Anda di halaman 1dari 17

1.1.

DEFINISI
Definisi hipoglikemia berdasarkan Operational Threshold adalah konsentrasi kadar
gula plasma atau whole blooddimana klinisi harus mempertimbangkan intervensi
berdasarkan bukti-bukti terbaru yang ada di literatur. Konsentrasi kadar plasma gula darah
ini <45 mg/dL. Definisi lama hipoglikemia menggunakan kadar glukosa <30 mg/dL dalam
24 jam pertama dan <45 mg/dL setelah 24 jam pada bayi (kontroversial). Sesudah itu,
hipoglikemia didefinisikan dengan kadar serum glukosa <40-45 mg/dL pada bayi prematur
dan cukup bulan (kontroversial). Saat ini banyak institusi menggunakan kadar serum
glukosa <45-50 mg/dl (beberapa menggunakan <60 mg/dL) dalam 24 jam pertama dan
<50-60 mg/dL setelahnya. Pada bayi dengan hiperinsulinemia nilai <60 mg/dL
dipertimbangkan sebagai hipoglikemia
Ambang operasional untuk hypoglikemia didefinisikan sebagai penurunan
konsentrasi glukosa plasma atau darah utuh di mana dokter harus mempertimbangkan
intervensi, berdasarkan bukti yang avaible dalam literatur. Dimana ambang untuk glukosa
darah yang dipercaya adalah kurang dari 40 mg / dl (plasma glukosa kurang dari 45 mg /
dl).

1.2.ETIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang mendasari terjadinya hipoglikemia pada neonatus
termasuk penyimpanan glikogen hati yang rendah, penyimpanan glikogen otot yang tidak
memadai sebagai sumber asam amino yang digunakan untuk glukoneogenesis, dan
glikogen lipid yang tidak memadai sebagai sumber asam lemak. Penyebab serius lainnya
termasuk sekresi insulin yang berlebihan seperti, hipopituitarisme, defisiensi kortisol,
kekurangan hormon pertumbuha dan gangguan metabolisme congengital mempengaruhi
glukosa, glikogen, dan asam lemak.
Dari catatan, intra-uterine growth retardation (IUGR) dan kecil untuk masa
kehamilan (SGA) adalah kondisi umum yang menimbulkan risiko yang sama terjadinya
hipoglikemia pada neonatal.
Secara garis besar, etiologi hipoglikemia dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan dan produksi glukosa kurang.

 Kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan


a) Eritroblastosis Fetalis dan Agen Tokolitik Beta Agonis
Walaupun ibu diabetes merupakan penyebab utama hiperinsulin pada
neonatus, sekresi insulin postnatal dapat menjadi abnormal karena penyakit-
penyakit lainnya. Bayi yang menderita eritroblastosis fetalis memiliki kadar
insulin yang tinggi dan jumlah sel betapankreas yang banyak. Mekanisme
terjadinya hal ini masih belum jelas, tetapi salah satu hipotesis menjelaskan bahwa
glutation yang dirilis dari sel darah merah terhemolisis akan mengaktivasi insulin
dalam sirkulasi, dan kemudian memicu sekresi insulin serta up-regulation sel beta.
Transfusi tukar dapat mengeksaserbasi masalah karena darah yang ditransfusikan
biasanya diawetkan dengan kombinasi dekstrosa dan agen lain. Selama transfusi
tukar, bayi mendapatkan tambahan glukosa yang signifikan, dengan respon insulin
berlebih dari pancreas yang hyperplasia. Di akhir transfusi tukar, laju pemberian
glukosa dikembalikan pada keadaan normal, (baseline) tetapi kadar insulin tetap
tinggi, sehingga menyebabkan terjadinya hipoglikemia .
Penggunaan agen tokolitik beta agonis seperti terbutalin juga menyebabkan
hiperinsulinemia pada neonatus, terutama jika agen tersebut digunakan selama
lebih dari 2 minggu dan dihentikan pada waktu kurang dari 1 minggu sebelum
persalinan. Neonatus yang berada dalam kondisi ini akan memiliki penyimpanan
glikogen rendah, yang akan menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia serta efek-
efek yang timbul karena rendahnya kadar glukosa.
b) Bayi dari Ibu Diabetik (Infants of Diabetic Mother)
Beberapa kelompok bayi memiliki risiko tinggi untuk mengalami
hipoglikemia karena adanya perubahan pada fungsi enzim hepatik sehingga
mengganggu glikogenolisis, gluconeogenesis, atau keduanya. Fungsi hepatik
dapat dipengaruhi oleh sejumlah gangguan endokrin dan metabolik, yang paling
umum terjadi adalah hiperinsulinisme. IDM memiliki sekresi insulin pancreas
yang tinggi karena paparan glukosa maternal dalam konsentrasi tinggi selama di
dalam uterus. Transportasi glukosa plasenta meningkat, berakibat pada
hiperglikemia janin, yang pada akhirnya akan menstimulasi sekresi insulin oleh
pancreas janin. Sekeresi insulin pancreas pada IDM jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan non IDM. Perubahan-perubahan yang diinduksi oleh diabetes pada
metabolisme maternal, seperti perubahan pada asam amino serum, berperan pada
perubahan metabolik yang terjadi pada IDM.
Setelah lahir, konsentrasi glukosa darah yang tinggi sudah tidak ada, tetapi
kondisi hiperinsulinemia menetap, sehingga mengakibatkan rasio insulin:glucagon
tinggi pada postnatal. Akibatnya, glikogenolisis dan lipolysis terhambat, enzim
glukoneogenik tidak terinduksi, dan glukosa hepatik tetap pada kadar yang rendah
dalam kondisi glukosa darah yang rendah. Insulin juga meningkatkan penggunaan
glukosa perifer pada jaringa-jaringan sensitif insulin, seperti otot rangka, yang
berkontribusi pada penurunan glukosa secara cepat. Kombinasi efek dari
peningkatan penggunaan glukosa dan terbatasnya produksi glukosa hepatik
mengakibatkan hipoglikemia, yang dapat menetap selama 24-72 jam sebelum pola
sekresi insulin ternormalisasi
c) Hiperinsulinisme
Hipoglikemia yang menetap lebih dari 5-7 hari jarang terjadi dan paling
sering disebabkan oleh hiperinsulinisme. Beberpa neonatus yang IUGR atau
asfiksia akan mengalami hiperinsulinemia yang menetap selama 4 minggu, tetapi
kasus seprti ini relatif jarang terjadi. Beberapa tipe hiperinsulinisme kongenital
disebutkan merupakan penyebab utama hipoglikemia yang menetap sampai
melebihi 1 minggu pertama kehidupan.
Bentuk autosomal resesif dari hiperinsulinisme kongenital dihubungkan
pada adanya defek reseptor sulfonylurea atau kanal K+-ATP. Sebuah mutasi pada
lengan pendek kromosom 11 banyak terjadi populasi Yahudi Ashkenazi, tetapi
kasus yang sama pada kelompok etnis yang lain juga dilaporkan disertai oleh
adanya mutasi pada lokasi yang sama. Telah dilaporkan juga adanya bentuk
autosomal dominan dari hiperinsulinisme. Mutasi yang menyebabkan terjadinya
bentuk autosomal dominan dari hiperinsulinisme belum dapat diidentifikasi, tetapi
kelainan ini berbeda dengan bentuk autosomal resesif yang dicurigai merupakan
akibat dari abnormalitas fungsi reseptor sulfonylurea.Sindrom hiperinsulinemia
kongenital dan hiperammonemiadisertai dengan adanya mutasi gen glutamat
dehydrogenase. Sindrom Beckwith-Weidemann disertai dengan adanya
hyperplasia organ multipel., termasuk pancreas, dengan konsekuensi dari
peningkatan sekresi insulin.Jarang terjadi hiperinsulinemia yang merupakanakibat
suatu adenoma lokal sel pulau pancreas pada pancreas yang normal.
d) Kelainan Metabolisme pada Neonatus
Kelainan metabolisme pada neonatus akan mempengaruhi ketersediaan
prekursor glukoneogenik atau fungsi enzim yang dibutuhkan untuk produksi
glukosa hepatik. Defek metabolik yang menyebabkan hipoglikemia meliputi
berbagai bentuk kelainan penyimpanan glikogen, galaktosemia, defek oksidasi
asam lemak, defisiensi karnitin, beberapa bentuk asidemia amino, intoleransi
fruktosa herediter (fructose-1,6-diphos-phatase deficiency), dan defek enzim
glukoneogenik lainnya. Gangguan endokrin lainnya seperti kegagalan
hipopituitari dan adrenal juga dapat berakibat pada terjadinya hipoglikemia karena
tidak adanya respon hormonal yang sesuai terhadap hipoglikemia dan selanjutnya
mengakibatkan kegagalan aktivasi produksi glukosa hepatik.Tetapi kondisi ini
sangat jarang dan harus dipertimbangkan adanya etiologi lainnya.

 Kelainan yang menyebabkan kurangnya produksi glukosa


a) Simpanan glukosa tidak adekuat (prematur, bayi kecil masa kehamilan)
Penyebab hipoglikemia dapat dikategorikan berdasarkan gangguan yang
menyertai pada satu atau lebih proses yang diperlukan untuk produksi glukosa
hepatic normal. Penyimpanan glikogen hepatik jumlahnya terbatas baik pada bayi
preterm yang belum mengalami periode akumulasi glikogen cepat selama masa
akhir gestasi, dan bayi kecil masa kehamilan (KMK/SGA) yang belum memiliki
suplai persediaan substrat yang adekuat untuk sintesis glikogen, yang akan
berakibat pada timbulnya risiko hipoglikemia. IUGR yang disebabkan oleh
insufisiensi plasenta dengan ukuran lingkar kepala bayi yang normal menyebabkan
peningkatan kebutuhan glukosa pada bayi yang sudah dalam kondisi
penyi’mpanan glikogen rendah karena tingginya brain-to-bodyweight ratio. Bayi
postterm dan gestasi ganda juga berisiko hipoglikemia karena adanya insufisiensi
plasenta relatif.Penelitian yang dilakukan pada kelompok bayi preterm dan IUGR
menemukan adanya perubahan pola sekresi insulin, metabolisme substrat, dan
respons hormonal terhadap perubahan konsentrasi glukosa darah dibandingkan
dengan bayi yang sesuai masa kehamilan (SMK/AGA).
Bayi yang mengalami stress perinatal karena asfiksia atau hipotermia atau
mengalami peningkatan kerja otot pernapasan disebabkan oleh distress napas
mungkin memiliki penyimpanan glikogen normal, tetapi jumpah glikogen yang
tersedia tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan tinggi dengan adanya tingkat
penggunaan glukosa yang lebih tinggi dari normal. Hipoglikemia dapat terjadi
pada bayi dalam kondisi ini ketika glikogen yang tersedia telah digunakan untuk
memenuhi kebutuhan metabolik postnatal inisial, terutama jika telah ada periode
hipoksemia dengan disertai konsumsi glukosa cepat melalui metabolisme anaerob.
Konsentrasi precursor gluconeogenesis yang tidak adekuat umumnya tidak
menjadi faktor yang membatasi produksi glukosa hepatik pada neonatus karena
bayi preterm memiliki persediaan asam lemak, gliserol, asam amino, laktat, dan
piruvat cukup. Selain itu, produksi badan keton secara relatif berkurang pada
respon tehadap hipoglikemia.Bayi aterm dapat mengalami penurunan rilis badan
keton ketika glukosa dalam darh menurun.akibatnya, kontribusi gluconeogenesis
pada produksi gula hepatik terbatas pada beberapa neonatus.
b) Kelainan pada produksi glukosa hepar
Antara lain defisiensi glucose-6-phosphatase (glycogen storage disease type
I), defisiensi debrancher (glycogen storage disease type III), defisiensi phosphatase
hepar (glycogen storage disease type VI, defisiensi glikogen sintesis, defisiensi
fruktosa 1,6 diphosphatase, defisiensi phosphoenol pyruvate, defisiensi pyruvate
carboxylase, galactosemia, intoleransi fructose herediter, penyakit maple urine
syrup). Kelainan ini menurunkan produksi glukosa melalui berbagai defek
termasuk blokade pada pelepasan dan sintesis glukosa atau hambatan pada
glukoneogenesis. Anak yang menderita penyakit ini akan dapat beradaptasi
terhadap hipoglikemia karena penyakitnya bersifat kronik.
Glycogen storage disease, Type I. Penyakit ini merupakan penyebab
tersering hipoglikemia. Penyebabnya adalah adanya defisiensi enzim hati
(defisiensi glukose 6 fosfatase). Penyakit ini bisa menyebabkan penghambatan
total, baik pada glukoneogenesis maupun glikogenolisis. Beberapa bayi
memperlihatkan gejala hipoglikemia berat, asidosis, sedangkan yang lainnya
dengan gejala gangguan pertumbuhan terutama pada bayi dan anak kecil. Adanya
hepatomegali yang hebat menjadi penting untuk diagnostik, selain itu terjadi
pembesaran ginjal. Bayi dan anak terlihat pendek yang disertai hipotoni.
Meningkatnya jaringan lemak pada muka dan ekstremitas memberikan gambaran
anak tersebut seolah-olah gizi baik.
Pada bayi baru lahir, penyebab hipoglikemia persisten atau berulang bisa
didapat melalui anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan temuan
laboratorium. Hipoglikemia yang berhubungan dengan intake makanan bisa
dicurigai adanya kelainan pada salah satu glukoneogenesis. Apabila gejala terjadi
≥ 6 jam setelah makan dan apabila gejala terjadi segera setelah makan,
kemungkinan adalah adanya galaktosemia atau intoleransi fruktosa, terdapatnya
substansi yang tereduksi pada urin berulang kali memperkuat diagnosis ini.
c) Kelainan hormonal (panhypopituitarisme) defisiensi hormon pertumbuhan,
defisiensi kortisol dapat primer atau sekunder. Hal ini karena hormon pertumbuhan
dan kortisol berperan penting pada pembentukan energi alternative dan merangsang
produksi glukosa.
d) Toksin dan penyakit lain (etanol, salisilat, propanolol, malaria). Etanol
menghambat glukoneogenesis melalui hepar sehingga dapat menyebabkan
hipoglikemia. Hal ini khususnya pada pasien dengan diabetes yang diobati insulin
yang tidak dapat mengurangi sekresi insulin sebagai respon bila terjadi
hipoglikemia. Intoksikasi salisilat dapat menyebabkan hipoglikemia ataupun
hiperglikemia. Hipoglikemia karena bertambahnya sekresi insulin dan hambatan
pada glukoneogenesis.

1.3. MANIFESTASI KLINIS


Dilaporkan bahwa 30% dari bayi yang baru lahir memiliki faktor risiko untuk
terjadinya hipoglikemia, 15% didiagnosis dengan hipoglikemia, dan 10% masuk ke ruang
NICU (15). Hipoglikemia secara klinis didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi
glukosa plasma yang menyebabkan timbulnya gejala klinis dan / atau kerusakan fungsi
otak. Pada periode neonatal, hipoglikemia tidak memiliki temuan klinis yang spesifik, dan
umumnya terdeteksi pada screeing gula darah.
Gambaran klinis umumnya dibagi menjadi dua kategori. termasuk gejala yang
berhubungan dengan aktivasi dari sistem saraf otonom dan pelepasan epinefrin, biasanya
terlihat penurunan cepat konsentras glukosa darah9. Dua kategori gejala akibat penurunan
glukosa otak, biasanya berhubungan dengan penurunan lambat dalam kadar glukosa darah
atau hipoglikemia berkepanjangan (lihat Tabel 92-1). Meskipun gejala klasik terjadi pada
anak yang lebih tua, gejala hipoglikemia pada bayi mungkin lebih samar termasuk
diantaranya sianosis, apnea, hipotermia, hipotonia, makan yang buruk, lesu, dan kejang.
Beberapa gejala ini mungkin sangat ringan sehingga dapat tidak ditemukan.
Kadang-kadang, hipoglikemia mungkin asimtomatik bayi baru lahir. Bayi yang baru
lahir dengan hiperinsulinemia, bayi besar untuk usia kehamilan; bayi yang lebih tua dengan
hiperinsulinemia dapat makan berlebihan karena hipoglikemia kronis dan menjadi gemuk.
Di masa kecil, hipoglikemia dapat menimbulkan gangguan perilaku, kurangnya perhatian,
peningkatan nafsu makan, atau kejang. Hal ini dapat menimbulkan salah didiagnosis
sebagai epilepsi, inebriation, gangguan kepribadian, histeria, dan retardation. pemeriksaan
glukosa darah harus selalu dilakukan pada neonatus yang sakit, Neonatus harus segera di
obati jika konsentrasi glukosa <50 mg / dL. Pada setiap tingkat usia, hipoglikemia harus
dianggap sebagai Penyebab episode awal kejang atau penurunan mendadak dalam fungsi
psychobehavioral.

Tabel 2.2. Manifestasi klinis hipoglikemia 9

Trias whipple untuk diagnosis hipoglikemia.


Temuan klinis disajikan pada tabel di atas, namun tidak spesifik untuk hipoglikemia,
dan dapat ditemukan pada banyak kasus seperti sepsis, dan asfiksia perinatal. Hipoglikemia
dapat di diagnosis jika memenuhi kriteria yang dikenal sebagai Whipple Triad Jika diduga
ada gejala hipoglikemia harus ditangani dengan cepat tanpa menunggu hasil laboratorium,
karena potensi efek samping yang serius. Meskipun hipoglikemia didefinisikan sebagai
deteksi kadar glukosa darah di bawah 2 standar penyimpangan dari nilai-nilai yang
terdeteksi pada bayi normal.

1.4.DIAGNOSIS
Temuan klinis dan biokimia pada gangguan masa kanak-kanakumum yang terkait
dengan hipoglikemia. Anamnesis yang rinci sangat penting untuk diagnosis hipoglikemia.
hal-hal yang perlu dicatat termasuk usia riwayat keluarga bayi yang menderita
hipoglikemia. Dalam kehidupan, mayoritas bayi memiliki bentuk sementara dari
hipoglikemia neonatal baik sebagai akibat prematuritas / intrauterine growth retardation
atau yang lahir berdasarkan ibu penderita diabetes.
a) Asimtomatik hipoglikemia adalah kadar glukosa dibawah nilai standar, tanpa disertai
adanya manifestasi klinis8.
b) Simtomatik hipoglikemia adalah kadar glukosa darah dibawah rentang normal dengan
disertai adanya masifestasi klinis8. Neonatus dapat memberikan gejala yang tidak
spesifik, evaluasi harus dilakukan dengan melihat penyebab dari hipoglikemia.
Waktu untuk skrining.
Tidak ada literature yang yang optimal dan interval dari monitoring gula darah,
glukosa darah rendah terlihat 2 jam setelah kelahiran. IDM memiliki gejala asimtomatik
lebih cepat 2 jam dan kadang 12 jam (rentang 0.8 to 8.5 jam). bagaimanapun bayi preterm
dan usia kehamilan yang kecil (SGA) mempunyai resiko hipoglikemia hingga 36 jam
(rentang 0.8 hingga 34,2 jam). SGA dan preterm dapat berkembang menjadi hipoglikemia
jika ibu tidak menyusui segera.

Waktu untuk stop dilakukan skrining bila:


a) 72 jam terakhir pada bayi yang mempunai resiko
b) Bayi dengan glukosa darah > 50 mg/dl dengan menyusui.
a) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.
Pada bayi yang berusia lebih dari 2 bulan, anak dan dewasa, penurunan gula
darah kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapat menimbulkan rasa lapar dan
merangsang pelepasan epinefrin yang berlebihan sehingga menyebabkan lemah,
gelisah, keringat dingin, gemetar, dan takikardi. Gejala adrenergik cenderung terjadi
pada hipoglikemia postprandial. Sebaliknya, pada hipoglikemia karena kelaparan
umumnya bertahap namun progresif dan menyebabkan gejala neuroglikopenia. Gejala
hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu: berasal dari
sistem saraf otonom dan berhubungan dengan kurangnya suplai glukosa pada otak
(neuroglikopenia). Gejala akibat dari sistem saraf otonom adalah berkeringat, gemetar,
gelisah, dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pusing, bingung, rasa lelah, sulit
bicara, sakit kepala, dan tidak dapat berkonsentrasi. Kadang disertai rasa lapar,
pandangan kabur, mengantuk, dan lemah. Pada neonatus tidak spesifik antara lain
tremor, peka rangsang, apneu, sianosis, hipotonia, sulit minum, kejang, koma, tangisan
nada tinggi, nafas cepat, dan pucat. Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang
tidak hipoglikemia, misalnya kelainan bawaan pada susunan saraf pusat, cedera lahir,
mikrosefali, perdarahan, dan kernikterus. Demikian juga dapat terjadi akibat
hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung, distress pernapasan,
asfiksia, anomali kongenital multipel atau defisiensi endokrin. Kadang hipoglikemia
juga asimtomatik misalnya pada glycogen storage disease tipe I.
b) Pemeriksaan Laboratorium.
Skrining hipoglikemia direkomendasikan pada bayi berat lahir sangat rendah,
bayi prematur, bayi kecil masa kehamilan dengan berat badan lahir kurang dari
persentil 10, bayi dengan ibu diabetes (tipe I atau II), bayi besar masa kehamilan
dengan berat badan lahir lebih dari persentil 90, bayi dengan penyakit inkompatibilitas
rhesus-hemolitik, bayi yang lahir dari ibu yang mendapat terapi
terbutaline/propoanolol/agen hipoglikemik oral, neonatus dengan asfiksia perinatal,
polisitemia, sepsis, syok, distress pernapasan, hipotermia, bayi dengan retardasi
pertumbuhan. Termasuk juga ke dalamnya bayi dengan berat lahir di antara persentil
10-90 dengan manifestasi klinis janin kurang asupan nutrisi dalam bentuk kulit yang
terkelupas, tidak punya lipatan kulit, dan defisiensi lemak subkutan pada regio
buccalis, dan pada bayi dengan pemberian nutrisi parenteral total dan cairan intravena.
Skrining hipoglikemia tidak direkomendasikan pada bayi aterm yang sesuai dengan
masa kehamilan dan sedang menyusu ASI. Namun, bayi aterm dengan intake sulit,
terdapat tanda-tanda laktasi yang inadekuat atau tanda-tanda hipotermia harus
dilakukan pemeriksaan hipoglikemia.
Metode pengukuran glukosa dapat melalui 2 cara antara lain pengukuran
glukosa oksidase (strip reagen) dan pemeriksaan laboratorium. Pengukuran glukosa
dengan cara strip reagen walaupun digunakan secara umum, akan tetapi tidak akurat
khususnya pada saat level glukosa darah kurang dari 40-50 mg/dL. Pengukuran
dengan cara ini berguna untuk tujuan skrining, namun jika nilainya rendah harus selalu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium sebelum diagnosis hipoglikemia
ditegakkan.
Metode lainnya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini
merupakan metode yang paling akurat. Dalam pemeriksaan laboratorium, glukosa
darah diukur dengan cara kalorimetrik atau dengan cara elektroda (glucose electrode
method).
Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis sangat
penting untuk menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan kadar gula darah
pertama yang diambil pada saat ada gejala atau kecurigaan hipoglikemia, dan
pemeriksaan yang lain adalah: beta hidroksi butirat, asam laktat, asam lemak bebas,
asam amino (kuantitatif) dan elektrolit (untuk melihat anion gap). Pemeriksaan
hormonal: insulin, kortisol, hormon pertumbuhan. Pemeriksaan faal hepar.
Pemeriksaan urin: keton dan asam amino (kuantitatif).
Apabila ada pemeriksaan awal tidak terdiagnosis atau pasien asimtomatik,
maka dilakukan pemeriksaan lanjutan. Bila berhubungan dengan puasa, maka pasien
dipuasakan dan dipantau dalam 24 jam selama puasa, atau bila ada indikasi puasa
dapat diperpanjang. Pemeriksaan ini harus dengan rawat inap, dipasang akses
intravena dan diberikan heparin pada jalur intravenanya untuk pengambilan sampel
darah dan bila perlu untuk pemberian dextrose 25% bila timbul gejala hipoglikemia.
Diambil plasma darah secara sekuensial untuk pemeriksaan glukosa plasma, beta
hidroksibutirat, dan insulin pada jam 8, 16, dan 20, kemudian diberikan glukagon 30-
100 pg/kgBB intramuskuler. Sampel diambil setiap jam sampai pemeriksaan berakhir.
Sampel pertama dan terakhir harus diperiksa kadar hormon pertumbuhan dan kortisol.
Bila dicurigai defek pada enzim tertentu, maka diperlukan pemeriksaan analisa asam
organik plasma dan atau urin.
Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah tes stimulasi glukagon, tes toleransi
leucine untuk menemukan diet dikemudian hari dilakukan setelah pasien euglikemi,
tes toleransi tolbutamide nilainya kurang untuk menemukan adenoma pankreas,
pemeriksaan fungsi adrenal.

1.5.TERAPI
Setiap terapi yang diberikan perlu memperhitungkan eseluruhan metabolisme dan
status fisiologis bayi. karena yang lama dan berat dengan tanda-tanda klinis dapat
mengakibatkan cedera neurologis. intervensi segera diperlukan untuk bayi dengan tanda-
tanda klinis. Beberapa penulis telah menyarankan algo-rithms untuk screening dan
pengobatan hipoglikemia.
Terapi Inisial
Pemberian asi ekslusif lebih awal mencegah terjadinya hipoglikemia, bayi yang
sehat tidak menimbulkan gejala hipoglikemia yang serius, namun hipoglikemia terbatas
dikarenakan pemeberian ASI yang telat.
1. Sehat, berat badan yang sesuai untuk usia kehamilan, bayi harus segera menyususi
dalam 30-60 menit setelah lahir.
A. Pemberian asi lebih awal pemenuhan kebutuhan metabolic bayi untuk kesehatan
a) Pemberian suplemen tidak diperlukan.
b) Memulai menyusui dalam waktu 30-60 menit setelah lahir dan terus menerus
c) kontak kulit ke kulit ibu dan bayi.
d) Pemberian makan harus sering, 10-12 kali per 24 jam dalam beberapa hari
pertama setelah lahir
B. Skrining glukosa hanya dilakukan pada bayi yang beresiko dan menunjukkan
tanda-tanda klinis
a) pemantauan rutin glukosa darah pada semua bayi bayi yang baru lahir tidak
perlu dilakukan dan mungkin berbahaya.
b) Bayi yang mempunyai resiko harus diskrining dengan frekuensi dan durasi
sesuai dengan factor resiko pada bayi
c) Pemantauan berlanjut sampai normal, hingga tingkat yang konsisten
d) disamping tes glukosa harus dikonfirmasi denga tes laboratorium yang formal

2. Inisiasi menyususi dini dan pengurangan risiko hipoglikemia, yang difasilitasi oleh
kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayinya segera setelah lahir selama setidaknya satu
jam pertama kehidupan dan terus sebanyak mungkin. praktek-praktek seperti akan
mempertahankan suhu tubuh bayi normal dan mengurangi pengeluaran energi
(sehingga memungkinkan pemeliharaan glukosa darah normal)
3. Menyusui bayi harus sering, setidaknya 10-12 kali per 24 jam dalam beberapa hari
pertama setelah lahir. Namun, hal ini tidak biasa bagi bayi jangka untuk memberi
makan segera setelah lahir dan kemudian tidur cukup lama (hingga 8-12 jam)

Bayi tanpa tanda-tanda klinis hipoglikemia (adanya klinis tanda-tanda hanya dapat
ditentukan oleh tinjauan klinis yang cermat
1. Lanjutkan menyusui (kira-kira setiap 1-2 jam) atau memberi makan 1-3 mL / kg
(hingga 5 mL / kg).
A. Bayi hipoglikemia dengan tanpa tanda klinis
a) Lanjutkan menyusui (kira-kira setiap 1-2 jam) atau memberi makan 1-5 mL /
kg ASI dinyatakan atau nutrisi pengganti.
b) Periksa kembali konsentrasi glukosa darah sebelum menyusui sampai didaptkan
nilai diterima dan stabil.
c) Jangan memaksa bayi untuk menyusui
d) Jika tingkat glukosa tetap rendah meskipun menyusui, mulai terapi glukosa
intravena.
e) Menyusui dapat terus selama terapi glu-cose intravena.
f) Hati-hati mendokumentasikan respon terhadap pengobatan
B. Bayi dengan tanda-tanda klinis atau kadar glukosa plasma <20- 25 mg / dL (<1,1-
1,4 mmol / L)
a) Memulai larutan glukosa 10% intravena dengan mini-bolus.
b) Jangan mengandalkan makan per oral atau intragastrik untuk memperbaiki
tanda klinis hipoglikemia .
c) Konsentrasi glukosa pada bayi yang telah memiliki tanda-tanda klinis harus
dipertahankan pada> 45 mg / dL (> 2,5 mmol / L).
d) Sesuaikan dosis intravena dengan konsentrasi glukosa darah
e) Mendorong bayi untuk sering menyusui.
f) Memantau konsentrasi glukosa sebelum menyusui
g) Hati-hati mendokumentasikan respon terhadap pengobatan
2. Periksa kembali konsentrasi glukosa darah sebelum menyusui hingga stabil (biasaya>
40 mg / dL [2,2 mmol / L]). Jika tidak ada petiugas untuk memeriksa glukosa darah
dan bayi tidak memiliki tanda-tanda klinis, menyusui tidak harus perlu ditundasambil
menunggu tingkat glukosa darah untuk diperiksa.
3. Jika bayi terlihat lemah sebaiknya diberika nasogastric tube, namun jika bayi gaduh
gelisah dan terlihat sangat sakit sebaiknya diberikan cairan IV, pemberia selang
nasogastric sebaiknya di stop karena dapat menimbulkan resiko aspirasi.
4. Jika tingkat glukosa tetap rendah meskipun telah disusui, pikirkan terapi glukosa IV
dan menyesuaikan tingkat IV dengan konsentrasi glukosa darah. Hindari dosis bolus
glukosa
kecuali glukosa darah sangat rendah atau ada tanda-tanda se-vere klinis (misalnya,
kejang atau koma). Jika bolus dosis yang diberikan, menggunakan 5 mg / kg glukosa
dalam 10% dextrose persiapan
C. Bayi dengan tanda-tanda klinis atau dengan tingkat glukosa plasma <20-25 mg / dL
(<1,1-1,4 mmol / L)
a) Memulai IV larutan glukosa 10% dengan bolus 3 mL / kg dan pengobatan IV
kontinu dengan 5-8 mg / kg / menit.
b) Jangan mengandalkan asi peroral utuk mengembalikan kadar glukosa darah
atau memperbaiki gejala hipoglikemia. Perlu evaluasi dengan cepat
kemungkinan besar kondisi yang mendasarinya
c) Konsentrasi glukosa pada bayi dengan tanda-tanda klinis harus dipertahankan
pada> 45 mg / dL (> 2,5 mmol / L).
d) Sesuaikan dosis IV dengan konsentrasi glukosa darah.
e) Mendorong sering menyusui setelah memulai IV terapi.
f) Memantau konsentrasi glukosa sebelum menyusui sementara secara bertahap
Pencegahan hipoglikemia dan efek yang dihasilkan pada pengembangan SSP sangat
penting pada bayi baru lahir. Pada neonatus dengan hiperinsulinemia tidak terkait dengan
diabetes ibu, subtotal atau focal pancreatectomy mungkin diperlukan, kecuali hipoglikemia
dapat segera dikendalikan dengan diazoxide jangka panjang atau analog somatostatin.
Pengobatan hipoglikemia neonatal atau bayi gejala akut meliputi pemberian D10W
intravena 2 mL / kg, dilanjutkan dengan infus glukosa dengan 6-8 mg / kg / min,
menyesuaikan tingkat untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal.
Jika terjadi kejang , beberapa merekomendasikan 4 mL / kg bolus D10W.
Manajemen hipoglikemia persisten neonatal atau infantil termasuk meningkatkan
laju intravena infus glukosa 10-15 mg / kg / menit atau lebih, jika diperlukan. Ini mungkin
membutuhkan vena sentral atau pusar kateter vena untuk mengelola larutan glukosa 15-
25% hipertonik. Jika terdapat hiperinsulinemia, secara medis harusnya awalnya diberikan
dengan diazoxide dan kemudian somatostatin analog atau calcium channel blockers. Jika
hipoglikemia tidak respons untuk intravena glucoseplus diazoxide (dosis maksimal hingga
25 mg / kg / hari) dan analog somastostatin, bisa dilakukan operasi pancreatectomy parsial
atau total harus dipertimbangkan.
Ada beberapa pilihan pengobatan yang tersedia untuk pengelolaan hipoglikemia
neonatal

1.6.KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipoglikemia neonatus adalah
a) Komplikasi pada Otak
Meskipun hipoglikemia dikaitkan dengan sejumlah perubahan fisiologis, efek
paling besar terlihat di otak, di mana glukosa merupakan substrat utama untuk
metabolisme energi dan kedua toko energi setempat dan pasokan substrat alternatif
terbatas. hipoglikemia berat pada bayi baru lahir berhubungan dengan nekrosis
neuronal selektif dalam beberapa daerah otak, termasuk korteks superfisial, dentate
gyrus, hippocampus, dan putamen. Peristiwa terjadinya ensefalopati hipoglikemik
masih belum dipahami sepenuhnya, tetapi cedera otak muncul akibat dari sejumlah
proses yang dimulai ketika konsentrasi glukosa darah menurun. Penurunan sedang
konsentrasi glukosa darah dikaitkan dengan peningkatan kompensasi dalam aliran
darah otak yang telah dianggap mewakili sarana menjaga pengiriman glukosa otak.
Pada bayi prematur yang baru lahir, perubahan tersebut dalam aliran darah otak bisa
menyebabkanrentan terjadinya perdarahan intraventrikular dan mungkin memiliki
sedikit efek pada pasokan glukosa neuronal karena transfer glukosa melintasi
penghalang darah-otak tergantung pada aktivitas transporter glukosa pada endotelium
dan sel membran pembuluh darah. tingkat transporter glukosa menurun pada janin dan
bayi baru lahir dibandingkan dengan bayi yang lebih tua dan mungkin tingkat-
membatasi untuk penyerapan glukosa otak.
Jika pasokan glukosa ke otak tidak dipertahankan, mungkin ada penurunan
aktivitas listrik otak, kerusakan membran dengan pelepasan asam lemak bebas, dan
metabolisme asam amino diubah, termasuk peningkatan produksi glutamat. Glutamat,
yang merupakan salah satu neurotransmitter asam amino rangsang hanya ditemukan
dalam sistem saraf pusat, diyakini memainkan peran utama dalam patofisiologi cedera
otak hipoglikemik. Hipoglikemia berhubungan dengan peningkatan konsentrasi
glutamat dalam celah sinaptik, kemungkinan besar karena kombinasi dari peningkatan
pelepasan glutamat dari neuron presinaptik dan penurunan adenosin 5'-triphosphate
(ATP) serapan glutamat -tergantung oleh sel-sel glial. Glutamat mengikat reseptor
pasca-sinaptik, memicu pelepasan second messenger melalui reseptor glutamat
metabotropic dan perubahan fluks ion transmembran melalui reseptor ionotropic
glutamate. Meskipun ada beberapa jenis reseptor ionotropic, N-methyl-D-aspartat
(NMDA) -type glutamat reseptor, yang berhubungan dengan saluran ion yang
mengangkut natrium dan kalsium ke dalam sel dan kalium keluar dari sel, mendominasi
di imatur otak. Dalam semua spesies yang dipelajari, termasuk manusia, jumlah
reseptor NMDA fungsional meningkat selama perkembangan otak, kemudian menurun
pada dewasa.
Peningkatan jumlah reseptor NMDA pada akhir periode baru lahir janin dan
awal kemungkinan besar mencerminkan peran reseptor sebagai salah satu mediator
utama potensiasi jangka panjang, sebuah proses yang berhubungan dengan
synaptogenesis dan pembentukan memori. aktivitas reseptor NMDA juga mungkin
terlibat dalam mengatur proses apoptosis, atau sel mati terprogram, melalui perubahan
konsentrasi kalsium sitoplasma dan nuklir. Pada janin manusia, trimester ketiga dari
perkembangan janin dan masa neonatal dini ditandai dengan pembentukan aktif dan
modifikasi koneksi sinaptik dan arborization dendrit berhubungan dengan peningkatan
reseptor NMDA.
Dengan demikian, tingkat normal aktivitas reseptor NMDA sangat penting
untuk perkembangan otak belum matang. Namun, kelebihan aktivasi reseptor NMDA
oleh glutamat meningkatkan konsentrasi sitoplasma natrium dan kalsium ke tingkat
yang melebihi kapasitas mekanisme homeostatis neuronal, sehingga mengubah gradien
ion transmembran. Hipoglikemia khusus meningkatkan sensitivitas reseptor NMDA
aktivasi oleh glutamat, yang dapat mengakibatkan batas bawah untuk excitotoxicity
glutamat-induced. Selama hipoglikemia, mekanisme tergantung energi untuk
memulihkan gradien transmembran normal natrium dan kalsium tidak dapat beroperasi
karena deplesi ATP dan phosphocreatine terkait dengan hipoglikemia. Kelebihan
kalsium masuknya mengaktifkan phospholipases seluler dan protease, mengubah
metabolisme mitokondria, memicu pembentukan radikal bebas, perubahan pola
transmisi sinaptik, dan akhirnya dapat mengakibatkan nekrosis neuronal selektif.

b) Konsekuensi klinik
Gangguan fisiologis yang berhubungan dengan hipoglikemia akut pada bayi
baru lahir dalam respon stres, dengan pelepasan katekolamin dan glukagon dan lipolisis
berikutnya dan glikogenolisis dalam upaya untuk meningkatkan ketersediaan substrat
untuk proses metabolisme normal. Jadi, bahkan hipoglikemia asimtomatik, ada efek
jangka pendek yang signifikan pada bayi yang dapat mengakibatkan penipisan substrat
endogen. Pada bayi komplikasi jangka perubahan peningkatan aktivitas simpatik dan
metabolisme hati biasanya ditoleransi dengan baik.
Namun, bayi prematur atau bayi SGA stres fisiologis terkait dengan konsentrasi
glukosa darah yang rendah mungkin cukup untuk peningkatan ketidakstabilan
kardiorespirasi dan menyulitkan manajemen akut secara signifikan. Prompt,
normalisasi cepat konsentrasi glukosa darah yang rendah diperlukan untuk
meminimalkan derangements hormonal dan metabolisme. Jika konsentrasi glukosa
darah normal dapat dicapai pada waktu yang tepat, efek akut dari satu episode
hipoglikemia dapat diminimalkan.
Efek jangka panjang dari hipoglikemia neonatal masih kontroversial. episode
hipoglikemia simtomati berulang, seperti yang terlihat pada bayi yang memiliki
hiperinsulinisme, telah dikaitkan dengan nekrosis neuronal dan komplikasu jangka
panjang yaitu dapat berupa penurunan fungsi kognitif dan motorik. Studi baru-baru ini
juga melaporkan gangguan pada perkembangan saraf pada bayi IDMS. Namun, data
yang lebih baru menunjukkan bahwa hipoglikemia saja tidak menyebabkan komplikasi
jangka panjang pada bayi dengan IDMS; namun hal ini terkait juga dengan adanya
anomali kongenital.

Anda mungkin juga menyukai