Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Virus Flu Burung (H5N1) pertama kali dapat menginfeksi manusia pada
tahun 1997 di Hongkong yang menyebabkan 18 orang sakit dan 6 orang diantaranya
meninggal. Di antara 2003 dan 2004 virus ini menyebabkan wabah pada unggas
dimana dalam upaya pencegahannya sekitar 100 juta unggas mati baik dimusnahkan
atau mati karena virus ini.
Berdasarkan data WHO tahun 2015 mengenai influenza A H5N1 pada
manusia, Indonesia merupakan negara dengan kasus influenza A H5N1 pada
manusia yang terbanyak kedua setelah Mesir. Di Indonesia, sejak tahun 2005
sampai 13 November 2015, terdapat 199 kasus influenza A H5N1 pada
manusia dan 167 diantaranya meninggal dunia. Angka kejadian kasus influenza
A H5N1 yang terkonfirmasi semakin berkurang jumlahnya namun selalu ada
kasus setiap tahun dengan angka kematian yang tinggi.
Di Indonesia, flu burung telah menyerang peternakan unggas pada
pertengahan Agustus 2003. Sampai awal 2007 menurut Direktorat Kesehatan
Hewan, Ditjen Peternakan Departemen Pertanian tercatat 30 provinsi
mencakup 233 kabupaten/kota yang dinyatakan tertular flu burung pada
unggas. Pada manusia pertama kali terjadi pada bulan Juni 2005 dimana virus
flu burung/H5N1 telah menyerang tiga orang dalam satu keluarga dan
mengakibatkan kematian ketiganya. Sejak saat itu jumlah penderita flu burung
terus bertambah, sampai Maret 2007 jumlah penderita flu burung yang
terkonfirmasi sebanyak 89 orang dan 68 orang diantaranya meninggal (berarti
Case Fatality Rate nya sekitar 76,4%).

Pemerintah bersama seluruh masyarakat telah melakukan berbagai


upaya pengendalian Flu Burung sejak tahun 2005. Dalam periode 10 tahun
(2005-2014) tampak kecenderungan penurunan kasus Flu Burung pada hewan

1
dan manusia. Namun pada tahun 2017 Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, menemukan kembali kasus flu burung yang menyerang anak laki-
laki berumur 4 tahun yang berinisial IKP yang bertempat tinggal di Dusun
Dongkap 1, Desa Batu Kandik Kecamatan Desa Penida, Bali. Kasus flu burung
ini merupakan kasus yang ke 200 di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep penyakit flu burung?


2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien flu burung?

C. Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami definisi flu burung.
2. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami penyebab atau etiologi dan
cara penularan dari flu burung.
3. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami patofisiologi dari flu burung.
4. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami tanda dan gejala dari flu
burung.
5. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami komplikasi dan pemeriksaan
penunjang dari flu burung.
6. Agar mahasiswa mengetahui cara penatalaksanaan pada pasien flu burung.
7. Agar mahasiswa mengetahui cara mengkaji pada pasien flu burung.
8. Agar mahasiswa mengetahui cara menegakkan diagnosa pada pasien flu
burung.
9. Agar mahasiswa mengetahui cara membuat intervensi pada pasien flu
burung.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Flu burung merupakan sejenis penyakit influenza. Mikroorganisme
penyebabnya adalah virus influenza A yang biasa mengenai unggas. Virus
influenza sendiri termasuk dalam family orthomyxoviruses yang terdiri dari 3
tipe yaitu: A, B, dan C. virus influenza tipe B dan C dapat menyebabkan
penyakit pada manusia dengan gejala yang ringan dan tidak fatal sehingga
tidak terlalu menjadi masalah. Virus influenza A dibedakan menjadi banyak
subtype berdasarkan petanda berupa tonjolan protein pada permukaan sel virus.
Ada 2 protein petanda virus influenza A yaitu hematuglunin dilambangkan
dengan H dan protein neuramidase dilambangkan dengan N. (Pohan, 2014)
Influenza burung atau avian influenza, merupakan penyakit infeksiakibat virus
influenza tipe A yang biasa menegnai unggas. Virus influenzasendiri termasuk
dalam famili orthomyxoviruses yang terdiri dari 3 tipeyaitu A, B, C,. Virus
influenza A yaitu protein nemaglutinin dengan N. Ada 15 macam protein H, H1
hingga H15, sedangkan N terdiri darisembilan macam, N1 hingga N9.
Kombinasi dari kedua protein ini biasamenghasilkan banyak sekali varian
subtype dari virus influenza tipe A. (Setyohadi, Bambang DKK (2006). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam (edisi4) vol.3. EGC. Jakarta.)
Flu burung adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus
influenza yang menyerang burung/unggas dan manusia. Salah satu tipe yang
diwaspadai adalah yang disebabkan oleh influenza dengan kode genetic H5N1
( H: hematuglutinin, N: neuramidase). (Nurarif, 2015)

B. Etiologi dan Cara Penularan


Penyebab flu burung adalah virus influenza, yang termasuk tipe
Asubtipe H5, H7 dan H9. Virus H9N2 tidak menyebabkan penyakit berbahaya
pada burung, tidak seperti H5 dan H7. Virus flu burung atau avian influenza ini

3
awalnya hanya ditemukan pada binatang seperti burung, bebek dan ayam.
Namun sejak 1997, virus ini mulai "terbang" kemanusia (penyakit zoonosis).
Subtipe virus yang ditemukan pada akhir tahun 2003 dan awal tahun 2004,
baik pada unggas maupun pada pasien di Vietnam dan Thailand, adalah jenis
H5N1.
1. Virus influenza tipe A (termasuk family Orthomyxoviridae)
2. Dapat berubah-ubah bentuk, terdiri dari Hemaglutinin (H),
Neuramidase (N). Kedua huruf digunakan sebagai identifikasi kode
subtype flu burung yang banyak jenisnya.
3. Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H3N3, H5N1, H9N2, H7N7
sedangkan pada binatang H1H5 dan N1N9.
4. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah
dari subtype A H5N1.
5. Virus tersebut dapat bertahan di air sampai 4 hari pada suhu 22˚C dan
lebih dari 30 hari pada 0˚C.
6. Virus akan mati pada pemanasan 60˚C selama 30 menit atau 56˚C
selama 3 jam dan dengan detergent, desinfektan misal formalin cairan
yang mengandung iodine.

Cara penularan :
1. Penularan Antar-Ternak Unggas
Menurut Retno D. Soejoedono (2005), penyakit flu burung
dapat ditularkan dari unggas ke unggas lain atau dari peternakan ke
peternakan lainnya dengan cara sebagai berikut :
a. Kontak langsung dari unggas terinfeksi dengan hewan yang peka.
b. Melalui lendir yang berasal dari hidung dan mata.
c. Melalui kotoran (feses) unggas yang terserang flu burung.
d. Lewat manusia melalui sepatu dan pakaian yang terkontaminasi
dengan virus.
e. Melalui pakan, air, dan peralatan kandang yang terkontaminasi.

4
f. Melalui udara karena memiliki peran penting dalam penularan
dalam satu kandang, tetapi memiliki peran terbatas dalam
penularan antarkandang.
g. Melalui unggas air yang dapat berperan sebagai sumber
(reservoir) virus dari dalam saluran intestinal dan dilepaskan
lewat kotoran.
2. Penularan dari Ternak ke Manusia
Menurut Soejoedono (2005), faktor yang dapat membatasi
penularan flu burung dari ternak ke manusia adalah jarak dan
intensitas dalam aktivitas yang berinteraksi dengan kegiatan
peternakan. Semakin dekat jarak peternakan yang terkena wabah virus
dengan lingkungan manusia maka peluang untuk menularnya virus
bisa semakin besar. Penularan virus ke manusia lebih mudah terjadi
jika orang tersebut melakukan kontak langsung dengan aktivitas
ternak.
Perlu diperhatikan pula cara pengolahan dan pemasakan
daging unggas. Daging yang dimasak harus dipastikan benar-benar
matang untuk menghindari adanya sisa kehidupan dari virus.
Kematian virus dapat terjadi jika dipanaskan dengan suhu 60º C
selama 3 jam. Semakin meningkat suhu akan semakin cepat
mematikan virus.
Telur-telur yang cangkangnya terdapat kotoran kering perlu
diwaspadai. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kotoran yang
menempel pada telur tadi berasal dari kotoran unggas yang terjangkit
flu burung. Jika memperoleh telur seperti ini maka sebaiknya segera
mencuci tangan dengan alkohol setelah memegang telur. Sebaiknya
menghindari makan telur yang tidak matang atau setengah matang
karena kemungkinan masih ada virus yang terkandung di dalamnya.
3. Penularan Antar-Manusia
Menurut Soejoedono (2005), orang yang mempunyai risiko
besar terserang flu burung adalah pekerja peternakan unggas, penjual,

5
penjamah unggas, sampai ke dokter hewan yang bertugas memeriksa
kesehatan ternak di peternakan. Sampai saat ini, peneliti meyakini
bahwa flu burung ditularkan dari unggas ke manusia. Kemungkinan
penularan flu burung antar-manusia kecil, tetapi tetap perlu
diwaspadai. Hal ini dikarenakan virus cepat bermutasi dan beradapasi
dengan manusia sehingga memungkinkan adanya varian baru dari flu
burung.

C. Patofisiologi
Flu burung bisa menulari manusia bila manusia bersinggungan
langsung dengan ayam atau unggas yang terinfeksi flu burung. Virus flu
burung hidup di saluran pencernaan unggas. Unggas yang terinfeksi dapat pula
mengeluarkan virus ini melalui tinja, yang kemudian mengering dan hancur
menjadi semacam bubuk. Bubuk inilah yang dihirup oleh manusia atau
binatang lainnya. Menurut WHO, flu burung lebih mudah menular dari unggas
ke manusia dibanding dari manusia ke manusia. Belum ada bukti penyebaran
dari manusia ke manusia, dan juga belum terbukti penularan pada manusia
lewat daging yang dikonsumsi. Satu- satunya cara virus flu burung dapat
menyebar dengan mudah dari manusia ke manusia adalah jika virus flu burung
tersebut bermutasi dan bercampur dengan virus flu manusia. Virus ditularkan
melalui saliva dan feses unggas. Penularan pada manusia karena kontak
langsung, misalnya karena menyentuh unggas secara langsung, juga dapat
terjadi melalui kendaraan yang mengangkut binatang itu, di kandangnya dan
alat-alat peternakan (termasuk melalui pakan ternak).
Penularan dapat juga terjadi melalui pakaian, termasuk sepatu para
peternak yang langsung menangani kasus unggas yang sakit dan pada
saat jual beli ayam hidup di pasar serta berbagai mekanisme lain. Secara umum,
ada 3 kemungkinan mekanisme penularan dari unggas kemanusia. Dalam hal
penularan dari unggas ke manusia, perlu ditegaskan bahwa penularan pada
dasarnya berasal dari unggas sakit yang masih hidup dan menular. Unggas
yang telah dimasak, digoreng dan lain-lain, tidak menularkan flu burung ke

6
orang yang memakannya. Virus flu burung akan mati dengan pemanasan 80°C
selama 1 menit.
Penyebaran virus Avian Influenza (AI) terjadi melalui udara (droplet
infection) di mana virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi
saluran nafas atau langsung memasuki alveoli (tergantung dari ukuran
droplet). Virus yang tertanam pada membran mukosa akan terpajan
mukoprotein yang mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus.
Reseptor spesifik yang dapat berikatan dengan virus influenza berkaitan
dengan spesies darimana virus berasal. Virus avian influenza manusia
(Human influenza viruses) dapat berikatan dengan alpha 2,6
sialiloligosakarida yang berasal dari membran sel di mana didapatkan residu
asam sialat yang dapat berikatan dengan residu galaktosa melalui ikatan 2,6
linkage.
Virus A1 dapat berikatan dengan sel membran sel mukosa mealui
ikatan yang berbeda yaitu ikatan 2,3 linkage. Adanya perbedaan pada reseptor
yang terdapat pada membran mukosa diduga sebagai penyebab mengapa
virus A1 tidak dapat mengadakan reflikasi secara efisien padamanusia.
Mukoprotein yang mengandung reseptor ini akan mengikat virus sehingga
perlekatan virus dengan sel epitel saluran napas dapat dicegah. Tetapi virus
yang mengandung protein neuraminidase pada permukaannya dapat memecah
ikatan tersebut. Virus selanjutnya akan melekat pada epitel permukaan saluran
napas untuk kemudian bereplikasi di dalam seltersebut. Replikasi virus terjadi
selama 4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat menyebar ke sel-sel
didekatnya. Masa inkubasi virus 18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari
infeksi yaitu pada sel-sel kolumnar yang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan
membengkak dan intinya mengkerut dan kemudian mengalami piknosis.
Bersamaan dengan terjadinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya
akan terbentuk badan inklusi.

7
D. Manisfestasi klinis
1. ILI (Influenza Like Illness), yaitu batuk, pilek, dan demam. Demam
biasanya cukup tinggi yaitu >80˚C. Gejala lain berupa sefalgia, nyeri
tenggorokan, nyeri otot, mialgia, dan malaise.
2. Keluhan gastro-intestinal berupa diare dan keluhan lain berupa
konjungtivis. Spektrum klinis bisa sangat bervariasi, mulai dari
asimtomatik, flu ringan hingga berat.
3. ARDS (acute respiratory distress syndrome). Perjalanan klinis avian
influenza umumnya berlangsung sangat progresif dan fatal, sehingga
sebelum sempat terfikir tentang avian influenza, pasien sudah meninggal.
Mortalitas penyakit ini hingga laporan terakhir sekitar 50%.
Kelainan laboratorium rutin yang hampir selalu dijumpai adalah
lekopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Cukup banyak kasus yang
mengalami gangguan ginjal berupa peningkatan nilai ureum dan kreatinin.
Kelainan gambaran radiologis toraks berlangsung sangat progresif dan
sesuai dengan manifestasi klinisnya namun tidak ada gambaran yang khas. Kelainan
foto toraks bisa berupa infiltrat bilateral luas infiltrat difus, multilokal, atau
tersebar (patchy); atau dapat berupa kolaps lobar.

E. Komplikasi dan Pemeriksaan Penunjang


1. Komplikasi
Salah satu komplikasi yang bisa terjadi pada kasus flu burung
adalah pneumonia. Tambahan oksigen dan alat bantu napas atau ventilator
akan dibutuhkan pada pasien yang mengalami pneumonia dengan
kesulitan bernapas. Selain itu, pemberian obat-obatan antibiotik akan
diberikan sampai pneumonia sembuh.
2. Pemeriksaan penunjang
1. Hematologi : Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis
leukosit, total limfosit. Umunya ditemukan leukopeni,
limfositopeni atau limfositosis relatif dan trombositopeni.
2. Kimia : Albumin/Globulin, SGOT/SGPT, Ureum, Kreatinin,
keratin Kinase, Analisa Gas Darah. Umunya dijumpai penurunan

8
albumin, peningkatan SGOT/SGPT, peningkatan ureum dan
kreatinin, peningkatan kreatin kinase, analisa gas darah dapat
normal atau abnormal. Kelainan laboratorium sesuai denga
perjalanan penyakit dan komplikasi yang ditemukan.
3. Pemeriksaan Radiologi : Pemeriksaan foto toraks Pa dan lateral
(bila diperlukan). Dapat ditemukan gambaran infiltrat di paru yang
menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia.
4. Pemeriksaan Kimia darah Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum,
Kreatinin, Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah. Umumnya dijumpai penurunan
albumin, peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin,
peningkatan Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah dapat normal atau abnormal.
Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang
ditemukan.

F. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah istirahat, peningkataan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral, pengobatan antibiotic,perawatan respirasi, anti inflamasi,
imunomodulators.Untuk penatalaksanaan umum dapat dilakukan pelayanan di fasilitas
kesehatan non rujukan dan di rumah sakit rujukan flu burung.
1. Untuk pelayanan di fasilitas kesehatan non rujukan flu burung diantaranya adalah :
a) Pasien suspek flu burung langsung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak,
sesuai dengan berat badan) lalu dirujuk ke RS rujukanflu burung.
b) Untuk puskesmas yang terpencil pasien diberi pengobatan oseltamivir sesuai
skoring di bawah ini, sementara pada puskesmas yangtidak terpencil pasien
langsung dirujuk ke RS rujukan. Kriteria pemberian oseltamivir dengan sistem
skoring, dimodifikasi dari hasilpertemuan workshop “Case Management” &
pengembangan laboratorium regional Avian Influenza.

Skor
Gejala 1 2

9
Demam < 380C > 380C
RR N >N
Ronki Tidak ada Ada
Leukopenia Tidak ada Ada
Kontak Tidak ada Ada
Jumlah

Skor :
6 - 7 = evaluasi ketat, apabila meningkat (>7) diberikan oseltamivir
Batasan Frekuensi Napas :
a) < 2bl = > 60x/menit
b) 2bl - <12 bl = > 50x/menit
c) >1 th - <5 th = > 40x/menit
d) 5 th - 12 th = > 30x/menit
e) >13 = > 20x/menit
Pada fasilitas yang tidak ada pemeriksaan leukosit maka pasien dianggap sebagai
leukopeni (skor = 2)
2. Pelayanan di Rumah Sakit
Rujukan Pasien Suspek H5N1, probabel, dan konfirmasi dirawat di ruang isolasi.
Petugas triase memakai APD, kemudian segera mengirim pasien ke ruang
pemeriksaan.Petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan tetap mengunakan APD dan
melakukan kewaspadaan standarMelakukan anamnesis, pemeriksaan fisik. Setelah
pemeriksaan awal, pemeriksaan rutin (hematologi dan kimia) diulang setiap hari
sedangkan HI diulang pada hari kelima dan pada waktu pasien pulang. Pemeriksaan
PCR dilakukan pada hari pertama, kedua, dan ketiga perawatan. Pemeriksaan serologi
dilakukan pada hari pertama dan diulang setiap lima hari.
Penatalaksanaan di ruang rawat inap Klinis
a) Perhatikan :
Keadaan umum
-Kesadaran
-Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu).
-Bila fasilitas tersedia, pantau saturasi oksigen dengan alat pulse oxymetry.
b) Terapi suportif : terapi oksigen, terapi cairan, dll.

10
Mengenai antiviral maka antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni
pada 48 jam pertama. Adapun pilihan obat :
1) Penghambat M2 :
a. Amantadin (symadine),
b. Rimantidin (flu madine). Dengan dosis 2x/hari 100 mg atau 5
mg/kgBBselama 3-5 hari.
2) Penghambatan neuramidase (WHO) :
a. Zanamivir (relenza),
b. Oseltamivir (tami flu). Dengan dosis 2x75 mg selama 1 minggu.

G. Pengkajian
Pengkajian mencakup data yang dikumpulkan melalui
wawancara,keluhan utama, pengumpulan riwayat kesehatan, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1. Identitas /biodata klien


Meliputi nama lengkap, tempat tanggal lahir, asal suku bangsa,
nama orang tua, pekerjaan orang tua, dan penghasilan.
2. Keluhan utama
Panas tinggi > 380c lebih dari 3 hari, pilek, batuk,sesak napas, sakit
kepala, nyeri otot, sakit tenggorokan.
3. Riwayat penyakit sekarang
a) Suhu badan meningkat, nafsu mkan berkurang,/tidak ada.
b) Infeksi paru
c) Batuk dan pilek
d) Infeksi selaput mata

4. Pemeriksaan Fisik
a) Kulit : Tidak terjadi infeksi pada sistem integument
b) Mata : orang yang terkena flu burung sklera merah, ada nya
nyeritekan, infeksi selaput mata.

11
c) Mulut dan Lidah :Lidah kotor, mlutnya kurang bersih, mukosa
bibir kering.
d) Pemeriksaaan penunjang : pemeriksaan laboratorium penting
artinya dalam menegakkan diagnosa yang tepat, sehingga dapat
memberikan terapi yang tepat pula, pemeriksaan yang perlu
dilakukan pada orang yang mengalami flu burung, yaitu :
Pemeriksaan labor dilakukan dengan pemeriksaaan darah, hasil
: negatif, jika tidak di temukan virus H5N1. Positif bila di
temukan virus H5N1.

H. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Ketidakefektifan Bersihan jalan napas, b.d peningkatan produksi sekret,
sekresi tertahan, tebal, sekresi kental akibat influenza.
Intervensi:
a) Auskultasi bunyi napas.Catat adanya bunyi napas, misal mengi,
krekels, ronki.
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
denganobstruksi jalan napas dan dapat/tak dimanifestasikan adanya
bunyi napas adventisius, misal penyebaran, krekels basah
(bronkitis), bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema),
atau tak adanya bunyi napas (asma berat).
b) Kaji/pantau frekuensi pernapasan.Catat rasio inspirasi/ekspirasi.
Rasional : Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan
pada penerimaan atau selama stres/adanya proses infeksi akut.
Pernapasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang
dibanding inspirasi.
c) Catat adanya/derajat dispnea, mis., keluhan lapar udara,´
gelisah,ansietas, distres pernapasan, penggunaan otot bantu.
Rasional : Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung
pada tahap proses kronis selain proses akut yang
menimbulkanperawatan di rumah sakit, mis., infeksi, reaksi alergi.

12
d) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, mis., peninggian
kepalatempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur
Rasional : Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi
pernapasan dengan menggunakan gravitasi. Namun, pasien dengan
distres berat akan mencari posisi yang paling mudah
untuk bernapas. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal, dan
lain-lain membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat sebagai
alat ekspansi dada.
e) Pertahankan polusi lingkungan minimum, mis., debu, asap, dan
bulu bantal yang berhubungan dengan kondisi individu.
Rasional : Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat
mentriger episode akut.
f) Dorong/bantu latihan napas abdomen atau bibir.
Rasional : Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan
mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
2. Pertukaran gas, kerusakan dapat dihubungkan dengan gangguan suplai oksigen
(obstruksi jalan napas oleh sekresi).
Intervensi:
a) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot
aksesori, napas bibir, ketidakmampuan bicara/berbincang.
Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan
dan/atau kronisnya proses penyakit.
b) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi
yang mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan
ataunapas bibir sesuai kebutuhan/toleransi individu.
Rasional : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi
duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan
napas, dispnea, dan kerja napas.
c) Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.

13
Rasional : Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau
sentral (terlihat sekitar bibir/atau daun telinga). Keabu-abuan dan
diagnosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
d) Dorong mengeluarkan sputum; penghisapan bila diindikasikan.
Rasional : Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber
utama gangguan pertukaran gas pada jalan napas
kecil. Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak efektif.
e) Palpasi fremitus
Rasional : Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan
cairan atau udara terjebak.
f) Awasi tingkat kesadaran/status mental. Selidiki adanya perubahan.
Rasional : Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada
hipoksia. GDA memburuk disertai bingung/somnolen
menunjukkan disfungsi serebral yang berhubungan dengan
hipoksemia.
g) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan
kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur/istirahat
dikursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas
secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
Rasional : Selama distres pernapasan berat/akut/refraktori pasien
secara total tak mampu melakukan aktivitas sehari-hari karena
hipoksemia dan dispnea. Istirahat diselingi aktivitas perawatan
masih penting dari program pengobatan. Namun, program latihan
ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa
menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat dihubungkan dengan
dispnea.
Intervensi:
a) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat
kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.

14
Rasional : Pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena
dispnea, produksi sputum, dan obat.
b) Auskultasi bunyi usus
Rasional : Penurunan/hipoaktif bising usus menunjukkan
penurunan motilitas gaster dan konstipasi (komplikasi umum) yang
berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan, pilihan
makanan buruk, penurunan aktivitas, dan hipoksemia.
c) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus
untuk sekali pakai dan tisu.
Rasional : Rasa tak enak, bau dan penampilan adalah pencegah
utama terhadap napsu makan dan dapat membuat mual dan muntah
dengan peningkatan kesulitan napas.
d) Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah
makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
Rasional : Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan
dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan
kaloritotal.
e) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
Rasional : Dapat menghasilkan distensi abdomen yang
mengganggu napas abdomen dan gerakan diafragma, dan dapat
meningkatkan dispnea.
f) Hindari makanan yang sangat pedas atau sangat dingin.
Rasional : Suhu ekstrim dapat mencetuskan/meningkatkan spasme
batuk.
g) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun
tujuan berat badan, dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
Catatan: Penurunan berat badan dapat berlanjut, meskipun masukan
adekuat sesuai teratasinya edema.
4. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh

15
Intervensi :
a) Kaji penyebab hipertermi
Rasional : Hipertermi merupakan salah satu gejala/kompensasi
tubuh terhadap adanya infeksi baik secara lokal maupun secara
sistemik. hal ini perlu diketahui sebagai dasar dalam rencana
intervensi.
b) Observasi suhu badan
Rasional : Proses peningkatan suhu menunjukkan proses penyakit
infeksius akut
c) Beri kompres hangat pada dahi/axilla
Rasional : Daerah dahi/axilla merupakan jaringan tipius dan
terdapat pembuluh darah sehingga proses vasodilatasi pembuluh
darah lebih cepat sehingga pergerakan molekul cepat.
d) Beri minum sering tapi sedikit.
Rasional : Untuk mengganti cairan yang hilang selama proses
evaporasi.
e) Anjurkan ibu untuk memakaikan pakaian tipis dan yang dapat
menyerap keringat.
Rasional : Pakaian yang tipis dapat membantu mempercepat proses
evaporasi.
f) Kolaborasi dalam pemberian obat antipiretik
Rasional : Obat antipiretik bekerja sebagai pengatur kembali pusat
pengatur panas

BAB III
PEMBAHASAN JURNAL

16
Flu burung (FB) atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit menular
akut pada unggas dandapat menular ke manusia (Zoonosis), disebabkan oleh
virus influenza tipe A, subtype H5N1 dengan gejala/tanda pada manusia seperti
demam, sesak nafas, batuk berlanjut menjadi pneumonia, menyebabkan angka
kematian yang tinggi serta berpotensi menimbulkan pandemic influenza.
Pengertian FBi adalah sebuah penyakit menular akibat dari serangan virus yang
terjadi pada unggas dan mamalia.
Saat iniAI telahmenjadi masalah kesehatan global yang sangat serius
termasuk di Indonesia, karena selain menyerang hewan ternyata juga telah
menyerang manusia dan menelan banyak korban. Jumlah kasus manusia terus
bertambah dan di Indonesia angka kematian tinggi yaitu 84% dari 479 kasus
kumulatif. Salah satu penyebab kematian tinggi adalah deteksi yang terlambat,
sedangkan antivirus bekerja efektif pada 48 jam pertama setelah onset.
Berdasarkan data WHO tahun 2015 mengenai influenza A H5N1 pada
manusia, Indonesia merupakan negara dengan kasus influenza A H5N1 pada
manusia yang terbanyak kedua setelah Mesir. Di Indonesia, sejak tahun 2005
sampai 13 November 2015, terdapat 199 kasus influenza A H5N1 pada
manusia dan 167 diantaranya meninggal dunia. Angka kejadian kasus influenza
A H5N1 yang terkonfirmasi semakin berkurang jumlahnya namun selalu ada
kasus setiap tahun dengan angka kematian yang tinggi.
Penularan penyakit Flu Burung dapat terjadi melalui kontak langsung
dan kontak dengan lingkungan. Kontak langsung dapat terjadi antara sesama
ungags dan dari unggas ke manusia. Kontak tidak langsung dengan unggas
adalah kontak dengan lingkungan ataupun material yang tercemar discharge
ungags yang sakit/karier Flu Burung. Penularan Flu Burung secara aerogenic
(melalui udara) hingga sekarang belum pemah dilaporkan. Penularan antar
manusia di Indonesia hingga sekarang belum ada dilaporkan. Penularan juga
dari burung liar yang berpindah-pindah, virus H5N1 dapat ditularkan secara
kontak langsung atau kontak dengan lingkungan yang tercemar kotoran atau
cairan ekskresi/sekresi ke ungags peliharaan (ayam, burung puyuh, dsb)
kemudian virus akan memperbanyak diri. Unggas peliharaan yang terjangkit

17
virus H5N1 melalui kotoran, cairan ekskresi/sekresi akan menular ke manusia.
Setelah manusia terjangkit virus subtipe baru dapat menular ke manusia lain,
sehingga terjadi penularan dari manusiake manusia, hal ini dapat menimbulkan
pandemi, yang perlu menjadi perhatian dan peningkatan kewaspadaan.
Masyarakat yang tinggal di wilayah Kejadian Luar Biasa H5N1 pada
unggas di Indonesia memiliki pengetahuan kurang mengenai influenza dan flu
burung pada manusia. Indikator utama pemahaman mengenai suatu penyakit
adalah mengetahui gejala dan penyebabnya agar upaya pencegahan dapat
dilakukan lebih awal sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih besar.
Banyak masyarakat Indonesia yang memiliki pemahaman yang kurang tepat
mengenai penyebab influenza sehingga dapat menimbulkan persepsi
masyarakat yang kurang tepat terhadap penyakit influenza dan dapat
mempengaruhi perilaku penangangan penyakit.
Pendidikan kesehatan perlu dilakukan melalui televisi dan penyuluhan.
Pemerintah sebaiknya lebih meningkatkan pendidikan kesehatan mengenai
influenza dan flu burung pada manusia melalui televisi, misalnya dengan
menambah frekuensi dan durasi penayangan serta merubah konten informasi
yang lebih mudah dipahami masyarakat. Pendidikan kesehatan dengan
penyuluhan langsung juga perlu dilakukan terutama melalui kader kesehatan
yang ada di wilayah tersebut yang diharapkan dapat sekaligus menjadi sasaran
utama masyarakat dalam melakukan penanganan pertama penyakit.

BAB IV
PENUTUP

18
A. Kesimpulan
Pengetahuan merupakan hasil dari ‘tahu’ setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Berdasarkan pengalaman dan
penelitian, telah terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal di wilayah
Kejadian Luar Biasa H5N1 pada Unggas memiliki pengetahuan yang kurang
mengenai influenza dan flu burung pada manusia. Banyak masyarakat yang
tidak mengetahui penyebab influenza dan flu burung pada manusia, serta
banyak yang tidak mengetahui gejala flu burung pada manusia.
Virus ditularkan melalui saliva dan feses unggas. Penularan pada manusia
karena kontak langsung, misalnya karena menyentuh unggas secara langsung,
juga dapat terjadi melalui kendaraan yang mengangkut binatang itu,
di kandangnya dan alat-alat peternakan (termasuk melalui pakan ternak).
Penularan dapat juga terjadi melalui pakaian, termasuk sepatu para peternak
yang langsung menangani kasus unggas yang sakit dan pada
saat jual beli ayam hidup di pasar serta berbagai mekanisme lain.
Secara umum, ada 3 kemungkinan mekanisme penularan dari unggas
kemanusia. Dalam hal penularan dari unggas ke manusia, perlu ditegaskan
bahwa penularan pada dasarnya berasal dari unggas sakit yang masih hidup
dan menular. Unggas yang telah dimasak, digoreng dan lain-lain, tidak
menularkan flu burung ke orang yang memakannya. Virus flu burung akan
mati dengan pemanasan 80°C selama 1 menit.
Penyebaran virus Avian Influenza (AI) terjadi melalui udara (droplet
infection) di mana virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi
saluran nafas atau langsung memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet).

Daftar Pustaka

Pohan, H. T. (2014). Influenza Burung (Avian Influenza). Jakarta: Interna


Publishing.

19
Nurarif, A. H. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Medi Action
Kunoli, Firdaus J. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta : CV.
Tran Info Media
Chrysanti, M. (2016). Gambaran Pengetahuan Masyarakat mengenai Influenza
pada Manusia di Kabupaten Indramayu dan Majalengka sebagai Wilayah
Kejadian Luar Biasa H5N1 pada Unggas di Jawa Barat, 1, 127-132.
Fauziah, E. (2011). Sekilas Tentang Avian Influenza,6, 47-51.

Soejoedono D, Retno., dan Ekowati Handharyani. 2005. Flu Burung. Jakarta:


Swadaya.

20

Anda mungkin juga menyukai