PENDAHULUAN
Vitiligo sudah dikenal sejak dahulu dengan berbagai istilah. Kata vitiligo
berasal dari bahasa latin yakni vitellus yang berarti anak sapi. Disebabkan karena
kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah
vitiligo mulai diperkenalkan pertama kali oleh Celsus. Ia seorang dokter Romawi
pada abad kedua (Herperian, 2016). Vitiligo merupakan penyakit pigmentasi kulit
didapat dan tidak menular yang ditandai dengan karakteristik bercak putih berbagai
ukuran dan mengalami peningkatan jumlah dan ukuran. Pada gambaran histologis
menunjukkan hilangnya melanosit dan melanin pada lesi bercak putih (Moretti,
2003).
Vitiligo disebabkan oleh faktor genetik dan non genetik yang berdampak
pada kehilangan atau menurunnya ketahanan fungsi melanosit dan proses ini
merupakan peristiwa autoimun (Jacoeb, 2017). Prevalensi vitiligo cukup konsisten
di antara populasi yang berbeda: ∼0.38% di Kaukasia, 0,34% di Afro-Caribbeans,
2 0,46% di India, dan sedikit kurang di Han Cina, 0,093% . Vitiligo tampak
mempengaruhi kedua jenis kelamin sama, meskipun wanita yang paling banyak di
antara pasien mencari perawatan klinis. Hal ini mungkin dikatikan dengan
kosmetik. Vitiligo dapat berkembang pada usia berapa saja, dengan usia onset rata-
rata pada pasien Kaukasia dari sekitar 24 tahun. Subtipe yang paling umum , vitiligo
pada umunya adalah penyakit autoimun terkait dengan penyakit autoimun lainnya
di sekitar 20% -30% pasien, penyakit autoimun yang paling sering yaitu penyakit
autoimun tiroid (tiroiditis Hashimoto atau Grave's penyakit), rheumatoid arthritis,
psoriasis, diabetes tipe 1 (biasanya onset dewasa), anemia pernisiosa, sistemik
(Birlea dkk, 2012).
Patogenesis dari vitiligo masih belum diketahui dengan pasti. Namun dari
berbagai teori pathogenesis, yang paling disepakati yaitu faktor genetic dan non-
genetic yang berinteraksi mempengaruhi fungsi dan ketahanan melanosit yang
kenyataannya merupakan peristiwa autoimun yang merusak sel melanosit (Birlea
1
dkk, 2012). Bentuk dan gejala yang paling umum dari vitiligo yaitu makula
amelanosis yang dilapisi kulit normal dikenal dengan bercak depigmentasi pada
kulit. Makula-makula tersebut memiliki warna yang seragam yaitu putih susu atau
layaknya seperti kapur. Awalnya bercak putih kecil namun semakin lama semakin
membesar. Lesi kulit dominan terdapat di wajah, tangan, dan pergelangan tangan
atau ada juga yang menyebutkan pada daerah yang terpapar sinar matahari.
Biasanya pasien yang menderita penyakit ini juga mengalami depresi (Ghafourian
dkk, 2014).
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Vitiligo sudah dikenal sejak dahulu dengan berbagai istilah. Kata vitiligo
berasal dari bahasa latin yakni vitellus yang berarti anak sapi. Disebabkan
karena kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak
putih. Istilah vitiligo mulai diperkenalkan pertama kali oleh Celsus. Ia seorang
dokter Romawi pada abad kedua (Herperian, 2016).
3
2.2 Epidemiologi
Prevalensi vitiligo cukup konsisten di antara populasi yang berbeda: 0.38%
di Kaukasia, 0,34% di Afro-Caribbeans, 0,46% di India, dan sedikit kurang di
Han Cina, 0,093% . Vitiligo tampak mempengaruhi kedua jenis kelamin sama,
meskipun wanita yang paling banyak di antara pasien mencari perawatan klinis.
Hal ini mungkin dikatikan dengan kosmetik. Vitiligo dapat berkembang pada
usia berapa saja, dengan usia onset rata-rata pada pasien Kaukasia dari sekitar
24 tahun. Subtipe yang paling umum, yaitu vitiligo generalisata adalah penyakit
autoimun terkait dengan penyakit autoimun lainnya di sekitar 20% -30% pasien,
penyakit autoimun yang paling sering yaitu penyakit autoimun tiroid (tiroiditis
Hashimoto atau Grave's penyakit), rheumatoid arthritis, psoriasis, diabetes tipe
1 (biasanya onset dewasa), anemia pernisiosa, sistemik (Birlea dkk, 2012).
Prevalensi vitiligo diperkirakan kurang dari 1%, namun data ini berubah-
ubah menurut populasi yang dinilai. Vitiligo dapat menyerang semua bangsa,
ras, dan kelamin, namun pada ras kulit gelap vitiligo lebih diperhatikan.
Penderita vitiligo antara perempuan dan laki-laki sama banyak namun pasien
perempuan lebih banyak mengunjungi dokter daripada laki-laki. Kelainan ini
dapat timbul pada semua umur, studi di Belanda disebutkan 25% muncul
sebelum umur 10 tahun, 50% sebelum umur 20 tahun dan 95% sebelum umur
40 tahun. Vitiligo dengan riwayat keluarga sekitar 6,25%-38% kasus (Jacoeb,
2017).
Prevalensi vitiligo pada populasi diperkirakan berkisar dari 0,1%-0,2% dan
menunjukan adanya variasi yang luas diantara kelompok etnis yang berbeda.
Prevalensi vitiligo pada populasi Kaukasia di Amerika Serikat dan Eropa Utara
diperkirakan sebesar 0,38%, sedangkan populasi di Cina diperkirakan sebesar
0,19%. Berdasarkan data rekam medis pasien vitiligo di Divisi Kosmetik
Medik Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada tahun 2009-2011, dari total 21.045 pasien yang periksa
ke Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin didapatkan 330 pasien
vitiligo (Rahmayanti dan Rahmadewi, 2016).
Menurut data dari penelitian Rahmayanti dan Rahmadewi (2016), jumlah
pasien baru vitiligo yang datang ke Divisi Kosmetik Medik Unit Rawat Jalan
4
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamind RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode
2012-2014 adalah 188 pasien, yaitu 1,1% dari total kunjungan di Divisi
Kosmetik Medik (17.525 pasien) dan 0,2% dari total kunjungan URJ Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin (75.765 pasien). Jumlah kunjugan terbanyak pada
tahun 2013 (70 pasien) dan paling sedikit tahun 2012 (51 pasien). Hasil
penelitian retrospektif ini menunjukan tidak sesuainya dengan beberapa
literature yang sering mengaitkan vitiligo dengan penyakit autoimun, terutama
penyakit autoimun pada tiroid. Hal ini nampaknya berhubungan dengan
manifestasi klinis kelainan tiroid yang asimtomatis sehingga pasien tidak
menyadari adanya penyakit lain selain vitiligonya. Penelitian yang dilakukan
Nunes dkk menyatakan bahwa kelainan tiroid dan penyakit tiroid autoimun
berhubungan dengan vitiligo dan timbulnya dua penyakit diatas lebih sering
terjadi pada pasien vitiligo dibandingkan orang sehat. Penelitian tersebut
menyebutkan bahwa prevalensi kelainan tiroid dan penyakit tiroid autoimun
sebesar 4,4% dan 21% adapun kasus hipotiroid ditemukan 12% pada kasus
vitiligo. Selain itu disebutkan pula bahwa 18 pasien (9,6%) memiliki penyakit
lain, yaitu terbanyak merupakan penyakit stress emosional pada 26 pasien
(78,8%). Data ini sesuai dengan penelitian Al-Rubaiy dkk mengenai stress
psikologis sebagai faktor pencetus pada 54% pasien vitiligo dan beberapa
penyakit kulit lainnya.
5
1) Genetik pada vitiligo
Hampir seluru studi genetika terfokus pada vitiligo generalisata, dimana
telah diindentifikasi sedikitnya 10 lokus yang berbeda. Tujuh dari 10 yang
dijumpai terkait dengan penyakit autoimun lainnya (antara lain: HLA kelas
I dan II, PTPN22, LPP, NALP1, TYR yang mengkode tirosinase yang
merupakan enzim penting dalam sintesis melanin). Pada tipe segmental
diduga adanya mutasi gen mosaik de novo bersifat sporadis (Jacoeb, 2017).
Pada vitiligo segmental (SV) secara genetik tampak berbeda dari vitiligo
generalisata (GV). Secara umum vilitigo segmental terjadi sporadik dan
distribusinya unilateral dimana hal ini menunjukan mungkin merupakan
hasil dari mutasi de novo dari somatic mosaicism (Birlea dkk, 2012).
2) Hipotesis autoimun
Ditemukannya aktivitas imunitas humoral berupa antibodi anti
melanosit yang mampu membunuh melanosit secara in vitro maupun in
vivo. Sekarang aktivitas humoral ini lebih diduga sebagai respon sekunder
terhadap melanosit yang rusak dibandingkan dengan respon primer
penyebab vitiligo generalisata. Pada tepi lesi vitiligo generalisata ditemukan
adanya sel T sitotoksik yang mengkespresikan profil sitokin tipe 1 (Jacoeb,
2017). Terdapat bukti biologis yang mendukung dasar autoimun untuk
vitiligo generalisata. Vitiligo generalisata secara epidemiologi dikaitkan
dengan beberapa penyakit autoimun lainnya pada keluarga dekat mereka,
yang menunjukan diathesis autoimun yang diwariskan. Imunitas humoral
pertama kali terlibat dalam temuan beberapa kasus sirkulasi antimelanosit
autoantibodi yang menargetkan beberbagai antigen melanosit termasuk
tyrosinase, tyrosinase-related protein, dopachrome tautomerase dan lainnya
yang dapat membunuh melanosit in vitro dan in vivo (Birlea, 2012).
6
3) Hipotesis biokimia
Kerusakan mitokondria mempengaruhi terbentuknya melanocyte growth
factor dan stiokin peregulasi ketahanan melanosit. Keadar antioksidan
biologic pada vitiligo: katalase dan glutation peroksidase berkurang,
disebabkan kadar H2O2 epidermis yang meningkat. Bukti hisopatologis
menunjukan adanya kerusakan yang diperantarai stress oxidative berupa
degenerasi vakuol (Jacoeb, 2017). Pada temuan biokimia esensial
ditemukan peningkatan kadar H2O2 yang mempengaruhi lapisan epidermis,
dimana mungkin menyebabkan berkurangnya kapasitas enzimatik
antioksidan dari keratinosit dan melanosit (Birlea, 2012).
2.4 Manifestasi Klinis
Bentuk dan gejala yang paling umum dari vitiligo yaitu makula
amelanosis yang dilapisi kulit normal dikenal dengan bercak depigmentasi
pada kulit. Makula-makula tersebut memiliki warna yang seragam yaitu
putih susu atau layaknya seperti kapur. Awalnya bercak putih kecil namun
semakin lama semakin membesar. Lesi kulit dominan terdapat di wajah,
tangan, dan pergelangan tangan atau ada juga yang menyebutkan pada
daerah yang terpapar sinar matahari. Biasanya pasien yang menderita
penyakit ini juga mengalami depresi (Ghafourian dkk, 2014). Prinsip
manifestasi klinis dari vitiligo yaitu adanya penampilan makula putih seperti
susu dengan depigmentasi yang homogen dan batas yang jelas.
Vitiligo sering muncul pada daerah yang terpapar sinar matahari, lipatan
tubuh, dan area periorifisial walaupun di bagian tubuh lainnya dapat terjadi.
Beberapa faktor pencetus yang dikemukakan termasuk trauma fisik pada
kulit, panas matahari, stress psikologis, inflamasi, kehamilan, kontrasepsi,
defisiensi vitamin, dan banyak lainnya. Namun hingga saat ini belum
terbukti adanya lingkungan spesifik yang memicu terjadinya vitiligo.
Vitiligo juga mungkin terjadi pada kulit yang mengalami trauma fisik
(Koebner phenomenon) (Birlea dkk, 2012).
7
Gambar 2.2 Fenomena Kobner
Vitiligo
Vitiligo Lokalisata Vitiligo Generalisata
Universalis
1 Fokalis: hanya satu atau lebih Akrofasial: distal Depigmentasi
makula dalam satu area tetapi ekstremitas dan wajah >80%
tidak jelas segmental atau
zosteriformis
2 Segmentalis: satu atau lebih Vulgaris: makula tersebar
makula dengan pola pada seluruh tubuh dengan
quasidermatomal pola distribusi asimetris
3 Mukosa: hanya mengenai Campuran akrofasial dan
daerah mukosa vulgaris, dam segmentalis
Tabel 2.Tabel 2.1 Klasifikasi vitiligo menurut Ortonne, 2983 (Jacoeb,
2017).
a. Vitiligo Fokalis
Biasanya berupa makula soliter atau beberapa makula tersebar pada satu
area. Biasanya ditandai dengan adanya lesi satu atau sedikit makula pada
suatu area namun tidak terdistribusi secara pola segmental.
8
Gambar 2.3 Vitiligo fokalis
b. Vitiligo Segmental
Vitiligo segmental adalah varian yang terbatas pada satu sisi segmen dan
jenis ini jarang dijumpai. Kebanyakan pasien memiliki gambaran segmental
berupa lesi tunggal yang khas, namun juga menempati dua atau lebih
segimen satu sisi, berlawanan atau mengikuti distribusi dermatomal
(Jacoeb, 2017).
9
Gambar 2.5 Vitiligo Akrofasial
10
e. Vitiligo Universal
Vitiligo universal ditandai dengan makula dan bercak depigmentasi
meliputi hampir seluruh tubuh (>80%)
2.6 Diagnosis
Vitiligo mudah dikenali, sehingga diagnosis dapat ditegakkan sukup secara
klinis. Bila gambaran klinis tidak khas dibutuhkan rujukan pendapat ahli. Lampu
wood dapaat membantu lebih jelas luas hipopigmentasi ataupun repigmentasi
dibandingkan dengan mata biasa. Adanya hubungan dengan tiroid mempunyai
prevalensi yang tinggi maka diperlukan pemeriksaan TSH dan kadar tiroid.
Menurut Jacoeb dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 2017) perlu
dikenali faktor pencetusnya, baik endogen maupun eksogen.
a. Faktor-faktor endogen :
1) Faktor genetic, sebanyak 18-35% pasien memiliki pola familial.
2) Tekanan emosional berat: kehilangan orang yang dicinta,
kehilangan pekerjaan, perceraian.
3) Penyakit-penyakit internal seperti gangguan autoimun, misalnya:
tiroid, anemia pernisiosa, diabetes mellitus.
b. Faktor-faktor eksogen :
Sebanyak 40% pasien vitiligo diawali dengan trauma fisik yang dialami,
misalnya : garukan, pembengkakan, benturan, laserasi dan luka bakar. Fenomena
Kobner mendasar peristiwa ini.
11
Histopatologi
Laboratorium
Mengingat adanya hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun lainnya,
skrinning tes laboratorium sangat membantu, termasuk T4 dan tingkat TSH,
antibody antinuclear, dan darah lengkap. Sebagai dokter seharusnya juga
mempertimbangkan antithyroglobulin dan antitiroid peroxidase antibodi,
khususnya ketika pasien memiliki tanda dan gejala dari penyakit tiroid (Birlea dkk,
2012).
2.7 Diagnosis Banding
12
Untuk vitiligo lokalisata diagnosis banding yaitu nevus depigmentosus dimana
terdapat hipopigmentasi dengan lesi soliter dengan batas yang tidak jelas, ukuran
yang tetap. Sedangkan pada nevus anemicus terdapat hypochromic lesi dengan
batas yang jelas dan soliter. Pada pemeriksaan histologi tidak ada kelainan
melaonosit (Birlea dkk, 2012).
Pada ptiriasis alba yaitu adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang
menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi. Biasanya tersering
dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun. Dimulai dengan eritema, kemudian
menghilang, lesi yang dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus (Jacoeb,
2017).
Vitiligo sering berhubungan dengan penyakit autoimun. Prevalensi yang paling
berhubungan dengan endorinopati adalah disfungsi tiroid, baik hipertiroid (Grave
diseases) atau hipotiroid (Hashimoto tiroiditis) yang biasanya didahului dengan
onset disfungsi tiroid. Penyakit addison, anemia pernisiosa, alopesia areata, dan
diabetes melitus juga sering terjadi peningkatan pada pasien dengan vitiligo
(Utama, 2015).
Sindrom Waardenburg merupakan suatu kelainan bawaan yang jarang
ditemukan bersifat autosomal yang diturunkan secara genetik. Kelainan ini ditandai
dengan defek pigmentasi dari rambut dan mata, gangguan pendengaran (tuli
kongenital), dan perkembangan kraniofasial yang abnormal. Gejala lain yang dapat
terjadi adalah rambut yang memutih disekitar dahi (white forelock), rambut
memutih sebelum usia 30 tahun (premature hair graying), congenital leukoderma,
synophyrys (bertemunya kedua alis mata yang tebal). Pada piebaldisme yaitu
merupakan kelainan autosomal dominan dari perkembangan melanosit yang
ditandai dengan jambul putih (white forelock), hipopigmentasi simetris multiple.
Biasanya lesi stabil dan tidak adanya melanosit pada lesi, mempengaruhi bagian
depan tubuh dan anggota gerak bagian tengah, tangan, dan kaki. Poliosis
merupakan bentuk yang paling umum. Piebaldisme tidak dikaitkan dengan tuli.
(Birlea dkk, 2012).
13
Gambar 2.8 Diagnosis banding vitiligo
14
Gambar 2.10 Pitiriasis Alba
15
Gambar 2.12 Piebaldisme
2.8 Penatalaksanaan
16
mengaktifkan kembali melanosit atau merangsang melanosit di sekitar lesi (kulit
normal atau folikel rambut) untuk bermigrasi (Birlea dkk, 2012).
Menurut Birlea dkk dalam buku Fitzpatrick Dermatology in General Medicine
edisi 8 (2012), mengelompokkan terapi vitiligo dan algoritma terapi sebagai
berikut :
Topical Fisikal Sistemik Bedah
Ultraviolet B
Kortikosteroid
Lini (Narrowband)
Calcineurin
pertama Sistemik Psoralen dan
inhibitor
ultraviolet A (PUVA)
Grafting
Topikal PUVA Kortikosteroid
Lini kedua Calcipotriol Transplantasi
Laser Excimer (pulse teraphy)
melanosit
Tabel 2.2 Terapi vitiligo
17
Kortikosteroid
18
Psoralen dan UVA (PUVA)
19
Narrowband UVB
Terapi Depigmentasi
Bila vitiligo lebih dari 80% permukaan tubuh, maka terapi yang dibutuhkan
adalah membuat kulit seluruhnya menjadi putih. Agen pemutih misalnya
monobenzyl ether hidrokuinon (MBEH) yang sudah lama dipakai. Diperlukan
pengobatan setiap hari 1-3 bulang untuk memicu reaksi, namun agen ini tidak
tersedia di Indonesia (Jacoeb, 2017). Pada awal terapi MBEH dilakukan uji tempel
selama 48 jam untuk mengetahui ada atau tidaknya reaksi hipersensitivitas.
Selanjutnya, aplikasi dua kali sehari setidaknya selama satu tahun maka akan diikuti
depigmentasi yang ireversibel. Setelah dilakukan terapi depigmentasi ini, perlu
dilakukan perlindungan terhadap sinar matahari terhadap depigmentasi kulit untuk
mencegah penyakit kanker kulit nonmelanoma (Birlea dkk, 2012). Terapi
depigmentasi perlu dipertimbangkan untuk pasien dengan lesi bercak putih yang
melebih 80% luas permukaan tubuh yang terkena vitiligo. Pasien-pasien ini harus
diedukasi dan diinformasikan bahwa depigmentasi melanin residual adalah proses
20
permanen, sehingga setelah terapi mereka akan berada pada resiko sunburn atau
terpapar terik matahari. Zat yang umum digunakan adalah Monobenzylether
hyrdroquinone, sebuah melanocytoxic yang kuat sehingga mampu menginduksi
depigmentasi (Moretti, 2003).
Gambar 2.15 Sebelum terapi MBEH Gambar 2.16 Setelah 4 bulan terapi MBEH
Gambar 2.17 Setelah 6 bulan terapi MBEH Gambar 2.18 Setelah 8 bulan terapi MBEH
21
Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan yang bisa dilakukan yaitu dengan skin graft. Skin graft
autolog adalah pilihan untuk repigmentasi pada pasien dengan vitiligo stabil yang
refrakter atau yang sebagian berespon terhadap perawatan medis dan secara umum
terbatas sejauh kurang dari 3% luas permukaan tubuh. Efek samping yang paling
sering yaitu infeksi, postinflamatory hiperpigmentasi, repigmentasi yang tidak
estetika, cobblestoning, dan jaringan parut. Terapi sinar UV umumnya
mempercepat dan meningkatkan repigmentasi ketika dikombinasikan dengan
metode pembedahan (Birlea dkk, 2012).
Terapi Psikologis
22
2.8 Prognosis
Perjalanan penyakit vitiligo pada sesesorang tidak dapat diduga atau prediksi,
dapat stabil selama beberapa tahun, tetapi dapat pula membesar, sementara lesi lain
muncul atau menghilang. Repigmentasi spontan secara kosmetik memuaskan
pasien jarang terjadi, namun dapat terjadi terutama pada anak-anak tetapi juga tidak
menghilang sempurna, terutama pada daerah yang terpapar sinar matahari. Bintik
repigmentasi pada bercak menunjukan bahwa melanosit yang berasal dari lapisan
akar terluar pada folikel rambut memproduksi melanin (Utama, 2015).
23
BAB 3
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Birlea S.A, Spritz R.A., Norris D.A. Vitiligo, in : Freedberg I.M, Eisen A.Z,
Wolff K, Austen K.F, Goldsmith L.A, Katz S.I, Fitzpatrick T.B, eds.
Dermatology in General Medicine Eighth Edition, Part 1 “A”; 2012. Vol. 1. P.
792-803.
2. Ghafourian E, Ghafourian S, Sadghifard N, Mohebi R, Shokoohini Y,
Nezamoleslami S, dan Hamat RA. 2014. Vitiligo : Symptoms, Pathogenesis
and Treatment. International Journal of Immunopathology and Pharmacolody.
Vol. 27, NO. 4. Hal: 485-489
3. Herperian. 2016. Terapi Vitiligo pada Pelayanan Kesehatan Primer. J Medula
Unila. Vol. 4. No.3: 1-5.
4. Jacoeb, T. N. A. 2017. Vitiligo. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
FKUI catatan keempat 2017., edisi ketujuh., Hal 352-358.
5. Moretti, S. 2003. Vitiligo. Orphanet Encyclopedia. University of Florence.
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-vitiligo.pdf
6. Rahmayanti, ND dan Rahmadewi. 2016. Studi Retrospektif: Profil Pasien Baru
Vitiligo. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Surabaya: Universitas
Airlangga. Vol. 28. No. 2. Hal 52-58.
7. Utama, A. 2015. Gambaran Penyakit Vitiligo di RSUP Haji Adam Malik
Medan Tahun 2012-2014. Tugas Akhir. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
25