TINJAUAN TEORITIS
A. Perforasi Gaster
1. Pengertian Perforasi Gaster
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang
komplek dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi
dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi lambung berkembang menjadi
suatu peritonitis kimia yang di sebabkan karna kebocoran asam lambung ke
dalam rongga perut (Warsinggih, 2016).
Perforasi gaster adalah penyakit yang disebabkan oleh komplikasi
serius dari penyakit ulserasi peptic. Perforasi gastrointestinal merupakan suatu
bentuk penetrasi yang komplek dari lambung, usus halus, usus besar, akibat
dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari usus
mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam
rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis). Perforasi dalam
bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus
kegawatan bedah (Mansjoer, 2010).
Anatomi Gaster
Merupakan bagian dan saluran yang dapat mengembang paling banyak
terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri
berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah
diafragma di. depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus
uteri.
Bagian lambung terdiri dari:
a. Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri
osteum kardium dan biasanyanya penuh berisi gas.
b. Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardiun, suatu lekukan pada bagian
bawah kurvatura minor.
c. Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot yang
tebal membentuk spinter pilorus.
d. Kurvatura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari osteum
kardiak sampai ke pilorus.
e. Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi
kiri osteum kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju ke kanan sampai
ke pilorus inferior. Ligamentum gastro lienalis terbentang dari bagian atas
kurvatura mayor sampai ke limpa.
f. Osteum kardiakum, merupakan tempat dimana osofagus bagian abdomen
masuk ke lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik.
B. Peritonitis Difus
1. Pengertian Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa
rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis atau kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular,
dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami
gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan
sistemikengan syok sepsis.(Ardi.2012)
Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneum yang disebabkan oleh
infiltrasi isi usus dari suatu kondisi seperti ruptur apendiks, perforasi/trauma
lambung dan kebocoran anastomosis.
Peritonitis adalah peradangan pentoneum yang merupakan komplikasi
berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ organ abdomen (apendisitis,
pankreatitis, dll) reputra saluran cerna dan luka tembus abdomen.
2. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis bakterial primer merupakan peritonitis akibat kontaminasi
bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan
fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial,
biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial
primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Spesifik: misalnya Tuberculosis
2) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa), Peritonitis yang mengikuti
suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus
urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan
peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat
memperberat terjadinya infeksi ini.Bakteri anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam
menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
1) Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
2) Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang
disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari
usus.
3) Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
c. Peritonitis tersier, misalnya:
1) Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.
2) Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii
misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
Bentuk lain dari peritonitis:
a) Aseptik/steril peritonitis.
b) Granulomatous peritonitis.
c) Hiperlipidemik peritonitis.
d) Talkum peritonitis.
3. Anatomi dan Fisiologi
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat
epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang
rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang
merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua
rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga
mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang
melapisi dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi
semua organ yang berada dalam rongga abdomen.Ruang yang terdapat
diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong
peritoneum.Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan
merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di
dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar
(omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan
lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan minor, dan
lambung berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus
halus.
Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika
serosa).
b. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
c. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Fungsi peritoneum:
a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.
b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
peritoneum tidak saling bergesekan.
c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap
dinding posterior abdomen.
d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi
terhadap infeksi (nuzulul.2012).
4. Etiologi
Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung/dudenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukak disentri amuba/colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan
beta hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya
adalah clostridium wechii.
1. Secara langsung dari luar.
a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
serta merupakan peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati.
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk
pula peritonitis granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti
radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis,
glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial
Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi
intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi
kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri
munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi
penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang
kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko
terjadinya peritonitis dan abses.
Terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen
asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram
negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas,
Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus
pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan
Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur
bakteri.
Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh
perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan
inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif
yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan
berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul
abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat
peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan
kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses
inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn)
(Ardi.2012)
5. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara
cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut
menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera
gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu,
masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang
menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang
dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam
rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia,
trauma atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema
jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam
rongga peritonial menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah
putih, debris seluler, dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah
hipermotilitas, diikuti oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan
dalam usus (Brunner dan Suddarth, 2001).
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi
peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus
ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi
perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga
dapat terjadi peritonitis (Brunner dan Suddarth, 2001).
6. Faktor Resiko
a. Adanya malnutrisi
b. Keganasan intraabdomen
c. Imunosupresi
d. Splenektomi
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal
ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
Pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi
kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri
menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesentrium, kadang-kadang
terjadi penyebaran hematogen jika telah terjadi bacteremia (Scribd, 2013).
7. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder,
dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut,
yaitu : (chushieri)
a. Komplikasi dini
1) Septikemia dan syok septic
2) Syok hipovolemik
3) Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multisystem
4) Abses residual intraperitoneal
5) Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
1) Adhesi
2) Obstruksi intestinal rekuren (Lili.2013)
8. Pencegahan
Cara pencegahan peritonitis utamanya adalah menghindari semua
penyebabnya, baik penyebab utama maupun penyebab sekundernya, yaitu
mengurangi minum alcohol dan obat yang dapat menyebabkan sirosis.
a. Alkoholisme:
Konsumsi alcohol yang berlebihan adalah salah satu faktor yang dapat
menyebabkan sirosis. Karena alcohol memilki efek yang toksik terhadap
organ liver dan dapat merusak sel-sel liver.
b. Racun/obat-obatan
Pemakaian jangka lama obat-obatan atau eksposur pada racun dapat menyebabkan
kerusakan pada hati dan akhirnya terjadi sirosis.
9. Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda-tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan
nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara
bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat
kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik
dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri
objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes
psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri
abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas
lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya
(peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi
berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia,
takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat
biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi
penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan
atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan
vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru
disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada
penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan
steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran
(misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric (Ardi.2012)
10. Pemeriksaan Diagnostik
a. Test laboratorium
1) Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
a) Hematokrit meningkat
b) Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien
peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
c) X. Ray
Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
1) Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
2) Usus halus dan usus besar dilatasi.
3) Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
11. Penatalaksanaan
a. Therapy umum
1) Istirahat
a) Tirah baring dengan posisi fowler
b) Penghisapan nasogastrik, kateter
2) Diet
a) Cair → nasi
b) Diet peroral dilarang
3) Medikamentosa
a) Obat pertama
Cairan infus cukup dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
b) Obat alternatif
Narkotika untuk mengurangi penderitaan pasien
2. Therapy Komplikasi
a. Intervensi bedah untuk menutup perforasi dan menghilangkan sumber
infeksi.
Prinsip umum pengobatan adalah pemberian antibiotik yang
sesuai dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau
intestinal penggantian cairan dan elektrolit yang dilakukan secara
intravena, pembuangan fokus septik (appendiks dsb) atau penyebab
radang lainnya bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar dan
tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Management peritonitis tergantung dari diagnosis
penyebabnya.Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan
tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
b. Pertimbangan dilakukan pembedahan
1) Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas,
nyeri tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri,
tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas
tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya
pasien saat ditangani).
2) Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum,
distensi usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena
atau arteri mesenterika.
3) Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan
perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
4) Pemeriksaan laboratorium.
c. Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
1) Mengeliminasi sumber infeksi.
2) Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3) Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
3. Terapi bedah pada peritonitis :
a. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe
dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan
keparahan infeksinya.
b. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement,
suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan
untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
c. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
d. Irigasi kontinyu pasca operasi.
4. Terapi post operasi :
a. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
b. Pemberian antibiotic
c. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic
usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen.
C. Laparatomi Eksplorasi
1. Pengertian Laparatomi Eksplorasi
Laparatomy adalah prosedur tindakan pembedahan dengan membuka
cavum abdomen dengan tujuan eksplorasi. Perawatan post laparotomy adalah
pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah
menjalani operasi pembedahan perut (Arif Mansjoer, 2000).
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen,
bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah
abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan.
(http://medicastore.laparatomi.co.id, di akses 27 april 2010).
Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan teknik
sayatan arah laparatomi yaitu: Herniotorni, gasterektomi,
kolesistoduodenostomi, hepateroktomi, splenorafi/splenotomi, apendektomi,
kolostomi, hemoroidektomi dan fistulotomi atau fistulektomi.
Post op atau post operasi laparotomy merupakan tahapan setelah
proses pembedahan pada area abdomen (laparatomy) dilakukan. Tindakan
post operatif dilakukan dalam 2 tahap yaitu periode pemulihan segera dan
pemulihan berkelanjutan setelah fase post operatif. Proses pemulihan tersebut
membutuhkan perawatan post laparotomy (Perry dan Potter, 2005).
2. Klasifikasi Laparatomy
Ada 4 (empat) cara insisi pembedahan yang dilakukan, antara lain
(Yunichrist, 2008) yaitu :
a. Midline incision
Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit
pembedahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat dibuka dan ditutup serta
tidak memotong ligament dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insisi
ini adalah terjadinya hernia cikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster,
pancreas, hepar dan lien serta dibawah umbilicus untuk eksplorasi
ginekologis, rektosignoid, dan organdalam pelvis.
b. Paramedian, yaitu : panjang (12,5 cm) ± sedikit ke tepi dari garis tengah (±
2,5 cm).
c. Transverse upper abdomen incision, yaitu : sisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy
d. Transverse lower abdomen incision, yaitu : 4 cm di atas anterior spinal
iliaka, ± insisi melintang di bagian bawah misalnya : pada operasi
appendictomy.
3. Indikasi Laparatomi
a. Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur hepar
b. Peritonitis
c. Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding)
d. Sumbatan pada usus halus dan usus besar
e. Masa pada abdomen (Arif Mansjoer, 2002).
4. Tanda gejala laparotomy
Manifestasi yang biasa timbul pada pasien post laparotomy diantaranya :
a. Nyeri tekan pada area sekitar insisi pembedahan
b. Dapat terjadi peningkatan repirasi, tekanan darah, nadi
c. Kelemahan
d. Mual, muntah anoreksia
e. Konstipasi (Jitowiyono, 2012).
5. Post Laparatomi
Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang
diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan
perut.
6. Tujuan Perawatan Post Laparatomi
a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
b. Mempercepat penyembuhan
c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum
operasi
d. Mempertahankan konsep diri pasien
e. Mempersiapkan pasien pulang
7. Komplikasi Post Laparatomi
a. Tromboplebitis
Tromboplebitis post opersi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru,
hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,
ambulatif dini dan kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba
ambulatif.
b. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus,
organisme ;gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk
menghindari infeksi luka yang pali penting adalah perawatan luka dengan
mempertahankan aseptik dan antiseptik.
c. Dehisensi Luka atau Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka
adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab
dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat
dari batuk dan muntah.
d. Proses Penyembuhan Luka
1) Fase pertama (Inflamasi)
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang
rusak/rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh
dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka.
2) Fase kedua (Proliferatif)
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh
pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru
tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
3) Fase ketiga (Maturasi)
Sekitar 2 sampai 10 minggu kolagen terus menerus ditimbun, timbul
jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
4) Fase keempat (fase terakhir)
Pada fase penyembuhan akan menyusut dan mengkerut (Smeltzer,
2002).
8. Intervensi untuk Meningkatkan Penyembuhan
a. Meningkatkan intake makanan tinggi kalori dan tinggi protein ( TKTP)
b. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid
c. Pencegahan infeksi
9. Pengembalian Fungsi Fisik
Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan
latihan nafas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini. Latiahn-latihan fisik
diantaranya latihan nafas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki,
menggerakan otot-otot bokong. Latihan alih baring dan turun dari tempat
tidur, semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi.
Hypoxemia Hypercapnia
Takikardi Somnolence
Takipneau Lethargy
Cemas Restlessness
Diaphoresis Tremor
Sianosis Asterixis
Hipertensi Papilledema
Hipotensi Koma
Bradikardi Diaphoresis
Kejang
Koma
Laktat asidosis
5. Intervensi
Ditujukan terapi gejala-gejala yang muncul pertama kali untuk
pencegahan krisis dan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama
sampai dapat beradaptasi dengan tercapainya tingkat kesembuhan yang
lebih tinggi atau terjadi kematian.
6. Implementasi
Perencanaan dimasukkan dalam tindakan selama fase ini implementasi
. ini merupakan fase kerja aktual dari proses keperawatan.
7. Evaluasi
Dilakukan secara cepat, terus menerus dan dalam waktu yang lama
untuk mencapai keefektifan masing-masing tindakan/ terapi, secara terus-
menerus menilai kriteria hasil untuk mengetahui perubahan status pasien.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pasien kritis prioritas
pemenuhan kebutuhan tetap mengacu pada hirarki kebutuhan dasar
Maslow dengan tidak meninggalkan prinsip holistik.
3. Lingkungan keperawatan kritis
a. Respon individu dan keluarga terhadap pengalaman keperawatan kritis
Penyakit kritis adalah kejadian dramatis emosional yang dialami
pasien dan keluarganya. Untuk beberapa situasi tertentu persiapan dari segi
psikologis perlu dilakukan. Perawat kritis berada di posisi yang paling tepat
untuk memahami kondisi yang dialami pasien dan keluarganya dan
membantu mereka untuk beradaptasi dengan situasi yang ada. Gejala fisik
dari penyakit kritis yang mengancam jiwa, seperti nyeri tingkat akhir atau
perdarahan biasanya disertai dengan respon psikologis dari pasien dan
keluarganya, seperti:
1. Cemas
2. Takut
3. Panik
4. Marah
5. Perasaan bersalah
6. Distres spiritual
F. Konsep ICU
1. Definisi ICU
ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang
dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati
pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang mempunyai
intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya
sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian. Tiap
pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena
memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta
dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari
penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Rab,2007).
2. Pembagian ICU berdasarkan kelngkapan
Berdasarkan kelengkapan penyelenggaraan maka ICU dapat dibagi
atas tiga tingkatan. Yang pertama ICU tingkat I yang terdapat di rumah
sakit kecil yang dilengkapi dengan perawat, ruangan observasi, monitor,
resusitasi dan ventilator jangka pendek yang tidak lebih dari 24 jam. ICU
ini sangat bergantung kepada ICU yang lebih besar. Kedua, ICU tingkat II
yang terdapat pada rumah sakit umum yang lebih besar di mana dapat
dilakukan ventilator yang lebih lama yang dilengkapi dengan dokter tetap,
alat diagnosa yang lebih lengkap, laboratorium patologi dan fisioterapi.
Yang ketiga, ICU tingkat III yang merupakan ICU yang terdapat di rumah
sakit rujukan dimana terdapat alat yang lebih lengkap antara lain
hemofiltrasi, monitor invasif termasuk kateterisasi dan monitor intrakranial.
ICU ini dilengkapi oleh dokter spesialis dan perawat yang lebih terlatih dan
konsultan dengan berbagai latar belakang keahlian ( Rab, 2007).
Terdapat tiga kategori pasien yang termasuk pasien kritis yaitu :
kategori pertama, pasien yang di rawat oleh karena penyakit kritis meliputi
penyakit jantung koroner, respirasi akut, kegagalan ginjal, infeksi, koma
non traumatik dan kegagalan multi organ. Kategori kedua, pasien yang di
rawat yang memerlukan propilaksi monitoring oleh karena perubahan
patofisiologi yang cepat seperti koma. Kategori ketiga, pasien post operasi
mayor.
Apapun kategori dan penyakit yang mendasarinya, tanda-tanda
klinis penyakit kritis biasanya serupa karena tanda-tanda ini mencerminkan
gangguan pada fungsi pernafasan, kardiovaskular, dan neurologi (Nolan et
al. 2005). Tanda-tanda klinis ini umumnya adalah takipnea, takikardia,
hipotensi, gangguan kesadaran (misalnya letargi, konfusi / bingung, agitasi
atau penurunan tingkat kesadaran) (Jevons dan Ewens, 2009).
3. Sistem Pelayanan ruang ICU
Penyelenggaraan pelayanan ICU di rumah sakit harus berpedoman
pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
ICU di rumah sakit. Pelayanan ICU di rumah sakit meliputi beberapa hal,
yang pertama etika kedokteran dimana etika.
Pelayanan di ruang ICU harus berdasarkan falsafah dasar "saya akan
senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk dapat
secara optimal, memperbaiki kondisi kesehatan pasien. Kedua, indikasi yang
benar dimana pasien yang di rawat di ICU harus pasien yang memerlukan
intervensi medis segera oleh tim intensive care, pasien yangmemerlukan
pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan
sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi,
dan pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan
segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis. Ketiga, kerjasama
multi disipliner dalam masalah medis kompleks dimana dasar pengelolaan
pasien ICU adalah pendekatan multi disiplin tenaga kesehatan dari beberapa
disiplin ilmu terkait yang memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang
keahliannya dan bekerja sama di dalam tim yang di pimpin oleh seorang
dokter intensivis sebagai ketua tim. Keempat, kebutuhan pelayanan kesehatan
pasien dimana kebutuhan pasien ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi
dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti Airway (fungsi jalan napas),
Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi
otak) dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif.
Kelima, peran koordinasi dan integrasi dalam kerja sama tim dimana
setiap tim multidisiplin harus bekerja dengan melihat kondisi pasien misalnya
sebelum masuk ICU, dokter yang merawat pasien melakukan evaluasi pasien
sesuai bidangnya dan memberi pandangan atau usulan terapi kemudian kepala
ICU melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil kesimpulan, memberi
instruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan mempertimbangkan usulan
anggota tim lainnya serta berkonsultasi dengan konsultan lain dan
mempertimbangkan usulan-usulan anggota tim. Keenam, asas prioritas yang
mengharuskan setiap pasien yang dimasukkan ke ruang ICU harus dengan
indikasi masuk ke ruang ICU yang benar. Karena keterbatasan jumlah tempat
tidur ICU, maka berlaku asas prioritas dan indikasi masuk.
Ketujuh, sistem manajemen peningkatan mutu terpadu demi
tercapainya koordinasi dan peningkatan mutu pelayanan di ruang ICU yang
memerlukan tim kendali mutu yang anggotanya terdiri dari beberapa disiplin
ilmu, dengan tugas utamanya memberi masukan dan bekerja sama dengan staf
struktural ICU untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan ICU. Kedelapan,
kemitraan profesi dimana kegiatan pelayanan pasien di ruang ICU di samping
multi disiplin juga antar profesi seperti profesi medik, profesi perawat dan
profesi lain. Agar dicapai hasil optimal maka perlu peningkatan mutu SDM
(Sumber Daya Manusia) secara berkelanjutan, menyeluruh dan mencakup
semua profesi. Kesembilan, efektifitas, keselamatan dan ekonomis dimana
unit pelayanan di ruang ICU mempunyai biaya dan teknologi yang tinggi,
multi disiplin dan multi profesi, jadi harus berdasarkan asas efektifitas,
keselamatan dan ekonomis. Kesepuluh, kontuinitas pelayanan yang ditujukan
untuk efektifitas, keselamatan dan ekonomisnya pelayanan ICU. Untuk itu
perlu di kembangkan unit pelayanan tingkat tinggi (High Care Unit =HCU).
Fungsi utama. HCU adalah menjadi unit perawatan antara dari bangsal rawat
dan ruang ICU. Di HCU, tidak diperlukan peralatan canggih seperti ICU
tetapi yang diperlukan adalah kewaspadaan dan pemantauan yang lebih tinggi.
Unit perawatan kritis atau unit perawatan intensif (ICU) merupakan
unit rumah sakit di mana klien menerima perawatan medis intensif dan
mendapat monitoring yang ketat. ICU memilki teknologi yang canggih seperti
monitor jantung terkomputerisasi dan ventilator mekanis. Walaupun peralatan
tersebut juga tersedia pada unit perawatan biasa, klien pada ICU dimonitor
dan dipertahankan dengan menggunakan peralatan lebih dari satu. Staf
keperawatan dan medis pada ICU memiliki pengetahuan khusus tentang
prinsip dan teknik perawatan kritis. ICU merupakan tempat pelayanan medis
yang paling mahal karena setiap perawat hanya melayani satu atau dua orang
klien dalam satu waktu dan dikarenakan banyaknya terapi dan prosedur yang
dibutuhkan seorang klien dalam ICU ( Potter & Perry, 2009).
Pada permulaannya perawatan di ICU diperuntukkan untuk pasien
post operatif. Akan tetapi setelah ditemukannya berbagai alat perekam
(monitor) dan penggunaan ventilator untuk mengatasi pernafasan maka ICU
dilengkap pula dengan monitor dan ventilator. Disamping itu dengan metoda
dialisa pemisahan racun pada serum termasuk kadar ureum yang tinggi maka
ICU dilengkapi pula dengan hemodialisa.
Selain itu ICU juga merupakan tempat yang sering memberikan
respon kekhawatiran dan kecemasan pasien dan keluarga mereka karena
kritisasi kondisi yang belum stabil. Diharapkan bahwa dengan memperhatikan
kebutuhan baik pasien maupun keluarga, rumah sakit dapat menciptakan
lingkungan yang saling percaya dan mendukung dimana keluarga sebagai
bagian integral dari perawatan pasien dan pemulihan pasien secara utuh.
(Kvale, 2011).
4. Perawat ICU
Seorang perawat yang bertugas di ICU melaksanakan tiga tugas utama
yaitu, life support, memonitor keadaan pasien dan perubahan keadaan akibat
pengobatan dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Oleh karena itu
diperlukan satu perawat untuk setiap pasien dengan pipa endotrakeal baik
dengan menggunakan ventilator maupun yang tidak. Di Australia
diklasifikasikan empat kriteria perawat ICU yaitu, perawat ICU yang telah
mendapat pelatihan lebih dari duabelas bulan ditambah dengan pengalaman,
perawat yang telah mendapat latihan sampai duabelas bulan, perawat yang
telah mendapat sertifikat pengobatan kritis (critical care certificate), dan
perawat sebagai pelatih (trainer) (Rab, 2007).