Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Perforasi Gaster
1. Pengertian Perforasi Gaster
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang
komplek dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi
dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi lambung berkembang menjadi
suatu peritonitis kimia yang di sebabkan karna kebocoran asam lambung ke
dalam rongga perut (Warsinggih, 2016).
Perforasi gaster adalah penyakit yang disebabkan oleh komplikasi
serius dari penyakit ulserasi peptic. Perforasi gastrointestinal merupakan suatu
bentuk penetrasi yang komplek dari lambung, usus halus, usus besar, akibat
dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari usus
mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam
rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis). Perforasi dalam
bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus
kegawatan bedah (Mansjoer, 2010).
Anatomi Gaster
Merupakan bagian dan saluran yang dapat mengembang paling banyak
terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri
berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah
diafragma di. depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus
uteri.
Bagian lambung terdiri dari:
a. Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri
osteum kardium dan biasanyanya penuh berisi gas.
b. Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardiun, suatu lekukan pada bagian
bawah kurvatura minor.
c. Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot yang
tebal membentuk spinter pilorus.
d. Kurvatura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari osteum
kardiak sampai ke pilorus.
e. Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi
kiri osteum kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju ke kanan sampai
ke pilorus inferior. Ligamentum gastro lienalis terbentang dari bagian atas
kurvatura mayor sampai ke limpa.
f. Osteum kardiakum, merupakan tempat dimana osofagus bagian abdomen
masuk ke lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik.

Susunan lapisan dari dalam keluar, terdin dari:


1. Lapisan selaput lendir, apabila lambung ini dikosongkan, lapisan ini akan
berlipat-lipat yang disebut rugae.
2. Lapisan otot melingkar (muskulus aurikularis).
3. Lapisan otot miring (muskulus obliqus).
4. Lapisan otot panjang (muskulus longitudinal).
5. Lapisan jaringan ikat/serosa (peritonium).
6. Hubungan antara pilorus terdapat spinter pilorus.
Fungsi lambung. terdiri dari:
1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh
peristaltik lambung dan getah lambung.
2. Getah cerna lambung yang dihasilkan:
a. Pepsin fungsinya, memecah putih telur menjadi asam amino (albumin
dan pepton).
b. Asam garam (HCl) fungsinya; Mengasamkan makanan, sebagai anti
septik dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen
sehingga menjadi pepsin.
c. Renin fungsinya, sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk
kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).
d. Lapisan lambung. Jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam
lemak yang merangsang sekresi getah lambung.
e. Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal orang makan. bila
melihat makanan dan mencium bau makanan maka sekresi lambung
akan terangsang. Rasa makanan merangsang sekresi lambung karena
kerja saraf sehingga menimbulkan rangsangan kimiawi yang
nienyebabkan dinding lambung melepaskan hormon yang disebut
sekresi getah lambung. Getah lambung dihalangi oleh sistem saraf
simpatis yang dapat terjadi pada waktu gangguan emosi seperti marah
dan rasa takut.
2. Penyebab Perforasi Gaster
a. Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut (contoh:
trauma tertusuk pisau)
b. Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebih sering ditemukan
pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.
c. Obat aspirin, NSAID, steroid. Sering ditemukan pada orang dewasa
d. Kondisi yang mempredisposisi : ulkus peptikum, appendicitis akuta,
divertikulosis akut, dan divertikulum Meckel yang terinflamasi.
e. Infeksi bakteri: infeksi bakteri ( demam typoid) mempunyai komplikasi
menjadi perforasi usus pada sekitar 5 % pasien. Komplikasi perforasi pada
pasien ini sering tidak terduga terjadi pada saat kondisi pasien mulai
membaik.
f. Benda asing ( tusuk gigi) dapat menyebabkan perforasi oesophagus, gaster,
atau usus kecil dengan infeksi intra abdomen, peritonitis, dan sepsis.
3. Patofisiologi
Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan mikroorganisme
lainnya karena keasaman yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami
trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak berada pada
resiko kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster. Bagaimana pun
juga mereka yang memiliki masalah gaster sebelumnya berada pada resiko
kontaminasi peritoneal pada perforasi gaster. Kebocoran asam lambung
kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia.
Bila kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mengenai rongga
peritoneum, peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang
bertahap dari peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa
jam antara peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut. Mikrobiologi
dari usus kecil berubah dari proksimal sampai ke distalnya.
Beberapa bakteri menempati bagian proksimal dari usus kecil dimana,
pada bagian distal dari usus kecil (jejunum dan ileum) ditempati oleh bakteri
aerob (E.Coli) dan anaerob (Bacteriodes fragilis (lebih banyak).
Kecenderungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi
usus bagian distal.
Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel
inflamasi akut. Omentum dan organ-organ visceral cenderung melokalisir
proses peradangan, menghasilkan phlegmon (ini biasanya terjadi pada
perforasi kolon). Hypoksia yang diakibatkannya di daerah itu memfasilisasi
tumbuhnya bakteri anaerob dan mengganggu aktifitas bacterisidal dari
granulosit, yang mana mengarah pada peningkatan aktifitas fagosit daripada
granulosit, degradasi sel-sel, dan pengentalan cairan sehingga membentuk
abscess, efekosmotik, dan pergeseran cairan yang lebih banyak ke lokasi
abscess, dan diikuti pembesaran abscess pada perut. Jika tidak ditangani
terjadi bacteriemia, sepsis, multiple organ failure dan syok (Marrelli, 2008).
4. Gejala Klinis
a. Nyeri hebat pada epigastrium
b. Hipertermi
c. Takikardi
d. Hipotensi
e. Tampak letargik
f. Distensi abdomen
g. Hematemesis
h. Feses mengandung darah/ melena (Carpenito, 2001).
Nyeri perut yang makin meningkat dengan adanya pergerakan disertai
nausea, vomitus, pada keadaan lanjut disertai demam menggigil. Perforasi
gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita mengalami perforasi
akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak, terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang
peritoneum oleh asam lambung, empedu dan/atau enzim pancreas. Cairan
lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut
kanan bawah, kemudia menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut. Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase
peritonitis kimia. Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum di permukaan bawah diafragma (Mitchell, 2008).
5. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda eksternal
seperti luka, abrasi, dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola pernafasan
dan pergerakan perut saat bernafas, periksa adanya distensi dan perubahan
warna kulit abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau
bergerak, biasanya dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti
papan.
b. Pada auskultasi : bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu
peritonitis difusa.
c. Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum
d. Palpasi dengan halus, perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila
ditemukan tachycardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen
mengindikasikan suatu peritonitis. rasa kembung dan konsistens sperti
adonan roti mengindikasikan perdarahan intra abdominal.
e. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis : pemeriksaan ini dapat
membantu menilai kondisi seperti appendicitis acuta, abscess tuba ovarian
yang ruptur dan divertikulitis acuta yang perforasi.
6. Diagnosis Banding
Penyakit ulkus peptikum Gastritis
Pancreatitis acuta Cholecystitis, colik bilier
Endometriosis Torsi ovarium
PID Salpingitis acuta
Appendicitis acuta Demam typoid
Colitis iskemik Crohn’s disease
Inflamatory bowel disease Colitis
7. Penatalaksanaan
Penatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi
bedah hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomi explorasi dan
penutupan perforasi dan pencucian pada rongga peritoneum (evacuasi medis).
Terapi konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara
klinis keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena,
antibiotik, aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya
8. Prognosis
Prognosis untuk peritonitis general yang disebabkan oleh perforasi gaster
adalah mematikan akibat organisme virulen. Prognosis ini bergantung kepada
Lamanya peritonitis;
a. < 24 jam = 90% penderita selamat;
b. 24-48 jam = 60% penderita selamat;
c. 48 jam = 20% penderita selamat.
d. Adanya penyakit penyerta
e. Daya tahan tubuh
f. Usia Makin tua usia penderita, makin buruk prognosisnya.
g. Komplikasi.
9. Pemeriksaan Penunjang
Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan
adalah :
a. foto polos abdomen pada posisi berdiri : udara bebas didalam kavitas
peritonealis.
b. Pemeriksaan laboratorium
1) HB meningkat
2) Leukosit meningkat
3) HCT meningkat
c. CT-scan
CT scan abdomen untuk mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan
jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni
dinyatakan negatif.

B. Peritonitis Difus
1. Pengertian Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa
rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis atau kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular,
dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami
gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan
sistemikengan syok sepsis.(Ardi.2012)
Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneum yang disebabkan oleh
infiltrasi isi usus dari suatu kondisi seperti ruptur apendiks, perforasi/trauma
lambung dan kebocoran anastomosis.
Peritonitis adalah peradangan pentoneum yang merupakan komplikasi
berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ organ abdomen (apendisitis,
pankreatitis, dll) reputra saluran cerna dan luka tembus abdomen.
2. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis bakterial primer merupakan peritonitis akibat kontaminasi
bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan
fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial,
biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial
primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Spesifik: misalnya Tuberculosis
2) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa), Peritonitis yang mengikuti
suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus
urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan
peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat
memperberat terjadinya infeksi ini.Bakteri anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam
menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
1) Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
2) Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang
disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari
usus.
3) Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
c. Peritonitis tersier, misalnya:
1) Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.
2) Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii
misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
Bentuk lain dari peritonitis:
a) Aseptik/steril peritonitis.
b) Granulomatous peritonitis.
c) Hiperlipidemik peritonitis.
d) Talkum peritonitis.
3. Anatomi dan Fisiologi
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat
epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang
rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang
merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua
rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga
mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang
melapisi dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi
semua organ yang berada dalam rongga abdomen.Ruang yang terdapat
diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong
peritoneum.Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan
merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di
dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar
(omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan
lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan minor, dan
lambung berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus
halus.
Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika
serosa).
b. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
c. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Fungsi peritoneum:
a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.
b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
peritoneum tidak saling bergesekan.
c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap
dinding posterior abdomen.
d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi
terhadap infeksi (nuzulul.2012).
4. Etiologi
Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung/dudenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukak disentri amuba/colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan
beta hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya
adalah clostridium wechii.
1. Secara langsung dari luar.
a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
serta merupakan peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati.
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk
pula peritonitis granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti
radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis,
glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial
Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi
intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi
kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri
munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi
penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang
kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko
terjadinya peritonitis dan abses.
Terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen
asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram
negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas,
Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus
pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan
Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur
bakteri.
Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh
perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan
inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif
yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan
berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul
abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat
peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan
kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses
inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn)
(Ardi.2012)
5. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara
cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut
menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera
gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu,
masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang
menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang
dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam
rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia,
trauma atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema
jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam
rongga peritonial menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah
putih, debris seluler, dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah
hipermotilitas, diikuti oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan
dalam usus (Brunner dan Suddarth, 2001).
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi
peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus
ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi
perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga
dapat terjadi peritonitis (Brunner dan Suddarth, 2001).
6. Faktor Resiko
a. Adanya malnutrisi
b. Keganasan intraabdomen
c. Imunosupresi
d. Splenektomi
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal
ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
Pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi
kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri
menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesentrium, kadang-kadang
terjadi penyebaran hematogen jika telah terjadi bacteremia (Scribd, 2013).
7. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder,
dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut,
yaitu : (chushieri)
a. Komplikasi dini
1) Septikemia dan syok septic
2) Syok hipovolemik
3) Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multisystem
4) Abses residual intraperitoneal
5) Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
1) Adhesi
2) Obstruksi intestinal rekuren (Lili.2013)
8. Pencegahan
Cara pencegahan peritonitis utamanya adalah menghindari semua
penyebabnya, baik penyebab utama maupun penyebab sekundernya, yaitu
mengurangi minum alcohol dan obat yang dapat menyebabkan sirosis.
a. Alkoholisme:
Konsumsi alcohol yang berlebihan adalah salah satu faktor yang dapat
menyebabkan sirosis. Karena alcohol memilki efek yang toksik terhadap
organ liver dan dapat merusak sel-sel liver.
b. Racun/obat-obatan
Pemakaian jangka lama obat-obatan atau eksposur pada racun dapat menyebabkan
kerusakan pada hati dan akhirnya terjadi sirosis.
9. Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda-tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan
nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara
bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat
kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik
dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri
objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes
psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri
abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas
lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya
(peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi
berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia,
takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat
biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi
penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan
atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan
vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru
disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan
steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran
(misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric (Ardi.2012)
10. Pemeriksaan Diagnostik
a. Test laboratorium
1) Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
a) Hematokrit meningkat
b) Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien
peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
c) X. Ray
Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
1) Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
2) Usus halus dan usus besar dilatasi.
3) Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
11. Penatalaksanaan
a. Therapy umum
1) Istirahat
a) Tirah baring dengan posisi fowler
b) Penghisapan nasogastrik, kateter
2) Diet
a) Cair → nasi
b) Diet peroral dilarang
3) Medikamentosa
a) Obat pertama
Cairan infus cukup dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
b) Obat alternatif
Narkotika untuk mengurangi penderitaan pasien
2. Therapy Komplikasi
a. Intervensi bedah untuk menutup perforasi dan menghilangkan sumber
infeksi.
Prinsip umum pengobatan adalah pemberian antibiotik yang
sesuai dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau
intestinal penggantian cairan dan elektrolit yang dilakukan secara
intravena, pembuangan fokus septik (appendiks dsb) atau penyebab
radang lainnya bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar dan
tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Management peritonitis tergantung dari diagnosis
penyebabnya.Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan
tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
b. Pertimbangan dilakukan pembedahan
1) Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas,
nyeri tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri,
tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas
tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya
pasien saat ditangani).
2) Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum,
distensi usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena
atau arteri mesenterika.
3) Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan
perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
4) Pemeriksaan laboratorium.
c. Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
1) Mengeliminasi sumber infeksi.
2) Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3) Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
3. Terapi bedah pada peritonitis :
a. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe
dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan
keparahan infeksinya.
b. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement,
suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan
untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
c. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
d. Irigasi kontinyu pasca operasi.
4. Terapi post operasi :
a. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
b. Pemberian antibiotic
c. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic
usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen.

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis


bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan
kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika
didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah.
Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia
akan berkembang selama operasi.

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan


menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal
sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum,
karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat
lain.

Pengobatan yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi


darurat, terutama bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami
perforasi atau divertikulitis.Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau
penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak
dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam
antibiotik diberikan bersamaan (Ardi.2012).

C. Laparatomi Eksplorasi
1. Pengertian Laparatomi Eksplorasi
Laparatomy adalah prosedur tindakan pembedahan dengan membuka
cavum abdomen dengan tujuan eksplorasi. Perawatan post laparotomy adalah
pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah
menjalani operasi pembedahan perut (Arif Mansjoer, 2000).
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen,
bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah
abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan.
(http://medicastore.laparatomi.co.id, di akses 27 april 2010).
Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan teknik
sayatan arah laparatomi yaitu: Herniotorni, gasterektomi,
kolesistoduodenostomi, hepateroktomi, splenorafi/splenotomi, apendektomi,
kolostomi, hemoroidektomi dan fistulotomi atau fistulektomi.
Post op atau post operasi laparotomy merupakan tahapan setelah
proses pembedahan pada area abdomen (laparatomy) dilakukan. Tindakan
post operatif dilakukan dalam 2 tahap yaitu periode pemulihan segera dan
pemulihan berkelanjutan setelah fase post operatif. Proses pemulihan tersebut
membutuhkan perawatan post laparotomy (Perry dan Potter, 2005).
2. Klasifikasi Laparatomy
Ada 4 (empat) cara insisi pembedahan yang dilakukan, antara lain
(Yunichrist, 2008) yaitu :
a. Midline incision
Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit
pembedahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat dibuka dan ditutup serta
tidak memotong ligament dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insisi
ini adalah terjadinya hernia cikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster,
pancreas, hepar dan lien serta dibawah umbilicus untuk eksplorasi
ginekologis, rektosignoid, dan organdalam pelvis.
b. Paramedian, yaitu : panjang (12,5 cm) ± sedikit ke tepi dari garis tengah (±
2,5 cm).
c. Transverse upper abdomen incision, yaitu : sisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy
d. Transverse lower abdomen incision, yaitu : 4 cm di atas anterior spinal
iliaka, ± insisi melintang di bagian bawah misalnya : pada operasi
appendictomy.
3. Indikasi Laparatomi
a. Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur hepar
b. Peritonitis
c. Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding)
d. Sumbatan pada usus halus dan usus besar
e. Masa pada abdomen (Arif Mansjoer, 2002).
4. Tanda gejala laparotomy
Manifestasi yang biasa timbul pada pasien post laparotomy diantaranya :
a. Nyeri tekan pada area sekitar insisi pembedahan
b. Dapat terjadi peningkatan repirasi, tekanan darah, nadi
c. Kelemahan
d. Mual, muntah anoreksia
e. Konstipasi (Jitowiyono, 2012).
5. Post Laparatomi
Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang
diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan
perut.
6. Tujuan Perawatan Post Laparatomi
a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
b. Mempercepat penyembuhan
c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum
operasi
d. Mempertahankan konsep diri pasien
e. Mempersiapkan pasien pulang
7. Komplikasi Post Laparatomi
a. Tromboplebitis
Tromboplebitis post opersi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru,
hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,
ambulatif dini dan kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba
ambulatif.
b. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus,
organisme ;gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk
menghindari infeksi luka yang pali penting adalah perawatan luka dengan
mempertahankan aseptik dan antiseptik.
c. Dehisensi Luka atau Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka
adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab
dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat
dari batuk dan muntah.
d. Proses Penyembuhan Luka
1) Fase pertama (Inflamasi)
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang
rusak/rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh
dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka.
2) Fase kedua (Proliferatif)
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh
pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru
tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
3) Fase ketiga (Maturasi)
Sekitar 2 sampai 10 minggu kolagen terus menerus ditimbun, timbul
jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
4) Fase keempat (fase terakhir)
Pada fase penyembuhan akan menyusut dan mengkerut (Smeltzer,
2002).
8. Intervensi untuk Meningkatkan Penyembuhan
a. Meningkatkan intake makanan tinggi kalori dan tinggi protein ( TKTP)
b. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid
c. Pencegahan infeksi
9. Pengembalian Fungsi Fisik
Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan
latihan nafas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini. Latiahn-latihan fisik
diantaranya latihan nafas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki,
menggerakan otot-otot bokong. Latihan alih baring dan turun dari tempat
tidur, semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi.

D. Gagal Nafas tipe 1


1. Definisi Gagal Nafas
Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Ketidakmampuan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan
untuk memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.
Gagal nafas akut adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-
sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal.
Kriteria kadar gas darah arteri untuk gagal respirasi tidak mutlak bisa
ditentukan dengan mengetahui PO2 kurang dari 60mmHg dan PCO2 diatas
50mmHg. Gagal nafas akut terjadi dalam berbagai gangguan baik pulmoner
maupun nonpulmoner.
2. Etiologi Gagal Nafas
Gagal nafas akut dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmonal dan
ektrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran nafas
bawah, sirkulasi pulmoner, jaringan interstitial,kapiler alveolar. Kelainan
ektrapulmonal merupakan kelainan pada pusat nafas, neuromuskular, pleura
maupun saluran nafas atas.
3. Patofisiologi Gagal Nafas
Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas akut merupakan hal
yang sangat penting di dalam hal penatalaksanaannya. Secara umum terdapat
empat dasar mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem pernafasan
yaitu :
a. Hipoventilasi
b. Ketidakseimbangan ventilasi atau perfusi
c. Pintasan darah kanan ke kiri
d. Gangguan difusi. Kelainan ektrapulmonel menyebabkan hipoventilasi
sedangkan kelainan intrapulmonel dapat meliputi seluruh mekanisme
tersebut.
Sesuai dengan patofisiologinya gagal nafas akut dapat dibedakan
kedalam 2 bentuk yaitu: hiperkapnia atau kegagalan ventilasi dan hipoksemia
atau kegagalan oksigenasi. Gagal nafas pada umumnya disebabkan oleh
kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2, disertai dengan
penurunan pH yang abnormal, penurunan PaO2, dengan nilai perbedaan
tekanan O2 di alveoli-arteri (A-a)DO2 meningkat atau normal.
Kegagalan ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi karena
kelainan ektrapulmoner dan ketidakseimbangan V/Q yang berat pada kelainan
intrapulmoner atau terjadi kedua-duanya secara bersamaan. Hiperkapnia yang
terjadi karena kelainan ektrapulmoner disebabkan karena terjadinya
penurunan aliran udara antara atmosfer dengan paru tanpa kelainan pertukaran
gas di parenkim paru. Dengan demikian akan didapatkan peningkatan PaCO2,
penurunan PaO2, dan nilai (A-a) DO2 normal.
Kegagalan ventilasi pada penderita penyakit paru terjadi sebagai
berikut : sebagian alve5oli mengalami penurunan ventilasi relatif terhadap
perfusi, sedangkan sebagian lagi terjadi peningkatan ventilasi relative
terhadap perfusi. Awalnya daerah dengan ventilasi rendah dapat dikompesasi
dengan daerah terventilai tinggi sehingga tidak terjadi peningkatan PaCO2.
Tetapi apabila ketidakseimbangan ventilasi ini sudah semakin beratnya maka
mekanisme kompensasi tersebut gagal sehingga terjadi kegagalan ventilasi
yang ditandai oleh peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dengan peningkatan
(A-a) DO2 yang bermakna.
Pada gagal nafas tipe hipoksemia, PaCO2 adalah normal atau
menurun, PaO2 adalah menurun dan peningkatan (A-a) DO2. Gagal nafas tipe
ini terjadi pada kelainan pulmoner dan ektrapulmoner. Mekanisme terjadinya
hipoksemia terjadi akibat ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan pintasan
darah kanan-kiri, sedangkan gangguan difusi dapat merupakan gangguan
penyerta.
Indikator gagal nafas frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt
tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja
pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah
ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
4. Klasifikasi Gagal Nafas
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe,
yaitu :
a. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi atau hypoxaemia arteri ditandai
dengan tekanan parsial O2 arteri yang rendah.
b. Tipe II yaitu kegagalan ventilasi atau hypercapnia ditandai dengan
peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm
Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh
karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah.
c. Tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi
ditandai dengan hipoksemia dan hiperkarbia penurunan PaO2 dan
peningkatan PaCO2.
5. Diagnosis Gagal Nafas
Anamnesis
Gejala dan tanda gagal napas akut menggambarkan adanya
hipoksemia atau hiperkapnia, atau keduanya, disertai gejala dari penyakit
yang mendasarinya. Sesak merupakan gejala yang sering muncul. Penurunan
status mental adalah gejala akibat hipoksemia maupun hiperkapnia. Pasien
mungkin mengalami disorientasi. Pada hiperkapnia pasien dapat mengalami
penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma. Sakit kepala sering tedapat
pada gagal napas hiperkapnia. Patogenesis dari sakit kepala adalah dilatasi
pembuluh darah cerebral akibat peningkatan PCO2.
Gejala hipoksemia bervariasi dan dapat melibatkan kelainan pada
sistem saraf pusat (confusion, gelisah, kejang), sistem kardiovaskular (aritmia,
hipotensi, atau hipertensi), sistem respirasi (disapnue, takipnue). Gejala
hiperkapnia meliputi somnolen, letargi, dan perubahan status mental. Bila
terdapat asidosis respiratori yang berat, dapat terjadi depresi miokard yang
mengakibatkan hipotensi. Hipoksemia dan hiperkapnia dapat memperjelas
gejala disapnue. Karena hipoksemia dan hiperkapnia sering terjadi bersamaan
maka seringkali didapatkan kombinasi dari gejala ini. Asidosis laktat dapat
terjadi bila terdapat penyebab lain terjadinya reduksi distribusi oksigen yaitu
cardiac output yang tidak adekuat, anemia berat, atau redistribusi aliran darah.
Sering kali didapatkan gejala dan tanda sesuai penyakit yang
mendasarinya. misalnya batuk dan sputum pada pneumonia, nyeri dada pada
tromboemboli pulmoner dengan infark. Pada gagal napas yang dicetuskan
karena adanya edema pulmoner kardiogenik, terdapat riwayat disfungsi
ventrikel kiri atau gangguan katup. Riwayat penyakit jantung sebelumnya,
nyeri dada akut, paroksismal nocturnal dispnu, dan ortopnu mengarahkan
pada kecurigaan edema pulmoner kardiogenik.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
1. Takipnue dan takikardi yang merupakan gejala nonspesifik
2. Batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu napas, dan pulsus
paradoksus dapat menandakan risiko terjadinya gagal napas
3. Pada funduskopi dapat ditemukan papil edema akibat hiperkapnia atau
vasodilatasi cerebral
4. Pada paru ditemukan gejala yang sesuai dengan penyakit yang mendasari.
5. Bila hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan membran
mukosa. Sianosis dapat diamati bila konsentrasi hemoglobin yang
mengalami deoksigenasi pada kapiler atau jaringan mencapai 5 g/dL
6. Disapnue dapat terjadi akibat usaha bernapas, reseptor vagal, dan stimuli
kimia akibat hipoksemia atau hiperkapnia
7. Kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada kasus gagal napas.
Mioklonus dan kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat. Polisitemia
merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia
8. Hipertensi pulmoner biasanya terdapat pada gagal napas kronik.
Hipoksemia alveolar yang disebabkan oleh hiperkapnia menyebabkan
konstriksi arteriol pulmoner.

Hypoxemia Hypercapnia

Takikardi Somnolence

Takipneau Lethargy

Cemas Restlessness

Diaphoresis Tremor

Perubahan status mental Slurred speech


Confusion Sakit kepala

Sianosis Asterixis

Hipertensi Papilledema

Hipotensi Koma

Bradikardi Diaphoresis

Kejang

Koma

Laktat asidosis

Tabel 1. Gejala Hipoksemia dan Hiperkapnia

Gagal nafas merupakan kondisi umum yang mengancam jiwa yang


menuntut diagnosis yang tepat dan penilaian serta pengelolaan yang tepat.
Kegagalan untuk memvisualisasikan kelainan yang jelas pada foto
radiografi dalam kegagalan pernapasan hipoksemia menunjukkan
kemungkinan teradinya pintasan darah dari kanan-ke-kiri. Sebagian besar
pasien dalam kegagalan pernafasan akut akibat edema paru kardiogenik
menunjukkan penurunan preload dan afterload. Mereka dengan sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS) membutuhkan intubasi elektif lebih
awal karena durasi kegagalan pernafasan yang lebih lama.
Kegagalan pernapasan dapat berhubungan dengan berbagai
manifestasi klinis namun, ini tidak spesifik, dan kegagalan pernafasan yang
sangat signifikan mungkin ada tanpa tanda-tanda atau gejala yang
signifikan. Pengukuran gas darah arteri pada semua pasien yang sakit parah
atau yang dicurigai gagal napas perlu dilakukan.
Analisis gas darah arteri harus dilakukan untuk memastikan
diagnosis dan untuk membantu dalam perbedaan antara bentuk akut dan
kronis. Ini membantu menilai keparahan kegagalan pernapasan dan
membantu dalam penanganan.
Hitung darah lengkap ( CBC ) dapat menunjukkan anemia, yang
dapat berkontribusi terhadap hipoksia jaringan, sedangkan polisitemia
mungkin menunjukkan kegagalan pernafasan hipoksemia kronis.
Kelainan fungsi ginjal dan hati mungkin juga memberikan petunjuk
etiologi kegagalan pernafasan atau mengingatkan dokter untuk komplikasi
yang terkait dengan kegagalan pernafasan. Kelainan pada elektrolit seperti
kalium, magnesium, dan fosfat dapat memperburuk kegagalan pernapasan
dan fungsi organ lainnya.
Serum creatine kinase dengan fraksinasi dan troponin I membantu
mengecualikan infark miokard pada pasien dengan gagal napas. Tingkat
creatine kinase meningkat dengan tingkat troponin I yang normal dapat
menunjukkan myositis, yang kadang-kadang dapat menyebabkan kegagalan
pernafasan pada gagal napas hiperkapnia kronis, tingkat serum thyroid-
stimulating hormone ( TSH ) harus diukur untuk mengevaluasi
kemungkinan hipotiroidisme, yang berpotensi menyebabka kegagalan
pernapasan.
Foto rontgen dada sangat penting. Echocardiography tidak rutin
dilakukan tetapi kadang kadang berguna. Tes fungsi paru jika
memungkinkan, dapat membantu. Elektrokardiografi (EKG) harus
dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab kardiovaskular
sebagai kegagalan pernafasan, tetapi juga dapat mendeteksi disritmia akibat
hipoksemia berat atau asidosis.
6. Penatalaksanaan Gagal Nafas
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non
spesifik dan kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara
keduanya.
a. Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak
langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas.
Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya
untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal
nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah
terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak
terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive.
Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi
apnoe.
Pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-
benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus
jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan
harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus
segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan
menimbulkan cacat tetap dan kematian.
Pada kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100%
dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya
oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping.
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem
arus rendah dan sistem arus tinggi. Kateter nasal kanul merupakan alat
dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul arus
rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt,
dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi
tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Alat oksigen arus
tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders.
Pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe hipoksemia, bernapas
dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki
hipoksemia. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt
oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan
respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus
tinggi ini adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien
hipoksia dengan ventilasi abnormal.
Atasi Hiperkapnia: Perbaiki Ventilasi
1. Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan
pemberian obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan
pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan
napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas buatan seperti
endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas
buatan dibandingkan jalan napas alami.
Resiko jalan napas buatan adalah trauma insersi, kerusakan
trakea (erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan
fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja
pernapasan. Keuntungan jalan napas buatan adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-
obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,
memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik.
2. Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut
kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka
berkantung (face mask atau ambu bag) dengan memompa kantungnya
untuk memasukkan udara ke dalam paru. Hiperkapnia mencerminkan
adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari turunnya
ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian
dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2
secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan asidosis respiratoris.
Pasien dengan pemulihan awal diharapkan, ventilasi mekanik non
invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif yang
efektif.
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas
atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang
tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah
termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi
keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap
hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi
atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak dan
menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator harus
dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang
dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48
jam.
Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka
kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja
lepas dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara umum bantuan napas
mekanik (ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive
Positive Pressure Ventilator (IPPV), dimana pasien sebelum
dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non
Invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien
sebelum dihubungkan dengan ventilator tidak perlu diintubasi.
Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat tindakan intubasi
dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat
terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat.
3. Terapi suportif lainnya
Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari
sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga
untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila
perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak
tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif.
Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan
perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang diperlukan juga
obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.
Bronkodilator (beta-adrenergik agonis/simpatomimetik). Obat-obat
ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika
diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi
yang sama, efek samping secara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis
besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif mungkin
membutuhkan jumlah beta-adrenergik agonis dua hingga empat kali
lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis
(kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi
pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan.
Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian,
dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia,
palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan
penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia,
walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh
diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium
dari kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap
stimulasi beta adrenergik.
Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap
obat antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik.
Obat-obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas
berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana
tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan. Obat ini
direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan bronkitis
kronik. Antikolinergik pada pasien gagal nafas harus selalu
dikombinasikan dengan beta adrenergik agonis. Ipratropium bromida
tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk
nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan
retensi urin.
b. Penatalaksaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari
penyebab gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya,
sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.

E. Asuhan Keperawatan Kritis


1. Definisi
Keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi di bidang
keperawatan yang secara khusus menangani respon manusia terhadap masalah
yang mengancam kehidupan. Secara keilmuan perawatan kritis fokus pada
penyakit yang kritis atau pasien yang tidak stabil. Untuk pasien yang kritis,
pernyataan penting yang harus dipahami perawat ialah “waktu adalah vital”.
Sedangkan Istilah kritis memiliki arti yang luas penilaian dan evaluasi secara
cermat dan hati-hati terhadap suatu kondisi krusial dalam rangka mencari
penyelesaian/jalan keluar.
American Association of Critical-Care Nurses (AACN)
mendefinisikan Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu
perawatan yang dihadapkan secara rinci dengan manusia (pasien) dan
bertanggung jawab atas masalah yang mengancam jiwa. Perawat kritis adalah
perawat profesional yang resmi yang bertanggung jawab untuk memastikan
pasien dengan sakit kritis dan keluarga pasien mendapatkan kepedulian
optimal (AACN, 2006).
American Association of Critical Care Nurses (AACN, 2012) juga
menjelaskan secara spesifik bahwa asuhan keperawatan kritis mencakup
diagnosis dan penatalaksanaan respon manusia terhadap penyakit aktual atau
potensial yang mengancam kehidupan. Lingkup praktik asuhan keperawatan
kritis didefinisikan dengan interaksi perawat kritis, pasien dengan penyakit
kritis, dan lingkungan yang memberikan sumber-sumber adekuat untuk
pemberian perawatan.
Keperawatan kritikal adalah suatu bidang yang memerlukan perawatan
pasien yang berkualitas tinggi dan komprehensif. Untuk pasien yang kritis
waktu adalah vital .Proses keperawatan memberikan suatu pendekatan yang
sistematis, dimana perawat keperawatan kritis dapat mengevaluasi masalah
pasien dengan cepat.
Kritis adalah penilaian dan evaluasi secara cermat dan hati-hati
terhadap suatu kondisi krusial dalam rangka mencari penyelesaian/jalan
keluar. Keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi di bidang
keperawatan yang secara khusus menangani respon manusia terhadap masalah
yang mengancam hidup. Seorang perawat kritis adalah perawat profesional
yang bertanggung jawab untuk menjamin pasien yang kritis dan akut beserta
keluarganya mendapatkan pelayanan keperawatan yang optimal.
Proses keperawatan adalah susunan metode pemecahan masalah yang
meliputi pengkajian , analisa perencanaan, implementasi dan evaluasi . The
American Associaton Of Crtical Care Nurses (AACN) menyeusun standar
proses keperawatan sebagai asuhan keperawatan kritikal. Standar proses
AACN ditunjukan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1- 1 Standar Proses American Associaton Of Critical Care Nurses
Keperawatan kritis harus menggunakan proses keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan.
1) Data akan dikumpulkan secara terus- menerus pada semua pasien yang
sakit kritis dimanapun tempatnya.
2) Identifikasi masalah / kebutuhan pasien dan prioritas harus didasarkan
pada data yang dikumpulkan.
3) Rencana asuhan keperawatan yang tepat harus diformulasikan.
4) Rencana asuhan keperawatan harus diimplementasikan menurut
prioritas dari identifikasi masalah/kebutuhan.
5) Hasil dari asuhan keperawatan harus dievaluasi secara terus-menerus

2. Prinsip Keperawatan Kritis


Pasien kritis adalah pasien dengan perburukan patofisiologi yang cepat
yang dapat menyebabkan kematian. Ruangan untuk mengatasi pasien kritis di
rumah sakit terdiri dari: Unit Gawat Darurat (UGD) dimana pasien diatasi
untuk pertama kali, unit perawatan intensif (ICU) adalah bagian untuk
mengatasi keadaan kritis sedangkan bagian yang lebih memusatkan perhatian
pada penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah koroner yang disebut
unit perawatan intensif koroner Intensive Care Coronary Unit (ICCU). Baik
UGD, ICU, maupun ICCU adalah unit perawatan pasien kritis dimana
perburukan patofisiologi dapat terjadi secara cepat yang dapat berakhir
dengan kematian.
Konsep pelayanan kiritis terdiri dari:
1. Tujuan
Untuk mempertahankan hidup (maintaining life).
2. Pengkajian
Komponen kunci dan pondasi proses keperawatan adalah pengkajian.
Pengkajian membuat data dasar dan merupakan proses dinamis. Suatu
pengkajian yang mendalam memungkinkan perawat kritikal untuk
mendeteksi perubahan cepat, melakukan intervensi dini dan melakukan
asuhan.
Terdapat Tiga Fase dasar untuk pengkajian :
1) Pengkajian Awal : Pengkajian yang dibuat dengan cepat selama
pertemuan pertama dengan pasien, yang meliputi ABC : Airway,
Breathing dan Circulation.
2) Pengkajian Dasar : Pengkajian lengkap pada pasien dimana semua
sistem dikaji.
3) Pengkajian Terus-menerus : Suatu pengkajian ulang secara terus-
menerus yang dibutuhkan pada status perubahan pasien yang sakit
kritis.

Status pasien akan mengatur waktu dan kedalaman pengkajian.


Terdapat bermacam- macam tipe pendekatan pengkajian dua pendekatan
yang paling penting digunakan yakni ;

1) Pendekatan dari kepala sampai ujung kaki (head to toe) : Pendekatan


dari kepala samapai kaki merupakan pendekatan simetris yang
sistematis dimulai dengan kepala dan diakhiri dengan kaki.
2) Pendekatan sistem tubuh : mengkaji masing-masing tubuh secara
bebas . banyak perawat kritikal menggunakan suatu kombinasi
pendekatan dimana pendekatan dimana pendekatan dari kepala sampai
kaki dan pendekatan sistem tubuh terintegrasi yakni, perawat memulai
pengkajian dengan kepala dan mengevaluasi sistem neurologi,
kemudian mengkaji dada dan meliputi sistem kardiovaskular dan
sistem pernafasan. Pendekatan ini memberikan suatu perkembangan
yang logis untuk pengkajian.
3) Pengkajian menghasilakan data dasar. Data dasar ini dirumuskan dari
riwayat keperawatan, pengkajian fisik dan sumber lain dari pengkajian
data.
3. Diagnose Keperawatan
Ditegakkan untuk mencari perbedaan serta mencari tanda dan gejala
yang sulit diketahui untuk mencegah kerusakan/ gangguan yang lebih luas.
4. Perencanaan Keperawatan
Ditujukan pada penerimaan dan adaptasi pasien secara konstan
terhadap status yang selalu berubah.

5. Intervensi
Ditujukan terapi gejala-gejala yang muncul pertama kali untuk
pencegahan krisis dan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama
sampai dapat beradaptasi dengan tercapainya tingkat kesembuhan yang
lebih tinggi atau terjadi kematian.
6. Implementasi
Perencanaan dimasukkan dalam tindakan selama fase ini implementasi
. ini merupakan fase kerja aktual dari proses keperawatan.
7. Evaluasi
Dilakukan secara cepat, terus menerus dan dalam waktu yang lama
untuk mencapai keefektifan masing-masing tindakan/ terapi, secara terus-
menerus menilai kriteria hasil untuk mengetahui perubahan status pasien.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pasien kritis prioritas
pemenuhan kebutuhan tetap mengacu pada hirarki kebutuhan dasar
Maslow dengan tidak meninggalkan prinsip holistik.
3. Lingkungan keperawatan kritis
a. Respon individu dan keluarga terhadap pengalaman keperawatan kritis
Penyakit kritis adalah kejadian dramatis emosional yang dialami
pasien dan keluarganya. Untuk beberapa situasi tertentu persiapan dari segi
psikologis perlu dilakukan. Perawat kritis berada di posisi yang paling tepat
untuk memahami kondisi yang dialami pasien dan keluarganya dan
membantu mereka untuk beradaptasi dengan situasi yang ada. Gejala fisik
dari penyakit kritis yang mengancam jiwa, seperti nyeri tingkat akhir atau
perdarahan biasanya disertai dengan respon psikologis dari pasien dan
keluarganya, seperti:

1. Cemas
2. Takut
3. Panik
4. Marah
5. Perasaan bersalah
6. Distres spiritual

b. Kecenderungan trend dan isu keperawatan kritis


Perkembangan yang pesat di bidang teknologi dan pelayanan
kesehatan cukup berkontribusi dalam membuat orang tidak lagi dirawat
dalam jangka waktu lama di rumah sakit. Pasien yang berada di unit
perawatan kritis dikatakan lebih sakit dibanding sebelumnya. Sekarang ini
banyak pasien yang dirawat di unit kritis untuk waktu 5 tahun sudah dapat
menjalani rawat jalan di rumah masing-masing. Pasien unit kritis yang ada
sekarang ini tidak mungkin bertahan hidup di masa lalu dikarenakan
buruknya sistem perawatan kritis yang ada. Sudah direncanakan di
beberapa rumah sakit akan adanya unit kritis yang lebih besar dan
kemungkinan mendapatkan pelayanan perawatan kritis di rumah atau
tempat-tempat alternatif lainnya. Perawat kritis harus tetap memantau
informasi terbaru dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki untuk
mengelola metode dan teknologi perawatan terbaru. Seiring dengan
perkembangan perawatan yang dilakukan pada pasien semakin kompleks
dan banyaknya metode ataupun teknologi perawatan baru yang
diperkenalkan, perawat kritis dipandang perlu untuk selalu meningkatkan
pengetahuannya.
4. Sumber Daya Manusia : Isu etik dan legal pada keperawatan kritis
Perawat ruang intensif/kritis harus memberikan pelayanan
keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal
keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal
kesehatan. Perawat ruang kritis harus bekerja sesuai dengan aturan yang ada
(standar rumah sakit/standar pelayanan maupun asuhan keperawatan). Etik
ditujukan untuk mengukur perilaku yang diharapkan dari manusia sehingga
jika manusia tersebut merupakan suatu kelompok tertentu atau profesi tertentu
seperti profesi keperawatan, maka aturannya merupakan suatu kesepakatan
dari kelompok tersebut yang disebut kode etik.
Status pekerjaan sebagai seorang perawat rumah sakit ataupun bagian
dari staf paramedik tidak membuat perawat bisa menghindari tanggung jawab
dan kewajiban mematuhi hukum dalam setiap tindakan/pelayanan
keperawatan yang dilakukan. Kumpulan hukum/peraturan keperawatan yang
telah dikembangkan dikenal sebagai standar pelayanan keperawatan. Standar
pelayanan keperawatan ditentukan dengan pengambilan keputusan atas
tindakan profesional yang paling tepat dilakukan untuk mengatasi masalah
yang ada.

F. Konsep ICU
1. Definisi ICU
ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang
dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati
pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang mempunyai
intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya
sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian. Tiap
pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena
memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta
dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari
penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Rab,2007).
2. Pembagian ICU berdasarkan kelngkapan
Berdasarkan kelengkapan penyelenggaraan maka ICU dapat dibagi
atas tiga tingkatan. Yang pertama ICU tingkat I yang terdapat di rumah
sakit kecil yang dilengkapi dengan perawat, ruangan observasi, monitor,
resusitasi dan ventilator jangka pendek yang tidak lebih dari 24 jam. ICU
ini sangat bergantung kepada ICU yang lebih besar. Kedua, ICU tingkat II
yang terdapat pada rumah sakit umum yang lebih besar di mana dapat
dilakukan ventilator yang lebih lama yang dilengkapi dengan dokter tetap,
alat diagnosa yang lebih lengkap, laboratorium patologi dan fisioterapi.
Yang ketiga, ICU tingkat III yang merupakan ICU yang terdapat di rumah
sakit rujukan dimana terdapat alat yang lebih lengkap antara lain
hemofiltrasi, monitor invasif termasuk kateterisasi dan monitor intrakranial.
ICU ini dilengkapi oleh dokter spesialis dan perawat yang lebih terlatih dan
konsultan dengan berbagai latar belakang keahlian ( Rab, 2007).
Terdapat tiga kategori pasien yang termasuk pasien kritis yaitu :
kategori pertama, pasien yang di rawat oleh karena penyakit kritis meliputi
penyakit jantung koroner, respirasi akut, kegagalan ginjal, infeksi, koma
non traumatik dan kegagalan multi organ. Kategori kedua, pasien yang di
rawat yang memerlukan propilaksi monitoring oleh karena perubahan
patofisiologi yang cepat seperti koma. Kategori ketiga, pasien post operasi
mayor.
Apapun kategori dan penyakit yang mendasarinya, tanda-tanda
klinis penyakit kritis biasanya serupa karena tanda-tanda ini mencerminkan
gangguan pada fungsi pernafasan, kardiovaskular, dan neurologi (Nolan et
al. 2005). Tanda-tanda klinis ini umumnya adalah takipnea, takikardia,
hipotensi, gangguan kesadaran (misalnya letargi, konfusi / bingung, agitasi
atau penurunan tingkat kesadaran) (Jevons dan Ewens, 2009).
3. Sistem Pelayanan ruang ICU
Penyelenggaraan pelayanan ICU di rumah sakit harus berpedoman
pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
ICU di rumah sakit. Pelayanan ICU di rumah sakit meliputi beberapa hal,
yang pertama etika kedokteran dimana etika.
Pelayanan di ruang ICU harus berdasarkan falsafah dasar "saya akan
senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk dapat
secara optimal, memperbaiki kondisi kesehatan pasien. Kedua, indikasi yang
benar dimana pasien yang di rawat di ICU harus pasien yang memerlukan
intervensi medis segera oleh tim intensive care, pasien yangmemerlukan
pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan
sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi,
dan pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan
segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis. Ketiga, kerjasama
multi disipliner dalam masalah medis kompleks dimana dasar pengelolaan
pasien ICU adalah pendekatan multi disiplin tenaga kesehatan dari beberapa
disiplin ilmu terkait yang memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang
keahliannya dan bekerja sama di dalam tim yang di pimpin oleh seorang
dokter intensivis sebagai ketua tim. Keempat, kebutuhan pelayanan kesehatan
pasien dimana kebutuhan pasien ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi
dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti Airway (fungsi jalan napas),
Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi
otak) dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif.
Kelima, peran koordinasi dan integrasi dalam kerja sama tim dimana
setiap tim multidisiplin harus bekerja dengan melihat kondisi pasien misalnya
sebelum masuk ICU, dokter yang merawat pasien melakukan evaluasi pasien
sesuai bidangnya dan memberi pandangan atau usulan terapi kemudian kepala
ICU melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil kesimpulan, memberi
instruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan mempertimbangkan usulan
anggota tim lainnya serta berkonsultasi dengan konsultan lain dan
mempertimbangkan usulan-usulan anggota tim. Keenam, asas prioritas yang
mengharuskan setiap pasien yang dimasukkan ke ruang ICU harus dengan
indikasi masuk ke ruang ICU yang benar. Karena keterbatasan jumlah tempat
tidur ICU, maka berlaku asas prioritas dan indikasi masuk.
Ketujuh, sistem manajemen peningkatan mutu terpadu demi
tercapainya koordinasi dan peningkatan mutu pelayanan di ruang ICU yang
memerlukan tim kendali mutu yang anggotanya terdiri dari beberapa disiplin
ilmu, dengan tugas utamanya memberi masukan dan bekerja sama dengan staf
struktural ICU untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan ICU. Kedelapan,
kemitraan profesi dimana kegiatan pelayanan pasien di ruang ICU di samping
multi disiplin juga antar profesi seperti profesi medik, profesi perawat dan
profesi lain. Agar dicapai hasil optimal maka perlu peningkatan mutu SDM
(Sumber Daya Manusia) secara berkelanjutan, menyeluruh dan mencakup
semua profesi. Kesembilan, efektifitas, keselamatan dan ekonomis dimana
unit pelayanan di ruang ICU mempunyai biaya dan teknologi yang tinggi,
multi disiplin dan multi profesi, jadi harus berdasarkan asas efektifitas,
keselamatan dan ekonomis. Kesepuluh, kontuinitas pelayanan yang ditujukan
untuk efektifitas, keselamatan dan ekonomisnya pelayanan ICU. Untuk itu
perlu di kembangkan unit pelayanan tingkat tinggi (High Care Unit =HCU).
Fungsi utama. HCU adalah menjadi unit perawatan antara dari bangsal rawat
dan ruang ICU. Di HCU, tidak diperlukan peralatan canggih seperti ICU
tetapi yang diperlukan adalah kewaspadaan dan pemantauan yang lebih tinggi.
Unit perawatan kritis atau unit perawatan intensif (ICU) merupakan
unit rumah sakit di mana klien menerima perawatan medis intensif dan
mendapat monitoring yang ketat. ICU memilki teknologi yang canggih seperti
monitor jantung terkomputerisasi dan ventilator mekanis. Walaupun peralatan
tersebut juga tersedia pada unit perawatan biasa, klien pada ICU dimonitor
dan dipertahankan dengan menggunakan peralatan lebih dari satu. Staf
keperawatan dan medis pada ICU memiliki pengetahuan khusus tentang
prinsip dan teknik perawatan kritis. ICU merupakan tempat pelayanan medis
yang paling mahal karena setiap perawat hanya melayani satu atau dua orang
klien dalam satu waktu dan dikarenakan banyaknya terapi dan prosedur yang
dibutuhkan seorang klien dalam ICU ( Potter & Perry, 2009).
Pada permulaannya perawatan di ICU diperuntukkan untuk pasien
post operatif. Akan tetapi setelah ditemukannya berbagai alat perekam
(monitor) dan penggunaan ventilator untuk mengatasi pernafasan maka ICU
dilengkap pula dengan monitor dan ventilator. Disamping itu dengan metoda
dialisa pemisahan racun pada serum termasuk kadar ureum yang tinggi maka
ICU dilengkapi pula dengan hemodialisa.
Selain itu ICU juga merupakan tempat yang sering memberikan
respon kekhawatiran dan kecemasan pasien dan keluarga mereka karena
kritisasi kondisi yang belum stabil. Diharapkan bahwa dengan memperhatikan
kebutuhan baik pasien maupun keluarga, rumah sakit dapat menciptakan
lingkungan yang saling percaya dan mendukung dimana keluarga sebagai
bagian integral dari perawatan pasien dan pemulihan pasien secara utuh.
(Kvale, 2011).
4. Perawat ICU
Seorang perawat yang bertugas di ICU melaksanakan tiga tugas utama
yaitu, life support, memonitor keadaan pasien dan perubahan keadaan akibat
pengobatan dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Oleh karena itu
diperlukan satu perawat untuk setiap pasien dengan pipa endotrakeal baik
dengan menggunakan ventilator maupun yang tidak. Di Australia
diklasifikasikan empat kriteria perawat ICU yaitu, perawat ICU yang telah
mendapat pelatihan lebih dari duabelas bulan ditambah dengan pengalaman,
perawat yang telah mendapat latihan sampai duabelas bulan, perawat yang
telah mendapat sertifikat pengobatan kritis (critical care certificate), dan
perawat sebagai pelatih (trainer) (Rab, 2007).

Anda mungkin juga menyukai