Anda di halaman 1dari 7

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Permukiman Kumuh di Kota Palembang

Kota Palembang, pada tahun 2002 memiliki 42 kawasan kumuh, dan pada
tahun 2007 meningkat menjadi 47 kawasan. Untuk konsentrasi Kawasan kumuh di
Palembang tercatat ada 59 titik/zona yang berlokasi disejumlah kecamatan. Beberapa
konsentrasi dengan kategori kumuh berat terdapat pada Kecamatan Seberang Ulu 1,
Kertapati, Plaju, Gandus, Ilir Barat 2, dan Ilir Timur 2, dan umumnya berada di dekat
bantaran kali atau sungai Musi. Menurut Sartono, 2009, “Tingkat kepadatan bangunan
sangat bervariasi, di wilayah pinggiran kota angka kepadatan bangunan sangat kecil
berkisar 1-10 bangunan/ha. Ke arah Sungai Musi kepadatan bangunan meningkat
sampai >40 bangunan/ha. Kawasan kumuh Kota Palembang dipengaruhi pula oleh
letak kawasan yang berkembang di pinggiran sungai yang merupakan wilayah pasang
surut. “
Iklim pada daerah tersebut , mengikuti iklim mikro Kota Palembang yang
diklasifikasikan sebagai tropis. Palembang adalah kota dengan curah hujan yang
signifikan. Bahkan di bulan terkering terdapat banyak hujan. Suhu rata-rata tahunan
adalah 27.3 °C di Palembang. Curah hujan tahunan rata-rata adalah 2623 mm. Di
antara bulan terkering dan bulan terbasah, perbedaan dalam presipitasi adalah 262
mm. Sepanjang tahun, suhu bervariasi menurut 1.2°C.

Kelurahan Ulu 1 Kecamatan Seberang Ulu 1 Kota Palembang, tergolong


daerah dengan tingkat kekumuhan yang berat. Pola permukimannya padat. Berada
pada tepi Sungai Ogan. Tata letak bangunan organik, mengikuti garis tepi sungai.
Jarak Bangunan bervariasi, dan tidak beraturan, tetapi rata-rata jaraknya berdempetan.
Banyak area basah ditepi sungai berbentuk genangan dan kumuh. Jaringan
Infrastruktur Kota sudah menjangkau kawasan tersebut, seperti perkerasan jalan ling-
kungan, penempatan jaringan air bersih dan listrik. Untuk Jarinagn pembuangan air
kotor (drainage) , terbuka dan penuh dengan sampah.
Vernakularisme pemukiman kumuh di tepi Musi

Dalam Tata Ruang permukimannya, pola massa yang ada di bantaran sungai
tersusun secara linear organik. Dimana linear karena mengikuti garis tepi sungai , dan
organik , yaitu mengikuti pola sirkulasi yang terbentuk secara spontan. Pola sirkulasi
terbentuk secara linear, seluruh jalur berpangkal pada jalan(daratan) dan berakhir di
Tepi Sungai. Setiap ujung jalan yang berada pada tepi sungai, difingsikan sebagai
dermaga kecil. Membentuk konektifitas trans- portasi darat dan air.
Karakter hunian di tepi bantaran sungai musi secara fisik adalah rumah
panggung (stilt house) dengan kondisi yang memungkinkan bangunan untuk tidak
terkena dampak pasang surut air sungai. Bentuk bangunan persegi dengan atap
limasan dan pelana. Hunian-hunian tersebut berjajar di bantaran sungai secara
organik dan liear mengikuti garis sungai, dengan kerapatan antar bangunan yang
beragam. Karakter rumah panggung dengan kolong dibawah bangunan , yang
ketinggiannya rata-rata diatas 2 m, menciptakan ruang tersendiri, dan kebanyakan
dalam Kondisi yang kotor, penuh dengan sampah, baik sampah rumah tangga
maupun sampah yang terbawa oleh arus sungai. Secara umum orientasi bangunan ,
muka bangunan menghadap jalan atau daratan, dan bagian belakang bangunan
menghadap sungai. Namun demikian, tidak semua bangunan di bantaran sungai,
membelakangi sungai musi. Masih banyak bangunan – bangunan yang menjadikan
Sungai Musi menjadi halaman muka bangunan, terutama untuk bangunan-bangunan
lama nya.
Dari permukiman 32 ilir, Hunian yang terbentuk merupakan hasil pemikiran
yang fungsional dan adaptable. Dengan berbagai alasan , Keinginan untuk terus
berada pada bantaran sungai , dan membuat masyarakat terus mempertahankan
keberadaan dalam skala rumah tinggal.
Merujuk pada Pemerintah nasional, pengertian permukiman kumuh adalah
kawasan peru- mahan dengan kualitas fisik kawasan dibawah standar, tempat tinggal
yang tidak teratur, ilegal dan tidak memadai, dengan kepadatan penduduk yang tinggi,
kondisi hidup yang tidak sehat, lokasi yang berbahaya, kemiskinan dan pengucilan
sosial. Dan pada umumnya kawasan pemukiman berkepadatan tinggi merupakan
embrio pemukiman kumuh. Kumuh bervariasi dari tempat ke tempat dan negara ke
negara. UN-HABITAT, adalah lembaga yang bertang- gung jawab untuk memantau
target kumuh penghuni, yang menunjuk pada dua jenis kumuh:

 Slums of Hope : "Maju" pemukiman baru, atau permukiman dalam proses


pembangunan, per- baikan dan konsolidasi, yang biasanya dihuni oleh penduduk
ilegal (misalnya, penghuni liar).
 Slums of Despair : "Penurunan" lingkungan, di mana kondisi lingkungan dan jasa
domestik mengalami proses degenerasi.(UN-HABITAT, (2003), p.9-p.11).

Beberapa indikator untuk menunjukkan atau menidentifikasi karakter dari


permukiman ku- muh , yaitu : Tidak memadai akan kebutuhan air bersih dan saluran
air kotor(drainase), rumah yang sesak dengan penghuni yang banyak (le- bih dari 2
penghuni dalam satu kamar) , kon- struksi yang tidak layak pada hunian, peng-
gunaan material yang tidak permanen pada hunian, kepemilikan rumah yang tidak
aman( pada umumnya tanpa dokumen kepemilikan) .

Dari beberapa definisi, permasalah utama dari permukiman kumuh adalah


kemiskinan. Bagai- mana kemiskinan itu terjadi, tentunya banyak aspek yang
mempengaruhinya. antara lain : as- pek ekonomi, sosial budaya, , hukum, arsitektur
dan perencanaan tata kawasan. Terbatasnya kesempatan untuk mendapatkan rumah
tinggal yang layak, memaksa mereka (masyarakat mis- kin) untuk tinggal di daerah-
daerah yang tidak memiliki akses kepemilikan, dan tanah-tanah ko- song yang
cenderung ilegal , baik ruang publik maupun privat. Sehingga hunian-hunian ter- sebut
cenderung ilegal. Dengan seiring ber-kem- bangnya kota, kepadatan penduduk me-
ningkat, jumlah pemukim-pemukim liar juga bertambah pesat. Lalu, Apakah
kemiskinan berpengaruh terhadap bangunan, dalam hal ini adalah fisik bangunan .

Dari pemahaman diatas, Arsitektur vernakular berwujud bangunan tanpa


desain dengan proses konstruksi yang sederhana dan alami. Dan hal tersebut
merupakan pengetahuan yang diwa- riskan turun temurun. Sehingga bangunan
vernakular bersifat spontan dan anonim. Di dalam konteks arsitektur, peran dan
fungsi arsitektur vernakular menjadi penting bukan hanya di Indonesia saja tetapi
juga di Asia, karena Asia terdiri dari berbagai macam budaya dan adat yang
berlainan di berbagai wilayah- nya, dimana setiap wilayah memiliki ciri arsi- tektur
yang spesifik dan berasal dari tradisi. Antara tradisi dan arsitektur vernakular sangat
erat hubungannya. (Wuisman, 2009)

Tradisi memberikan suatu jaminan untuk melanjutkan kontinuitas akan


tatanan sebuah arsitektur melalui sistem persepsi ruang, bentuk, dan konstruksi yang
dipahami sebagai suatu warisan yang akan mengalami perubahan secara perlahan
melalui suatu kebiasaan. Misalnya bagaimana adaptasi masyarakat lokal terhadap
alam, yang memunculkan berbagai cara untuk menanggulangi, misalnya iklim dengan
cara membuat suatu tempat bernaung untuk meng- hadapi iklim dan menyesuaikannya
dengan lingkungan sekitar dan dengan memperhatikan potensi lokal seperti potensi
udara, tanaman, material alam dan sebagainya, maka akan terciptalah suatu bangunan
arsitektur rakyat yang menggunakan teknologi sederhana dan tepat guna.
Kesederhanaan inilah yang meru- pakan nilai lebih sehingga tercipta bentuk khas dari
arsitektur vernakular dan tradisional serta menunjukkan bagaimana menggunakan
material secara wajar dan tidak berlebihan. Hasil karya ‘rakyat’ ini merefleksikan
akan suatu masyarakat yang akrab dengan alamnya, kepercayaannya, dan norma-
normanya dengan bijaksana. (Wuisman, 2009)

Type rumah pada pemukiman di lahan basah tepian sungai


Hasil observasi menunjukkan beberapa kondisi faktual rumah meliputi tipe
bangunan, jumlah lantai, dan tipe fondasi rumah. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Tipe pertama adalah rumah tunggal yang bedempetan. Tipe bangunan ini adalah
rumah yang walaupun merupakan bangunan tunggal tetapi hampir tidak memiliki
ruang sisa antar bangunan, kecuali pada muka bangunan yang berupa jalan. Tipe
bangunanini mendominasi tipe rumah pada kampung ini.

Tipe kedua adalah rumah deret. Tipe rumah deret adalah kelompok rumah yang
didirikan pada satu bangunan. Cirinya dalah dinding rumah yang berhimpitan
atau antar rumah hanya dibatasi oleh satu dinding. Kebanyakan tipe ini adalah rumah
bedeng sewa. Tipe ini banyak ditemui pada bagian kampung yang lebih dekat ke
sungai.

Tipe berikutnya adalah modifikasi rumah panggung dengan kolong dijadikan rumah
bedeng sewa. Tipe ini ditemui pada bagian kampung dengan topografi lebih tinggi dan
kering. Bagian bawah rumah yang tadinya berupa kolong dimanfaatkan sebagai
ruangan tambahan. Kebanyakan ruang bawah kolong ini pengap karena langit-langit
yang rendah dan kurangnya pencahayaan dan pengudaraan. Ruang di bawah
kolong dibagi-bagi menjadi beberapa petak yang menjadi bedeng sewa.

Kedua tipe, yaitu tipe kedua dan ketiga, menunjukkan bahwa tipe hunian bersama
dalam satu gedung telah diadaptasi.

Tipe bangunan rumah yang terakhir adalah rumah tunggal. Rumah tunggal
memiliki ruang pada mininal pada 3 sisi rumah. Prosentase tipe ini sedikit. Hal ini
menggambarkan bahwa permukiman adalah kampung yang padat. Ruang terbuka
publik tidak ditemui pada kampung ini. Ruang terbuka yang tersisa pada sebagian
kawasan merupakan halaman dari beberapa rumah milik pedagang besar yang
dahulunya menggunakan perahu membawa barang dagangannya. Seiring
dengan perubahan jalur transportasi ke arah daratan, sebagian besar rumah-rumah
tersebut kini terbelengkalai.

Hasil observasi menunjukkan sebagian besar rumah pada kawasan


menggunakan fondasi panggung dari kayu. Sebagian rumah lainnya
menggunakan fondasi panggung yang dibuat dari beton untuk menggantikan
kayu. Fondasi panggung adalah pilihan fondasi untuk beradaptasi dengan kondisi
lahan yang basah dengan kondisi permukaan air yang terpengaruh pasang surut
sungai. Hampir semua rumah-rumah yang berada di pinggir jalan utama dibangun di
atas fondasi tapak. Hal ini karena area ini relatif lebih tinggi dan kering. Sebaliknya,
rumah-rumah yang berada di tepian sungai yang menjorok ke badan sungai
menggunakan pondasi panggung atau pondasi rakit.

Rekomendasi Tipe Rumah untuk Permukiman Lahan Basah Tepian


Sungai dengan Pendekatan Ekosistem

Hasil penilaian menentukan salah satu dari ketiga tipe massa yang paling sesuai untuk
permukiman di lahan basah riparian sesuai dengan fokus tujuannya masing-
masing. Setiap tujuan menghasilkan penilaian yang berbeda. Penjelasan
mengenai hasil identifikasi, perhitungan, dan penilaian tipe massa ini dijelaskan
sebagai berikut:

Tujuan pelestarian karakter kawasan tepian sungai

Hasil penilaian para ahli mengenai tipe massa untuk tujuan pelestarian karakter kawasan
tepian sungai menunjukkan tipe rumah berbentuk “tunggal mengapung” memiliki
nilai tertinggi di semua kriteria, baik untuk kriteria mengenai keselarasan dengan
karakter ekosistem riparian dan aktivitas masyarakat, maupun gangguan terhadap
topografi alami ekosistem. Urutan pilihan tipe rumah berikutnya adalah “deret
panggung” dan “rumah susun”. Kriteria keselarasan tipe rumah dengan karakter riparian
dinilai dari kesesuaian arsitektur bangunan untuk beradaptasi dengan lingkungan
lahan basah yang selalu tergenang oleh luapan sungai. Tunggal mengapung dinilai
memiliki desain pondasi yang paling sesuai dengan ekosistem tersebut. Bentuk
pondasinya yang mengapung mengikuti pasang surutnya air dan tidak merusak
topografi yang ada. Selain itu, tunggal mengapung juga dinilai akomodatif terhadap
aktivitas budaya masyarakat riparian banyak berinteraksi dengan sungai.

Tujuan pengendalian banjir

Kriteria penilaian tipe rumah untuk tujuan pengendalian banjir ditekankan pada
kesesuaiannya dengan tiga kriteria. Kriteria pertama mengenai perubahan topografi
akibat pembangunan. kriteria kedua mengenai hambatan fondasi pada aliran air termasuk
aliran pasang surut sungai. Kriteria ketiga mengenai luas dasar bangunan dan daya
tampung tipe rumah. Hasil perhitungan menunjukkan pilihan terbaik adalah “tunggal
mengapung”, walaupun tidak semua kriteria terpenuhi oleh tunggal mengapung.
Para ahli menilai tunggal mengapung paling sesuai dengan kriteria pertama
(rerata 8,8) dan kedua (rerata 8,6). Tunggal mengapung memiliki bentuk rumah
dan fondasi yang tidak banyak merusak topografi alami dan tidak menghambat
aliran air. Sedangkan, “Rumah Susun” dinilai paling sesuai dengan kriteria ketiga
(rerata 8,2) karena paling hemat lahan terbangun. Dengan demikian, urutan pilihan
tipe rumah terbaik adalah tunggal mengapung, rumah susun, dan deret panggung.

Tujuan peningkatan kualitas dan kuantitas air perkotaan

Tipe rumah terbaik untuk tujuan peningkatan kualitas dan kuantitas air adalah
sebagai berikut, yaitu “rumah susun”, “tunggal mengapung”, dan “deret panggung”.
Hasil penilaian para ahli menunjukkan bahwa “Rumah susun” merupakan pilihan
terbaik karena massa rusun efektif dalam menampung hunian per meter persegi
luas dasar bangunan. Melalui efesiensi penggunaan lahan maka menyediakan
lebih banyak ruang terbuka untuk fungsi penjernihan dan resapan air. Kriteria lainnya
menyangkut pilihan fondasi terhadap aliran air. Untuk kriteria tersebut, tipe
massa berbentuk “tunggal mengapung” dinilai lebih sesuai dengan kriteria tersebut.
Sedangkan, pilihan tipe massa “deret panggung” tidak mendapat nilai tertinggi untuk
kedua kriteria. Rumah deret walau dengan ketinggian 2-3 lantai membutuhkan
lahan pembangunan yang lebih luas dibandingan dengan tipe massa berbentuk rusun.
Selain itu, pilihan pondasi panggung juga menyebabkan lebih banyak perubahan pada
aliran air.

Tujuan restorasi habitat akuatik

Berdasarkan hasil perhitungan dari penilaian para ahli maka urutan tingkat atribut dari
nilai tertinggi hingga yangterendahadalah“rumahsusun”,“deret panggung”, dan
“tunggal mengapung”. Kriteria penilaiannya berkaitan dengan pengaruh tipe
massa terhadap luas lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan dan kapasitas
pencahayaan yang jatuh langsung pada permukaan lahan. Rumah susun merupakan
bangunan dengan daya tampung yang besar dan berkembang secara vertikal.
Pembangunannya lebih hemat lahan sehingga menyediakan potensi habitat
akuatik yang lebih luas. Berbeda dengan “deret panggung” yang walaupun cukup
kompak dengan ketinggian 2-3 lantai dan saling berdempetan satu sama lainnya, tetapi
merupakan tipe massa yang berkembang secara horizontal sehingga membutuhkan
lebih banyak lahan untuk pembangunannya. Demikian juga dengan “tunggal
mengapung” yang merupakan rumah tunggal dengan pondasi mengapung.
Walaupun fondasi mengapung dapat berpindah-pindah sehingga pencahayaan langsung
jatuh lebih merata, tetapi massa tunggal menyebabkan lebih banyak
penutupan lahan.

Anda mungkin juga menyukai