Anda di halaman 1dari 7

Journal Reading

Stevens–Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in an


Academic Hospital Setting: a 5-Year Retrospective Study

Disusun Oleh:

Poppy Novita 1210312097

Rani Fajra 1310311176

Preseptor :

Dr. dr. Satya Widya Yenny, Sp. KK (K), FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017

Pendahuluan
Nekrolisis epidermal toksik (TEN) dan Stevens-Johnson syndrome (SJS)

adalah reaksi akut mucocutaneous yang mengancam jiwa karena reaksi terhadap

obat yang ditandai dengan nekrosis yang luas, dan pengelupasan epidermis

ditambah eritematosa luas atau makula purpura atau lesi atipikal yang datar.

Gambar 1. Pengelupasan epidermis pada TEN (Toxic Epidermal Necrolysis)


Kedua kondisi diatas adalah variasi yang berat dengan proses yang sama

dari epidermal nekrolisis (EN) yang berbeda hanya dari luas permukaan tubuh

yang terlibat: di bawah 10% pada SJS, dari 10 sampai 30% tumpang tindih

antara SJS / TEN dan di atas 30% dari permukaan tubuh adalah TEN.
EN adalah kondisi langka. Kejadian SJS dan TEN diperkirakan 1 sampai 6

kasus per juta orang pertahun dan 0,4-1,2 kasus per juta orang pertahun.
Reaksi kulit ini diperantarai oleh sel T sitotoksik yang diaktivasi karena

reaksi terhadap obat tertentu. Lebih dari 100 obat yang berbeda terlibat, dengan

risiko tertinggi adalah: antibakteri sulfonamid, antikonvulsan aromatik,

allopurinol, oxicam-nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), lamotrigin,

dan nevirapine
Pengobatan ini didasarkan pada penarikan cepat obat penyebab dan

perawatan suportif seperti pengobatan luka bakar. Dianjurkan untuk merujuk

segera pasien dengan reaksi yang luas dan cepat ke Unit intensif care (ICU) atau
pusat luka bakar. Pemberian steroid masih kontroversial karena obat ini

diharapkan memiliki efek penurunan reaksi tetapi merugikan pada satu sisi karena

meningkatkan kerentanan terhadap infeksi ditangan lainnya. Obat-obatan lainnya

yang dianggap menyebabkan penyakit ini adalah: cyclosporine A, imunoglobulin

IV (IVIG), anti-TNF. Farmakoterapi antibiotik untuk infeksi juga dicurigai.


Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi obat

dengan risiko tertinggi yang menyebabkan reaksi paling hebat dan mencoba untuk

mengkarakterisasi kelompok pasien dengan berisiko tinggi mengalami EN

Bahan Dan Metode

Penelitian ini menggunakan rekam medis dari pasien rawat inap SJS/TEN

di Departemen Dermatologi di Rumah sakit pendidikan Bayi Yesus di Warsawa,

Polandia antara tahun 2009 dan 2014 yang dikaji secara retrospektif. Berdasarkan

Algoritma Pengkajian Obat Penyebab pada Stevens-Johnson Syndrome dan

Epidermal Beracun Toksik (Alden) [4] terdapat 31 pasien yang terbukti karena

obat. Penyebab lain dari reaksi kulit diamati di antara pasien sampel dan jika

terdapat akan dikeluarkan dari sampel


Di antara pasien dengan SJS / TEN yang diinduksi oleh obat variabel-

variabel yang diamati adalah: karakteristik pasien (umur, jenis kelamin, etnis,

komorbiditas), obat penyebab, interval waktu antara konsumsi obat dan timbulnya

gejala (periode laten), reaksi obat, faktor yang terkait dengan keparahan penyakit

(SCORTEN) [5], komplikasi sistemik, lama rawatan di rumah sakit, pengobatan

yang diberikan, dan hasil pengobatan. Skala SCORTEN meliputi: umur,

keganasan, takikardia, persentase awal pengelupasan epidermal, urea serum ,

glukosa serum dan bikarbonat. Sejak bikarbonat tidak secara rutin diukur di
departemen ini, bikarbonat dikecualikan dan skor dimodifikasi untuk Toxic

epidermal nekrosis (mSCORTEN)


Hasil
Karakteristik Pasien
Usia pasien berkisar 19-87 tahun, dengan median 41 tahun. Distribusi jenis

kelamin adalah 20 perempuan (65%) dan 11 laki-laki (35%), tetapi perbedaan

secara statistik tidak signifikan (dua sisi p value = 0,074)


Dua puluh sembilan pasien kebangsaan Polandia, satu Rusia, satu Ukraina.

Semua pasien adalah etnis Kaukasia


Delapan belas (75%) pasien dengan SJS memiliki komorbiditas.

Komorbiditas yang paling umum adalah hipertensi (20%), asma dan alergi (masuk

melalui mulut, kontak dan alergi melalui inhalasi) (16%), penyakit tiroid (16%).

Semua pasien TEN (7/7) memiliki komorbiditas termasuk: gangguan kejiwaan

(afektif bipolar , paranoid skizofrenia (43%)), Gangguan autoimun (ankylosing

spondylitis, psoriasis vulgaris, rheumatoid arthritis, tiroiditis Hashimoto (57%)),

asma dan alergi (43%), atau hipertensi (43%)


Obat Penyebab
Syndrome Steven Jhonson sebagian besar disebabkan oleh obat golongan

antimikroba (50% pasien) dan NSAID (29%). Selebihnya disebabkan oleh obat

golongan antijamur (2 pasien), angiotensin concerting enzyme (ACE) inhibitor (1

pasien), karbamazepin (1 pasien) dan unithiol (1 pasien).


Penyakit TEN juga sebagian besar disebabkan oleh obat golongan

antimikroba (71%), terutama sulfonamid dan antikonvulsan terutama lamotigrin

(29%).
Periode laten berlangsung dalam waktu 1-30 hari. Pada 40% kasus periode

tersebut kurang dari 5 hari, 55% kasus antara 5-28 hari dan 4% lebih lama dari 28

hari. Periode laten rata-rata adalah 7 hari. NSAID memiliki periode laten rata-rata

3 hari, antimikroba 8 hari, antijamur 1 hari dan antikonvulsan 12 hari.


Tabel 1. Obat Penyebab
Komplikasi, Lama Rawatan dan Outcome
Lima belas pasien (48%) mengalami peningkatan level marker inflamasi

tremasuk C-reactive protein (CRP), laju endap darah (LED) atau hitung jumlah

leukosit. Enam dari 15 pasien tersebut menderita netrofilia. Tiga pasien (10%)

menderita transaminitis. Satu kasus SSJ mengalami komplikasi konjungtivitis.

Dua kasus TEN mengalami komplikasi vaskular yaitu tromboflebitis dan

perdarahan varises vena.


Lama rawatan rata-rata pada pasien SSJ dan TEN di unit dermatologi

berturut-turut adalah 7,5 hari dan 16,3 hari.


Tidak ada kematian pada kasus SSJ
Pasien dengan TEN (43%) dipindahkan ke ICU ( Intensive Care Unite).

Dua dari mereka meninggal karena sepsis yang disebabkan oleh kuman

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan Extended spectrum

beta-lactamase (ESBL). Satu dari pasien yang meninggal memiliki mSCORTEN


yang tinggi dan satu lagi memiliki mSCORTEN yang rendah pada saat masuk

rumah sakit (tabel 2)


Tabel 2. Nilai mSCORTEN pada pasien TEN. Enam point pertama diukur
saat pasien masuk (Umur >40 tahun, keganasan, Nadi > 120x/menit, Luas >
10%, serum BUN >27 mg/dl, serum glukosa > 250 mg/dl)

Pengobatan
Dua puluh pasien SSJ mendapatkan terapi steroid sistemik, 18 steroid

topikal, 18 antihistamin dan 11 antibiotik. Lima pasien TEN mendapatkan terapi

steroid sistemik, 5 siklosporin, 6 antibiotik, 2 IVIG dan 1 plasmaparesis.

Pengobatan yang paling intensif (IVIG, siklosporin, steroid sistemik, dan

antibiotik) diberikan kepada dua pasien dengan reaksi terhadap antikonvulsi

(lamotigrin).
Pembahasan
Analisis populasi pada pasien menunjukkan bahwa SSJ memiliki

morbiditas yang lebih banyak daripada TEN (dari 24 pasien SSJ dan 7 pasien

TEN). Kedua penyakit dibagi menjadi 2 kategori kelompok umur yaitu 19-44

tahun dan 57-87 tahun. Komorbiditas yang paling sering pada SSJ (hipertensi,

alergi, penyakit tiroid) tercermin pada populasi umumnya meskipun komorbiditas

dengan malfungsi sistem imun menarik perhatian.


Karakteristik komorbiditas dari TEN adalah kelainan psikiatrik dan

autoimun. Dikarenakan faktor genetik terdapat perbedaan epidemiologi dan obat

tersangka secara siginifikan pada populasi etnis yang berbeda.


Pada penelitian ini, obat yang paling sering terlibat dalam SSJ adalah

golongan antimikroba dan NSAID. Pada TEN yang paling sering adalah golongan

antimikroba dan antikonvulsan. Hasil ini sejalan dengan penelitian lain di Eropa.
Sebagian besar obat ini dievaluasi karena tingginya risiko yang ditimbulkan

berdasarkan penelitian EuroSCAR. Obat tersangka pada dua pasien yang

meninggal adalah lamotrigi dan seforoksim.


Komplikasi yang paling sering adalah infeksi. Diantara pasien TEN hanya

1 drai 7 pasien yang tidak mendapat antibiotik. Dalam 2 kasus yang meninggal

infeksi adalah pemicunya.


Sejauh ini belum ada HLA mayor tunggal yang teridentifikasi sebagai

faktor risiko genetik karena lamotigrin menginduksi Severe Cutaneus Adverse

Reactions (SCARs) diantara pasien yang berasal dari Eropa. Namun keberhasilan

dalam mengetahui hubungan antara reaksi karbamazepin dan alel HLA-N*1502

mendorong penelitian lebih lanjut.


Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa obat dengan risiko tertinggi untuk

reaksi yang paling berat adalah lamotigrin dan antimikroba (tersering sulfonamid).

Dikarenakan kematian dan kebutuhan untuk rawatan serta pengobatan yang mahal

sebaiknya dipertimbangkan dengan baik pemberian obat-obat tersebut khususnya

pada pasien dengan riwayat reksi autoimun.

Anda mungkin juga menyukai