Anda di halaman 1dari 9

Eutanasia Menurut Hukum Indonesia

Dilihat secara yuridis dalam hukum pidana di Indonesia dikenal 2 bentuk eutanasia, yaitu
eutanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri yang disebut dengan eutanasia aktif
dimana diatur dalam Pasal 344 KUHP yang berbunyi : ”Barang siapa merampas nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” dan eutanasia yang dilakukan dengan
sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien yang disebut dengan eutanasia pasif diatur
dalam Pasal 304 KUHP yang berbunyi : ”Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Dari bunyi pasal diatas dapat dikatakan
bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun
pembunuhan itu dilakukan dengan alasan membiarkan (Pasal 304) dan atas permintaan orang
itu sendiri (Pasal 344) karena akan tetap diancam pidana bagi pelakunya sekalipun pelakunya
itu dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Pro dan Kontra Terkait Euthanasia
Secara manusiawi kematian adalah sesuatu yang sangat pribadi dan personal. Peristiwa ini
sudah sangat sensitif tanpa harus ditayangkan secara luas di televisi. Permohonan euthanasia
atau suntik mati atas pasien pernah menjadi trendi di Indonesia yaitu dengan mencuatnya
permohonan tersebut di media cetak maupun elektronik. Dan sempat menjadi bahan
pembahasan dan pembicaraan yang ramai. Apalagi sebagian masyarakat telah menghubung-
hubungkannya dengan istilah hak asasi manusia.
Jika euthanasia atau suntik mati dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, memang akan berbeda
pendapat dalam menjawabnya antara pro dan kontra terhadap pelaksanaan euthanasia atau
suntik mati tersebut. Hak asasi manusia bisa dikatakan sebagai momok yang seakan sangat
menakutkan bagi setiap orang, karena segala sesuatu selalu akan dihubungkan dengan otonomi
kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya sulit menentukan apa sebenarnya makna yang dikehendaki
oleh hak asasi manusia. Jika melihat kasus di negara Inggris yang telah melegalkan euthanasia
atau suntik mati pada prinsipnya bukan merupakan kesepakatan bulat dikalangan
pemerintahannya, karena disatu sisi masih ada yang menolaknya dengan alasan terkait dengan
hak asasi manusia.
Dilihat dari sudut pandang caring terkait empat prinsip etik – otonomi, non maleficence ( tidak
merugikan orang lain), beneficence (memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian)
dan justice (keadilan) menjadi topik bahan diskusi. Ada yang mendukung, akan tetapi ada juga
yang menolak tindakan eutanasia ini (Toon Quaghebeur, et.al, 2009).
Untuk yang menolak tindakan eutanasia ini menyatakan dengan tindakan eutanasia akan
menghilangkan kepercayaan publik terhadap profesi. Dengan tindakan eutanasia seperti
menciptakan pandangan yang merubah peran perawat untuk merawat dan advokasi
(Zimbelman, 1994; Simpson & Kowalski, 1993; Mc Cabe, 2007). Fokus perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan adalah mengobati pasien (merawat pasien) dan tidak termasuk
eutanasia. Eutanasia merupakan tindakan antietik untuk aktifitas keperawatan dan bukan
merupakan bagian dari pandangan perawat sebagai pengobat/healing (McCabe, 2007). Low
dan Pang (1999) juga menolak tindakan eutanasia. Mereka berpandangan eutanasia merupakan
hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsip dasar pengobatan dan keperawatan secara
umum, termasuk perawatan paliatif. Prinsip perawatan paliatif adalah ”melakukan hal yang
baik” dan ”tidak melukai”. Dengan eutanasia akan mengakhiri pertumbuhan kemanusiaan
seseorang. Goodman (1996) berpendapat perawatan alternatif akan lebih baik dari eutanasia
seperti memberi perhatian lebih, mendukung pasien, dan menggunakan teknik yang lebih baik
dalam mengontrol nyeri. Volkenandt (1998) juga menyatakan perawatan pendukung dan
eutanasia bukanlah dilema etik karena eutanasia bukan pandangan yang baik dalam
keperawatan.
Sedangkan yang mendukung tindakan eutanasia berpandangan eutanasia merupakan bagian
dari perawatan terminal, dan tidak bertentangan dalam perawatan yang komprehensif (Begley,
1998). Karena eutanasia merupakan salah satu tugas dalam memberikan perawatan.
Dibutuhkan ketrampilan dan kesabaran untuk menemani seseorang yang akan meninggal dan
memberikan perawatan yang maksimal, termasuk didalamnya adalah eutanasia (Oduncu,
2003). Farsides (1996) menekankan eutanasia bukanlah tanda dari kegagalan perawatan,
karena eutanasia merupakan bagian dari moral, walau alternatif pengobatan yang lain ada. Dan
Kuhse (1997) berpendapat eutanasia merupakan bentuk perawatan yang spesialis.
Solusi yang Diajukan Untuk Menjawab Masalah yang Ditemukan
Menurut Park (2012) terdapat enam langkah efektif yang membantu didalam penyelesaian dan
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan etik yaitu : (1) Identifikasi masalah etik, (2)
Mengumpulkan informasi untuk identifikasi masalah untuk pengembangan penyelesaian, (3)
Mengembangkan analisa alternatif dan membandingkan, (4) Memilih alternatif yang terbaik
(5) Melaksanakan keputusan, (6) Evaluasi efek dan pengembangan strategi untuk mencegah
terjadinya kejadian berulang.

 Identifikasi Masalah Etik


Sebelum seorang perawat dapat mengidentifikasi masalah etik, seorang perawat harus
menyadari adanya masalah etik. Menyadari masalah etik ini terbentuk dari adanya
hubungan yang dekat antara pasien dengan perawat (Slettebo & Bunch, 2004). Masalah
etik yang terjadi di perawat karena tidak mampunya memenuhi kebutuhan pasien dan
tujuan yang diharapkan (Ahern & MCDonald, 2002; Liaschenko, 1993; Wolf, 1989).
Begitu juga yang terjadi di dalam kasus , tentunya perawat yang merawatnya merasakan
konflik tersebut. Perawat akan memperhatikan keinginan pasien dan selalu bersama
pasien (Nordvedt, 1998). Perawat selalu kontak dengan pasien sehingga memberi
pengetahuan akan keinginan dan tujuan dari pasien (Liaschenko, 1993; Wolf, 1989).
Dan perawat menemukan masalah etik pada pasien terkait dengan euthanasia. Dan
euthanasia ini termasuk kedalam masalah etik (Enes & de Vries, 2004; Georges &
Grypdonck, 2002; Hutchinson, 1990; Lorensen, Davis, Konishi & Bunch, 2003).
Perawatan pada pasien terminal berhubungan dengan pendekatan dan masalah
pencapaian tujuan (Krishnasanamy, 1999). Pengakhiran kehidupan membuat perawat
berada pada situasi etik yang tidak menentu, membuat perawat berada di ujung tanduk
antara menghormati pasien akan otonominya, memberitahukan diagnose penyakitnya,
dan memberikan banyak informasi yang tidak sesuai dengan keinginan pasien
(Lorensen et.al., 2003). Disini perawat mengalami situasi yang sama ketika merawat
pasien terminal dengan kondisi tidak stabil (Enes & de Vries, 2004), atau seperti ketika
perawat memberikan perawatan yang tdak adekuat (Sorlie et. Al., 2005).

 Mengumpulkan informasi dalam Pengembangan Penyelesaian


Perawat mengumpulkan data melalui banyak cara, dapat melalui pasien, keluarga, atau
tenaga kesehatan. Dan dalam mengidentifikasi masalah etik dapat terkaji melalui teknik
perawatan pada pasien, situasi , usia , tingkat perkembangan, tingkat kemampuan dan
perhatian terhadap kesehatan. Dan masalah etik akan berbeda tergantung dari area
klinik yang ada (Redman & Fry, 2000). Kasus pasien mengalami kanker stadium lanjut
yang telah menjalar keseluruh tubuh dan tidak ada kemungkinan untuk sembuh.
Sehingga perlu perhatian lebih berkaitan dengan pengobatan, pendekatan pada pasien,
dan kompetensi tenaga kesehatan yang terlibat didalamnya (Ceci, 2004; Schroeter,
1999).

 Mengembangkan analisa alternative dan membandingkan


Didalam mengembangkan alternative untuk menyelesaikan masalah etik harus
diperhatikan hasil yang diterima oleh pasien dan dampak terhadap perawat itu sendiri.
Alternatif yang dipilih berdasarkan tidak ada resiko terhadap perawat, tidak
menimbulkan reaksi yang negative dari pihak lain (termasuk didalamnya tenaga medis
dan administrasi rumah sakit).
Alternatif yang dapat diberikan pada pasien disini oleh seorang perawat dengan
memberikan informasi akan euthanasia (Hutchinson, 1990), atau melalui komunikasi
antara pasien, keluarga, tim medis dan lainnya. Dan perawat disini memberikan
informasi berkaitan dengan hal tersebut (Redman & Fry, 2000). Alternatif yang lain
dengan mendiskusikan terapi yang diberikan pada pasien dengan dokter yang
menangani sehingga didapatkan informasi yang lengkap dan jelas sebelum pasien
memutuskan euthanasia (Wurzbach, 1999). Tentunya didalam teknik perawatan juga
harus diperhatikan seperti perhatian, sentuhan, pemberian informasi merupakan hal
yang penting didalam perawatan paliatif terhadap pasien. Yang nantinya dapat
mempengaruhi pengambilan keptusan yang dibuat. Didalam memikirkan alternative
penyelesaian masalah etik perawat memperhatikan tiga faktor yaitu : (a) fokus akan
kebutuhan pasien, (b) Meyakini perawat mempunyai kewajiban terhadap pasiennya, (c)
Mempunyai perasaan untuk menyelesaikan masalah etik pasiennya (Sleutel, 2000;
Wurzbach, 1999). Terkadang perawat berperilaku fokus hanya pada dirinya (Sleutel,
2000), tidak mempunyai kekuatan dan pasif (Ahern & McDonald, 2002) sehingga tidak
mau terlibat dengan masalah etik yang terjadi pada pasiennya. Termasuk disini masalah
euthanasia, terlihat seperti lampu kecil yang tidak ada alternative untuk
menyelesaikannya (Lutzan & Schreiber, 1998). Perawat dapat berperan disini untuk
mengkompromikan tindakan yang dilakukan, mengkritis hal-hal yang tidak masuk
akal, atau mencari penyelesaian yang baik (Woods, 1999). Dan hal ini dilakukan
dengan pendekatan interpersonal dan organisasional (Ceci, 2004). Termasuk
kedalamnya perawatan pasien terminal sebelum keputusan euthanasia dibuat.
 Memilih alternatif
Diperoleh melalui diskusi dengan teman kerja, atasan, hal ini akan membantu didalam
sensitivitas akan masalah etik yang ada dan penyelesaiannya (Fry et al., 2002; Hart,
Yate, Clinton & Windsor, 1998). Penelitian menunjukkan permasalahan etik yang
sebelumnya membantu didalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
masalah tersebut (Lorensen et al., 2003). Akan tetapi perlu diperhatikan didalam
pengambilan keputusan ada batasan –batasannya seperti struktur organisasi didalam
peran, kekuatan hubungan dan hal ini berdampak terhadap keputusan perawat didalam
penyelesaian masalah etik (Falk Rafael, 1996). Dan yang paling berperan didalam
penyelesaian masalah etik adalah adanya hubungan interpersonal yang baik antara
pasien dan perawat dan juga dengan tenaga kesehatan lainnya(Bergum, 2004). Hal ini
akan membuat penyelesaian masalah etik menjadi efektif termasuk kedalamnya kasus
euthanasia.

 Melaksanakan keputusan
Ketika sudah direncanakan alternative-alternatif yang ada dibuatlah keputusan untuk
menyelesaikan masalah etik. Terkait dengan kasus setelah alternative diberikan dan
pasien yang tetap dengan pendirian dilakukan tindakan euthanasia, maka perawat harus
siap dengan keputusan tersebut. Perawat tetap melaksanakan perawatan terminal pada
pasien sehingga pada tahap kematian. Konflik perasaan yang terjadi di dalam diri
perawat harus diatasi. Perasaan bersalah, takut, menyesal disingkirkan setelah
keputusan tersebut dibuat.

 Mengevaluasi
Dalam tahap evaluasi perlu dilihat kembali apakah hasil yang didapatkan sesuai dengan
keinginan pasien, adanya konflik baru diantara perawat atau tenaga kesehatan lain.
Dalam kenyataan ketika memenuhi kewajiban untuk merawat pasien dalam
menyelesaikan masalah etik sering menyebabkan menurunnya kualitas kerja yang
efektif antara perawat itu sendiri dan juga berdampak terhadap struktur organisasi.
Perlu dievaluasi juga alasan moral yang terbentuk didalam mengambil keputusan dan
cara kerja perawat dalam mengatasi masalah etik. Sehingga didapatkan kualitas
personal, pendidikan, pengalaman dan lingkungan kerja yang berkualitas.
Dalam kasus euthanasia ini tentunya perawat mendapat pengalaman untuk melakukan
perawatan pada pasien yang memutuskan tindakan euthanasia. Tindakan ini tidak
hanya melibatkan diri perorangan perawat tetapi juga struktur organisasi di rumah sakit
tersebut. Sehingga dari pengalaman ini didapatkan evaluasi yang obyektif didalam
menilai pelayanan yang diberikan selama ini sehingga didapatkan kualitas pelayanan
pada masa berikutnya.
Pandangan Terhadap Solusi yang Diajukan Berdasarkan Nilai Keyakinan dan Budaya
a. Dalam Ajaran Gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman
sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai euthanasia dan sistem
penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program
egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem
modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan
menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei 1980, kongregasi untuk ajaran iman telah
menerbitkan Deklarasi tentang euthanasia (“Declaration de euthanasia”) yang menguraikan
pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-
sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi euthanasia sebagai sarana yang sah untuk
mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya
praktik euthanasia,dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang
memperingatkan agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari “budaya kematian”
dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban
yang mengganggu”. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa euthanasia merupakan
tindak belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu. “Belas kasihan yang sejati
mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh
orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung” (Evangelium Vitae, Nomor 66).

b. Dalam Ajaran Agama Hindu


Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma,
moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekuensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau batin dengan
pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus-menerus dari “karma” yang buruk
adalah menjadi penghalang “moksa” yaitu suatu istilah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang
menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip
“anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan
yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat
menjadi suatu faktor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan
“karma” buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat
berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya
tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di dunia fana sebagai roh jahat
dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani
kehidupannya, setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan
akhirnya kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan
“karma”nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

c. Dalam Ajaran Agama Budha


Ajaran agama Budha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran
untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran
Budha. Berdasarkan pada hal tersebut diatas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah
perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal
tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada “welas asih” (karunia). Mempercepat
kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah
utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi “karma” negatif kepada siapapun
yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.

d.Dalam Ajaran Islam


Dalam Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan
dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran ataupun Hadis yang secara
eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal
tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan
“Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4;29), yang makna langsungnya adalah
“Janganlah kamu saling berbunuhan”. Dengan demikian seorang Muslim (Dokter) yang
membunuuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam dsebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu suatu
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih
sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait 1981, dinyatakan bahwa
tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam apapun juga.

e. Dalam Ajaran Gereja Ortodok


Pada ajaran Gereja Ortodok, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak
kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa,
upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh
kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan
gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan
kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat
terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran euthanasia.

f. Dalam ajaran Protestan


Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap euthanasia dan orang-orang yang membantu
pelaksanaan euthanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya : Gereja Methodis (United
Methodist Curch) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa :”penggunaan teknologi
kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan
yang dapat dipertanggungjawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan
tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir
kesempatan hidup tersebut”. Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan
hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental.
Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara
tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh
adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pimpinan gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan
mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga
dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan
mereka atas pengobatan.
Sejak awal, cara pandang yang dilakukan kaum Kristiani dalam menanggapi masalah “bunuh
diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing” adalah dari sudut
‘kekudusan kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan
apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

Hukum Eutanasia di berbagai belahan Negara

A. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan
eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang
menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk
mengakhiri penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal eutanasia
dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Eutanasia" dalam majalah Human
Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman melaporkan bahwa
sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan
dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis)
dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk
melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan
menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun
telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan
eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

B. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia diNegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya
upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi Negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan Negara
bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan
salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien
yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak
penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya

C. Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU
yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama.
Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill
bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan,
tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik
kembali.

D. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya
Negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminaln (
pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian
Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan
memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia. Syarat-syarat
yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta
bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan
tenggang waktu 15 hari diantaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah
satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam
mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur
secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh
berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun
kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab
dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU Negara bagian ini. Mungkin saja nanti
nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi
terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat
terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika
mendukung dilakukannya euthanasia.
E. Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan


peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud
untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan
ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite
hukum Negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari
rancangan tersebut.

F. Cina
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutanasia diketahui terjadi
pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta
seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi
menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian
Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada
tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan
untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun
ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.

Anda mungkin juga menyukai