Anda di halaman 1dari 5

Patofisiologi

Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang


disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Ketika SDM dihancurkan,
hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi, tempat hemoglobin terpecah menjadi
dua fraksi : heme dan globin. Bagian globin (protein) digunakan lagi oleh tubuh,
dan bagian heme diubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, suatu zat tidak
larut yang terikat pada albumin.

Dihati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan dengan adanya


enzim glukuronil transferase, dikonjugasikan dengan asam glukoronat
menghasilkan larutan dengan kelarutan tinggi, bilirubin glukuronat
terkonjugasi, yang kemudian dieksresi dalam empedu. Di usus, kerja bakteri
mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen, pigmen yang memberi
warna khas pada tinja. Sebagian kecil di eliminasi ke urine.

Normalnya tubuh mampu mempertahankan keseimbangan antara


destruksi SDM dan penggunaan atau ekspresi produk sisa. Tetapi, bila
keterbatasan perkembangan atau proses patologis memengaruhi keseimbangan
ini, bilirubin akan terakumulasi dalam jaringan dan mengakibatkan jaundis.
Kemungkinan penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir adalah

1. Faktor fisiologis (perkembangan-prematuritas)


2. Berhubungan dengan pemberian ASI
3. Produksi bilirubin berlebihan (mis. penyakit hemolitik,
defekbiokimia,memar)
4. Gangguan kapasitas hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (mis.
defisiensi enzim, obstruksi duktus empedu)
5. Kombinasi kelebihanproduksi dan kurang sekresi (mis. sepsis)
6. Beberapa keadaan penyakit (mis. hipotiroidisme, galaktosemia, bayi dari
ibu diabetes)
7. Predisposisi genetik terhadap peningkatan produksi (penduduk Amerika
Asli, Asia)

Penyebab umum hiperbilirubinemia adalah jaundis fisiologis atau


ikterus neonatorum ringan dan dapat sembuh sendiri , jaundis fisiologis tidak
terkait dengan proses patologis apapun. Meskipun hampir semua bayi baru lahir
mengalami peninggian kadar bilirubin, hanya setengahnya yang memperhatikan
tanda jaundis yang tampak.

Terdapat dua fase jaundis fisiologis yang teridentifikasi pada bayi term.
Pada fase pertama, kadar bilirubin bertahap naik sampai sekitar 6 mg/dl pada
hari ketiga kehidupan, Kemudian menurun sampai plato 2 sampai 3 mg/dl pada
hari kelima. Kadar bilirubin tetap dalam keadaan plato pada fase kedua tanpa
peningkatan atau penurunan sampai sekitar 12-14 hari, yang kadarnya akan
menurun ke harga normal <1 mg/dl (Maisels 1994, Vope, 1995). Pola ini
bervariasi sesuai kelompok ras, metode pemberian makanan (ASI vs botol), dan
usia gestasi (Maisels, 1994). Pada bayi preterm, kadar bilirubin serum dapat
memuncak sampai setinggi 10-12 mg/dl pada hari 4-5 dan perlahan menurun
selama periode 2-4 minggu (Black-burn,1995,Gartner 1994).

Rata-rata bayi baru lahir memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin
dibandingkan orang dewasa karena lebih tingginya kadar eritrosit yang beredar
dan lebih pendeknya lam hidup sel darah merah (SDM)(hanya 70-90 hari,
dibandingkan 120 hari pada anak yang lebih tua dan orang dewasa). Selain itu,
kemampuan hati untuk mengonjugasi bilirubin sangat rendah karena batasnya
produksi glukuronil transferase. Bayi baru lahir juga memiliki kapasitas ikatan-
plasma terhadap bilirubin yang lebih rendah karena rendahnya konsentrasi
albumin dibandingkan anak yang lebih tua. Perubahan normal dalam sirkulasi
hati setelah kelahiran mungkin berkontribusi terhadap tingginya kebutuhan
fungsi hati.

Normalnya, bilirubin terkonjugasi direduksi menjadi urobilinogen


oleh flora-usus dan di eksresi dalam feses. Akan tetapi, usus bayi yang steril dan
kurang motil pada awalnya kurang efektif dalam mengeksresi urobilinogen.
Pada usus bayi baru lahir, enzim B-glucuronidase mampu mengonversi bilirubin
terkonjugasi menjadi bentuk tidak terkonjugasi, yang kemudian diserap oleh
mukosa usus dan ditranspor ke hati. Proses ini, yang dikenal sebagai sirkulasi
atau pirau enterohepatik, jelas pada bayi baru lahir dan diperkirakan
merupakan mekanisme primer dalam patologi jaundis (blackburn, 1995).
Pemberian makan (1) Merangsang peristaltik dan menghasilkan pengeluaran
mekoneum lebih cepat, sehingga menurunkan jumlah reabsorpsi bilirubin tidak
terkonjugasi , dan (2) memasukkan bakteri untuk membantu reduksi bilirubin
menjadi urobilinogen. Kolostrum, katartik alamiah, memfasilitasi evakuasi
mekoneum.

Pemberian ASI berhubungan dengan peningkatan insidens jaundis.


Ada dua tipe yang telah terindetifikasi. Jaundis terkait pemberian ASI
(jaundis awitan awal) mulai pada usia 2- 4 hari dan terjadi sekitar 10%- 25%
bayi baru lahir yang mendapatkan ASI. Jaundis ini terkait dengan proses
pemberian ASI dan kemungkinan sebagai akibat dari kekurangan asupan kalori
dan cairan pada bayi yang mendapat ASI sebelum produksi ASI mencukupi,
karena puasa berhubungan dengan penurunan klirens bilirubin dalam hati.

Jaundis ASI (jaundis awitan lambat) mulai pada usia 5-7 hari dan
terjadi pada 2%-3% bayiyang mendapat ASI . Puncak peningkatan kadar
bilirubin selama minggu kedua dan secara bertahap menghilang. Meskipun
begitu tingginya kadar bilirubin yang mungkin menetap selama 2- 12 minggu,
namun bayi ini tetap sehat. Jaundis ini mungkin disebabkan oleh faktor dalam
ASI (prenadiol, asam lemak, dan B-glucuronidase) yang menghambat konjugasi
atau menurunkan eksresi bilirubin. Frekuensi defekasi yang jarang pada bayi
yang mendapat ASI memungkinkan semakin lamanya waktu reabsorbsi
bilirubin dalam tinja.

Metabolisme Bilirubin

Meningkatkan kadar bilirubin dapat disebabkan produksi yang


berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang menua.
Pada neonatus 75% bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu gram hemoglobin
dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek (free bilirubin)dan bentuk inilah
yang dapat masuk ke jaringan otak dan menyebabkan kernicterus. Sumber lain
kemungkinan besar dari sumsum tulang dan hepar, yang terdiri dari dua
komponen , yaitu komponen non-eritrosit dan komponen eritrosit yang
terbentuk dari eritropoiesis yang tidak sempurna .

Pembentukan bilirubin diawali dengan proses oksidasi yang


menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami reduksi biliverdin menjadi
bilirubin bebas, yaitu zat yang larut dalam lemak dan sulit larut dalam air.
Bilirubin ini mempunyai sifat lipofilik yang sulit dieksresi dan mudah melewati
membran biologik seperti plasenta dan sawar otak. Di dalam plasma bilirubin
bebas tersebut terikat / bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam
hepar terjadi mekanisme ambilan sehingga bilirubin terikat oleh reseptor
membran sel hepar dan masuk ke dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan
terikat dan bersenyawa dengan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation S-
tranferase membawa bilirubin ke retikulum endosplasma hati. Di dalam sel
hepar berkat adanya enzim glukorinil transferase, terjadi proses konjugasi
bilirubin yang menghasilkan bilirubin direk, yaitu bilirubin yang larut dalam air
dan pada kadar tertentu dapat dieksresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin
yang terkonjugasi dieksresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran
pencernaan. Selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar bersama feses sebagai
sterkobilin. Di dalam usus terjadi proses absorsi enterohepatik , yaitu sebagian
kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi
kembali oleh mukosa usus.

Peningkatan kadar bilirubin pada hari-hari pertama kehidupan , dapat


terjadi pada sebagian besar neonatus. Hal ini disebabkan karena tingginya kadar
eritrosit neonatus dan umur eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari), dan fungsi
hepar yang belum matang. Hal ini merupakan keadaan yang fisiologis . Pada
liquor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12
minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada
inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin amnion dapat dipakai untuk
memperkirakan beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat
pada obstruksi usus janin. Bagaimana bilirubin sampai ke cairan amnion belum
diketahui dengan jelas. Akan tetapi, kemungkinan besar melalui mukosa saluran
napas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada janin dan neonatus diduga
sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi
sangat terbatas. Demikian pula kesanggupan untuk mengkonjugasi. Dengan
demikian, hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan
mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan dieksresi oleh hepar ibunya.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Yetti. 2014. Jurnal Kesehatan, Volumr V, Nomor 2 Hubungan Antara Persalinan
Prematur Dengan Hiperbilitubin Pada Neonatus.

Biade, Dio R, dkk. 2016. Sari Pediatri Vol 18 No 1 Faktor Resiko Hiperbilirubinemia pada
Bayi Baru Lahir dari Ibu Diabetes Melitus.

Suriadi, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak Ed 2. Jakarta: Sagung Seto
Wong, Donna L dkk. 20009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol 1. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai