BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
- Nama Pasien : Ny. S
- Umur : 53 tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Alamat : Kala kemili
- No. RM : 116083
- Pekerjaan : IRT
- Status perkawinan : Menikah
- Agama : Islam
- Suku : Gayo
- Tanggal masuk RS : 28 Desember 2019
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Lemas dan batuk
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Datu Beru pada tanggal 28 Desember
2018, dengan keluhan batuk yang dialami sejak 1 tahun yang lalu, batuk
memberat 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, batuk berdarah. Pasien
juga sering mengalami keringat dingin dimalam hari. Pasien mengalami
penurunan berat badan. Pasien juga mengeluhkan diare yang tak kunjung
sembuh, dan juga keluhan sariawan berulang, pandangan kabur (+).
Pasien juga mengeluhkan muncul ruam merah kehitaman pada seluruh
tubuh, gatal (+), nafsu makan berkurang. Pasien junga mengeluhkan
nyeri pada lutut. Mual (-), muntah (-), BAB cair (+) dan BAK dalam
batas normal. Pasien mengaku sering opname di rumah sakit selama 1.5
tahun terakhir ini. pasien sebelumnya sudah didiagnosa HIV/AIDS.
Pasien sebelumnya rutin minum obat antiretroviral namun 1 tahun
1
2
2
3
C. ANAMNESIS SISTEM
Sistem Serebrospinal Gelisah (-), Lemah (+), Demam (+), pusing
(+)
Sistem Kardiovaskular Akral dingin (-), sianosis (-), anemis (+),
palpitasi (-), nyeri dada (-)
Sistem Respiratorius Batuk (+), sesak nafas (+)
Sistem Genitourinarius BAK (+) lancar, nyeri (-) darah (-)
Sistem Gastrointestinal Nyeri perut ulu hati (-), mual (-), muntah (-),
nafsu makan menurun (+), BAB baik.
Sistem Muskuloskeletal Badan lemas (+) nyeri seluruh tubuh (+),
atrofi otot (-)
Sistem Integumentum Pucat (-), Clubbing finger (-) pruritus (+)
Ruam (+)macula (+) krusta (+)
hiperpigmentsi (+)
Kesan : terdapat masalah pada sistem serebrospinal, gastrointestinal,
muskuloskeletal dan integumen
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Sadar
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
Status Gizi : BMI 16,4 (sangat kurang)
BB : 42
TB : 160
Vital Signs : TD: 110/70 mmHg;
Nadi: 111 x/menit;
Respirasi rate: 22 x/menit;
Suhu: 36,8ºC
2. Pemeriksaan Fisik
• Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), nafas
cuping hidung (-), edema palpebra (-). Normocephal
• Mulut : lidah kotor (+)
• Leher : Retraksi supra sterna (-/-), deviasi trachea (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran kelenjar tiroid
(-)
3
4
- Thorax
Paru Hasil pemeriksaan
Inspeksi Dada kanan dan kiri simetris, tidak ada ketinggalan
gerak, pelebaran costa (-), retraksi (-),bentuk dada
normal
Palpasi Tidak ada nafas yang tertinggal, Fremitus dada
kanan dan kiri sama
Perkusi Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi Terdengar suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing (-
/-), Ronkhi (+/+)
4
5
Abdomen
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Perut lebih rendah dibanding dengan dinding dada,
distended (-), sikatriks (-)
Auskultasi Suara peristaltik (+)
Palpasi Nyeri tekan (-), defans muskuler (-), hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi Timpani pada 4 kuadran, asites (-)
Ekstremitas
Ekstremitas Superior Dextra Akral Hangat (+), Edem (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)
Ekstremitas Superior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)
Ekstremitas Inferior Dextra Akral Hangat (+), Edema (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)
Ekstremitas Inferior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Tes HIV
Pemeriksaan Hasil Penderita
R1 ONCOPROBE REAKTIF
R2 INTEC-ONE STEP 1&2 REAKTIF
R3 VIKIA ½ REAKTIF
5
6
6
7
RONTGEN THORAK
Rontgen lama
7
8
F. DIAGNOSIS KERJA
HIV/AIDS dengan anemia, TB putus obat, tinea corporis
G. TERAPI
- Diet MII
- Inf.Nacl 0,9% 20 tpm
- Inf. Kaen 3B / hari
- Ketokenazol 2x1
- Lacbon 2x1
- Cetirizine 2x1
- Asam folat 3x1
- Vit B6 3x1
- Tranfusi PRC 2 kolf /hari
H. HASIL FOLLOW UP
29-12- S/ Batuk (+) pilek (-) lidah kotor P/ Diet MII
2018 (+) mual (-) muntah (-) penurunan Inf.Nacl 0,9% 20 tpm
nafsu makan (+) BAB cair (+), Inf. Kaen 3B / hari
lender (-), krusta (+), gatal seluruh Ketokenazol 2x1
tubuh (+) Lacbon 2x1
O/ TD: 100/80 N: 75x/i Cetirizine 2x1
S: 36,8 RR: 20 Asam folat 3x1
KU: Sakit berat , CM Vit B6 3x1
Pf mata : CA (+/+), SI (-/-) Tranfusi PRC 2 kolf /hari
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh
8
9
(-/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/ Anemia on cronic
HIV
Tinea corporis
30-12- S/ Batuk (+) pilek (-) lidah kotor P/ Diet MII
2018 (+) mual (-) muntah (-) penurunan Inf.Nacl 0,9% 20 tpm
nafsu makan (+) BAB cair (+), Inf. Kaen 3B / hari
lender (-), krusta (+), gatal seluruh Ketokenazol 2x1
tubuh (+) Lacbon 2x1
O/ TD: 110/80 N: 82 Cetirizine 2x1
S: 36,5 RR: 20 Asam folat 3x1
KU: Sakit berat, CM Vit B6 3x1
K/L: CA (+/+), SI (-/-) Tranfusi PRC 2 kolf /hari
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh
(-/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/ Anemia on cronic
HIV
Tinea corporis
9
10
10
11
02-01- S/ Batuk (+) pilek (-) lidah kotor P// Diet MII
2019 (+) mual (-) muntah (-) penurunan Inf.Nacl 0,9% 20 tpm
nafsu makan (+) BAB cair (+), Inf. Kaen 3B / hari
Hb: 11,4 lender (-), krusta (+), gatal seluruh Ketokenazol 2x1
Hct:34,7 tubuh (+) Lacbon 2x1
L : 13,68 O/ TD: 110/80 N: 82 Cetirizine 2x1
S: 36,5 RR: 20 Asam folat 3x1
KU: Sakit berat, CM Vit B6 3x1
11
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. HIV / AIDS
A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus
golongan rotavirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia
dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari
12
13
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih
tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker
atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena
berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya
berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada
orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara
1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang
terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin
lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai
nol(Djoerban,2006)
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency
Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat
menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV.
Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari
serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan
atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Djoerban,2006)
B. Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.
Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar
(envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein
gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul
CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag.
Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV
13
14
dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA
dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).
Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-
masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing
subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua
grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih
ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1(Djauzi,2010)
C. Cara penularan
Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik
Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi
HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan
semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap
pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan
HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks
dan jenis hubungan seks. Orang yang sering berhubungan seksual
dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko
tinggi terinfeksi virus HIV.
1.1. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas
homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua
golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual
dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra
seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap
HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara
anogenital.
1.2. Heteroseksual
14
15
adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang
mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksual
2.1 Transmisi Parenral
2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya
(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan
narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara
bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu.
Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
2.1.2. Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-
negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi
melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah
diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat
trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
2.2. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu
hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu
ibu termasuk penularan dengan resiko rendah( Yunihastuti, 2008)
D. Patogenesis
15
16
4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah.
Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala
dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri
kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk,
dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase
ini terjadi penurunan CD 4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load.
Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian
turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya
infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat.
Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan
dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih
cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke
stadium AIDS
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel
yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan
reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV perlu
berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat pada
permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel dendrit,
astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan
chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain
yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan
diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran
gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi
sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk
ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV
melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase
akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA.
Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse
transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran DNA
yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel,
menyatu dengan kromosom host dengan perantara enzim integrase.
Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk
16
17
17
18
18
19
Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh
virus dan mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel.
Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat hebat pada awal infeksi HIV. Sel
CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit CD4+.
Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang yang
berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan
perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring
dengan perkembangannya penyakit. Dengan semakin beratnya
penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai hipotesis
tentang penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini
:
19
20
20
21
E. Diagnosis HIV
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV ,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu
dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana
kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis,
diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,
memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, Dari Anamnesis,
perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar
tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan
table 4).
21
22
Gejala Mayor :
22
23
Pemeriksaan fisik
23
24
24
25
2. Deteksi Antigen
Deteksi antigen ini dapat berfungsi untuk :
Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )
Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar
terhadap HIV
Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :
Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
25
26
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat
dijelaskan
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis
media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis )
Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3
Stadium klinis 4b
26
27
G. Penatalaksanaan
27
28
No Nama Fungsi
Golongan
28
29
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan
4 harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus
dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan
medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang
baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10.
Jika tidak
Stadium Bila tersedia tersedia
Klinis pemeriksaan CD4 pemeriksaan
CD4
Terapi ARV
1 tidak
Terapi antiretroviral diberikan
dimulai bila CD4
<200 Bila jumlah
2 total limfosit
<1200
29
30
Pada kehamilan
Terapi ARV
atau TB:
dimulai
30
31
berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat
dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh
diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di
daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat
untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau
munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat
apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan
bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia
sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4
kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai
terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum
diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan
teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada
pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 <
350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 <
350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA
dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja
dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar
virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu
keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
31
32
Terapi ARV
32
33
33
34
34
35
( Depkes, 2008 )
1. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
(penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit (red cell count). (Bakta, 2009)
35
36
2. Etiologi anemia :
Penurunan kecepatan eritropoiesis
Kehilangan eritrosit berlebihan
Defisiensi kandungan hemoglobin dalam eritrosit
36
37
37
38
DAFTAR PUSTAKA
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006
7. Brooks, Geo. F., Butel, Janet S., dan Morse, Stephen A., 2012. AIDS dan
Lentivirus. Dalam: Sjabana, Dripa, ed. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika; 292-300.
38
39
10. Aghe NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow
failure syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill,
2009:617-25.
LAPORAN KASUS
39
40
Disusun Oleh :
Kurnia Yuniati, S.Ked
J510155078
LAPORAN KASUS
40
41
Pembimbing
Dipresentasikan Dihadapan
41