Anda di halaman 1dari 13

PENANGANAN-PENANGANAN PADA SYOK SEPSIS

KEGAWAT DARURATAN I

NAMA : ANDREAS KUTIKA

NIM : 14061006

SEMESTER/KELAS : VIII/A

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO

2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... 2

LATAR BELAKANG ................................................................................................................... 3

MANFAAT .................................................................................................................................. 4

ANALISIS LITERATUR .............................................................................................................. 4

CLINICAL SIGNIFICANT ..........................................................................................................10

KESIMPULAN ...........................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................12


LATAR BELAKANG

Syok Septik adalah salah satu masalah kegawatdaruratan yang menjadi perhatian dari
dunia saat ini. Syok septik sendiri yang adalah sepsis berat yang dibarengi dengan penurunan
tekanan darah yang juga tidak memberi respon terhadap suplai cairan. Peningkatan mortaliltas
dan morbiditas pada syok septik terjadi ketika dilakukannya prosedur pembedahan (Silviana et
all,2015). Menurut Winarto (2009), outcome dari syok sepsis dan kegagalan lebih dari satu organ
tidak lah baik atau buruk. Dan ia menuturkan bahwa sekalipun patofisiologi dari syok septik sudah
diketahui namun angka kematian masih tinggi disertai penatalaksanaan yang masih terbatas.
Itulah sebabnya perhatian terhadap syok septik sangatlah diperlukan.

Syok septik pada saat ini memiliki angka mortalitas yang tinggi secara global. Hampir di
seluruh ICU sepsis menyebabkan angka kematian yang tinggi. Lebih dari 500.000 pasien dengan
sepsis dan sebanyak 175.000 pasien yang harus meregang nyawa di setiap tahunnya. Di benua
Eropa sendiri angka kematian yang disebabkan oleh sepsis bisa sebesar 30% hingga mencapai
35% dari kurang lebih 750.000 pasien dengan sepsis berat (Winarto,2009).

Di Indonesia sendiri memiliki angka kematian yang cukup tinggi juga. Sepsis di Indonesia
di tahun 1996 sebanyak 4.774 pasien yang dirawat ke rumah sakit Pendidikan di Surabaya, lalu
504 pasien dengan diagnose sepsis dengan rasio kematian sendiri sebesar 70,2%. Selain dari
pada itu menurut studi sebuah rumah sakit pendidikan di Yogyakarta menyatakan ada 631 kasus
sepsi pada tahun 2007 dengan rasio kematian sebanyak 48,96 % (Viviani & Farhanah,2016).
Sehingga kejadian-kejadian yok septik dan sepsis tidak bisa pandang rendah.

Penyebab dari sepsis ini adalah bakteri gram negative yang memiliki presentasi hingga
60 %. Hal itu didukung dengan angka kejadian bakteriemia dari bakteri gram negatif di Amerika
serikat sebesar 20-60%. Ketika adanya bakteri gram negative memicu produk yang merangsang
sel imun pada tubuh, yang pada akhirnya mediator inflamasi langsung menfagosit bakteri. Produk
dari bakteri yang menyebabkan produksi berbagai mediator inflamasi yang menjadi penyebab
sepsis terbanyak yaitu Lipopolisakarida (Winarto,2009). Dengan demikian perlunya solusi atau
penanganan dini agar tidak menyebabkan dampak yang tidak kita inginkan.

Penatalaksaan yang tepat dan efektif diperlukan untuk menurunkan angka kejadian dari
sepsis ini. Alasan penulis mengangkat tema tentang penatalaksanaan tentang sepsis adalah
karena tingginya angka kejadian syok septik hingga angka mortalitas yang tinggi. Selain dari pada
itu adalah masih kurangnya penelitian terhadap subjek ini menjadi alasan penulis ingin
menjabarkan jurnal dan penelitian terakhir yang behubungan dengan syok septik itu sendiri
beserta penanganan-penanganannya. Oleh karena itu penulis sangat antusias menulis mengenai
penanganan-penanganan syok septik.

MANFAAT

Dari essay ini mengandung beberapa manfaat yaitu pertama sebagai perawat ataupun
tenaga medis lainnya kita mengetahui penanganan-penanganan apa saja yang sudah pernah
diteliti dan dilihat efektifitasnya. Selain itu bagi para peneliti dapat mengembangkan penelitian-
penelitian untuk menemukan intervensi-intervensi yang dapat lebih dini dan secara efektif dalam
menangani syok septik. Bagi kami sendiri sebagai mahasiswa perawat dapat menjadi sumber
pembelajaran dan diskusi serta bekal ketika turun praktek keperawatan di rumah sakit.

ANALISIS LITERATUR

Menurut Leksana (2015) syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam
mencukupi kebutuhan oksigenasi jaringan tubuh. Penurunan dari perfusi jaringan vital atau
penurunan volume darah yang berpengaruh dapat mengakibatkan syok. Selain dari pada itu syok
juga dapat dipicu oleh dehidrasi apabila tubuh kehilangan cairan tubuh sebanyak 20%BB lebih
atau ≥ 20%EBV hilangnya darah. Syok pun secara umum dibagi atas kategori penyebab yaitu
Hipovolemik , kardiogenik, obstruktif dan distributive, dimana syok septik terletak pada kategori
syok distributive.

Peneliti menyampaikan kalau syok septik adalah sepsis yang barengi penurunan tekanan
darah (<90 mmHg ) dan tanda-tanda penurunan perfusi sekalipun sudah dilakukan pemberian
cairan yang memadai. Sehingga syok jenis ini adalah salah satu penyebab kematian yang utama
dalam Intensive care unit. Senada dengan itu Silviana et all (2015) mengatakan syok septik dan
sepsis adalah gangguan kesehatan yang memberi sumbangsi meningkatnya jumlah insiden
mortalitas dan morbiditas terhadap penderita yang akan melakukan operasi.

Patofisiologi dari syok septik ini secara garis besar oleh karena vasodilatasi/ pelebaran
pembuluh darah oleh karena berkurangnya SVR. Setelah itu kebocoran yang terjadi di kapiler
difus terjadi oleh karena permeabilitas dari endothelial vaskuler meningkat hingga berakibat pada
menurunnya preload berarti, dan bermanifestasi pada buruknya perfusi jaringan.

Dari peneliti sendiri mengungkapkan mengenai penanganan untuk syok septik yaitu
dengan pemberian antibiotic yang biasanya spektrum yang luas. Selain itu hemodinamik
diperbaiki dan dipertahankan dengan cara terapi cairan. Dimana sekalipun syok septik ada dalam
syok hiperdinamik (vasodilatasi dengan penipisan volume cairan ekstraseluler) cairan kristaloid
adalah caran yang ditentukan untuk diberikan. Selain itu pemberian vasopressor sendri adalah
seperti Norepinephrin. Lalu untuk terapi inotropic adalah dengan dobutamine dan yang terakhir
lewat pemberian oksigenasi.

Leksana (2015) juga mempubliskan mengenai penanganan syok dimana bertujuan untuk
mengembalikan perfusi dan oksigenasi jaringan dengan mengembalikan volume sirkulasi
intravaskuler. Cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid sebagai lini utama dan apabila
masih tidak terpenuhi atau membutuhkan efek penyumbat untuk mengatasi peradarahan maka
baru digunakan cairan koloid. Cairan kristaloid yag biasanya digunakan sebagai cairan resusitasi
pada syok adalah RL, NaCl 0,9% dan dextrose 5%.

Terapi pada syok juga dijabarkan oleh peneliti. Mulai dari menentukan deficit cairan pada
pasien. Selanjutnya atasi syok dengan memberikan infus RL (jika terpaksa NaCl 0,9%) 20
mL/kgBB dalam ½-1 jam, dapat diberikan lagi. Lalu jika pemenuhan cairan kristaloid gagal dapat
di beri cairan koloid seperti HES, gelatin dan albumin. Setelah itu apabila takaran maksimal,
cairan koloid tidak bisa mengoreksi keadaan syok dapat diberi noradrenaline, lalu apabila tidak
ditemukan pembaruan, dapat diberi dobutamine. Selanjutnya setelah deficit 8 jam pertama : 50
% deficit + 50 % kebutuhan rutin. Sehingga jika dehidrasi melampaui 3-5% berat badan, cek
kadar elektrolit dan jangan memulai penilaian deficit kalsium bila belum ada kejadian diuresis.

Terapi resusitasi cairan dilaporkan sukses dengan menilai pembaruan outcome


hemodinamik klinis, seperti : MAP (mean arterial pressure) lebih dari sama dengan 65 mmHg.
Setelah itu nilai CVP (central venous pressure) 8 sampai 12 mmHg. Lalu keluaran urin kurang
lebih sama dengan 0,5 mL/kgBB/jam. Lalu Central venous (vena cava superior) atau mixed
venous oxygen saturation lebih dari sama dengan 70 %. Setelah itu tidak kalah pentingnya adalah
status mental yang normal.

Menurut Widodo & Tumbelaka (2010), mengungkap bahwa sudah sejak abad ke-19 telh
dilakukan penelitian mengenai syok septik dengan eksplorasi cara terjadinya syok septik secara
biologis. Dan kortikosteroid adalah yang penelitian yang banyak diteliti dan didebatkan oleh
karena kontkanya dengan respon imun dan dampak dari anti inflamasi. Dimana kortisol yang
berespon pada peradangan dan termanifestasi pada sel darah putih, produksi nitrit oksida dan
sitokin. Tetapi, reaksi kortisol terhadap hormone adrenokortitropn ditekan oleh sitokin yang
berakibatkan pada penurunan aktivitas kelenjar adrenal, yang pada akhirnya tubuh menjadi tahan
terhadap kortikosteroid. Prevalensi yang ditunjukan pun sekalipun variative yaitu dari 15-61%
namun menyatakan bahwa kortikosteroid berguna untuk syok septik.

Peneliti yang melihat masih tingginya angka mortilitas. Sekalipun telah mendapatkan obat
antibiotik dan penatalaksanaan yang mencukupi. Penggunaan steroid yang masih merupakan
pertentangan sejak 4 dekade yang lalu memunculkan pertanyaan. Yaitu, apakah pemberian
steroid dapat memberikan respon terapi yang lebih baik daripada terapi pada umumnya?

Demi menjawab pertanyaan diatas maka peneliti melakukan penelusuran lewat internet.
Dengan menggunakan search engine Pubmed, Highwire, Yahoo, Google, dan Cochrane Library
dan didapati 576 artikel. Dari penelusuran peneliti didapatkan 16 artikel yang relevan 4 telaah
yang tersistem, 9 uji klinis acak control, 1 kohort, dan 2 review. Dengan levels of evidence
berdasarkan klasifikasi klasifikasi Oxford atau Methodologic Qualitiy Form dari Chronin (skor
maksimal 14,5).

Empat dekade yang lalu, steroid dengan takaran yang tinggi telah dipakai untuk sepsis.
Sebagai respon dari peradangan, yang dbuktikan berhasil sebagai anti inflamasi. Pada tahun
1976, Schumer W menerbitkan bagaimana deksametason (3 mg/kg) atau metilprednisolon (30
mg/kg) intravena dalam larutan salin normal saja (38,4%) pada 172 pasien dengan syok septik
(level of evidence.2c, skor Cronin 6.0). Selain itu Schumer juga mempamerkan studi retrospektid
terhadap 328 pasien, dengan ankga kematian 42,5 % pada pasien yang menggunakan larutan
normal saline dibandingkan dengan tambahan steroid pada terapi dengan persentasi 14%.
Namun pada penelitian ini, tidak dibilang pengertian terapi antibiotic yang terpenuhi dan dengan
penatalaksanaan suportif.

Penelusuran lain pada ujung 1990-an, penelitan-penelitian yang di terbitkan mengatakan


adanya kinerja steroid dengan takaran yang jauh lebih rendah yang disebut steroid dosis stress
(stress-dose), untuk mengurangi keperluan vasopressor pasien syok septik. Mean arteri pressure
menandakan respon lebih baik terhadap norepinefrin pada pasien dengan adrenal yang berfungsi
normal. Sehingga apabila kortikosteroid dengan dosis rendah terhadap penderita dengan
masalah fungsi adrenal, maka respon ini akan mengalami peningkatan (level of evidence.2b, skor
Cronin 14).

Richardson L dan Hunter S di tahun 2008 mendapatkan dimana steroid tidak memiliki
dampak terhadap mortalitas, namun mengurangi waktu syok, sampai fungsinya terbatas pada
syok septik. Bagi pasien dengan sepsis berat steroid mempunyai efek imunologi dan
hemodinamik yang sangat bermanfaat. Panduan yang lain yang dipublish oleh Dellinger RP dkk
di tahun 2008 yang mengatakan bahwa hidrokortison pada pasien syok septif yang kurang
responsive kepada obat vasopressor dan cairan (level of evidence. 2C). Namun, pengujian
stimulasi ACTH tidak disarankan terhadap pasien yang harus mengonsumsi steroid (level of
evidence. 2B). Apabila sepsis tanpa syok kecuali terdapat sejarah gangguan endokrin atau
kortikosteroid (level of evidence.1D).

Selain dari pada itu Surviving Sepsis Campaign yang mengusulkan pemberian
kortikosteroid stress done tanpa pemeriksaan fungsi adrenal terlebih dahulu, Tidak hanya itu The
American College of Critical Care Medicine Task Force kebalikannya memberikan usulan agar
kortikosteroid stress dose hanya dipakai pada syok septik refrakter atau terhadap pasien dengan
insufiisiensi adrenal, yakni yang tiada memberikan respon pada stimulasi kortikotropin.

Selain terapi dengan steroid adapun jenis terapi yang lain, seperti Early goal directed
therapy. Early goal directed therapy (EGDT) adalah resusitasi dengan tujuan memperbaharui
keadaan pasien dalam kondisi sepsis berat atau syok septik (Silviana et all,2015). EGDT
permulaannya dipopulerkan oleh Rivers dkk. Dimana percobaan yang dilakukan selama 6 jam
efektif meningkatkan angka harapan hidup dan juga mengurangi angka kematian ketika hari ke-
28 sebesar 16%. Stabilnya hemodinamik ketika dilakukannya EGDT ditambah dengan obat-
obatan, antibiotic, cairan, memantau level jangkitan sampai menurunkan destruksi bagian-bagian
pada tubuh yang vital lebih lanjut, juga mengurangi jumlah mortalitas terhadap pasien.

Kejadian keterlambatan diagnosis ketika penderita dengan sepsis berat atau syok septik
yang masuk ke unit gawat darurat sering terjadi. Seperti contohnya, menuggu hasil pemeriksaan
lab. Atau juga kurangnya tenaga ahli yang dapat dengan cepat mengidentifikasi. Sehingga EGDT
merupakan tindakan yang cepat dan agresif menaikan angka harapan hidup. Peneliti lewat
penelitian ini menginginkan didapatkannya keberhasilan resusitasi EGDT kepada penderita
sepsis berat di UGD yang akan mengikuti operasi dalam 6 jam pertama sesudah tersemat Central
venous pressure (CVP) juga mengenal faktor-faktor yang membendung atau menghalangi
pencapaian terapi sepsis berat pada resusitasi EGDT.
Dengan desain deskriptif observasional dilakukanlah penelitian di Rumah Sakit Dr.Hasan
Sadikin (RSHS) Bandung. Dengan jangka waktu dari Juni hingga Agustus 2014 dengan pokok
penelitian pasien instalasi gawat darurat umur diatas 14 tahun dalam keadaan sepsis berat yang
akan mengalami operasi. Dimana sebanyak 30 pasien dilakukan EGDT sebelum dilakukan
pembedahan. Dimana sebelum dilakukan EGDT dan pemasangan CVC kepada pasien dan
keluarga diberikan Informed Concent. Selain itu dilakukan pemeriksaan tekanan darah (sistol dan
juga diastole), rata-rata tekanan arteri/mean arterial pressure (MAP) awal, kecepatan nadi,suhu
tubuh, saturasi oksigen, urin yang keluar, Analisis gas darah arteri, vena sentral.pemeriksaan
laboratorium laktak dan CVP awal terbaca sesaat setelah dilakukan pemasangan kateter vena
sentral.

Penelitian dimulai lewat pendataan waktu ketika pasien datang ke Instalasi Gawat
Darurat, waktu ditentukan penderita dalam keadaan sepsis berat, dan mengobservasi waktu
penyematan CVC dan juga waktu pelaksanaan EGDT sepanjang 6 jam sesuai dengan kaidah
resusitasi tanpa melakukan tindakan pada penderita. Kesuksesan resusitasi EGDT dapat ditinjau
dengan memandang kriteria resusitasi dilihat dari alur EGDT sesuai plot penanganan sepsis berat
seturut Rivers dkk. Tekanan Vena Sentral 8-12 mmHg, MAP ≥65 mmHg, dan ScvO2 >70%
ditambah dengan nilai keluaran urin dan laktat.

Dengan 30 pasien yang terdiri dari 15 perempuan dan laki-lak, dengan 10 responden
berumur 51-60 tahun. Pemicu terbesar para pasien sepsis berat yang masuk ke IGD untuk
dilakukannya operasi oleh karena keluhan pada area perut sejumlah 19 dengan ulkus peptikum
merupakan penyebab terbesar yaitu 9 pasien. Ciri-ciri hemodinamik permulaan pada pasien
untuk tekanan darah dan rata-rata tekanan arteri (MAP) masih dalam rentang normal namun
terjadi elevasi pada kecepatan nadi dan suhu tubuh. Sedangkan nilai awal dari CVP dan urin
rata-rata adalah rendah. Nilai laktat rata-rata terjadi elevasi.

Setiap pasien sepsis berat yang mengikuti operasi akan diadakan EGDT, kebanyakan
memberikan timbal balik yang baik dengan diberinya kristaloid, tiga pasien dikasih support
norepinefrin, padahal untuk dilakukan hemodialisa apakah itu PRC atu FFP dilakukan dengan 7
pasien. Sebelum dilakukan EDGT, untuk pasien diberi pemasangan kateter vena sentral (CVC).
Durasi pemasangan CVC adalah tida lebih dari 3 jam terdapat pada 13 pasien.

Resusitasi EGDT dilaksanakan terhadap 27 pasien dan tidak tercapai pada tiga pasien.
Sejumlah 16 pasien dilkukan penyematan CVP kurang dari tiga jam dan 11 pasien diadakan
penyematan CVP lebih dari 3 jam 38 menit ±58 menit dengan aplikasi tercepat 2 jam 48 menit
dan terlama 5 jam 30 menit. Selain itu MAP rata-rata mengalami peningkatan ditiap jam aplikasi
EGDT dengan rata-rata 79,5-86 mmHg. MAP terbawah 63 mmHg dan teratas 113 mmHg.
Pengukuran CVP sendiri mendapatkan rata-rata adalah 4,7-9,1 mmHg dengan nilai CVP
terbawah 4 mmHg dan teratas 14 mmHg. Pengeluaran uri rata-rata juga mengalami elevasi 32,17
cc/jam-71 cc/jam serta keluaran urin terendah adalah 10 cc/jam dan tertinggi 150 cc/jam.

Selanjutnya dilakukan pemantauan ScvO2 pada pasien sepsis berat yang diaplikasikan
EGDT didapati perbaikan. Nilai sebelum dilakukan EGDT terendah 61,7% dan teratas 92,4%
setelah dilakukan EGDT jumlah pasien dengan nilai ScvO2 ≥ 70-80% mengalami elevasi menjadi
23 pasien, dengan value ScvO2 terendah 72,2% dan tertinggi 82,2%. Penyelidikan awal takaran
laktak didapati bahwa setiap pasien sejumlah 30 pasien dengan nilai laktak di atas 1 mmoL/L.
Nilai awal laktak terbawah 1,3 mmoL/L dan teratas 7 mmoL/L. Jumlah pasien dengan angka
laktak > 1 mmoL/L sejunlah 19 pasien dan nilai <1 mmoL/L sejumlah 8 pasien. Pada akhirnya
nilai akhir laktak terbawah 0,3 mmol/L dan nilai laktak teratas 5 mmol/L.

Setelah dilakukan peneilitian didapati pada IGD Bagian Bedah Rumah Sakit Dr.Hasan
Sadikin Bandung, didapati 30 pasien yang terbagi atas 15 pasien laki-laki dan 15 pasien
perempuan, dengan umur 51-60 tahun dimana penurunan fisiologi tubuh sekitar 20-30 % dan
pada umur ini adalah umur produktif. Kasus terbanyak adalah kasus bedah digestif sejumlah 19
pasien dengan pencetus terbanyak adalah perforasi ulkus peptikum dan perforasi tumor kolon.
Resusitasi EGDT sukses dilakukan terhadap 27 pasien dan tidak sukses kepada tiga pasien
kaena meninggal sebelum EGDT berhasil dilakukan. Aspek-aspek yang menyebabkan kematian
terhadap pasien tersebut dikarenakan pasien dalam usia >50 tahun dengan sepsis berat yang
yang disertai masalah pada respirasi.

Aspek yang memengaruhi pencapaian resusitasi EGDT, dimana faktor medis dan juga
secara tidak medis. Hasil penelitian ini menggunakan standard operasional procedure (SOP)
yang telah disepakati bersama dalam pelaksanaan EGDT pasien sepsis berat yang akan
mengalami operasi lalu dengan menentukan diagnosis yang dengan cepat dan juga terapi awal
yang efisien dapat menurunkan nilai morbiditas dan kematian di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Resusitasi EGDT masih sukses dilakukan pada pasien yang terlambat dilaksanakan
pemasangan CVC tetapi keadaan pasien sepsis berat masih dapat membaik dengan
pengawasan yang betul.
CLINICAL SIGNIFICANT

Kualitas layanan keperawatan adalah sesuatu yang diharapkan baik dari segi pasien dan
dan juga kepuasan pelayanan perawat. Syok septik yang merupakan salah satu isu utama dari
gawat darurat yang menyebabkan tingginya angka kematian dan morbiditas pada penderita.
Lewat penjabaran penanganan-penanganan pada syok septik ini, maka perawat sebagai lini
utama yang memberi intervensi , memiliki pedoman-pedoman dasar dan juga alternatif lain yang
dapat meningkatkan prognosis penderita syok septik.

Selain itu penelitian-penelitian dalam dunia keperawatan harus menjadi refleksi betapa
minimnya penelitian tentang sepsis atau mengenai syok sepsis yang berimplikasi pada
kurangnya variative penatalaksanaan pada pasien dengan syok sepsis. Sebagai perawat
memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan sumber dayanya dengan studi serta penelitian
khususnya bagi mereka yang mengambil fokus pada perawatan di instalasi gawat darurat,
intensive care unit dan di dalam kamar bedah.

Selain itu dari pihak pemerintah sebagai penyedia layanan kesehatan untuk dapat melihat
kasus dan rendahnya prognosis pada penanganan syok septik sebagai motivasi untuk
dikembangkannya baik dari segi sumber daya tenaga medis, fasilitas dan pengembangan
observasi dan penelitian pada subjek ini (syok septik dan sepsis). Demikianlah hal-hal klinis yang
signifikan berhubungan dengan tulisan atau essai ini.
KESIMPULAN

Dari ketiga sumber yang menjabarkan tentang penanganan-penanganan apa saja yang
pas untuk syok septik. Mulai dari Leksana (2015) yang secara garis besar menjelaskan tentang
berbagai jenis syok, lalu menyatakan bahwa tujuan penanganan syok pada awal adalah demi
memullihkan perfusi dan oksigenasi pada jaringan dengan mengembalikan volume dari sirkulasi
intravaskuler. Dan ia pun mengaskan bahwa terapi cairan adalah terapi yang sangat penting pada
syok distributive dalam hal ini syok septik juga. Dengan penanganan sedini mungkin dapat
meningkatkan pada hasil akhir klinis yang baik dengan diukur pada pembaruan hemodinamik
seperti saturasi vena sentral, CVP, MAP, urine output dan yang terakhir adalah status mental.

Setelahnya, penanganan lain dengan Early Goal Directed Therapy (EGDT). Dimana
didapati derajat kesuksesan resusitasi EGDT. Yaitu terapi ini telah berhasil dilakukan kepada 27
pasien dengan sepsis berat yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Oleh karena itu EGDT sangatlah direkomendasikan dalam intervensi pada
gawat darurat kedepanya.

(Silviana et all,2015). Selain dari pada itu Wandoko (2010) juga lewat jurnal
penulusurannya membuktikan bahwa kortikosteroid tidak lagi disarankan kepada pasien sepsis
dengan hemodinamik stabil. Kortikosteroid dengan takaran tinggi jangka pendek tidak berguna
dan bahkan dapat mengancam pasien dengan sepsi berat dengan syok septik. Data efektivitas
dan keamanan obat yang tersedia pula mendukung diberinya kortikosteroud dosis rendah
rentang waktu yang panjang, pada setiap semua pasien dengan syok septik yang dependen
vasopressor, minus memikirkan hasil dari uji rangasangan ACTH. Keputusan untuk diberinya
steroid pada syok septik harus dilaksanakan berlandaskan keputusan medis dan tidak hanya
dengan hasil dari laboratorium maupun protocol. Terapi kortikosteroid dengan pasien dengan
syok septik dengan berkesinambungan dapat menolong memperbaharui kondisi syok dan lebih
pesat memulihkan masalah hemodinamik, hingga pada akhirnya mengurangi angka kematian.
Namun dari peneliti, perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut lagi untuk membenarkan
rekomendasi ini dan untuk memutuskan jenis steroid, dosis, waktu, dan lama terapi.
DAFTAR PUSTAKA

Leksana, Ery. (2015). Dehidrasi dan Syok. CDK-228/Vol 42 no.5. Semarang

Widodo, Ariana D ., Tumbelaka, Alan R (2010). Penggunaan Steroid dalam Tata Laksana Sepsis
Analisis Kasus Berbasis Bukti. Sari Pediatri, 11(6):387-94). Jakarta

Silviana Mira ., Tovianto, Doddy., Kadarsah, Rudi k (2015). Keberhasilan Early-Directed Therapy
dan Faktor Pengganggu pada Pasien Sepsis Berat di Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung yang Akan Menjalani Pembedahan. Jurnal Anestesi
Perioperatif [JAP.2015;3(2):131-8]. Bandung

Anda mungkin juga menyukai