Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
- Nama Pasien : Ny. S
- Umur : 53 tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Alamat : Kala kemili
- No. RM : 116083
- Pekerjaan : IRT
- Status perkawinan : Menikah
- Agama : Islam
- Suku : Gayo
- Tanggal masuk RS : 28 Desember 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Lemas dan batuk
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Datu Beru pada tanggal 28 Desember
2018, dengan keluhan batuk yang dialami sejak 1 tahun yang lalu, batuk
memberat 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, batuk berdarah. Pasien
juga sering mengalami keringat dingin dimalam hari. Pasien mengalami
penurunan berat badan. Pasien juga mengeluhkan diare yang tak kunjung
sembuh, dan juga keluhan sariawan berulang, pandangan kabur (+).
Pasien juga mengeluhkan muncul ruam merah kehitaman pada seluruh
tubuh, gatal (+), nafsu makan berkurang. Pasien junga mengeluhkan
nyeri pada lutut. Mual (-), muntah (-), BAB cair (+) dan BAK dalam
batas normal. Pasien mengaku sering opname di rumah sakit selama 1.5
tahun terakhir ini. pasien sebelumnya sudah didiagnosa HIV/AIDS.
Pasien sebelumnya rutin minum obat antiretroviral namun 1 tahun

1
2

terakhir pasien sudah berhenti minum obat. Pasien juga menderita TB


paru tapi pasien tidak rutin minum obat TB. Suami pasien sebelumnya
menderita sakit yang sama dengan pasien yaitu HIV/AIDS. Pasien
mengatakan suaminya sudah meninggal 1 tahun yang lalu.

3. Riwayat penyakit dahulu


 Anemia
 Hepatitis drug induce
 TB paru
4. Riwayat Pribadi dan Sosial
• Riwayat merokok disangkal
• Minum-minuman beralkohol disangkal
• Riwayat penggunaan obat-obatan terlarang disangkal
• Riwayat pemakaian tatto disangkal
• Riwayat transfusi diakui
• Riwayat berhubungan sex bebas disangkal
• Riwayat penyakit infeksi menular seksual disangkal
• Riwayat tinggal diluar kota diakui
• Pekerjaan sebagai IRT
5. Riwayat Keluarga
• Suami pasien mengidap HIV/AIDS
6. Riwayat Lingkungan , Ekonomi, dan Gizi
Pasien sekarang tinggal bersama ketiga anaknya. Pasien seorang
ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Suami pasien sudah meninggal sejak
2 tahun yang lalu, suami pasein sebelumnya bekerja sebagai tukang becak.

2
3

C. ANAMNESIS SISTEM
Sistem Serebrospinal Gelisah (-), Lemah (+), Demam (+), pusing
(+)
Sistem Kardiovaskular Akral dingin (-), sianosis (-), anemis (+),
palpitasi (-), nyeri dada (-)
Sistem Respiratorius Batuk (+), sesak nafas (+)
Sistem Genitourinarius BAK (+) lancar, nyeri (-) darah (-)
Sistem Gastrointestinal Nyeri perut ulu hati (-), mual (-), muntah (-),
nafsu makan menurun (+), BAB baik.
Sistem Muskuloskeletal Badan lemas (+) nyeri seluruh tubuh (+),
atrofi otot (-)
Sistem Integumentum Pucat (-), Clubbing finger (-) pruritus (+)
Ruam (+)macula (+) krusta (+)
hiperpigmentsi (+)
Kesan : terdapat masalah pada sistem serebrospinal, gastrointestinal,
muskuloskeletal dan integumen

D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Sadar
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
Status Gizi : BMI 16,4 (sangat kurang)
BB : 42
TB : 160
Vital Signs : TD: 110/70 mmHg;
Nadi: 111 x/menit;
Respirasi rate: 22 x/menit;
Suhu: 36,8ºC
2. Pemeriksaan Fisik
• Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), nafas
cuping hidung (-), edema palpebra (-). Normocephal
• Mulut : lidah kotor (+)
• Leher : Retraksi supra sterna (-/-), deviasi trachea (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran kelenjar tiroid
(-)

3
4

- Thorax
Paru Hasil pemeriksaan
Inspeksi Dada kanan dan kiri simetris, tidak ada ketinggalan
gerak, pelebaran costa (-), retraksi (-),bentuk dada
normal
Palpasi Tidak ada nafas yang tertinggal, Fremitus dada
kanan dan kiri sama
Perkusi Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi Terdengar suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing (-
/-), Ronkhi (+/+)

Jantung Hasil pemeriksaan


Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea
mid clavicula sinistra
Perkusi Bunyi : redup
Batas Jantung :
Batas Kiri Jantung
^ Atas : SIC II linea parasternalis sinistra.
^ Bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan Jantung
^ Atas : SIC II linea sternalis dextra
^ Bawah : SIC IV linea sternalis dextra
Auskultasi HR= 78 x/menit BJ I/II murni reguler, bising
systole (-), gallop (-)

4
5

Abdomen
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Perut lebih rendah dibanding dengan dinding dada,
distended (-), sikatriks (-)
Auskultasi Suara peristaltik (+)
Palpasi Nyeri tekan (-), defans muskuler (-), hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi Timpani pada 4 kuadran, asites (-)

Ekstremitas
Ekstremitas Superior Dextra Akral Hangat (+), Edem (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)
Ekstremitas Superior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)
Ekstremitas Inferior Dextra Akral Hangat (+), Edema (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)
Ekstremitas Inferior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)
sianotik (-) clubbing finger (-)

Terdapat papular pruritic eruption .

UKK : makula dan krusta hiperpigmentasi

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM

Tes HIV
Pemeriksaan Hasil Penderita
R1 ONCOPROBE REAKTIF
R2 INTEC-ONE STEP 1&2 REAKTIF
R3 VIKIA ½ REAKTIF

5
6

Pemeriksaan darah rutin tanggal 28 desember 2018 :


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 8,5 g/dl 12.00 – 14.00
Hematokrit 24,9 % 37.00 – 43.00
Leukosit 7,81 10^3/uL 5 -10
Trombosit 252 10^3/uL 150-300
Eritrosit 3,26 10^3/uL 4.0 – 5.0
MPW 7.6 Fl 6.5 – 12.00
PDW 9.2 P 9.0 – 17.0
MCV 74.4 Fl 80.0 – 97.0
MCH 26.1 pg 26.5 – 33.5
MCHC 34.1 g/dl 31.5 – 35.0
Neut % 88.2 % 50.0 – 70.0
Limfosit% 9.3 % 20.0 - 40.0
Monosit% 1.8 % 2.0 – 8.0
Eosinofil% 5.6 % 0.5 – 5.0
Basofil% 0.7 % 0.0 – 1.0
Creatinin 1.7 Mg/dl <1.4
Ureum 144 Mg/dl 10 – 50

6
7

RONTGEN THORAK

Rontgen lama

Kesan : TB Paru ( milier type )

Foto Rontgen tanggal 31 desember


2018

Kesan : TB paru ( milier type )

7
8

F. DIAGNOSIS KERJA
HIV/AIDS dengan anemia, TB putus obat, tinea corporis

G. TERAPI
- Diet MII
- Inf.Nacl 0,9% 20 tpm
- Inf. Kaen 3B / hari
- Ketokenazol 2x1
- Lacbon 2x1
- Cetirizine 2x1
- Asam folat 3x1
- Vit B6 3x1
- Tranfusi PRC 2 kolf /hari

H. HASIL FOLLOW UP
29-12- S/ Batuk (+) pilek (-) lidah kotor P/ Diet MII
2018 (+) mual (-) muntah (-) penurunan Inf.Nacl 0,9% 20 tpm
nafsu makan (+) BAB cair (+), Inf. Kaen 3B / hari
lender (-), krusta (+), gatal seluruh Ketokenazol 2x1
tubuh (+) Lacbon 2x1
O/ TD: 100/80 N: 75x/i Cetirizine 2x1
S: 36,8 RR: 20 Asam folat 3x1
KU: Sakit berat , CM Vit B6 3x1
Pf mata : CA (+/+), SI (-/-) Tranfusi PRC 2 kolf /hari
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh

8
9

(-/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/ Anemia on cronic
HIV
Tinea corporis
30-12- S/ Batuk (+) pilek (-) lidah kotor P/ Diet MII
2018 (+) mual (-) muntah (-) penurunan Inf.Nacl 0,9% 20 tpm
nafsu makan (+) BAB cair (+), Inf. Kaen 3B / hari
lender (-), krusta (+), gatal seluruh Ketokenazol 2x1
tubuh (+) Lacbon 2x1
O/ TD: 110/80 N: 82 Cetirizine 2x1
S: 36,5 RR: 20 Asam folat 3x1
KU: Sakit berat, CM Vit B6 3x1
K/L: CA (+/+), SI (-/-) Tranfusi PRC 2 kolf /hari
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh
(-/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/ Anemia on cronic
HIV
Tinea corporis

9
10

31-10- S/ Batuk (+) pilek (-) lidah kotor P/ Diet MII


2018 (+) mual (-) muntah (-) penurunan Inf.Nacl 0,9% 20 tpm
nafsu makan (+) BAB cair (+), Inf. Kaen 3B / hari
lender (-), krusta (+), gatal seluruh Ketokenazol 2x1
tubuh (+) Lacbon 2x1
O/ TD: 110/80 N: 82 Cetirizine 2x1
S: 36,5 RR: 20 Asam folat 3x1
KU: Sakit berat, CM Vit B6 3x1
K/L: CA (+/+), SI (-/-)
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh
(-/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/ Anemia on cronic
HIV
Tinea corporis

10
11

01-01- S/ Batuk (+) pilek (-) lidah kotor P/ Diet MII


2019 (+) mual (-) muntah (-) penurunan Inf.Nacl 0,9% 20 tpm
nafsu makan (+) BAB cair (+), Inf. Kaen 3B / hari
lender (-), krusta (+), gatal seluruh Ketokenazol 2x1
tubuh (+) Lacbon 2x1
O/ TD: 110/80 N: 82 Cetirizine 2x1
S: 36,5 RR: 20 Asam folat 3x1
KU: Sakit berat, CM Vit B6 3x1
K/L: CA (+/+), SI (-/-)
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh
(-/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/ Anemia on cronic
HIV
Tinea corporis

02-01- S/ Batuk (+) pilek (-) lidah kotor P// Diet MII
2019 (+) mual (-) muntah (-) penurunan Inf.Nacl 0,9% 20 tpm
nafsu makan (+) BAB cair (+), Inf. Kaen 3B / hari
Hb: 11,4 lender (-), krusta (+), gatal seluruh Ketokenazol 2x1
Hct:34,7 tubuh (+) Lacbon 2x1
L : 13,68 O/ TD: 110/80 N: 82 Cetirizine 2x1
S: 36,5 RR: 20 Asam folat 3x1
KU: Sakit berat, CM Vit B6 3x1

11
12

K/L: CA (+/+), SI (-/-)


Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh
(-/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-)
Eks: oedem tungkai (-/-)
A/ Anemia on cronic
HIV
Tinea corporis

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. HIV / AIDS
A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus
golongan rotavirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia
dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari

12
13

sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih
tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker
atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena
berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya
berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada
orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara
1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang
terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin
lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai
nol(Djoerban,2006)
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency
Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat
menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV.
Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari
serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan
atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Djoerban,2006)

B. Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.
Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar
(envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein
gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul
CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag.
Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV

13
14

dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA
dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).
Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-
masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing
subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua
grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih
ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1(Djauzi,2010)

C. Cara penularan
Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik
Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi
HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan
semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap
pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan
HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks
dan jenis hubungan seks. Orang yang sering berhubungan seksual
dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko
tinggi terinfeksi virus HIV.
1.1. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas
homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua
golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual
dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra
seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap
HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara
anogenital.
1.2. Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui


hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak

14
15

adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang
mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksual
2.1 Transmisi Parenral
2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya
(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan
narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara
bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu.
Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
2.1.2. Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-
negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi
melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah
diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat
trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
2.2. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu
hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu
ibu termasuk penularan dengan resiko rendah( Yunihastuti, 2008)

D. Patogenesis

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu


secara vertical, horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai
sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda tajam
yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak
langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada
kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik,

15
16

4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah.
Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala
dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri
kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk,
dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase
ini terjadi penurunan CD 4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load.
Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian
turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya
infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat.
Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan
dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih
cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke
stadium AIDS

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel
yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan
reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV perlu
berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat pada
permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel dendrit,
astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan
chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain
yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan
diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran
gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi
sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk
ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV
melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase
akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA.
Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse
transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran DNA
yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel,
menyatu dengan kromosom host dengan perantara enzim integrase.
Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk

16
17

melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif


ini disebut sebagai keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini
memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh inductor
seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu nuclear
factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long
terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai
elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi
replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara
intervensi dari mikroorganisme lain., misalnya bakteri, jamur,
protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling
cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus
DNA.

Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang


secara stuktur berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA
keluar dari nucleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan
polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti
virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk
tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh
enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru
dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host,
sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan
keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu
hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus
baru.

Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan


semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV
mengalami penurunan jumlah Limfosit T-CD4 melalui beberapa
mekanisme :

1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran


plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion.

17
18

Akumulasi DNA virus yang tidak terintegritasi dengan nucleus akan


menggangu sintesis makromolekul.
2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antar membran sel yang
terinfeksi HIV dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi
3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini
dapat menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi
dan sel normal sekitarnya.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang
berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi(4).
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120
dengan reseptor CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk
menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis ( Merati,2006)

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan


imun yang intensif. Sel-sel B meng hasilkan antibodi-antibodi spesifik
terhadap berbagai protein virus. Ditemukan antibodi netralisasi
terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal
gp41. Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya,
enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di dalam darah
dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun
imunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan menurunnya titer IgM,
titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang infeksi.
Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan dalam uji HIV.
Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi
awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan
setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau
menimbulkan perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.

Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T


CD+ diaktifkan oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan
berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang membantu

18
19

merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel


plasma. Sel-sel plasma ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang
spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin IL-2 hanyalah
salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi respons imun baik
humoral maupun selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan
potensi fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus diteliti, namun
sitokin jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai contoh,
penambahan sitokin IL-12 (faktor stimulasi sel NK) tampaknya
melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang terjadi
pada infeksi HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam
keadaan normal sel-sel inilah yang mengenali dan menghancurkan sel
yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan perforin yang serupa
dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.

Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh
virus dan mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel.
Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat hebat pada awal infeksi HIV. Sel
CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit CD4+.
Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang yang
berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan
perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring
dengan perkembangannya penyakit. Dengan semakin beratnya
penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai hipotesis
tentang penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini
:

Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular


tidak terbantahkan. Limfosit CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin
yang memperlancar proses-proses misalnya produksi imunoglobulin
dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik
yang dihasilkan oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan
penting dalam imunitas selular. Pada kondisi normal, limfosit CD4+
mengeluarkan interferon gama yang menarik makrofag dan

19
20

mengintensifkan reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila


limfosit CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon
gama akan menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja
produksi sel plasma tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel
CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit CD4+.

Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum


diketahui, namun dapat diajukan argumen-argumen untuk berbagai
hipotesis seperti apoptosis, anergi, pembentukan sinsitium, dan lisis
sel. Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity (ADCC,
sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai oleh
komplemen) mungkin salah satu efek imun humoral yang membantu
menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi
terhadap dua glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-
sel seperti sel NK kemudian bertindak untuk mematikan sel yang
terinfeksi.

Apoptosis adalah salah satu dari beberapa teori yang diajukan


untuk menjelaskan berkurangnya secara mencolok limfosit CD4+
dalam darah sepanjang perjalanan penyakit HIV. Banyak limfosit
CD4+ tampaknya melakukan ‘bunuh diri’ saat dirangsang oleh suatu
bahan pengaktif atau oleh gangguan pada sinyal pengaktif (Gougeon,
Montagnier, 1993). Limfosit CD4+ juga mungkin tidak mampu
membelah diri sehingga timbul fenomena yang disebut anergi. Teori
lain menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium.
Pada pembentukan sinsitium terinfeksi berfusi dengan sel-sel yang
terinfeksi “the bystander effect” (“efek peluru nyasar”; Weiss, 1993)
sehingga mengeliminasi banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya,
menurunnya jumlah limfosit CD4+ mungkin disebabkan oleh
terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas;
virus-virus tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4+,
yang secara efektif mematikan sel tersebut(Brooks, 2012)

20
21

E. Diagnosis HIV
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV ,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu
dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana
kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis,
diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,
memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, Dari Anamnesis,
perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar
tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan
table 4).

Faktor risiko infeksi HIV

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan


- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki
(LSL) dan transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja
seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular
seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk
darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Daftar tilik riwayat pasien

21
22

Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan


tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-
kurangnya didapatkan dua gejala mayor yang berkaitan dengan 1
gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV, atau ditemukan
sarcoma Kaposi atau pneumonia yang mengancam jiwa yang
berulang.( Triana, 2009)

Gejala Mayor :

22
23

1. Berat badan turun lebih dari 10 % dalam 1 bulan


2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bukan
4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi
5. Demensia / ensefalopati HIV
Gejala Minor :

1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan


2. Dermatitis generalisata yang gatal
3. Herpes Zooster berulang
4. Kandidiosis Orofaring
5. Herpes Simpleks kronis progresif
6. Limfadenopati generalisata
7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

Pemeriksaan fisik

23
24

Pemeriksaan khusus untuk HIV :

1. Tes Antibody HIV


Tes ini berfungsi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Tes ini
dapat dilakukan dengan menggunakan tiga cara, yaitu ELISA
(Enzyme Link Immunobinding Assay), Aglutinasi, dan juga dot blot.
Bahan yang digunakan adalah serum, cairan plasma, darah, dan juga
liur. Metode yang paling sering digunakan adalah ELISA. Tetapi ada
beberapa hal yang harus diperhatikan bila menggunakan tes Ab ini,
karena pada infeksi HIV, terdapat masa jendela atau window period.
Masa jendela adalah keadaan dimana jumlah Ab yang terbentuk
belum cukup untuk dapat terdeteksi di dalam darah, padahal virus
telah masuk di dalam tubuh, oleh karena itu hasilnya akan
menunjukkan negatif, Biasanya antibody dapat terdeteksi kurang
lebih 4-8 minggu setelah infeksi. Apabila tingkat kecuringaan
terhadap pasien tinggi, tes ini harus diulang 3 bulan lagi.

24
25

2. Deteksi Antigen
Deteksi antigen ini dapat berfungsi untuk :
 Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )
 Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar
terhadap HIV
Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :

 Jumlah Ag > Ab : pada stadium dini

F. Stadium Klinis HIV

Stadium klinis 1

 Asimtomatik
 Limfadenopati generalisata persisten

Stadium klinis 2

 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana


 Erupsi pruritik papular
 Infeksi virus wart luas

25
26

 Angular cheilitis
 Moluskum kontagiosum luas
 Ulserasi oral berulang
 Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat
dijelaskan
 Eritema ginggival lineal
 Herpes zoster
 Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis
media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis )
 Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3

 Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons


secara adekuat terhadap terapi standara
 Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih
)a
 Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari
37.5o C intermiten atau konstan, > 1 bulan) a
 Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama
kehidupan)
 Oral hairy leukoplakia
 Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
 TB kelenjar
 TB Paru
 Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
 Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
 Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk
bronkiektasis
 Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia
(<500/mm3) atau trombositopenia (<50 000/ mm3)

Stadium klinis 4b

 Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak


dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standara
 Pneumonia pneumosistis

26
27

 Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema,


piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali
pneumonia)
 Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1
bulan atau viseralis di lokasi manapun)
 TB ekstrapulmonar
 Sarkoma Kaposi
 Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
 Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
 Ensefalopati HIV
 Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV
pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan
 Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
 Mikosis endemik diseminata
(histoplasmosis, coccidiomycosis)
 Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
 Isosporiasis kronik
 Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
 Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV
yang simtomatik
 Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
 Progressive multifocal leukoencephalopathy
( Fauci, 2008)

G. Penatalaksanaan

27
28

Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar


yakni(Djauzi,2010) :

 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:


zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI)
seperti evafirens dan nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir,
nelvinavir, amprenavir.

No Nama Fungsi
Golongan

1 NRTI penghambat kuat enzim


(nucleoside reversetranscriptase dari RNA
reverse- menjadi DNA yang terjadi
transcriptase sebelum penggabungan DNA
inhibitor ) virus dengan kromosom sel
inang.

2 NNRTI (non- menghambat aktivitas enzim


nucleoside reverse-transcriptase dengan
reverse- mengikat secara langsung
transcriptase tempat yang aktif pada enzim
inhibitor tanpa aktivasi sebelumnya.
(NNRTI)

3 PI (Protease menghambat enzim protease


Inhibitor ) HIV yang dibutuhkan untuk
memecah prekursor poliprotein
virus dan membangkitkan
fungsi protein virus.

28
29

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan


seksama karena obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang.
Proses memulai terapi ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien
untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab
selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi
hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk
memulai terapi ARV.

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan
4 harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus
dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan
medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang
baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10.

Terapi pada ODHA dewasa

Jika tidak
Stadium Bila tersedia tersedia
Klinis pemeriksaan CD4 pemeriksaan
CD4

Terapi ARV
1 tidak
Terapi antiretroviral diberikan
dimulai bila CD4
<200 Bila jumlah
2 total limfosit
<1200

29
30

Jumlah CD4 200 –


350/mm3,
pertimbangkan
terapi sebelum CD4
<200/mm3.

Pada kehamilan
Terapi ARV
atau TB:
dimulai

 Mulai terapi ARV tanpa


3
pada semua ibu memandang

hamil dengan CD4 jumlah

350 limfosit total

 Mulai terapi ARV


pada semua ODHA
dengan CD4 <350
dengan TB paru
atau infeksi
bakterial berat
Terapi ARV
dimulai tanpa
4
memandang jumlah
CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya


terapi. Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4
berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan
disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan)(6).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus
dimulai belum dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang

30
31

berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat
dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh
diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di
daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat
untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau
munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat
apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan
bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia
sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4
kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai
terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum
diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan
teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada
pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 <
350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 <
350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA
dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja
dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar
virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu
keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan


infeksi oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau
diredakan dulu.

Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang


efektif selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka
pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII).
Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait
HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan

31
32

pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk


menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk
mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.

Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen


pengobatan ARV yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai
Highly Active AntiRetroviral Therapy atau HAART. Kombinasi ini
dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV
menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC)
namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti
oleh resistensi.

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama


berupa kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di
Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan
stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin
(NVP) dan efavirenz (EFZ).

Terapi ARV

32
33

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama


adalah AZT + 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada
pemberian AZT karena dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini,
kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP.
Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya
efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati
perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP
tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan
hamil karena EFZ tidak boleh diberikan Pemilihan ARV golongan
NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan
kekurangan masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang
tidak dianjurkan:

33
34

Pilihan obat ARV golongan NR

34
35

Tabel 13 : Kombinasi ARV

( Depkes, 2008 )

2. ANEMIA PADA HIV

1. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
(penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit (red cell count). (Bakta, 2009)

35
36

2. Etiologi anemia :
Penurunan kecepatan eritropoiesis
Kehilangan eritrosit berlebihan
Defisiensi kandungan hemoglobin dalam eritrosit

Berbagai penyebab anemia dapat dikelompokkan kedalam enam


kategori:
1. Anemia gizi defisiensi dalam diet suatu factor yang diperlukan
untuk eritropoiesis.
2. Anemia pernisiosaà ketidakmampuan saluran pencernaan menyerap
vitamin B12 dalam jumlah adekuat.
3. Anemia aplastik à kegagalan sumsum tulang untuk mengahasilkan
sel darah merah dalam jumlah yang adekuat, walaupun selama bahan
yang diperlukan untuk eritropoiesis tersedia.
4. Anemia ginjal disebabkan oleh penyakit ginjal. à karena
eritropoietin dari ginjal adalah stimulus utama untuk mendorong
eritropoiesis, sekresi eritropoietin yang tidak adekuat akibat penyakit
ginjal menyebabkan gangguan produksi sel darah merahà anemia
5. Anemia hemoragik à hilangnya darah dalam jumlah bermakna.
6. Anemia hemolitik à pecahnya eritrosit yang bersirkulasi dalam
jumlah besar.

3. Hubungan Anemia dengan HIV

Kebanyakan pasien yang menderita penyakit kronik mengalami


anemia. Anemia ini ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, kadar
transferin yang rendah atau normal, dan kadar feritin yang normal atau
tinggi. Disamping itu, kadar hemoglobin berkisar antara 7-12
g/dL. Anemia jenis ini paling sering ditemukan pada pasien lupus
eritematosus. Kini, anemia pada penyakit kronik disebut pula anemia
inflamasi (AI) akibat ditemukan gejala yang sama tanpa disertai penyakit
kronik pada orang yang lebih tua. Prevalensi AI menduduki peringkat
ketiga setelah anemia defisiensi besi dan talasemia.

Secara garis besar, AI dibagi menjadi beberapa kategori yaitu:

1.Infeksi: AIDS/ HIV, tuberkulosis, malaria, osteomielitis, abses kronik,


dan sepsis,

2.Inflamasi: arthritis rheumatoid, kelainan reumatologi, inflammatory


bowel disease, sindrom respons inflamasi sistemik,

36
37

3.Keganasan: karsinoma, myeloma multipel, limfoma,

4.Disregulasi sitokin: anemia akibat penuaan.


Penyebab utama dari AI adalah ketidakmampuan tubuh meningkatkan
produksi eritrosit. Ciri khas dari AI adalah disregulasi homeostasis besi
dimana terjadi pengambilan dan penyimpanan besi melalui sistem
retikuloendotelial. Dengan demikian, jumlah besi untuk sel progenitor
eritroid dan eritropoeisis tidak memadai.
Mekanisme pasti dari AI masih belum dimengerti. Dari beberapa
penelitian, AI pada arthritis rheumatoid melibatkan banyak faktor seperti
gangguan pelepasan besi oleh sistem fagositik mononuklear, besi yang
terikat kuat dengan protein, penurunan respons eritropoeitin, dan efek
supresif interleukin dalam eritropoeisis.

Adapun patogenesis dari AI adalah:

1.Destruksi eritrosit yang disebabkan oleh aktivasi faktor pejamu seperti


makrofag yang memfagosit yang eritrosit secara prematur. Hal ini
ditandai dengan ditemukannya eritrosit muda dalam jumlah besar.
Keterlibatan faktor ekstrinsik seperti toksin bakteri dan pengobatan
belum diketahui.

2.Resistensi dan inadekuasi eritropoetin. Penurunan produksi eritropoetin


disebabkan oleh efek inhibisi sitokin inflamasi seperti TNF alfa dan
interleukin 1. Inhibisi ini diperantarai oleh GATA 1 pada promoter
eritropoetin. Disamping itu, berdasarkan penelitian, terjadinya resistensi
dibuktikan melalui pasien dengan kadar eritropoetin yang
tinggi, memiliki hemoglobin yang rendah.

3.Keterbatasan besi sehingga menghambat eritropoeisis. Hal ini dapat


disebabkan oleh:

 Pengeluaran sitokin inflamasi yaitu IL-6 merangsang pengeluaran


hepsidin . Hepsidin ini akan menginduksi internalisasi serta degradasi
ferroportin, transpor keluar besi. Oleh karena itu, pengeluaran hepsidin
akan menghambat pengeluaran besi dari makrofag, hepatosit, dan
enterosit. Pada akhirnya, akan terjadi hipoferemia.
 Inhibisi absorpsi besi pada usus oleh IL-6 dan hepsidin selama
inflamasi. Setiap hari, 1-2 mg besi yang berasal dari makanan dibutuhkan
untuk eritropoeisis.
 Keterbatasan besi menyebabkan protoporfirin yang seharusnya
berikatan dengan besi untuk membentuk heme, lebih cenderung mengikat
zinc. Oleh karena itu, kadar protoporfirin-zinc meningkat pada pasien AI.

4.Kegagalan proliferasi sel progenitor eritroid terutama oleh efek inhibisi


interferon gamma. Selain itu, sitokin seperti NO yang diproduksi oleh
makrofag bersifat toksik terhadap sel progenitor.

37
38

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan


dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2010.

3. Fauci AS, Lane HC. 2008 Human Immunodeficiency Virus Disease:


AIDS and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,


Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2008.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2014 10 Sept].


Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Brooks, Geo. F., Butel, Janet S., dan Morse, Stephen A., 2012. AIDS dan
Lentivirus. Dalam: Sjabana, Dripa, ed. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika; 292-300.

8. Triana, Nunik, 2009. Jurnal Nasional: HIV/AIDS Kini Jadi Epidemi di


Indonesia, Jakarta. Diperoleh dari:
http://www.aidsindonesia.or.id/news.php?id_kategori=3&id_language=2&
id _pages=54&id_news=227.htm [Diakses 25 januari 2016]

9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. HIV/AIDS Ancaman


Serius Bagi Indonesia. Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jendral
Departemen Kesehatan. Diperoleh dari:
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=
32 43&Itemid=2 [Diakses 25 januari 2016]

38
39

10. Aghe NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow
failure syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill,
2009:617-25.

LAPORAN KASUS

39
40

SEORANG LAKI-LAKI USIA 28 TAHUN DENGAN HIV DAN


ANEMIA, CANDIDIASIS ORAL SERTA MALNUTRISI
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing: Y.M Agung Sp.PD

Disusun Oleh :
Kurnia Yuniati, S.Ked
J510155078

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

LAPORAN KASUS

40
41

SEORANG LAKI-LAKI USIA 28 TAHUN DENGAN HIV DAN


ANEMIA, CANDIDIASIS ORAL SERTA MALNUTRISI
Yang Diajukan Oleh:

Kurnia Yuniati, S Ked


J510155078

Telah disetujui dan dipertahankan dihadapan pembimbing bagian program


pendidikan profesi fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
pada tanggal .........................................

Pembimbing

dr. Y.M Agung Sp,PD, M.Kes (.................................)

Dipresentasikan Dihadapan

dr. Y.M Agung Sp,PD. M.Kes (.................................)

Disahkan Ketua Program Profesi

Nama : dr. Dona Dewi Nirlawati (.................................)

41

Anda mungkin juga menyukai