Anda di halaman 1dari 10

KONFLIK DAN NEGOSIASI

OLEH
KELOMPOK 4

1. AGNES A. ANCE 7. NUR ARIFAH


2. ARIFIN UDJU 8. SKOLASTIKA M. NADU
3. DWIKI P. A. HOLBALA 9. SUMAYYAH J. H. M. ARIFIN
4. LAURENSIA J. WATU 10. TENI LESIK
5. LILIANI V. ABRAHAM 11. TITIK Y. L. SURATNO
6. MARSALINA DONUISANG 12. YUMI N. BENU

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2019
KONFLIK DAN NEGOSIASI

A. KONFLIK
1. Persepsi tentang Konflik
Konfik (conflict) adalah sebuah proses yang dimulai ketika salah satu pihak
memandang pihak lainnya telah mempengaruhi secara negatif, atau akan berpengaruh
secara negatif, terhadap segala sesuatu hal yang dipedulikan oleh pihak pertama.
Pandangan tradisional atas konflik sejalan dengan tingkah laku mengenai perilaku
kelompok yang berlaku pada tahun 1930-an hingga 1940-an. Konflik dipandang sebagai
hasil atas disfungsional (kegagalan fungsi) akibat komunikasi yang buruk, kurangnya
keterbukaan dan kepercayaan diantara orang-orang serta kegagalan dari para manajer
untuk menjadi responsive terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan mereka.
Konflik dipadankan dengan istilah kekerasan, penghancuran, dan ketidakrasionalan.
Pandangan interaksionis atas konflik mendorong konflik atas dasar bahwa kerja
sama kelompok yang harmonis, damai dan tenang rentan untuk menjadi statis, acuh tak
acuh, dan tidak responsive terhadap kebutuhan untuk perubahan dan inovasi.
2. Tingkatan Konflik
a. Konflik Intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang. Konfik
intrapersonal ini akan terjadi saat individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang
saling bertentangan dan bingung mana yang harus dipilih untuk dikerjakan.
b. Konflik Interpersonal adalah konflik yang terjadi antar individu. Konflik ini terjadi
saat adanya perbedaan mengenai isu tertentu, tindakan dan tujuan dimana hasil
bersama sangat menentukan.
c. Konflik Intragrup adalah konflik antara anggota dalam satu kelompok. Setiap
kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik substantif terjadi
karena adanya lata belakang keahlian yang berbeda, saat anggota dari sebuah komite
menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik
efektif ini terjadi karena tanggapan emosional terhadap situasi tertentu.
d. Konflik Intergrup adalah konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik intergroup ini
terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan,
dan meningkatnya tuntutan keadilan.
e. Konflik Interorganisasi adalah konflik yang terjadi antar organisasi. Konflik ini terjadi
karena adanya saling ketergantungan satu sama lain. Konflik terjadi bergantung pada
tindakan organisasi yang berdampak negatif terhadap organisasi lain.
f. Konflik Intraorganisasi adalah konflik yang terjadi antar bagian dalam suatu
organisasi, mencakup:
1. Konflik Vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara pimpinan dengan bawahan
yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu.
2. Konflik Horizontal, yaitu konflik yang terjadi antar karyawan atau departemen
yang memiliki jabatan yang sama dalam organisasi.
3. Konflik Lini-Staf, yaitu konflik yang sering terjadi karena adanya perbedaan
persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh
manajer lini.
4. Konflik Peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang memiliki lebih dari
satu peran.
3. Episode, Sumber dan Proses Konflik
a. Episode Konflik
Episode konflik terdiri dari lima yaitu:
1. Pra konflik
Ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua
belah pihak atau lebih, sehingga timbullah sebuah konflik. Konflik tersembunyi
dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mengetahui potensi
terjadinya konfontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa
pihak atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini.
2. Konfrontasi
Pada tahap ini konflik terjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa
ada masalah. Mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi
atau perilaku konfrontatif. Pertikaian atau kekeraasan pada tingkat rendah lainnya
terjadi diantara kedua belah pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan
sumber daya dan kekuatan dan mencari sekutu dengan harapan dapat
meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua belah pihak
menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi antara para pendukung di
masing-masing pihak.
3. Krisis
Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan kekerasan terjadi paling
hebat. Komunikasi normal diantara kedua belah pihak kemungkinan terputus.
Penyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak
lainnya.
4. Akibat
Suatu konflik pasti akan meninggalkan akibat. Kedua pihak mungkin setuju untuk
bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Apapun keadaanya, tingkat ketegangan,
konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan
adanya penyelesaian.
5. Pasca Konflik
Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai macam konfrontasi
kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah pada situasi normal
diantara kedua belah pihak. Namun, isu-isu dan masalah-masalah yang timbul
karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap
ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.
b. Sumber Konflik
1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat
menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang
berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya
akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3. Perbedaan kepentingan antara individu dengan kelompok
Manusia memiliki perasaan, pendirian, maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial.
c. Proses Konflik
Proses konflik memiliki lima tahapan pertentangan yang berpotensial atau
ketidaksesuaian kesadaran dan personalisasi, niat, perilaku dan hasil.
1. Tahap 1 : Potensi pertentangan atau ketidaksesuaian
Tahap pertama ini adalah munculnya kondisi-kondisi yang menciptakan peluang
bagi pecahnya konflik. Kondisi-kondisi tersebut tidak harus mengarah langsung
pada konflik, tetapi salah satunya diperlukan jika konflik akan muncul. Secara
sederhana, kondisi-kondisi tersebut dapat dipadatkan ke dalam tiga kategori
umum, yaitu:
a. Komunikasi: Penelitian menunjukkan bahwa potensi konflik meningkat ketika
terjadi terlalu sedikit atau terlalu banyak informasi. Jelas meningkatnya
komunikasi menjadi fungsional sampai pada suatu titik, dan diatasnya dengan
terlalu banyak komunikasi, meningkat pula potensi konflik.
b. Struktur: Istilah struktur digunakan dalam konteks ini untuk mencakup
variabel-variabel seperti ukuran, kadar spesialisasi dalam tugas-tugas yang
diberikan kepada anggota kelompok, keserasian antara anggota dan tujuan,
gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan kadar ketergantungan antar
kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran dan spesialisasi bertindak
sebagai daya yang merangsang konflik. Semakin besar kelompok dan semakin
terspesialisasi kegiatan-kegiatannya, semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik. Semakin besar ambiguitas dalam mendefinisikan secara
tepat dimana letak tanggung jawab atas tindakan, semakin besar potensi
munculnya konflik.
c. Variabel-variabel pribadi: Kategori ini meliputi kepribadian, emosi, dan nilai-
nilai. Bukti menunjukkan bahwa jenis kepribadian tertentu memiliki potensi
memunculkan konflik. Emosi juga dapat menyebabkan konflik. Nilai yang
berbeda-beda dianut tiap-tiap anggota dapat menjelaskan munculnya konflik.
2. Tahap 2: Kesadaran dan personalisasi
Tahap ini penting karena dalam tahap inilah biasanya isu-isu konflik
didefinisikan. Pada tahap ini pula para pihak memutuskan konflik itu tentang apa.
Konflik yang dipersepsi adalah kesadaran oleh satu atau lebih pihak akan adanya
kondisi-kondisi yang menciptakan peluang munculnya konflik. Konflik yang
dirasakan adalah keterlibatan dalam sebuah konflik yang menciptakan kecemasan,
ketegangan, frustasi atau rasa bermusuhan
3. Tahap 3: Niat (Intention)
Mengintervensi antara persepsi serta emosi orang dan perilaku mereka. Intention
(maksud) adalah adalah keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu.
Seseorang harus menyimpulkan maksud orang lain untuk mengetahui bagaimana
sebaiknya menanggapi perilakunya itu. Banyak konflik bertambah parah semata-
mata karena salah satu pihak salah dalam memahami maksud pihak lain. Selain
itu, biasanya ada perbedaan yang besar antara maksud dan perilaku, sehingga
perilaku tidak selalu mencerminkan secara akurat maksud seseorang. Dengan
menggunakan sifat kooperatif (kadar sampai mana salah satu pihak berupaya
memuaskan kepentingan pihak lain) dan sifat tegas (kadar sampai mana salah satu
pihak berupaya memperjuangkan kepentingannya sendiri. Lima maksud
penanganan konflik berhasil diidentifikasi:
a. Competing yaitu hasrat untuk memuaskan kepentingan pribadi, tanpa
mempedulikan dampaknya atas pihak lain yang berkonflik dengannya.
Perilaku ini mencakup maksud untuk mencapai tujuan anda dengan
mengorbankan tujuan orang lain, berupaya meyakinkan orang lain bahwa
kesimpulan anda benar dan kesimpulannya salah, dan mencoba membuat
orang lain dipersalahkan atas suatu masalah.
b. Collaborating yaitu suatu situasi dimana pihak-pihak yang berkonflik ingin
sepenuhnya memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Maksud para pihak
adalah menyelesaikan masalah dengan memperjelas perbedaan ketimbang
mengakomodasi berbagai sudut pandang.
c. Avodiding yaitu hasrat untuk menarik diri dari konflik atau menekan sebuah
konflik. Maksud dari perilaku ini adalah mencoba mengabaikan suatu konflik
dan menghindari orang ain yang berbeda pendapat.
d. Accomodating yaitu kesediaan salah satu pihak yang berkonflik untuk
menempatkan kepentingan lawannya di atas kepentingannya sendiri. Maksud
dari perilaku ini adalah supaya hubungan tetap terpelihara, salah satu pihak
bersedia berkorban.
e. Compromising yaitu pendekatan yang berusaha mencari jalan tengah,
umumnya melibatkan kerelaan berkorban lebih banyak dibandingkan
pendekatan dominasi, namun tak sebanyak yang direlakan dalam pendekatan
akomodasi. Kompromi melibatkan pihak ketiga untuk melakukan intervensi
dalam bentuk meminta bantuan pada otoritas manajerial yang lebih tinggi atau
keputusan untuk menyerahkan konflik ke dalam suatu bentuk mediasi atau
arbitrasi.
4. Tahap 4: Perilaku (Behavior)
Tahap perilaku meliputi pernyataan, aksi dan reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak
yang berkonflik. Perilaku konflik ini biasanya merupakan upaya kasat mata untuk
mengoperasikan maksud dari masing-masing pihak. Tetapi perilaku ini memiliki
kualitas stimulus yang berbeda dari maksud. Jika konflik bersifat disfungsional,
maka perlu dilakukan berbagai teknik penting untuk meredakannya. Para manajer
mengendalikan tingkat konflik dengan manajemen konflik (conflict management),
yaitu pemanfaatan teknik-teknik resolusi dan dorongan (stimulasi) untuk
mencapai tingkat konflik yang diinginkan.
5. Tahap 5: Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi.
Akibat atau konsekuensi itu bisa bersifat fungsional, dalam arti konflik tersebut
menghasilkan kinerja kelompok, atau juga bisa bersifat disfungsional karena justu
menghambat kinerja kelompok.
a. Akibat fungsional: Meningkatnya keragaman kultur dari anggota dapat
memberikan manfaat lebih besar bagi organisasi. Penelitian memperlihatkan
bahwa heterogenitas antar anggota kelompok dan organisasi dapat
meningkatkan kreativitas, memperbaiki kualitas keputusan dan memfasilitasi
perubahan dengan cara meningkatkan fleksibilitas anggota.
b. Akibat disfungsional: Pertengkaran yang tak terkendali menumbuhkan rasa
tidak senang, yang menyebabkan ikatan bersama renggang, dan pada akhirnya
menuntun pada kehancuran kelompok. Diantara konsekuensi-konsekuensi
yang tidak diharapkan tersebut, terdapat lambannya komunikasi, menurunnya
kekompakan kelompok, dan subordinasi tujuan kelompok oleh dominasi
perselisihan antar anggota.
c. Menciptakan konflik fungsional: Salah satu cara organisasi menciptakan
konflik fungsional adalah dengan member penghargaan kepada orang yang
berbeda pendapat dan menghukum mereka yang suka menghindari konflik.
B. NEGOSIASI
1. Negosiasi dan strateginya
Negosiasi adalah suatu upaya yang dilakukan antara pihak-pihak yang berkonflik
dengan maksud untuk mencari jalan keluar untuk menyelesaikan pertentangan yang
sesuai kesepakatan bersama.
Terdapat dua pendekatan umum mengenai negosiasi, yaitu:
a. Perundingan distributif, adalah negosiasi yang berupaya untuk membagi jumlah
sumber daya secara tetap.
b. Perundingan integratif, adalah negosiasi yang berupaya mencari satu atau lebih
kesepakatan yang dapat memberikan solusi kemenangan bagi kedua belah pihak.
2. Tujuan Negosiasi
Tujuan negosiasi adalah sebagai berikut:
1. Untuk mencapai suatu kesepakatan yang dianggap menguntungkan semua pihak.
2. Untuk menyelesaikan suatu masalah dan menemukan solusi dari masalah yang
tengah dihadapi pihak-pihak yang bernegosiasi.
3. Untuk mencapai suatu kondisi yang saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang
bernegosiasi dimana semuanya mendapatkan manfaat (win-win solution).
3. Proses Negosiasi
Proses negosiasi terdiri atas lima tahap: (1) persiapan dan perencanaan, (2)
mendefinisikan aturan-aturan yang mendasar, (3) klarifikasi dan pembenaran
(justifikasi), (4) melakukan perundingan dan pemecahan masalah, serta (5) penutupan
dan implementasi.
a. Persiapan dan perencanaan: Sebelum bernegosiasi perlu mengetahui apa tujuan
dari anda bernegosiasi dan memprediksi rentangan hasil yang mungkin diperoleh
dari paling baik hingga paling minimum bisa diterima.
b. Defenisi aturan-aturan dasar: begitu selesai melakukan perencanaan dan
menyusun strategi, selanjutnya mulai menentukan aturan-aturan dan prosedur
dasar dengan pihak lain untuk negosiasi itu sendiri. Siapa yang akan melakukan
perundingan, dimana akan dilangsungkan, kendala waktu apa, jika ada, yang
mungkin akan muncul, pada persoalan-persoalan apa saja negosiasi dibatasi,
adakah prosedur khusus yang harus diikuti jika menemui jalan buntu. Dalam fase
ini, para pihak juga akan bertukar proposal atau tuntutan awal mereka.
c. Klarifikasi dan justifikasi: Ketika posisi awal sudah saling dipertukarkan, baik
pihak pertama maupun kedua akan memaparkan, menguatkan, mengklarifikasi,
mempertahankan, dan menjustifikasi tuntutan awal.
d. Perundingan dan pemecahan masalah: pada tahap ini akan terjadi tawar menawar
antara dua pihak untuk mencapai sebuah solusi dimana solusi tersebut kan
berguna untuk memecahkan masalah.
e. Penutupan dan implementasi: Tahap akhir dalam negosiasi adalah memformalkan
kesepakatan yang telah dibuat serta menyusun prosedur yang diperlukan untuk
implementasi dan pengawasan pelaksanaan.
4. Perbedaan individual dalam efektivitas negosiasi
Terdapat empat faktor yang mempengaruhi seberapa efektifnya individu dalam
melakukan negosiasi, yaitu kepribadian, suasana hati atau emosi, budaya dan gender.
a. Sifat kepribadian dalam negosiasi
Sifat kepribadian dianggap paling penting mempengaruhi hasil dari sebuah
negosiasi, dimana ada cenderung bahwa orang yang mudah untuk setuju
seringkali merupakan sasaran empuk dalam proses negosiasi. Padahal hasil
penelitian cenderung menunjukkan hubungan antara sikap pribadi dengan hasil
negosiasi sangatlah lemah. Hal ini tergantung pada situasi dan pada kenyataannya
kemampuan seseorang untuk menjadi seorang negosiator termasuk diantaranya
dalam meningkatkan kapasitas sikap pribadi beserta kemampuan manajemen
suasana hati dan emosi dapatlah dilatih dan terus ditingkatkan.
b. Suasana hati/emosi dalam negosiasi
Suasana hati dan emosi dapat mempengaruhi proses dan hasil negosiasi
tergantung pada konteks situasi yang dihadapi. Seorang negosiator yang pemarah
pada umunya dianggap mempercepat consensus karena pihak lainnya percaya
bahwa consensus lainnya kedepan tidak bisa dicapai, Hal yang paling penting
anda dapat menunjukkan amarah anda dalam sebuah proses negosiasi adalah
hanya jika ketika anda memiliki kekuatan atau power yang setara dengan lawan
negosiasi anda. Jika kekuasaan anda kurang dari lawan anda, maka kemarahan
anda hanya akan membuat anda dianggap sebagai negosiator yang sulit.
Faktor lainnya adalah kemampuan untuk memanajemen mood dan emosi,
terutama dalam menunjukkan kemarahan anda secara nyata. Emosi lainnya yang
cukup berpengaruh adalah kekecewaan. Kekecewaan anda dapat membuat
negosiator lainnya merasa bersalah. Negosiasi terkadang memang penuh dengan
tipu daya, khususnya tipu daya ekspresi para negosiator.
c. Budaya dalam organisasi
Masing-masing negara memiliki buday yang berbeda-beda dalam melakukan
negosiasi. Dalam hal ini harus diperhatikan dalam melakukan negosiasi antar
budaya adalah senantiasa mengedepankan prinsip keterbukaan dan
memperhatikan dinamika aspek emosi dalam negosiasi antar budaya.
d. Perbedaan gender dalam negosiasi
Gender seringkali diasosiasikan memberikan pengaruh terhadap hasil negosiasi
dimana ada persepsi dan stereotyping dari jenis kelaminn dan hasil negosiasi. Pria
dianggap lebih memperhatikan status, kekuasaan dan pengakuan. Sementara
wanita lebih memperhatikan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri, jika
menggunakan pendekatan atau strategi negosiasi, pria lebih cenderung
menggunakan strategi distributif dan wanita lebih cenderung menggunakan
strategi integratif.

Anda mungkin juga menyukai