Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) EC


Mitral Stenosis (MS)

Disusun Oleh:
Mailani Jihadi
1608437684

Pembimbing :
dr. Irwan , Sp.JP (K)-FIHA

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal Jantung / heart failure adalah suatu sindroma dengan gejala dan tanda

yang khas (nafas yang pendek, pembengkakan di kaki, kelelahan, peningkatan

tekanan vena jugularis (jugularis venous pressure, JVP), ronki pulmonal dan lokasi

apeks jantung yang berpindah) yang disebabkan oleh ketidaknormalan struktur dan

fungsi jantung.1Gagal jantung kongestif (CHF) juga merupakan suatu

pathophysiological state dimana fungsi jantung yang abnormal bertanggung jawab

sebagai penyebab ketidakmampuan jantung memompakan darah dalam jumlah

normal untuk kebutuhan metabolisme jaringan.2

CHF menyumbang angka mortalitas sebesar 34% dalam kasus

kardiovaskuler.3 Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah terus

meningkat dan akan memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban sosial

ekonomi bagi keluarga penderita, masyarakat, dan negara. Prevalensi penyakit

gagal jantung di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter yaitu

sebesar0.13%.4 Selain itu, data dari WHO pada tahun 2013 menyatakan lebih dari

17,3 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskuler dan 80%-nya terjadi di

negara miskin dan berkembang.4

Prognosis penderita gagal jantung sangat dipengaruhi oleh perbaikan

penyakit yang mendasarinya, seperti penyakit arteri koroner, penyakit katup

jantung, hipertensi dan diabetes.5 Apabila penyakit dasar tidak terkoreksi


2

makapenderita memiliki prognosis yang buruk.Penegakkan diagnosis dan

pemilihan penatalaksanaan yang tepat pada penderita CHF sangat mempengaruhi

kualitas dan kelangsungan hidupnya.6Angka harapan hidup dalam satu bulan

sebesar 89.6%, satu tahun 78%, dan dalam lima tahun hanya sebesar 57.7%. 7Untuk

keadaan gagal jantung berat lebih dari 50%, pasien akan meninggal dalam tahun

pertama.3
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Congestif Heart Failure (CHF)

2.1.1 Definisi

CHF adalah kelainan struktur dan fungsi jantung sehingga jantung gagal

memompakan oksigen untuk kebutuhan metabolisme jaringan pada tekanan yang

normal atau mampu memenuhi rnetabolisme jaringan tetapi pada tekanan pengisian

yang meningkat.1CHF merupakan suatu sindroma klinis yang dikarakteristikkan

dengan gejala sesak napas, kelelahan, dan tanda – tanda kelebihan volume cairan

dalam tubuh (udema perifer dan ronki pulmonal).7

2.1.2 Etiologi

Etiologi gagal jantung terbanyak adalah penyakit arteri koroner, hipertensi,

idiopatik kardiomiopati dan penyakit katup jantung. Gagal jantung yang disebabkan

oleh penyakit arteri koroner mencapai angka kejadian sebesar 60 – 70% (gagal

jantung sistolik) dan penyakit arteri koroner merupakan prediktor untuk

progresifitas disfungsi sistolik ventrikel kiri dari asimptomatis menjadi

simptomatis. Hipertensi dan penyakit katup jantung juga merupakan faktor resiko

yang cukup signifikan dalam menyebakan gagal jantung yaitu dengan angka

kejadian sebesar 1.4 – 1.6%. Diabetes melitus, DM, meningkatkan resiko gagal

jantung yang disebabkan oleh kardiomiopati menjadi dua kali lipat dan pada wanita,

DM menjadi faktor resiko utama terjadinya penyakit arteri koroner yang juga bisa

berakibat menjadi gagal jantung. Merokok, pola hidup inactive, dan obesitas juga
4

termasuk faktor resiko yang harus diperhatikan, karena banyak faktor lain yang

meningkatkan resiko gagal jantung.7

Secara rinci, penyebab gagal jantung kongestif antara lain:8

1) Kelainan otot jantung

Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,

disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung.Kondisi yang mendasari

penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi

arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.

2) Aterosklerosis koroner

Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke

otot jantung.Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam

laktat).Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului

terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif,

berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung

merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.

3) Hipertensi sistemik atau pulmonal

Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan

hipertrofi serabut otot jantung.

4) Peradangan dan penyakit miokardium degenerative

Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung

merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.

5) Penyakit jantung lain

Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang

sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung.Mekanisme


5

biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung

(stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah

(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV),

peningkatan mendadak afterload.

2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi CHF terdiri atas klasifikasi berdasarkan New York Heart

Association, NYHA, (berdasarkan kemampuan seseorang dalam menjalankan

aktivitas fungsionalnya atau melakukan kegiatan sehari-hari) dan klasifikasi oleh

American College of Cardiology (ACC) atau American Heart Association (AHA)

(berdasarkan perkembangan dan progresifitas dari penyakit).

New York Heart Association Functional Classification of Heart Failure1

3
Terjadi limitasi 4
2
1 aktivitas fisik. Setiap aktivitas
Sedikit limitasi
Saat istirahat, fisik yang
Tanpa limitasi aktivitas fisik,
tidak ada dilakukan
aktivitas fisik. hilang saat
keluhan. menimbulkan
Aktivitas fisik istirahat.
Aktivitas fisik gejala CHF,
yang biasa tidak Aktifitas fisik
yang lebih ringan bahkan saat
menimbulkan yang biasa
dari aktifitas fisik istirahat juga
gejala CHF menimbulkan
biasa menimbulkan
gejala CHF
menimbulkan keluhan
gejala CHF
6

Klasifikasi CHF berdasarkan ACCF/AHA9

Stadium ACCF/AHA
A : Beresiko terjadinya CHF tanpa kelainan struktur jantung atau gejala dari CHF
B : Kelainan struktural jantung ada, gejala dari CHF tidak ada
C : Kelainan struktural jantung ada, gejala dari CHF ada
D : Gejala yang berat dari CHF dan perlu intervensi spesialisasi

Klasifikasi lain yang penting adalah berhubungan dengan left ventricular

ejection fraction (LVEF), apakah tergolong preserved(>50%) atau reduced LVEF

(<50%). Pada gagal jantung sistolik dengan reduced LVEF, mortalitasnya

meningkat, dan pada gagal jantung diastolik justru sebagian besar (40 – 50%)

adalah preserved LVEF.7

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi gagal jantung sangat kompleks dan melibatkan berbagai

mekanisme.7Istilah gagal jantung pun bisa dibedakan berdasarkan bermacam

masalah, yaitu :

a. Berdasarkan perjalanan waktu penyakit

 Gagal jantung akut

 Gagal jantung kronis

b. Berdasarkan curah jantung

 Gagal jantung low output

 Gagal jantung high output

c. Berdasarkan lokasi gagal jantung

 Gagal jantung kanan

 Gagal jantung kiri

 Kegagalan biventrikel / CHF

d. Berdasarkan fungsi yang terganggu


7

 Gagal jantung diastolik

 Gagal jantung sistolik

Gagal jantung paling sering mencerminkan adanya kelainan fungsi kontraktilitas

ventrikel (suatu bentuk gagal sistolik) atau adanya gangguan relaksasi ventrikel

(suatu bentuk gagal diastolik).10,11

a. Disfungsi sistolik

Pada disfungsi sistolik, kontraktilitas miokardium mengalami gangguan

(dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit atau fibrosis,

serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan aliran),

sehingga isi sekuncup ventrikel berkurang, adanya penurunan curah jantung dan

volume akhir sistolik meningkat Akibat dari peningkatan volume akhir sistolik, saat

darah dari vena pulmonalis kembali ke jantung yang sedang terganggu, dimana

ventrikel dikosongkan secara tidak sempurna, akan mengakibatkan volume

diastoliknya meningkat lebih besar, sehingga tekanan dan volume akhir diastolik

lebih tinggi dari normal (terjadi peningkatan tekanan darah).

b. Disfungsi diastolik

Terdapat gangguan pada relaksasi diastolik dini (suatu proses yang aktif dan

bergantung pada energi), peningkatan kekakuan dinding ventrikel (bersifat pasif)

atau kedua-duanya yang paling sering disebabkan oleh penyakit jantung koroner,

hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi. Dalam fase

diastol, pengisian ventrikel menyebabkan tekanan diastolik meningkat, karena

adanya kenaikan volume yang menyebabkan peningkatan tekanan yang lebih besar.

Tekanan diastolik meningkatakan diteruskan ke atrium kiri kemudian ke vena dan


8

kapiler paru. Kenaikan tekanan hidrostatik di kapiler paru yang cukup tinggi

(>20mmHg), dapat menyebabkan transudasi cairan kedalam intersisium paru dan

menimbulkan keluhan - keluhan kongesti paru.

Gagal jantung kongestif terjadi pada kondisi gagal jantung kiri jangka panjang

yang diikuti dengan gagal jantung kanan atau sebaliknya, namun kebanyakan

didahului oleh gagal jantung kiri.

Gambar 2.2 Jantung normal dan gagal jantung kongestif


9

Mekanisme kompensasi pada gagal jantunga adalah:11

 Mekanisme Frank Starling  penambahan panjang serat menyebabkan

kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat.

 Perubahan neurohormonal  peningkatan aktivitas simpatis merupakan

mekanisme paling awal untuk mempertahankan curah jantung.

Katekolamin menyebabkan kontraksi otot jantung yang lebih kuat (efek

inotropik positif) dan peningkatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis

juga turut berperan dalam aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron

(RAA) yang bersifat mempertahankan volume darah yang bersirkulasi

dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu dilepaskan juga counter-

regulator peptides dari jantung seperti natriuretic peptides yang

mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, natriuresis dan diuresis

serta turut mengaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA.

 Remodeling dan hipertrofi ventrikel bertambahnya beban kerja

jantung akibat respon terhadap peningkatan kebutuhan maka terjadi

berbagai macam remodeling termasuk hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya

terjadi peningkatan muatan tekanan ruang jantung atau pressure

overload (misalnya pada hipertensi, stenosis katup), hipertrofi ditandai

dengan peningkatan diameter setiap serat otot. Pembesaran ini

memberikan pola hipertrofi konsentrik yang klasik, dimana ketebalan

dinding ventrikel bertambah tanpa penambahan ukuran ruang jantung.

Namun, bila pengisian volume jantung terganggu (misalnya pada

regurgitasi katup atau ada pirau) maka panjang serat jantung juga
10

bertambah yang disebut hipertrofi eksentrik, dengan penambahan

ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding (gambar 2.3)

Gambar 2.3 Gambaran jantung normal dan kelainan – kelainan pada jantung

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan dari anamnesis yang teliti,

pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan penunjang yang sesuai, sebagai berikut

:1,7

a. Anamnesis

Tanyakan keluhan sesak saat bekerja, berbaring (ortopneu), saat malam hari

(sampai terbangun), cepat lelah, tidak tahan dengan latihan berat, riwayat

bengkak di perut, kaki, dll (tabel 2.1).


11

Tabel 2.1 Gejala dan tanda gagal jantung1

b. Pemeriksaan fisik

Dapat ditemukan kelainan khas gagal jantung seperti peningkatan tekanan

vena jugularis, refluks hepatojuguler, udema ekstremitas, bradikardi /

takikardi, berpindahnya lokasi ictus cordis, adanya bising jantung (gallop /

murmur), ronki basal paru, kesulitan bernafas, dan sianosis.

c. Pemeriksaan penunjang

i. Pemeriksaan laboratorium

 Pemeriksaan level B-type natriuretic peptide

 Pemeriksaan elektrolit serum

 Pemeriksaan darah lengkap (anemia ada / tidak)


12

 Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal

 Pemeriksaan urin rutin

 Pemeriksaan hormon tiroid

ii. Pemeriksaan rontgen toraks

Rontgen toraks harus diperiksa sejak awal untuk membedakan

penyebab keluhan antara jantung atau paru. Adanya kongestif pulmonal

dan udema intersisial paru semakin memperkuat diagnosis gagal

jantung, serta ditambah dengan adanya cardiomegali (CTR >50%).

iii. EKG

EKG sangat diperlukan untuk mengetahui penyakit yang mendasari

terjadinya gagal jantung. Perubahan pada EKG seperti left branch

bundle block (LBBB), left ventriculer hypertrophy (LVH), infark

miocard akut atau kronis, dan atrial fibrilation dapat diidentifikasi dan

mungkin juga mengarahkan untuk perlunya dilakukan pemeriksaan

lanjutan seperti echocardiography (ECG), stress testing atau konsul

kepada kardiolog.

iv. Echocardiography (ECG)

Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum

digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, miokardium dan

perikadium.Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung

adalah penilaian Left-ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya

remodelling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik.


13

Alur penegakkan diagnosis tersebut dapat disimpulkan sesuai alur pada

gambar 2.2 berikut :7

Dalam menegakkan diagnosis gagal jantung, terdapat dua kriteria yang

dipakai sebagai panduan, yaitu kriteria Framingham dan Boston, sebagai berikut :

Tabel 2.2 Diagnosis CHF


14

Framingham7 Boston12
Kriteria Mayor : Kategori I : Riwayat
- Paroksismal nokturnal dispnea atau - Dispnea saat istirahat (4)
ortopnea - Ortopnea (4)
- Peningkatan JVP - Paroksismal nokturnal dispnea (3)
- Ronki basah - Sesak saat naik tangga (2)
- Edema pulmonary akut - Sesak saar memanjat (1)
- Bunyi S3 Gallop
- Peningkatan tekanan vena Kategori II : Pemeriksaan Fisik
- Refluks hepatojugular - Denyut jantung yang abnormal
(1-2)
Kriteria Minor - Peningkatan JVP (1-2)
- Edema tungkai - Suara paru crackles (1-2)
- Batuk malam hari - Wheezing (3)
- Dispnea on effort - Bunyi S3 (3)
- Hepatomegali
- Efusi pleura Kategori 3 : Radiologi
- Kapasitas vital berkurang - Edema alveolus paru (4)
1/3 dari maksimum - Edema intersisial paru (3)
- Takikardi - Efusi pleura bilateral (3)
- CRT >50% (3)
Kriteria mayor atau minor : - Retribusi aliran di zona atas (2)
Kehilangan berat badan >4,5 kg dalam
5 hari pengobatan Nilai 8-12 : pasti CHF
Nilai 5-7 : mungkin CHF
Diagnosis ditegakkan jika 2 kriteria mayor Nilai <5 : bukan CHF
atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor

2.1.6 Penatalaksanaan

Pemberian terapi pada CHF harus disesuaikan dengan penyakit yang

mendasarinya. Untuk CHF sendiri, algoritma penatalaksanaannya selalu diperbarui

berdasarkan penelitian – penelitian yang dilakukan, seperti guideline tatalaksana

CHF terbaru yaitu berdasarkan AHA 2013 serta berdasarkan alur


terapi oleh American Family Physician (AAFP) 2010 seperti yang ditampilkan di bawah ini:
16

Pada dasarnya, prinsip dalam penangananCHF adalah:13

1. Pengurangan preload (beban awal)

Beban awal jantung dapat dikurangi dengan membatasi asupan garam

dalam makanan, bila perlu beri diuretik untuk mengantisipasi retensi

natrium dan air (jika gejala menetap). Vasodilatasi vena dapat

menurunkan beban awal dari jantung melalui retribusi darah dari sentral

ke sirkulasi perifer.Vasodilatasi menyebabkan aliran darah mengalir ke

perifer dan mengurangi aliran balik vena ke jantung.

2. Pengurangan afterload (beban akhir)

Mekanisme kompensasi pada gagal jantung adalah teraktivasinya sistem

RAAS dan simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan

meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel (resistensi perifer) dan

afterload. Afterload yang meningkat menyebabkan kerja jantung

semakin bertambah berat dan cardiac output menurun. Pemberian

vasodilator dapat menghambat efek negatif ini, umumnya dipakai

vasodilator yang bekerja dengan cara dilatasi langsung otot polos

pembuluh darah (seperti: Isosorbid dinitrat/ISDN), dan obat yang

menghambat kerja angiotensin (seperti: ACE-Inhibitor).

3. Meningkatkan kontraktilitas miokardium

Obat inotropik positif akan meningkatkan kontraksi miokardium,

sehingga memperbaiki fungsi ventrikel dalam memompakan darah lebih

baik, cardiac output dapat lebih besar pada volume dan tekanan diastolik

tertentu.
17

Gambar 2.3. Strategi pengobatan tatalaksana gagal jantung sistolik kronik

(NYHA fc II – IV)
18

2.2 Stenosis Mitral


2.2.1 Definisi
Stenosis mitral adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah dari
atrium kiri ke ventrikel kiri pada fase diastolik akibat penyempitan katup
mitral.14Penyebab stenosis mitral paling sering demam rematik, penyebab lain
adalah karsinoid, sistemik lupus erimatosus, reumatoid artritis,
mukopolisakaridosis dan kelainan bawaan. kelainan struktur katup mitral
menyebabkan gangguan pada pembukaan sehingga terjadi gangguan pengisian
ventrikel kiri pada saat fase diastol. Gangguan pengisian ini akan menyebabkan
tidak seluruhnya darah di atrium kiri akan turun ke ventrikel kiri dan akan
meninggalkan sisa pada atrium kiri.14,15

2.2.2 Etiologi dan patofisiologi


Etiologi dari stenosis mitral adalah sebagai berikut.2,4

Tekanan atrium kiri yang meningkat, selanjutnya, meningkatkan tekanan


vena dan kapiler pulmonalis, yang mengurangi daya kembang (compliance) paru
dan menyebabkan dispnea pada waktu pengerahan tenaga (exertional dyspnea,
dyspnea d’ effort). Serangan pertama dispnea biasanya dicetuskan oleh kejadian
klinis yang meningkatkan kecepatan aliran darah melalui orifisium mitral, yang
selanjutnya mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Kenaikan denyut jantung
memperpendek diastolik secara proporsional lebih daripada sistolik dan
mengurangi waktu yang tersedia untuk aliran yang melalui katup mitral. Pada setiap
19

tingkat curah jantung tertentu, takikardia menambah tekanan gradien transvalvuler


dan selanjutnya meningkatkan tekanan atrium kiri.14,15
Disfungsi ventrikel kiri, seperti yang ditunjukan dalam berkurangnya fraksi
ejeksi dan kecepatan memendek serabut yang mengelilingi, terjadi pada sekitar
seperempat pasien dengan stenosis mitral berat, sebagai akibat berkurangnya
preload kronik dan luasnya jaringan parut dari katup ke dalam miokardium yang
berdekatan. Pada pasien dengan stenosis mitral ringan sampai sedang tanpa
peningkatan resistensi vaskuler paru, tekanan arteri pulmonalis mungkin mendekati
batas atas normal pada waktu istirahat dan meningkat seiring dengan exercise. Pada
stenosis mitral berat kapan saja ketika resistensi vaskuler paru naik, tekanan arteri
pulmonalis meningkat bahkan ketika pasien sedang istirahat, dan pada kasus
ekstrim dapat melebihi tekanan arterial sistemik.14,15
Kenaikan tekanan atrium kiri, kapiler paru, dan tekanan arteri pulmonalis
selanjutnya terjadi selama latihan.pada pasien dengan stenosis mitral, atau pada
keadaan dengan lesi yang mengenai sisi kiri jantung, peningkatan afterload
ventrikel kanan menghalangi pengosongan ruangan ini, sehingga tekanan diastolik
akhir dan volume ventrikel kanan biasanya meningkat sebagai mekanisme
kompensasi.`14,15
20

Gambar 1. Patofisiologi gejala stenosis mitral.

2.2.2 Diagnosis15,16

Diagnosis dapat ditegakkan melalui kombinasi anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan secara cepat, tepat dan
terarah. Pemeriksaan penunjang elektrokardiografi (EKG), foto toraks dan
ekokardiografi dapat membantu menegakkan kelainan anatomi dan fungsional
jantung.

Pada riwayat penyakit didapatkan adanya riwayat demam rematik


sebelumnya, dyspneu d’effort, Paroksismal Nokturnal Dispnea, aktifitas yang
memicu kelelahan, hemoptisis, nyeri dada dan palpitasi.Pada pemeriksaan fisik
didapatkan sianosis perifer dan wajah, opening snap sound, diastolic rumble,
distensi vena jugularis, distress peernafasan, clubbing finger, emboli sistemik dan
tanda-tanda gagal jantung seperti asites, hepatomegali dan edema perifer.

Pemeriksaan penunjang foto toraks akan memberikan gambaran


pembesaran atrium kiri dan arteri pulmonalis, penonjolan vena pulmonalis dan
bendungan pada lapangan paru dapat terlihat. Pada EKG dapat terlihat adanya
gelombang P mitral pada gelombang P dengan gambaran kompleks QRS yang
normal. Perubahan aksis frontal yang bergeser ke kanan akan terjadi pada tahap
lebih lanjut dan kemudian akan terlihat gambaran RS pada hantaran prekordial
kanan. Pemeriksaan ekokardiografi akan memperlihatkan gambaran i mengecil dari
anterior leaflets katup mitral, dengan menghilangnya gelombang a, berkurangnya
permukaan katup mitral, berubahnya pergerakan katup posterior dan penebalan
katup akibat fibrosis dan multiple mitral valve echo akibat kalsifikasi.

2.7 Penatalaksanaan11,12

Obat-obatan yang diberikan pada stenosis mitral bersifat suportif atau


simtomatis karena kelainan yang terjadi merupakan kelainan mekanis. Antibiotik
golongan penisilin, eritromisin, sefalosporin digunakan untuk pencegahan terhadap
infeksi seperti demam rematik atau pencegahan endokarditis. Obat-obatan inotropik
negatif seperti β blocker atau CCB dapat memberi manfaa pada pasien dengan
21

irama sinus yang memberi keluhan saat frekuensi jantung meningkat saat latihan.
Hemodinamik yang tidak stabil karena hilangnya kontriubusi atrium terhadap
pengisian ventrikel serta frekuensi ventrikel yang cepat dapat menimbulkan fibrilasi
atrium (AF).Pemakaian digitalis merupakan indikasi pada keadaan ini dan dapat
dikombinasikan dengan beta blocker atau antagonis kalsium. Penggunaan
antikoagulan diberikan pada saat fibrilasi atrium atau irama sinus dengan
kecenderungan pembentukan trombus untuk mencegah tromboemboli.

Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup (komisurotomi) dapat


memperbaiki fungsi jantung. Operasi yang dilakukan berupa closed mitral
commisurotomy, open commisurotomy, dan mitral valve replacement.Indikasi
dilakukan operasi adalah ditemukan stenosis sedang sampai berat (<1,7 cm2) dan
keluhan, stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal dan stenosis mitral dengan
resiko tinggi timbul emboli seperti usia tua dengan AF, pernah mengalami emboli
sistemik dan adanya pembesaran yang nyata dari appendage atrium kiri.

BAB III
22

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien


Nama : Ny. T

Umur : 56 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Sialang rindang/ Tambusai Rokan Hulu

Tgl Masuk RS : 09-04-2019

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan utama
Sesak nafas memberat sejak 10 hari SMRS.

3.2.2 Riwayat penyakit sekarang


- Sejak 1 tahun SMRS pasien sering mengeluhkan sesak napas, sesak
dirasakan hilang timbul, muncul saat beraktifitas seperti mencuci baju dan
hilang jika pasien beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dingin,
debu, atau makanan dan sesak tidak diawali dengan demam. Keluhan sesak
juga menyebabkan pasien sering terbangun malam hari dan merasa nyaman
bila tidur dengan bantal yang ditinggikan. Pasien juga mengeluhkan kedua
kakinya sering sembab, terutama di sore hari, sulit membuka mata saat
bangun pagi hari disangkal. Pasien diketahui memiliki riwayat TB 2 tahun
6 bulan yang lalu. Pasien tidak tuntas mengkonsumsi obat TB hanya 2 bulan
pasien mengkosumsi obat TB.
- 6 bulan SMRS pasien kembali mengeluhkan sesak, sesak muncul saat
berjalan ke kamar mandi dan sedikit berkurang jika dibawa berbaring.
Pasien tidak dapat berbaring telentang dan lebih nyaman dengan posisi
setengah duduk. Selain itu, pasien juga mengeluhkan kedua tungkainya
terlihat sembab, disertai nyeri dada terasa manjalar kepunggung hilang
timbul , batuk pada malam hari (+), batuk bercampur darah (-), demam (-).
BAK masih lancar serta BAB tidak ada keluhan. Pasien kemudian berobat
23

RS Awal Bros Ujung Batu , pasien dirawat 3 hari mendapat obat, lalu
pulang.
- 10 hari SMRS pasien mengeluh sesak semakin memberat, mengigil dan
keringat dingin. Pasien sesak saat ke kamar mandi dan bila dibawa
beristirahat sesak masih terasa. Sesak juga disertai dengan keluhan batuk,
berdahak dengan dahak berwarna putih, tidak berbuih dan tidak bercampur
darah. Selain itu, kedua tungkai semakin sembab. Setelah konsumsi obat,
sesak berkurang, Pasien pergi RSUD AA.

3.2.3 Riwayat penyakit dahulu


 Riwayat Jantung diketahui sejak 1 tahun rutin berobat dan minum obat.
 Riwayat hipertensi disangkal.
 Riwayat diabetes disangkal.
 Riwayat TB 2 tahun, pengobatan belum tuntas, 2 bulan minum obat
 Riwayat asma tidak ada

3.2.4 Riwayat penyakit dalam keluarga


 Riwayat hipertensi ibu kandung
 Riwayat penyakit jantung tidak ada
 Riwayat asma tidak ada
 Riwayat penyakit asma tidak ada

3.2.5 Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan


 Pasien seorang ibu rumah tangga
 Pasien sudah tidak pernah berolahraga lagi saat ini
 Pasien mengatakan sehari makan 3 kali, lebih banyak sayur mayur.
 Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal.

3.3 Pemeriksaan fisik


24

3.3.1 Pemeriksaan umum


Tanda – tanda vital
Kesadaran : Composmentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
TD : 149/100 mmHg
Nadi : 112x/menit
RR : 28 x/menit
Suhu : 36,20C
Keadaan Gizi : Overweight
TB : 153 Cm
BB : 54 Kg
BMI : 23,4 (Normoweigt )
Kepala dan leher
Mata : Mata cekung (-), Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
pupil bulat, isokor diameter 3mm/3mm. refleks cahaya (+/+)
KGB : tidak ada pembesaran KGB
Tiroid : tidak ada pembesaran tiroid
JVP : 5+3 cmH2O

Toraks Paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri saat statis dan
dinamis, tidak ada retraksi
Palpasi : Vokal fremitus kesan tidak ada peningkatan kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : SP: Vesikuler (+/+), ST: Ronki (+/+) basal, Wheezing (-/-)

Toraks Jantung
Inspeksi :Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan  SIK V linea parasternal dextra
Batas jantung kiri  SIK VI linea aksilaris anterior
25

Auskultasi : S1 dan S2 iregular regular, gallop (-), murmur (+) diapex


jantung fase diastolik

Abdomen
Inspeksi : Perut distensi, striae (+), masa (-)
Auskultasi : Bising usus positif 8 x/menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar & lien (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapangan abdomen

Ekstremitas : Pitting Edema (+/+), sianosis (-), clubbing finger (-)


Akral hangat, CRT <2 detik

3.4 Pemeriksaan penunjang


Tanggal (9/04/19) Elektrolit
Pemeriksaan darah rutin Na : 149 mmol/L >
Kimia darah
Hb : 10,5 mg/dL < Cl : 115 mmol/ L
Ht : 25,2 % Kratinin : 1,69 mg/dL
Leukosit : 7.900/uL > Ureum : 107 mg/dL
Trombosit : 221.000 /uL > Albumin : 4,0 g/ Dl
Glukosa darah sewaktu :
114 mg/dL

- EKG
26

Interpretasi :

Irama : Asinus
Reguler : Irreguler, reguler
Rate : 100x/menit
Axis : RAD
Gel. P : Sulit dinilai
PR Interval : Sulit dinilai
QRS : 0,4 s
S-T : isoelektrik
LVH :-
RVH :-
27

RBBB : -
LBBB : -
Kesan : Aterial Fibrilasi

- Foto Toraks

Interpretasi :
- Identitas sesuai
- Marker R
- Foto diambil secara AP
- Kekerasan foto cukup
- Jariangan lunak > 2cm
- Costae,clavikula dan scapula intak
- Sega Iga tidak melebar
- CTR > 50 %
Kesan : kardiomegali

Echocardiogrph (11-104-2019) :
28

Hasil:
LA dilatasi

- Mitral: kalsifikasi berat


- MVA: 0,6-0,8 cm2
- AR mild, MR mild
- TR mild
- EF 66%

Kesimpulan:
Antrium kiri dilatasi
MS severe
29

3.5 Kesimpulan
Ny T, 56 tahun, sejak 1 tahun SMRS pasien mulai mengeluhkan
sesak napas, sesak dirasakan hilang timbul, muncul saat aktifitas dan hilang
jika pasien istirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dingin, debu, atau
makanan.Sesak tidur malam hari (+),tidur dengan bantal ditinggikan (+).
Pasien diketahui memiliki riwayat jantung sejak 1 tahun yang lalu. Pasien
rutin mengkonsumsi obat. 10 hari SMRS pasien kembali mengeluhkan
sesak, sesak muncul saat berjalan ke kamar mandi dan sedikit berkurang
jika dibawa berbaring, kedua tungkainya terlihat sembab. Nyeri dada
(+),batuk (+),bercampur darah (-), demam (-). 6 jam SMRS pasien
mengeluh sesak semakin memberat, mengigil dan keringat dingin. Pasien
sesak saat ke kamar mandi dan bila dibawa beristirahat sesak masih terasa.
Sesak disertai dengan batuk, berdahak dengan dahak berwarna putih, tidak
berbuih dan tidak bercampur darah, kedua tungkai semakin sembab. Setelah
konsumsi obat, sesak berkurang, kemudian pasien berobat RSUD AA.
Pemeriksaan fisik di dapatkanTD 149/100 mmhg, HR 112x/i, RR
28x/i. Peningkatan JVP (+), Edema tungkai(+/+). Dari pemeriksaan
laboratorium darah didapatkan peningkatan kadar ureum dan creatinin
serum. Dari pemeriksaan penunjang EKG diperoleh kesan: Aterial Fibrilasi.
Pemeriksaan ekokardiografi yang dilakukan menjelaskan gambaran mitral
stenosis yang berat.

3.6 Daftar masalah


- CHF
- Mitral Stenosis
- Aterial Fibrilasi

3.7 Rencana pemeriksaan


Rontgen thoraks PA
30

3.8 Penatalaksanaan
3.8.1 Non Farmakologis
- Bedrest, membatasi aktifitas fisik sehari-hari
- Diet rendah garam dan rendah lemak
3.8.2 Farmakologis
- O2 4 lpm via nasal canul
- Infus Nacl 0,9% 12 tpm
- spironolakton 1 x 50 mg
- Injeksi Lasix (furosemid)40 mg/8 jam i.v
- Ranitidin 2 x 1 amp 50 mg
- Captopril 2 x 12,5 mg
- Aspilet 1 x 80 mg
31

BAB IV
PEMBAHASAN

Ny T, 56 tahun, didiagnosis sebagai gagal jantung kongestif NYHA grade


III/AHA stadium C pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari klinis
didapatkan keluhan sesak nafas yang mulai dirasakan sejak 3 bulan SMRS, sesak
bersifat hilang timbul, muncul saat aktifitas dan hilang jika pasien istirahat. Sesak
yang tidak dipengaruhi oleh cuaca dingin, debu atau makanan menunjukkan gejala
sesak nafas tidak disebabkan oleh alergi. Selain itu sesak juga tidak diawali dengan
demam serta batuk yang produktif menunjukkan sesak tidak berasal dari infeksi di
saluran pernafasan. Keluhan sesak yang sering dirasakan pada saat tidur malam hari
atau Paroxysimal nocturnal dyspnea (PND) dan merasa nyaman bila tidur posisi
yang ditinggikan atau ortopnea merupakan manifestasi klinis yang termasuk ke
dalam kriteria mayor gagal jantung menurut Frimingham dan merupakan tanda
gagal jantung kiri.Selain itu, terdapat pula sesak saat aktivitas atau dyspneu on effort
dan sembab atau edema tungkai yang merupakan kriteria minor gagal jantung
menurut framingham. Dari pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan JVP
menunjukkan adanya bendungan di sistem vena akibat gagal jantung kanan.
Sehingga pada pasien ini ditemukan klinis baik gagal jantung kiri atau pun kanan.
Pemeriksaan ekokardiografi yang dilakukan menjelaskan gambaran mitral stenosis
yang berat, sehingga kemungkinan gagal jantung kongestif karena mitral stenosis
dapat dipikirkan.4,5,10
Pasien diklasifikasikan sebagai NYHA grade III berdasarkan anamnesis
berupa keluhan sesak nafas yang mulanya muncul saat aktivitas seperti mencuci,
beberapa waktu kemudian sesak muncul saat pasien beraktivitas sehari-hari yakni
saat pergi ke kamar mandi dan sesak berkurang dengan istirahat. Hal ini sekaligus
dapat menunjukkan progresivitas dari penyakit yang dialami pasien.
Pasien ini mendapat terapi farmakologis berupa furosemide (diuretik),
spironolakton untuk mengobati penumpukan cairan di salah satu bagian tubuh
sebagai pengurangan beban awal jantung. Furosemid dapat dikombinasikan dengan
spironolakton untuk mencegah hipokalemi dan dapat mengurangi retensi cairan.
32

Captopril (ACE) inhibitor, didalam tubuh terdapat hormon angiotensin yang


menyebabkan pembuluh darah menyempit. Pemberian obat ACE inhibitor
membantu menurunkan produksi angiotensin. ACE inhibitor dapat menghambat
perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan
penurunan sekresi aldosteron. Diuretik diberikan untuk mengurangi tanda kongesti,
pada pasien ini tanda kongesti dapat ditemukan dari klinis dan pemeriksaan fisik.
Pada pasien diberikan juga obat untuk mengatasi angina yaitu aspilet 1x 80 mg.
Penanganan komorbiditas (penyakit penyerta) merupakan hal penting pada
tatalaksana gagal jantung karena sebagian besar penyakit penyerta berhubungan
dengan klinis dan prognosis dari gagal jantung.
Aliran darah dari atrium kiri tidak seluruhnya pindah ke ventrikel kiri karena
adanya penyempitan katup mitral. Peningkatan tekanan vena pulmonalis akan
meningkatkan tekanan di paru-paru dan selanjutnya akan meningkatkan tekanan di
ventrikel dan atrium kanan. Jantung akan membesar dan tidak bisa
mengkompensasi karena kerja ekstra untuk memompakan darah dari ventrikel
kanan ke paru-paru, sehingga terjadi gagal jantung kanan. Curah jantung yang
menurun mengakibatkan jantung tidak cukup memompakan darah ke seluruh
tubuh.4,5,10

DAFTAR PUSTAKA

1. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M,


Dickstein K, et all. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure 2012. European Heart Jurnal. 2012.
2. Remme WJ, Swedberg K. Guidelines for the diagnosis and treatment of
chronic heart failure. In: European heart journal. 2001; 22, 1527-60
33

3. Emedicine.medscape.com [homepage on internet]. New York. WebMD.


Dumitru I, et al. Heart Failure. [cited on 3 Nov 2016]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview#a0156.
4. www.depkes.go.id [homepage on internet]. Kementrian kesehatan Republik
Indonesia. Lingkungan sehat, Jantung sehat. Published Oct 7,2014 [cited on
3 Nov 2014]. Available from:
http://www.depkes.go.id/article/view/201410080002/lingkungan-sehat-
jantungsehat.html#sthash.qGmdNjJ3.dpuf
5. Fadi shamsham, M.D, Judith mitchell, M.D. State University of New York
Health Science Center at Brooklyn, Brooklyn, New York Am Fam
Physician. 2000 Mar 1;61(5):1319-1328.
6. Colucci WS, Braunwald E. Pathophysiology of heart failure. In Baunwald’s
Heart Disease. A Textbook of cardiovascular medicine. 7th edition. Elsevier
Saunders. Philadelphia.2005
7. www. aafp.org [homepage on internet]. King M, Kingery J,Casey.
Diagnosis and evaluation heart failure. In: American family physician. 2012
jun 15(85):12 p 1161-1168[cited on 3 Nov 2016]. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2012/0615/p1161.html#afp20120615p1161-b3
8. Kumalasari EY. Angka kematian gagal jantung kongestif di HCU dan ICU
di RSUP dr.Kariadi Semarang.2016
9. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH,
Fonarow GC, et all. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of
Heart Failure. American College of Cardiology Foundation and American
Heart Association. 2013Roger VL. Epidemiology of heart failure. PMC.
2014.
10. Irmalita. Gagal jantung kongestif. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK,
Roebiono PS, editors. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit
Fakulras Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
11. Fauzi MG. Hubungan anttara merokok dengan angka mortalitas gagal
jantung akut di 5 RS di Indonesia. [cited on 4 Nov 2016]. Available
from:http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125516-S09130fk-
Hubungan%20antara-Literatur.pdf.
12. Roger VL. Epidemiology of heart failure. PMC. 2014
13. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit.alih bahasa Pendit BU, et. al. editor edisi bahasa Indonesia,
Hartanto H. Ed 6. Vol 1. Jakarta. EGC; 2004.
14. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman
tatalaksana gagal jantung. Ed 1. Jakarta:2015
15. Wunderlich NC, Beigel R, Siegel RJ. Management of mitral stenosis using
2D and 3D echo-Doppler imaging. JACC Cardiovasc Imaging. 2013 Nov.
6 (11):1191-205.
34

16. Marcus RH, Sareli P, Pocock WA, et al. The spectrum of severe rheumatic
mitral valve disease in a developing country. Correlations among clinical
presentation, surgical pathologic findings, and hemodynamic sequelae. Ann
Intern Med. 1994 Feb 1. 120(3):177-83.

Anda mungkin juga menyukai