Anda di halaman 1dari 9

III.

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 MIE INSTAN


Mie merupakan bahan pangan yang berbentuk pilinan memanjang dengan diameter 0,07-
1,05 inci yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa tambahan kuning telur (Beans et al.
1974). Mie diperkirakan berasal dari daratan Cina. Hal ini terlihat dari tradisi menyajikan mie
pada perayaan ulang tahun sebagai simbol untuk umur yang panjang. Marcopolo adalah orang
yang memperkenalkan mie pertama kali di luar daratan Cina, dengan membawanya ke Italia dan
mulai merambah ke negara lain (Juliano dan Hicks 1990). Di Indonesia saat ini mie telah
menjadi salah satu pangan alternatif utama setelah nasi.
Dilihat dari segi nilai gizi, mie dapat dikatakan sebagai pengganti nasi, makanan
tambahan, dan sebagai cadangan pangan darurat (sebagai sumber energi), ataupun sebagai
subsitusi makanan pokok cukup besar. Terdapat berbagai macam jenis mie menurut proses
pengolahannya (Winarno 1992), yaitu:
a. Mie basah mentah, merupakan untaian mie hasil dari pemotongan lembaran adonan tanpa
perlakuan pengolahan lanjutan. Mie jenis ini biasa digunakan untuk mie ayam. Kadar air
mie basah mentah sekitar 35 % dan biasanya ditaburi dengan tapioka untuk menjaga agar
untaian mie tidak saling lengket satu sama lain.
b. Mie basah matang, disebut juga dengan mie kuning. Mie jenis ini dihasilkan dari mie mentah
yang dikukus atau direbus. Mie dengan kadar air sekitar 52 % ini biasa digunakan untuk soto
mie. Mie basah matang biasa dicampurkan dengan minyak sayur untuk mencegah untaian
mie lengket satu sama lain.
c. Mie kering, merupakan mie mentah yang dikeringkan hingga kadar airnya sekitar 10 %. Mie
ini juga biasa disebut mie telur karena umumnya ditambahkan telur pada pembuatannya.
d. Mie instan, merupakan mie mentah yang dikukus kemudian dikeringkan sehingga teksturnya
menjadi porous dan mudah direhidrasi.
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3551-2000 yang dikeluarkan oleh Dewan
Standarisasi Nasional, mie instan terbuat dari adonan terigu atau tepung beras atau tepung
lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya serta dapat diberi
perlakuan dengan bahan alkali. Instan dicirikan dengan adanya penambahan bumbu dan
memerlukan proses rehidrasi untuk siap dikonsumsi. Mie instan pertama kali diperkenalkan di
Jepang pada tahun 1958 dan Korea pada tahun 1963 (Kim 1996). Mie instan siap dihidangkan
setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama selama empat menit. Mie instan
yang diproses dengan teknik penggorengan memiliki kadar air 2-5 % dan kadar lemak 15-20 %,
sedangkan mie instan yang dikeringkan menggunakan udara panas memiliki kadar air 8-12 %
dan kadar lemak 3 % (Astawan 2008).
Mutu mie instan yang baik memiliki karakteristik gigitan relatif kuat, kenyal, permukaan
tidak lengket, dan tekstur yang sangat bergantung pada komposisi mie itu sendiri (Koswara
2005). Dewan Standarisasi Nasional membuat syarat standar mutu mie instan untuk menjadi
keamanan mie instan yang diperdagangkan dan harus dipenuhi oleh setiap produsen. Standar
mutu tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

6
Tabel 1. Standar mutu mie instan Standar Nasional Indonesia
Uraian Satuan Persyaratan
Keadaan Fisik
Tekstur Normal
Rasa - Normal
Bau Normal
Warna Normal
Benda asing - Tidak boleh ada
Keutuhan Persen b/b Minimal 90

Kadar Air
Proses Penggorengan Persen b/b Maksimal 10
Proses Pengeringan Persen b/b Maksimal 14,5

Kadar Protein
Mie dari terigu Persen b/b Minimal 8
Mie bukan dari terigu Persen b/b Minimal 4
Bilangan Asam mg KOH/g minyak Maksimal 2

Cemaran Logam
Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 2
Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,05
Arsen mg/kg Maksimal 0,5

Cemaran Mikroba
Angka Lempeng Total koloni/gr Maksimal 1,0 x 106
E. coli APM/gr <3
Salmonella - Negatif per 25 g
Kapang
koloni/gr Maksimal 1,0 x 103
sumber: SNI 01-3551-2000

3.2 BAHAN PEMBUATAN MIE INSTAN


Bahan baku (raw material) yang digunakan dalam pembuatan mie instan terdiri dari tiga
bagian, yaitu bahan baku utama, bahan baku tambahan, dan bahan baku penunjang.
1. Bahan Baku Utama
a. Tepung Terigu
Tepung terigu berasal dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Tepung terigu
berfungsi untuk membentuk struktur mie serta sebagai sumber protein dan sumber
karbohidrat. Kandungan utama tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mie adalah
gluten, yaitu protein yang terbentuk dari glutenin dan gliadin saat dicampurkan dengan
air. Gluten inilah yang membuat tekstur mie menjadi kenyal dan tidak mudah putus.
Semakin tinggi kadar gluten, maka akan semakin tinggi pula tingkat kekenyalan mie dan
ketahanan saat proses penarikan (Winarno 1992). Tepung terigu yang biasa digunakan
dalam pembuatan mie adalah jenis terigu kuat (kadar protein 11-13 %) karena memiliki

7
kandungan protein gliadin dan glutenin yang paling tinggi sehingga dapat menghasilkan
adonan yang elastis dan tidak mudah putus.
b. Air
Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan garam, dan
membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air.
Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH 6-9 (Anonim 2005). Hal ini disebabkan
absorpsi air makin meningkat dengan naiknya pH. Makin banyak air yang diserap, mie
akan menjadi tidak mudah patah (Winarno 1992). Persyaratan air yang digunakan dalam
pembuatan mie harus memenuhi persyaratan air minum, yaitu tidak berwarna, tidak
berbau, dan tidak berasa (Astawan 2008). Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan
mie sebesar 28-38 %. Jika kurang dari 28 %, adonan mie akan menjadi rapuh dan sulit
dicetak. Jika lebih dari 38 %, adonan mie akan menjadi sangat lengket (Suyanti 2008).
Jumlah penambahan air ke dalam adonan bergantung pada kualitas dan jenis terigu yang
digunakan. Menurut Sunaryo (1985), suhu adonan yang disarankan untuk pembuatan mie
adalah sebesar 24-40 0C untuk mengaktifkan enzim amilase yang akan memecah pati
menjadi dekstrin dan protease yang akan memecah gluten.
2. Bahan Baku Tambahan
a. Larutan Alkali
Larutan alkali digunakan sebagai pencampur tepung terigu. Bahan penyusun larutan ini
terdiri dari antioksidan, pengemulsi, pengatur keasaman, pengental, pewarna, mineral,
penguat rasa, tepung-tepungan, dan bahan tambahan lain. Pengental berfungsi untuk
menghasilkan tekstur mie yang licin saat dikonsumsi. Penguat serta pemberi rasa seperti
garam juga berfungsi untuk memperkuat tekstur mie, memperkuat fleksibilitas dan
elastisitas mie, serta membantu reaksi antara gluten dan karbohidrat (Winarno 1997).
b. Minyak Goreng
Minyak goreng yang berfungsi sebagai medium penghantar panas serta menambah rasa
gurih dan kalori dalam bahan. Minyak goreng yang umumnya digunakan adalah Refined
Bleached Deodorized (RBD) Olein yang berbentuk cair jenih, berwarna kekuningan,
tidak beraroma tengik, dan tidak berasa. Minyak goreng RBD berasal dari hasil
pemrosesan kelapa sawit. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi
dapat menyebabkan mie yang dihasilkan menjadi kurang menarik dan memiliki cita rasa
yang tidak enak (Ketaren 1986).
c. Tepung Tapioka
Tepung tapioka biasa digunakan sebagai pensubstitusi tepung terigu. Peran tepung
tapioka yang lain adalah untuk meningkatkan kelembutan dan gelatinisasi mie. Jumlah
tepung tapioka yang ditambahkan ke dalam adonan maksimal sebesar 10 % dari jumlah
tepung terigu yang digunakan. Semakin banyak penambahan tepung tapioka, maka akan
mempengaruhi kelembutan tekstur dan kerenyahan dari mie itu sendiri sehingga mie akan
semakin renyah (Muljohardjo 1987).
3. Bahan Baku Penunjang
a. Bumbu Pelengkap (Seasoning)
Bumbu pelengkap terdiri dari bumbu, minyak bumbu, kecap, bubuk cabai, saus sambal,
dan sayuran kering. Bumbu pelengkap ini dapat menambah cita rasa mie instan sesuai
dengan rasa yang tertulis pada kemasan. Bumbu pelengkap dikemas dengan pengemas
plastik yang berbentuk sachet sehingga mudah untuk dibuka. Pembuatan bumbu
pelengkap terletak di tempat yang berbeda dengan tempat pembuatan mie instan.

8
b. Etiket
Etiket merupakan kemasan primer dari produk mie instan berupa kemasan plastik
berlabel. Etiket tidak dapat ditembus oleh gas, uap air, dan mikroba. Jenis etiket yang
digunakan adalah Oriented Poly Propylene (OPP) untuk normal noodle dan mie telur,
Metalized untuk special noodle (mie keriting), sedangkan untuk cup noodle menggunakan
dua jenis kemasan yang terbuat dari plastik dan styrofoam.

3.3 PROSES PEMBUATAN MIE INSTAN


Proses pembuatan mie instan secara garis besar terdiri dari pencampuran (mixing),
pembentukan lembar adonan (pressing), pembentukan untaian mie (slitting), pengukusan
(steaming), pemotongan dan pelipatan (cutting and folding), penggorengan (frying), pendinginan
(cooling), dan pengemasan (packing) (Winarno 1992).
1. Pembuatan Larutan Alkali
Larutan alkali dibuat dengan cara melarutkan beberapa macam bahan seperti garam, garam
mineral, pengental, dan pewarna dengan air ke dalam tangki yang dilengkapi dengan agitator
yang berfungsi untuk membuat larutan alkali menjadi homogen. Penampakan fisik larutan
alkali harus homogen, tidak terdapat benda asing atau cemaran, berwarna kuning, dan tidak
beraroma asam. Larutan alkali harus dianalisis terlebih dahulu untuk mengukur viskositas,
pH, dan massa jenis. Setelah hasil analisis memenuhi standar yang ditetapkan, larutan alkali
dapat digunakan dalam proses pembuatan mie instan. Umur larutan alkali yang lebih dari 24
jam harus diperiksa kembali sifat fisik dan kimianya. Setiap pembuatan larutan alkali yang
berbeda akan diambil kurang lebih 100 ml sebagai sampel dan disimpan di dalam lemari
pendingin. Tujuan dari pengambilan sampel tersebut untuk memudahkan pemeriksaan jika
terjadi penyimpangan terhadap produk mie instan yang dihasilkan.
2. Pemasukan Tepung Terigu ke Screw Conveyor
Sebelum tahap pencampuran dilakukan, tepung terigu dimasukkan ke dalam screw conveyor
terlebih dahulu. Hal yang perlu diperhatikan pada tahap ini adalah kondisi tepung terigu,
sanitasi alat, ketepatan jumlah tepung terigu yang digunakan, dan kondisi saringan. Kondisi
tepung terigu yang digunakan harus bermutu baik, tidak basah, tidak menggumpal, serta tidak
terkontaminasi benda asing. Sanitasi alat perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi
pada tepung terigu. Pembersihan dilakukan menggunakan vacuum cleaner sehingga kotoran
atau sisa-sisa tepung terigu dapat dibersihkan. Ketepatan jumlah tepung terigu berpengaruh
pada mutu adonan dan erat kaitannya dengan ketepatan formula yang digunakan.
Penggunaan saringan pada screw conveyor bertujuan untuk mencegah masuknya benang-
benang halus atau tali pada tepung terigu ke dalam mixer.
3. Pencampuran (Mixing)
Tepung terigu yang telah dituangkan ke dalam screw conveyor akan didorong dan
dimasukkan ke dalam mixer. Dalam mixer tersebut, terjadi proses pencampuran dan
pengadukan antara tepung terigu dengan larutan alkali. Campuran tersebut diaduk hingga
menjadi adonan yang homogen, kenyal, lembut, halus, dan kompak (Astawan 2008). Tujuan
dari proses pencampuran adalah untuk menghidrasi tepung dengan air, mendapatkan adonan
yang homogen, dan terbentuk jaringan gluten.
Faktor yang berpengaruh dalam tahap pencampuran adalah jumlah air dan larutan alkali yang
ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pencampuran (Winarno 1992). Volume larutan alkali
yang digunakan tergantung jenis produknya, sedangkan penambahan air tergantung dari

9
keadaan adonan, biasanya 30-36 % (Bhusuk dan Rasper 1994). Penambahan air harus cukup
karena mempengaruhi karakteristik adonan. Suhu adonan harus tepat, yaitu 35-40 0C. Bila
suhu terlalu tinggi, maka adonan akan menjadi lengket karena reaksi enzimatis sehingga
menghasilkan dekstrin. Waktu pencampuran yang digunakan harus tepat sekitar 10-15
menit karena jika terlalu cepat adonan belum homogen dan jika terlalu lama adonan menjadi
lengket karena suhu adonan meningkat akibat gesekan baling-baling dengan bahan. Adonan
yang tidak sesuai standar biasanya ditambahkan pada adonan berikutnya sedikit demi sedikit,
sedangkan untuk adonan yang kotor harus segera dipisahkan dan dicari penyebabnya. Kadar
air adonan yang ditetapkan untuk normal noodle sebesar 30-32 %.
4. Pembentukan Lembar Adonan (Pressing)
Adonan mie yang telah homogen dimasukkan ke dalam mesin pressing untuk dibentuk
menjadi lembar adonan. Pada tahap ini, serat-serat gluten akan dihaluskan dan dicetak
membentuk lembaran (Astawan 2008). Proses yang terjadi pada tahap ini meliputi
pembentukan lembar adonan (pressing), pembentukan untaian mie (slitting), pembentukan
gelombang mie, dan pembagian jalur mie. Pada proses pembentukan lembaran, adonan
dimasukkan ke dalam press roller untuk menghaluskan serat-serat gluten. Dalam press
roller, serat-serat gluten yang tidak beraturan akan ditarik memanjang dan searah oleh
tekanan antara dua roller. Setelah dibentuk lembaran, tahap selanjutnya adalah pemotongan
lembar adonan secara tipis dan memanjang, lalu dipotong melintang dengan ketebalan
tertentu. Mie kemudian dialirkan dengan konveyor khusus pembuat mie keriting dengan cara
penggunaan kecepatan yang berbeda saat sebelum dan sesudah proses pemotongan. Tujuan
pembentukan mie menjadi keriting adalah agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain
(Winarno 1992).
Faktor yang berpengaruh dalam tahap ini meliputi ada tidaknya cemaran, ketebalan untaian,
jumlah untaian, bentuk untaian, bentuk gelombang, jenis slitter yang digunakan, dan suhu
selama proses. Keadaan adonan yang tidak sesuai standar (terlalu lembek atau terlalu basah)
dapat mengganggu jalannya pembentukan lembaran. Kerenggangan press roller yang
digunakan akan mempengaruhi ketebalan lembaran adonan. Press roller yang terlalu longgar
menyebabkan lembar adonan terlalu tebal, begitu pun sebaliknya. Ketebalan lembar adonan
mie diukur menggunakan thickness gauge. Jenis slitter yang digunakan juga akan
mempengaruhi terhadap jumlah untaian mie yang dihasilkan. Jika terjadi peyimpangan
seperti tebal dan jumlah untaian tidak sesuai dengan standar, untaian akan diputus dan
dikembalikan ke dalam feeder untuk pressing ulang. Suhu pada tahap ini sebaiknya tidak
terlalu dingin karena dapat menyebabkan lembaran pasta menjadi pecah-pecah dan kasar, dan
berakibat mutu mie menjadi mudah patah. Suhu juga tidak boleh terlalu tinggi (lebih dari 45
0
C) karena dapat meningkatkan kegiatan enzim dan merangsang perombakan gluten akibat
turunnya densitas mie.
5. Pengukusan (Steaming)
Untaian-untaian mie hasil dari pencetakan dilewatkan ke dalam steamer pada steam net yang
berfungsi sebagai konveyor. Sumber energi dalam proses pengukusan ini adalah uap panas
yang berasal dari boiler. Pada tahap ini pati akan tergelatinisasi dan gluten terkoagulasi
sehingga dengan adanya rehidrasi air dari gluten menyebabkan timbulnya kekenyalan mie.
Proses tersebut terbentuk karena terputusnya ikatan hidrogen sehingga rantai pati dan gluten
semakin rapat serta bersifat lebih keras dan kuat. Menurut Astawan (2008), gelatinisasi dapat
menyebabkan pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi
penyerapan minyak dan memberikan tekstur lembut pada mie. Di samping itu, gelatinisasi

10
juga dapat meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mie.
Karakteristik mie setelah tahap pengukusan menjadi berwarna kuning pucat dan bersifat
setengah matang.
Proses pengukusan dapat dipengaruhi oleh mutu steam dan jumlah steam. Mutu steam yang
baik adalah steam basah, yang diperoleh dengan cara mengatur agar tekanan steam yang
diperoleh dari boiler cukup rendah. Tekanan yang terlalu rendah menyebabkan steam
mengandung air sehingga mie menjadi lembek, sedangkan jika tekanan terlalu tinggi
menyebabkan pati tidak tergelatinisasi sempurna. Jumlah steam yang banyak menyebabkan
penetrasi panas akan semakin baik.
6. Pemotongan dan Pelipatan (Cutting and Folding)
Pada tahap ini lajur mie akan dipotong dengan ukuran tertentu kemudian dilipat menjadi dua
bagian sama panjang lalu didistribusikan ke dalam mangkok penggorengan. Pemotongan
mie dilakukan dengan menggunakan cutter (pisau pemotong mie) yang berputar dan
dilengkapi dengan folding adjuster yang berfungsi untuk melipat mie menjadi dua bagian.
Kecepatan pisau menentukan ukuran produk mie dan kapasitas pemotongan mie. Kecepatan
konveyor harus disesuaikan agar berat per potong mie konstan.
7. Penggorengan (Frying)
Menurut Djatmiko dan Enie (1985), proses penggorengan adalah proses untuk
mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam ketel yang berisi
minyak. Tujuan dari penggorengan adalah untuk memasak dan mengeringkan mie sampai
memiliki kadar air sekitar 3 % sehingga produk akan menjadi matang, kaku, dan tahan lama.
Sistem penggorengan yang dilakukan adalah sistem deep frying, yaitu mie direndam dalam
minyak goreng yang panas. Selama proses penggorengan terjadi dehidrasi terutama pada
bagian luar dari mie yang digoreng yang menyebabkan terbentuknya kerak yang renyah. Uap
air yang terlepas akan meninggalkan rongga-rongga kemudian diisi oleh minyak goreng.
Minyak yang terserap inilah yang memberikan pengaruh renyah pada bagian kerak dari mie
yang digoreng.
Faktor yang berpengaruh pada tahap ini meliputi kadar asam lemak bebas, suhu
penggorengan, level minyak, waktu penggorengan, dan adanya cemaran atau tidak. Asam
lemak bebas (free fatty acid) yang tinggi dalam minyak akan membuat mutu minyak turun,
tengik, dan berwarna coklat (lebih gelap). Waktu penggorengan dapat diatur dengan
mengatur kecepatan konveyor yang membawa mie melalui kuali penggorengan. Jika waktu
penggorengan terlalu lama, hal tersebut dapat menyebabkan penyerapan minyak oleh mie
berlebihan sehingga mie menjadi cepat tengik dan terjadi pemborosan minyak. Sebaliknya,
jika penggorengan terlalu cepat, membuat mie menjadi kurang kering dan memacu
pertumbuhan pada kapang pada mie (Koswara 2005). Sanitasi dalam penggorengan perlu
diperhatikan karena jika hancuran mie tidak dibersihkan dapat mempengaruhi mutu mie yang
dihasilkan.
8. Pendinginan (Cooling)
Proses pendinginan dilakukan dengan melewatkan mie ke dalam suatu terowongan yang
didalamnya terdapat sejumlah kipas angin yang menghembuskan udara segar sehingga mie
yang diperoleh memiliki suhu sekitar 35 0C sebelum dikemas. Proses pendinginan dilakukan
secara perlahan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya keretakan atau kehancuran pada
mie instan. Pendinginan yang diharapkan pada proses ini adalah sempurna karena jika mie
masih dalam keadaan panas dikemas, maka akan terjadi penguapan yang kemudian
mengembun pada permukaan dalam kemasan dan membasahi mie. Dalam keadaan itulah

11
mie akan rusak karena ditumbuhi oleh jamur atau mikroba sehingga umur simpan mie
menjadi lebih pendek.
9. Pengemasan (Packing)
Tahap ini merupakan tahap akhir dari proses pembuatan mie instan. Tujuan dari pengemasan
adalah untuk melindungi produk dan memperpanjang umur simpan produk yang dikemas.
Mie yang keluar dari mesin pendingin pada ban berjalan tebagi menjadi dua bagian. Secara
manual ditambahkan bumbu, minyak bumbu, saos dan kecap, serta sayuran kering sesuai
dengan jenis mie yang diproduksi, lalu kemudian masuk ke mesin pengemas.
Mesin pengemas bekerja secara otomatis melalui dua tahap. Tahap pertama untuk
merapatkan kemasan bagian bawah (long sealer) dan tahap berikutnya merapatkan serta
memotong kemasan pada bagian kanan dan kiri (end sealer). Setelah dikemas dengan etiket,
mie instan akan dikemas dalam karton secara manual. Setiap dus memuat 40 bungkus mie
instan. Karton tersebut akan dirapatkan menggunakan seal tape pada bagian atas dan bawah.
Kode yang tertera pada etiket dan karton harus selalu diperiksa sebagai salah satu bentuk
pengendalian mutu kemasan.

3.4 KADAR AIR


Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan
berdasarkan berat basah (wet basis) atau berat kering (dry basis). Kadar air berat basah memiliki
batas maksimum teoritis sebesar 100 %, sedangkan batas maksimum kadar air berat kering dapat
lebih dari 100 % (Belitz dan Grosch 1999). Kadar air berbeda dengan aktivitas air (a w ).
Aktivitas air merupakan petunjuk akan sejumlah air yang dapat digunakan sebagai sarana
pertumbuhan mikroorganisme (Scott 1957).
Analisis kadar air dapat dilakukan dengan metode langsung (metode kimia) dan metode
tidak langsung (metode fisik). Analisis kadar air dengan metode langsung dilakukan dengan
cara mengeluarkan air dari bahan pangan menggunakan pengeringan oven, desikasi, distilasi,
ekstraksi, dan teknik fisikokimia yang lain. Metode ini memiliki ketelitian yang tinggi, tetapi
pada umumnya memerlukan waktu pengerjaan yang relatif lama dan pengoperasiannya
kebanyakan bersifat manual. Analisis kadar air dengan metode tidak langsung dilakukan dengan
cara metode konduktivitas DC/AC, metode konstanta dielektrik, penyerapan gelombang mikro,
penyerapan sonik dan ultrasonik, spektroskopi inframerah, dan spektroskopi NMR (Day 2002).
Metode analisis kadar air yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode gravimetri.
Prinsip metode ini adalah mengeluarkan air dari bahan pangan dengan proses pengeringan dalam
oven. Analisis kadar air dengan oven didasarkan pada berat yang hilang. Oleh karena itu,
contoh harus memiliki kestabilan panas yang tinggi dan tidak mengandung komponen lain yang
mudah menguap. Faktor yang dapat mempengaruhi analisis air dengan metode oven di
antaranya adalah penimbangan contoh, kondisi oven, pengeringan contoh, dan perlakuan setelah
pengeringan. Faktor yang mempengaruhi kondisi oven adalah fluktuasi suhu, kecepatan aliran,
dan kelembaban udara dalam oven (Fardiaz et al. 1991).

3.5 KADAR LEMAK


Lipida merupakan senyawa yang larut dalam pelarut organik nonpolar. Sifat kelarutan
lipida sangat bergantung pada strukturnya, yaitu lipida sederhana (gliserol ester asam lemak dan
lilin), lipida majemuk (fosfolipida, serebrosida, sulfolipida, dan aminolipida), dan turunan lipida

12
(asam lemak, gliserol, steroid, aldehid, dan keton). Kandungan dan sifat fisikokimia lemak
berbeda-beda bergantung pada sumbernya (Fennema 1985). Analisis lemak dapat berupa
analisis kadar lemak, analisis sifat fisikokimia lemak, dan analisis komposisi asam lemak yang
terkandung dalam contoh.
Metode ekstraksi Soxhlet merupakan metode analisis kadar lemak secara langsung
dengan cara mengekstrak lemak dari bahan dengan pelarut organik nonpolar. Ekstraksi
dilakukan dengan cara refluks pada suhu yang sesuai dengan titik didih pelarut yang digunakan.
Selama proses refluks, pelarut secara berkala akan meredam contoh dan mengekstrak lemak
yang ada pada contoh. Refluks dihentikan sampai pelarut yang merendam contoh sudah
berwarna jernih yang berarti bahwa sudah tidak ada lagi lemak yang terlarut. Jumlah lemak pada
contoh diketahui dengan menimbang lemak setelah pelarut diuapkan. Jumlah lemak per berat
bahan yang diperoleh menunjukkan kadar lemak kasar (curd fat), artinya komponen yang
terekstrak oleh pelarut organik bukan hanya lemak tetapi komponen lain yang terlarut dalam
pelarut organik (Belitz dan Grosch 1999).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketelitian analisis metode ini, di antaranya:
- Ukuran partikel contoh
Semakin kecil ukuran contoh maka kontak antara permukaan bahan dengan pelarut akan
semakin luas sehingga proses ekstraksi lebih efisien.
- Jenis pelarut
Setiap pelarut organik memiliki tingkat polaritas yang berbeda-beda. Pelarut yang memiliki
polaritas yang sesuai dengan polaritas lemak akan memberikan hasil ekstraksi yang lebih
baik.
- Waktu ekstraksi
Semakin lama waktu ekstraksi maka jumlah lemak yang terekstrak oleh pelarut akan semakin
banyak hingga lemak pada contoh habis.
- Suhu ekstraksi
Semakin tinggi suhu maka proses ekstraksi akan berlangsung semakin cepat. Suhu yang
digunakan harus disesuaikan dengan titik didih pelarut yang digunakan. Penggunaan suhu
yang lebih rendah dari titik didih pelarut akan menyebabkan proses ekstraksi berjalan dengan
lambat dan kurang efisien, sedangkan penggunaan suhu yang lebih tinggi dari titik didih
pelarut akan menyebabkan ekstraksi tidak terkendali dan dapat menimbulkan resiko
terjadinya ledakan atau kebakaran.
Metode Soxhlet dapat diaplikasikan untuk hampir semua bahan pangan. Untuk bahan
pangan yang tidak mengandung air seperti tepung atau produk kering lain, bahan dapat langsung
dianalisis. Sedangkan untuk bahan pangan berbentuk utuh dan banyak mengandung air seperti
daging atau ikan, harus dihidrolisis dengan asam terlebih dahulu kemudian dikeringkan untuk
memudahkan lemak keluar dari jaringan (Faridah et al. 2010).

3.6 RESPONSE SURFACE METHODOLOGY


Optimasi merupakan serangkaian proses untuk mendapatkan gugus kondisi yang
diperlukan untuk mendapatkan hasil terbaik dalam situasi tertentu. Berdasarkan pendekatan
normatif, dapat diketahui bahwa optimasi mengindikasi penyelesaian terbaik dari suatu masalah
yang diarahkan pada tujuan maksimisasi atau minimisasi melalui fungsi tujuan (Nasendi dan
Anwar 1985). Response Surface Methodology (RSM) merupakan sekumpulan teknik
matematika dan statistika yang berguna untuk menganalisis permasalahan dimana beberapa

13
variabel independen mempengaruhi variabel respon dan tujuan akhirnya adalah untuk
mengoptimalkan respon (Nuryanti dan Salimy 2008). RSM terdiri dari suatu grup teknik
statistik untuk membangun model empiris melalui dan mengeksploitasi model. Melalui
rancangan penelitian, metodologi ini dapat mencari suatu reaksi yang berhubungan dengan
variable output sebagai respon dan variable input sebagai prediktor (Box dan Draper 1987).
Sebagian besar permasalahan RSM adalah bentuk dari hubungan antara respon dan
variabel bebas (independent variables) yang tidak diketahui (Montgomery 2001). Hal ini
menjadi langkah awal dalam RSM untuk menemukan suatu perkiraan yang sesuai untuk fungsi
hubungan yang benar antara y dan suatu set variabel bebas. Jika respon dimodelkan dengan baik
oleh fungsi linear dari variabel bebas, maka fungsi perkiraannya adalah model orde pertama
(first-order model) terlihat pada persamaan (3.1).

𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥2 + ⋯ + 𝛽𝑘 𝑥𝑘 + ∈ (3.1)

Jika terdapat lengkungan dalam sistem, maka polinomial dengan derajat yang lebih tinggi yang
akan digunakan, seperti pada model orde kedua (second-order model) seperti pada persamaan
(3.2).

𝑦 = 𝛽0 + ∑𝑘𝑖=1 𝛽𝑖 𝑥𝑖 + ∑𝑘𝑖=1 𝛽𝑖𝑖 𝑥𝑖2 + ∑𝑖<𝑗 ∑ 𝛽𝑖𝑗 𝑥𝑖 𝑥𝑗 + ∈ (3.2)

Hampir semua permasalahan RSM menggunakan satu atau kedua model tersebut. Hal ini tentu
tidak seperti model polinomial yang akan menjadi perkiraan yang masuk akal dari fungsi
hubungan yang benar pada seluruh bagian dari variabel bebas, tetapi untuk wilayah yang lebih
kecil biasanya ini bekerja dengan cukup baik (Montgomery 2001).
Hubungan dua faktor, x 1 dan x 2 , dapat membentuk beberapa tipe umum permukaan
grafik, seperti bukit (hill), cekungan (basin), ridge, dan pelana (saddle) (Peng 1967).
Terbentuknya sistem ridge sering disebabkan karena adanya ketergantungan diantara faktor.
Variabel “alami”, seperti suhu, tekanan, dan sebagainya, sering dianggap sebagai faktor karena
kemudahan dalam pengukuran. Namun, kombinasi dari beberapa faktor tersebut dapat
membentuk variabel dasar yang menggambarkan respon permukaan yang lebih efisien.
Sejumlah kondisi yang berbeda dari variabel alami dapat menjadi semua kesetaraan kondisi
optimum dari suatu variabel dasar (Peng 1967).
Tahap perencanaan merupakan langkah awal dalam menggunakan RSM. Dalam tahap
perencanaan, definisi perencanaan adalah proses, cara, atau kegiatan merencanakan, menyusun,
dan menguraikan langkah-langkah pelaksanaan suatu kegiatan. Tahap perencanaan terdiri dari:
- Menentukan model persamaan orde pertama, dimana suatu rancangan penelitian dilakukan
untuk pengumpulan data dan arah penelitian selanjutnya ditentukan dengan metode steepest
ascent.
- Setelah arah penelitian telah diperoleh, kemudian ditentukan level faktor untuk pengumpulan
data selanjutnya.
- Menentukan model persamaan orde kedua, dengan melakukan rancangan penelitian dengan
level yang telah ditetapkan setelah metode steepest ascent diterapkan.
- Menentukan titik-titik optimum dari faktor-faktor yang diamati (Cochran dan Cox 1962).
Salah satu pertimbangan penting dalam RSM adalah bagaimana menentukan faktor dan
level yang dapat cocok dengan model yang akan dikembangkan. Jika faktor atau level yang
dipilih dalam suatu penelitian tidak tepat, maka kemungkinan terjadinya ketidakcocokan model
akan sangat besar dan akan bersifat bias.

14

Anda mungkin juga menyukai