Syok adalah sebuah sindroma klinis yang dihasilkan dari ketidakadekuatan perfusi jaringan.
Perfusi jaringan yang tidak adekuat ini memicu hipoksia sel dan memicu disfungsi multipel
organ. Hal ini ditandai dengan menurunnya tekanan darah sistolik <90 mmHg atau Mean
Arterial Pressure (MAP) <65 mmHg yang dibuktikan dengan tanda-tanda hipoperfusi
jaringan; kulit pucat, urine output <0,5 mL/kgBB/jam, serum laktat >2mmol/L. Selain itu
diperoleh pula penurunan GCS, pucat, akral dingin, capillary reffil time menurun, dan
oliguria.
Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, karakteristik, dan pola hemodinamik yang
ditimbulkan, yaitu
1. Syok hipovolemik
Syok hipovolemik adalah kegagalan perfusi dan suplai oksigen yang disebabkan oleh
hilangnya sirkulasi volume intravaskular sebesar >20-25% sebagai akibat dari
perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan cairan, atau akibat sekunder dari dilatasi arteri
dan vena.
2. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh
adanya kerusakan primer fungsi atau kapasitas pompa jantung untuk mencukupi
volume jantung semenit, berkaitan dengan terganggunya preload, afterload,
kontraktilitas, frekuensi ataupun ritme jantung. Penyebab terbanyak adalah infark
miokard akut, keracunan obat, infeksi/ inflamasi, gangguan mekanik.
Syok kardiogenik dicirikan dengan depresi berat pada indeks cardiac, yaitu < 2,2
L/menit/m2 dan hipotensi atrial sistolik <90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya
disebabkan oleh kegagalan myocardial primer, infark miokard, dan cardiomyopathy
atau myocarditis.
Pasien dengan syok kardiogenik mengalami pergeseran left shift pada hitung sel darah
putih. Terdapat pula kenaikan transaminase hepar karena adanya hipoperfusi hepar.
Tatalaksana pada syok kardiogenik adalah dengan pemberian cairan. Bila masih tidak
terdapat adanya perbaikan, maka diberikan inotropik.
3. Syok distributif
Syok distributif adalah kegagalan perfusi dan suplai oksigen yang disebabkan oleh
menurunnya tonus vaskuler mengakibatkan vasodilatasi arterial, penumpukan vena dan
redistribusi aliran darah. Penyebab dari kondisi tersebut terutama komponen vasoaktif
pada syok anafilaksis; bakteri dan toksinnya pada septik syok sebagai mediator dari
SIRS; hilangnya tonus vaskuler pada syok neurogenik. Syok anafilaktik biasanya
disebabkan oleh alergi pada makanan atau suatu obat tertentu.
4. Syok obstruktif
Syok obstruktif adalah kegagalan perfusi dan suplai oksigen berkaitan dengan
terganggunya mekanisme aliran balik darah oleh karena meningkatnya tekanan
intratorakal atau terganggunya aliran keluar arterial jantung (emboli pulmoner, emboli
udara, diseksi aorta, hipertensi pulmoner, tamponade perikardial, perikarditis
konstriktif) ataupun keduanya oleh karena obstruksi mekanis.
SEPSIS
Sepsis adalah adanya respon sistemik terhadap infeksi di dalam tubuh yang dapat
berkembang menjadi sepsis berat dan syok septik. Istilah sepsis menurut konsensus terbaru
adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi
respon tubuh terhadap infeksi. Sepsis berat dan syok septik adalah masalah kesehatan utama
dan menyebabkan kematian terhadap jutaan orang setiap tahunnya. Sepsis berat adalah sepsis
disertai dengan kondisi disfungsi organ, yang disebabkan karena inflamasi sistemik dan
respon prokoagulan terhadap infeksi.
Syok septik didefinisikan sebagai kondisi sepsis dengan hipotensi refrakter (tekanan
darah sistolik < 65 mmHg, atau penurunan > 40 mmHg dari ambang dasar tekanan darah
sistolik yang tidak responsif setelah diberikan cairan kristaloid sebesar 20-40 mL/kg).
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan
memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai
dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel
endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari
aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor
nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species,
nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid.
Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6
akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang
teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan
meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi. Aktivasi
komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut.
Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan
sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua
hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang
peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global.
Tatalaksana pada sepsis adalah meliputi:
1. Pemberian oksigen,
2. Kultur darah dan lainnya
3. Pemberian antibiotik broad spectrum.
4. Pemberian cairan intravena segera dalam waktu 6 jam,
5. Mengukur Hb dan laktat
6. Memonitor produksi urine.
Cairan resusitasi terdiri dari koloid dan kristaloid. Cairan kristaloid yang paling
banyak digunakan adalah normal saline dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki
komposisi yang mirip cairan ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan
koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit
cairan di ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan
timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan ringer laktat dengan
jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan adanya
peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat. Larutan dekstrose 5%
sering digunakan jika pasien memiliki gula darah yang rendah atau memiliki kadar
natrium yang tinggi. Namun penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan karena
komplikasi yang diakibatkan antara lain hiperomolalitas, hiperglikemik, diuresis
osmotik, dan asidosis serebral. Cairan kristaloid yang dimiliki RSDM ialah NaCl 0,9%,
Ringer Laktat, Ringer Asetat, dan D5.
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung
bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid dapat mengembalikan volume
plasma secara lebih efektif dan efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid
mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan
kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4
bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus.
Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya
menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap
dalam ruang intravaskular. Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan
ruang intravaskular, namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar
daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal
sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan volume plasma lebih dari pada
volume yang diberikan. Cairan koloid yang dimiliki RSDM adalah Albumin, HES, dan
gelatin atau gelofusal.
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma manusia.
Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 600C dalam 10 jam untuk
meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus imunodefisiensi.
Waktu paruh albumin dalam plasma adalah sekitar 16 jam, dengan sekitar 90% tetap
bertahan dalam intravascular 2 jam setelah pemberian.
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum
dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan pelarut
NaCL isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin (Haemaccel) dengan pelarut
NaCL isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L. Pemberian gelatin
agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik daripada koloid yang lain. Berkisar
dari kemerahan kulit dan pireksia sampai anafilaksis yang mengancam nyawa. Reaksi-
reaksi tersebut berkaitan dengan pelepasan histamine yang mungkin sebagai akibat efek
langsung gelatin pada sel mast. Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular
sehingga bukan termasuk ekspander plasma seperti dekstran.
Larutan gelatin terutama diekskresikan lewat ginjal dalam urin, sementara itu
gelatin dapat menghasilkan diuresis yang bagus. Sebagian kecil 17 dieliminasikan lewat
usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada sistem koagulasi, maka tidak ada
pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus, pertimbangkan adanya efek dilusi.
Gelatin dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien
yang menjalani hemodialisis. Indikasi gelatin : Penggantian volume primer pada
hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperatif. Sedangkan kontraindikasi adalah infark
miokard yang masih baru terjadi, gagal jantung kongestif dan syok normovolemik.
Senyawa kanji hidroksietil (HES) merupakan suatu kelompok koloid sintetik
polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural. Kurang dapat diterima kanji
hidroksi (HES) untuk pengantian volume paling mungkin akibat laporan-laporan
adanya koagulasi abnormal yang menyertai subtitusi plasma ini. Laporan laporan
tentang HES yang memperlihatkan koagulasi darah yang terganggu dan kecenderungan
perdarahan yang meningkat sebagian besar berdasarkan pemakaian preparat HES berat
molekul tinggi (HMW-HES).
Waktu paruh dari 90% partikel HES adalah 17 hari. Seperti semua koloid
lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan dengan reaksi anafilaktoid yang ringan dengan
kekerapan kira-kira 0,006 %. Indikasi pemberian HES adalah :Terapi dan profilaksis
defisiensi volume (hipovolemia) dan syok (terapi penggantian volume) berkaitan
dengan pembedahan (syok hemoragik), cedera (syok traumatik), infeksi (syok septik),
kombustio (syok kombustio). Sedangkan kontra indikasi adalah : Gagal jantung
kongestif berat, Gagal ginjal (kreatinin serum >2 mg/dL dan >177
mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang mengancam nyawa).
Dosis penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari.
DIARE
Menurut WHO Pengertian diare adalah buang air besar dengan konsistensi cair (mencret)
sebanyak 3 kali atau lebih dalam satu hari (24 jam). Diare dapat disebabkan oleh adanya
infeksi pada saluran cerna.
Anamnesis
Riwayat pemberian makan anak sangat penting dalam melakukan tatalaksana anak dengan
diare. Tanyakan juga hal-hal berikut:
Diare
o frekuensi buang air besar (BAB) anak
o lamanya diare terjadi (berapa hari)
o apakah ada darah dalam tinja
o apakah ada muntah
Laporan setempat mengenai Kejadian Luar Biasa (KLB) kolera
Pengobatan antibiotik yang baru diminum anak atau pengobatan lainnya
Gejala invaginasi (tangisan keras dan kepucatan pada bayi).
Pemeriksaan fisis
Tanda-tanda dehidrasi ringan atau dehidrasi berat:
o rewel atau gelisah
o letargis/kesadaran berkurang
o mata cekung
o cubitan kulit perut kembalinya lambat atau sangat lambat
o haus/minum dengan lahap, atau malas minum atau tidak bisa minum.
Darah dalam tinja
Tanda invaginasi (massa intra-abdominal, tinja hanya lendir dan darah)
Tanda-tanda gizi buruk
Perut kembung.
Tidak perlu dilakukan kultur tinja rutin pada anak dengan diare.
Semua anak dengan diare, harus diperiksa apakah menderita dehidrasi dan klasifikasikan
status dehidrasi sebagai dehidrasi berat, dehidrasi ringan/ sedang atau tanpa dehidrasi dan
beri pengobatan yang sesuai.
DEMAM BERDARAH
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang
ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis, dan
menjangkit luas di banyak negara di Asia Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue,
masing-masing dapat menyebabkan demam berdarah, baik ringan maupun fatal.
Demam berdarah umumnya ditandai oleh demam tinggi mendadak, sakit kepala
hebat, rasa sakit di belakang mata, otot dan sendi, hilangnya napsu makan, mual-mual dan
ruam. Gejala pada anak-anak dapat berupa demam ringan yang disertai ruam. Demam
berdarah yang lebih parah ditandai dengan demam tinggi yang bisa mencapai suhu 40-41◦C
selama dua sampai tujuh hari, wajah kemerahan, dan gelaja lainnya yang menyertai demam
berdarah ringan. Berikutnya dapat muncul kecenderungan pendarahan, seperti memar, hidung
dan gusi berdarah, dan juga pendarahan dalam tubuh. Pada kasus yang sangat parah, mungkin
berlanjut pada kegagalan saluran pernapasan, shock dan kematian.
Demam berdarah ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk betina Aedes yang
terinfeksi virus dengue. Penyakit ini tidak dapat ditularkan langsung dari orang ke orang.
Penyebar utama virus dengue yaitu nyamuk Aedes aegypti, tidak ditemukan di Hong Kong,
namun virus dengue juga dapat disebarkan oleh spesies lain yaitu Aedes albopictus.
Tidak ada perawatan khusus untuk demam berdarah. Obat-obatan diberikan untuk
meringankan demam dan rasa sakit. Penderita sebaiknya segera dirawat, dan terutama dijaga
jumlah cairan tubuhnya. Dengan perawatan yang tepat dan segera, tingkat kematian tidak
mencapai 1%.
Komplikasi DBD yang terjadi biasanya dikaitkan dengan syok yang
nyata/berlangsung lama sehingga menyebabkan asisdosis metabolik dan perdarahan hebat
sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID) dan kegagalan multiorgan
seperti disfungsi hati dan ginjal. Hal yang lebih penting diperhatikan adalah bahwa
pemberian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma dapat menyebabkan
efusi yang masif dan gangguan pernafasan, bendungan paru akut dan/atau gagal jantung.
Cairan yang terus diberikan setelah berakhirnya periode kebocoran plasma dapat
berakibat edema paru akut ataupun gagal jantung, khususnya dengan adanya reabsorbsi
cairan yang sebelumnya mengalami ekstravasasi. Selain itu, syok yang nyata/berlama-lama
serta pemberian cairan yang tidak tepat dapat menyebabkan gangguan metabolik/elektrolit.
Gangguan metabolik yang paling sering ditemukan adalah hipoglikemia, hiponatremia,
hipokalemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Hal ini dapat berakibat munculnya berbagai
manifestasi yang jarang, misalnya ensefalopati.