuk dibagian tengah lapisan limfoid periarteriolar, sedangkan sel B
terdapat didalam pusat-pusat germinal dibagian perifer. Sel B dapat dijumpai
dalam bentuk tidak teraktivasi maupun teraktivasi. Dalam pusat-pusat germinal
juga dijumpai sel dendritik dan makrofag. Makrofag spesifik umumnya terdapat
didaerah marginal dan sel ini bersama-sama dengan sel dendritik berfungsi
sebagai APC yang menyajikan antigen kepada sel B.3
c. Jaringan Limfoid lain
Jaringan limfoid lain tersebar dalam jaringan submukosa saluran nafas,
saluran cerna dan saluran urogenital. Contoh jaringan limfoid yang tersusun baik
dan mengandung banyak pusat-pusat germinal adalah tonsil yang merupakan
garis pertahanan pada pintu masuk saluran cerna dan saluran nafas, dan Peyer,s
patch yang tersebar dalam mukosa saluran cerna. Peyer,s patch dan apendiks
termasuk kedalam gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam jaringan
limfoid ini terdapat bagian yang dipengaruhi oleh timus. Mucosa associated
lymphoid tissue (MALT), yang terdapat pada saluran nafas, saluran cerna dan
urogenital berfungsi untuk memberikan respons imunologik lokal pada
permukaan mukosa. Jaringan limfoid ini selain berisi limfosit juga berisi fagosit
sehingga mampu memberikan respons imun nonspesifik maupun respons imun
spesifik. Didalam jaringan limfoid sepanjang saluran cerna dan saluran nafas
akan terbentuk IgA sekretorik dan Ig E yang disekresikan untuk mempertahankan
tubuh terhadap antigen yang masuk melalui mukosa.3
28
2.4 Menjelaskan faktor resiko penyakit sesuai skenario yang dikaitkan dengan
tanda-tanda pada skenario
2.4.1 Autoimun
Gangguan autoimun adalahkegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh
yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga
tubuh melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau
berbahaya.Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek
seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang
menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan
autoimun tidak terjadi.4
Sistem kekebalan pada keadaan tertentu tidak mampu bereaksi terhadap
antigen yang lazimnya berpotensi menimbulkan respon imun. Keadaan tersebut
disebut toleransi kekebalan (immunological tolerance) dan terjadi melalui
beberapa mekanisme, yaitu :4
a. Deleksi klonal, yaitu eliminasi klon (kelompok sel yang berasal dari
satu sel) limfosit, terutama limfosit T dan sebagian kecil lmfosit B,
selama proses pematangan.4
b. klon, yaitu ketidakmampuan klon limfosit menampilkan fungsinya
supresi klon, yaitu pengendalian fungsi “pembantu” limfosit T.4
29
2.4.2 Kontak Langsung
Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai allergen biasanya berat molekulnya
kecil (berat molekul < 500 Da), larut dalam lemak yang disebut hapten.Reaksi
yang terjadi adalah reaksi hiperensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut
klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T. 4
Hapten dapat memicu terjadinya alergi jika hapten berkonjugasi dengan protein
carrier dan sel t helper yang terpicu oleh peptida dari protein carier sksn terikat
dengan sel mast di bwah kulit. Jika ada hapten yang berikatan dengan igE di
permukaan sel mast maka akan memicu sel mast mengeluarkan berbagai
mediator reaksi alergi.4
30
2.5 Menjelaskan histopatologis perubahan pada jaringan kulit sehingga terjadi
bercak merah
Reaksi hipersensitivitas segera dapat terjadi sebagai suatu kelainan sistemik atau
sebagai kelainan setempat. Bentuk reaksi seringkali ditentukan oleh pintu masuk
pajanan antigen. Pajanan sistemik terhadap antigen protein (contoh racun lebah) atau
obat (contoh penisilin) dapat menyebabkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa
menit setelah pajanan pada individu yang tersensitisasi akan timbul rasa gatal,
urtikaria (biduran) dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas yang cepat
disebabkan bronkokonstriksi dan diperburuk oleh hipersekresi mukus. Edema laring
dapat menyebabkan eksaserbasi karena obstruksi jalan napas. Di samping itu, otot
polos seluruh saluran gastrointestinal dapat terjangkit, disertai muntah, perut tegang
dan diare. Tanpa intervensi segera dapat terjadi vasodilatasi sistemik disertai
penurunan tekanan darah (syok anafilaktik), dan penderita mengalami kolaps
peredaran darah serta kematian dalam beberapa menit. Reaksi setempat biasanya
terjadi apabila antigen terbatas pada tempat tertentu, seperti kulit (kontak,
menyebabkan urtikaria), saluran gastrointestinal (tertelan, menyebabkan diare), atau
paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum dari alergi kulit dan
makanan, demam rumput kering dan bentuk tertentu berupa asma adalah contoh
reaksi alergi yang bersifat setempat. Walaupun demikian, masuknya alergen lewat
mulut atau inhalasi juga dapat memicu reaksi sistemik. 1
Kerentanan terhadap reaksi tipe I yang bersifat setempat memiliki unsur genetik
kuat, dan istilah atopi digunakan untuk menggambarkan predisposisi keluarga dalam
hal reaksi setempat tersebut. Para penderita yang mengalami alergi nasobronkial
(termasuk demam rumput kering dan sebagian dari asma) seringkali memiliki
riwayat keluarga yang mirip. Gen yang terkait dengan kerentanan terhadap asma dan
kelainan atopik lain termasuk yang menyandi molekul HLA (yang terkait dengan
reaksi imun terhadap antigen tertentu), sitokin (yang
31
mengelola reaksi sel TH2), unsur FcɛRI, metaloproteinase yang mungkin terlibat
pada remodeling saluran napas. Reaksi hipersensitivitas segera jelas tidak
berkembang sendiri untuk menyebabkan gangguan atau penyakit pada manusia.
Reaksi imun bergantung kepada sel TH2 dan IgE khususnya, reaksi inflamasi fase
lambat memainkan peranan protektif yang penting dalam memerangi infeksi parasit.
Antibodi IgE diproduksi sebagai reaksi terhadap infeksi helmint, dan fungsi faali
eosinofil dan sel mast untuk memusnahkan helmint. Sel mast juga terlibat dalam
pertahanan terhadap infeksi bakteri.1
Gambar 2.5.1 Hipersensitivitas yang ditandai oleh vasodilatasi ,kongesti, dan edema serta reaksi
fase lambat yang ditandai oleh sel radang
Sumber: Kumar V,Abbas A,Aster JC.Robins Basic Pathology. Ed9.Philadelphia: Elsvier ;2014
32
Gambar 2.5.2 Reaksi hipersensitivitas tipe-lambat pada kulit.
Sumber: Kumar V,Abbas A,Aster JC.Robins Basic Pathology. Ed9.Philadelphia: Elsvier ;2014
34
2.6 Menjelaskan mengapa bercaknya berbatas
Penyakit kulit lazim terjadi dan bervariasi, dimulai dari akne yang bersifat iritatif
sampai kelainan yang mengancam kehidupan seperti melanoma. Banyak kelainan
hanya terbatas (intrinsik) pada kulit, tetapi beberapa kelainan merupakan manifestasi
suatu penyakit yang mengenai berbagai jaringan, seperti lupus eritematosus sistemik
atau sindrom yang berhubungan dengan kelainan genetik seperti neurofibromatosis.
Pada keadaan seperti ini kulit merupakan suatu "jendela" yang secara unik dapat
dicapai dan memungkinkan berbagai kelainan dapat dikenal. Kulit tidak hanya
berfungsi sebagai lapisan pelindung, tetapi merupakan suatu organ kompleks yang
secara aktif berpartisipasi dalam regulasi sel dan peristiwa molekuler yang
berhubungan dengan interaksi tubuh dan lingkungan sekitarnya. Kulit secara terus
menerus terpajan pada antigen mikroba dan non-mikroba. Fungsi protektif kulit
terhadap pajanan tersebut dilakukan oleh sel Langerhans intraepitelial, dengan cara
meneruskan muatan antigen ke kelenjar getah bening regional dan menimbulkan
respons imun alamiah. Sel skuamosa (keratinosit) memiliki fungsi sebagai pengatur
homeostasis kulit mengaktifkan barier terhadap lingkungan dengan cara mensekresi
banyak sitokin yang mempengaruhi lingkungan mikro- skuamosa dan dermis.
Daerah dermis mengandungi limfosit T baik yang bersifat penolong (helper) (sel T
CD4+) maupun yang bersifat sitotoksik (sel T CD8+). Sebagian dari limfosit tersebut
tertarik ke daerah kulit melalui reseptor khusus seperti antigen limfosit kulit
(cutaneous lymphocyte antigen). Epidermis mengandungi limfosit intraepitel,
termasuk sel T γ/δ, yang membentuk komponen sistem imun alami/bawaan (innak
immune system). Reaksi imun lokal yang melibatkan sel-sel imun dan sitokin
berperan dalam membentuk pola mikroskopik dan ekspresi klinis berupa proses
radang kulit dan penyakit infeksi.1
35
Pembahasan pada bab ini dipusatkan pada subset kecil dari penyakit kulit yang
lazim dan memberikan ilustrasi pathogenesis. Dalam memperhatikan penyakit-penyakit
ini, penting untuk menghargai penerapan dermatologi yang bergantung kepada
kerjasama timbal balik dengan klinisus terutama spesialis penyakit kulit. Riwayat
penyakit dan tampilan makroskopik serta distribusi lesi yang dilaporkan oleh klinikus
sama pentingnya dengan penemuan mikroskopik dalam rangka menegakkan diagnosis.
Kelainan kulit dapat membingungkan mahasiswa, sebagian karena spesialis penyakit
kulit (dermatolog) dan spesialis patologi kulit (dermatopatolog) menggunakan
kosakata/ungkapan yang bermakna luasatau unik untuk menguraikan lesi kulit.
Pengetahuan mengenai kosakata/ungkapan tersebut merupakan dasar untuk membangun
pemahaman dan komunikasi yang jelas. Beberapa istilah dan ungkapan yang lazim
digunakan akan dijelaskan dibawah ini. 1
1. Ekskoriasi: Lesi akibat trauma yang merobek epidermis dan menyebabkan garis
linear kemerahan (yaitu, suatu garukan yang dalam); sering terjadi akibat perbuatan
sendiri.
2. Likenifikasi: Kulit yang menebal dan kasar ditandai oleh perubahan kulit perubahan
kulit berupa "tanda" , biasanya sebagai hasil gesekan atau gosokan yang berulang
kali (lihat "Liken Simpleks Kronik").
3. Makula: Lesi datar, berbatas tegas, diameter kurang atau sama dengan 5 mm,
terdapat perbedaan warna dengan sekitarnya. Apabila lebih besar dari 5 mm. Apabila
lebih besar dari 5 mm, disebut sebagai bercak (patch)
4. Plak: Lesi yang menonjol dengan bagian atap rata (flattopped), biasanya berukuran
lebih besar dari diameter 5 mm.
5. Pustul: Lesi yang menonjol dan berbatas tegas berisi pus (nanah).
36
6. Skuama: Pertumbuhan keluar, bersifat sebagai lapisan tanduk, menyerupai sisik
(lempengan), biasanya terjadi akibat komifikasi yang tidak sempurna.
7. Vesikel: Penonjolan berisi cairan dengan area kurang atau sama dengan 5 mm. Bila
diameter lebih dari 5 mm disebut sebagi bula. Lepuh/gelembung (blister) merupakan
istilah rutin yang digunakan untuk vesikel dan bula.
Istilah Mikroskopik : 1
37
2.7 Menjelaskan perbedaan reaksi inflamasi alergi dan infeksi
2.7.1 Alergi
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme
imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun
selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut
reaksi hipersensitivitas.6
a) Alergi disebabkan oleh : alergen
b) Respon imun: imunoglobulin E
c) Komponen utama : imunoglobulin, komplemen dari sel T
d) Hasil akhirnya : eritema, keratosis, autoimun
38
Makrofag yang teraktivasi mempunyai aktivitas fagositik dan mikrosidal yang
meningkat. Makrofag yang teraktivasi juga memaparkan molekul MHC kelas II dan
kostimulator lebih banyak yang menunjang kapasitas penyajian antigen, mensekresikan
IL-12 lebih banyak sehingga meningkatkan reaksi sel TH1. Pada aktivasi oleh antigen,
sel TH17 mensekresikan IL-17 dan sitokin lain, yang mengatifkan neutrofil (dan
monosit) yang menyebabkan inflamasi. Karena sitokin yang dihasilkan sel T
meningkatkan pemanggilan dan aktivitas leukosit maka reaksi radang menjadi kronik
kecuali bila penyebabnya atau siklusnya diputus dengan pengobatan. Ternyata, inflamasi
terjadi sebagai reaksi dini terhadap mikroba dan sel mati, tetapi sangat meningkat dan
diperpanjang bila sel T terlibat.6
2.7.2 Infeksi
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen,
dan bersifat sangat dinamis. Secara umum proses terjadinya penyakit melibatkan
tiga faktor yang saling berinteraksi yaitu : faktor penyebab penyakit (agen), faktor
7
manusia atau pejamu (host), dan faktor lingkungan.
a) Infeksi disebabkan oleh : bakteri, virus, jamur dan parasit , dengan
b) Respon imun: migrasi neutrofil,
c) Komponen utama : reaksi vascular dan respon sel,
d) Hasil akhirnya : resolusi, radang akut dan jaringan parut
Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung dari
tingkat infeksi, patogenisitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu. Dengan proses
perawatan yang tepat, maka akan meminimalisir penyebaran dan meminimalkan
penyakit. Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan keperawatan yang
diberikan. Berbagai komponen dari system imun memberikan jaringan kompleks
mekanisme yang sangat baik yang jika utuh, berfungsi mempertahankan tubuh terhadap
mikroorganisme asing dan sel-sel ganas.7
39
Pada beberapa keadaan, komponen-komponen baik respon spesifik maupun non
spesifik bisa gagal dan hal tersebut bisa mengakibatkan kerusakan pertahanan hospes.
Orang-orang yang mendapat infeksi yang disebabkan oleh defisiensi dalam pertahanan
dari segi hospesnya disebut hospes yang melemah. Sedangkan orang-orang dengan
kerusakan mayor yang berhubungan dengan respon imun spesifik disebut hospes yang
terimunosupres.Ciri-ciri umum yang berkaitan dengan hospes yang melemah adalah :
infeksi berulang, infeksi kronik, ruam kulit, diare, kerusakan pertumbuhan dan
meningkatnya kerentanan terhadap kanker tertentu.7
40
2.8 Menjelaskan perbedaan reaksi alergi dan iritasi
2.8.1 Alergi
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme
imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun
selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda
yang secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan
terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang
normal. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4
tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga reaksi
anafilaktik atau reaksi alergi. 8
Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak
berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut allergen Antibiotik
dapat menimbulkan reaksi alergi anafilaksis misalnya penisilin dan derivatnya,
basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid dan lain-lain. Obat-obatan
lain yang dapat menyebabkan alergi yaitu anestesi lokal seperti prokain atau lidokain
serta ekstrak alergen seperti rumput-rumputan atau jamur, Anti Tetanus Serum
(ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti bisa ular juga dapat menyebabkan
reaksi alergi. Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis
dan dapat menimbulkan alergi misalnya zat radioopak, bromsulfalein,
benzilpenisiloilpolilisin. Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara
(kotoran tungau dari debu rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti
gamaglobulin dan kriopresipitat juga dapatmerangsang mediator alergi sehingga
timbul manifestasi alergi.8
41
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan dikarenakan
maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain selain ASI(Air
Susu Ibu), contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan akan
menimbulkan manifestasi penyakit alergi.Hal ini disebabkan makanan yang masuk
masih dianggap asing oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang 13belum matur
sehingga makanan tidak terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan kemudian
menimbulkan hipersensitivitas.8
2.8.2 Iritasi
Iritasi pada kulit meliputi adanya benjolan, terasa nyeri, terjadi ruam kulit,
serta sensasi rasa panas seperti terbakar. Gatal-gatal dan iritasi pada kulit
memang dapat menyerang siapa saja dan di bagian mana saja seperti tangan,
kaki, leher dan sebagainya. Beberapa penyebab iritasi pada kulit yang sering
ditemukan adalah:9
a. Pembersih rumah tangga
Kebanyakan orang menyadari bahwa pembersih rumah tangga
tidak dimaksudkan untuk kulit. Bahan kimia yang digunakan di dalamnya
dapat memiliki efek iritasi pada kulit. Ini termasuk pembersih all in one,
deterjen piring, deterjen, pembersih jendela, furniture polish dan
desinfektan toilet. Mengenakan sarung tangan pelindung sebelum
menangani zat-zat tersebut dianjurkan untuk mencegah terjadinya iritasi
pada kulit saat pemakaian bahan-bahan kimia tersebut.9
b. Pewangi atau pelembut pakaian
Pemakaian pewangi atau pelembut yang mengandung pakaian
pada pakaian Anda juga bisa mengakibatkan yang tertutup oleh pakaian
Anda. Solusinya jangan lagi gunakan pewangi atau pelembut pakaian
tersebut untuk menghindari pada kulit.9
42
c. Pakaian
Bahan pakaian kasar seperti wol, dapat menjadi masalah bagi
orang yang menderita kelainan kulit yang disebut dermatitis atopik,
bentuk paling umum dari eksim. American Academy of Dermatology
memperkirakan bahwa 10% sampai 20% dari anak-anak dan 1% hingga
3% dari orang dewasa mengembangkan kondisi ini. Jika Anda menduga
bahwa kain pakaian Anda yang menyebabkan gatal-gatal, pada kulit atau
ruam, Kami menyarankan gunakan pakaian yang berbahan katun.9
d. Makanan
Alergi makanan tentu dapat menyebabkan reaksi iritasi pada kulit
mulai dari gatal-gatal dan ruam. Hal ini dikenal dengan istilah atopi
dermatitis. Makanan yang sering menyebabkan alergi tersebut adalah
dimaksud adalah seafood, telur dan susu sapi.9
e. Nikel
Nikel adalah bahan alergen yang sering menjadi penyebab . Hal
ini dapat ditemukan dalam perhiasan kostum, watchbands, ritsleting, dan
barang-barang sehari-hari lainnya. Solusinya adalah secepatnya lepas kan
bahan tersebut dari tubuh Anda.9
f. Sabun
Pemakaian sabun yang tidak berpelembab pada wajah dan tubuh
dapat mengikis minyak dari kulit. Apalagi jika hal itu dilakukan lebih dari
2 kali sehari, tak ayal dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Padahal
minyak pada wajah dan tubuh berguna untuk menjaga kelembaban.
Solusinya gunakan sabun yang mengandung pelembab yang aman
digunakan kapan saja dan sesering mungkin untuk menjaga kelembaban
kulit.9
43
2.9 Menjelaskan diagnosis deferensial
Sesuai dengan skenario, pasien diduga mengalami dermatitis kontak. Dermatitis
kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari suatu zat
yang bersentuhan dengan kulit. Dermatitis kontak sendiri memiliki 2 jenis. Pertama,
dermatitis kontak iritan (DKI) yang disebabkan oleh iritasi kimia dan kedua
dermatitis kontak alergi (DKA) yang disebabkan oleh antigen (alergen) dimana
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat), tidak
berhubungan dengan atopi, dank arena merupakan rreaksi hipersensitivitas tipe
lambat, dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang
menyebabkan peradangan dan edema pada kulit.10
Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi
imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan
bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi
penyebaran yang menyeluruh.10
Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih muda (18 sampai 25
tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk terjadi dermatitis
dibandingkanorang tua. Kompetensi reaksi imun yang dimediasi sel T pada anak-
anak masihkontroversi. Studi ini masih menganggap bahwa anak-anak jarang
mengalami DKA karena sistem kekebalan tubuh yang belum matang, namun Strauss
menyarankan bahwa hiporesponsifitas yang jelas pada anak-anak mungkin karena
terbatasnya paparan dan bukan karena kurangnya imunitas. Dengan demikian, reaksi
alergi terlihat terutama pada pasien anak yang lebih tua dan yang terjadi sekunder
oleh karena obat topikal, tanaman, nikel,atau wewangian.10
44
Sesuai dengan skenario, pasien tersebut memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan
Dermatitis Kontak Iritan. Karena dermatitis kontak iritan sendiri disebabkan oleh
faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang menyebabkan terjadinya DKI
antara lain yaitu genetic, jenis kelamin, umur, etnis, lokasi kulit, dan riwayat atopi.
Faktor eksogen meliputi sifat-sifat kimia iritan (pH, keadaan fisik, konsentrasi,
ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan pembawa dan kelarutan),
karakteristik paparan (jumlah, konsentrasi, durasi, jenis kontak, paparan simultan
terhadap iritan lainnya, dan interval setelah paparan sebelumnya), faktor lingkungan
(suhu, dan kelembapan), faktor mekanik (tekanan, gesekan, atau abrasi), dan radiasi
ultraviolet (UV).10
45
2.10 Menjelaskan cara pengobatan imunoterapi dan densesitasi
47
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi. Yang termasuk sel
mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan basofil mengandung
mediator kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator
tersebut adalah histamine. Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang
spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel
mast.
Sesuai dengan skenario, pasien diduga mengalami dermatitis kontak. Dermatitis
kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari suatu zat
yang bersentuhan dengan kulit. Dermatitis kontak sendiri memiliki 2 jenis. Pertama,
dermatitis kontak iritan (DKI) yang disebabkan oleh iritasi kimia dan kedua
dermatitis kontak alergi (DKA) yang disebabkan oleh antigen (alergen) dimana
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat),
dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang menyebabkan
peradangan dan edema pada kulit.
Sesuai dengan skenario, pasien tersebut memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan
Dermatitis Kontak Iritan karena faktor eksogen meliputi sifat-sifat kimia iritan (pH,
keadaan fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan
pembawa dan kelarutan).
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9. Jakarta:
EGC; 2014.
2. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of phatofisiology. New York: Thieme; 2014.
3. Suardana IBK.Diktat Imunologi Dasar.Fak.Kedokteran Udayana Denpasar Hal
31-35.
4. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
6thed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2013.
5. Indriani F.Pengaruh riwayat atopik terhadap timbulnya dermatitis kontak iritan
di perusahaan batik putera laweyan Surakarta. 2014. Available from :
http://eprints.ums.ac.id/9190/2/J500060036.pdf [diakses hari Sabtu, 27 Oktober
2018, pukul 09.20 WIT].
6. Muhammad Rafi, Asmawati Adnan, Huriatul Masdar. Gambaran Rinitis Alergi
Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2013-2014.
JOM FK. [internet]. 2012. [citied on 2018 Okt 16]; 7(1).
Availble from : http://jurnal.fkm.unand.ac.id
vii
10. Wijay IPGI, Darmada IGK, Rusyanti LMM. Edukasi dan penatalaksanaan
dermatitis kontak iritan kronis di RSUP Sanglah Denpasar bali tahun 2014/2015.
2016 Agustus; 5(8): 6. Available from :
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/22867/14999
11. Hamelmann E, Wahn U. Anti-IgE therapy. In: Lockey RF, Ledford DK eds.
Clinical Allergy and Immunology Series : Allergens and Allergen
Immunotherapy. 4th ed. New York : Informa, 2016
viii