Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

Vitiligo sudah dikenal sejak dahulu dengan berbagai istilah. Kata vitiligo
berasal dari bahasa latin yakni vitellus yang berarti anak sapi. Disebabkan karena
kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah
vitiligo mulai diperkenalkan pertama kali oleh Celsus. Ia seorang dokter Romawi
pada abad kedua (Herperian, 2016). Vitiligo merupakan penyakit pigmentasi kulit
didapat dan tidak menular yang ditandai dengan karakteristik bercak putih berbagai
ukuran dan mengalami peningkatan jumlah dan ukuran. Pada gambaran histologis
menunjukkan hilangnya melanosit dan melanin pada lesi bercak putih (Moretti,
2003).

Vitiligo disebabkan oleh faktor genetik dan non genetik yang berdampak
pada kehilangan atau menurunnya ketahanan fungsi melanosit dan proses ini
merupakan peristiwa autoimun (Jacoeb, 2017). Prevalensi vitiligo cukup konsisten
di antara populasi yang berbeda: ∼0.38% di Kaukasia, 0,34% di Afro-Caribbeans,
2 0,46% di India, dan sedikit kurang di Han Cina, 0,093% . Vitiligo tampak
mempengaruhi kedua jenis kelamin sama, meskipun wanita yang paling banyak di
antara pasien mencari perawatan klinis. Hal ini mungkin dikatikan dengan
kosmetik. Vitiligo dapat berkembang pada usia berapa saja, dengan usia onset rata-
rata pada pasien Kaukasia dari sekitar 24 tahun. Subtipe yang paling umum , vitiligo
pada umunya adalah penyakit autoimun terkait dengan penyakit autoimun lainnya
di sekitar 20% -30% pasien, penyakit autoimun yang paling sering yaitu penyakit
autoimun tiroid (tiroiditis Hashimoto atau Grave's penyakit), rheumatoid arthritis,
psoriasis, diabetes tipe 1 (biasanya onset dewasa), anemia pernisiosa, sistemik
(Birlea dkk, 2012).

Patogenesis dari vitiligo masih belum diketahui dengan pasti. Namun dari
berbagai teori pathogenesis, yang paling disepakati yaitu faktor genetic dan non-
genetic yang berinteraksi mempengaruhi fungsi dan ketahanan melanosit yang
kenyataannya merupakan peristiwa autoimun yang merusak sel melanosit (Birlea

1
dkk, 2012). Bentuk dan gejala yang paling umum dari vitiligo yaitu makula
amelanosis yang dilapisi kulit normal dikenal dengan bercak depigmentasi pada
kulit. Makula-makula tersebut memiliki warna yang seragam yaitu putih susu atau
layaknya seperti kapur. Awalnya bercak putih kecil namun semakin lama semakin
membesar. Lesi kulit dominan terdapat di wajah, tangan, dan pergelangan tangan
atau ada juga yang menyebutkan pada daerah yang terpapar sinar matahari.
Biasanya pasien yang menderita penyakit ini juga mengalami depresi (Ghafourian
dkk, 2014).

Prinsip penatalaksanaan dari vitiligo yaitu memfasilitasi repopulasi dari


melanosit dari bercak-bercak depigmentasi pada interfolikular epidermis dengan
melanosit aktif yang dapat bermigrasi, bertahan untuk repopulasi melanosit pada
kulit yang mengalami depigmentasi, dan melakukan biosintesis melanin. Sumber
utama melanosit yang terlibat dalam repopulasi kulit vitiligo yaitu precursor
melansit yang berasar dari Outer Root Sheath (ORS) atau bulge area dari folikel
rambut. Pendekatan lainnya yaitu dengan menggolongkan menjadi terapi lini
pertama dan kedua, untuk menghambat respon imun dalam vitiligo, sehingga
mengurangi kerusakan melanosit, dan juga meningkat repopulasi epidermal oleh
melanosit, keduanya merangsang pemulihan melanosit yang rusak dan dengan
mengaktifkan kembali melanosit atau merangsang melanosit di sekitar lesi (kulit
normal atau folikel rambut) untuk bermigrasi (Birlea dkk, 2012).

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Vitiligo sudah dikenal sejak dahulu dengan berbagai istilah. Kata vitiligo
berasal dari bahasa latin yakni vitellus yang berarti anak sapi. Disebabkan
karena kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak
putih. Istilah vitiligo mulai diperkenalkan pertama kali oleh Celsus. Ia seorang
dokter Romawi pada abad kedua (Herperian, 2016).

Vitiligo merupakan penyakit pigmentasi yang tidak menular yang ditandai


dengan bercak putih dengan berbagai ukuran dan dimensi, peningkatan ukuran
dan jumlah seiring berjalannya waktu. Pada pemeriksaan histopatologi
menunjukan hilangnya sel melanin dan melanosit pada lesi bercak putih
(Moretti, 2003).

Gambar 2.1 Vitiligo

3
2.2 Epidemiologi
Prevalensi vitiligo cukup konsisten di antara populasi yang berbeda: 0.38%
di Kaukasia, 0,34% di Afro-Caribbeans, 0,46% di India, dan sedikit kurang di
Han Cina, 0,093% . Vitiligo tampak mempengaruhi kedua jenis kelamin sama,
meskipun wanita yang paling banyak di antara pasien mencari perawatan klinis.
Hal ini mungkin dikatikan dengan kosmetik. Vitiligo dapat berkembang pada
usia berapa saja, dengan usia onset rata-rata pada pasien Kaukasia dari sekitar
24 tahun. Subtipe yang paling umum, yaitu vitiligo generalisata adalah penyakit
autoimun terkait dengan penyakit autoimun lainnya di sekitar 20% -30% pasien,
penyakit autoimun yang paling sering yaitu penyakit autoimun tiroid (tiroiditis
Hashimoto atau Grave's penyakit), rheumatoid arthritis, psoriasis, diabetes tipe
1 (biasanya onset dewasa), anemia pernisiosa, sistemik (Birlea dkk, 2012).
Prevalensi vitiligo diperkirakan kurang dari 1%, namun data ini berubah-
ubah menurut populasi yang dinilai. Vitiligo dapat menyerang semua bangsa,
ras, dan kelamin, namun pada ras kulit gelap vitiligo lebih diperhatikan.
Penderita vitiligo antara perempuan dan laki-laki sama banyak namun pasien
perempuan lebih banyak mengunjungi dokter daripada laki-laki. Kelainan ini
dapat timbul pada semua umur, studi di Belanda disebutkan 25% muncul
sebelum umur 10 tahun, 50% sebelum umur 20 tahun dan 95% sebelum umur
40 tahun. Vitiligo dengan riwayat keluarga sekitar 6,25%-38% kasus (Jacoeb,
2017).
Prevalensi vitiligo pada populasi diperkirakan berkisar dari 0,1%-0,2% dan
menunjukan adanya variasi yang luas diantara kelompok etnis yang berbeda.
Prevalensi vitiligo pada populasi Kaukasia di Amerika Serikat dan Eropa Utara
diperkirakan sebesar 0,38%, sedangkan populasi di Cina diperkirakan sebesar
0,19%. Berdasarkan data rekam medis pasien vitiligo di Divisi Kosmetik
Medik Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada tahun 2009-2011, dari total 21.045 pasien yang periksa
ke Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin didapatkan 330 pasien
vitiligo (Rahmayanti dan Rahmadewi, 2016).
Menurut data dari penelitian Rahmayanti dan Rahmadewi (2016), jumlah
pasien baru vitiligo yang datang ke Divisi Kosmetik Medik Unit Rawat Jalan

4
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamind RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode
2012-2014 adalah 188 pasien, yaitu 1,1% dari total kunjungan di Divisi
Kosmetik Medik (17.525 pasien) dan 0,2% dari total kunjungan URJ Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin (75.765 pasien). Jumlah kunjugan terbanyak pada
tahun 2013 (70 pasien) dan paling sedikit tahun 2012 (51 pasien). Hasil
penelitian retrospektif ini menunjukan tidak sesuainya dengan beberapa
literature yang sering mengaitkan vitiligo dengan penyakit autoimun, terutama
penyakit autoimun pada tiroid. Hal ini nampaknya berhubungan dengan
manifestasi klinis kelainan tiroid yang asimtomatis sehingga pasien tidak
menyadari adanya penyakit lain selain vitiligonya. Penelitian yang dilakukan
Nunes dkk menyatakan bahwa kelainan tiroid dan penyakit tiroid autoimun
berhubungan dengan vitiligo dan timbulnya dua penyakit diatas lebih sering
terjadi pada pasien vitiligo dibandingkan orang sehat. Penelitian tersebut
menyebutkan bahwa prevalensi kelainan tiroid dan penyakit tiroid autoimun
sebesar 4,4% dan 21% adapun kasus hipotiroid ditemukan 12% pada kasus
vitiligo. Selain itu disebutkan pula bahwa 18 pasien (9,6%) memiliki penyakit
lain, yaitu terbanyak merupakan penyakit stress emosional pada 26 pasien
(78,8%). Data ini sesuai dengan penelitian Al-Rubaiy dkk mengenai stress
psikologis sebagai faktor pencetus pada 54% pasien vitiligo dan beberapa
penyakit kulit lainnya.

2.3 Etiologi dan Patogenesis


Patogenesis dari vitiligo masih belum diketahui dengan pasti. Namun dari
berbagai teori patogenesis, yang paling disepakati yaitu faktor genetik dan non-
genetik yang berinteraksi mempengaruhi fungsi dan ketahanan melanosit yang
kenyataannya merupakan peristiwa autoimun yang merusak sel melanosit
(Birlea dkk, 2012). Penjelasan mengenai pathogenesis lainnya terkait dengan
kerusakan sel melanosit yaitu :

5
1) Genetik pada vitiligo
Hampir seluru studi genetika terfokus pada vitiligo generalisata, dimana
telah diindentifikasi sedikitnya 10 lokus yang berbeda. Tujuh dari 10 yang
dijumpai terkait dengan penyakit autoimun lainnya (antara lain: HLA kelas
I dan II, PTPN22, LPP, NALP1, TYR yang mengkode tirosinase yang
merupakan enzim penting dalam sintesis melanin). Pada tipe segmental
diduga adanya mutasi gen mosaik de novo bersifat sporadis (Jacoeb, 2017).
Pada vitiligo segmental (SV) secara genetik tampak berbeda dari vitiligo
generalisata (GV). Secara umum vilitigo segmental terjadi sporadik dan
distribusinya unilateral dimana hal ini menunjukan mungkin merupakan
hasil dari mutasi de novo dari somatic mosaicism (Birlea dkk, 2012).
2) Hipotesis autoimun
Ditemukannya aktivitas imunitas humoral berupa antibodi anti
melanosit yang mampu membunuh melanosit secara in vitro maupun in
vivo. Sekarang aktivitas humoral ini lebih diduga sebagai respon sekunder
terhadap melanosit yang rusak dibandingkan dengan respon primer
penyebab vitiligo generalisata. Pada tepi lesi vitiligo generalisata ditemukan
adanya sel T sitotoksik yang mengkespresikan profil sitokin tipe 1 (Jacoeb,
2017). Terdapat bukti biologis yang mendukung dasar autoimun untuk
vitiligo generalisata. Vitiligo generalisata secara epidemiologi dikaitkan
dengan beberapa penyakit autoimun lainnya pada keluarga dekat mereka,
yang menunjukan diathesis autoimun yang diwariskan. Imunitas humoral
pertama kali terlibat dalam temuan beberapa kasus sirkulasi antimelanosit
autoantibodi yang menargetkan beberbagai antigen melanosit termasuk
tyrosinase, tyrosinase-related protein, dopachrome tautomerase dan lainnya
yang dapat membunuh melanosit in vitro dan in vivo (Birlea, 2012).

6
3) Hipotesis biokimia
Kerusakan mitokondria mempengaruhi terbentuknya melanocyte growth
factor dan stiokin peregulasi ketahanan melanosit. Keadar antioksidan
biologic pada vitiligo: katalase dan glutation peroksidase berkurang,
disebabkan kadar H2O2 epidermis yang meningkat. Bukti hisopatologis
menunjukan adanya kerusakan yang diperantarai stress oxidative berupa
degenerasi vakuol (Jacoeb, 2017). Pada temuan biokimia esensial
ditemukan peningkatan kadar H2O2 yang mempengaruhi lapisan epidermis,
dimana mungkin menyebabkan berkurangnya kapasitas enzimatik
antioksidan dari keratinosit dan melanosit (Birlea, 2012).
2.4 Manifestasi Klinis
Bentuk dan gejala yang paling umum dari vitiligo yaitu makula
amelanosis yang dilapisi kulit normal dikenal dengan bercak depigmentasi
pada kulit. Makula-makula tersebut memiliki warna yang seragam yaitu
putih susu atau layaknya seperti kapur. Awalnya bercak putih kecil namun
semakin lama semakin membesar. Lesi kulit dominan terdapat di wajah,
tangan, dan pergelangan tangan atau ada juga yang menyebutkan pada
daerah yang terpapar sinar matahari. Biasanya pasien yang menderita
penyakit ini juga mengalami depresi (Ghafourian dkk, 2014). Prinsip
manifestasi klinis dari vitiligo yaitu adanya penampilan makula putih seperti
susu dengan depigmentasi yang homogen dan batas yang jelas.
Vitiligo sering muncul pada daerah yang terpapar sinar matahari, lipatan
tubuh, dan area periorifisial walaupun di bagian tubuh lainnya dapat terjadi.
Beberapa faktor pencetus yang dikemukakan termasuk trauma fisik pada
kulit, panas matahari, stress psikologis, inflamasi, kehamilan, kontrasepsi,
defisiensi vitamin, dan banyak lainnya. Namun hingga saat ini belum
terbukti adanya lingkungan spesifik yang memicu terjadinya vitiligo.
Vitiligo juga mungkin terjadi pada kulit yang mengalami trauma fisik
(Koebner phenomenon) (Birlea dkk, 2012).

7
Gambar 2.2 Fenomena Kobner

2.5 Klasifikasi Vitiligo

Berdasarkan penyebaran, perluasan, dan jumlah bercak putihnya, vitiligo


diklasifikasikan menjadi generalisata (vulgaris, acrofacial, dan campuran) dan
lokalisata (focal, segmental, dan mucosal) (Birlea dkk, 2012)

Vitiligo
Vitiligo Lokalisata Vitiligo Generalisata
Universalis
1 Fokalis: hanya satu atau lebih Akrofasial: distal Depigmentasi
makula dalam satu area tetapi ekstremitas dan wajah >80%
tidak jelas segmental atau
zosteriformis
2 Segmentalis: satu atau lebih Vulgaris: makula tersebar
makula dengan pola pada seluruh tubuh dengan
quasidermatomal pola distribusi asimetris
3 Mukosa: hanya mengenai Campuran akrofasial dan
daerah mukosa vulgaris, dam segmentalis
Tabel 2.Tabel 2.1 Klasifikasi vitiligo menurut Ortonne, 2983 (Jacoeb,
2017).

a. Vitiligo Fokalis
Biasanya berupa makula soliter atau beberapa makula tersebar pada satu
area. Biasanya ditandai dengan adanya lesi satu atau sedikit makula pada
suatu area namun tidak terdistribusi secara pola segmental.

8
Gambar 2.3 Vitiligo fokalis
b. Vitiligo Segmental
Vitiligo segmental adalah varian yang terbatas pada satu sisi segmen dan
jenis ini jarang dijumpai. Kebanyakan pasien memiliki gambaran segmental
berupa lesi tunggal yang khas, namun juga menempati dua atau lebih
segimen satu sisi, berlawanan atau mengikuti distribusi dermatomal
(Jacoeb, 2017).

Gambar 2.4 Vitiligo Segmental


c. Vitiligo akrofasial
Depigmenatasi pada jari-jari bagian distal dan area periorifisium, distal
ekstremitas dan wajah.

9
Gambar 2.5 Vitiligo Akrofasial

d. Vitiligo Generalisata (Vulgaris)


Vitiligo generalisata disebut juga vitiligo vulgaris, merupakan tipe yang
paling sering dijumpai. Patch depigmentasi meluas dan biasanya memiliki
distribusi yang simetris. Vitiligo vulgaris merupakan depigmentasi kronis
yang dapat ditandai dengan makula putih susu homogen berbatas tegas.

Gambar 2.6 Vitiligo Vulgaris

10
e. Vitiligo Universal
Vitiligo universal ditandai dengan makula dan bercak depigmentasi
meliputi hampir seluruh tubuh (>80%)

Gambar 2.7 Vitiligo Universalis

2.6 Diagnosis
Vitiligo mudah dikenali, sehingga diagnosis dapat ditegakkan sukup secara
klinis. Bila gambaran klinis tidak khas dibutuhkan rujukan pendapat ahli. Lampu
wood dapaat membantu lebih jelas luas hipopigmentasi ataupun repigmentasi
dibandingkan dengan mata biasa. Adanya hubungan dengan tiroid mempunyai
prevalensi yang tinggi maka diperlukan pemeriksaan TSH dan kadar tiroid.
Menurut Jacoeb dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 2017) perlu
dikenali faktor pencetusnya, baik endogen maupun eksogen.
a. Faktor-faktor endogen :
1) Faktor genetic, sebanyak 18-35% pasien memiliki pola familial.
2) Tekanan emosional berat: kehilangan orang yang dicinta,
kehilangan pekerjaan, perceraian.
3) Penyakit-penyakit internal seperti gangguan autoimun, misalnya:
tiroid, anemia pernisiosa, diabetes mellitus.
b. Faktor-faktor eksogen :
Sebanyak 40% pasien vitiligo diawali dengan trauma fisik yang dialami,
misalnya : garukan, pembengkakan, benturan, laserasi dan luka bakar. Fenomena
Kobner mendasar peristiwa ini.

11
Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi sangat jarang diperlukan untuk menegakkan


diagnosis vitiligo. Secara umum, histologi menunjukkan hilangnya melanosit dari
epidermis pada area lesi (Birlea dkk, 2012). Tanda spesifik adalah kehilangan
melanin dan melanosit, dalam pemeriksaan histopatologi yang diwarnai dengan
Fontana Masson atau DOPA, kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi makula.
Reaksi DOPA untuk melanosit negatif pada daerah apigmentasi, tetapi meningkat
pada tepi yang berpigmentasi (Utama, 2015).

Laboratorium
Mengingat adanya hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun lainnya,
skrinning tes laboratorium sangat membantu, termasuk T4 dan tingkat TSH,
antibody antinuclear, dan darah lengkap. Sebagai dokter seharusnya juga
mempertimbangkan antithyroglobulin dan antitiroid peroxidase antibodi,
khususnya ketika pasien memiliki tanda dan gejala dari penyakit tiroid (Birlea dkk,
2012).
2.7 Diagnosis Banding

Berikut merupakan diagnosis banding vitiligo yaitu : ptiriasis versikolor,


piebaldisme, hipomelanosis gutata, ptiriasis alba, Von Waardenbrug Syndrome,
nevus depigmentosus, nevus anemikus, tuberous sklerosus, inkontinensia pigmenti,
hipopigmentasi pasca inflamasi, leukoderma pasca infeksi (Jacoeb, 2017).
Untuk hipopigmentasi pasca inflamasi biasanya pasien memiliki riwayat
dermatosis sebelumnya. Pada kelompok penyakit infeksi seperti ptiriasis versikolor
sebelum terjadi hipopigmentasi biasanya diawali dengan makula eritema, skuama
yang halus, dan tersebar pada diskret atau konfluen, dan terutama pada badan
bagian atas. Ptiriasis versikolor biasanya diderita oleh dewasa muda dan remaja,
jarang pada anak. Pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan hifa dan spora.
Pemeriksaan lampu wood dapat memperlihatkan fluoresensi kekuningan akibat
metabolit asam dikarboksilat yang digunakan sebagai petunjuk ptiriasis versikolor
dan mendetksi area lesi (Jacoeb, 2017).

12
Untuk vitiligo lokalisata diagnosis banding yaitu nevus depigmentosus dimana
terdapat hipopigmentasi dengan lesi soliter dengan batas yang tidak jelas, ukuran
yang tetap. Sedangkan pada nevus anemicus terdapat hypochromic lesi dengan
batas yang jelas dan soliter. Pada pemeriksaan histologi tidak ada kelainan
melaonosit (Birlea dkk, 2012).
Pada ptiriasis alba yaitu adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang
menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi. Biasanya tersering
dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun. Dimulai dengan eritema, kemudian
menghilang, lesi yang dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus (Jacoeb,
2017).
Vitiligo sering berhubungan dengan penyakit autoimun. Prevalensi yang paling
berhubungan dengan endorinopati adalah disfungsi tiroid, baik hipertiroid (Grave
diseases) atau hipotiroid (Hashimoto tiroiditis) yang biasanya didahului dengan
onset disfungsi tiroid. Penyakit addison, anemia pernisiosa, alopesia areata, dan
diabetes melitus juga sering terjadi peningkatan pada pasien dengan vitiligo
(Utama, 2015).
Sindrom Waardenburg merupakan suatu kelainan bawaan yang jarang
ditemukan bersifat autosomal yang diturunkan secara genetik. Kelainan ini ditandai
dengan defek pigmentasi dari rambut dan mata, gangguan pendengaran (tuli
kongenital), dan perkembangan kraniofasial yang abnormal. Gejala lain yang dapat
terjadi adalah rambut yang memutih disekitar dahi (white forelock), rambut
memutih sebelum usia 30 tahun (premature hair graying), congenital leukoderma,
synophyrys (bertemunya kedua alis mata yang tebal). Pada piebaldisme yaitu
merupakan kelainan autosomal dominan dari perkembangan melanosit yang
ditandai dengan jambul putih (white forelock), hipopigmentasi simetris multiple.
Biasanya lesi stabil dan tidak adanya melanosit pada lesi, mempengaruhi bagian
depan tubuh dan anggota gerak bagian tengah, tangan, dan kaki. Poliosis
merupakan bentuk yang paling umum. Piebaldisme tidak dikaitkan dengan tuli.
(Birlea dkk, 2012).

13
Gambar 2.8 Diagnosis banding vitiligo

Gambar 2.9 Pitiriasis versikolor

14
Gambar 2.10 Pitiriasis Alba

Gambar 2.11 Sindrom Waardenburg

15
Gambar 2.12 Piebaldisme

2.8 Penatalaksanaan

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, kompetensi


dokter pelayanan primer dalam vitiligo yaitu dalam kompetensi 3A dimana mampu
mendiagnosis dan memberikan tatalaksana awal serta merujuk pada pelayanan
kesehatan sekunder. Tatalaksana yang dapat diberikan dalam layanan primer yaitu
: edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien, memberi informasi untuk
menghindari pemicu yang dapat memperparah keadaan seperti terpapar cahaya
matahari dan trauma, memberikan kortikosteroid topical yang berguna untuk
mengadakan repigmentasi, dan merujuk ke pelayanan sekunder dalam hal ini adalah
dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin (Herperian, 2016).
Prinsip penatalaksanaan dari vitiligo yaitu memfasilitasi repopulasi dari
melanosit dari bercak-bercak depigmentasi pada interfolikular epidermis dengan
melanosit aktif yang dapat bermigrasi, bertahan untuk repopulasi melanosit pada
kulit yang mengalami depigmentasi, dan melakukan biosintesis melanin. Sumber
utama melanosit yang terlibat dalam repopulasi kulit vitiligo yaitu precursor
melansit yang berasar dari Outer Root Sheath (ORS) atau bulge area dari folikel
rambut. Pendekatan lainnya yaitu dengan menggolongkan menjadi terapi lini
pertama dan kedua, untuk menghambat respon imun dalam vitiligo, sehingga
mengurangi kerusakan melanosit, dan juga meningkat repopulasi epidermal oleh
melanosit, keduanya merangsang pemulihan melanosit yang rusak dan dengan

16
mengaktifkan kembali melanosit atau merangsang melanosit di sekitar lesi (kulit
normal atau folikel rambut) untuk bermigrasi (Birlea dkk, 2012).
Menurut Birlea dkk dalam buku Fitzpatrick Dermatology in General Medicine
edisi 8 (2012), mengelompokkan terapi vitiligo dan algoritma terapi sebagai
berikut :
Topical Fisikal Sistemik Bedah
Ultraviolet B
Kortikosteroid
Lini (Narrowband)
Calcineurin
pertama Sistemik Psoralen dan
inhibitor
ultraviolet A (PUVA)
Grafting
Topikal PUVA Kortikosteroid
Lini kedua Calcipotriol Transplantasi
Laser Excimer (pulse teraphy)
melanosit
Tabel 2.2 Terapi vitiligo

Gambar 2.13 Algoritma terapi vitiligo

17
Kortikosteroid

Pengobatan vitiligo dengan kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk


vitiligo lokalisata dan sangat dianjurkan untuk lesi kecil daerah wajah, juga pada
anak-anak. Pemakaian preparat ini menguntungkan pasien karena murah, mudah
penggunaannya dan efektif. Pemakaian kortikosteroid topical dengan potensi
sedang maupun kuat. Keberhasilan terapi terlihat dari repigmentasi perifolikuler
atau dari tepi lesi. Berbagai kortikosteroid topical telah digunakan, misalnya :
triamsinolon asetonid 0,1%, flusinolon asetat 0,01%, betametason valerat 0,1-0,2%,
halometason 0,05%, fluticasone propionate 0,05%, dan klobetasol propionate
0,05% (Jacoeb, 2017). Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan meta-
analisis luas yang termasuk uji coba kontrol acak (randomized controlled) dari 29
pasien yaitu kortikosteroid kelas 3 dan 4 merupakan terapi yang paling efektif untuk
vitiligo lokalisata. Lesi pada lokalisata dapat diobati dengan kortikosteroid fluorin
berkekuatan tinggi (misalnya, salep clobetasol propionate 0,05%) selama 1-2 bulan.
Perawatan secara bertahap diturunkan menggunakan kortikosteroid yang lebih
rendah (misalnya krim hidrokortison 0,1%). Hal yang perlu diperhatikan saat
menggunakan steroid topical di sekitar kelopak mata, karena dapat meningkatkan
peningkatan tekanan intraocular dan memperburuk pasien yang memiliki riwayat
glaucoma. Vitiligo kambuh setelah penghentian pengobatan dan efek samping
yang diinduksi oleh kortikosteroid misalnya atrofi kulit, telangiektasis, striae, dan
juga dermatitis kontak. Kombinasi terapi antara kortikosteroid + UVB,
kortikosteroid + inhibitor kalsineurin, kortikosteroid + vitamin D analog, mungkin
bermanfaat dalam beberapa kasus, sebagai dua agen bersama-sama dapat bekerja
secara sinergis terhadap restorasi pigmen dan berpotensi menimalkan efek samping.
Kortikosteroid sistemik telah digunakan pada pulse therapy dan untuk waktu yang
singkat untuk menghambat cepatnya perluasan dari depigmentasi pada beberapa
kasus vitiligo generalisata (Birlea dkk, 2012).

18
Psoralen dan UVA (PUVA)

PUVA merupakan pengobatan kombinasi psoralen sebagain photosensitizer


kimiawi dengan ultraviolet A (UVA). Pengobatan gabungan ini bertujuan untuk
meningkatkan efek dari terapi dari keduanya dibandingkan bila digunakan masing-
masing. Psoralen adalah furokumarin yaitu obat yang bersifat fotodinamik yang
berkemampuan menyerap energy radiasi. PUVA masih dipercaya untuk vitiligo
generalisata. Untuk mencegah efek fototoksik, pengobatan dilakukan 2-3 kali
seminggu. Psoralen yang digunakan adalah sediaan oral seperti metoksalen dengan
dosis 0,3-0,6 mg/kgBB, trioksalen dosis 0,6-0,9 mg mg/kgBB, ataupun bergapten
1,2 mg/kgBB dapat diminum 1,5-2 jam sebelum radiasi UVA. Pajanan UVA
dimulai dengan dosis 0,5 J/cm2 untuk semua tipe kulit dan meningkat 0,5 – 1 J/cm2.
Dengan mikroskop cahaya dan uji mikroskopik ultra, terlihat PUVA memicu
hipertofik, proliferasi, adanya aktivitas enzimatik melanosit pada bagian pinggir
lesi depigmentasi. Repigmentasi merupakan hasil migrasi pigmen dari tempat
terpicunya melanosit ke daerah depigmentasi. Kontraindikasi absolut untuk PUVA
adalah ibu hamil dan menyusui, kulit fototipe I, keganasan, sedang terapi
imunosupresan, klaustrofobia. Efek samping topical jangka pendek yaitu perbedaan
warna yang kontras antara kulit normal dan lesi depigmentasi pasce terapi,
fototoksisitas, pruritus, serotik, fenomena Kobner. Efek samping jangka panjang
berupa likenifikasi, deskuamasi, telangiktasia, lentingen, freckles, leukoderma
punctate (Jacoeb, 2017).

Gambar 2.14 Repigmentasi setelah terapi PUVA

19
Narrowband UVB

Mekanisme kerja pengobatan ini berdasarkan sifat imunomodulator yang


mengatur abnormalitas local maupun sistemik imunitas seluler dan humoral.
Seperti PUVA, Nb UVB juga menstimulasi melanosit yang terdapat pada lapisan
luar helai rambut. Dengan demikian repigmentasi terdapat pada perifolikuler tidak
ditemukan pada lesi putih amelanosis. Gelombang UVB spectrum sempit (310-315)
dan gelombang maksimal ada 311. Dosis awal yang dipakai untuk semua tipe kulit
yaitu 250 mj dan ditingkatkan 10-20% setiap kali pengobatan sampai lesi eritema
minimal pada lesi putih depigmentasi dalam 24 jam. Terapi dilakukan dua kali
seminggu, jangan dilakukan berturut-turut (Jacoeb, 2017). Keuntungan dari terapi
ini bila dibanding kan dengan PUVA yaitu waktu pengobatan yang lebih singkat,
efek samping yang lebih sedikit, tidak ada pemberian obat oral, tidak ada
kontraindikasi pada anak-anak atau wanita menyusui. Narrowband UVB
menyebabkan eritematosa lebih jarang dibandingkan broadband UVB (Morreti,
2003). Beberapa studi mengevaluasi psoralen dan UVA dibandingkan dengan NB-
UVB mengindikasikan NB-UVB memproduksi repigmentasi dalam rasio yang
lebih besar dan kecocokan warna yang lebih baik (Birlea dkk, 2012).

Terapi Depigmentasi

Bila vitiligo lebih dari 80% permukaan tubuh, maka terapi yang dibutuhkan
adalah membuat kulit seluruhnya menjadi putih. Agen pemutih misalnya
monobenzyl ether hidrokuinon (MBEH) yang sudah lama dipakai. Diperlukan
pengobatan setiap hari 1-3 bulang untuk memicu reaksi, namun agen ini tidak
tersedia di Indonesia (Jacoeb, 2017). Pada awal terapi MBEH dilakukan uji tempel
selama 48 jam untuk mengetahui ada atau tidaknya reaksi hipersensitivitas.
Selanjutnya, aplikasi dua kali sehari setidaknya selama satu tahun maka akan diikuti
depigmentasi yang ireversibel. Setelah dilakukan terapi depigmentasi ini, perlu
dilakukan perlindungan terhadap sinar matahari terhadap depigmentasi kulit untuk
mencegah penyakit kanker kulit nonmelanoma (Birlea dkk, 2012). Terapi
depigmentasi perlu dipertimbangkan untuk pasien dengan lesi bercak putih yang
melebih 80% luas permukaan tubuh yang terkena vitiligo. Pasien-pasien ini harus
diedukasi dan diinformasikan bahwa depigmentasi melanin residual adalah proses

20
permanen, sehingga setelah terapi mereka akan berada pada resiko sunburn atau
terpapar terik matahari. Zat yang umum digunakan adalah Monobenzylether
hyrdroquinone, sebuah melanocytoxic yang kuat sehingga mampu menginduksi
depigmentasi (Moretti, 2003).

Gambar 2.15 Sebelum terapi MBEH Gambar 2.16 Setelah 4 bulan terapi MBEH

Gambar 2.17 Setelah 6 bulan terapi MBEH Gambar 2.18 Setelah 8 bulan terapi MBEH

Sumber: Fitzpatrick edisi ke 8

21
Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan yang bisa dilakukan yaitu dengan skin graft. Skin graft
autolog adalah pilihan untuk repigmentasi pada pasien dengan vitiligo stabil yang
refrakter atau yang sebagian berespon terhadap perawatan medis dan secara umum
terbatas sejauh kurang dari 3% luas permukaan tubuh. Efek samping yang paling
sering yaitu infeksi, postinflamatory hiperpigmentasi, repigmentasi yang tidak
estetika, cobblestoning, dan jaringan parut. Terapi sinar UV umumnya
mempercepat dan meningkatkan repigmentasi ketika dikombinasikan dengan
metode pembedahan (Birlea dkk, 2012).

Terapi ini termasuk menggunakan minigrafting. Donor kulit dengan ketebalan


penuh 2 mm dikumpulkan dari kulit yang berpigmen normal dan ditransplantasikan
ke area yang mengalami depigmentasi. Kemudian area yang mengalami cangkok
diradiasi dengan UVA. Bekas luka dilokasi donor dan infeksi di tempat target
penerima mungkin bisa terjadi sebagai akibat dari efek samping (Moretti, 2003).

Terapi Psikologis

Beberapa uji menunjukan bahwa vitiligo mempunyai masalah psikologi yang


jelas. Gangguan yang muncul dapat berupa malu, gundah, frustasi, depresi sehingga
menimbulkan rasa kurang percaya diri, ketidak nyamanan kehidupan sosial,
seksual, pekerjaan, dan menjalankan hobi. Petugas kesehatan yang tidak
memberikan dukungan emosional maupun simpati, akan berdampak pada
kehidupan pasien yang merasa tidak diperhatikan oleh dokter (Jacoeb, 2017)

Bantuan psikologis mungkin bermanfaat untuk beberapa pasien. Mendengarkan


keluhan pasien, peduli, dan memberikan jaminan dengan saran tentang
kemungkinan terapi dan kapasitas perbaikan biasanya membantu pasien.
Pertimbangkan evaluasi dari psikiater untuk pasien yang menunjukan kurangnya
menghargai diri sendiri dan depresi (Birlea dkk, 2012).

22
2.8 Prognosis

Perjalanan penyakit vitiligo pada sesesorang tidak dapat diduga atau prediksi,
dapat stabil selama beberapa tahun, tetapi dapat pula membesar, sementara lesi lain
muncul atau menghilang. Repigmentasi spontan secara kosmetik memuaskan
pasien jarang terjadi, namun dapat terjadi terutama pada anak-anak tetapi juga tidak
menghilang sempurna, terutama pada daerah yang terpapar sinar matahari. Bintik
repigmentasi pada bercak menunjukan bahwa melanosit yang berasal dari lapisan
akar terluar pada folikel rambut memproduksi melanin (Utama, 2015).

23
BAB 3

KESIMPULAN

Vitiligo merupakan penyakit pigmentasi yang tidak menular yang ditandai


dengan bercak putih dengan berbagai ukuran dan dimensi, peningkatan ukuran dan
jumlah seiring berjalannya waktu. Pada pemeriksaan histopatologi menunjukan
hilangnya sel melanin dan melanosit pada lesi bercak putih (Moretti, 2003).
Patogenesis dari vitiligo masih belum diketahui dengan pasti. Namun dari berbagai
teori pathogenesis, yang paling disepakati yaitu faktor genetic dan non-genetic yang
berinteraksi mempengaruhi fungsi dan ketahanan melanosit yang kenyataannya
merupakan peristiwa autoimun yang merusak sel melanosit (Birlea dkk, 2012).
Bentuk dan gejala yang paling umum dari vitiligo yaitu makula amelanosis yang
dilapisi kulit normal dikenal dengan bercak depigmentasi pada kulit. Makula-
makula tersebut memiliki warna yang seragam yaitu putih susu atau layaknya
seperti kapur. Awalnya bercak putih kecil namun semakin lama semakin membesar.
Lesi kulit dominan terdapat di wajah, tangan, dan pergelangan tangan atau ada juga
yang menyebutkan pada daerah yang terpapar sinar matahari. Biasanya pasien yang
menderita penyakit ini juga mengalami depresi (Ghafourian dkk, 2014).
Penatalaksanaan vitiligo yaitu dengan menggolongkan menjadi terapi lini
pertama dan kedua, untuk menghambat respon imun dalam vitiligo, sehingga
mengurangi kerusakan melanosit, dan juga meningkat repopulasi epidermal oleh
melanosit, keduanya merangsang pemulihan melanosit yang rusak dan dengan
mengaktifkan kembali melanosit atau merangsang melanosit di sekitar lesi (kulit
normal atau folikel rambut) untuk bermigrasi (Birlea dkk, 2012).

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Birlea S.A, Spritz R.A., Norris D.A. Vitiligo, in : Freedberg I.M, Eisen A.Z,
Wolff K, Austen K.F, Goldsmith L.A, Katz S.I, Fitzpatrick T.B, eds.
Dermatology in General Medicine Eighth Edition, Part 1 “A”; 2012. Vol. 1. P.
792-803.
2. Ghafourian E, Ghafourian S, Sadghifard N, Mohebi R, Shokoohini Y,
Nezamoleslami S, dan Hamat RA. 2014. Vitiligo : Symptoms, Pathogenesis
and Treatment. International Journal of Immunopathology and Pharmacolody.
Vol. 27, NO. 4. Hal: 485-489
3. Herperian. 2016. Terapi Vitiligo pada Pelayanan Kesehatan Primer. J Medula
Unila. Vol. 4. No.3: 1-5.
4. Jacoeb, T. N. A. 2017. Vitiligo. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
FKUI catatan keempat 2017., edisi ketujuh., Hal 352-358.
5. Moretti, S. 2003. Vitiligo. Orphanet Encyclopedia. University of Florence.
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-vitiligo.pdf
6. Rahmayanti, ND dan Rahmadewi. 2016. Studi Retrospektif: Profil Pasien Baru
Vitiligo. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Surabaya: Universitas
Airlangga. Vol. 28. No. 2. Hal 52-58.
7. Utama, A. 2015. Gambaran Penyakit Vitiligo di RSUP Haji Adam Malik
Medan Tahun 2012-2014. Tugas Akhir. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

25

Anda mungkin juga menyukai