Anda di halaman 1dari 5

Dwi Arini 1710711034

Annisa Hilmy Nurarifah 1710711087


Dinda Triananda 1710711089
Patofisiologi

Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang


disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Ketika SDM dihancurkan,
hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi, tempat hemoglobin terpecah menjadi
dua fraksi : heme dan globin. Bagian globin (protein) digunakan lagi oleh
tubuh, dan bagian heme diubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, suatu
zat tidak larut yang terikat pada albumin.

Dihati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan dengan adanya


enzim glukuronil transferase, dikonjugasikan dengan asam glukoronat
menghasilkan larutan dengan kelarutan tinggi, bilirubin glukuronat
terkonjugasi, yang kemudian dieksresi dalam empedu. Di usus, kerja bakteri
mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen, pigmen yang memberi
warna khas pada tinja. Sebagian kecil di eliminasi ke urine.

Normalnya tubuh mampu mempertahankan keseimbangan antara


destruksi SDM dan penggunaan atau ekspresi produk sisa. Tetapi, bila
keterbatasan perkembangan atau proses patologis memengaruhi keseimbangan
ini, bilirubin akan terakumulasi dalam jaringan dan mengakibatkan jaundis.
Kemungkinan penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir adalah

1. Faktor fisiologis (perkembangan-prematuritas)


2. Berhubungan dengan pemberian ASI
3. Produksi bilirubin berlebihan (mis. penyakit hemolitik,
defekbiokimia,memar)
4. Gangguan kapasitas hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (mis.
defisiensi enzim, obstruksi duktus empedu)
5. Kombinasi kelebihanproduksi dan kurang sekresi (mis. sepsis)
6. Beberapa keadaan penyakit (mis. hipotiroidisme, galaktosemia, bayi dari
ibu diabetes)
7. Predisposisi genetik terhadap peningkatan produksi (penduduk Amerika
Asli, Asia)

Penyebab umum hiperbilirubinemia adalah jaundis fisiologis atau


ikterus neonatorum ringan dan dapat sembuh sendiri , jaundis fisiologis tidak
terkait dengan proses patologis apapun. Meskipun hampir semua bayi baru
lahir mengalami peninggian kadar bilirubin, hanya setengahnya yang
memperhatikan tanda jaundis yang tampak.

Terdapat dua fase jaundis fisiologis yang teridentifikasi pada bayi


term. Pada fase pertama, kadar bilirubin bertahap naik sampai sekitar 6 mg/dl
pada hari ketiga kehidupan, Kemudian menurun sampai plato 2 sampai 3
mg/dl pada hari kelima. Kadar bilirubin tetap dalam keadaan plato pada fase
kedua tanpa peningkatan atau penurunan sampai sekitar 12-14 hari, yang
kadarnya akan menurun ke harga normal <1 mg/dl (Maisels 1994, Vope,
1995). Pola ini bervariasi sesuai kelompok ras, metode pemberian makanan
(ASI vs botol), dan usia gestasi (Maisels, 1994). Pada bayi preterm, kadar
bilirubin serum dapat memuncak sampai setinggi 10-12 mg/dl pada hari 4-5
dan perlahan menurun selama periode 2-4 minggu (Black-burn,1995,Gartner
1994).

Rata-rata bayi baru lahir memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin
dibandingkan orang dewasa karena lebih tingginya kadar eritrosit yang beredar
dan lebih pendeknya lam hidup sel darah merah (SDM)(hanya 70-90 hari,
dibandingkan 120 hari pada anak yang lebih tua dan orang dewasa). Selain itu,
kemampuan hati untuk mengonjugasi bilirubin sangat rendah karena batasnya
produksi glukuronil transferase. Bayi baru lahir juga memiliki kapasitas
ikatan-plasma terhadap bilirubin yang lebih rendah karena rendahnya
konsentrasi albumin dibandingkan anak yang lebih tua. Perubahan normal
dalam sirkulasi hati setelah kelahiran mungkin berkontribusi terhadap
tingginya kebutuhan fungsi hati.

Normalnya, bilirubin terkonjugasi direduksi menjadi urobilinogen


oleh flora-usus dan di eksresi dalam feses. Akan tetapi, usus bayi yang steril
dan kurang motil pada awalnya kurang efektif dalam mengeksresi
urobilinogen. Pada usus bayi baru lahir, enzim B-glucuronidase mampu
mengonversi bilirubin terkonjugasi menjadi bentuk tidak terkonjugasi, yang
kemudian diserap oleh mukosa usus dan ditranspor ke hati. Proses ini, yang
dikenal sebagai sirkulasi atau pirau enterohepatik, jelas pada bayi baru lahir
dan diperkirakan merupakan mekanisme primer dalam patologi jaundis
(blackburn, 1995). Pemberian makan (1) Merangsang peristaltik dan
menghasilkan pengeluaran mekoneum lebih cepat, sehingga menurunkan
jumlah reabsorpsi bilirubin tidak terkonjugasi , dan (2) memasukkan bakteri
untuk membantu reduksi bilirubin menjadi urobilinogen. Kolostrum, katartik
alamiah, memfasilitasi evakuasi mekoneum.

Pemberian ASI berhubungan dengan peningkatan insidens jaundis.


Ada dua tipe yang telah terindetifikasi. Jaundis terkait pemberian ASI
(jaundis awitan awal) mulai pada usia 2- 4 hari dan terjadi sekitar 10%- 25%
bayi baru lahir yang mendapatkan ASI. Jaundis ini terkait dengan proses
pemberian ASI dan kemungkinan sebagai akibat dari kekurangan asupan kalori
dan cairan pada bayi yang mendapat ASI sebelum produksi ASI mencukupi,
karena puasa berhubungan dengan penurunan klirens bilirubin dalam hati.

Jaundis ASI (jaundis awitan lambat) mulai pada usia 5-7 hari dan
terjadi pada 2%-3% bayiyang mendapat ASI . Puncak peningkatan kadar
bilirubin selama minggu kedua dan secara bertahap menghilang. Meskipun
begitu tingginya kadar bilirubin yang mungkin menetap selama 2- 12 minggu,
namun bayi ini tetap sehat. Jaundis ini mungkin disebabkan oleh faktor dalam
ASI (prenadiol, asam lemak, dan B-glucuronidase) yang menghambat
konjugasi atau menurunkan eksresi bilirubin. Frekuensi defekasi yang jarang
pada bayi yang mendapat ASI memungkinkan semakin lamanya waktu
reabsorbsi bilirubin dalam tinja.

Metabolisme Bilirubin

Meningkatkan kadar bilirubin dapat disebabkan produksi yang


berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang
menua. Pada neonatus 75% bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu gram
hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek (free bilirubin)dan
bentuk inilah yang dapat masuk ke jaringan otak dan menyebabkan
kernicterus. Sumber lain kemungkinan besar dari sumsum tulang dan hepar,
yang terdiri dari dua komponen , yaitu komponen non-eritrosit dan komponen
eritrosit yang terbentuk dari eritropoiesis yang tidak sempurna .
Pembentukan bilirubin diawali dengan proses oksidasi yang
menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami reduksi biliverdin menjadi
bilirubin bebas, yaitu zat yang larut dalam lemak dan sulit larut dalam air.
Bilirubin ini mempunyai sifat lipofilik yang sulit dieksresi dan mudah
melewati membran biologik seperti plasenta dan sawar otak. Di dalam plasma
bilirubin bebas tersebut terikat / bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke
hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepatosit. Di dalam sel
bilirubin akan terikat dan bersenyawa dengan ligandin (protein Y), protein Z
dan glutation S-tranferase membawa bilirubin ke retikulum endosplasma hati.
Di dalam sel hepar berkat adanya enzim glukorinil transferase, terjadi proses
konjugasi bilirubin yang menghasilkan bilirubin direk, yaitu bilirubin yang
larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat dieksresi melalui ginjal. Sebagian
besar bilirubin yang terkonjugasi dieksresi melalui duktus hepatikus ke dalam
saluran pencernaan. Selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar bersama
feses sebagai sterkobilin. Di dalam usus terjadi proses absorsi enterohepatik ,
yaitu sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorbsi kembali oleh mukosa usus.

Peningkatan kadar bilirubin pada hari-hari pertama kehidupan , dapat


terjadi pada sebagian besar neonatus. Hal ini disebabkan karena tingginya
kadar eritrosit neonatus dan umur eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari), dan
fungsi hepar yang belum matang. Hal ini merupakan keadaan yang fisiologis .
Pada liquor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan
12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada
inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin amnion dapat dipakai untuk
memperkirakan beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga
terdapat pada obstruksi usus janin. Bagaimana bilirubin sampai ke cairan
amnion belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi, kemungkinan besar melalui
mukosa saluran napas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada janin dan
neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin
dari sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupan untuk
mengkonjugasi. Dengan demikian, hampir semua bilirubin pada janin dalam
bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan
dieksresi oleh hepar ibunya.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Yetti. 2014. Jurnal Kesehatan, Volumr V, Nomor 2 Hubungan Antara Persalinan
Prematur Dengan Hiperbilitubin Pada Neonatus.

Biade, Dio R, dkk. 2016. Sari Pediatri Vol 18 No 1 Faktor Resiko Hiperbilirubinemia pada
Bayi Baru Lahir dari Ibu Diabetes Melitus.

Suriadi, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak Ed 2. Jakarta: Sagung Seto
Wong, Donna L dkk. 20009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol 1. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai