Anda di halaman 1dari 24

Pengertian kondisi fisik

Kondisi berasal dari kata “condition” (bahasa latin) yang berarti keadaan. Sedangkan secara definitif
kondisi menurut Jopath/krampel dalam Syafruddin (1992: 34) adalah keadaan fisik dan psikis serta
kesiapan seorang atlet terhadap tuntutan-tuntutan khusus suatu cabang olahraga.

Beberapa ahli mengemukakan batasan tentang pengertian kondisi fisik, menurut Jonath dan Krempel
kondisi fisik itu dapat di bedakan atas pengertian sempit dan luas. Dalam arti sempit kondisi merupakan
keaadaan yang meliputi factor kekuatan, kecepatan, dan daya tahan. Sedangkan dalam arti luas ketiga
factor di atas ditambah dengan factor kelentukan ( fleksibility) dan koordinasi.

2. Elemen-elemen kondisi fisik

a) Kekuatan (strength)

Secara fisiologis (ilmu faal) kekuatan merupakan kemampuan otot mengatasi beban atau latihan,
sedangkan secara fisikal (ilmu fisika) kekuatan merupakan hasil perkalian antara massa dengan
percepatan (acceleration). Dapat juga dikatakan bahwa kekuatan merupakan kemampuan dasar kondisi
fisik. Tanpa kekuatan orang tidak akan bisa melompat, menarik, mendorong, mengangkat, menahan, lari,
dan sebagainya. Dalam arti lain bahwa kekuatan dibutuhkan dalm kebanyakan aktifitas fisik.

Setiap cabang olahraga memerlukan kekuatan, beberapa banyak dan beberapa besar kekuatan yang di
butuhkan serta jenis kekuatan mana yang diperlukan sangat tergantung kepada cabang olahraganya.
Bentuk kekuatan yang diperlukan sangat tergantung kepada cabang olahraganya. Dilihat dari bentuk
kekuatan yang dipergunakan maka kekuatan tersebut dapat dibedakan atas :

1) Kekuatan maksimal

Kekuatan maksimal merupakan kemampuan otot untuk mengatasi beban atau tahanan secara maksimal.
Kekuatan ini merupakan jenis kekuatan yang terbesar yang dapat di gunakan untuk mengatasi beban
atau tahanan, baik secara statis maupun secara dinamis. Kekuatan maksimal di butuhkan terutama
dalam cabang olahraga yang lebih banyak mengatasi beban luar, misalnya olahraga angkat besi, gulat,
angkat berat, dan nomor-nomor tolak dan lempar dalam cabang atletik.

2) Kekuatan kecepatan

Kekuatan kecepatan merupakan kemampuan otot untuk mengatasi beban atau tahanan dengan
kecepatan kontraksi yang tinggi. Kemampuan tersebut merupakan kombinasi antara kekuatan dan
kecepatan. Kebanyakan cabang olahraga membutuhakan kekuatan kecepatan atau power. Misalnya pada
cabang olahraga yang menuntut ledakan seperti lompat dan smash pada permainan bola voli, tolak,
lempar, dan lompat dalam cabgng atletik.

3) Daya tahan kekuatan


Daya tahan kekuatan merupakan kombinasi antara kekuatan dan daya tahan. Daya tahan kekuatan
adalah kemampuan otot untuk mempertahankan atau mengatasi kelelahan yang disebabkan
pembebanan kekuatan dalam waktu yang relative lama.

Jika di tinjau dari bentuk kontraksi otot yang terjadi maka kekuatan dapat di bedakan atas :

a) Kekuatan isotonic

Merupakan kemampuan otot untuk mengatasi beban atau tahanan di mana otot berkontraksi secara
isotonik (dinamis). Pada kontraksi isotonic ini terjadi perubahan panjang otot, artinya otot berkontraksi
memanjang (eccentric) dan memendek (concentric).

b) Kekuatan isometric (statis)

Kekuatan isometrik adalah kemampuan otot dalam mengatasi beban (tahanan), di mana otot
berkontraksi secara isometrik (statis). Dengan kata lain kemampuan otot untuk mengatasi beban secara
statis. Pada kontraksi isometrik ini tidak terlihat adanya gerakan, akan tetapi otot berkontraksi tinggi
dengan tidak mengalami perubahan panjang, misalnya dapat kita lihat pada saat mendorong, menarik,
atau mengangkat suatu objek atau benda yang tidak dapat kdi gerakkan.

c) Kekuatan auxotonik

Merupakan kekuatan otot untuk mengatasi beban (tahanan) di mana otot berkontraksi secara auxotonik.
Pada kontraksi ini tidak hanya panjang otot yang mengalami perubahan, tetapi juga dengan tegangannya.
Jump and Reach merupakan salah satu contoh jenis kontraksi auxotonik, di mana tegangan otot dan
panjang otot berubah dalam waktu bersamaan

b) Kecepatan (speed)

Kecepatan merupakan satu elemen kondisi fisik yang sangat penting. Secara fisiologis kecepatan
diartikan sebagai kemampuan yang berdasarkan kelentukan (flexibility). Jonath dan Krempel (1981)
mengatakan bahwa kecepatan adalah proses sistem persyaratan dan alat-alat otot untuk melakukan
gerakan-gerakan dalam satu satuan waktu.

Kecepatan sangat tergantung dari kekuatan, karena tanpa kekuatan, kecepatan tidak dapat berkembang
atau meningkat. Bila seorang atlet ingin mengembangkan atau meningkatkan kecepatannya maka dia
harus mengembangkan kekuatan, karena kemampuan kecepatan yang di peroleh sangat tergantung dari
impuls kekuatan dan merupakan produk dari masa tubuh dan kecepatan tubuh itu sendiri. Pada
dasarnya kecepatan itu dapat di bedakan atas :

1) Kecepatan reaksi

Kecepatan reaksi adalah kemampuan untuk menjawab rangsangannya akustik, optik, dan rangsangan
taktik secara cepat (Jonath dan Krempel, 1981). Pada cabang-cabang olahraga permainan kecepatan
reaksi, lebih banyak terjadinya disebabkan rangsangan secara penglihatan (mata). Sedangkan pada
nomor-nomor lari dalam cabang atletik lebih dominan di butuhkan reaksi melalui rangsangan (akustik).
2) Kecepatan aksi (gerakan)

Kecepatan aksi diartikan sebagai kemampuan, di mana dengan bantuan kebutuhan system syaraf pusat
dan alat-alat otot dapat melakukan gerakan-gerakan dalam satuan waktu minimal (Letzeler, 1978).

c) Daya tahan (endurance)

Secara definitive daya tahan merupakan kemampuan organisme tubuh untuk mengatasi kelelahan yang
disebabkan oleh pembebanan dalam waktu yang relative lama. Daya tahan merupakan salah satu
elemen kondisi fisik yang terpenting, oleh karena basis dari elemen-elemen kondisi fisik yang lain.Daya
tahan terdiri atas beberapa bagian yaitu sebagai berikut:

1) Daya tahan umum

Kemampuan organisme tubuh menghadapi atau mengatasi kelelahan akibat gerakan-gerakan yang lebih
banyak melibatkan kelompok-kelompok otot besar seperti lari jarak jauh.

2) Daya tahab lokal

Kemampuan sekelompok kecil otot dalam mengatasi kelelahan yang ditimbulkan akibat pembebanan
yang relatif agak lama, seperti kerja otot tangan pada tinju.

3) Daya tahan aerob umum dinamis

Kemampuan mengatasi kelelahan pada kerja dinamis yang melibatkan 1/6 sampai 1/7 dari kwseluruhan
otot kerangka dengan intensitas gerakan lebih dari 50% dan lama beban antara 3 sampai 5 menit.

4) Daya tahan aerob umum statis

Kemampuan mengatasi kelelahan pada kerja statis dengan melibatkan suatu kelompok otot besar dan
pembenaan di bawah 15% dari kekuatan maksimal serta dengan pembebanan yang relatif lama seperti
menembak, panahan dan sejenisnya.

d) Kelentukan (fleksibilitas)

Kelentukan merupakan kemampuan tubuh untuk melakukan latihan-latihan dengan amplitude gerakan
yang besar dan luas. Dengan kata lain kelentukan juga merupakan kemampuan persendian/pergelangan
untuk dapat melakukan gerakan-gerakan ke semua arah secara optimal.

Kelentukan merupakan salah satu unsure kondisi fisik yang menentukan dalam; 1) mempelajari
keterampilan gerakan, 2) mencegah cidera, 3) mengembangkan kekuatan, kecepatan, daya tahan dan
koordinasi. Pada dasarnya kelentukan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yakni:

1) Bila dilihat dari sudut kebutuhan suatu cabang olahraga, maka kelentukan dapat di bedakan atas:

a)Kelentukan umum adalah kemampuan semua pergelangan/persendian untuk melakukan gerakan-


gerakan ke semua arah secara optimal, dan dibutuhkan untuk banyak cabang olahraga.
b) Kelentukan khusus adalah kemampuan kelentukan yang dominan dibutuhkan dalam suatu cabang
olahraga tertentu, misalnya kelentukan pergelangan tangan pada olahraga Hocky.

c)Bila dilihat dari bentuk pelaksanaannya, maka kelentukan dapat dikelompokkan atas:

(1) Kelentukan aktif adalah kelentukan di mana gerakan-gerakannya dilakukan sendiri seperti senam
kalistonic.

(2) Kelentukan pasif adalah kelentukan di mana gerakan-gerakannya di lakukan dengan adanya bantuan
dari orang lain seperti senam atau stretching bepasangan.

(3) Kelentukan dianamis adalah latihan kelentukan dengan menggerak-gerakan persendian secara
berulang-ulang.

(4) Kelentukan statis adalah latihan kelentukan dengan tidak melakukan pengulangan gerakan dan
dalam waktu dan hitungan tertentu seperti latihan peregangan (stretching).

e) Koordinasi

Ada beberapa batasan tentang pengertian koordinasi yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain
adalah sebagai berikut:

1) Suharmo (1982) koordinasi adalah kemampuan seseorang untuk merangkai berbagai unsur gerak
menjadi suatu gerakan menjadi suatu gerakan yang selaras sesuai dengan tujuannya.

2) Jonath dan Krempel dalam Syafruddin (1992: 84) koordinasi merupakan kerjasama sistem
persyarafan pusat sebagai system yang telah diselarakan oleh proses rangsangan dan hambatan serta
otot rangka pada waktu jalannya suatu gerakan secara terarah.

3) Hirtz (1981) koordinasi adalah kemampuan yang ditentukan oleh proses pengendalian dan
pengaturan gerakan.

Berdasarkan urain-urain seperti yang telah dikemukakan di atas tentang pengertian koordinasi, maka
sulit bagi kita untuk merumuskan suatu definisi yang tepat tentang koordinasi tersebut. Sehingga Bompa
(1983) mengatakan bahwa koordinasi merupakan suatu kemampuan yang sangat komplek, karena saling
berhubungan dengan kecepatan, kelentukan, daya tahan, dan kelentukan. Kemudian para ahli
membedakan koordinasi atas dua bagian, yaitu:

1) Koordinasi otot inter

Merupakan koordinasi antara otot-otot yang bekerja sama dalam melakukan gerakan. Kerja sama yang
dimaksud yaitu kerjasama otot antagonis dan agonis dalam suatu proses gerakan yang terarah.

2) Koordinasi otot intra


Merupakan koordinasi yang terjadi dalam otot, ini berarti bahwa koordinasi otot intra tidak dapat
diamati, karena prosesnya di dalam otot tubuh manusia. Bagaimana suatu rangsangan di koordinasika
dalam tubuh yang dapat menimbulkan kontraksi otot.

Daftar pustaka

Arsil. (1999). Pembinaan Kondisi Fisik. Padang: FIK UNP

Erianti. 2004. Bola Voli. (Bahan Ajar). Padang. FIK UNP

Syafruddin. (1999). Dasar-dasar Kepelatihan Olahraga. Padang: DIP Proyek UNP.

Suhendro Adi, Drs dkk. 1998. Dasar – Dasar Kepelatihan. Jakarta.

BELAJAR BERSAMA

Belajar bersama itu lebih indah, karena membagi ilmu pengetahuan bukannlah larangan untuk setiap
manusia, selama itu masih dalam hal yang positif.

BERANDA

Desember 06, 2017

MAKALAH PSIKOLOGI STRESS, KECEMASAN DAN FRUSTASI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Olahraga adalah sebuah yang ditinjau dari berbagai dimensi. Olahraga selaim dimensi fisik olahraga juga
dikaji dari dimensi psikis. Dimensi psikis atau jiwa dalam aktivitas jasmani dan olahraga merupakan
bagian terpenting dalam penampilan seorang olahragawan. Beberapa keadaan psikologis yang terjadi
pada olahragawan sangatlah kompleks. Kompleksitas tubuh manusia dalam menghadapi respon dan
tekanan merupakan kondisi yang sering terjadi dalam aktivitas jasmani dan olahraga.

Setiap atlet atau pemanin ingin mencapai yang terbaik dan berusaha mendapatkan apa yang terbaik
berdasarkan kemampuan-kemampuannya sendiri. Setiap atlet memiliki sumber daya untuk mencapai
suatu prestasi. Sumber daya tersebut terwujud dalam potensi jasmaniah-rohaniah. Potensi ini sangat
menentukan dalam pencapaian prestasi. Disamping itu terdapat faktor lain diluar diri atlet yang juga
dapat mempengaruhi prestasi, misalnya cuaca (temperatur), tempat pertandingan, alat-alat dan
sebagainya

Semua atlet akan selalu dihadapkan pada sejumlah stimulus yang memberikan pengalaman stress
terhadap dirinya. Dalam dunia olahraga khususnya olahraga kompetitif, atlet harus mempunyai
kemampuan dalam mengatasi berbagai stimulus yang berpotensi memberikan pengalaman stress
terhadap dirinya seperti sorakan dan cemoohan penonton, perasaan sakit akibat terjadi cedera,
kekalahan dalam berbagai pertandingan, kelemahan yang dimiliki atlet baik kelemahan fisik maupun
kelemahan mental, atau sumber-sumber lain yang mengakibatkan terjadinya stress.

Atlet yang aktif dalam dunia olahraga baik atlet daerah, nasional, atau internasional harus mempunyai
kemampuan dalam coping stress, sehingga atlet mampu dengan cepat mengatasi dan menyesuaikan diri
terhadap tuntutan lingkungan baik internal maupun eksternal, atau berbagai permasalahan dan aspek-
aspek yang kurang menyenangkan yang diterima oleh diri atlet.

Dalam mempersiapkan atlet atau pemain menghadapi pertandingan, arah pembenahan adalah
penigkatkan faktor fisik yang mencakup kondisi fisiologis, teknis dan psikis. Dengan kata lain, seorang
atlet harus dibekali keterampilan motorik (motorskill), kondisi fisiologis serta kesiapan aspek psikologis
yang maksimal.

B. Rumusan masalah

1. Defenisi stress, kecemasan dan prustasi?

2. Sumber-sumber timbulnya stress,kecemasan dan prustasi?

3. Bagaimana cara penanggulangan stress,kecemasan dan prustasi?

4. Stress, kecemasan dan prustasi dalam pertandingan?

C.Tujuan
1. Menyajikan pembahasan singkat tentang pengaruh aspek psikologis terhadap penampilan atau
prestasi seseorang dalam melaksanakan tugasnya, dalam hal ini pemain atau atlet waktu menghadapi
dan melaksanakan suatu pertandingan.

2. Mencoba membahas hal-hal yang berkaitan dengan ketegangan (stress, kecemasan dan frustasi)
dalam berolahraga.

3. Memberikan solusi tentang bagaimana cara menanggulangi stress, kecemasan dan frustasi.

D. Manfaat

1. Dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Psikologi Olahraga.

2. Sebagai media menambah pengetahuan kami selaku penulis tentang pskologi olahraga khususnya
mengenai keadaan emosional seseorang / atlet.

BAB II

PEMBAHASAN

A.DEFENISI

1. Stress

Berbagai defenisi mengenai Stress telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing,
walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya. Selye
(1976) mendefinisikan Stress sebagai “the nonspesific response of the body to any demand”, sedangkan
Lazarus (1976) mendefinisikan “stress occurs where there are demands on the person which tax or
exceed his adjustive resources” (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua defenisi diatas tampak
bahwa Stress lebih dianggap sebagai respon individu terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-
tuntutan tersebut dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai
tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social. Hans Selye (1950)
juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang dapat mengakibatkan
stress, tetapi semua itu tergabung dalam suatu susunan total yang mengancam keseimbangan
(homeostatis) individu. Hans Selye (1950) mengembangkan konsep yang dikenal dengan Sindrom
Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome) yang menjelaskan bila seseorang pertama kali
mengalami kondisi yang mengancamnya, maka mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) pada
tubuh diaktifkan.
Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta
mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung
terus, mekanisme pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ tubuh tidak dapat
beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang dapat berfungsi dengan baik, maka hal itu
merupakan awal munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam
bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.

Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stress sebagai berikut :

· Stage of Alarm

Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang membahayakan. Hal ini akan meningkatkan
kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.

· Stage of Appraisals

Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman individu tersebut.

· Stage of Searching for a Coping Strategy

Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan
tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang
dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stress) akan menurun jika individu memiliki antisipasi tentang
cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan strategi ‘coping’ yang
tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang dimiliki
individu serta konteks situasi dimana stress tersebut berlangsung.

· Stage of The Stress Response

Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih, cemas, marah, dan
panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi
kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja
terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-
reaksi untuk menghadapi stress yang berkepanjangan. Dampak dari keadaan ini adalah bahwa individu
mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik.

Disamping membagi stress kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah istilah harm-
loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threatmemiliki konotasi negatif. Keduanya dibedakan
berdasarkan perspektif waktunya.Harm-loss digunakan untuk menerangkan stress yang timbul akibat
antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stress akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat
berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge(tantangan) berkonotasi
positif. Artinya, stress yang dipicu oleh situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu
tidak diubah menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan kerjanya
menjadi positif.

Dalam olahraga kompetitif, atlet harus mampu mengelola tuntutan-tuntutan dengan mengidentifikasi
kemampuannya. Efektifitas coping dalam olahraga merupakanproses penyesuaian dengan penampilan
atlet di dalam aktivitas olahraga, maksudnyaatlet melakukan coping terhadap situasi-situasi yang
mengakibatkan munculnya perasaan stress dan cemas. Dalam situasi tersebut, aspek harus yang terlibat
adalahkognitif, emosional, psikologis, dan komponen perilaku sebagai kompetensi yang dimiliki atlet.
Setiap sistem tersebut, merupakan kemampuan (sumber-sumber, perilaku coping) yang mampu
mengatasi tuntutan-tuntutan yang mengakibatkan stress.

Madden (1995) menjelaskan bahwa kesehatan (health) merupakan salah satu sumber coping
secara umum. Pernyataan tersebut, mengandung makna bahwa memelihara kesehatan dengan baik
merupakan sumber coping karena secara fisik dan psikis setiap atlet akan siap menghadapi berbagai
tuntutan yang datang pada dirinya. Upaya yang bisa dilakukan adalah berlatih secara teratur dan
melakukan kegiatan relaksasi.

Latihan merupakan salah satu metoda coping dalam keadaan stress, stress dapat dikurangi dengan
melakukan latihan relaksasi, sehingga gejala-gejala kecemasan seperti perasaan takut, ketegangan otot
dan sebagainya bisa dikurangi. Relaksasi juga merupakan teknik coping yang bisa mengurangi tingkat
arousal atau stress. Secara teoritis, latihan relaksasi didasarkan pada prinsip Wolpe’s tentang principle of
reciprocal inhibition menganggap bahwa respon-respon maladaptive (ketegangan yang diakibatkan oleh
stress) dapat dihilangkan dengan menghadirkan sesuatu yang menantang atau menghambat untuk
memulai dan melakukan sesuatu. Jika atlet bisa mencapai keadaan relaks, secara logika tidak konsisten
dan berlawanan dengan keadaan psikologis. Selain itu, Madden (1995) mengatakan strategi kognitif
seperti associative dan dissociativemerupakan strategi coping pada atlet untuk memfokuskan
perhatiannya pada faktor-faktor yang relevan dengan penampilannya (associative strategy), dan
pemikiran atauperasaan yang membantu untuk mengambil perhatian dari atlet pada kondisi fisiologis
(dissociative strategies). Pengaruh yang signifikan pada lingkungan yang terdiri dari stimuli akan
dirasakan atlet dalam pertandingan.

Konsep coping terutama yang fokus pada kognitif, dalam prosesnya berbeda hubungannya dengan
lingkungan. Oleh karena itu, sistem coping dipahami berdasarkan strategi hierarkhi yang berkembang
dari yang belum matang (immature) dan mekanisme primitif yang menyimpang dari kenyataan, kepada
mekanisme yang matang. Lazarus dan Folkman (1984) dalam Apruebo (1997) merumuskan strategi
hierarkhi tersebutsebagai bentuk mekanisme coping yang dimulai dari paling tinggi dan meningkat pada
kematangan proses ego, strategi ini merupakan mekanisme coping yang baik untuk digunakan.

2. Kecemasan

Kecemasan (Anxiety) adalah salah satu gejala psikologis yang identik dengan perasaan negative.
Beberapa ahli psikologi menjelaskan pengertian kecemasan dalam berbagai makna. Menurut Robert S.
Weinberg dan Daniel Gold (2007: 78) mendefinisikan kecemasan adalah sebuah perasaan negatif yang
memiliki cirri gugup, rasa gelisah, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi, dan yang terjadi pergerakan
atau kegairahan dalam tubuh. Kecemasan memiliki dua komponen yaitu terdiri dari kecemasan kognitif
(cognitive anxiety) yang ditandai dengan rasa gelisah dan ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi,
sedangkan yang kedua adalah kecemasan somatik(somatic anxiety) yang ditandai dengan ukuran
keadaan fisik seseorang. Sedangkan menurut Singgih D. Gunarsa(1989: 147) mendefinisikan sebagai
perasaan tidak berdaya, tekanan tanpa sebab yang jelas, kabur, atau samar-samar. Sedangkan A.Budiarjo,
dkk (1987: 351) menyatakan bahwa kecemasan adalah keadaan tertekan dengan sebab atau tak ada
sebab yang mengerti, kegelisahan hamper selalu disertai dengan gangguan system syarat otonom dan
disertai rasa mual. Kartini Kartono (1981: 116) menyatakan bahwa kecemasan adalah semacam
kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas dan mempunyai cirri yang
merugikan. Rita L. Atikinson (1983: 212) mengemukakan bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak
menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang
kadang-kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda. Ahli lain Griest et all (1986) merumuskan
kecemasan sebagai suatu ketegangan mental yang disertai dengan gangguan tubuh yang bersangkutan
merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan karena senantiasa harus berbeda dalam keadaan
waspada terhadap ancaman yang tidak jelas dan hamper selalu disertai gangguan pencernaan.

Sedangkan Pahlevi (1991) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu kecendurangan untuk


mempersepsikan situasi sebagai ancaman dan akan mempengaruhi tingkah laku. Handoyo (1980)
menjelaskan kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang dialami oleh seseorang, dimana ia
merasa tegang tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang tidak
menyenangkan serta mengakibatkan perubahan - perubahan pada tubuhnya baik secara somatik
maupun psikologis.

Dari berbagai pendapat-pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu yang akan
dilakukan dan belum terjadi yang ditandai dengan kekhawatiran, kurang percaya diri, kegelisahan yang
kadang kala dapat mengganggu kinerja fisiologis tubuh. Kecemasan merupakan gejala psikologis yang
umum terjadi dan setiap orang sadar pasti pernah mengalaminya.

Kecemasan adalah suatu rasa takut, tidak aman, tak berdaya tanpa sebab yang jelas. Jadi bukan rasa
takut yang disebabkan stimulis dari lingkungan individu tersebut. Kecemasan ini mungkin datangnya dari
situasi-situasi yang dikhayalkan akan terjadi.

Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam
menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang dan atlet tersebut menglami kekalahan terus-
menerus.
3.Frustasi

Fustasi timbul dikarenakan merasa gagal tidak dapat mencapai suatu yang diinginkan. Setiap atlet
menginginkan kepuasan yaitu itu menang; dan apabila itu tidak terwujud, maka dapat menimbulkan
frustasi.

Frustasi dapat terjadi pada atlet yang mempunyai sifat pesimis maupun pada atlet yang memiliki sifat
optimis yang sangat tinggi. Atlet yang mempunyai sifat pesimis dapat dikatakan “kalah sebelum
berperang” karena atlet yang memiliki sifat pesimis ini mudah terkena frustasi sehingga mengalami
kegagalan sedikit saja, diangapnya sebagai kegagalan yang akan terjadi dialami seterusnya.

Sedangkan apabila atlet memiliki sifat optimis yang sangat tinggi (over confidence) maka akan sangat
mudah mengalami frustasi. Kegagalan yang dialaminya akan membuat atlet tersebut kecewa serta
kehilangan keseimbangan emosi.

Frustasi adalah suatu harapan yang diinginkan dan kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan yang
diharapkan.Misalnya putus pacar, perceraian, masalah kantor, masalah sekolah atau masalah yang tidak
kunjung selesai. Frustasi inipun terjadi juga bila tujuan yang dicapai mendapatkan rintangan.Frustasi
memiliki dua sisi.

1. Frustasi adalah fakta tidak tercapainya harapan yang diinginkan.

2. Frustasi adalah perasaan dan emosi yang menyertai fakta tersebut.

Pada contoh diatas adalah fakta mendapatkan nilai jelek di sekolah dan mendapat marah oleh bos dalam
kesalahan di kantor. Perasaan dan emosi yang muncul adalah kesal, marah dan perasaan-perasaan
lainnya yang mungkin muncul.

Akibat dari frustasi bisa munculkan gejala-gejala ketubuhan yang disebut psikosomatis.

Bayangkan anda mendapatkan nilai atau penghargaan yang tidak sesuai dengan yang anda harapkan,
padahal anda sudah berusaha dengan sebaik mungkin. Seumpama anda mendapat nilai D pada ujian
akhir. Ini tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi telah beberapa kali. Anda lalu menjadi kesal bahkan marah
atau muncul perasaan-perasaan lainnya. Pada malam harinya anda tidak bisa tidur. Segudang pemikiran
muncul, berputar-putar silih berganti, mulai mencari sebab-sebab kegagalan, upaya mencari jalan lain
supaya lebih berhasil sampai pada pemikiran-pemikiran buruk. Sehingga nantinya akan terlintas jalan
pintas dan lain sebagainya. Anda mencoba untuk mengusir pemikiran-pemikiran tersebut tapi tetap saja
tidak bisa dan akhirnya anda jatuh tidur karena memang betul-betul kecapaian. Pada pagi harinya anda
bangun dengan tubuh yang kurang segar karena susah tidur. Selama siang hari perasaan maupun tubuh
anda akan terasa tidak enak. Sekali-kali akan teringat mengenai kegagalan pada hari sebelumnya dan itu
akan muncul dan mengganggu.

Namun selain contoh diatas ada juga contoh frustasi yang berakibat agresi karena frustasi yang dialami
melahirkan reaksi kemarahan. Tindakan agresi diambil apabila individu merasa lebih kuat dari lawannya.
Sebalinya bila individu merasa lemah, maka biasanya tindakan yang diambil ketika terjadi frustasi adalah
menghindar atau melarikan diri.

B. Sumber-sumber Stress, Kecemasan dan Frustasi

Sumber-sumber stress, kecemasan dan frustasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai berikut:

a. Sumber Intrinsik

Sumber Stress, kecemasan dan frustasi dari dalam maksudnya semua hal ini berasal dari diri atlet itu
sendiri, yaitu;

o Atlet sangat mengandalkan kemampuan tekniknya.

Bila atlet hanya mengandalkan kemampuan tekniknya, atlet tersebut akan mengalami kesulitan
sebawatu menghadapi situasi pertandingan yang kurang menguntungkan bagi dirnya, misalnya
menghadapi lawan yang ulet dan cermat sehingga lawan itu mampu mengantisipasi setiap serangan
yang akan ia lakukan. Akibatnya atlet tersebut akan merasa terpepet dan selanjutnya tidak mampu lagi
menguasai situasi yang sedang dihadapinya.

o Atlet merasa bermain baik sekali.

Bila perasaan ini menghinggapi atlet, maka akan menjadi pertanda mulai timbul sesuatu yang menekan
pada dirinya. Perasaan ini memberikan beban mental pada dirinya. Demikian juga perasaan yang
sebaiknya, yang seakan-akan atlet itu telah memvonis diri sendiri bahwa ia tidak akan mencapai sukses.
o Adanya negative thinking karena dicemooh atau dimarahi.

Dicemooh atau dimarahi akan menimbulkan reaksi pada diri atlet. Reaksi yang menekan dan
menimbulkan frustasi sehingga menggangu penampilan pelaksaan tugas.

o Adanya pikiran puas diri.

Bila dalam diri atlet ada pikiran atau perasaan puas diri maka ia telah menanamkan benih-benih
ketegangan dalam diri sendiri. Atlet akan dituntut oleh diri sendiri untuk mewujudkan suatu yang
mungkin berada diluar kemampuannya. Bila demikian keadaannya, sebenarnya atlet itu telah menerima
tekanan yang tidak disadari.

b. Sumber Ekstrisik

Sumber Stress, kecemasan dan frustasi dari dalam maksudnya semua hal ini berasal dari diri atlet itu
sendiri, yaitu;

o Rangsangan yang membingungkan.

Salah satu bentuk rangsangan yang membingunkan adalah komentar para official yang merasa
berkompoten, baik atas koreksi, strategi atau tektik yang harus dilakukan maupun petunjuk yang lain
kepada atlet. Menerima beberapa petunjuk dan perintah sekaligus akan membingungkan atlet.

o Pengaruh massa.

Massa penonton terlebih yang masih asing, dapat mempengaruhi kestabilan mental atlet. Penonton juga
memainkan peranan yang sangat berarti dalam suasana pertandingan. Salah satu cirri massa (penonton)
adalah emosi yang labil. Begitu mereka mengalami kekecewaan, maka mereka akan menunjukan
tindakan yang agresif berupa cemoohan terhadap atlet. Disamping pengaruh yang merugikan itu adapun
pengaruh massa yang dapat membangkitkan semangat dan percaya diri, sehingga dalam situasi yang
kritis atlet merasa seakan-akan mendapat “angin”, yang lalu berangsung-angsur ia mampu menguasai
keadaan dan menunjukan penampilan yang lebih baik.

o Saingan yang bukan tandingannya.

Pemain atau atlet yang mengetahui bahwa lawan yang akan dihadapi adalah pemain peringkat diatasnya
atau lebih unggul daripada dirinya, maka dalam hati kecil atlet atau pemain tersebut telah timbul
pengakuan akan ketidak mampuannya untuk menang. Situasi tersebut akan menyebabkan berkurangnya
kepercayaan pada diri sendiri. Setiap kali berbuat kesalahan, ia semakin menyalahkan diri sendiri.

o Kehadiran/ketidak hadiran pelatih


Atlet yang mempunyai hubungan personal dengan pelatih akan mengharapkan kehadiran pelatih selama
ia bertanding. Tidak hadirnya pelatih yang sebenarnya sangat menguntungkan bagi penampilan bagi
atlet tersebut. Hal ini disebabkan karena atlet merasa tidak ada orang yang dapat member dukungan
pada saat-saat yang ia perlukan. Dengan support tersebut atlet akan merasa mampu menghadapi dan
mengatasi situasi-situasi yang penting. Sebaliknya, ada atlet yang tidak senang akan kehadiran pelatih
selama ia bertanding. Dalam hal ini pelatih harus cepat memahaminya, ahar tidak menimbulkan
perasaan yang mengganggu pada diri atlet.

C. Cara Penanggulangan

Teknik-teknik untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi stress, kecemasan serta frustasi yaitu sebagai
berikut:

a. Teknik Intervensi

o Konsentrasi (Pemusatan perhatian)

Cara ini pertama-tama menyingkirkan aneka ragam pikiran yang mengganggu atlet dan hanya
memusatkan seluruh perhatian dan pikiran pada tugas yang sedang dihadapi. Memang ada atlet yang
mampu dengan cepat menghalau berbagai pikiran yang mengganggu perhatian dan konsentrasinya pada
pertandingan yang sedang dihadapinya, namun tidak sedikit atlet yang begitu lama termakan oleh
gangguan pikirannya.

o Pengaturan pernapasan

Pada orang yang mengalami ketegangan atau kecemasan serta respirasi akan meninggi. Keadaan seperti
ini dapat diatasi dengan pernapasan yang dalam dan pelan, sehingga irama pernapasan yang semula
cepat atau meninggi secara berangsur-angsur melambat atau menurun. Mengatur pernapasan juga
merupakan usaha penenangan diri.

o Relaksasi otot secara progresif

Caranya adalah melakukan kontraksi otot secara penuh kemudian dikendurkan. Latihan ini dilakukan
secara berulang-ulang selama kurang lebih 60 menit. Bila otot-otot telah mencapai keadaan rileks yang
sungguh-sungguh, maka keadaan ini akan mengurangi ketegangan emosional juga menurunkan tekanan
darah serta denyut nadi. Karenanya pada saat-saat tengan, orang sedapat mungkin memusatkan
perhatiannya pada relaksasi otot dengan cara seperti diatas (S. horn;1986)

b. Mencari sumber stress, kecemasan dan prustasi itu sendiri.

Disini peran pelatih besar sekali. Hubungan hati-kehati antara atlet dan pelatih akan memungkinkan
pelatih mengorek apa yang sebenarnya sedang dialami oleh atlet. Demikian atlet juga akan dengan
terbuka menceritakan apa yang sedang dialami.
c. Pembiasan/berlatih

Cara ini dimaksudkan untuk melatih atlet menghadapi situasi-situasi yang bisa timbul dalam
pertandingan. Bentuk paltihan pembiasaan adalah dengan simulasi. Yaitu dalam latihan sengaja diabut
situasi yang dapat menimbulkan ketengangan dalam batas-batas tertentu. Dengan cara ini atlet tidak lagi
peka (sensitif) terhadap pengaruh lingkungan.

o Berlatih dalam gedung dengan pentilasi yang kurang baik sehingga sirkulasi udara didalamnya sangat
menggangu.

o Berlatih dilapangan dengan kondisi yang berbeda-beda, misalnya; permukaan tidak rata, licin, terbuat
dari bahan sintetis dan sebagainya.

o Berlatih dengan berbagai alat yang berbeda kualitasnya, misalnya berbagai merek shuttlecock, bola
volley, bola basket, bola tennis.

o Berlatih dialam (daerah) dengan cuaca atau suhu yang berbeda-beda, misalnya; didataran dengan
lapisan udara yang tipis atau didataran tinggi, didaerah dengan panas yang menyengat dan sebagainya.

o Berlatih dalam rungan dengan sistem penerangan yang kurang memenuhi sarat.

d. Teknik-teknik khusus.

Penangan ketegangan dengan menggunakan teknik khusus itu lebih menekankan pada pendekatan
individual, misalnya;

o Melalui music yang menjadi kegemaran atlet yang sedang mengalami ketegangan atau kecemasan.

o Menanamkan dan memperkuat keyakinan atlet bahwa persiapan yang mereka lakukan sudah mantap
dan menyeluruh.

o Menjauhkan atlet dari official yang pencemas.

o Menjelaskan kepada atlet bahwa ketegangan/kecemasan dalam pertandingan adalah wajar. Bahkan
dalam batas-batas tertentu hal itu memang diperlukan.

D. Stress, Kecemasan dan Frustasi dalam Pertandingan

Menurut scanlan (1984) dalam tulisnya yang berjudil: “kompetitif stress and the child atlet” yang dimuat
dalam buku “psikologikal foundation of sport” mengemukakan bahwa “competitive stress” atau stress
yang timbul dalam pertandingan merupakan reaksi emoasional yang negative pada anak apabila rasa
harga dirinya menrasa terancam. Hal seperti ini terjadi apabila atlet yunior menganggap pertandingan
sebagai tantangan yang berat untuk dapat sukses, mengingat kemampuan penampilannya, dan dalam
keadaan seperti ini atlet lebih memikirkan akibat dari kekalahannya.
Stress selalu akan terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan
sehingga kemungkinan tidak tercapainya harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah
suatu ketegangan emosional, yang akhrinya berpengaruh terhadap proses-proses psikologis maupun
proses fisiologik.

Spielberger (1986) dalam tulisnya mengenal “stress & Anxiety in sport” dalam kumpulan karya ilmiah
yang dihimpun oleh morgan berjudul “sport psychology” menegaskan bahwa stress menunjukan
“psychological proses” yang kompleks, dan proses ini pada umumnya terjadi dalam situasi yang
mengandung hal yang dapat merugikan, berbahaya, atau dapat menimbulkan frustasi (streesor).

“Stressor” menurut Spielberger (1986) menunjukan situasi-situasi atau stimuli yang secara objrktif
ditandai dengan adanya tekanan fisik atau psikologi atau bahaya dalam suatu tingkat tertentu. Situasi
penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tingkat-tingkat yang berbeda dalam
perkembangan manusia.

Reaksi yang berbeda akan muncul dalam menghadapi “stressor”, tergantung pada situasi tertentu yang
diperkirakan mengandung ancaman. Ancaman juga berkaitan dengan persepsi dan penilaian individu
terhadap situasi yang dihadapi sebagai hal yang dapat merugikan dan mengandung bahaya. Dalam
hubungannya dengan aktifitas olahraga, khususnya kemungkinan terjadinya stress menghadapi
pertandingan maka permasalahannya sangat banyak tergantung pada diri atlet yang bersangkutan.

Mengenai timbulnya stress, Gauron (1984) berkesimpulan:

1. “Because stress is an inevitable part of life, it can’t be a volded”.

2. “Since stress is inevitable individual must reduce it’s effect and cope through”.

3. “Chronic stress may have adverse effect you upon the body particularly if it isn’t thought to relax”

Mungkin sekali suatu situasi yang sama dapat dirasakan sebagai ancaman bagi seorang atlet, tetapi
hanya merupakan tantangan bagi atlet lain, dan mungkin bahkan tidak berarti apa-apa bagi atlet lain.
Jadi dari pengalaman-pengalaman mengenai ancaman, ada hubungannya dengan keadaan mental atlet
yang bersangkutan.

Namun jikalau hal itu tidak dapat segera diatas dan malah semakin menggangu atlet itu sendiri maka apa
yang dicemaskan akan menjadi nyata dan menyebabkan ia kehilangan keseimbangan emosi. Keadaan
seseorang yang kehilangan keseimbangan emosi biasanya mengarah pada ekspresi kejasmanian,
sehingga orang lain dapat mengatahui hahwa atlet tersebut sedang mengalami emosi. Namun demikan
kadang-kadang ada atlet yang dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak
tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda kejasmanian tersebut. Hal ini berkaitan dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (Carrson ; 1987) yang dikenal dengan Display rules.
Menurut mereka adanya 3 rules yaitu Masking, modulation dan simulation.

Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan atau dapat menutupi emosi yang
dialaminya. Emosi yang dialaminya tidak tercetus keluar melalui ekspresi kejasmaniannya. Misalnya
seorang atlet yang sangat sedih dikarenakan kehilangan gelar yang semsetinya dapat dia raih.
Kesediahan itu dapat diredam atau ditutupi, dan tidak ada gejala kejasmanian yang menyebabkan
tampaknya rasa sedih tersebut. Pada modulasi (modulation) orang tidak dapat meredam secara tuntas
mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat mengurangi saja. Jadi misalnya karena sedih, ia
menangis (gejala kejasmanian) tetapi tangisnya itu tidak begitu mencuat-cuat. Pada simulasi (simulation)
orang tidak mengalami emosi, tatapi dia seolah-olah mengalami emosi dengan menampakkan gejala-
gejala kejasmanian.

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka kami menarik kesimpulan yaitu sebagai berikut:

Olahraga adalah suatu kegiatan yang bukan saja bersifat jasmaniah, melainkan merupakan kegiatan
sebagai suatu totalitas;

Dalam diri seorang atlet terdapat faktor-faktor psikologis yang mendukung atau menghambat
penampilan atlet itu sendiri.

Stress, kecemasan dan frustasi merupakan keadaan yang selalu mencul kepermukaan ketika menghadapi
even yang kopetitif.

Pelatih mempunyai peranan penting dalam menjaga kondisi psikologis atlet.

B.Saran

Dari pembahasan dan kesimpulan diatas maka kami memberikan saran yaitu sebagai berikut:

1. Mengingat semakin kerasnya even olahraga yang semakin kompetitif, setiap atlet harus dapat
meningkatkan kemampuan tAknik dengan dibarengi oleh bekal psikologis yang memadai.

2. Agar pembekalan psikologis itu efektif maka lingkungan yang ada di sekitas atlet harus dapat
mendukung keberadaan atlet itu sendiri.

3. Untuk mengatasi stress, kecemasan dan frustasi, atlet harus dapat beradaptasi dengan lingkungan
pertandingan itu sendiri, serta didukung oleh faktor-faktor penunjang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Gunarsa, Singgih dkk. 1987. Psikologi Olahraga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Nasution, Noehi dkk. 1992. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Payitno, Elida. 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Depdikbud.

Sutyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi Olahraga. Jakarta: Copyright.

Wargito, Bimo. 1989. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andy Yogyakarta

Orlick, Terry. (1998). How to Manage Stress. USA: Mind Tool Ltd.

Satiarsiatun (2003). Hubungan Self-Esteem, Motivasi Berprestasi dengan Coping Stress: Tesis. Tidak
Diterbitkan.

Scanlan, T.K. Stein, G.L., & Ravizza, K. (1991). An in-depth Study of Former Elite Figure Skaters: III
Sources of Stress. Journal of Sport & Exercise Psychology, 13, 102-120.

Atikison L. Rita, dkk (1983). Pengantar psikologi. Jakarta : Erlangga.

Kartini Kartono. (1981). Gangguan-gangguan Psikologi Olahraga. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Singgih D. Gunarso. (1996) Psikologi Olahraga Teori dan Praktek. Jakarta: Gunung Mulia.

Berbagi

KOMENTAR

POSTINGAN POPULER

Gambar

November 29, 2017

MAKALAH PSIKOLOGI OLAHRAGA

Berbagi

Posting Komentar
Diberdayakan oleh Blogger

Gambar tema oleh Matt Vince

Foto saya

efrizal siompu

KUNJUNGI PROFIL

Arsip

Laporkan Penyalahgunaan

Kondisi psikologis yang baik sangat dibutuhkan oleh seorang atlet, karena dengan

memiliki kondisi psikologis yang baik kemungkinan besar seorang atlet akan memiliki ketegaran

psikologis dalam setiap kompetisi atau kejuaraan. Memperhatikan hal tersebut, tugas seorang

pelatih memang tidak ringan, apalagi atlet dalam waktu bertanding, akan selalu berada di bawah

tekanan/stress, baik stress fisik maupun stress mental yang disebabkan oleh lawan, kawan

bermain, penonton, pengaruh lingkungan dan lain sebagainya (Harsono, 1988: 243). Setiap

olahragawan dalam mencapai stress secara berbeda, oleh sebab itu mereka harus dibimbing

secara perorangan (Pate, et. al., 1984: 67).

1. Aspek-aspek Psikologis yang Berperan dalam Olahraga


PB PBSI (2010: 2-5) menyatakan bahwa faktor psikologis pada atlet akan terlihat

dengan jelas pada saat atlet tersebut bertanding. Beberapa masalah psikologis yang sering

timbul di kalangan olahraga, khususnya dalam kaitannya dengan pertandingan dan masa

latihan adalah sebagai berikut:

a. Berpikir positif

Berpikir positif dimaksudkan sebagai cara berpikir yang mengarahkan sesuatu ke

arah positif, melihat segi baiknya. Hal ini perlu dibiasakan bukan saja oleh atlet, tetapi

bagi pelatih yang melatihnya. Dengan membiasakan diri berpikir positif, maka akan

berpengaruh sangat baik untuk menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi,

dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.

b. Penetapan sasaran

Penetapan sasaran (goal setting) merupakan dasar dari latihan mental. Pelatih

perlu membantu setiap atletnya untuk menetapkan sasaran, baik sasaran dalam latihan
maupun dalam pertandingan.

c. Motivasi

Motivasi dapat dilihat sebagai suatu proses dalam diri seseorang untuk melakukan

sesuatu sebagai usaha dalam mencapai tujuan tertentu. Motivasi yang kuat menunjukkan

bahwa dalam diri orang tersebut tertanam dorongan kuat untuk dapat melakukan sesuatu.

d. Emosi

Faktor-faktor emosi dalam diri atlet menyangkut sikap dan perasaan atlet secara

pribadi terhadap diri sendiri, pelatih maupun hal-hal lain di sekelilingnya.. Bentuk-bentuk

emosi dikenal sebagai perasaan, seperti senang, sedih, marah, cemas, takut, dan

sebagainya. Bentuk-bentuk emosi tersebut terdapat pada setiap orang. Akan tetapi yang

perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana kita mengendalikan emosi tersebut agar tidak

merugikan diri sendiri.


e. Kecemasan dan ketegangan

Kecemasan biasanya berhubungan dengan perasaan takut akan kehilangan

sesuatu, kegagalan, rasa salah, takut mengecewakan orang lain, dan perasaan tidak enak

lainnya. Kecemasan-kecemasan tersebut membuat atlet menjadi tegang, sehingga bila ia

terjun ke dalam pertandingan dapat dipastikan penampilannya tidak akan optimal.

f. Kepercayaan diri

Dalam olahraga kepercayaan diri menjadi salah satu faktor penentu suksesnya

seorang atlet. Masalah kurang atau hilangnya rasa percaya diri terhadap kemampuan diri

sendiri akan mengakibatkan atlet tampil di bawah kemampuannya. Karena itu sesungguhnya atlet tidak
perlu merasa ragu akan kemampuannya, sepanjang ia telah

berlatih secara sungguh-sungguh dan memiliki pengalaman bertanding yang memadai.

g. Komunikasi

Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi dua arah, khususnya antara atlet

dengan pelatih. Masalah yang sering timbul dalam hal kurang terjadinya komunikasi
yang baik antara pelatih dengan atletnya adalah timbulnya salah pengertian yang

menyebabkan atlet merasa diperlakukan tidak adil, sehingga tidak mau bersikap terbuka

terhadap pelatih.

h. Konsentrasi

Konsentrasi merupakan suatu keadaan dimana kesadaran seseorang tertuju kepada

suatu objek tertentu dalam waktu tertentu. Makin baik konsentrasi seseorang, maka

makin lama ia dapat melakukan konsentrasi. Dalam olahraga, konsentrasi sangat penting

peranannya. Dengan berkurangnya atau terganggunya konsentrasi atlet pada saat latihan,

apalagi pertandingan, maka akan timbul berbagai masalah.

i. Evaluasi diri

Evaluasi diri dimaksudkan sebagai usaha atlet untuk mengenali keadaan yang

terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar atlet dapat mengetahui
kelemahan dan kelebihan dirinya pada saat yang lalu maupun saat ini.

Anda mungkin juga menyukai