Anda di halaman 1dari 16

Pendahuluan: Sejarah dan Historiograti

Taufik Abdullah

DALAM keisengan, atau bahkan di saat hasrat untuk meneguk kearifan-kilat


sedang menggebu-gebu, terasa nikmat juga membalik-balik daftar kata mutiara
dari para pemikir, pendidik, dan pemimpin tentang "sejarah" dan "makna
sejarah". Bahkan, barangkali daftar kutipan itu tak perlu dibaca. Dengan hanya
memainkan kemampuan ingatan saja, suatu panorama kata-kata mutiara tentang
kedua hal itu akan terhampar di hadapan mata. "Jangan sekali-sekali
meninggalkan sejarah", nasihat seseorang. "Sejarah tak hanya pengetahuan,
tetapi juga menyangkut kesadaran", pendapat yang lain, dengan, tentu saja,
memakai kata-kata lain. Entah apa lagi. Akhirnya kita memang akan menermikan
betapa beratnya tuntutan yang ditimpakan kepada pengetahuan tentang hari
lampau ini. Dan betapa pula makna yang diperkirakan dapat ditarik darinya.
"Belajarlah dari sejarah", begitulah kita selalu diingatkan. Kecuali ajaran agama
tertentu yang beranggapan bahwa sejarah hanyalah ilusi, maya, umumnya
pengetahuan sejarah memang bermula dari segala tuntutan serba muluk tersebut.
Kelangsungan pengetahuan ini berlarrj ut dengan keharusannya mendukung
segala makna luhur yang telah ditimpakan itu. Demikian dulu, ketika sejarah
sebagai kumpulan informasi tentang kelampauan terbaur dengan segala hasrat
dan praduga kultural, dan begitu pula kini, ketika apa yang disebut sejarah kritis
telah makin mendapatkan tempat yang terhormat. Demikian halnya dalam
kearifan rakyat — “Dunia tak ubahnya dengan roda pedati”, kata ungkapan lama.
Dan tak jauh beda halnya sikap yang beranjak dari pemikiran filsafat — “Sejarah
adalah proses penghamparan dari cita kemanusiaan yang tertinggi”, demikian
kira-kira kata seorang filosof.

Sejarah dan Ilmu Sejarah


Tetapi kalau kata-kata mutiara ini akan diikuti, kapankah akan
selesai? Sebaiknya, begini saja. Kita mulai saja dari suatu titik tolak
yang paling elementer — demikian elementer sehingga tak terlalu sukar
untuk mendapatkan persetujuan awal. Bahwa sejarah menyangkut
tentang hari lampau, barangkali tak perlu diperdebatkan lagi. Ini telah
merupakan sesuatu yang telah jelas dengan sendirinya. Tetapi betapa
tanpa batas hari lampau itu — mulai dari detik yang baru saja dilalui
sampai entah kapan bukti-bukti sejarah bisa "menunjukkan". Lebih
sulit lagi ialah, apakah yang harus dimasukkan ke dalam "hari
lampau" yang nyaris tanpa batas itu? Gempa bumi? Banjir? Perang?
Revolusi? Atau, apa lagi? Demikian tak terhingga peristiwa alam
dan kemanusiaan yang telah terjadi.
Jika telah begini konsep "hari lampau" itu, hanyalah ada artinya
kalau pembatasan telah dilakukan. Pembatasan yang paling awal yang
perlu dilakukan ialah yang menyangkut dimensi waktu — sejak kapan
sampai apabila. Maka, salah satu konsensus dalam ilmu sejarah pun
didapatkan: zaman sejarah bermula ketika bukti-bukti tertulis telah
ditemukan, sedangkan yang sebelumnya disebut saja "prasejarah", yaitu
periode ketika bekas-bekas yang berwujud benda-benda ditemukan.
Selain itu? Ada juga "zaman mitologis", yang hanya rill dalam
mitologi. Walau kesadaran kultural tentang kepastian historisitasnya
dirasakan, tetapi tak bisa dibuktikan — terasa ada, terbuktikan tidak.
Namun, ilmu sejarah mutakhir tentu akan dapat mencoba memisahkan
hal-hal yang historis dari mitos dan mungkin pula bisa memperlihatkan
peranan kesadaran mitologis ini dalam kenyataan sejarah.
Sedangkan tentang masalah "sampai apabila", maka yang paling
menentukan bukanlah materi yang dibicarakan, tetapi pendekatan
yang dipakai. Maksudnya, peristiwa yang kemarin bisa dianggap
sebagai bagian dari penelitian sejarah, jika kejadian itu dilihat dari
perspektif proses yang sedang berjalan. Hal ini jarang terjadi, memang,
tetapi begitulah kalau kita mau mengatakannya secara ekstrem. Apa
yang disebut sejarah kontemporer tidak terlalu merisaukan urusan
"sampai apabila" itu. Yang penting ialah terjawabnya pertanyaan
metodologis, "dapatkah si sejarawan mengambil jarak dari sasaran
yang dibicarakannya?" Dapatkah si sejarawan, terlepas dari
sentimen dan praduga pribadinya, menghadapi hal yang dibicarakan
itu dengan wajar? Hal ini penting sebab pengerjaan ilmu sejarah tidak saja
menuntut kemampuan teknis dan wawasan teori, tetapi juga integritas
yang tinggi. Karena itu, dalam melakukan studi sejarah, sejarawan
sering harus meninjau kecenderungan pribadinya. Makin ia
menyadari bahwa ia tak akan bisa bersikap adil dan wajar
terhadap sasaran studinya, maka makin menjauhlah ia dari sasaran
itu. Entah, kalau sejarawan itu lebih ingin menjalankan tugasnya
sebagai cendekiawan yang terlibat atau ideolog yang mencari
pembenaran. Tak ada salahnya, tetapi masalahnya telah berada di luar
bidang sejarah sebagai ilmu.
Tetapi baiklah masalah pembatasan sejarah dilanjutkan lebih
dahulu. Dalam kenyataan, batas waktu hari lampau itu masih terlalu
panjang untuk bisa dikerjakan. Sebab itu sejarah mengenal juga
penggalan-penggalan atau periode-periode, yang dianggap merupakan
suatu kesatuan tertentu, berdasarkan beberapa patokan yang telah
ditentukan, baik secara konvensional dan umum diterima, maupun
secara individual, yaitu sesuai dengan sasaran perhatian si sejarawan.
Karena itulah kita mengenal "zaman kuno", "zaman pertengahan",
atau "zaman kolonial", dan entah apa lagi. Menurut teori, setiap periode,
yang dikenakan pada unit-unit sejarah tertentu, mengisyaratkan akan
adanya suatu karakteristik yang dominan.
Pembatasan waktu barulah tahap awal. Kalau sejarah adalah
peristiwa yang terjadi pada masa lampau, maka apa saja yang
dimaksud dengan peristiwa tersebut? Kecenderungan yang makin
umum sekarang ialah pemusatan perhatian pada peristiwa yang
menyangkut manusia, atau lebih tepat, tindakan dan perilaku
manusia. Sebab itulah ada seorang ahli yang mengatakan bahwa sasaran
sejarah bukanlah "peristiwa", tetapi "peristiwa yang disengaja", jadi
suatu perbuatan atau tindakan. Kalau demikian, berbagai peristiwa
alam tidaklah penting bagi dirinya, tetapi lebih berfungsi sebagai salah
satu kekuatan yang bisa ikut mempengaruhi "peristiwa yang
disengaja"'itu. Atau, dengan kata lain, alam dan peristiwa alam lebih
diperlakukan sebagai wadah dalam mana berbagai tindakan manusia
terjadi. Bahwa wadah bisa juga mempengaruhi apa yang terjadi di
dalamnya, tentu dapat dianggap sebagai tautologi saja — memang
begitulah halnya. Hanya saja masih sering diperdebatkan seberapa
jauhkah wadah itu berperan dalam menentukan tindakan dan proses
sejarah yang dialami manusia, yang merupakan aktor sejarah itu.
Dalam berdebat, tak jarang terdapat perbedaan pendapat yang ekstrem
atau sengaja diekstremkan. Mulai dari yang mengatakan bahwa faktor
alam (termasuk di dalamnya iklim, struktur geografis, dan sebagainya)
adalah penentu utama dalam mengatur tindakan dan perbuatan manusia
(termasuk di dalamnya filsafat, agama, seni, dan sebagainya) sampai
kepada yang sebaliknya, yaitu manusia sebagai faktor yang
mengubah alam. Tetapi memang, soal perbenturan antara kultur,
atau kebudayaan, yaitu hasil dan perwujudan dari "perbuatan yang
disengaja" itu, dengan alam, adalah masalah lama: yang tetap menarik
perhatian. Salah seorang ahli sejarah yang terkemuka bahkan melihat
sejarah dalam tiga lapisan — dari yang berubah relatif cepat sampai
dengan yang mengalami perubahan pelan. Lapisan yang paling pelan ini
ialah situasi geografis. Namun .ketiga lapisan terlibat dalam suatu
interaksi yang dinamis, dan katanya, dalam konteks inilah sejarah yang
sesungguhnya bisa dimengerti dengan baik.
Meskipun batasan waktu dan tindakan manusia telah bisa
diterima, pertanyaan lain tak dapat dihindarkan, "Apakah semua
tindakan manusia pada masa lampau yang tertentu itu harus masuk
sejarah?" Jika benar demikian, sejarah masih belum mengenal batas
yang sesungguhnya. Dalam setiap menit yang dilalui entah berapa
jumlah tindakan manusia yang terjadi. Sejarah yang seperti ini bukan
Baja hal yang tak mungkin — mana ada catatan dan ingatan atau bahkan
benda yang akan sanggup merekam kesemuanya, langsung ataupun tidak
— tetapi juga sama sekali tak berfaedah. Menghidupkan sejarah lagi
secara utuh hanyalah mungkin terjadi dalam dunia mimpi, yang
diimpikan pada waktu sadar. Sebab itu di samping pembatasan waktu
dan pelaku, maka tempat pun menjadi batasan sejarah. Secara praktis
dan metodologis, jadi bukan filosofis, sejarah haruslah diartikan sebagai
tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu pada masa lampau yang
dilakukan di tempat tertentu. Tetapi batasan yang praktis ini ternyata
juga masih terlalu jauh dari mungkin untuk dikerjakan. Dan memang
tak ada buku sejarah yang berhak, kecuali kalau berlagak tanpa hak,
untuk mengatakan bahwa semua hal itu bisa didapatkan dalam buku
tersebut. Karena, bukankah tindakan manusia itu demikian banyak
ragamnya? Bahkan yang disebut "sejarah total", seperti yang telah dan
terus dilakukan oleh sekelompok sejarawan Prancis, tidaklah sanggup
merangkap keseluruhan itu. Dan memang total history tidak
bermaksud melakukan hal itu semua.
Kalau demikian, pengertian dimensi waktu dari sejarah lebih dulu
perlu pula diperjelas. Tidak bisa segala peristiwa di hari lalu pada diri
masing-masing dianggap sejarah. Pembunuhan di sini, perkawinan di
situ; pemberontakan di suatu tempat dan perjanjian aliansi militer
di tempat lain, dan entah apa lagi, belumlah boleh dikatakan sejarah.
Semua itu barulah letupanletupan atau kepingan-kepingan yang bisa
dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari sejarah. Semua itu
barulah bisa dianggap sejarah kalau masing-masing terkait atau bisa
dikaitkan dalam suatu konteks historis. Artinya, kalau masing-
masing kepingan itu merupakan bagian dari suatu proses, atau
dinamika, yang sedang menjadi perhatian si sejarawan. Dengan begini
unsur seleksi telah ikut menentukan. Tak semua peristiwa tindakan
manusia pada masa lalu itu bisa dimasukkan dalam "konteks
historis".
Hanyalah tindakan atau hasil tindakan — apa pun jenis dan
coraknya — yang "penting" dan "berkaitan" dengan proses sejarah
yang akan "lulus seleksi". Kalau begitu, ukuran penting dan berkaitan,
atau relevan, harus ditentukan pula. Pada corak tindakan yang serupa
barangkali tidaklah akan terlalu sukar untuk menentukan hirarki
penting dan relevan itu "perkelahian di kantor kecamatan" mungkin
tidak sepenting "coup d'etat di pusat pemerintahan". Tetapi, susahnya
tindakan manusia tidaklah sama coraknya. Di samping hal-hal yang
menyangkut kekuasaan, ada juga perbuatan yang mengenai aspek-
aspek pemenuhan kebutuhan ekonomis, ekspresi estetis,
persaingan kehormatan dan wibawa, pemenuhan rasa ingin tahu, dan
entah apa lagi. Bukan itu saja, bahkan berbagai corak tindakan itu
sering saling berkaitan dan terlibat pula dalam hubungan kausal
— yang satu menyebabkan yang lain. Maka ukuran penting pun
menjadi problematik lagi.
Sebab itu, pengerjaan sejarah sebagai usaha rekonstruksi hari
lampau itu hanyalah mungkin dilakukan apabila pertanyaan pokok
telah dirumuskan. Dalam usaha mencari jawab terhadap pertanyaan
pokok itulah ukuran penting atau tidaknya bisa didapatkan. Ketika
pertanyaan yang telah dirumuskan itu menyangkut masalah
peralihan kekuasaan, sudah jelas bahwa proses pembentukan berbagai
kekuatan politik mendapat tempat yang lebih tinggi daripada,
misalnya, kualitas cat yang dipakai oleh seorang pelukis terkemuka.
Jadi di samping menjadi ukuran penting atau tidaknya suatu tindakan,
pertanyaan pokok itu juga merupakan alat untuk menentukan manakah
hal-hal yang bisa dijadikan sebagai "fakta sejarah". Atau dengan
kata lain, pertanyaan pokok itu berfungsi pula untuk menentukan
manakah hal-hal yang perlu dicari kebenaran historisnya agar bisa
dianggap sebagai "fakta" — sebagai sesuatu yang berfungsi dalam
usaha menjawab pertanyaan pokok yang telah dirumuskan itu. Dengan
begini, tentu jelas juga, bahwa secara teoretis dapat dikatakan "fakta
sejarah" itu belum ada, sebelum pertanyaan dirumuskan.
Setelah hal-hal yang bersifat konseptual ini diselesaikan, maka
tinggal lagi dua masalah penting lainnya, yaitu penelitian dan
penulisan. Apalah artinya penelitian, jika tidak dituliskan (atau,
setidaknya, dikomunikasikan)? Penulisan adalah usaha rekonstruksi
hari lampau untuk menjawab pertanyaan pokok yang telah dirumuskan.
Tetapi penulisan tanpa penelitian artinya tak lebih dari rekonstruksi
tanpa pembuktian. Jadi kita kembali ke alam mitologi. Namun kedua
proses pengerjaan sejarah ini bisa dibedakan, karena bukan saja
penelitian dan penulisan merupakan proses yang bersambungan,
keduanya juga memerlukan persyaratan teknis dan ketrampilan
yang berbeda. Dalam penelitian sangat diperlukan kemampuan
untuk mencari, menemukan, dan menguji sumber-sumber, sehingga
mana yang bisa dianggap "fakta sejarah" yang secara historis
ben6r, bisa ditemukan. Sedangkan dalam penulisan diperlukan
kemampuan menyusun fakta-fakta, yang bersifat fragmentaris itu, ke
dalam suatu uraian yang sistematis, utuh, dan komunikatif. Kedua
proses ini bagaimanapun memerlukan kesadaran teoretis yang tinggi
serta imajinasi historis yang baik. Dengan beginilah sejarah yang
dihasilkan itu bukan saja akan dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan elementer, yang terkait pada pertanyaan pokok, tentang
"apa, siapa, di mana, dan apabila", tetapi juga mengenai "bagaimana"
serta "mengapa dan apa jadinya". Jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan elementer dan mendasar itu adalah "fakta sejarah" dan
merupakan unsur-unsur yang memungkinkan adanya "sejarah" —
bukankah sejarah menyangkut peristiwa yang terjadi pada waktu dan
tempat tertentu? Sedangkan jawaban terhadap pertanyaan "bagaimana"
adalah suatu rekonstruksi yang berusaha menjadikan semua unsur itu
terkait dalam suatu deskripsi yang disebut "sejarah".
Jawaban terhadap pertanyaan "bagaimana" ini juga bisa
memperlihatkan ikatan "fakta-fakta sejarah" dalam suatu proses yang
telah dirumuskan oleh pertanyaan pokok. Tetapi jawaban terhadap
pertanyaan "mengapa dan apa jadinya", yang menyangkut masalah
kausalitas adalah hasil puncak yang bisa diharapkan dari suatu
studi sejarah, yang biasa juga disebut sebagai studi sejarah kritis
("fakta sejarah" didapatkan setelah melalui beberapa proses pengujian).
Jawaban terhadap pertanyaan "bagaimana" ini secara teknis disebut
"keterangan historis" (historical explanation). Kalau telah sampai
kepada masalah ini, maka di samping ketrampilan teknis dan kepekaan
common sense serta imajinasi kesejarahan, ketajaman analisa juga ikut
berbicara. Hal yang terakhir ini sangat ditentukan pula oleh wawasan
teori serta kemampuan komparatif. Sebab itu tidaklah terlalu menghe-
rankan kalau perdebatan teori sejarah sering berkisar pada masalah
ini. Masalah kausalitas tidaklah pula sekedar perbandingan dan
pengujian berbagai proposisi yang dijadikan basis bagi pembentukan
teori, tetapi pada tahap yang lebih lanjut, juga menyentuh masalah-
masalah yang bersifat epistemologis, yang mempersoalkan esensi
pengetahuan itu sendiri. Dengan begini sebenarnya kita memasuki
salah satu corak dari filsafat sejarah.

Historiografi dan perkembangan ilmu sejarah


Penulisan adalah puncak segala-galanya. Sebab apa yang
dituliskan itulah sejarah — yaitu histoire-recite, sejarah-sebagaimana-
ia-dikisahkan, yang mencoba menangkap dan memahami histoire-
realite, sejarah-sebagaimana-terjadinya. Dan hasil penulisan sejarah
inilah yang disebut historiografi. Hasil pengerjaan studi sejarah yang
akademis atau kritis ini, yang berusaha sejauh mungkin mencari
"kebenaran" historis dari setiap fakta, bermula dari suatu pertanyaan
pokok. Dari pertanyaan inilah, seperti telah diuraikan di atas, berbagai
keharusan konseptual dilakukan dan bermacam proses pengerjaan
penelitian dan penulisan dijalani. Dengan bahasa slogan, dapat
dikatakan bahwa "tanpa pertanyaan, tak ada sejarah". .
Dalam kaitan ini kelihatan pula salah satu aspek dari
perkembangan ilmu sejarah. Kalau sekiranya bahan-bahan yang otentik
dan sahih harus ditemukan dan diuji kebenaran historisnya,
maka bagaimanakah pengujian itu harus dilakukan? Sejarawan tentu
tak lagi bisa dipuaskan dengan patokan metodologis lama dengan
corak-corak kritik sumber dan peranan perbandingan dan inferensi.
Maka secara bertahap berbagai ilmu bantu dalam pengerjaan sejarah
berkembang mulai dari penguasaan bahasa serta ketrampilan
membaca tulisan kuno (epigrafi) sampai dengan numismatik, yang
mempelajari mata uang kuno, dan archivology, yang mempelajari
permasalahan arsip-arsip. Dengan begini pula, bukan saja
ketepatan pengujian bahan sumber harus selalu diperhalus, metode
baru dalam pengumpulan sumber (yang biasa disebut heuristik) harus
pula dikembangkan. Begitulah, umpamanya, kalau bahan-bahan
tertulis telah habis, sedangkan "lubang-lubang" informasi dalam usaha
untuk mendapatkan rekonstruksi yang relatif utuh belum tercapai,
maka mengapa tidak dikembangkan pula apa yang disebut "sejarah
lisan", untuk periode kontemporer, dan penelaahan "tradisi lisan" bagi
periode yang lebih awal? Dengan "sejarah lisan", teknik wawancara
terhadap pelaku-pelaku atau aktor-aktor sejarah dan sistem klasifikasi
dalam penyimpanannya perlu pula selalu disempurnakan. Dan bila
"tradisi lisan" harus dipertimbangkan Sebagai bahan, maka berbagai
teori "penyampaian tradisi" dan simbol serta mitos tak pula bisa
dielakkan. Pencarian metode baru ini tentu bisa dilanjutkan dengan
pemakaian metode kuantifikasi dalam sejarah sosial dan pendekatan
psikoanalisa dalam usaha untuk mengerti berbagai perilaku para
aktor sejarah, dan sebagainya.
Apakah artinya ini semua? Di satu pihak, memang keharusan akan
ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan "faktasejarah"
secermat mungkin, mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin, serta
menerangkannya setepat mungkin, adalah tuntutan yang abadi dari
setiap pengerjaan sejarah kritis. Di lain pihak, dan lebih penting,
pertanyaan yang diajukan terhadap materi sejarah bukan saja telah
semakin meluas, tetapi juga semakin mendalam. Sehingga metode
lama dan ketrampilan teknis lama, serta jenis sumber-sumber yang
"biasa" dipakai dirasakan makin tak memadai. Kekurangan ini bahkan
kelihatan pula ketika pertanyaan baru itu diarahkan padajangka waktu
yang sama dan pada lokalitas yang tak pula berbeda dari pertanyaan
lama. Wawasan yang makin berkembang serta pertanyaan yang makin
bervariasi, dengan kata lain, menuntut berbagai hal dari ilmu sejarah.
Kalau dulu pertanyaan pokok sangat ditentukan oleh faktor-faktor
kekuasaan, maka kini, keragaman telah terjadi. Sejarah politik, yang
menjadikan dinamika dan proses kekuasaan sebagai fokus utama,
sekarang tidaklah lagi pemegang monopoli pertanyaan. Betapapun
terasa dominannya kekuasaan dalam kehidupan, kini makin disadari
bahwa kekuasaan tidak terlepas dari faktor-faktor lain. Bahkan bukan
tak mungkin faktor-faktor lain itu merupakan dasar dari kekuasaan.
Faktor ekonomi, struktur sosial, serta ideologi, umpamanya, adalah
kekuatankekuatan sejarah yang bisa menentukan corak dan
dinamika kekuasaan itu. Tetapi terlepas dari kemungkinan
terkaitnya berbagai aspek realitas sosial dalam suatu peristiwa
sejarah, aspek-aspek tertentu itu pada diri masing-masing
mempunyai daya tarik sendiri. Karena hasrat ingin tahu tentang proses
yang dilalui oleh salah satu aspek realitas kehidupan adalah suatu hal
yang sah, maka apa salahnya sejarah sastra dipelajari dan apa jeleknya
perkembangan corak arsitektur diteliti. Siapa yang akan mengingkari
bahwa sejarah musik akan lebih bisa memperdalam apresiasi terhadap
musik? Begitulah berbagai cabang ilmu sejarah, atau, lebih tepat,
"disiplin perantara" (sejarah dengan ilmu lain) menampakkan diri.
Benar juga bahwa orang besar dan pejabat tinggi sering menjadi "aktor
sejarah" — seakan-akan mereka adalah penentu dinamika sejarah.
Tetapi terlepas dari perdebatan tentang hubungan manusia dengan
dinamika sejarah ini, timbul juga pertanyaan• apakah orang besar itu
akan "besar" jika orang-orang kecil, yang tak tercatat, tak ikut serta
dalam segala "perbuatan yang disengaj a" itu? Jenderal mungkin
mengatur strategi perang, tetapi prajurit-prajuritlah yang menyerbu dan
berguguran. Setidaknya begitulah ucapan klise di zaman perang
konvensional, ketika born nuklir belum mengancam. Tolstoy benar
juga, ketika ia mengatakan, bahwa denyut sejarah sesungguhnya
hanya bisa didengar dari orang-orang kecil ini. Karena itu,
perhtian sejarawan diarahkan pula pada mereka yang tak bernama
ini. Tetapi, masalah yang dihadapi bertambah. Banyak aspek dari
perikehidupan mereka tidak tercatat. Bahkan tak jarang sukar
ditemukan dimensi waktu, yang bersifat historis, bukan mitologis dan
psikologis, dalam usaha merekam dan memahami dinamika kehidupan
yang dialami. Sebab itu metode baru yang sesuai harus dikembangkan
pula. Dan demikianlah selanjutnya, perluasan perhatian dan
perbanyakan pertanyaan memang menuntut banyak hal.
Kalau diperhatikan, sejarah historiografi modern atau sejarah
(dari) penulisan sejarah modern, yang telah mempergunakan metode
kritis itu, di samping penghalusan teknik penelitian dan munculnya
ilmu-ilmu bantu baru itu, terdapat pula dua gejala lain. Pertama, ialah
makin terbukanya ilmu sejarah terhadap konsepkonsep yang
dikembangkan oleh ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan lain. Kedua,
makin berkembangnya "cabang-cabang ilmu sejarah" atau "disiplin
perantara", yang menuntut keahlian khusus, di samping ilmu sejarah
kritis yang secara konvensional dikenal. Kedua proses yang tidak bersifat
eksklusif ini tentu saja sangat dibantu atau didorong oleh perkembangan
ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan umumnya.
Dalam usaha seorang sejarawan untuk mengerti dinamika sosial dari
masyarakat tertentu, misalnya, ia akan sangat beruntung kalau ia
mempertimbangkan berbagai penemuan serta teknik yang telah
dikembangkan ilmu lain, umpamanya sosiologi. Bukankah
"masyarakat" tidak bisa hanya dilihat dari segi proses saja? Masyarakat
adalah suatu sistem interaksi yang didukung oleh nilai dan norma
tertentu. Kalau begitu, di samping aspek proses, maka pengetahuan
akan bentukan struktural masyarakat sangat diperlukan. Ini hanya
contoh saja. Tentu saja hal-hal lain masih bisa diberikan dan contoh-
contoh lain dapat pula diajukan, tetapi, hal-hal inilah yang antara lain
dibicarakan oleh salah satu tulisan yang dimuat dalatn buku ini.
Meskipun terdapat kecenderungan makin akrabnya hubungan
sejarah dengan sosiologi — sementara ilmu sejarah makin
memperhatikan aspek-aspek struktural, maka sosiologi makin
menyadari pentingnya dimensi waktu dan ketepatan detil tentang "fakta"
— hal ini tidaklah berarti bahwa disiplin-disiplin lain, seperti telah
disinggung di atas, tidak menyadari pentingnya kesadaran proses dari
sasaran yang diamati atau diteliti. Adapun ilmu sejarah tak berutang
pada apa yang telah dihasilkan

disiplin-disiplin ilmiah tersebut. Bisakah suatu peristiwa politik,


atau bahkan sosial, dimengerti dengan baik kalau faktor-faktor
ekonomi tak diperhatikan? Cukupkah hal ini hanya diuraikan dengan
kemampuan deskriptif saja, sedangkan ekonomi tak bisa terlepas dari
perhitungan? Bahkan ilmu ekonomi sangat pula ditentukan oleh
ketepatan penghitungan akan turun naiknya konjuntur dan
sebagainya. Bagaimanakah, bisa dibuktikan secara pasti atau
setidaknya lebih mendekati kepastian, akan adanya hubungan
kausal antara kegelisahan politik dengan pemerataan pendapatan
yang tak seimbang? Bagaimanakah pula bisa diperlihatkan kekuatan-
kekuatan yang mempengaruhi turun naiknya perdagangan dan
pcningkatan atau penurunan kemakmuran? Jadi, tampaklah dua
perkembangan lain dalam ilmu sejarah. Di satu pihak, terjadi
pemakaian yang jauh lebih statistik — ilmu bantu yang paling penting
dalam ilmu ekonomi — dalam uraian sejarah, sehingga apa yang
disebut quanto -history atau cliometric menampakkan dirinya. Di pihak
lain, sejarah ekonomi, yang makin kuantitatif, di samping yang
bersifat komparatif, makin pula menunjukkan kemajuan pesat
(setidaknya begitulah di negara-negara industri). Interpenetrasi ilmu
sejarah dengan ilmu lain (termasuk ilmu pengetahuan alam dan
teknologi) dan munculnya cabang-cabang ilmu sejarah baru, yang
sesungguhnya merupakan "milik bersama" sejarah dengan ilmu yang
berkepentingan, adalah akibat langsung dari berkembangnya
pertanyaan kesejarahan dan meluasnya kesadaran akan pentingnya
dimensi waktu dalam m emahami berbagai aspek realitas.
Dengan perkembangan seperti ini, berbagai kemungkinan baru dari
ilmu sejarah terbuka dan beragam harapan terhadap disiplin ini
diajukan. Ada, umpamanya, yang mengharapkan agar ilmu sejarali tak
lagi sekedar ilmu yang mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk
bersifat interdisiplin, tetapi harus lebih bersifat universal, yaitu
bercorak metadisipliner, yang melarutkan disiplin-disiplin dalam
suatu keutuhan total. Jika hal ini dirasakan agak ambisius, maka
corak kemungkinan lain telah pula diperkirakan. Dengan terjadinya
interpenetrasi berbagai disiplin ilmu, sifat unik dan tunggal serta tak
terulang dari peristiwa sejarah tidaklah perlu lagi dianggap sebagai
penentu corak ilmu sejarah. Sifat unik dan tunggal itu lebih
berfungsi sebagai unsur-unsur khusus yang dapat membentuk suatu
generalisasi. Tanpa mengingkari pentingnya imajinasi yang kreatif
serta pemahaman yang intuitif, seperti yang dilakukan oleh "sejarawan
konvensional" (yaitu yang menjalankan studi kritis yang telah lumrah)
maka "sejarawan baru" diharapkan akan bisa membawa semua itu,
dengan bantuan ilmu-ilmu sosial lainnya, ke dalam suatu teori yang
lebih umum serta mempunyai kemampuan pemberi keterangan yang
lebih unggul. Akhirnya, memang yang paling dituntut dalam setiap
pengerjaan ilmiah adalah "keterangan".
Seberapa jauh harapan-harapan ini terpenuhi adalah soal lain,
apalagi kecenderungan-kecenderungan baru tersebut masih terus
diperdebatkan. Namun kecenderungan umum telah didapatkan, yaitu
bahwa terbukanya suatu perspektif baru tidak Baja memberi
kemungkinan akan terjawabnya pertanyaan baru, tetapi juga
memancing harapan baru.
Beberapa cabang dari ilmu dan penelitian sejarah diuraikan dalam
buku ini. Tentu saja tidak semua cabang bisa diuraikan. Ada beberapa dari
yang disebut cabang itu sesungguhnya lebih dekat dengan ilmu induk
yang lain. Bahkan, seperti tampak dalam buku ini, cabang-cabang itu
pun makin memperlihatkan diri sebagai disiplin yang utuh. Cabang-
cabang ilmu sejarah itu mempunyai sejarah pertumbuhannya,
memiliki perhatian yang jelas batas serta ruang lingkungan, dan
secara bertahap mengembangkan metode dan teori-teori sendiri. Hal-hal
yang disajikan di sini adalah yang paling strategis dalam pengerjaan
sejarah konvensional, yaitu uraian kritis tentang tindakan manusia
pada masa lalu. "Cabang-cabang" ilmu sejarah yang diuraikan dalam
buku ini, seperti sejarah sosial, sejarah intelektual, sejarah ekonomi,
sejarah dunia-usaha, dan ethnohistory, bisa juga sekaligus dianggap
sebagai pengembangan metode dan perluasan wawasan teori sejarah.
Dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang khusus atau pada
corak masyarakat yang khas, cabang-cabang yang makin dewasa ini
juga menunjukkan berbagai kemungkinan pendekatan serta teori
pada ilmu sejarah. Karena itu, pengenalan yang baik terhadap cabang-
cabang ini akan lebih memungkinkan sejarawan untuk memperbaiki
ketrampilan teknisnya dan mempertinggi pula wawasan teorinya.
Perkembangan pertanyaan historis tidak saja menuntut peningkatan
teknik penelitian dan sebagainya, tetapi juga mengharuskan para
sejarawan agar lebih memperhatikan masalah penulisan. Biasanya
sejarawan cukup dipuaskan dengan anggapan bahwa penelitian
dengan segala aspeknya itu adalah unsur "ilmu" dari sejarah,
sedangkan cara penyajian adalah unsur "seni". Karena bukankah sifat
komunikatif merupakan unsur yang pokok dari setiap penulisan dan
bukankah pula salah satu tradisi sejarah yang terbaik selalu bernilai
literer yang tinggi? Tetapi, pernahkah sejarawan secara sungguh-
sungguh mendalami masalah penulisan atau .retorik sejarah ini?
Dengan meluasnya pertanyaan dan makin beragamnya corak
jawaban, gaya penceritaan lama perlu ditinjau lagi. Bagaimana "fakta
sejarah" yang beragam dan yang didapatkan dengan berbagai cara
pendekatan itu harus diatur agar terbentuk suatu rekonstruksi yang
utuh dan sistematis? Jadi, diktum yang pernah diucapkan seorang
teoretikus sejarah bahwa sejarah nothing but a story, sejarah hanyalah
suatu kisah, menjadi buyar. Ternyata cara penceritaan, narrative,
dengan plot yang jelas bukan lagi merupakan satu-satunya bentuk
rekonstruksi sejarah. Bentuk lain, yang mungkin kering dan kurang
literer, tetapi bisa jadi dirasakan lebih scientific, yaitu bentuk analisa,
menampakkan dirinya. Pilihan dalam pencarian bentuk telah tersedia.
Historiografi telah pula makin bervariasi.
Mau tak mau sejarawan pun harus lebih memperhatikan
struktur dan gaya penulisannya. Karena, seperti telah disinggung di
atas, penulisan adalah puncak dari usaha pengerjaan sejarah — sejak
pertanyaan mulai diajukan sampai suatu jawaban, yang mungkin
bersifat sementara, didapatkan. Repotnya ialah bahwa pada penulisan
ini pulalah segala apa yang pernah disebut seorang ahli sebagai
"kengauran sejarawan" ('historian's fallacies) tanpa malu-malu bisa
memperlihatkan gayanya. Jadi dalam usaha penulisan, sejarawan
tidak saja harus secermat mungkin memberikan "keterangan historis",
tetapi juga sehati-hati mungkin menghindarkan diri dari
ketergelinciran pada "kengauran" itu.

Historiografi clan kesadaran sejarah


Historiografi bermula dari pertanyaan dan berkembang dari
peningkatan kematangan pertanyaan historis yang diajukan. Tetapi
ini pun belum mencakup semua aspek permasalahan. Dari manakah
pertanyaan yang ditanyakan itu berasal? Pertanyaan yang hanya
didorong oleh rasa ingin tahu, hanyalah akan menghasilkan
historiografi yang bersifat antikuariat, keunggulan jawaban berhenti
dengan kenikmatan yang diberikannya. Tak ada salahnya menikmati
kenikmatan. Tidak salah, secara moral dan tidak pula, secara ilmiah.
Hanya saja, kalau hanya inilah bentuk pertanyaan, maka sukarlah
dibayangkan ilmu sejarah, bahkan semua ilmu, akan mengalami
kemajuan. Kalau demikian, pertanyaan tentulah tidak bisa sekedar
didorong oleh keingintahuan yang antikuariat. Nampaknya pertanyaan
yang diajukan bertolak dari suatu keprihatinan intelektual, suatu
concern, yang mungkin bersifat pribadi, tetapi berlandaskan pada
penghayatan sosial-kultural dan kesadaran aktualitas yang mendalam.
(Sepin tas lalu terau bisa disinggung juga bahwa pertanyaan inilah unsur
yang paling subyektif dari pengerjaan setiap ilmu sosial dan
kemanusiaan). Dari penghayatan kultural inilah sesungguhnya asal-
usul historiografi dapat ditelusuri. Sejarah sebagai usaha
merekonstruksi aspek-aspek tertentu dari kelampauan ternyata adalah
gagasan yang relatif baru dalam sejarah historiografi. Penulisan
sejarah pada mulanya lebih merupakan ekspresi kultural daripada
usaha untuk merekam hari lampau. Dalam konteks ini maka makna
dan fungsi sejarah lebih berarti daripada peristiwa-peristiwa yang
diungkapkan dengan hari lampau itu. Bukan kebenaran historis yang
menjadi tujuan utama, tetapi pedoman dan peneguhan nilai yang perlu
didapatkan. Karena itu dalam historiografi tradisional terjalinlah dengan
erat unsur-unsur sastra, sebagai karya imajinatif, dan mitologi, sebagai
pandangan hidup yang dikisahkan, serta "sejarah", sebagai uraian
peristiwa pada masa lalu.
Dari sudut ini tidaklah mengherankan jika terdapat tradisi
kesejarahan yang berbeda-beda dari berbagai kelompok kesatuan
kultural. Historiografi adalah ekspresi kultural dan pantulan dari
keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang
menghasilkannya. Historiografi yang dihasilkan oleh para literati, yang
dipelihara oleh penguasa, tentu saja bisa diharapkan akan berfungsi
untuk meneguhkan dinasti atau memperkuat legitimasi serta
mempertahankan dasar nilai yang menjadi sandaran ideologis dari
kekuasaan. Hal ini kelihatan, umpamanya, dalam berbagai penulisan
sejarah tradisional di tanah air kita. Historiografi bisa pula
merupakan rekaman tentang segala sesuatu yang pantas dicatat
sebagai bahan pelajaran tentang perilaku yang baik dan sah. Kesan ini
kelihatan pada historiografi tradisional Tiongkok, yang memang
mempunyai kebiasaan untuk merekam. Setiap dinasti yang turun-naik di
Tiongkok bukan saja mencoba merekam hal-hal penting yang perlu
diketahui oleh para "Mandataris Syorga", tetapi juga menulis kembali
sejarah dari dinasti-dinasti yang mendahului. Dalam konteks ini pulalah
bisa dimengerti bahwa apa yang dikatakan tarikh dalam tradisi Islam
tak bisa dengan begitu saja dinamakan sejarah. Tarikh adalah sejarah
yang berlandaskan keagamaan dan bertolak dari hasrat untuk
memperlihatkan kebesaran dan kemahakuasaan Allah.
Karena sifatnya yang seperti ini, maka tradisi penulisan sejarah kritis
sering sekali tidaklah bermula dari transformasi historiografi
tradisional. Sering penulisan sejarah kritis bermula dari pemakaian
bahan-bahan yang diberikan para pelancong, militer, pedagang, dan
misionaris Barat. Barulah kemudian ketika catatan-catatan itu
telah dirasakan tak lagi memadai untuk
zaman-zaman yang jauh lebih awal dan diketahui pula bahwa
dinamika internal dari bangsa-bangsa "Timur" tak bisa hanya dilihat
dari "kejauhan", maka usaha pengerjaan sumber-sumber asli itu mulai
dilakukan. Jadi yang terjadi sesungguhnya bukanlah suatu transformasi,
tetapi konfrontasi dari dua corak penulisan. Meskipun kemudian
penulisan sejarah kritis makin berkembang, namun corak dan
kecenderungan penulisan sejarah yang tradisional tidaklah dengan
begitu saja diakhiri. Hal ini memang memperlihatkan bahwa
pengetahuan serta hasrat untuk mengetahui hari lampau dan
keinginan untuk mendapatkan kearifan darinya tidaklah monopoli
sejarawan akademis.
Sebagai ekspresi kultural, historiografi tradisional memantulkan
pandangan dunia dari masyarakat yang menghasilkannya. Karena itu
genre ini bisa merupakan referensi dalam usaha para pendukungnya
untuk mengerti dan memahami realitas sekitar yang berkembang.
Dengan kata lain, historiografi tradisional, yang merupakan pancaran
dari kesadaran tentang segala hal yang wajar, dapat berfungsi sebagai
kerangka dalam memberi interpretasi terhadap situasi. Jadi tradisi
ini pun menjadi salah satu unsur dalam memilih alternatif tindakan
dari para aktor sejarah. Bukankah tindakan atau perbuatan yang disengaj
a, yang merupakan unsur sejarah itu, bertolak dari interpretasi aktor
terhadap situasi yang dihadapinya? Karena itu, di samping sebagai sumber
sejarah yang diharapkan untuk memberikan berbagai kepastian
tentang fakta-fakta sejarah, sebagai unsur-unsur peristiwa yang
didapatkan melalui proses kritik-sumber, historiografi tradisional
dapat pula dipakai sebagai alat untuk memahami berbagai pola
perilaku kesejarahan dari masyarakat penganutnya.
Meskipun barangkali pada tahap yang relatif sederhana, namun
dalam beberapa hal historiografi tradisional tidaklah terlalu jauh berbeda
dengan filsafat sejarah spekulatif. Boleh jadi historiografi tradisional itu
lebih menekankan fungsi sejarah dalam usaha mendapatkan
kemantapan kosmos, tetapi fungsi ini tidaklah bisa dipisahkan begitu saja
dari makna yang telah diberikan terhadap sejarah. Apakah jadinya
dengan fungsi sejarah, seandainya sejarah itu dianggap tak bermakna?
Bagaimana jadinya kalau semua pengalaman hanyalah maya belaka,
sedangkan tujuan sejarah sesungguhnya terletak pada peniadaan
sejarah itu sendiri? Bagaimana pula kalau sejarah itu dianggap segala-
galanya — maha bermakna — dan tujuannya pun jelas, yaitu
penciptaan suatu sistem yang paling utopis? Kedua sikap yang .
berbeda ini sesungguhnya memperlihatkan persamaan yang
penting — sejarah tidaklah sekedar peristiwa-peristiwa. Makna dan
tujuan sejarah adalah pokok utama yang menjadi permasalahan filsafat
sejarah spekulatif. Dalam lapangan ini beberapa nama besar pun bisa
bermunculan, mulai dari yang mempunyai kecenderungan eskatologis,
yang melihat sejarah menuju pada suatu arah tertentu, sampai kepada
yang siklis, yang melihat sejarah dalam perputaran yang abadi.
Kecenderungan spekulatif selalu menarik, tetapi kaitannya
cukup jauh dari pertumbuhan sejarah sebagai disiplin ilmiah. Sebab
itu ada dua kecenderungan lain yang muncul. Pertama, filsafat formal
dan kritis yang lebih mempersoalkan sifat hakiki ilmu sejarah. Apakah
sejarah bisa disamakan dengan ilmu-ilmu alam? Kalau tidak, apakah
perbedaannya yang esensial? Mungkinkah sejarah mengerti perilaku
manusia sebagaimana yang bisa terlihat saja artinya sebagaimana
catatan mengatakannya — ataukah diperlukan pendekatan lain yang
lebih memungkinkan untuk mengerti dan memahami semua itu?
Sebab itulah, umpamanya pendekatan verstehen, pemahaman-dari-
dalam, diperkenalkan. Kedua, filsafat analitis. Masalah utama
persoalan metodologis dan teoretis dalam pengerjaan sejarah.
Mestikah, umpamanya, realitas dan logika dianggap sebagai dua hal
yang terpisah ataukah keduanya tak bisa dipisahkan dalam pengerjaan
sejarah? Dan, apakah yang disebut "kebenaran sejarah" itu? Apakah
persyaratan yang perlu diperhatikan jika hubungan kausal yang
diajukan bisa dipertanggungjawabkan secara rasional? Dengan begini,
tentu saja epistemologi ikut memainkan peranan.

Sejarah dan sejarawan


Filsafat sejarah mungkin dirasakan tak langsung menyentuh
masalah-masalah aktual dalam penelitian dan penulisan sejarah.
Meskipun demikian, filsafat sejarah bukan saja sekali-kali
mengingatkan sejarawan akan perlunya peninjauan segala praduga
ilmiah atau kultural yang dimilikinya serta mempertanyakan kembali
segala kecenderungan metodologisnya, tetapi juga, memberi
kemungkinan kepadanya untuk tetap menjaga fitrah dirinya —
sejarawan bukanlah sekedar tukang, tetapi ilmuwan, yang sadar akan
tanggung jawabnya sebagai cendekiawan. Dengan kesadaran inilah
is lebih dimungkinkan untuk mengajukan pertanyaan yang relevan, yang
bertolak dari suatu keprihatian kecendekiaan dan kepekaan akan
aktualitas. Pertanyaan muncul dan terumuskan pada saat sejarawan
menghadapkan dirinya kepada lingkungannya, masyarakatnya,
bangsanya. Dan katakanlah segala yang serba luhur dan agung itu.
Buku ini dengan serba ringkas menyentuh berbagai aspek ilmu
sejarah dan historiografi. Dalam buku ini terhampar perkembangan
ilmu sejarah dan peralihan tradisi penulisan sejarah serta
kegelisahan metodologis dan teoretis, akibat perkembangan
pertanyaan dan kesadaran akan aktualitas. Di samping informasi
berbagai hal tentang ilmu sejarah dan historiografi, suatu kearifan dalam
pengerjaan ilmu ini dapat pula didapatkan. Dari buku ini kelihatan
betapa perlunya sejarawan menjadi seorang spesialis untuk lapangan-
lapangan tertentu. Namun keberhasilan dalam spesialisasi itu lebih
dimungkinkan oleh adanya kerja sama ataupun pertolongan dari
disiplin lain dan spesialis lain.
Selain hal praktis ini; ada lagi yang bisa ditarik dari keseluruhan
buku ini. Pertama, tiada pilihan lain bagi sejarawan daripada selalu
memperhatikan dan meninj au kembali sumber-sumber sejarah. Tanpa
sumber dan kritik sumber sejarah hanyalah suatu spekulasi, yang
memungkinkannya untuk tergelincir pada mitologi. Kedua,
peningkatan kecermatan teknis serta perluasan serta pendalaman
wawasan metodologis dan teoretis juga tak bisa dihindarkan, jika sejarah
yang dikerjakan dapat diharapkan untuk mengadakan rekonstruksi yang
utuh serta analisa yang mempunyai kemampuan keterangan yang
kuat. Namun semua itu belumlah memadai kalau sekiranya si
sejarawan terlepas dari lingkungan sosialnya. Semua itu juga tidak
memadai seandainya sejarawan terlepas dan melepaskan diri dari
keprihatian sosial dan kemanusiaan. Kesadaran akan aktualitas inilah
yang sebenarnya membentuk pertanyaan yang relevan yang tidak
berhenti pada kenikmatan antikuariat. Sejarah, memang, barulah "ada"
setelah pertanyaan diajukan. (Jadi ketepatan dikotomi yang terlalu sering
diulang-ulang tentang beda "fakta" dan "interpretasi" perlu
dipersoalkan lagi). Akhirnya, dengan dibekali oleh pengenalan akan
berbagai corak historiografi, dunia teori dan filsafat sejarah, sekali-kali
sejarawan seyogianya merenungkan sifat, fungsi, serta arah
perkembangan disiplinnya: Sebab kesediaan merenung inilah yang
akan memungkinnya untuk menjaga integritasnya sebagai teknikus,
ilmuwan, dan cendekiawan.

Anda mungkin juga menyukai