Anda di halaman 1dari 10

REVIEW ARTIKEL

Terapi Resusitasi Cairan untuk Sepsis pada Anak

Diterjemahkan dari:
Department of Emergency Medicine, Intensive Care Unit, The Royal Children’s
Hospital, Murdoch Children’s Research Institute, Faculty of Medicine,
Dentistry, and Health Sciences, Department of Paediatrics, University of
Melbourne and Paediatric Research in Emergency Departments International
Elliot Long and Trevor Duke

Journal of Paediatrics and Child Health 52 (2016) 141–146

Sepsis dan septik syok adalah alur akhir pada banyak infeksi pada anak yang
terdekompensasi. Terapi resusitasi cairan merupakan dasar dari resusitasi
hemodinamik pada anak-anak dengan sepsis. Terdapat bukti yang baik untuk
keseimbangan antara larutan saline 0,9% dan albumin 4%, yang berarti saat ini
salin 0,9% adalah resusitasi cairan yang paling banyak digunakan di seluruh
dunia. Keamanan keduanya telah terbukti dalam studi observasiobal, dan mereka
mungkin adalah yang paling rasional untuk cairan pada resusitasi. Koloid semi
sintetik dikaitkan dengan disfungsi renal dan kematian harus dihindari. Ada bukti
yang membahayakan pada resusitasi cairan yang berlebihan. Volume resusitasi
cairan harus diperhatikan dengan cara yang sama dengan dosis pemberian
pengobatan intravena lain dan sehingga keuntungan dari pemberian terapi lebih
unggul dibandingkan dengan bahayanya.
Kata kunci: anak-anak, koloid, kristaloid, resusitasi cairan, sepsis.

Latar Belakang Sejarah


Pemberian cairan intravena dilakukan pertama kali oleh dokter dari
Ingggris bernama Thomas Latta pada tahun 1832. Beliau memberikan larutan
garam alkali pada pasien kolera berat (Cosnett, 1989). Tindakan ini dilakukan
dengan hati-hati, menginjeksikan caiaran 29,6 mL tiap kali injeksi kemudian

1
diamati. Pada tahun 1855 seorag fisiolog di Inggris, Sidney Ringer menemukan
hasil eksperimen bahwa jantung hewan dapat mempertahankan fungsinya lebih
lama ketika asisten laboratoriumnya mengganti airnya dengan air mengalir.
Larutan Ringer berisi sejumlah kecil kalsium dan kalium yang ditambahkan pada
natrium dan klorida.. Larutan ini kemudian dimodifikasi oleh seorang dokter anak
di Amerika, Alexis Hartman melalui penambahan natrium laktat dan digunakan
untuk mengobati anak dengan gastroenteritis berat. Pada tahun 1882, seorang
dokter di Perancis, Hartog Hamburger mengembangkan larutan 0,9% garam untuk
digunakan secara in vitro pada sel darah merah. Postulatnya mengatakan bahwa
larutan garam 0,9% isotonik dengan keseimbangan larutan kristaloid yang dibuat
sedemikian rupa hingga memiliki osmolaritas yang sama dengan komposisi
elektrolit pada plasma. Larutan tersebut tidak mengandung kalsium sehingga lebih
aman pada pemberian dengan obat-obatan lain dan produk sitrat darah.

Patofisiologi
Pemberian resusitasi cairan secara bolus adalah untuk meningkatkan
cardiac output dan perfusi organ-organ vital. Dari sudut pandang kedokteran, hal
ini terjadi melalui beberapa langkah. Pemberian cairan melalui bolus pada
sirkulasi vena meningkatkan volume total kompartemen vaskular (volume vena
total). Komponen dari volume vena total yang berperan pada aliran balik vena
adalah volume stress (Gambar 1).

2
Volume ini berpengaruh pada tekanan transmural, bila stress volume lebih
besar dari tekanan atrium kanan, menyebabkan aliran darah vena ke atrium kanan.
Hubungan antara tekanan atrium kanan dan aliran balik vena digambarkan sebagai
kurva venous return Guyton. Peningkatan venous return mengikuti pemberian
cairan bolus meningkatkan cardiac output melalui efek Frank Starling,
sebagaimana venous return harus sama dengan cardiac output. Preload, dimana
tekanan atrium kanan adalah sebuah pengganti, mempunyai peran penting pada
respon jantung terhadap pemberian cairan bolus. Tekanan ini digambarkan
melalui grafik sebagai perpotongan aliran balik vena Guyton dan Kurva Frank
Starling (Gambar 2.).

Penentuan posisi dan kemiringan dari kurva aliran balik vena Guyton
adalah pemenuhan vena, viskositas darah, dan, tekanan atrium kanan. Berdasarkan
kurva Frank Starling, penentunya adalah preload, kontraktilitas jantung, dan
afterload. Pada anak-anak, disfungsi miokardial sepsis dapat menghasilkan
pendataran kurva Frank Sterling dan responsivitas preload yang terbatas.
Tinjauan teori yang mendukung terapi resusitasi cairan adalah bahwa
cardiac output tidak adekuat untuk mengatur perfusi organ vital dan pemberian
cairan bolus yang meningkatkan perfusi organ vital (resusitasi mikrosirkuler)

3
dengan meningkatkan cardiac output (resusitasi makrosirkuler). Terdapat sebuah
eksperimental, bukti pada dewasa dan anak-anak. Bagaimanapun, pada sepsis,
cardiac output dan perfusi organ vital mungkin meningkat, dimana aliran oksigen
dan metabolisme mungkin tidak cocok, dan resusitasi makrosirkuler mungkin
tidak memperbaiki fungsi mikrosirkuler.
Dengan demikian, mungkin bahwa rasionalisasi penggunaan terapi
resusitasi cairan untuk sepsis yang berdasar dan terapi resusitasi cairan yang
berlebihan dapat memicu disfungsi organ akhir melalui edema jaringan efek
metabolik.

Komponen Cairan
Tipe cairan yang digunakan pada terapi resusitasi cairan pada sepsis sering
dikategorikan sebagai kristaloid atau koloid. Kristaloid dapat dibagi menjadi
isotonik (0,9% saline), kalium laktat (Ringer Laktat dan larutan Hartman), dan
larutan balanced (seperti plasmalyte), tergantung pada isi kloridanya dan buffer
primer (laktat, asetat, atau glukonat) (Tabel 1).

Koloid adalah suspensi atau protein dengan berat molekuler tinggi dalam
larutan kristaloid. Terdapat 2 tipe, yaitu albumin dan koloid semi sintetik. Koloid
dimaksudkan untuk membuat efek volume sparing, dengan perbandingan 1:3
dibandingkan dengan kristaloid untuk mencapai tujuan hemodinamik yang sama,
namun lebih mahal dan lebih memerlukan metabolisme primer untuk ekskresi.
Dalam sebuah sistematik review dengan RCT, bukan normal saline 0.9% atau
albumin yang ditunjukkan untuk untuk meningkatkan ketahanan dibanding yang

4
lain pada penyakit kritis, termasuk sepsis, pada anak dan dewasa. Selanjutnya,
volume cairan yang digunakan pada terapi resusitasi cairan telah dapat
dibandingkan dengan volume kristaloid (dengan rasio 1:1,4). Hal ini mungkin
merupakan hasil dari integritas vaskuler terkompromisasi karena bahaya pada
endotelial glycocalyx pada sepsis, mengubah pergerakan cairan melewati
membran semi permeabel seperti yang dijelaskan pada model starling klasik.
Koloid semi sintetik telah menunjukkan peningkatan risiko acute kidney injury
dan kematian dibandingkan dengan kristaloid dan sudah tidak direkomendasikan
lagi dalam terapi resusitasi cairan. Yang terpenting, penggunaan saline 0,9%
sebagai cairan resusitasi mempunyai profil risikonya sendiri. Saline 0,9%
memiliki level suprafisiologis natrium dan klorida serta dapat menyebabkan
asidosis metabolik hiperkloremia melalui efek ion yang kuat. Hal ini dihubungkan
dengan bahaya pada endothelial glikokaliks, yang dapat memperburuk kelemahan
kapiler dan mengakibatkan edema paru, renal, dan berujung pada disfungsi.
Hiperkloremia diperkirakan berperan pada disfungsi renal, acute kidney
injury, dan kebutuhan untuk terapi pergantian renal dan telah dihubungkan dengan
kematian pada pasien ICU dewasa, terlepas dari banyaknya cairan yang didapat.
Hal ini menyebabkan ketertarikan dalam penggunaan cairan yang seimbang
sebagai cairan resusitasi. Studi observasional pada terapi resusitasi cairan
membandingkan saline 0,9% dengan larutan balans menunjukkan hasil yang lebih
buruk menggunakan larutan suprafisiologis konsentrasi klorida. Inisial random
trial pada cairan berbalans rendah dan kristaloid isotonis sebagai terapi rumatan
pada pasien dewasa di ICU, ternyata tidak menunjukkan perbedaan dalam
perkembangan subsekuen pada gagal ginjal. Percobaan pada isotonik dan balans
kristaloid pada anak sakit dan dewasa menggunakan mortalitas sebagai hasil akhir
utama. Pernyataan konsensus yang dipublikasikan secara internasional
mendukung penggunaan balans cairan dibandingkan saline 0,9% untuk orang
dewasa dengan penyakit akut. Panduan sepsis pediatrik yang dipublikasikan saat
ini tidak menyarankan terapi cairan satu di atas yang lain.
Rekomendasi: Mengingat bahwa saline 0,9% pada awalnya tidak
dimaksudkan untuk digunakan in vivo, saline tidak fisiologis atau 'normal', bahwa

5
penggunaannya telah dikaitkan dengan hasil buruk iatrogenik dan terdapat
alternatif yang aman, tampaknya masuk akal untuk beralih pada penggunaan
larutan balans sebagai cairan resusitasi standar menunggu hasil uji komparatif
yang valid secara eksternal.

Volume Cairan
Tidak ada uji klinis pada manusia yang menggunakan volume cairan
sebagai variabel untuk resusitasi. Studi observasional besar yang dilakukan pada
pasien dewasa dengan kondisi kritis menunjukkan bahwa kelangsungan hidup
terbaik yang dikaitkan dengan volume rata-rata 3,2 L pada terapi resusitasi cairan
setara dengan 45 mL/kg. Beberapa pedoman pediatrik menyarankan
menggunakan 40–60 mL / kg terapi resusitasi cairan, hingga 200 mL/kg pasien.
Kelompok pasien yang mendapat manfaat dari volume besar terapi resusitasi
cairan belum didefinisikan. Pedoman ini telah diinformasikan perkumpulan
Surviving Sepsis Campaign pada anak dan merupakan dasar untuk pengajaran
Advanced Paediatric Life Support. Baru-baru ini, International Liason Committee
on Resuscitation menerbitkan pedoman yang menganjurkan bolus awal 20 mL /
kg untuk anak-anak dengan sepsis, diikuti oleh penilaian ulang pasien yang
sering. Penggunaan resusitasi cairan untuk penyakit demam dengan perfusi yang
buruk terkait tidak dianjurkan.
Menggunakan prinsip-prinsip fisiologis, tampaknya logis dalam
menghadapi ketidakstabilan hemodinamik untuk melanjutkan resusitasi cairan
sementara masih merupakan alur ke atas dari kurva Frank-Starling. Ini disebut
responsif fluida (atau preload) dan secara teoritis lebih kecil kemungkinannya
menghasilkan edema interstitial dibandingkan dengan pemberian terapi resusitasi
cairan ketika berada di bagian datar kurva Frank– Starling. Pada tahap awal
resusitasi pada anak-anak dengan ventilasi spontan tanpa pemantauan invasif (di
mana sebagian besar terapi resusitasi cairan terjadi), mungkin sulit untuk
menentukan respons cairan. Pada orang dewasa, kenaikan tungkai pasif
memberikan auto-transfusi darah vena yang dikumpulkan di kaki, yang dapat
'ditarik' ketika kaki diletakkan rata dan memiliki karakteristik uji yang baik dalam

6
memprediksi respon cairan, dengan area yang dikumpulkan di bawah penerima
yang beroperasi kurva karakteristik (AUC) sebesar 0,95 (interval kepercayaan
95% 0,92-0,97). Pendekatan alternatif adalah dengan memberikan perbedaan
cairan intravena dan memantau respons dalam hal perubahan curah jantung.
Namun, tidak ada definisi konsensus untuk apa yang merupakan cairan responsif
pada orang dewasa atau anak-anak, dan penggunaan cairan cairan reversibel
dalam bentuk peningkatan kaki pasif pada anak-anak dibatasi oleh ukuran kaki
mereka yang relatif kecil. Penggunaan strategi resusitasi berbasis responsif cairan
untuk sepsis baru-baru ini telah dijelaskan pada orang dewasa dan menunggu
studi dalam uji coba yang lebih besar. Validasi beberapa monitor jantung non-
invasif pada anak-anak dapat membuka jalan untuk uji coba serupa pada
kelompok usia yang lebih muda.
Volume terapi resusitasi cairan yang diberikan untuk sepsis secara historis
didasarkan pada hasil beberapa penelitian. Lebih dari satu dekade yang lalu,
Rivers mempopulerkan resusitasi cairan awal dan agresif sebagai komponen
terapi awal yang diarahkan pada orang dewasa dengan sepsis. Pendekatan ini
dicerminkan dalam pedoman berbasis konsensus anak, mengutip bukti observasi
single-centre. Selama dekade berikutnya, bukti yang konsisten untuk bahaya dari
terapi resusitasi cairan yang terlalu tinggi terakumulasi pada anak-anak dan orang
dewasa. Volume besar terapi resusitasi cairan dan keseimbangan cairan bersih
positif telah dikaitkan dengan memburuknya fungsi ginjal, sindrom gangguan
pernapasan akut, ICU yang berkepanjangan dan lama tinggal di rumah sakit dan
kematian ketika dikoreksi untuk keparahan penyakit.
Perluasan cairan sebagai percobaan terapi suportif (FEAST) menimbulkan
pertanyaan serius tentang keamanan terapi resusitasi cairan agresif pada anak-
anak. Uji coba terkontrol secara acak ini di Afrika Sub-Sahara membandingkan
kematian pada 48 jam dengan terapi resusitasi cairan versus cairan perawatan
hanya pada anak-anak dengan penyakit demam akut dan perfusi yang buruk. Ini
adalah satu-satunya studi terapi resusitasi cairan untuk sepsis untuk memasukkan
kelompok kontrol (tidak ada cairan bolus). Temuan utama adalah bahwa
mortalitas lebih tinggi pada kelompok yang menerima terapi resusitasi cairan

7
dibandingkan tanpa terapi resusitasi cairan (10,5% dengan cairan bolus dan cairan
perawatan standar 7,3%). Mayoritas (87%) dari kematian ini terjadi dalam 24 jam
setelah pengacakan. Banyak faktor kontekstual yang perlu dipertimbangkan ketika
menafsirkan hasil studi FEAST, termasuk populasi pasien yang heterogen, kriteria
masuk (hanya 2% dari anak-anak yang memenuhi definisi syok WHO, sebagian
besar yang lain memiliki tingkat perfusi yang rendah), adanya anemia malaria
berat pada > 50% pasien, dimasukkannya pasien dengan kompromi respirasi atau
neurologis sebelum randomisasi (yang mungkin dirugikan oleh terapi bolus
cairan) dan pengaturan penelitian (di mana tidak ada ventilasi tekanan positif ,
diuretik atau inotrop tersedia). Namun, dalam populasi yang diteliti, penulis dapat
mengidentifikasi tidak ada subkelompok pasien yang mendapat manfaat dari
terapi resusitasi cairan, berdasarkan niat untuk mengobati dan sebagian
berdasarkan analisis post hoc. Selain itu, terdapat efek dosis, dengan lebih banyak
terapi resusitasi cairan yang diberikan dikaitkan dengan kematian yang lebih
tinggi. Ulasan sistematis dan meta-analisis kematian setelah pemberian bolus
cairan pada anak-anak dengan sepsis telah didorong oleh hasil uji coba FEAST,
dengan mayoritas dari semua bukti acak yang menunjukkan bahwa terapi
resusitasi cairan berbahaya jika dibandingkan tanpa terapi resusitasi cairan.
Rekomendasi: Semua cairan resusitasi dapat berkontribusi pada edema dan
disfungsi organ, dan keseimbangan cairan mungkin lebih penting daripada jenis
cairan. Volume ideal untuk terapi resusitasi cairan pada masing-masing pasien,
dan metode untuk menentukan volume ini, belum dijelaskan. Untuk sementara,
hati-hati dengan resusitasi cairan volume besar (> 40 mL / kg) diperlukan.

Target Terapeutik
Pedoman saat ini menyarankan titrasi resusitasi cairan untuk
meningkatkan suhu ekstremitas dingin, pengisian kapiler sentral, karakter nadi
perifer dan keadaan sadar. Namun, tanda-tanda vital ini terbukti memiliki nilai
terbatas dalam memprediksi keparahan penyakit atau respons terhadap
pengobatan. Memang, dalam tinjauan sistematis terapi resusitasi cairan pada
sepsis dewasa, pengurangan rata-rata denyut jantung segera setelah bolus adalah 2

8
kali per menit. Karakteristik kinerja yang buruk pemeriksaan klinis lebih lanjut
diperparah oleh respons kardiovaskular yang heterogen dan dinamis terhadap
sepsis pada anak-anak 4-6 tahun dan variabilitas respons hemodinamik terhadap
resusitasi cairan. Target terapeutik yang divalidasi yang digunakan dalam
resusitasi sepsis dewasa termasuk mencapai tekanan darah arteri rata-rata >65 dan
pembersihan laktat >10%. Tekanan darah tidak digunakan untuk mendefinisikan
sepsis pada anak-anak, dan tidak ada batas bawah berdasarkan usia untuk tekanan
darah arteri rata-rata yang terkait dengan hasil buruk yang telah ditetapkan pada
anak-anak. Ini menjadikan penggunaan tekanan darah sebagai sebuah target terapi
bermasalah. Peran serum laktat dalam skrining untuk sepsis pediatrik belum
ditetapkan, dan kegunaannya dalam memantau respons terhadap pengobatan
belum diteliti. Bahaya dari terapi cairan bolus (seperti edema paru atau otak) juga
dipantau dengan menggunakan temuan pemeriksaan klinis (hepatomegali dan
kondisi sadar). Namun, masih belum jelas, pada tahap apa selama resusitasi
cairan, tanda-tanda klinis ini berkembang. Jika terdapat tanda-tanda kelebihan
cairan, titik henti pemberian terapi resusitasi cairan mungkin dapat mengakibatkan
resusitasi sistematis dengan bahaya terkait yang melekat.
Metode non-invasif untuk mengukur perfusi organ akhir dapat
memberikan target yang bernilai untuk resusitasi sepsis di masa depan. Visualisasi
langsung mikrosirkulasi sub-lingual menggunakan sidestream dark field
microscopy dan analisis saturasi oksigen jaringan menggunakan spektroskopi
inframerah saat ini sedang dievaluasi sebagai target untuk resusitasi sepsis.
Ultrasonografi bedside dapat menjadi alat lain untuk pemantauan dinamis dan
titrasi resusitasi cairan dalam sepsis. Ini memungkinkan evaluasi cepat fungsi
jantung, respons terhadap perbedaan cairan dan pemantauan untuk perkembangan
tanda-tanda awal bahaya dari resusitasi cairan melalui pemeriksaan jantung, paru-
paru dan vena cava inferior. Apakah ini lebih unggul daripada ketajaman klinis
dalam memutuskan kapan dan berapa banyak cairan untuk memberikan pasien
anak masih belum ditentukan.
Rekomendasi: Tanda-tanda klinis adalah standar saat ini untuk memantau
respons terhadap resusitasi cairan pada anak-anak, meskipun mereka mungkin

9
tidak secara akurat mencerminkan status volume. Meneliti target terapi yang tepat
untuk sepsis anak dan metode yang valid untuk mengukurnya diperlukan.

Simpulan
Resusitasi cairan untuk sepsis dan syok septik pada anak-anak tetap
banyak digunakan, meskipun bukti untuk bahaya dari tindakan ini terdapat di
beberapa hal. Perbedaan efikasi antara cairan resusitasi mungkin sederhana, tetapi
perbedaan dalam keamanan adalah signifikan. Kata-kata Dr Thomas Latta adalah
benar hari ini seperti ketika mereka awalnya diterbitkan lebih dari 180 tahun yang
lalu. Ketika memberikan cairan resusitasi, kita harus melanjutkan dengan sangat
hati-hati, menyuntikkan sedikit demi sedikit cairan, mengamati pasien dengan
cermat.

10

Anda mungkin juga menyukai