Anda di halaman 1dari 10

JOURNAL READING

ETHICS IN PALLIATIVE CARE

Disusun oleh:

Andhitya WP Teibang 1620221216


Siska Sulistiyowati 1620221168
Kenny Natalia Putri 1620221160
Raka Wibawa Putra 1620221159
Mulki Hakam 1710221061
Widya Novit Amanda 1710221074
Putri Zhafirah 1710221070
Abigale Christopher 1710221100

Pembimbing:

dr. Mardi Susanto, Sp.KJ (K)


dr. Tribowo T Ginting, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAKARTA
PERIODE 2 JULI– 4 AGUSTUS 2018
KATA PENGANTAR

Dalam kesempatan ini puji dan syukur penulis hanturkan kehadirat Allah
SWT atas rahmat, nikmat, serta hidayah Nya dalam penulisan tugas makalah
journal reading ini. Serta salawat serta salam senantiasa tercurah kepada nabi
Muhammad SAW dan keluarganya serta para sahabat. Tugas makalah journal
reading yang berjudul “Ethics in Palliative Care” dapat terselesaikan dengan
baik.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Mardi Susanto, Sp KJ(K) dan dr Tribowo T Ginting, SpKJ selaku
pembimbing kepaniteraan klinik jiwa RSUP Persahabatan Jakarta.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, oleh karena itu peneliti memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga makalah yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi bangsa dan
negara serta masyarakat luas pada umumnya di masa yang akan datang.
Jakarta, Juli 2018

Penulis
ETIKA PELAYANAN PALIATIF

Dokter dan perawat mengahadapi kesulitan dalam praktik pelayanan


paliatif. Mereka membutuhkan pemahaman dalam prinsip-prinsip etika dan
presedensi.
Seorang wanita usia 60 tahun dengan kanker ovarium berulang, asites dan
dyspnea berada dalam stadium akhir dari penyakitnya. Penyakit tersebut
dideritanya sejak 1 tahun setelah operasi dan 6 bulan setelah kemoterapi. Suami
pasien, adalah seorang pensiunan guru berusia 65 tahun dengan penyakit jantung
kronis. Anak laki-laki dan perempuan pasien tinggal di tempat yang jauh dari
rumah pasien dan rutin berkunjung.
Pada kasus wanita di atas, ada berbagai masalah medis dan dilema etik yang
muncul untuk penyediaan pelayanan paliatif. Pada pelayanan paliatif, pemahaman
yang baik mengenai etika kedokteran akan berkontribusi ke dalam pembuatan
keputusan dan praktik keseharian untuk pengobatan pasien yang menderita
penyakit kronik stadium lanjut.
Etika kedokteran merupakan landasan dari etika terapan, pelajaran
mengenai nilai moral, dan penilaian terhadap obat-obatan. Hal tersebut bertujuan
untuk menyediakan pedoman dan kode-kode kepada dokter untuk tugas, tanggung
jawab, perilaku dan berbagi prinsip-prinsip dengan etika pelayanan kesehatan
lainnya, seperti etika keperawatan dan bioetik. Menurut sejarah dapat ditelusuri
kembali pada masa Hippocrates, dokter Yunani Kuno pada abad ke-4 SM.
Hippocrates (460-380SM) dan para siswanya memisahkan diri dengan para dukun
lain di masa tersebut dengan meyakinkan bahwa kemampuan mereka rasional dan
ilmiah bukan magis atau religious. Beberapa ahli medis menekankan bahwa
seorang dokter harus ‘berakal sehat dan bijaksana’
Mulai abad ke-18 dan selanjutnya, praktisi kedokteran mengadopsi
Hippocratic Oath sebagai ritual penting. Sama halnya dengan panduan prinsip
keperawatan yang dikenal dengan Nightingale Pledge. Kedua profesi ini
mengabadikannya pada bagian ‘Saya akan menaati sistem prosedur kesehatan
yang sesuai dengan kemampuan dan penilaian saya dan tidak akan melakukan
hal-hal yang membahayakan siapapun’, dan ‘Saya akan bekerja dengan hati
nurani dan menjaga martabat profesi saya’
Evolusi dan perkembangan etika kedokteran terbesar telah dibuat sejak
Abad ke-20. Penghianatan mengenai pengobatan ilmiah selama Perang Dunia ke
II oleh para dokter Nazi, melakukan praktik kedokteran yang tidak manusiawi
untuk menyiksa dan membunuh tahanan yang tidak bersalah, mengarah ke
persidangan Nuremberg tahun 1947. Nürnberger Kodex telah dikeluarkan dan
dianggap sebagai dasar etika kedokteran moderen. Pengobatan terhadap manusia,
persetujuan tindakan, melindungi subjek penelitian dari bahaya percobaan medis
telah dimasukkan sebagai hokum masyarakat. Hukum dan kebijakan ini telah
disediakan oleh Deklarasi Helsinki (1965, modifikasi terakhir Oktober 2008).
Deklarasi tersebut merupakan tanggungjawab semua praktisi medis untuk
membaca dan menyerap nilai-nilai yang ada di dalamnya.

6 NILAI DALAM ETIKA KEDOKTERAN


Dasar dari etika-etika kedokteran ditunjang oleh empat pilar yaitu :
 Autonomy – pasien berhak memilih/menolak pengobatan
 Beneficence – seorang dokter sebaiknya berperan dengan memberi
manfaat terhadap pasien
 Non-maleficence - tidak melakukan tindakan yang
membahayakan/memperburuk keadaan pasien
 Justice – Terfokus pada pemerataan sumber daya kesehatan yang adil
Selain keempat pilar di atas, ada 2 aspek lain sebagai dasar praktik kedokteran
yaitu :
 Dignity – pasien dan pemeriksa memiliki hak untuk mempertahankan
martabat hidupnya
 Truthfulness and honesty – konsep mengenai persetujuan tindakan
kedokteran dan pemberian informasi yang sebenarnya
Keenam nilai di atas bersama-sama membentuk etika kedokteran.
PENYESUAIAN ETIKA KEDOKTERAN KE DALAM PERAWATAN
PALIATIF

Seorang wanita yang mengidap kanker ovarium, pada mulanya (pasien


pernah mendapat kemoterapi sebagai terapi lini pertama) direkomendasikan
untuk mendapat kemoterapi yang bersifat agresif sebagai terapi lini kedua.
Apakah hanya ini pihannya? Tak jarang tenaga professional di bidang onkologi
enggan mendiskusikan risiko/manfaat dari terapi lini kedua dan tidak
mempertimbangkan pelayanan paliatif dalam menangani kasus pasien dengan
kanker yang disertai dengan asites progresif dan efusi pleura.
Hal tersebut memberi contoh perlunya penerapan autonomy, beneficence vs
non-maleficence,dan truth telling pada pasien. Hal tersebut juga berguna untuk
memahami suatu prose pengambilan keputusan ‘melanjutkan atau menghentikan
pengobatan’ (dalam kasus ini yaitu kemoterapi lini kedua dengan respon yang
diabaikan). E.Ezekiel dari departemen bioetik, NIH,USA telah mengungkapkan
keprihatinan terhadap kualitas pelayanan yang diterima oleh pasien-pasien kanker,
‘dokter memberi pengobatan kepada pasien, pasien tersebut tidak respon terhadap
pengobatan, pemberian terapi lain yang bersifat agresif, “Hanya untuk mencoba
sesuatu” Tak hanya obat yang buruk, melainkan hal yang tidak etis’.
Institusi pelayanan paliatif telah diketahui dapat mengurangi gejala-gejala
yang menyakitkan pada penyakit stadium akhir, menghindari efek toksik dari
pengobatan anti-kanker yang tidak diketahui, dan memperbaiki kualitas hidup
yang tersisa. Tim pelayanan paliatif dapat menghadapi beberapa konflik misalnya
perawat keluarga menolak untuk menghentikan pengobatan anti-kanker yang
bersifat toksik. Oleh sebab itu, komunikasi yang efektif (dan penjelasan mengenai
proses penyakit) adalah kunci dalam etika pelayanan paliatif.

PASIEN BERHAK TAHU


Tenaga profesi sebaiknya memiliki banyak pengetahuan untuk memberi
pelayanan yang proaktif, mengerti keadaan pasien dan mengatasi masalah yang
ada. Pemberian informasi yang sebenarnya pada kasus kanker atau kondisi
penyakit stadium akhir dapat menjadi tugas yang sulit. Ketika pasien berada pada
kondisi sekarat dan tidak sadar, perawat keluarga dibutuhkan untuk memberi
persetujuan tindakan kedokteran. Dokter dan perawat pelayanan paliatif harus
membangun komunikasi dengan perawat keluarga yang dapat bertanggung jawab
agar kerahasiaan dan martabat pasien terjaga. Komunikasi ditujukan kepada 2
aspek penting dalam pelayanan paliatif : Menjelaskan bagaimana konsep dari
kematian yang baik(bebas dari rasa sakit) dan Menyelesaikan masalah antara
pasien dan keluarga (vis-à-vis)
Wanita yang menderita kanker ovarium memiliki cairan di dalam perut dan
dadanya. dan mungkin saja nafsu makannya terganggu. Suami bisa saja
mengalami perasaan yang menyedihkan bahwa istrinya dapat mati dalam kondisi
kelaparan. Hal ini membutuhkan penjelasan untuk mengurangi masalah yang
berkaitan dengan pemberian makan secara paksa pada pasien kanker stadium
akhir. Komunikasi yang efektif dan penuh perhatian adalah hal yang diperlukan
dalam pelayanan paliatif.

KEBUTUHAN UNTUK SUMBER DAYA KESEHATAN PADA


PELAYANAN PALIATIF

Nyeri adalah gejala dominan pada kebanyakan pasien kanker stadium akhir
dan juga pada penyakit kronik lain seperti HIV dan AIDS. Nyeri dapat membuat
pasien takut, gelisah, dan menarik diri, nyeri yang tidak teratasi bisa berujung
kematian yang menyakitkan dan meninggakan anggota keluarga kenangan yang
buruk. Penanganan pasien dapat dicapai dengan prinsip holistik juga ilmiah dari
tangga analgesik di pelayanan paliatif. Penanganan nyeri adalah inti tugas etik
dalam medis, diketahui bahwa nyeri adalah aspek yang paling dilupakan pada
pelayanan medis. Ada beberapa penyebab dari keterbelangkaian ini. kurangnya
pengetahuan dan keterampilan mengenai nyeri, kurangnya obat, ketidak
tersediaan morfin, mitos tentang adiksi opioid juga sedasi adalah rintangan yang
ada. usaha WHO dan organisasi nasional pelayanan paliatif lain memperbaiki
situasi ini. sekarang diketahui pada kebanyakan negara bahwa kebebasan dari rasa
nyeri adalah hak asasi juga ketersediaan morfin adalah tanggung jawab sosial.
untuk alasan etik, langkah yang benar adalah melihat nyeri sebagai krisis
kesehatan publik, dan mengambil langkah yang dibutuhkan untuk menghapus
rintangan yang ada.
Ketakutan masyarakat bahwa obat sedatif dan opioid yang diresepkan pada
pasien terminal akan mempercepat proses kematian. petugas medis yang
kompeten harus menghapus mitos ini. sudah menjadi etika untuk meresepka
narkotika juga sedatif untuk nyeri menetap, meskipun adanya kemungkinan
terjadinya sedasi terminal. kemungkinan tersebut dinamakan efek ganda dan pihak
yang merawat harus menjelaskan aspek ini pada keluarga pasien. Sering metafora
memiliki efektifitas yang tinggi, 'kami memiliki pasien dengan kanker paru yang
menderita karena kesulitan bernapas juga nyeri; dia sering sulit bernapas juga
tidak dapat berbaring, dan tidak dapat tidur sampai bermalam-malam. Morfin
menenangkannya; dia merasa lega, dapat tidur nyenyak, dan dapat meninggal
tenang dalam setelah 2 minggu. Istrinya merasakan perasaan lega saat suaminya
dapat tidur nyenyak'.
Perawatan pada akhir kehidupan adalah tantangan medis dan etik. pasien
dan keluarganya dapat merasakan beberapa ketidakpuasan. pada akhir bagian
hidup dengan berbagai gejala kecemasan, infeksi, anorexia, kelelahan,
kebingungan mental, dll, membuat penentuan tempat yang tepat untuk perawatan
menjadi prioritas utama. Kapanpun memungkinkan, kematian yang baik adalah
saat pasien di rumah, dikelilingi keluarga juga saudara. karenanya, rencana
perawatan lanjut harus dicatat. Sebisa mungkin, layanan perawatan rumah
dibandingkan perawatan di rumah sakit atau klinik harus dijelaskan oleh tim
pelayanan paliatif. Di india, layanan perawatan rumah akan lebih murah dan
memiliki lebih banyak pendekatan praktis yang ditawarkan mengenai perawatan
paliatif. Pada perawatan rumah juga dapat disingkirkan isu tentang penggunaan
antibiotik, obat penunjang, transfusi darah, NGT, nutrisi parenteral, perawatan
intensif, dll. Kapanpun memungkinkan, keinginan pasien harus diseimbangkan
dengan prinsip perawatan paliatif. Arahan lanjut dalam bentuk pencatatan dari
persetujuan pasien dan keluarganya harus dipraktikan secara rutin. Hal tersebut
akan menghindarkan pasien paliatif terminal diberikan tes yang tidak diperlukan,
rawat inap, pengawasan intensif, dan prosedur resusitatif. Pada banyak negara di
dunia, kebijakan do not rescucitate (DNR) didirikan pada perawatan akhir hidup.
Tentu saja hal ini belum menjadi rutinitas di india.
PERAWATAN PALIATIF ADALAH PILIHAN UTAMA

Aspek hukum dan hak asasi manusia memberikan perlindungan dasar yang
mengizinkan partisipasi setara dan keadilan individual di masyarakat. hal ini
berarti 'tidak ada yang berhak menyakiti orang lain dalam hidupnya,
kesehatannya, kebebasannya, dan kemilikannya’. di abad ke 20, hak untuk
layanan kesehatan sudah didirikan, meliputi tidak hanya pemberian layanan klinis
dasar tapi juga lingkungan yang mendukung kesehatan. dalam hal ini, pasien
terminal (atau anggota keluarganya) berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
euthanasia diartikan sebagai ' intervensi yang diambil secara sengaja dengan
tujuan mengakhiri hidup untuk mengakhiri penderitaan berkelanjutan'. praktek
dari euthanasia dilegalkan pada beberapa negara (Belanda, Belgia, beberapa
negara bagian USA, dan Australia). tetapi, euthanasia memiliki dilema etik pada
pelayanan paliatif. Sederhananya, 'seorang dokter dan perawat tidak dilatih untuk
mengakhiri hidup pasien'. Menarik untuk dicatat bahwa persebaran dari layanan
paliatif, penggunaan analgesik, dan peresepan sedasi terminal (meskipun beresiko
efek ganda) sudah mengurangi kebutuhan euthanasia dalam penelitian terbaru
belanda. Karenanya, layanan paliatif harus dipertimbangkan menjadi pilihan
utama untuk kesehatan kelompok dan masyarakat

DILEMA DALAM MELAKSANAKAN PENELITIAN PELAYANAN


PALIATIF

'dua pasien lansia, keduanya dengan kanker paru lanjut, sudah memiliki sesak
napas dan nyeri dada progresif. dapatkah salah satu diberikan morfin oral dan
lainnya fentanyl skin patch selama 2 minggu untuk mengatasi gejala dan nyeri?'
Petugas medis yang baik membutuhkan bukti efektivitas untuk mengatasi
kekurangan di pelayanan. ada beberapa kesempatan besar untuk meningkatkan
layanan paliatif. Tetapi, petugas dapat menemukan masalah, karena penelitian
yanh melibatkan pasien yang mendekati akhir hidupnya menimbulkan beberapa
tantangan etik. beberapa masalah dan tantangan ini nyata dan beberapa dirasakan.
Pasien yang bisa dimasukan dalam penelitian layanan paliatif meniliki
beberapa situasi unik:
1. Pasien sekarat lebih rentan
2. Informed consent yang adekuat sulit didapat

3. Penyeimbangan peran penelitian dan klinis sangat sulit

4. Resiko dan keuntungan dari penelitian layanan paliatif sulit didapatkan.

Nyatanya, lemahnya pasien dengan penyakit tak tersembuhkan secara medis


adalah proses alami. pasien dapat mengalami perubahan dinamis dari gejala fisik
dan psikososial. sudah diteliti adanya prevalensi dari gejala yang tak teratasi
seperti nyeri, lelah, sesak, konstipasi, depresi, dan insomnia. banyak kemajuan
didaptkan dalam memahami dan melayani gejala ini, tetapi penelitian yang lebih
besar dibutuhkan pada banyak daerah. petugas layanan paliatif dan perawat harus
mengatasi kekuarangan yang ada. menyeimbangkan prinsip etis dalam melindungi
pasien lemah dari rasa sakit dan pada saat bersamaan melaksanakan penelitian
ilmiah.

KESIMPULAN

Layanan paliatif dilaksanakan pada pasien kanker stadium lanjut dan


penyakit kronik terminal lain. perbedaan aspek layanan paliatif seperti nyeri dan
pengendalian gejala, layanan psikosoisal, masalah akhir hidup harus diatasi
dengan etis. prinsip etik utama yang harus diikuti adalah autonomy, beneficence,
non-maleficence dan justice. Ahli layanan paliatif dan anggota tim lainnya harus
mengemban tanggung jawab dengan jujur dan hormat. penderitaan karena nyeri
yang tak tertahankan dan ketidaktersediaan morfin dikenalo sebagai pengabaian
hak asasi manusia. ada rintangan etik yang harus diatasi. kejujuran, tempat
pelayanan, kelanjutan pelayanan paliatif hingga akhir hidup, rasa percaya diri,
penggunaan antibiotik dan transfusi darah, nutrisi, dan instruksi lanjut adalah poin
utama yang dihadapkan kepada tim layanan paliatif. perkembangan pada layanan
paliatif didapatkan dari penelitian yang baik dan petugas medis profesional harus
melakukan percobaan dan penelitian di sikap hukum dan etik. pengadaan layanan
paliatif dan etika medis saling melengkapi, dan penerapan keduanya
memaksimalkan perlindungan juga kepuasan yang didapatkan pasien lemah dan
anggota keluarga.
Daftar Pustaka
1. Beauchamp TL. Childress JF. Principles of biomedical ethics. 5th ed.
Oxford University Press; 2001.
2. Joseph F. A palliative ethic of care: Clinical wisdom at life’s end. Jones and
Bartlett Publishers; 2006. ISBN: 0763732923.
3. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/medical_ethics. accessed on
22 September 2009.
4. Peel M. Human rights and medical ethics. J Soc Med 2005;98:171-3.
5. Thieren M, Mauron A. Nuremberg code turn 60. Bull World Health Organ
2007;85:573-4.
6. Carlson RV, Boyd KM, Webb DJ. The revision of the declaration of
Helsinki: Past, present and future. Br J Clin Pharmacol 2004;56:695-713.
7. Beckman M. ‘Rock star’ of biomedical ethics tackles cancer. J Natl Cancer
Inst 2007;99:1426-7.
8. NIH-State-of-the-Science Conference statement on improving end-of-life
care. NIH Consens State Sci Statements 2004;21:1-26.
9. Myers J, Shetty N. Going beyond efficacy: Strategies for cancer pain
management. Curr Oncol 2008;15:S41-9.
10. Fishman SM. Recognizing pain management as a human right: A first
step. Anesth Analg 2007;105:8-9.
11. van Der Heide A, Onwuteaka-Philipsen BD, Rurup ML, Buiting HM, van
Delden JJ, Hanssen-de Wolf JE, et al. End-of-life practices in the
Netherlands under the Euthanasia Act. N Engl J Med 2007;356:1957-65.
12. Jubb AM. Palliative care research: Trading ethics for an evidence base. J
Med Ethics 2002;28:342-6.
13. Casarett DJ, Karlawish JH. Are special ethical guidelines needed for
palliative care research? J Pain Symp Manage 2000;20:130-9.

Anda mungkin juga menyukai