Anda di halaman 1dari 50

Peran Individu di Dalam Sejarah

G.V. Plekhanov (1898)

I
Pada paruh kedua tahun tujuhpuluhan [1870], almarhum Kablitz
menulis sebuah artikel berjudul, Akal dan Indera sebagai Faktor-Faktor
Progres, dimana, merujuk kepada Spencer, dia mengajukan bahwa indera
memainkan peran utama dalam progres manusia, dan bahwa akal hanya
memainkan sebuah peran sekunder dan cukup subordinatif. Seorang “ahli
sosiologi ternama”[1] membalas Kablitz, mengekspresikan kegelian dan
keterkejutan pada sebuah teori yang menempatkan akal “di sandaran kaki”.
“Ahli sosiologi ternama” ini benar tentu saja dalam membela akal. Akan
tetapi, dia akan lebih benar lagi bila saja dia, tanpa memaparkan detil-detil
pertanyaan yang dikemukan oleh Kablitz, menunjukkan bahwa metode
presentasinya adalah mustahil dan tak diijinkan.
Memang, teori “faktor-faktor” dalam dirinya sendiri adalah teori yang
tidak kokoh, karena ia seenaknya mengambil berbagai sisi kehidupan sosial,
membuat hipotesa dari mereka, dan mengubah mereka menjadi kekuatan-
kekuatan yang unik, yang dari berbagai sisi dan dengan kesuksesan yang tak
sama menarik manusia sepanjang jalan progres. Tetapi teori ini lebih tidak
kokoh dalam bentuk yang dipresentasikan oleh Kablitz, yang mengubahnya
menjadi sebuah hipotesa sosiologi yang unik, bukan berbagai sisi aktivitas
manusia sosial, tetapi berbagai ranah pikiran manusia. Ini adalah sebuah
pilar abstraksi yang absolut; lebih dari ini tidak seorangpun dapat
melewatinya, karena di sana terletak kerajaan absurditas yang konyol. Ke
sinilah “ahli sosiologi ternama” itu seharusnya menarik perhatian Kablitz
dan para pembacanya.


https://www.marxists.org/indonesia/archive/plekhanov/1898PeranIndividu.htm
Mungkin, setelah mengungkapkan kedalaman abstraksi yang ditemukan
oleh Kablitz dalam usahanya untuk mencari “faktor” utama dalam sejarah,
sang “ahli sosiologi ternama” itu dapat membuat kontribusi untuk kritik
terhadap teori “faktor-faktor” ini. Ini akan sangat berguna bagi kita semua
pada saat itu. Tetapi dia tidak mampu melakukan misi ini. Dia sendiri
percaya pada teori tersebut, berbeda dari Kablitz hanya dalam
kecenderungannya pada eklestisme, dan sebagai konsekuennya semua
“faktor-faktor” bagi dia adalah sama pentingnya. Lebih lanjut, watak
eklektik dari pemikirannya menemukan ekspresi yang teramat kuat dalam
serangannya terhadap dialektika materialisme, yang dia anggap sebagai
sebuah doktrin yang mengorbankan semua faktor-faktor lain untuk “faktor”
ekonomi dan mereduksi peran individu dalam sejarah menjadi nol. Tidak
pernah terpikir oleh sang “ahli sosiologi ternama” ini bahwa sudut pandang
“faktor-faktor” adalah asing bagi dialektika materialisme, dan satu-satunya
yang sama sekali tidak mampu berpikir secara logis dapat melihat di
dalamnya pembenaran yang disebut quietism[2]. Selain itu, kekeliruan yang
dibuat oleh “ahli sosiologi ternama” kita ini bukanlah satu hal yang unik;
banyak orang sudah membuat kekeliruan yang sama, sedang membuatnya,
dan mungkin, akan terus membuatnya.
Kaum Materialis dituduh condong ke quietism bahkan sebelum mereka
membentuk konsepsi dialektis dari alam dan sejarah. Tanpa membuat satu
perjalanan ke “masa lalu yang lama”, kita bisa mengingat kontroversi antara
dua ilmuwan Inggris ternama, Priestley[3] dan Price[4]. Menganalisa teori-
teorinya Priestley, Price berargumen bahwa materialisme tidaklah
kompatibel dengan konsep kebebasan kehendak, dan bahwa materialisme
menihilkan semua aktivitas mandiri dari individu. Dalam jawabannya,
Priestley merujuk pada pengalaman sehari-hari. Dia tidak akan berbicara
mengenai dirinya sendiri, begitu katanya, walaupun dia bukan makhluk yang
paling apati, tetapi dimanakah seorang bisa menemukan semangat gairah
yang lebih besar, lebih banyak aktivitas, lebih banyak kekuatan dan
keteguhan dalam mengejar tujuan yang teramat penting kecuali di antara
mereka yang percaya pada doktrin keniscayaan? Priestley berbicara
mengenai sekte agama demokratis[5] yang dikenal bernama Kristen
Keniscayaan[6]. Kami tidak tahu apakah sekte ini seaktif Priestley, siapa saja
yang adalah anggotanya. Tetapi ini tidak penting.
Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa konsepsi materialis mengenai
kehendak manusia adalah cocok degan aktivitas praktis yang paling
berenerji. Lanson[7] mengamati bahwa “semua doktrin yang memberikan
penekanan paling besar pada kehendak manusia akan mengatakan, secara
prinsipil, bahwa kehendak adalah impoten; mereka menolak kehendak bebas
dan membuat dunia menjadi fatalis.”[8] Lanson keliru dalam berpikir bahwa
setiap penolakan atas apa yang disebut kehendak bebas akan berakhir ke
fatalisme; tetapi ini tidak mencegahnya dari mengakui sebuah fakta historis
yang sangat menarik. Memang, sejarah menunjukkan bahwa bahkan
fatalisme tidak selalu menjadi penghalang dari aksi yang penuh semangat
dan praktis; sebaliknya, dalam epos tertentu fatalisme adalah basis psikologi
yang dibutuhkan untuk aksi semacam itu. Sebagai contohnya, kami akan
menunjuk pada kaum Puritan[9], yang dalam semangatnya melebihi semua
partai-partai yang ada di Inggris pada abad ke-17; dan para pengikut Nabi
Muhammad, yang dalam waktu yang pendek menundukkan wilayah bumi
yang besar, dari India hingga Spanyol. Mereka yang berpikir bahwa segera
setelah kita menjadi yakin akan keniscayaan serangkaian peristiwa maka kita
kehilangan semua kemampuan psikologis untuk merealisasikan, atau
mencegah, peristiwa-peristiwa ini, sangatlah keliru.[10]
Di sini, semua tergantung pada apakah aktivitas saya merupakan sebuah
tautan tak terelakkan di dalam rantai peristiwa-peristiwa yang tak terelakkan.
Bila iya, maka saya akan lebih tidak goyah dan tindakan-tindakan saya akan
lebih teguh. Tidak ada yang mengejutkan di sini. Ketika kami mengatakan
bahwa seorang individu tertentu menganggap tindakannya sebagai sebuah
tautan tak terelakan di dalam rantai peristiwa-peristiwa tak terelakkan,
maksud kami adalah bahwa bagi individu ini ketiadaan kehendak bebas
berarti ketidakmampuan untuk tidak bertindak, dan bahwa ketiadaan
kehendak bebas ini terrefleksikan dalam pikirannya sebagai kemustahilan
untuk bertindak berbeda dari yang dilakukannya sekarang. Inilah mood
psikologis yang dapat diekspresikan oleh kata-kata terkenal dari Luther[11]:
“Di sini aku berdiri, aku tidak dapat melakukan yang lainnya,” dan
karenanya manusia menunjukkan keberanian yang tak terkira, melakukan
hal-hal yang luar biasa. Hamlet[12] tidak pernah tahu mood ini; inilah
mengapa dia hanya bisa mengeluh dan berrefleksi. Dan inilah mengapa
Hamlet tidak akan pernah menerima sebuah filosofi dimana kebebasan
hanyalah keniscayaan yang tertransformasikan ke dalam pikiran. Seperti
yang dikatakan oleh Fichte[13]: “Seperti orangnya, begitu juga filosofinya.”

II
Beberapa orang telah mengganggap serius pernyataan Stammler
mengenai kontradiksi yang tidak terpecahkan yang katanya adalah
karakteristik dari sebuah teori sosial-politik dari Eropa Barat [Marxisme].
Yang ada di pikiran kami adalah contoh yang dikenal baik, yakni mengenai
gerhana bulan. Pada kenyataannya, ini adalah contoh yang sangat konyol.
Kombinasi kondisi yang diperlukan untuk menyebabkan gerhana bulan
tidak, dan tidak dapat dalam situasi apapun, mengikutsertakan tindakan
manusia; dan, untuk alasan ini saja, sebuah kelompok untuk membantu
gerhana bulan hanya dapat muncul di rumah sakit jiwa. Bahkan bila tindakan
manusia merupakan salah satu kondisi untuk gerhana bulan, tidak akan ada
orang yang ingin melihat gerhana bulan akan bergabung dengan kelompok
gerhana bulan bila mereka yakin bahwa gerhana bulan akan terjadi tanpa
bantuan mereka. Dalam hal ini, ”quietism mereka” hanyalah abstensi dari
tindakan yang tidak dibutuhkan, atau tidak berguna, dan tidak ada
hubungannya dengan quietism yang sesungguhnya.

Supaya contoh gerhana bulan ini berhenti menjadi tidak masuk akal
dalam kasus yang kita sebut di atas, maka ia harus diganti sepenuhnya.
Harus dibayangkan kalau sang bulan dianugerahi dengan sebuah pikiran, dan
bahwa posisinya di angkasa, yang menyebabkan gerhananya, tampak
baginya sebagai buah dari penentuan kehendak bebasnya sendiri; bahwa ini
tidak hanya memberikannya kepuasan yang besar, tetapi juga diperlukan
untuk kedamaian hatinya; dan inilah mengapa dia selalu dengan bergairah
mencoba untuk menduduki posisi ini.[14] Setelah membayangkan ini semua,
kita harus menanyakan sebuah pertanyaan: Apa yang akan dirasakan oleh
sang bulan bila dia menemukan, pada akhirnya, bahwa bukanlah kehendak
bebasnya, dan bukanlah “keinginannya”, yang menentukan gerakannya di
angkasa, tetapi justru sebaliknya bahwa gerakannya menentukan kehendak
dan “keinginannya”? Menurut Stammler, penemuan semacam ini akan
membuatnya tidak mampu bergerak, kecuali kalau dia mampu mengeluarkan
dirinya dari masalah sulit ini dengan kontradiksi logika tertentu. Tetapi
asumsi semacam ini tidak ada dasarnya sama sekali. Penemuan ini dapat
menjadi sebuah alasan formal untuk emosi buruknya, untuk merasa tidak
harmonis dengan dirinya sendiri, untuk kontradiksi antara “keinginannya”
dan realitas mekanikal. Tetapi karena kita mengasumsikan bahwa “kondisi
psikologi sang bulan” secara umum, ditentukan, pada analisa terakhir, olen
gerakannya, maka sebab dari kekacauan dari kedamaian pikirannya harus
dicari dari gerakannya. Setelah pemeriksaan yang seksama, mungkin
ditemukan bahwa ketika bulan ada pada titik apogee (titik orbit terjauh dari
bumi), dia merasa sedih karena kehendaknya tidaklah bebas; dan ketika dia
ada di titik perigee (titik orbit terdekat dari bumi), situasi ini menjadi sebab
baru dan formal untuk kebahagiaannya dan semangatnya yang baik.
Mungkin, yang sebaliknya dapat terjadi; mungkin dapat dipikirkan bahwa
sang bulan menemukan cara untuk mendamaikan kehendak bebas dengan
keniscayaan, bukan di titik perigeenya, tetapi di titik apogeenya.
Apapun itu, kedamaian semacam itu tidak diragukan mungkin terjadi;
sadar akan keniscayaan cukup kompatibel dengan aksi yang paling
bersemangat dan praktikal. Bagaimanapun, ini telah dibuktikan oleh sejarah
sampai saat ini. Manusia yang menolak kehendak bebas sering melebihi
orang-orang di sekelilingnya dalam hal kekuatan kehendak, dan menekankan
kehendaknya sepenuh-penuhnya. Banyak contoh yang bisa kita kutip.
Mereka diketahui secara universal. Contoh-contoh ini bisa dilupakan, seperti
yang dilakukan oleh Stammler, hanya bila seseorang secara sengaja menolak
melihat kenyataan sejarah sebagaimana adanya. Sikap ini jelas terlihat di
antara kaum subjektivis[15], contohnya, dan juga di antara kaum filistin
Jerman. Namun, kaum filistin dan subjektivis bukanlah manusia, mereka
hanyalah bayangan, seperti yang akan dikatakan oleh Belinsky[16].
Namun, mari kita teliti lebih dekat kasus dimana aksi seorang manusia –
di masa lalu, masa kini, atau masa depan – tampak baginya sepenuhnya
diwarnai oleh keniscayaan. Kita sudah tahu bahwa manusia-manusia seperti
ini, yang mengganggap dirinya sebagai pembawa sabda Tuhan, seperti
misalnya Nabi Muhammad, yang menggangap dirinya sebagai terpilih oleh
takdir yang tidak dapat dihindari, seperti misalnya Napoleon, atau yang
mengganggap dirinya sebagai ekspresi dari kekuatan progres sejarah yang
tak dapat dibendung, seperti misalnya sejumlah figur publik pada abad ke-
19, menunjukkan kekuatan kehendak yang hampir fundamental, dan
menyapu semua rintangan dari jalannya seperti rumah kartu yang didirikan
oleh Hamlet dan Hamletkin[17],[18]. Tetapi kasus ini sekarang menarik buat
kita dari sudut pandang lain, yakni: Ketika kesadaran akan ketiadaan
kehendak bebas saya menunjukkan dirinya pada saya hanya dalam bentuk
kemustahilan subjektif dan objektif untuk bertindak berbeda dari cara saya
sekarang sedang bertindak, dan ketika, pada saat yang sama, tindakan-
tindakan saya bagi saya adalah tindakan yang paling diperlukan dari semua
tindakan lain yang mungkin, maka dari itu di dalam pikiran saya keniscayaan
menjadi teridentifikasikan dengan kebebasan dan kebebasan
teridentifikasikan dengan keniscayaan; dan maka dari itu, saya tidak-bebas
hanya dalam artian bahwa saya tidak dapat mengganggu identifikasi antara
kebebasan dan keniscayaan ini, saya tidak dapat mempertentangkan mereka
satu sama lain, saya tidak dapat merasakan belenggu keniscayaan. Tetapi
ketiadaan kebebasan seperti ini pada saat yang sama merupakan
manifestasinya yang paling penuh.
Zimmel mengatakan bahwa kebebasan adalah selalu kebebasan dari
sesuatu, dan ketika kebebasan tidak dipikirkan sebagai lawan dari belenggu,
maka kebebasan tersebut tidak ada artinya. Tentu saja ini benar. Tetapi,
pernyataan yang dangkal dan mendasar ini tidak bisa menjadi sebuah
landasan untuk menolak tesis bahwa kebebasan adalah berarti sadar akan
keniscayaan, yang merupakan salah satu penemuan yang paling brilian yang
pernah dibuat oleh pemikiran filosofi. Definisi Zimmel terlalu sempit; ia
hanya diterapkan untuk kebebasan dari belenggu eksternal. Selama kita
hanya mendiskusikan belenggu seperti ini, maka akan sangat konyol untuk
mengidentifikasikan kebebasan dengan keniscayaan: seorang pencopet tidak
bebas untuk mencuri sapu tangan Anda sementara Anda mencegahnya untuk
melakukan itu dan hanya sampai dia telah mengatasi perlawanan Anda.
Selain konsepsi kebebasan yang dasar dan dangkal ini, ada konsepsi yang
jauh lebih dalam. Bagi mereka yang tidak mampu berpikir secara filosofis,
konsep ini tidak eksis sama sekali; dan mereka yang mampu berpikir secara
filosofis dapat memahaminya hanya setelah mereka menanggalkan dualisme
dan menyadari bahwa, berkebalikan dengan asumsi dualisme, tidak ada
jurang antara subjek dan objek.
Kaum subjektivis Rusia mengedepankan prinsip utopisnya melawan
realitas kapitalis kita dan tidak bergerak lebih jauh dari sini. Kaum
subjektivis terjebak dalam lumpur dualisme. Prinsip kaum subjektivis Rusia
lebih menyerupai realitas kapitalis daripada prinsip dari yang disebut
“murid-murid” Rusia [Kaum Marxis]. Kendati demikian, “murid-murid” ini
telah menemukan sebuah jembatan yang menyatukan prinsipnya dengan
realitas. Si “murid-murid” telah mengangkat dirinya ke monisme[19]. Dalam
pendapat mereka, dalam perkembangannya kapitalisme akan bergerak ke
negasinya sendiri dan ke realisasi prinsipnya “murid-murid” Rusia – dan
bukan hanya Rusia saja. Ini adalah keniscayaan sejarah. Si “murid-murid”
berfungsi sebagai instrumen dari keniscayaan ini dan tidak dapat tidak
melakukan ini, karena status sosialnya dan mentalitas dan tabiatnya, yang
diciptakan oleh statusnya.
Ini juga adalah satu aspek keniscayaan. Karena status sosialnya telah
memberikan dia karakter ini dan bukan yang lainnya, dia bukan hanya
berfungsi sebagai sebuah instrumen keniscayaan dan tidak dapat tidak
melakukan ini, tetapi juga dia dengan bergairah ingin, dan tidak dapat tidak
ingin menjadi instrumen keniscayaan. Ini adalah aspek kebebasan, dan
terlebih dari, aspek kebebasan yang telah tumbuh dari keniscayaan, dalam
kata lain, untuk menjelaskannya dengan lebih tepat, ini adalah kebebasan
yang identikal dengan keniscayaan – ini adalah keniscayaan yang telah
tertransformasikan menjadi kebebasan.[20] Kebebasan ini adalah juga
kebebasan dari sejumlah belenggu; ia juga adalah anti-thesis dari sejumlah
restriksi. Definisi yang dalam tidak menyangkal definisi yang dangkal, tetapi
melengkapinya, dan mengikutsertakan mereka di dalamnya.
Tetapi belenggu macam apa, restriksi macam apa, yang dipertanyakan
dalam kasus ini? Ini jelas: belenggu moral yang mengikat enerji dari mereka
yang belum menanggalkan dualisme; restriksi yang diderita oleh mereka
yang belum mampu menjembatani jurang antara ideal dan realitas. Sampai
individu tersebut dapat memenangkan kebebasan ini dengan usaha heroik
dalam pemikiran filosofi, dia tidak sepenuhnya bebas, dan penderitaan
mentalnya adalah harga kemaluan yang dia bayar untuk keniscayaan
eksternal yang berdiri melawannya. Tetapi segera setelah individu ini
menanggalkan rantai belenggu yang menyakitkan dan memalukan ini, dia
akan lahir ke dalam sebuah kehidupan yang baru, penuh, dan yang tidak
pernah dia alami; dan tindakan bebasnya akan menjadi ekspresi keniscayaan
yang sadar dan bebas.[21] Kemudian dia akan menjadi sebuah kekuatan
sosial yang besar; dan tidak ada yang bisa, dan tidak ada yang akan,
menghalanginya dari:
Mendobrak kebohongan yang menipu
Seperti sebuah badai kemarahan surga ...

III
Sekali lagi, menjadi sadar akan keniscayaan yang absolut dari sebuah
fenomena tertentu hanya dapat meningkatkan enerji dari seorang manusia
yang bersimpati dengannya dan yang mengganggap dirinya sebagai salah
satu kekuatan yang melahirkannya. Bila manusia semacam ini, yang sadar
akan keniscayaan fenomena ini, berpangku tangan dan tidak melakukan apa-
apa, dia akan menunjukkan bahwa dia tidak memahami aritmetika.
Mari kita bayangkan bahwa fenomena “A” harus terjadi di bawah
jumlah total dari syarat-syarat tertentu. Kamu telah membuktikan kepada
saya bahwa sebagian dari jumlah syarat-syarat ini telah eksis dan sebagian
lainnya akan eksis dalam waktu tertentu, “T”. Karena yakin dengan ini, “I”,
seorang yang bersimpati dengan fenomena “A”, menyatakan: “Bagus!” dan
lalu pergi tidur sampai tibanya hari bahagia dari peristiwa yang kamu
prediksikan. Apa hasilnya? Hasilnya adalah berikut ini: dalam
perhitunganmu, jumlah total dari syarat-syarat yang diperlukan untuk
membawa fenomena “A” mengikutsertakan aktivitas saya, yang setara
dengan “a”. Namun, karena saya tidur lelap, jumlah total syarat-syarat yang
dibutuhkan untuk fenomena tersebut pada waktu “T” akan menjadi “S”
minus “a” (“S-a”), dan bukan “S”, yang merubah situasi ini. Mungkin tempat
saya akan diambil oleh orang lain, yang tergerak oleh apati saya, yang
menurutnya jahat. Dalam kasus ini, kekuatan “a” akan digantikan oleh
kekuatan “b”, dan bila “a” adalah sama dengan “b”, maka jumlah total
syarat-syarat untuk “A” akan sama dengan “S”, dan fenomena “A” akan
terjadi, setelah waktu “T”
Tetapi bila kekuatan saya tidak bisa dianggap setara dengan nol, bila
saya adalah seorang pekerja yang bertalenta dan mampu, dan tidak ada yang
menggantikan saya, maka kita tidak akan mempunyai jumlah total “S”, dan
fenomena A akan terjadi lebih telat daripada yang kita asumsikan, atau tidak
sepenuhnya seperti yang kita harapkan, atau ia tidak akan terjadi sama
sekali. Ini adalah jelas seperti terang benderang siang hari; dan bila saya
tidak memahami ini, bila saya berpikir bahwa “S” akan tetap “S” bahkan
setelah saya digantikan, ini hanya karena saya tidak bisa menghitung. Tetapi
apakah saya adalah satu-satunya orang yang tidak bisa menghitung? Kamu,
yang meramalkan bahwa jumlah total “S” akan terpenuhi setelah waktu “T”,
tidak meramalkan bahwa saya akan tidur segera setelah percakapan saya
dengan kamu; kamu yakin bahwa saya akan tetap menjadi pekerja yang baik
hingga akhir – kekuatan ini ternyata lebih tidak dapat diandalkan seperti
yang kamu pikir. Maka dari itu, kamu juga menghitung dengan buruk. Tetapi
mari kita anggap bahwa kamu tidak membuat kesalahan apapun, bahwa
kamu telah memperhitungkan segalanya. Dalam hal ini, perhitunganmu akan
mengambil bentuk seperti ini: kamu mengatakan bahwa pada waktu “T”
jumlah “S” akan terpenuhi. Jumlah total dari syarat-syarat ini akan
mengikutsertakan penggantian saya sebagai besaran negatif; dan ini juga
akan mengikutsertakan, sebagai besaran positif, efek dari manusia-manusia
yang pendiriannya kuat bahwa perjuangan dan ideal mereka adalah ekspresi
subjektif dari keniscayaan subjektif. Dalam hal ini, jumlah total “S” pada
akhirnya akan terpenuhi pada waktu yang telah kamu tunjuk, dan fenomena
A akan terjadi.
Saya rasa ini jelas. Tetapi bila ini jelas, mengapa saya kebingungan oleh
fakta bahwa fenomena A adalah tidak terelakkan? Mengapa bagi saya fakta
ini mengutuk saya ke ketidakgiatan? Mengapa, dalam mendiskusikannya,
saya lupa aturan sederhana aritmetika? Mungkin karena situasi dimana saya
dibesarkan, saya sudah memiliki kecenderungan yang sangat kuat ke
ketidakgiatan dan percakapan saya dengan kamu adalah setetes air yang
membuat cangkir air kecenderungan ini tumpah ruah. Begitu saja. Hanya
dalam pengertian ini – sebagai sebab yang mengungkapkan kegoyahan
moral dan ketidakgunaan saya – kesadaran akan keniscayaan memainkan
peran. Ia tidak dapat dianggap sebagai penyebab dari kegoyahan moral ini;
penyebab ini adalah situasi dari mana saya dibesarkan. Dan jadi – aritmetika
adalah sains yang sangat terhormat dan berguna, yang hukumnya tidak boleh
dilupakan bahkan oleh – terutama menurut saya oleh – kaum filsuf.
Tetapi apa efek dari kesadaran akan keniscayaan sebuah fenomena
tertentu terhadap seorang manusia yang teguh yang tidak bersimpati
dengannya dan menolak fenomena ini? Di sini situasinya agak berbeda.
Sangat mungkin bahwa ini akan melemahkan semangat perlawanannya.
Tetapi kapan musuh dari fenomena tertentu menjadi yakin bahwa fenomena
ini adalah tidak terelakkan? Ketika syarat-syarat yang mendukungnya
menjadi berjumlah sangat banyak dan sangat kuat. Realisasi dari musuh-
musuhnya bahwa fenomena ini adalah tidak terelakkan dan pelemahan dari
enerji perlawanan mereka hanyalah manifestasi dari kekuatan syarat-syarat
yang mendukungnya. Manifestasi macam ini, dalam gilirannya, adalah
bagian dari syarat-syarat yang mendukung.
Tetapi semangat perlawanan tidak akan melemah di antara semua
musuh-musuh; di antara beberapa dari mereka, kesadaran bahwa fenomena
ini adalah tak terelakkan akan membuat perlawanan menjadi semakin besar
dan mengubahnya menjadi semangat keputusasaan. Sejarah secara umum,
dan sejarah Rusia khususnya, menyediakan tidak sedikit contoh-contoh dari
semangat macam ini. Kami harap para pembaca dapat mengingat contoh-
contoh ini tanpa bantuan kami.
Di sini saya diinterupsi oleh Mr. Kareyev, yang, tentu saja tidak setuju
dengan pandangan kami mengenai kebebasan dan keniscayaan dan, terlebih
lagi, tidak mendukung bias kami akan “ekstrimitas” yang dapat ditempuh
oleh figur-figur besar, kendati demikian, senang membaca di halaman jurnal
kami gagasan bahwa individu dapat menjadi sebuah kekuatan sosial yang
besar. Profesor ini dengan bahagia mengatakan: “Saya sudah selalu
mengatakan ini!” Dan ini benar. Mr. Kareyev, dan semua kaum subjektivis,
selalu menaruh peran yang teramat penting kepada individu di dalam
sejarah. Dan, ada satu waktu ketika mereka mendapatkan simpati yang
cukup besar di antara kaum muda yang maju yang dipenuhi dengan
kehendak luhur untuk bekerja demi kesejahteraan masyarakat dan, oleh
karenanya, secara alami cenderung memberikan signifikansi yang besar pada
inisiatif individual.
Akan tetapi, pada esensinya, kaum subjektivis tidak pernah mampu
menyelesaikan, atau bahkan memaparkan dengan baik, masalah peran
individu di dalam sejarah. Melawan pengaruh hukum progres sosio-historis,
mereka mengedepankan “aktivitas-aktivitas individu-individu yang
berpikiran kritis,” dan dari situ menciptakan sebuah spesies yang baru dari
teori “faktor-faktor”: individu yang berpikiran kritis adalah satu faktor dari
progres ini; hukumnya adalah faktor yang lain. Ini menyebabkan sebuah
ketidaksesuaian yang ekstrim, yang dapat diterima selama perhatian dari
“individu-individu” yang aktif ini terkonsentrasikan pada masalah-masalah
sehari-hari yang praktis dan mereka tidak punya waktu untuk memikirkan
masalah-masalah filosofi. Tetapi ketenangan yang menyusul pada tahun
80an memberikan mereka yang mampu berpikir waktu luang untuk refleksi
filosofi, dan semenjak itu doktrin subjektivis bocor dimana-mana, bahkan
luluh lantak, seperti jubah megah Acacii Acacievich[22]. Tidak ada
tambalan apapun yang akan berguna, dan satu persatu orang-orang yang
berpikir mulai menolak subjektivisme sebagai sebuah doktrin yang jelas dan
sepenuhnya tidak kokoh.
Seperti yang biasa terjadi dalam kasus seperti ini, reaksi melawan
doktrin ini menyebabkan beberapa musuhnya untuk berangkat ke posisi yang
ekstrim. Sementara beberapa kaum subjektivis, yang berusaha memberikan
peran yang paling luas kepada “individu-individu” di dalam sejarah,
menolak untuk mengakui progres historis umat manusia sebagai sebuah
hukum yang mengekspresikan proses, beberapa dari musuh mereka
kemudian, yang berusaha memaparkan dengan lebih tajam karakter jelas dari
progres ini, terbukti siap untuk melupakan bahwa manusia-manusia
membuat sejarah, dan, oleh karenanya, aktivitas individu-individu tidak
dapat tidak menjadi penting di dalam sejarah. Mereka menyatakan bawah
individu adalah kuantitas yang dapat diabaikan. Dalam teori, posisi ekstrim
ini sama tidak-dapat-terima seperti posisi yang diambil oleh kaum
subjektivis yang lebih fanatik. Sama tidak kokohnya untuk mengorbankan
tesis untuk anti-tesis seperti halnya melupakan anti-tesis demi tesis. Cara
pandang yang tepat dapat ditemukan hanya ketika kita berhasil menyatukan
titik-titik kebenaran yang terkandung di dalam mereka menjadi sebuah
sintesa.[23]

IV
Masalah ini telah menarik perhatian kami untuk waktu yang cukup
lama, dan kami telah lama ingin mengundang pembaca kami untuk
bergabung dengan kami untuk menyelesaikannya. Akan tetapi, kami
terhalangi oleh satu kekhawatiran: kami berpikir bahwa mungkin para
pembaca kami telah menyelesaikan masalah ini sendirinya dan bahwa
proposal kami akan terlambat.
Kekhawatiran ini sekarang telah terbukti salah. Para sejarahwan Jerman
telah menghilangkan kekhawatiran ini untuk kami. Kami cukup serius dalam
mengatakan ini. Kenyataannya adalah bahwa belakangan ini ada kontroversi
yang cukup hangat yang telah berlangsung di antara sejarahwan Jerman
mengenai figur-figur besar di sejarah. Beberapa telah cenderung
menganggap aktivitas politik dari figur-figur besar ini sebagai sumber utama
dan hampir sebagai satu-satunya sumber dari perkembangan sejarah,
sementara yang lain telah menekankan bahwa posisi semacam ini berat-
sebelah dan bahwa ilmu sejarah harus memiliki pandangan, bukan hanya
aktivitas dari figur-figur besar, dan bukan hanya sejarah politik, tetapi juga
kehidupan sejarah secara keseluruhan (das Ganze des geschichtilichen
Lebens).
Salah satu perwakilan dari tendensi yang belakangan ini adalah Karl
Lamprecht[24], pengarang Sejarah Rakyat Jerman. Musuh Lamprecht
menuduhnya sebagai “kolektivis” dan materialis, dia bahkan ditaruh
sebanding dengan – diktum buruk – “ateis Sosial Demokratik”, karena dia
mengekspresikannya dalam menutup debat ini. Ketika kami menjadi tahu
pandangannya, kami menemukan bahwa tuduhan yang dilemparkan pada
orang terpelajar yang malang ini sama sekali tidak ada landasannya. Pada
saat yang sama kami menjadi yakin bahwa para sejarahwan Jerman hari-ini
tidak mampu memecahkan masalah peran individu di dalam sejarah. Kami
kemudian memutuskan bahwa kami memiliki hak untuk berasumsi bahwa
masalah ini belumlah terpecahkan bahkan untuk sejumlah pembaca Rusia,
dan bahwa sesuatu masih bisa dikatakan mengenainya yang tidak akan sama
sekali kekurangan ketertarikan teoritis dan praktis.
Lamprecht mengumpulan sekumpulan koleksi (eine artige Sammlung,
seperti yang dia ekspresikan) pandangan-pandangan dari negarawan-
negarawan mengenai aktivitas mereka di dalam lingkungan sejarah di mana
mereka berada; namun dalam polemiknya dia membatasi dirinya untuk saat
itu pada referensi-referensi beberapa pidato dan opini Bismarck[25]. Dia
mengutip kalimat-kalimat berikut ini, yang diutarakan oleh Kanselir Besi di
Jerman Reichstag Utara pada tanggal 16 April 1869:
“Saudara-saudara, kita tidak dapat mengabaikan sejarah masa lalu atau
menciptakan masa depan. Saya ingin memperingatkan kalian mengenai
kesalahan yang menyebabkan orang memajukan jarum jam mereka, karena
mereka berpikir dengan demikian mereka dapat mempercepat laju waktu.
Pengaruh saya terhadap peristiwa-peristiwa yang menguntungkan saya
biasanya dilebih-lebihkan; tetapi tidak pernah terlintas di pikiran siapapun
untuk menuntut bahwa saya harus membuat sejarah. Saya tidak dapat
melakukan ini bahkan bersama dengan kalian, walaupun bersama-sama kita
dapat menentang dunia. Kita tidak dapat membuat sejarah; kita harus
menunggunya sementera sejarah dibuat. Kita tidak akan membuat buah
menjadi matang dengan menaruhnya di bawah panas lampu; dan bila kita
memetik buah itu sebelum ia matang kita hanya akan mencegah
pertumbuhannya dan merusaknya.”
Merujuk pada bukti Joly, Lamprecht juga mengutip pendapat-pendapat
yang diekspresikan oleh Bismarck lebih dari sekali selama peperangan
Franco-Prussia[26]. Lagi, gagasan utama yang terdapat di dalam pendapat-
pendapat tersebut adalah bahwa “kita tidak dapat membuat peristiwa-
peristiwa bersejarah, tetapi harus mengadaptasi diri kita pada jalannya
peristiwa yang alami dan membatasi diri kita untuk mengamankan apa yang
sudah matang.” Lamprecht menganggap ini sebagai kebenaran yang dalam
dan penuh. Dalam pendapatnya, seorang sejarahwan moderen tidak dapat
berpikir lain dari itu, dengan kondisi bahwa dia mampu melihat ke dalam
kedalaman peristiwa-peristiwa dan tidak menghalangi lingkup pandangan
pada interval waktu yang terlalu pendek. Dapatkah Bismarck menyebabkan
Jerman kembali ke ekonomi alamiah [Ekonomi alamiah merujuk pada sistem
ekonomi dimana transfer barang tidak dilakukan dengan sistem uang tetapi
dengan sistem barter langsung. – Ed.]? Dia tidak akan dapat melakukan ini
bahkan pada saat kekuasaannya paling tinggi. Situasi sejarah umum lebih
kuat daripada individu-individu yang paling kuat. Untuk seorang figur besar,
karakter umum dari eposnya adalah “keniscayaan empiris”.
Inilah bagaimana Lamprecht berpikir, menyebut pandangannya sebagai
pandangan yang universal. Tidak sulit untuk melihat sisi lemah dari
pandangan “universal” ini. Pendapat Bismarck yang dikutip di atas ini
adalah sangat menarik sebagai sebuah dokumen psikologis. Seorang
mungkin tidak bersimpati dengan aktivitas-aktivitas dari almarhum Kanselir
Jerman ini, tetapi seorang tidak dapat mengatakan bahwa mereka tidaklah
signifikan, bahwa Bismarck berbeda karena “quietism”nya. Lassale berkata
mengenainya: “Para pelayan reaksi bukanlah orator; tetapi Tuhan
menganugerahi bahwa progres memiliki pelayan-pelayan seperti mereka.”
Dan manusia ini, yang pada saat-saat tertentu menunjukkan semangat yang
benar-benar kokoh, menganggap dirinya sama sekali impoten di depan
perkembangan sejarah. Ini membuktikan sekali lagi bahwa seseorang bisa
melihat fenomena sebagai keniscayaan dan pada saat yang sama menjadi
seorang negarawan yang penuh enerji. Tetapi hanya dalam pengertian ini
pendapat-pendapat Bismarck adalah menarik; mereka tidak bisa dianggap
sebagai sebuah solusi untuk masalah peran individu di dalam sejarah.
Menurut Bismarck, peristiwa-peristiwa terjadi dengan sendirinya, dan
kita dapat memetik apa yang mereka persiapkan untuk kita. Tetapi setiap
tindakan “memetik” adalah juga sebuah perisitiwa sejarah. Apa perbedaan
antara peristiwa-peristiwa macam ini dan peristiwa-peristiwa yang terjadi
dengan sendirinya? Sebenarnya, hampir semua peristiwa sejarah adalah
secara simultan sebuah tindakan “memetik” oleh seseorang buah yang sudah
matang dari perkembangan sebelumnya, dan sebuah mata rantai di dalam
rantai peristiwa-peristiwa yang sedang mempersiapkan buah-buah masa
depan. Bagaimana tindakan “memetik” bisa dipertentangkan dengan
jalannya peristiwa secara alami? Dalam kenyataannya, Bismarck ingin
mengatakan bahwa individu-individu dan kelompok-kelompok individu
yang bertindak di dalam sejarah tidak pernah dan tidak akan pernah bisa
menjadi kekuatan yang maha kuasa. Ini tentu saja tidak diragukan sama
sekali. Namun, kita ingin tahu kekuatan mereka – yang jauh dari maha-kuasa
tentu saja – tergantung pada apa; di bawah kondisi seperti apa kekuatan ini
tumbuh dan di bawah kondisi apa ia melemah. Bismarck dan para
pendukung konsepsi “universal” sejarah yang terpelajar yang mengutipnya
tidak menjawab pertanyaan ini.
Benark kalau Lamprecht menyediakan lebih banyak kutipan yang masuk
akal.[27] Contohnya, dia mengutip kata-kata Monod[28], salah seorang
perwakilan ternama dari ilmu sejarah kontemporer di Prancis:
“Sejarahwan terlalu banyak terbiasa menaruh perhatian hanya pada
manifestasi aktivitas manusia yang brilian, besar, dan berjeda pendek, pada
peristiwa-peristiwa besar dan orang-orang besar, daripada menggambarkan
perubahan kondisi ekonomi dan institusi sosial yang pelan dan agung, yang
merupakan bagian dari perkembangan umat manusia yang benar-benar
menarik – bagian yang pada tingkatan tertentu dapat direduksi menjadi
hukum dan dianalisa sampai pada tingkatan tertentu. Dan memang,
peristiwa-peristiwa dan individu-individu besar adalah penting sebagai tanda
dan simbol dari momen-momen perkembangan yang berbeda. Tetapi
kebanyakan peristiwa yang disebut historis memiliki relasi yang sama
dengan sejarah yang sesungguhnya seperti ombak yang bangkit dari
permukaan laut, berkilau untuk sesaat dan pecah di pantai yang berpasir,
tidak meninggalkan jejak di belakangnya, seperti gerak ombak yang dalam
dan konstan.”
Lamprecht mengatakan bahwa dia siap untuk membubuhi
tandatangannya pada setiap kata dari kutipan di atas. Diketahui dengan baik
bahwa kaum intelektual Jerman selalu enggan untuk setuju dengan kaum
intelektual Jerman, dan sebaliknya. Inilah mengapa sejarahwan Belgia
Pirenne[29] sangat senang untuk menekankan di Revue Historique fakta
bahwa konsepsi sejarah Monod bersesuaian dengan Lamprecht. “Harmoni
ini sangatlah signifikan,” ujarnya. “Ini menunjukkan bahwa masa depan
adalah milik konsepsi sejarah yang baru.”

V
Kami tidak setuju dengan penjelasan Pirenne yang enak didengar ini.
Masa depan tidak bisa menjadi milik pandangan yang tidak jelas dan tidak
definitif, dan begitulah pandangan Monod dan terutama Lamprecht. Tentu
saja, kita tidak bisa tidak menyambut sebuah tren yang menyatakan bahwa
tugas paling penting dari ilmu sejarah adalah untuk mempelajari institusi-
institusi sosial dan kondisi-kondisi ekonomi. Ilmu sejarah akan membuat
progres yang besar ketika tren seperti ini menjadi terkonsolidasikan dengan
pasti.
Namun, di tempat pertama, Pirrenne salah dalam berpikir bahwa ini
adalah sebuah tren yang baru. Tren ini muncul di dalam ilmu sejarah sejauh
tahun 20an pada abad ke-19. Guizot[30], Mignet[31], Augustin Thierry[32],
dan selanjutnya, Tocqueville[33] dan yang lainnya, adalah perwakilan hebat
dan konsisten dari tren ini. Pandangan Monod dan Lamprecht hanyalah
sebuah kopian lemah dari sebuah tren orisinil yang lama tetapi baik sekali.
Kedua, walaupun pandangan Guizot, Mignet, dan sejarahwan Prancis
lainnya adalah dalam pada jaman mereka, banyak dari pandangan mereka
yang masih belum terurai. Mereka tidak menyediakan sebuah solusi yang
penuh dan pasti untuk masalah peran individu di dalam sejarah. Dan ilmu
sejarah harus menyediakan solusi ini bila para perwakilannya ditakdirkan
untuk membuang dari diri mereka sendiri konsepsi berat-sebelah dari subyek
mereka. Masa depan adalah milik dari mahzab yang dapat menemukan
solusi terbaik dari masalah ini, dan masalah yang lainnya.
Pandangan Guizot, Mignet, dan sejarahwan lainnya yang merupakan
bagian dari tren ini adalah sebuah reaksi terhadap cara pandang sejarah yang
mendominasi pada abad ke-18 dan pandangan mereka adalah anti-tesis dari
ini. Pada abad ke-18, para murid dari filosofi sejarah mereduksi semuanya ke
aktivitas sadar dari individu-individu. Benar, ada pengecualian bahkan pada
saat itu: cara pandang filosofi-historis Vico[34], Montesquieu[35] dan
Herder[36], contohnya, adalah jauh lebih luas. Tetapi kita tidak berbicara
mengenai pengecualian; mayoritas besar pemikir abad ke-18 melihat sejarah
seperti yang kita telah jelaskan.
Dalam hubungan ini, sangat menarik untuk kembali lagi ke karya-karya
sejarah dari Mably[37], contohnya. Menurut Mably, Minos[38] menciptakan
seluruh kehidupan sosial dan politik dan etik dari rakyat Crete, sementara
Lycurgus[39] melakukan hal yang sama untuk Sparta. Bila kaum Sparta
“menolak” kekayaan material, ini sepenuhnya adalah karena Lycurgus, yang
“turun ke dalam kedalaman jiwa warganya dan menghancurkan benih
ketamakan akan kekayaan” " (descendit pour ainsi dire jusque dans le fond
du coeur des citoyens, etc.)[40] Dan bila, selanjutnya, kaum Sparta berpaling
dari jalan yang telah ditunjukkan oleh Lycurgus yang bijak, ini adalah karena
Lysander[41], yang membujuk mereka bahwa “jaman baru dan kondisi baru
membutuhkan aturan baru dan kebijakan baru”[42]. Penelitian-penelitian
yang ditulis dari sudut pandang konsepsi seperti ini memiliki ikatan yang
kecil sekali dengan sains, dan ditulis sebagai khotbah hanya untuk
“pelajaran” moral yang dapat ditarik darinya.
Melawan konsepsi seperti inilah para sejarahwan Prancis pada periode
Restorasi[43] memberontak. Setelah perisitwa-peristiwa besar pada akhir
abad ke-18 menjadi sepenuhnya mustahil untuk berpikir bahwa sejarah
dibuat oleh individu-individu penting dan luhur yang tercerahkan, yang,
dengan kebijaksanaan mereka sendiri, mengilhami massa yang tidak
tercerahkan dan penurut dengan sentimen-sentimen dan ide-ide tertentu.
Terlebih lagi, filosofi sejarah ini menyinggung kebanggaan plebeian
[kerakyatan] dari teoritisi borjuis. Mereka didorong oleh perasaan yang sama
yang menunjukkan dirinya pada abad ke-18 dalam kebangkitan drama
borjuasi. Dalam memerangi konsepsi sejarah yang lama, Thierry
menggunakan argumen yang sama yang dikedepankan oleh Beaumarchais
dan yang lainnya dalam melawan nilai-nilai estetik yang lama.[44] Terakhir,
badai yang baru dialami Prancis secara jelas mengungkapkan bawah jalan
peristiwa bersejarah sama sekali tidak ditentukan hanya oleh tindakan-
tindakan manusia yang sadar; situasi ini sendiri cukup untuk
mengungkapkan gagasan bahwa peristiwa-peristiwa ini adalah karena
pengaruh keniscayaan yang tersembunyi, yang beroperasi dengan cara buta
seperti kekuatan alam, tetapi sesuai dengan hukum-hukum dasar tertentu.
Adalah satu fakta yang luar biasa – yang tak seorangpun, sepanjang
kami ketahui, merujuk padanya – bahwa para sejarahwan Prancis pada
periode Restorasi mengaplikasikan konsepsi sejarah baru sebagai sebuah
proses yang bersesuaian dengan hukum-hukum paling konsisten dalam
karya-karya mereka mengenai Revolusi Prancis[45]. Contohnya adalah
karya-karya Mignet. Chateaubriand[46] mengatakan bahwa mahzab sejarah
baru ini adalah fatalistik. Mengformulasikan tugas para penyelidik sejarah,
dia mengatakan:
“Sistem ini menuntut bahwa para sejarahwan harus menggambarkan
kejahatan yang paling brutal tanpa rasa marah, berbicara mengenai
kebajikan-kebajikan tertinggi tanpa rasa cinta, dan dengan mata kacanya
melihat di dalam kehidupan sosial hanya manifestasi hukum yang terelakkan
yang menjadi sebab terjadinya fenomena-fenomena selayaknya mereka
harus terjadi.”[47]
Tentu saja ini keliru. Mahzab sejarah yang baru ini tidak menuntut
sejarahwan harus menjadi tak-berperasaan. Augustin Thierry bahkan
mengatakan dengan cukup terbuka bahwa hasrat politik, yang menajamkan
pikiran sang penyelidik, dapat menjadi alat yang kuat untuk mencari
kebenaran.[48] Bahkan sedikit saja pengenalan pada karya-karya sejarah
Guizot, Thierry atau Mignet akan menunjukkan bahwa mereka sangat
bersimpati dengan kaum borjuasi dalam perjuangannya melawan kaum
bangsawan, juga dengan usahanya untuk menekan tuntutan-tuntutan dari
kaum proletar yang sedang bangkit. Yang tidak bisa disangkal adalah ini:
mahzab sejarah yang baru ini muncul pada tahun 20an abad ke-19 ketika
kaum borjuasi sudah mengalahkan aristokrasi, walaupun yang belakangan
ini masih berusaha untuk mendapatkan kembali hak-hak istimewa mereka
yang lama.
Kebanggaan secara sadar akan kemenangan kelas mereka terefleksikan
dalam semua argumen para sejarahwan mahzab baru ini. Dan karena kaum
borjuasi tidak pernah diketahui sebagai seorang yang bersifat ksatria, kita
kadang-kadang dapat menemukan satu nada kekerasan terhadap pihak yang
kalah di dalam argumen-argumen dari perwakilan intelektualnya. “Le plus
fort absorbe le plus faible,”, kata Guizot, di salah satu pamflet polemiknya,
“et il est de droit.” [Yang terkuat menyerap yang terlemah, dan dia punya
hak untuk melakukan ini.] Sikapnya terhadap kelas pekerja tidak kurang
kerasnya. Kekerasan inilah, yang kadang-kadang mengambil bentuk sikap
tak-berperasaan yang tenang, yang menyesatkan Chateaubriand. Terlebih
lagi, pada saat itu tidaklah terlalu jelas apa yang dimaksud ketika dikatakan
bahwa sejarah bersesuaian dengan hukum-hukum tertentu. Terakhir, mahzab
sejarah yang baru ini mungkin tampak fatalistik karena dalam usahanya
untuk mengadopsi cara pandang ini ia menaruh perhatian kecil pada
individu-individu besar di dalam sejarah.[49] Mereka yang dibesarkan
dengan ide-ide historis dari abad ke-18 merasa kesulitan untuk menerima ini.
Keberatan-keberatan terhadap cara pandang para sejarahwan baru tumpah
dari berbagai sisi, dan kemudian kontroversi timbul yang, seperti yang telah
kita lihat, belum terselesaikan sampai hari ini.
Pada bulan Januari 1826, dalam tinjauannya di Globe akan jilid ke lima
dan enam dari Sejarah Revolusi Prancis karya Mignet, Sainte-Beuve[50]
menulis sebagai berikut:
“Pada setiap saat tertentu oleh keputusan tiba-tiba dari kehendaknya,
seorang manusia dapat memperkenalkan ke dalam jalannya peristiwa sebuah
kekuatan yang baru, tidak terduga, dan dapat berubah, yang dapat mengubah
arah peristiwa, tetapi yang sendirinya tidak dapat diukur karena karakternya
yang dapat berubah.”
Jangan berpikir kalau Sainte-Beuve berasumsi bahwa “keputusan tiba-
tiba” manusia terjadi tanpa sebab-musabab. Tidak, ini akan terlalu naif. Dia
hanya menekankan bahwa kualitas mental dan moral dari seorang manusia
yang memainkan kurang lebih peran yang penting di dalam kehidupan
publik, talentanya, pengetahuannya, keteguhan dan ketidak-teguhannya,
keberanian dan kepengecutannya, dsb. tidak dapat tidak memiliki sebuah
pengaruh dalam arah dan hasil dari peristiwa; dan namun kualitas-kualitas
ini tidak dapat hanya dijelaskan oleh hukum umum perkembangan bangsa;
mereka selalu, dan sampai ke tingkatan yang cukup besar, terjadi akibat dari
tindakan yang dapat disebut sebagai kebetulan dari kehidupan pribadi. Kami
akan mengutip beberapa contoh untuk menjelaskan gagasan ini, yang
menurut saya cukup jelas.
Selama Peperangan Suksesi Austria[51], pasukan Prancis meraih
beberapa kemenangan yang brilian dan tampaknya Prancis ada di posisi
untuk memaksa Austria untuk menyerahkan cukup besar teritori di daerah
yang sekarang disebut Belgia; tetapi Louis XV[52] tidak mengklaim teritori
ini karena, seperti yang dia katakan, dia bertempur sebagai seorang raja dan
bukan sebagai seorang pedagang, dan Prancis tidak akan mendapatkan apa-
apa dari Perdamaian Aix-la-Chapelle[53]. Bila saja Louis XV adalah seorang
dengan karakter yang berbeda, wilayah Prancis sudah tentu akan menjadi
lebih luas dan sebagai akibatnya perkembangan ekonomi dan politiknya
akan mengambil jalan yang berbeda.
Seperti yang kita ketahui, Prancis mengobarkan Perang Tujuh
Tahun[54] dengan beraliansi dengan Austria. Dikatakan bahwa aliansi ini
terjadi karena tekanan besar dari Madame Pompadour[55], yang tersanjung
oleh fakta bahwa dalam surat untuknya Maria-Theresa[56] memanggilnya
“sepupu” atau “teman baik” (bien bonne amie). Maka dari itu, kita dapat
mengatakan bahwa bila saja Louis XV adalah seorang yang keras, atau kalau
dia tidak mudah terpengaruh oleh orang kesukaannya, maka Madame
Pompadour tidak akan bisa mempengaruhi jalannya peristiwa-peristiwa, dan
mereka akan mengambil jalan yang berbeda.
Terlebih lagi, Prancis gagal di dalam Perang Tujuh Tahun; jendral-
jendralnya menderita sejumlah kekalahan yang memalukan. Berbicara secara
umum, tindakan-tindakan mereka sangatlah aneh. Richilieu melakukan
penjarahan, dan Soubise dan Broglie terus-menerus saling menjegal.
Contohnya, ketika Broglie sedang menyerang musuh di Villinghausen,
Soubise mendengar suara senapan tetapi tidak menolong kawannya, seperti
yang sudah direncanakan dan seperti yang seharusnya dia lakukan, dan
Broglie terpaksa mundur.[57] Soubise yang sangat tidak kompeten
mendapatkan perlindungan dari Madame Pompadour. Kita dapat
mengatakan sekali lagi bahwa bila saja Louis XV lebih teguh atau orang
kesukaannya tidak mengintervensi dalam politik, peristiwa-peristiwa tidak
akan begitu buruk bagi Prancis.
Para sejarahwan Prancis mengatakan bahwa tidak ada gunanya bagi
Prancis untuk mengobarkan perang di benua Eropa, dan dia seharusnya
mengkonsentrasikan seluruh kekuatannya di laut untuk melawan Inggris
yang menyerang koloni-koloninya. Kenyataan bahwa Prancis tidak bertindak
seperti ini adalah karena Madame Pompadour, yang ingin menyenangkan
“teman baiknya” Maria Theresa. Sebagai akibat dari Perang Tujuh tahun,
Prancis kehilangan koloni-koloni terbaiknya, yang tidak diragukan sangat
mempengaruhi perkembangan hubungan ekonominya. Dalam kasus ini,
kehampaan feminin menjadi “faktor” berpengaruh dalam perkembangan
ekonomi.
Apakah kita butuh contoh-contoh lainnya? Kami akan mengutip satu
lagi, mungkin yang paling mengejutkan. Selama Perang Tujuh Tahun ini,
pada bulan Agustus 1761, pasukan Austria, setelah bersatu dengan pasukan
Rusia di Silesia, mengelilingi Frederick di dekat Striegau. Frederick ada
dalam posisi yang sulit, tetapi pasukan Sekutu lambat dalam menyerang, dan
Jendral Buturlin, setelah menghadapi musuh selama dua puluh hari, menarik
mundur pasukannya dari Silesia, meninggalkan hanya sebagian dari
kekuatannya sebagai pasukan pendukung untuk Jendral Laudon dari Austria.
Laudon merebut Schweidnitz, dekat kamp Frederick, namun kemenangan ini
tidak penting. Kalau saja Buturlin memiliki karakter yang lebih teguh? Kalau
saja pasukan Sekutu menyerang Frederick sebelum dia memiliki waktu
untuk mempertahankan dirinya? Mereka akan dapat mengalahkan Frederick,
dan dia akan terpaksa memenuhi semua tuntutan dari sang pemenang. Dan
ini terjadi beberapa bulan sebelum satu kejadian baru lainnya, kematian Ratu
Elizabeth, yang segera mengubah situasi yang memberikan keuntungan bagi
Frederick. Kami ingin bertanya: apa yang akan terjadi bila saja Buturlin
punya karakter yang lebih teguh, atau bila orang seperti Suvorov
menggantikan tempatnya?
Dalam memeriksa pandangan dari para sejarahwan “fatalis”, Sainte-
Beuve memberikan ekspresi pada opini lain yang juga patut diperhatikan.
Dalam tinjauan Sejarah Revolusi Prancis karangan Mignet yang kita sebut di
atas, dia berargumen bahwa jalan dan hasil dari Revolusi Prancis ditentukan,
tidak hanya oleh sebab-sebab umum yang menyebabkan bangkitnya
Revolusi, dan tidak hanya oleh semangat-semangat yang pada gilirannya
dibangkitkan oleh Revolusi, tetapi juga oleh banyak fenomena-fenomena
kecil yang luput dari perhatian para penyelidik dan yang bahkan bukan
bagian dari fenomena-fenomena sosial. Dia menulis:
“Sementara semangat-semangat [yang dibangkitkan oleh fenomena
sosial] beroperasi, kekuatan-kekuatan fisik dan psikologi tidaklah non-aktif:
batu tetap menuruti hukum gravitasi; darah tidak berhenti bersikulasi di urat
darah. Tidakkah jalannya peristiwa akan berubah bila saja Mirabeau[58],
katakanlah tidak meninggal karena demam, bila Robespierre[59] mati karena
kecelakaan tertimpa jatuhnya batu bata atau terkena stroke otak, atau bila
Bonaparte[60] mati tertembus peluru? Dan apakah Anda berani menyatakan
bahwa hasil dari peristiwa ini akan sama? Dengan jumlah kecelakaan-
kecelakaan yang cukup, serupa dengan yang telah saya asumsikan di atas,
hasil akhir dari Revolusi Prancis mungkin akan berkebalikan dari apa yang
menurut pendapatmu adalah tak terelakkan. Saya memiliki hak untuk
mengasumsikan kemungkinan dari kecelakaan-kecelakaan seperti itu karena
mereka tidak dicegah oleh sebab-sebab umum Revolusi maupun semangat-
semangat yang dibangkitkan oleh sebab-sebab umum tersebut.”
Kemudian dia mengutip sebuah observasi yang sangat diketahui banyak
orang, bahwa sejarah akan mengambil jalan yang sangatlah berbeda bila saja
hidung Cleopatra sedikit lebih pesek; dan, dalam kesimpulan, sementara
mengakui bahwa lebih banyak yang bisa dikatakan untuk membela
pandangan Mignet, dia sekali lagi menunjukkan dimana kesalahan
pengarang ini [Mignet]. Mignet menganggap aksi dari sebab-sebab umum
sebagai satu-satunya penyebab dari jalannya peristiwa, yang sebenarnya juga
disebabkan oleh banyak sebab lainnya yang kecil dan tidak terlihat;
logikanya yang kaku menolak untuk mengakui keberadaan dari sesuatu yang
tampak baginya tidak memiliki keteraturan dan hukum.

VI
Apakah keberatan-keberatannya Sainte-Beuve masuk akal? Saya pikir
mereka mengandung sejumlah kebenaran. Tetapi sebesar apa? Untuk
menentukan ini kita akan pertama-tama memeriksa gagasan bahwa seorang
manusia dapat “dengan keputusan tiba-tiba dari kehendaknya”
memperkenalkan sebuah kekuatan yang baru ke dalam jalannya peristiwa,
yang dapat mengubah jalannya peristiwa dengan sangat besar. Kami telah
mengutip sejumlah contoh, yang kami pikir menjelaskan ini dengan sangat
baik. Mari kita renungkan contoh-contoh ini.
Semua orang tahu bahwa selama kekuasaan Louis XV kemiliteran di
Prancis berangsur-angsur beranjak dari buruk menjadi teramat buruk. Seperti
yang diamati oleh Henri Martin, selama Perang Tujuh Tahun, pasukan
Prancis, yang selalu memiliki banyak pelacur, pedagang dan pembantu di
keretanya, dan yang memiliki kuda pengangkut barang tiga kali lebih banyak
daripada kuda pelana, lebih mirip pasukan Darius dan Xerxes daripada
pasukan Turenne dan Gustavus-Adolphus.[61] Archenholtz mengatakan
dalam sejarahnya mengenai perang ini bahwa perwira-perwira Prancis,
ketika ditugaskan untuk menjaga, sering meninggalkan pos mereka untuk
berdansa di suatu tempat yang dekat, dan mematuhi perintah atasan mereka
sesuka hati mereka.
Situasi kemiliteran yang buruk ini adalah karena kemerosotan aristokrasi
yang, walaupun begitu, terus menduduki posisi-posisi penting di dalam
angkatan bersenjata, dan karena kemunduran umum dari “orde lama” yang
secara cepat tergelincir ke kehancuran. Sebab-sebab umum ini sendiri sudah
cukup untuk membuat hasil Perang Tujuh Tahun tidak berpihak pada
Prancis. Tetapi tak diragukan bahwa ketidakcakapan jendral-jendral seperti
Soubise memperbesar kemungkinan kegagalan dari pasukan Prancis yang
sudah disediakan oleh sebab-sebab umum ini. Soubise tetap
mempertahankan jabatannya, ini adalah karena Madame Pompadour; dan
dengan begitu kita harus memperhitungkan Madame Pompadour sebagai
salah satu “faktor” yang secara signifikan memperkuat pengaruh-pengaruh
negatif dari sebab-sebab umum ini terhadap Prancis.
Madame Pompadour kuat, bukan karena kekuatannya sendiri, tetapi
karena kekuasaan sang Raja [Louis XV] yang ada di bawah kehendaknya.
Dapatkah kita katakan bahwa karakter Louis XV adalah satu hal yang
niscaya, dalam alur perkembangan umum dari relasi-relasi sosial di Prancis?
Tidak, dengan jalan perkembangan yang sama seorang raja yang lain dapat
menggantikan tempatnya dengan sikap yang berbeda terhadap perempuan.
Sainte-Beuve akan mengatakan bahwa aksi dari sebab-sebab psikologis yang
kabur dan abstrak ini cukup untuk menjelaskan ini. Dan dia akan benar.
Tetapi, bila begitu, kesimpulan muncul bahwa sebab-sebab psikologi yang
kabur ini, dengan mempengaruhi progres dan hasil dari Perang Tujuh Tahun,
juga pada konsekuensinya dipengaruhi oleh perkembangan Prancis
selanjutnya, yang akan berlangsung berbeda bila Perang Tujuh Tahun tidak
merampoknya dari sebagian besar koloni-koloninya. Kita kemudian
bertanya, tidakkah kesimpulan ini bertentangan dengan konsepsi sebuah
perkembangan sosial yang bersesuaian dengan hukum-hukum?
Tidak, sama sekali tidak. Pengaruh kepribadian-kepribadian tertentu
dalam situasi-situasi yang sudah kita diskusikan adalah tidak diragukan;
tetapi sama tidak diragukan juga adalah fakta bahwa pengaruh semacam ini
hanya dapat terjadi di dalam kondisi-kondisi sosial tertentu. Setelah
pertempuran Rosbach, Prancis menjadi sangat marah dengan sang pelindung
Soubise. Setiap hari dia menerima banyak surat-surat kaleng, yang dipenuhi
ancaman dan sumpah-serapah. Ini dengan sangat serius mengganggu
Madame Pompadour; dia mulai menderita insomnia.[62] Walaupun begitu,
dia tetap melindungi Soubise. Pada tahun 1762, dia menulis di salah satu
suratnya kepadanya bahwa dia [Soubise] tidak memenuhi harapan yang telah
dibebankan kepadanya, tetapi dia menambahkan: “Namun jangan takut, saya
akan menjaga kepentinganmu dan mencoba untuk memperbaiki
hubunganmu dengan raja.”[63] Seperti yang Anda lihat, dia tidak bertekuk
pada opini publik.
Mengapa dia tidak bertekuk? Mungkin karena masyarakat Prancis pada
saat itu tidak punya cara untuk memaksanya. Tetapi mengapa masyarakat
Prancis pada saat itu tidak mampu melakukan ini? Ini adalah karena bentuk
keorganisasian masyarakat Prancis, yang pada gilirannya ditentukan oleh
relasi kekuatan-kekuatan sosial di Prancis pada saat itu. Maka dari itu, dalam
analisa terakhir relasi kekuatan-kekuatan sosial-lah yang menjelaskan
kenyataan bahwa karakter Louis XV dan tindakan semena-mena dari istri
favoritnya dapat memiliki pengaruh yang begitu buruk pada nasib Prancis.
Bila saja bukan sang Raja yang memiliki kelemahan pada perempuan, tetapi
justru tukang masak raja atau penjaga kandang kuda raja, ini tidak akan
memiliki signifikansi sejarah apapun.
Jelas, bukanlah kelemahan yang penting di sini, tetapi posisi sosial dari
orang yang menderita kelemahan tersebut. Para pembaca akan mengerti
bahwa argumen-argumen ini dapat diaplikasikan pada semua contoh-contoh
yang dikutip di atas. Di dalam argumen-argumen ini, kita hanya perlu
mengganti apa yang perlu diganti, misalkan, menaruh Rusia di tempat
Prancis, Buturlin di tempat Soubise, dsb. Inilah mengapa kami tidak akan
mengulangi contoh-contoh ini.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan ciri-ciri tertentu
dari karakter mereka individu-individu dapat mempengaruhi nasib
masyarakat. Kadang-kadang pengaruh ini sangatlah besar; tetapi
kemungkinan untuk menggunakan pengaruh ini, dan tingkatannya,
ditentukan oleh bentuk organisasi masyarakat, oleh relasi kekuatan-kekuatan
di dalamnya. Karakter dari seorang individu menjadi sebuah “faktor” di
dalam perkembangan sosial hanya dimana, kapan, dan pada tingkatan mana
yang diijinkan oleh hubungan-hubungan sosial.
Kita mungkin diberitahu bahwa besarnya pengaruh pribadi juga dapat
ditentukan oleh talenta-talenta individu. Kami setuju. Tetapi si individu
dapat mempertunjukkan talentanya hanya bila dia menduduki posisi di
dalam masyarakat yang diperlukan untuk ini. Mengapa nasib Prancis ada di
tangan seorang manusia yang benar-benar tidak punya kemampuan dan
hasrat untuk melayani masyarakat? Karena begitulah bentuk organisasi
masyarakat itu pada saat itu. Adalah bentuk organisasi yang pada periode
tertentu menentukan peran dan, sebagai akibatnya, signifikansi sosial yang
jatuh di pundak individu-individu yang bertalenta atau tidak kompeten.
Tetapi bila peran individu ditentukan oleh bentuk organisasi dari
masyarakat, bagaimana pengaruh sosial mereka, yang ditentukan oleh peran
yang mereka mainkan, dapat berkontradiksi dengan konsepsi perkembangan
sosial sebagai progres yang mengekspresikan hukum? Ini tidak
berkontradiksi; sebaliknya, ini adalah salah satu ilustrasinya yang paling
nyata.
Namun di sini kita harus mencermati hal berikut ini. Kemungkinan –
yang ditentukan oleh bentuk organisasi dari masyarakat – bahwa individu
dapat memberikan pengaruh sosial membuka pintu ke peran dari apa yang
disebut kebetulan di dalam nasib sejarah bangsa-bangsa. Sifat mata
keranjang Louis XV adalah konsekuensi tak terelakkan dari keadaan
jasmaninya, tetapi dalam hubungannya dengan jalan perkembangan umum
Prancis keadaan jasmani dia adalah kebetulan. Walaupun demikian, seperti
yang telah kami katakan, ini mempengaruhi nasib Prancis dan merupakan
salah satu sebab yang menentukan nasib tersebut. Kematian Mirabeau, tentu
saja, adalah karena proses patologi yang mematuhi hukum-hukum tertentu.
Namun, keniscayaan dari proses ini tidak timbul dari jalan perkembangan
umum Prancis, tetapi dari fitur-fitur jasmani dari sang orator terkenal ini dan
dari kondisi fisik darimana dia terjangkiti penyakit ini. Dalam hubungannya
dengan perkembangan umum Prancis, fitur dan kondisi tersebut adalah
kebetulan. Dan biarpun begitu kematian Mirabeau mempengaruhi jalannya
Revolusi dan menjadi salah satu sebab yang menentukannya.
Lebih mengejutkan lagi adalah efek dari sebab-sebab kebetulan dalam
contoh Frederick II yang kami sebut di atas, yang berhasil mengeluarkan
dirinya dari sebuah situasi yang sangat sulit hanya karena ketidakteguhan
Buturlin. Bahkan dalam hubungannya dengan sebab umum dari
perkembangan Rusia, pengangkatan Buturlin mungkin kebetulan, dalam arti
yang telah kita definisikan di atas, dan, tentu saja, ini tidak ada hubungannya
sama sekali dengan jalan perkembangan umum Prussia. Namun tidaklah
mustahil kalau ketidakteguhan Buturlin menyelamatkan Frederick dari
sebuah situasi yang sulit. Bila saja Suvorov menggantikan Buturlin, sejarah
Prussia mungkin akan mengambil jalan yang berbeda.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nasib bangsa kadang-
kadang dapat tergantung pada kebetulan, yang dapat disebut kebetulan
tingkatan kedua. “In allem Endlichen ist ein Element des Zufälligen,” kata
Hegel (Dalam segala sesuatu yang terbatas (finite) ada elemen-elemen
kebetulan). Di dalam sains kita hanya bekerja dengan sesuatu yang “finite”;
maka dari itu kita dapat mengatakan bahwa semua proses yang dipelajari
oleh sains mengandung beberapa elemen kebetulan. Apa ini mengecualikan
kemampuan sains untuk mempelajari fenomena-fenomena? Tidak.
Kebetulan adalah relatif. Ia hanya muncul di titik persimpangan dari proses-
proses yang tak terelakkan. Bagi penduduk pribumi Meksiko dan Peru,
kemunculan orang-orang Eropa di benua Amerika adalah kebetulan dalam
pengertian bahwa ini tidak datang dari perkembangan sosial dari bangsa-
bangsa tersebut [di benua Amerika – Ed.] Tetapi hasrat navigasi yang
dimiliki oleh orang-orang Eropa Barat pada akhir Zaman Pertengahan
bukanlah satu hal yang kebetulan; juga kenyataan bahwa kekuatan Eropa
begitu mudah mengalahkan perlawanan penduduk pribumi Amerika.
Konsekuensi dari penaklukan Meksiko dan Peru oleh orang Eropa juga
bukanlah kebetulan; dalam analisa terakhir, konsekuensi-konsekuensi ini
ditentukan olah hasil dari dua kekuatan: posisi ekonomi dari bangsa-bangsa
yang ditaklukkan di satu pihak, dan posisi ekonomi dari penakluk di pihak
yang lain. Dan kekuatan-kekuatan ini, seperti hasilnya, dapat menjadi objek
penelitian ilmiah.
Kebetulan-kebetulan dari Perang Tujuh Tahun memiliki pengaruh yang
besar atas sejarah Prusia selanjutnya. Tetapi pengaruh mereka akan berbeda
sepenuhnya pada tahap perkembangan Prusia yang berbeda. Di sini juga,
konsekuensi-konsekuensi kebetulan ini ditentukan oleh hasil dari dua
kekuatan: kondisi sosio-politik Prusia di satu pihak, dan kondisi sosio-politik
negara-negara Eropa yang mempengaruhinya di pihak lain. Maka dari ini, di
sini juga, kebetulan tidak mencegah sama sekali penelitian ilmiah terhadap
fenomena-fenomena.
Kita tahu sekarang bahwa individu-individu sering kali memiliki
pengaruh yang besar terhadap nasib masyarakat, tetapi pengaruh ini
ditentukan oleh struktur internal dari masyarakat tersebut dan oleh
hubungannya dengan masyarakat-masyarakat lain. Tetapi ini bukan satu-
satunya hal yang harus dikatakan mengenai peran individu di dalam sejarah.
Kita masih harus mendekati masalah ini dari sudut yang lain juga.
Sainte-Beuve berpikir bahwa bila saja ada cukup sebab-sebab kecil dan
gelap semacam yang dia telah sebutkan, hasil dari Revolusi Prancis akan
berkebalikan dari apa yang kita ketahui sekarang. Ini adalah satu kesalahan
yang besar. Tidak peduli sekompleks apapun sebab-sebab kecil, psikologis
dan fisiologis tersebut, di dalam situasi apapun mereka tidak akan bisa
menghapus kebutuhan-kebutuhan sosial besar yang menyebabkan Revolusi;
dan selama kebutuhan-kebutuhan sosial tersebut belum terpenuhi, gerakan
revolusioner di Prancis akan terus berlangsung. Untuk membuat hasil dari
gerakan ini menjadi sebaliknya, kebutuhan-kebutuhan yang menyebabkan
gerakan ini haruslah menjadi sebaliknya; dan ini, tentu saja, tidak akan bisa
dicapai oleh kombinasi sebab-sebab kecil apapun.
Sebab-sebab dari Revolusi Prancis terletak di karakter dari relasi-relasi
sosial; dan sebab-sebab kecil yang diasumsikan oleh Sainte-Beuve hanya
dapat terletak di kualitas-kualitas pribadi dari individu-individu. Penyebab
akhir dari hubungan-hubungan sosial terletak di dalam tingkatan kekuatan-
kekuatan produksi. Ini bergantung pada kualitas-kualitas individu hanya
dalam pengertian, mungkin, bahwa individu-individu ini memiliki kurang
lebih talenta untuk membuat perkembangan teknik dan penemuan-
penemuan. Bukan kualitas-kualitas macam ini yang ada di dalam pikiran
Sainte-Beuve. Namun, tidak ada kualitas lain yang dapat memungkinkan
individu-individu untuk secara langsung mempengaruhi tingkatan kekuatan
produksi, dan oleh karenanya, relasi-relasi sosial yang mereka tentukan,
yakni relasi-relasi ekonomi. Apapun kualitas dari seseorang tertentu, mereka
tidak akan bisa menghapus relasi-relasi ekonomi tertentu bila relasi-relasi
tersebut bersesuaian dengan tingkatan kekuatan produksi. Tetapi kualitas-
kualitas pribadi dari individu-individu membuat mereka kurang lebih cocok
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial tersebut, yang tumbuh dari
relasi-relasi ekonomi tertentu, atau untuk menghalangi pemenuhan tersebut.
Kebutuhan sosial yang mendesak di Prancis pada akhir abad ke-18
adalah menggantikan institusi politik yang sudah usang dengan institusi yang
baru yang akan lebih sesuai dengan sistem ekonominya. Figur-figur publik
yang paling terkemuka dan berguna pada periode itu adalah mereka yang
lebih mampu daripada yang lainnya dalam membantu memenuhi kebutuhan
yang paling urgen ini.
Kita akan mengasumsikan bahwa Mirabeau, Robespierre, dan Napoleon
adalah orang-orang semacam itu. Apa yang akan terjadi bila saja Mirabeau
tidak tersingkirkan dari arena politik karena kematian prematurnya? Partai
monarkis konstitusional akan mempertahankan kekuasaannya untuk waktu
yang lebih lama; perlawanannya akan, oleh karena itu, lebih bersemangat.
Tetapi itu saja. Tidak ada Mirabeau, pada saat itu, yang dapat mencegah
kemenangan kaum republikan. Kekuasaan Mirabeau bersandar sepenuhnya
pada rakyat; tetapi rakyat menginginkan sebuah republik, karena kaum
Monarkis yang membela orde lama membuat mereka gusar. Segera setelah
rakyat menjadi yakin bahwa Mirabeau tidak bersimpati dengan cita-cita
republik mereka, mereka akan berhenti bersimpati padanya; dan sang orator
hebat ini akan kehilangan hampir semua pengaruhnya, dan kemungkinan
besar dia akan jatuh sebagai korban dari gerakan yang dia coba hentikan
dengan sia-sia.
Kira-kira hal yang sama dapat dikatakan mengenai Robespierre. Mari
kita asumsikan bahwa dia adalah sebuah kekuatan yang benar-benar tidak
dapat digantikan di dalam partainya; tetapi biarpun demikian, dia bukanlah
satu-satunya kekuatan. Bila sebuah kecelakaan jatuhnya batu bata
membunuh dia, katakanlah, pada bulan Januari 1793 [Raja Louis XVI
dipancung oleh Robespierre pada tanggal 21 Januaru 1793], tempatnya, tentu
saja, akan diambil oleh orang lain, dan walaupun orang ini mungkin lebih
inferior daripadanya dalam setiap aspek, tetap peristiwa-peristiwa akan
mengambil jalan yang sama seperti bila Robespierre hidup. Contohnya,
bahkan di bawah situasi ini kaum Girondis[64] mungkin tidak dapat luput
dari kekalahan mereka; tetapi adalah mungkin bahwa partainya Robespierre
akan kehilangan kekuasaan lebih awal dan kita sekarang akan berbicara
bukan mengenai reaksi Thermidor[65] tetapi reaksi Floreal, Prairial, atau,
Messidor[66]. Mungkin beberapa orang akan berkata bahwa dengan
Terornya yang kejam, Robespierre tidak menunda tetapi justru mempercepat
kejatuhan partainya. Kami tidak akan berhenti untuk memeriksa asumsi ini;
kami akan menerimanya sebagai satu hal yang masuk akal. Dalam kasus ini,
kita harus berasumsi bahwa partainya Robespierre tidak akan jatuh di
Thermidor, tetapi di Fructidor, Vendemaire, atau Brumaire. Pendek kata,
partai Robespierre akan jatuh cepat atau lambat, tetapi yang pasti ia akan
jatuh, karena seksi masyarakat yang mendukung partai Robespierre sama
sekali tidak siap untuk memegang kekuasaan untuk waktu yang lama. Pada
akhirnya, hasil-hasil yang “berkebalikan” dari yang muncul dari aksi
enerjetik Robespierre adalah mustahil.
Ini juga mustahil bahkan bila Bonaparte mati tertembak, katakanlah, di
Peperangan Arcole. Apa yang dia lakukan di Itali dan kampanye-kampanye
lainnya, jendral-jendral yang lain dapat juga melakukannya. Mungkin
mereka tidak akan dapat menunjukkan talenta yang sama sepertinya, dan
mungkin mereka tidak akan dapat meraih kemenangan-kemenangan yang
begitu brilian; walaupun demikian Republik Prancis tetap akan menang
dalam perang-perang tersebut karena tentaranya pada saat itu adalah yang
terbaik di Eropa.
Mengenai Brumaire XVIII[67] dan pengaruhnya pada kehidupan
internal Prancis, di sini juga, pada esensinya, jalan umum dan hasil
peristiwa-peristiwa akan sama seperti di bahwa Napoleon. Republik Prancis,
terluka parah oleh peristiwa-peristiwa Thermidor ke-9, perlahan-lahan
sedang mati. Direktorat [Directoire][68] tidak mampu memulihkan
ketertiban yang sekarang diinginkan oleh kaum borjuis setelah
menyingkirkan kekuasaan aristokrasi. Untuk mengembalikan ketertiban,
sebuah “pedang tajam”, seperti yang diekspresikan oleh Siéyès, dibutuhkan.
Pada awalnya Jendral Jourdan adalah orang yang dikira akan memenuhi
peran tersebut, tetapi ketika dia terbunuh di Novi, nama Moreau,
MacDonald, dan Bernadotte dikedepankan[69]. Bonaparte hanya disebut
belakangan; dan bila saja dia mati terbunuh. seperti Jourdan, dia mungkin
tidak akan disebut sama sekali dan “pedang” yang lain yang akan
dikedepankan.
Tidak diragukan kalau orang yang diangkat oleh peristiwa-peristiwa ke
posisi diktatur adalah orang yang sendirinya bercita-cita untuk berkuasa,
dengan bersemangat menyingkirkan dan menghancurkan semua orang yang
menghalanginya. Bonaparte adalah manusia dengan energi besi dan tidak
berbelas kasihan dalam mengejar tujuannya. Tetapi pada jaman tersebut ada
cukup banyak orang-orang egois, bersemangat, bertalenta, dan ambisius
selain dia. Posisi yang berhasil ditempati oleh Bonaparte tidak akan kosong.
Mari kita berasumsi bahwa jendral lain yang mengamankan posisi ini adalah
jendral yang lebih damai daripada Napoleon, dan dia tidak akan menantang
seluruh Eropa melawannya, dan oleh karenanya, dia akan meninggal di
Tuileries dan bukan di pulau St. Helena[70]. Dalam kasus ini, Dinasti
Bourbon[71] tidak akan kembali ke Prancis sama sekali; bagi mereka, hasil
ini tentu adalah “berkebalikan”. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan
kehidupan internal Prancis, hasil ini hanya berbeda sedikit dari hasil
sesungguhnya. Setelah “pedang tajam” mengembalikan ketertiban dan
mengkonsolidasikan kekuasaan kaum borjuasi, kaum borjuasi akan segera
letih dengan kebiasaan baraknya dan despotismenya. Sebuah gerakan liberal
akan muncul, serupa dengan yang muncul setelah Restorasi; sebuah
pertempuran akan perlahan-lahan menggelora, dan karena “pedang tajam”
tidak dikenal mudah menyerah, Louis-Philippe[72] yang jaya akan naik ke
tampuk kekuasaan relatifnya, bukan pada tahun 1830, tetapi pada tahun
1820, atau 1825.
Semua perubahan semacam ini di dalam jalannya peristiwa pada
tingkatan tertentu mungkin dapat mempengaruhi kehidupan politik
selanjutnya, dan melaluinya mempengaruhi kehidupan ekonomi selanjutnya
di Eropa. Walaupun demikian, hasil akhir dari gerakan revolusioner ini tidak
akan, di bawah situasi apapun, “berkebalikan” dari apa yang terjadi. Karena
kualitas unik dari pikiran dan karakter mereka, individu-individu yang
berpengaruh dapat mengubah fitur-fitur tertentu dari peristiwa dan beberapa
konsekuensi partikular mereka, tetapi mereka tidak dapat mengubah tren
umum, yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain.

VII
Terlebih lagi, kita juga harus mencatat hal yang berikut ini. Dalam
mendiskusikan peran yang dimainkan figur besar di dalam sejarah, kita
hampir selalu jatuh korban pada semacam ilusi optik. Penting untuk menarik
perhatian para pembaca ke perihal ini.
Dalam mengambil peran “pedang tajam” untuk menyelamatkan
ketertiban publik, Napoleon mencegah jendral-jendral lainnya dari
memainkan peran ini, dan beberapa dari mereka mungkin dapat memainkan
peran tersebut sama baiknya, atau hampir sama baiknya, seperti Napoleon.
Segera setelah kebutuhan publik akan seorang penguasa militer yang keras
telah terpenuhi, organisasi sosial memblok jalan ke posisi penguasa militer
bagi semua tentara bertalenta lainnya. Kekuasaan dari posisi ini menjadi
sebuah kekuasaan yang tidak mendukung munculnya talenta-talenta lain
yang serupa.
Ini adalah sebab dari ilusi optikal yang kita maksud. Kekuasaan pribadi
Napoleon mempresentasikan dirinya kepada kita dalam bentuk yang benar-
benar termagnifikasi, karena kita mengidentifikasikan kepadanya kekuatan
sosial yang telah mendorongnya ke depan dan mendukungnya. Kekuatan
Napoleon tampak sangat luar biasa karena kekuatan-kekuatan lainnya yang
serupa dengannya tidak bergerak dari potensi menjadi nyata. Dan ketika kita
ditanya, “Apa yang akan terjadi bila saja tidak ada Napoleon?” imajinasi kita
menjadi kacau dan tampak bagi kita bahwa tanpa dia gerakan sosial dimana
kekuatan dan pengaruhnya bersandar tidak akan terjadi.
Di dalam sejarah perkembangan intelek manusia, kesuksesan dari
individu tertentu mencegah kesuksesan individu lainnya jauh lebih jarang.
Tetapi bahkan di sini kita tidak bebas dari ilusi optik yang disebut di atas.
Ketika keadaan masyarakat tertentu menyajikan problem-problem tertentu di
hadapan perwakilan intelektualnya, perhatian dari pemikir-pemikir
terkemuka akan terkonsentrasikan pada problem-problem ini sampai mereka
terselesaikan. Segera setelah mereka telah berhasil menyelesaikan mereka,
perhatian mereka pindah ke objek yang lain. Dengan menyelesaikan sebuah
problem, seorang “A” yang bertalenta mengalihkan perhatian dari si “B”
yang bertalenta ke problem yang lain. Dan ketika kita ditanya: apa yang akan
terjadi bila si “A” meninggal sebelum dia menyelesaikan problem “X”? –
kita membayangkan bahwa alur perkembangan intelektual manusia akan
putus. Kita lupa bahwa bila “A” meninggal, maka “B”, atau “C”, atau “D”
mungkin dapat menyelesaikan problem tersebut dan alur perkembangan
intelektual akan tetap utuh kendati kematian prematur dari “A”.
Supaya seorang manusia yang memiliki talenta tertentu dapat, dengan
menggunakan talenta tersebut, mempengaruhi secara besar jalannya
peristiwa, dibutuhkan dua kondisi: Pertama, bakat ini harus membuat dia
lebih bersesuaian dengan kebutuhan sosial dari epos tertentu daripada orang
lain. Bila Napoleon memiliki berkah musik Beethoven dan bukannya
menjadi seorang jenius militer, dia tentu saja tidak akan menjadi seorang
kaisar. Kedua, orde sosial yang ada harus tidak menghalangi jalan dari orang
yang memiliki talenta yang dibutuhkan dan berguna pada saat tersebut.
Napeloen akan mati sebagai seorang Jendral, atau Kolonel, bila saja orde
lama Prancis tetap eksis selama 70 tahun lebih lama.[73] Pada tahun 1789,
Davout, Désaix, Marmont and MacDonald adalah perwira rendahan;
Bernadotte adalah seorang sersan mayor; Hoche, Marceau, Lefebre,
Pichegru, Ney, Massena, Murat and Soult adalah bintara (non-commissioned
officer); Augereau adalah seorang pemain anggar; Lannes adalah seorang
pekerja pewarna; Gouvin Saint-Cyr adalah seorang aktor; Jourdan adalah
seorang pedagang keliling; Bessieres adalah seorang tukang gunting rambut;
Brune adalah seorang typesetter; Joubert dan Junot adalah mahasiswa
hukum; Kleber adalah seorang arkitek; Martier tidak bergabung dengan
militer sebelum Revolusi.[74]
Bila saja orde lama terus eksis sampai hari ini, tidak akan pernah
terlintas di pikiran kita bahwa di Prancis, pada akhir abad sebelumnya [abad
ke-18], aktor, pekerja pewarna, pengacara, pedangan, dan pemain anggar
tersebut akan menjadi jenius militer yang potensial.[75]
Standhal memperhatikan bahwa seorang yang lahir pada saat yang sama
seperti Titian, pada tahun 1477, akan dapat hidup selama 40 tahun bersama
Raphael, yang meninggal pada 1520, dan dengan Leonardo da Vinci, yang
meninggal pada 1519; bahwa dia dapat menghabiskan banyak tahun dengan
Corregio, yang meninggal pada 1534, dan dengan Michelangelo, yang hidup
hingga 1563; bahwa dia akan berumur tidak lebih dari 34 tahun ketika
Giorgione meninggal; bahwa dia akan mengenal Tintoretto, Bossano,
Venorese, Julian Romano, dan Andrea del Sarto; bahwa, pendek kata, dia
akan menjadi kontemperor dari semua pelukis hebat dengan pengecualian
mereka yang dari Mahzab Bologna, yang muncul satu abad kemudian.[76]
Sama halnya juga, seorang yang lahir pada tahun yang sama dengan
Wouwermann akan mengenal secara pribadi semua pelukis hebat Belanda;
[77] dan seorang yang berumur sama dengan Shakespeare akan menjadi
seorang kontemporer dari sejumlah penulis drama hebat.[78]
Telah lama disaksikan bahwa talenta-talenta hebat muncul ketika
kondisi sosial yang mendukung perkembangan mereka eksis. Ini berarti
bahwa setiap manusia bertalenta yang muncul sesungguhnya, setiap manusia
berbakat yang menjadi sebuah kekuatan sosial, adalah produk dari relasi-
relasi sosial. Oleh karena itu, jelas mengapa manusia-manusia bertalenta ini,
seperti yang telah kami katakan, hanya dapat mengubah fitur-fitur individual
dari peristiwa, tetapi tidak dapat mengubah tren umum dari peristiwa;
mereka sendiri adalah produk dari tren tersebut; bila saja bukan karena tren
ini, mereka tidak akan bisa melewati batasan yang memisahkan apa yang
potensi dan apa yang nyata.
Tidak diragukan ada talenta dan talenta. “Ketika satu langkah segar
dalam perkembangan peradaban memanggil sebuah bentuk seni yang baru,”
kata Taine dengan benar, “sejumlah talenta yang hanya setengah
mengekspresikan pemikiran sosial muncul di sekeliling satu atau dua jenius
yang mengekspresikannya dengan sempurna.”[79] Bila, karena sebab-sebab
mekanik atau psikologi tertentu yang tidak berhubungan dengan jalan umum
dari perkembangan sosio-politik dan intelektual di Itali, Raphael,
Michelangelo, dan Leonardo da Vinci meninggal ketika masih kanak-kanak,
seni Itali akan lebih kurang sempurna, tetapi tren umum perkembangannya
pada periode Renaissance akan tetap sama. Raphael, Leonardo da Vinci, dan
Michelangelo tidak menciptakan tren ini; mereka hanyalah perwakilan
terbaik dari tren ini. Benar, biasanya sebuah mahzab timbul dari sekitar
seorang yang jenius, dan murid-muridnya mencoba mengkopi metode-
metodenya sampai ke detil-detil terkecil; dan inilah mengapa kekosongan di
dalam kesenian Itali pada periode Renaissance yang disebabkan oleh
kematian prematur Raphael, Michelangelo, dan Leonardo da Vinci akan
mempengaruhi dengan kuat banyak fitur-fitur sekunder dari sejarah
selanjutnya. Tetapi pada esensinya tidak akan ada perubahan di dalam
sejarah bila tidak ada perubahan penting di dalam alur umum perkembangan
intelektual di Itali karena sebab-sebab umum.
Namun, diketahui dengan baik bahwa perubahan-perubahan kuantitatif
pada akhirnya akan berubah menjadi perubahan-perubahan kualitatif. Ini
benar di mana-mana. Sebuah tren kesenian tertentu dapat berlangsung tanpa
ekspresi yang hebat bila sebuah kondisi tidak menguntungkan
menghilangkan satu per satu talenta-talenta hebat yang bisa memberikannya
ekspresi. Tetapi kematian prematur dari orang-orang berbakat ini dapat
mencegah ekspresi seni dari tren tersebut hanya bila tren tersebut terlalu
dangkal untuk menciptakan talenta-talenta baru. Akan tetapi, kedalaman dari
tren sastra dan seni tertentu ditentukan oleh berapa pentingnya ia untuk
sebuah kelas atau strata yang seleranya diekspresikan oleh tren tersebut, dan
oleh peran sosial yang dimainkan oleh kelas atau strata tersebut; di sini juga,
pada analisa terakhir, semua tergantung pada jalan perkembangan sosial dan
pada relasi kekuatan-kekuatan sosial.

VIII
Oleh karenanya, kualitas-kualitas pribadi dari para pemimpin
menentukan fitur-fitur individual dari peristiwa-peristiwa bersejarah; dan
elemen-elemen kebetulan, dalam artian yang telah kita definisikan, selalu
memainkan beberapa peran di dalam jalannya peristiwa, yang mana trennya
ditentukan pada analisa terakhir oleh sebab-sebab umum, yakni oleh
perkembangan kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan timbal-balik
antara manusia di dalam proses sosio-ekonomi produksi. Fenomena-
fenomena kasual dan kualitas-kualitas pribadi dari figur-figur ternama selalu
mudah dilihat dibandingkan sebab-sebab umum yang ada di bawah
permukaan. Abad ke-18 tidak begitu memperhatikan sebab-sebab umum,
dan mengklaim bahwa sejarah dapat dijelaskan oleh aksi-aksi sadar dan
“semangat-semangat” dari figur-figur historis. Para filsuf abad itu
menekankan bahwa sejarah dapat mengambil jalan yang benar-benar
berbeda sebagai akibat dari sebab-sebab yang paling tidak signifikan,
contohnya, bila “atom” tertentu memainkan lelucon di dalam pikiran sang
pemimpin (sebuah gagasan yang diekspresikan lebih dari sekali di Système
de la Nature).
Para pengikut tren baru di dalam ilmu sejarah mulai berargumen bahwa
sejarah tidak dapat mengambil jalan yang lain daripada apa yang sudah
terjadi, tidak peduli “atom” apapun. Berusaha keras untuk menekankan
pengaruh dari sebab-sebab umum sebesar mungkin, mereka mengabaikan
kualitas-kualitas pribadi dari figur-figur historis. Menurut argumen mereka,
peristiwa-peristiwa bersejarah tidak akan terpengaruh sedikitpun oleh
penggantian seseorang dengan orang yang lain, yang kurang lebih
berkapasitas. Tetapi bila kita menggunakan asumsi seperti itu, kita harus
mengakui bahwa elemen-elemen personal tidak ada signifikansi sama sekali
di dalam sejarah, dan bahwa semua dapat direduksi ke sebab-sebab umum,
ke hukum-hukum umum dari progres sejarah. Ini akan bergerak ke sisi
ekstrim, yang tidak meninggalkan ruang apapun untuk beberapa butir
kebenaran yang terkandung di dalam opini yang sebaliknya. Benturan antara
dua pandangan ini mengambil bentuk sebuah antimoni, yang pertama adalah
hukum umum, dan yang kedua adalah aktivitas individu. Dari sudut pandang
antimoni yang kedua, sejarah hanyalah sebuah rantai kebetulan-kebetulan;
dari sudut pandang antimoni yang pertama tampak bahwa bahkan fitur-fitur
individual dari perisitiwa-perisitiwa sejarah ditentukan oleh sebab-sebab
umum. Tetapi bila fitur-fitur individual dari peristiwa ditentukan oleh
pengaruh sebab-sebab umum dan tidak bergantung pada kualitas-kualitas
pribadi dari figur-figur bersejarah, maka dapat disimpulkan bahwa fitur-fitur
tersebut ditentukan oleh sebab-sebab umum, dan tidak dapat diubah, tidak
peduli sebanyak apapun figur-figur sejarah ini berubah. Maka, teori ini
mengambil sebuah karakter fatalistik.
Ini tidak luput dari perhatian musuh-musuh teori tersebut. Sainte-Beuve
membandingkan konsepsi sejarahnya Mignet dengan Bossuet. Bossuet
berpendapat bahwa kekuatan yang menyebabkan perisitwa-peristiwa
bersejarah terjadi datang dari surga, bahwa peristiwa-peristiwa bersejarah
mengekspresikan kehendak surga. Mignet mencari kekuatan ini di dalam
semangat manusia, yang ditunjukkan di dalam peristiwa-peristiwa sejarah
sebagai kekuatan alam yang tidak dapat dihentikan dan diubah. Tetapi
keduanya [Mignet dan Bossuet] menganggap sejarah sebagai sebuah rantai
fenomena yang tidak mungkin berubah, tidak peduli dalam kondisi apapun;
keduanya adalah fatalis; dalam hal ini, kaum filsuf tidak jauh berbeda
dengan pendeta (le philosophe se rapproche du prêtre).
Kritik ini dapat dibenarkan selama doktrin bahwa fenomena sosial
bersesuaian dengan hukum-hukum tertentu membuat kualitas-kualitas
pribadi dari figur-figur bersejarah menjadi nol. Dan kesan yang dibuat oleh
kritik ini semakin kuat karena para sejarahwan dari mahzab baru, seperti
sejarahwan dan filsuf abad ke-18, menganggap karakter manusia sebagai hal
yang lebih tinggi, darimana semua sebab-sebab umum gerakan sejarah
mengalir, dan dimana mereka semua tersubordinasikan. Karena Revolusi
Prancis telah menunjukkan bahwa perisitwa-peristiwa bersejarah tidak
ditentukan hanya oleh aksi-aksi sadar manusia, Mignet dan Cuizot, dan
sejarahwan lainnya yang dari tren yang sama, mengedepankan pengaruh dari
semangat, yang kadang berontak melawan semua kendali pikiran.
Tetapi bila semangat adalah sebab akhir dan paling umum dari
peristiwa-peristiwa bersejarah, lalu mengapai Sainte-Beuve salah dalam
menekankan bahwa hasil dari Revolusi Prancis mungkin akan berkebalikan
dari apa yang kita ketahui sekarang bila saja ada individu-individu yang
mampu memompa semangat yang berkebalikan ke rakyat Prancis? Mignot
akan menjawab: karena semangat-semangat yang lain tidak akan dapat
mengobarkan rakyat Prancis pada saat itu karena kualitas-kualitas karakter
alami manusia. Dalam pengertian tertentu ini benar. Tetapi kebenaran ini
akan memiliki nada yang sangat fatalistik, karena ini akan serupa dengan
tesis bahwa sejarah manusia, dalam semua detilnya, ditentukan oleh kualitas
umum dari karakter alami manusia. Fatalisme akan muncul di sini sebagai
hasil dari hilangnya individu-individu secara umum. Fatalisme selalu
merupakan hasil dari penghilangan semacam itu. Dikatakan: “Bila semua
fenomena sosial adalah niscaya, maka aktivitas kita tidak akan berarti apa-
apa.” Ini adalah sebuah gagasan tetap yang diformulasikan secara keliru.
Kita seharusnya berkata: Bila segala sesuatu terjadi sebagai akibat dari hal-
hal umum, maka individu-individu, termasuk usaha saya, tidak ada artinya.
Deduksi ini tepat, tetapi diaplikasikan secara keliru. Ini sama sekali tidak
berarti apa-apa bila diaplikasikan ke konsepsi materialis moderen dari
sejarah, dimana ada ruang untuk individu-individu. Tetapi ini dibenarkan
ketika diaplikasikan pada pandangan-pandangan para sejarahwan Prancis
pada periode Restorasi.
Pada jaman sekarang, karakter alami manusia tidak dapat lagi dianggap
sebagai sebab akhir dan paling umum dari progres sejarah: bila ia [karakter
alami manusia] konstan, ini tidak dapat menjelaskan jalan sejarah yang
sangat berubah-ubah; bila ia dapat berubah, tentu perubahan ini sendiri
ditentukan oleh progres sejarah. Sekarang kita harus menganggap
perkembangan tenaga-tenaga produksi sebagai sebab akhir dan paling umum
dari progres sejarah umat manusia, dan tenaga-tenaga produksi inilah yang
menentukan perubahan-perubahan selanjutnya dalam hubungan sosial antara
manusia. Paralel dengan sebab umum ini adalah sebab-sebab partikular,
yakni situasi sejarah dimana perkembangan kekuatan produksi dari sebuah
bangsa tertentu berlangsung, dan yang pada analisa terakhir situasi sejarah
tersebut sendirinya diciptakan oleh perkembangan kekuatan-kekuatan
produksi di antara bangsa-bangsa lain, yakni sebab umum yang sama.
Akhirnya, pengaruh dari sebab-sebab partikular ini ditambah dengan
operasi dari sebab-sebab individual, yakni kualitas-kualitas pribadi dari
figur-figur publik dan “kebetulan-kebetulan” lainnya, yang karenanya
peristiwa-peristiwa akhirnya mengambil fitur-fitur individual mereka.
Sebab-sebab individual tidak dapat membawa perubahan fundamental di
dalam operasi dari sebab-sebab umum dan partikular yang, terlebih lagi,
menentukan tren dan batas-batas dari pengaruh sebab-sebab individual.
Namun, tidak diragukan kalau sejarah akan memiliki fitur-fitur yang berbeda
bila saja sebab-sebab individual yang mempengaruhi sejarah tersebut
digantikan dengan yang lain.
Monod dan Lamprecht masih mengikuti sudut pandang karakter alami
manusia. Lamprecht, secara kategorikal, dan lebih dari sekali, telah
mengumumkan bahwa dalam pendapatnya mentalitas sosial adalah sebab
fundamental dari fenomena sejarah. Ini adalah sebuah kesalahan yang besar
dan sebagai akibat dari kesalahan ini hasrat untuk mengikutsertakan jumlah
total dari kehidupan sosial hanya akan berakhir dengan eklektisme atau, di
antara yang paling konsisten, ke argumennya Kablitz mengenai signifikansi
relatif dari akal dan indera.
Tetapi mari kita kembali lagi ke subjek kita. Seorang figur besar adalah
besar bukan karena kualitas-kualitas pribadinya memberikan fitur-fitur
individual pada perisitiwa sejarah besar, tetapi karena dia memiliki kualitas-
kualitas yang membuatnya paling bisa melayani kebutuhan-kebutuhan besar
sosial pada jamannya, kebutuhan-kebutuhan yang muncul sebagai akibat dari
sebab-sebab umum dan partikular. Dalam bukunya mengenai pahlawan dan
penyanjungan-pahlawan, Carlyle menyebut orang-orang besar sebagai
pelopor. Ini adalah deskripsi yang tepat. Seorang figur yang besar adalah
pelopor karena dia melihat lebih jauh daripada orang lain dan menghendaki
sesuatu lebih kuat daripada yang lainnya. Dia menyelesaikan problem-
problem ilmiah yang dikedepankan oleh proses perkembangan intelektual
yang sebelumnya; dia menunjukkan kebutuhan-kebutuhan sosial baru yang
diciptakan oleh perkembangan hubungan sosial sebelumnya; dia mengambil
inisiatif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial tersebut. Dia adalah
seorang pahlawan. Tetapi dia adalah seorang pahlawan bukan dalam artian
bahwa dia dapat menghentikan atau mengubah jalannya peristiwa, tetapi
dalam artian bahwa aktivitas-aktivitasnya adalah ekspresi sadar dan bebas
dari jalannya peristiwa yang tidak terelakkan dan tidak sadar. Di sinilah
terletak semua signifikansinya; di sinilah terletak semua kekuatannya. Tetapi
signifikansi ini amat besar, dan kekuatan ini sangat kuat.
Bismarck mengatakan bahwa kita tidak dapat membuat sejarah dan
harus menunggu sementara sejarah diciptakan. Tetapi siapa yang membuat
sejarah? Sejarah dibuat oleh manusia sosial, yang merupakan “faktor” satu-
satunya. Manusia sosial menciptakan hubungan sosialnya sendiri. Tetapi bila
dalam satu periode tertentu dia menciptakan hubungan sosial tertentu dan
bukan yang lainnya, ini tentu ada sebabnya; ini ditentukan oleh situasi
kekuatan produksinya. Tidak ada satupun figur besar yang bisa memaksakan
ke dalam masyarakat sebuah hubungan sosial yang sudah tidak sesuai
dengan kondisi kekuatan-kekuatan sosial atau yang belum sesuai dengan
kondisi kekuatan-kekuatan sosial. Di dalam pengertian ini, dia tidak dapat
membuat sejarah, dan di dalam pengertian ini, dalam kesia-siaan dia akan
mencoba menggeser jarum jamnya; dia tidak akan mempercepat arus waktu
atau memutar balik waktu. Di sini Lamprecht cukup benar: bahkan pada
masa kekuasaannya yang tertinggi Bismarck tidak dapat mengembalikan
Jerman ke ekonomi alamiah.
Hubungan-hubungan sosial memiliki logika dasar mereka; selama
manusia hidup di dalam sebuah relasi mutual tertentu, mereka akan merasa,
berpikir, dan bertindak dalam satu cara tertentu. Usaha-usaha untuk melawan
logika ini akan sia-sia; jalan alami dari perisitiwa (logika dari hubungan
sosial ini) akan membuat semua usaha tersebut menjadi nol. Tetapi bila saya
tahu ke arah mana relasi sosial berubah karena perubahan di dalam proses
sosio-ekonomi produksi, saya juga tahu ke arah mana mentalitas sosial akan
berubah; sebagai akibatnya, saya akan mampu mempengaruhinya.
Mempengaruhi mentalitas sosial berarti mempengaruhi peristiwa-peristiwa
sejarah. Maka, dalam pengertian tertentu, saya dapat membuat sejarah, dan
tidak perlu saya menunggu sementara “sejarah dibuat”.
Monod percaya bahwa peristiwa-peristiwa dan individu-individu yang
sangat penting di dalam sejarah hanyalah penting sebagai tanda dan simbol
dari perkembangan institusi dan kondisi ekonomi. Ide ini benar walaupun ide
ini diekspresikan secara tidak tepat; tetapi justru karena ide ini benar maka
adalah salah untuk mempertentangkan aktivitas-akvititas orang-orang besar
pada “progres lamban” dari kondisi dan institusi yang disebut di atas.
Perubahan yang kurang lebih lamban dari “kondisi-kondisi ekonomi” secara
periodik menghadapi masyarakat dengan kebutuhan perubahan institusi yang
kurang lebih cepat. Perubahan ini tidak pernah terjadi “dengan sendirinya”;
ia selalu membutuhkan intervensi dari manusia-manusia, yang lalu dihadapi
dengan masalah-masalah sosial yang besar. Dan manusia-manusia inilah
yang melakukan lebih banyak daripada yang lain dalam memfasilitasi solusi
dari masalah-masalah ini, dan manusia-manusia ini disebut orang-orang
besar. Tetapi menyelesaikan sebuah masalah tidak berarti hanya menjadi
sebuah “simbol” dan sebuah “tanda” dari kenyataan bahwa ia telah
terselesaikan.
Kami berpikir bahwa Monod mempertentangkan satu sama lain
terutama karena dia terbawa oleh semboyan “lamban”. Banyak kaum
evolusionis moderen yang senang dengan semboyan ini. Secara psikologis,
semangat ini dapat dipahami: secara tak terelakkan ia muncul di dalam ranah
moderasi dan kecermatan ... tetapi secara logika ia tidak lolos pemeriksaan,
seperti yang dibuktikan oleh Hegel.
Dan bukan hanya untuk “kaum pelopor”, bukan hanya untuk “orang-
orang besar” lapangan aktivitas yang luas ini terbuka. Lapangan ini terbuka
untuk siapapun yang punya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar,
dan hati untuk mengasihi tetangganya. Konsep besar adalah sebuah konsep
yang relatif. Dalam pengertian etis, setiap manusia, meminjam frase Kitab
Suci, “yang mengorbankan nyawanya untuk temannya” adalah seorang yang
besar.
Catatan:

[1] N. K. Mikhailovsky, yang membalas artikel Kablitz dalam Literary


Notes for 1878 [Ed.]

[2] Quietism adalah sebuah filosofi Kristen yang menyapu Prancis,


Italia, dan Spanyol pada abad ke-17, dimana diajarkan bahwa manusia harus
menarik keluar dirinya dari dunia, menolak kehendak bebas, menjadi pasif,
sebagai syarat untuk menjadi sempurna. [Ed.]

[3] Joseph Priestley (1733 – 1804) adalah ahli teologi, filsuf, ilmuwan,
dan ahli teori politik dari Inggirs. Dia dikenal sebagai ilmuwan yang
menemukan zat oksigen. [Ed.]

[4] Richard Price (1723 – 1791) adalah seorang filsuf dan penulis politik
dari Inggris. Dia adalah republikan radikal yang aktif. [Ed.]

[5] Seorang Prancis dari abad ke-17 akan terkejut dengan kombinasi
materialisme dan dogma relijius ini. Namun di Inggris tidak seorangpun
akan mengira ini aneh. Priestly sendiri sangat relijius. Negara lain,
kebudayaan lain.

[6] Kristen Keniscayaan adalah sebuah sekte Kristen yang memandang


bahwa kehendak manusia itu tidaklah bebas dan bahwa makhluk bermoral
tidak bertindak bebas tetapi mereka bertindak sesuai dengan keniscayaan.
[Ed.]

[7] Gustave Lanson (1857 – 1934) adalah seorang sejarahwan dan


kritikus sastra dari Prancis. Dia mengajar di Sorbonne, Paris. Dia adalah
figur utama dalam reformasi sistem universitas pada awal abad ke-20. [Ed.]

[8] Bandingkan Historie de la litterature francaise Vol I darinya

[9] Kaum Puritan adalah kelompok Protestan ekstremis pada abad ke-16
dan 17, yang merasa bahwa Reformasi Inggris tidaklah bergerak cukup jauh.
[Ed.]

[10] Diketahui dengan luas, menurut doktrin Calvin, bahwa semua


tindakan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan: “Yang kita maksud dengan
takdir adalah hukum abadi Tuhan, dimana dia sendiri telah bersatwa apa
yang sudah sepatutnya akan terjadi pada setiap manusia.” (Institutio, Buku
III, Bab 5). Menurut doktrin yang sama ini, Tuhan memilih hamba-hamba
tertentu untuk membebaskan rakyat yang tertindas. Seperti misalnya Musa,
yang membebaskan rakyat Israel. Semua menunjukkan bahwa Cromwell
juga melihat dirinya sebagai instrumen Tuhan: dia selalu menyebut
tindakannya sebagai buah dari kehendak Tuhan, dan mungkin, dia jujur
percaya bahwa tindakannya adalah buah kehendak Tuhan. Bagi dia, semua
tindakannya diwarnai oleh keniscayaan sebelumnya. Ini tidak mencegah dia
untuk berjuang demi kemenangan, ini bahkan memberikan perjuangannya
sebuah kekuattan yang besar.
[11] Martin Luther (1483-1546) adalah seorang pastor Jerman dan
profesor teologi yang memulai Reformasi Protestan. [Ed.]

[12] Hamlet adalah tokoh fiksi dalam drama Hamlet karya William
Shakespeare. [Ed.]

[13] Johann Fichte (1762 – 1814) adalah seorang filsuf Jerman. Dia
adalah figur pelopor dari gerakan filosofi yang dikenal sebagai Idealisme
Jerman. [Ed.]

[14] “Ini seperti halnya jarum kompas mendapatkan kepuasan dengan


berpaling ke timur, percaya bahwa gerakannya adalah independen dari
sebab-sebab lainnya, dan tidak sadar akan gerakan magnet yang tidak
terlihat.” Leibnitz, Theodicee, Lausanne, 1760, hal.598

[15] Kaum Subjektivis adalah pengikut metode subjektif dalam


sosiologi, yang menyangkal karakter objektif dari hukum perkembangan
sosial dan mereduksi sejarah ke aktivitas-aktivitas pahlawan-pahlawan,
“kepribadian-kepribadian hebat:. Pada paruh kedua abad ke-19, metode
subjektif dalam sosiologi diwakilkan di Rusia oleh kaum Narodnik liberal,
N.K. Mikhailovsky adalah salah satu dari mereka. [Ed.]

[16] Vissarion Belinsky (1811-1848) adalah seorang kritikus sastra


Rusia. [Ed.]

[17] Kita akan mengutip satu contoh lainnya, yang secara jelas
mengilustrasikan bagaimana kuatnya semangat orang-orang seperti ini.
Dalam suratnya kepada gurunya, Calvin, Renée de France, wanita
bangsawan Ferra, menulis seperti berikut: “Tidak, saya belum melupakan
apa yang kau tulis kepadaku: bahwa David sangat membenci musuh-musuh
Tuhan. Dan aku tidak akan pernah bertindak berbeda, karena saya tahu
bahwa sang Raja, ayahku, sang Ratu, ibuku, almarhum Pangeran, suamiku
(feu monsieur mon mari) dan semua anak-anakku telah diasingkan oleh
Tuhan, dan aku akan membenci mereka dengan satu rasa benci yang
mematikan dan menyumpah mereka ke Neraka,” dst. Sungguh suatu enerji
yang besar, yang menghancurkan, yang ditunjukkan oleh orang-orang yang
merasa seperti ini! Dan tetap saja orang-orang ini menyangkal bahwa ada
yang namanya kehendak bebas.

[18] Plekhanov merujuk cerita karangan I.S. Turgenev, “Hamlet of


Shchgrov Uyezd”. [Ed.]

[19] Monisme adalah sebuah filosofi yang melihat realitas sebagai satu
kesatuan yang didasari oleh satu prinsip.[Ed.]

[20] “Keniscayaan menjadi kebebasan, bukan dengan menghilang, tetapi


hanya dengan ekspresi eksternal dari identitas internalnya,” Hegel,
Wissenschaft der Logik (Sains dari Logika), Nurnberg, 1816, zweites Buch,
S.281

[21] Seperti yang dikatakan Hegel di buku lain: “Kebebasan adalah


tidak lain dari pernyataan tegas dari diri sendiri.” (Philosophie der Religion,
di Wenke, Bd.12, S.198)

[22] Acacii Acacievich adalah sebuah karakter di dalam ceritanya


Gogol, A Greatcoat (Sebuah Jubah Megah). [Ed.]

[23] Dalam usaha kami untuk mencapai sebuah sintesa, kami


diantisipasi oleh Mr. Kareyev. Namun sayangnya dia tidak bergerak lebih
jauh daripada mengakui truisme bahwa manusia terdiri dari nyawa dan
tubuh.

[24] Karl Lamprecht (1856-1915) adalah seorang sejarahwan dari


Jerman. Dia mempelajari sejarah Jerman dan Eropa, terutama Zaman
Pertengahan. [Ed.]

[25] Otto van Bismarck (1815-1898) adalah Kanselir Jerman yang


pertama dari tahun 1871-1890. [Ed.]

[26] Peperangan Franco-Prussia (1870-1871) adalah perang antara


Prancis dan Prussia, yang dimenangkan oleh Prussia dan membawa
penyatuan Jerman di bawah Raja Wilhem I. Perang ini juga lalu
menyebabkan pemberontakan di Paris yang dikenal sebagai Komune Paris
pada tahun 1871. [Ed.]

[27] Mengesampingkan esai-esai filosofi dan sejarah Lamprecht yang


lainnya, kami merujuk pada esainya, Der Ausgang des
geschichtswissenschaftlichen Kampfes, Die Zukunft, 1897, No.41.

[28] Gabriel Monod (1844-1923) adalah seorang sejarahwan Prancis.


[Ed.]

[29] Henri Pirenne (1862-1935) adalah seorang sejarahwan terkemuka


dari Belgia. Dia adalah ahli sejarah zaman pertengahan Eropa, terutama
Belgia. [Ed.]

[30] Francois Pierre Guillaume Guizot (1787-1874) adalah seorang


sejarahwan, orator, dan negarawan dari Prancis. Dia menjabat sebagai
Perdana Menteri Prancis pada tahun 1847-1848 di bawah raja Louis Phillipe.
Lalu pada tanggal 23 Februari 1848 pemerintahannya ditumbangkan oleh
sebuah Revolusi yang membawa Republik Prancis Kedua. [Ed.]

[31] Francois Mignet (1796-1884) adalah seorang jurnalis dan


sejarahwan dari Prancis. Bersama Adolphe Thiers, dia menemukan koran
liberal Le National pada tahun 1830 sebelum ditutup oleh Louis-Napoleon
Bonaparte pada kudetanya tahun 1851. [Ed.]

[32] Augustin Thierry (1795-1856) adalah seorang sejarahwan dari


Prancis. Dia adalah pemeluk erat visi dari Saint Simon, tokoh sosialis utopis,
dan menjadi sekretarisnya. [Ed.]

[33] Alexis de Tocqueville (1805-1859) adalah seorang sejarahwan dan


negarawan dari Prancis, yang terkenal dengan karyanya Democracy in
America. [Ed.]

[34] Giovanni Battista Vico (1668-1744) adalah seorang filsuf politik


dan sejarahwan dari Itali. [Ed.]

[35] Charles Montesquieu (1689-1755) adalah pemikir politik dan


sejarah yang hidup di Abad Pencerahan. Dia adalah pelopor pemisahkan
kekuasaan pemerintahan menjadi eksekutif, legislatif, dan yuridis. [Ed.]

[36] Johann Gottfried Herder (1744-1803) adalah filsuf, ahli teologi, dan
kritikus sastra dari Jerman. Pada umur 17 dia menjadi murid Immanuel Kant.
Di akhir karirnya, dia mendukung Revolusi Prancis 1789 yang membuatnya
dimusuhi oleh kolega-koleganya. [Ed.]

[37] Gabriel Bonnot de Mably (1709-1785) adalah filsuf, sejarahwan,


dan politisi Prancis. [Ed.]

[38] Dalam mitologi Yunani, Minos adalah raja Crete [Ed.]

[39] Lycurgus (800 SM – 730 SM) adalah tokoh legendaris Sparta yang
mengubah masyarakat Sparta menjadi masyarakat militer. [Ed.]
[40] Oeuvres Complètes de l’abbé de Mably, London 1783 (Vol.IV), 3,
14-22, 24 et 192.

[41] Lysander [meninggal 395 SM] adalah seorang jendral Sparta yang
berhasil menaklukan Athena dan menguasai Yunani. [Ed.]

[42] Ibid., hal.101.

[43] Periode Restorasi adalah periode terjadinya restorasi Monarki


setelah Revolusi. [Ed.]

[44] Bandingkan surat pertamanya dalam l'Histoire de France


denganl’Essai sur le genre dramatique sérieux pada jilid pertama dari
Oeuvres complètes de Beaumarchais.

[45] Revolusi Prancis 1789 adalah revolusi borjuis di Prancis yang


menumbangkan feodalisme. Revolusi ini adalah revolusi borjuis termegah
dan paling berpengaruh di dalam sejarah Eropa. [Ed.]

[46] Francois-Rene de Chateaubriand (1768-1848) adalah sastrawan,


politisi, dan diplomat Prancis. Dia dianggap sebagai pelopor Romantisme
dalam sastra Prancis. [Ed.]

[47] Oeuvres complètes de Chateaubriand, Paris 1804, VII, hal.58. Kami


juga merekomendasikan halaman selanjutnya kepada para pembaca; seorang
mungkin berpikir bahwa ini ditulis oleh Tuan N. Mikailevsky.

[48] Cf. Considérations sur l’histoire de France, lampiran dari Récits des
temps Mérévingiens, Paris 1840, hal.72.
[49] Dalam tinjauanya terhadap edisi ketiga dari Sejarah Revolusi
Prancis karya Mignet, Sainte-Beuve mengkaraterisasikan sikap sejarahwan
terhadap figur-figur besar seperti berikut ini: “Di hadapan emosi popular
yang luas dan besar yang harus dia gambarkan, dan di hadapan keimpotenan
dan ketidakberdayaan yang dialami oleh para jenius yang paling hebat dan
para bajik yang paling suci ketika massa rakyat bangkit, dia [Mignet]
menjadi kasihan terhadap manusia sebagai individu, dan hanya bisa melihat
di dalam mereka, dalam keterisolasinya, kelemahan mereka, dan tidak
mengijinkan mereka untuk mampu mengambil tindakan-tindakan efektif,
selain bersama-sama dengan massa.”

[50] Charles Augustin Sainte-Beuve (1804-1869) adalah kritikus sastra


dan salah satu figur utama dalam sejarah sastra Prancis. [Ed.]

[51] Peperangan Suksesi Austria (1740-1748) adalah perang yang


melibatkan hampir semua kerajaan di Eropa kecuali Polandia-Lituania.
Perang ini dipercik dengan dalih bahwa Maria Theresa dari Austria tidak
bisa mengambil tampuk kerajaan Habsburg dari ayahnya, Charles VI, karena
dia adalan perempuan, walau pada kenyataannya ini hanyalah alasan bagi
Prussia dan Prancis untuk merebut Austria. Perang ini selesai dengan Austria
kehilangan daerah Silesia kepada Prussia. [Ed.]

[52] Louis XV (1710-1774) adalah raja Prancis dari tahun 1715, yakni
semenjak berumur lima tahun, hingga tahun 1774. Di bawah kekuasaannya,
Prancis mengalami kekalahan pada Perang Tujuh Tahun dan kehilangan
koloninya di Amerika Utara. [Ed.]

[53] Perdamaian Aix-la-Chapelle adalah perdamaian yang diteken pada


18 Oktober 1748 untuk menutup Peperangan Suksesi Austria. [Ed.]

[54] Perang Tujuh Tahun (1754-1763) adalah perang besar di Eropa


yang melibatkan semua kekuatan Eropa. Dengan korban antara 900.000
hinggal 1.400.000, perang ini membawa perubahan besar dalam
perimbangan kekuatan di Eropa. Perang ini adalah antara koalisi Prusia dan
Inggris melawan koalisi Austria, Prancis, Russia, Swedia, dan Saxoni.
Perang berakhir dengan Perdamaian Prancis yang mengakhiri posisi Prancis
sebagai kekuatan koloni besar di benua Amerika. [Ed.]

[55] Madame Pompadour atau Jeanne Antoinette Poisson (1721-1764)


adalah mistress (istri) utama dari Raja Louis XV dari tahun 1745 hingga
1750. [Ed.]

[56] Maria-Theresa (1717-1780) adalah satu-satunya penguasa wanita


dari Kebangsawanan Habsburg. Dia berkuasa semenjak ayahnya Kaisar
Charles VI meninggal pada tahun 1840. [Ed.]

[57] Yang lain mengatakan bahwa ini adalah kesalahan Broglie yang
tidak menunggu temannya, karena dia tidak ingin berbagi kejayaan
kemenangan dengannya. Ini tidak mengubah apapun, karena ini tidak
mengubah hasil akhir.

[58] Mirabeau (1749-1791) adalah seorang jurnalis, diplomat, dan


politisi Prancis. Selama Revolusi Prancis, dia adalah seorang moderat dan
anggota partai monarki konstitusional. [Ed.]

[59] Maximilien Robespierre (1758-1794) adalah tokoh ternama dalam


Revolusi Prancis 1789. Dia mewakilkan sayap kiri radikal dari Revolusi
Prancis (Jacobin) yang tidak berkompromi dengan kaum aristokrasi. Dia
akhirnya dieksekusi oleh reaksi Thermidor. [Ed.]

[60] Napoleon Bonaparte (1769-1821) adalah seorang pemimpin militer


dan Kaisar Prancis. Pada tanggal 9 November 1799, dia melakukan kudeta
terhadap Republik Prancis yang lahir dari Revolusi Prancis 1789 dimana dia
mengangkat dirinya sebagai Kaisar Prancis. [Ed.]
[61] Histoire de France, 4th edition, XV, 520-21.

[62] Baca Memoires de madame du Haliffet, Paris, 1824, 181.

[63] La ve en France sous le premier Empire, de Broc, Paris, 1895, 35-


36.

[64] Kaum Girondis adalah representasi dari kelas borjuis besar pada
saat Revolusi Prancis 1798. Mereka berayun-ayun antara demokrasi dan
monarki. [Ed.]

[65] Thermidor adalah istilah yang digunakan Trotsky untuk merujuk


pada kaum birokrasi Soviet yang telah mengkhianati Revolusi Oktober.
Secara lebih umum, Thermidor menandai epos dimana rakyat mulai letih dan
elemen-elemen yang lebih konservatif dan birokratis mengambil alih kendali
revolusi. Istilah ini diambil dari konter-revolusi yang terjadi menyusul
Revolusi Prancis 1789. Pada tanggal 27 Juli 1794 (Thermidor ke-9),
pemerintahan Jacobin yang revolusioner digulingkan oleh elemen-elemen
yang lebih konservatif, dan ini berakhir dengan perebutan kekuasaan oleh
Napoleon Bonaparte pada tanggal 19 November 1799. Napoleon
menproklamirkan dirinya sebagai Kaisar seumur hidup dan mengubur
hampir semua pencapaian Revolusi Prancis. [Ed.]

[66] Thermidor, Floréal, Prairial, Messidor, Brumaire, dst. adalah nama-


nama bulan dair kalender Republikan yang diperkenalkan oleh Konvensi
1793. [Ed.]

[67] Brumaire XVIII (9 November 1799) adalah hari kudeta yang


dilakukan oleh Napoleon Bonaparte. Pemerintahan Direktorat digantikan
oleh Konsulat, dan lalu digantikan oleh Kerajaan. [Ed.]
[68] Pemerintahan Direktorat adalah pemerintahan yang dibentuk di
Prancis setelah kudeta 9 Thermidor (27 Juli). Pemerintahan ini
beranggotakan lima Direktur yang memegang kekuatan eksekutif, dan
berlangsung dari 2 November 1795 hingga 10 November 1799 ketika ia
ditumbangkan oleh Napoleon Bonaparte. [Ed.]

[69] La ve en France sous le premier Empire, de Broc, Paris, 1895, 35-


36.

[70] St. Helena adalah pulau pengasingan Napoleon Bonaparte dimana


dia akhirnya meninggal. [Ed.]

[71] Keluarga Dinasti Bourbon (1272 - ) adalah sebuah keluarga ningrat


Eropa yang memegang takhta kerajaan di Prancis, Spanyol, Naples, Sicily,
dan Parma. [Ed.]

[72] Louis Phillipe (1773-1850) adalah Raja Prancis dari tahun 1830-
1848, yang ditumbangkan oleh Revolusi 1848 yang membentuk Republik
Prancis kedua. [Ed.]

[73] Mungkin Napoleon akan berangkat ke Rusia, yang mana dia


bermaksud ke sana beberapa tahun sebelum Revolusi. Di sana, tidak
diragukan, dia akan meraih ketenaran dalam melawan orang-orang Turki
atau Caucasian, tetapi di sana tidak akan ada yang berpikir bahwa perwira
yang miskin ini, tetapi berbakat, dapat menjadi penguasa dunia di bawah
kondisi yang menguntungkan.

[74] Baca Histoire de France, V. Durey, Paris, 1893,11, 524-25.

[75] Dalam masa kekuasaan Louis XV, hanya satu perwakilan dari
estate ketiga, Chevert, yang dapat naik ke pangkat letnan jendral. Pada masa
kekuasaan Louix XVI, bahkan lebih sulit bagi anggota estate ini untuk
meniti karir militer. Baca Rambeaud, Histoire de la civilisation française,
6th edition, II, 226.

[76] Histoire de la Peinture en Italie, Paris, 1889, 23-25.

[77] Terburg, Brower dan Rembrandt lahir pada 1608; Adrain Van-
Ostade dan Ferdinand Bol lahir pada 1610; Van der Holst dan Cerard Dow
lahir pada 1615; Wouwermann lahir pada 1620; Werniks, Everdingen dan
Painaker lahir pada 1621; Bergham lahir pada 1624 dan Paul Potter 1629;
Jan Steen lahir pada 1626; Ruisdal dan Metsu lahir pada 1630; Van der
Haiden lahir pada 1637; Hobbema lahir pada 1638 dan Adrian Van der
Velde lahir pada 1639.

[78] Shakespeare. Beaumont, Fletcher, Jonson, Webster, Massinger,


Ford, Middleton dan Heywood, yang muncul pada waktu yang sama, atau
saling menyusuli, mewakili generasi baru yang, karena posisinya yang
menguntungkan, tumbuh subur di tanah yang telah dipersiapkan oleh usaha-
usaha dari generasi sebelumnya. Taine, Histoire de la littérature anglaise,
Paris, 1863, I, 468.

[79] Ibid., I, 5.

branches and trees fall into the stream. Weary of life they drift calmly
along to the mighty ocean. At night these fallen giants glide past Palembang,
looming vast and black in the moonlight. Now they are almost at their
journey's end and need only to pass the delta. Sometimes a branch brushes
against the shore, filling the air with the mystic incense of the jungle, so that
one is seized with a feeling of mingled joy and sadness.

Anda mungkin juga menyukai