Pendahuluan
Walaupun karya-karya ilmiah tentang sejarah dan kebudayaan
Indonesia terutama Jawa, telah banyak ditulis, hanya sedikit usaha yang
telah dilakukan untuk membuat analisis sistematis tentang konsepsi-
konsepsi politik tradisional atau pengaruhnya yang kuat dan tetap
terhadap Indonesia dewasa ini.
Kekurangan pertama sebagian dapat dikatakan disebabkan oleh
karena kepustakaan klasik Indonesia, berlainan dengan kepustakaan
Tionghoa dan India, tidak mengandung penjelasan-penjelasan lengkap
tentang “teori politik” asli berupa apapun. Karena itu, kalau sekarang ini
orang ingin merekonstruksi teori seperti itu, ia terpaksa harus mencarinya
dari sumber-sumber sejarah yang terpisah-pisah dan kemudian
menggabungkannya dengan pengertian-pengertian tidak lengkap yang
diambil dari pengalaman lapangan.
Kekurangan kedua jelas bersumber dari yang pertama tadi. Karena
penjelasan sistematis tentang teori politik dalam kepustakaan klasik
Indonesia tidak ada, maka telah timbul anggapan bahwa teori seperti itu
tidak pernah ada, walaupun dalam bentuk terselubung. Dengan begitu,
pendapat ini telah berakibat tidak disadarinya kepaduan dan logika
sesungguhnya dari konsep-konsep politik tradisional itu. Selanjutnya,
tiadanya kesadaran ini telah merupakan hambatan untuk menganalisis dan
menilai pengaruh konsepsi-konsepsi seperti itu terhadap tingkah laku
politik dewasa ini. Orang cenderung memilih unsur-unsur kebudayaan
tradisional [1] yang terpisah-pisah, dan menghubungkan-nya dengan
aspek-aspek tertentu dari politik yang ada di saat secara sesuka hati dan
demi maksud khusus orang itu pada saat itu. Faktor-faktor kebudayaan
Dalam esai ini, istilah tradisi, tradisi kebudayaan
1
sempurna atau logika matematis. Dalam kebudayaan tradisional itu, pola cetakan asli dicampur secara
tidak sempurna dengan' unsur-unsur yang berbeda-beda, yaitu unsur-unsur Brahma, Budha dan Islam.
Bagaimanapun juga, proses penyerapan dan sintesis yang pelan, yang telah berlangsung selama
berabad-abad sebelum “kedatangan Barat” itu, telah memungkmkan terjadinya kristalisasi yang
relatif lanjut dipandang dari segi konsistensi internnya. Jadi model yang saya coba gariskan adalah
“tipe ideal” pemikiran politik Jawa sebelum penjajahan, yang dengan sebaiknya jangan dianggap
sebagai kenyataan sejarah. Dengan ditundukkannya Jawa oleh pengaruh politik Jawa sekarang ini
adalah suatu kompleks unsur-unsur tradisional dan Barat yang heterogen, tidak berhubungan, dan
bertentangan secara internal, dengan logika dan keutuhan internal yang lebih rendah daripada di masa
lalu. Untuk mulai memahami kompleks ini, diperlukan suatu model pendahuluan dari kerangka
referensi sebelum datangnya Barat, yaitu model yang dicoba diberikan oleh esai ini.
9
Saya menggunakan “konsep Eropa modern” sebagai istilah ringkasnya yang mudah. Empat
gagasan pokok tentang kekuasaan yang saya kemukakan itu tidak timbul sekaligus, tetapi melalui
proses yang lambat dan tidak merata. Walaupun sebagian dari gagasan-gagasan ini mungkin jelas
dalam falsafat klasik, tetapi umumnya gagasan-gagasan itu tenggelam di zaman pertengahan, dan
hanya dalam periode-periode berikutnya kemudian berkembang penuh. Berteori secara eksplisit
mengenai hubungan antara kekuasaan dan keabsahan muncul dalam sejarah dari pertikaian yang lama
antara Paus dan para penguasa Eropa zaman pertengahan. Konsep kekuasaan modern sebagai suatu
yang abstrak sekurang-kurangnya berasal dari Machiavelli. Gagasan mengenai sumber kekuasaan
yang heterogen berkembang penuh secara filosofis dengan Montesquieu dan para penggantinya di
zaman kecerahan (enlightenment). Apa yang dapat dinamakan pandangan kekuasaan non-zera-sum
mungkin baru timbul setelah revolusi industri. (Masa-masa ini tentulah tidak lebih daripada tanda
titik-titik yang kasar dari saya). Jadi “konsep Eropa modern” mengenai kekuasaan sebagaimana yang
garis besarnya dikemukakan di sini, pada pokoknya merupakan puncak proses evolusi intelektual
yang berlangsung lama.
atau keabsahan, maka kekuasaan adalah abstraksi, suatu rumusan untuk
pola-pola interaksi sosial tertentu yang kebetulan sedang diamati. Jadi kita
biasanya menyimpulkan kekuasaan itu “ada” dalam berbagai macam
keadaan, di mana sebagian orang kelihatan patuh kepada kemauan orang
lain, baik dengan sukarela maupun tidak. Kita biasanya mengatakan
bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kekuasaan, hanya
dengan men unjukkan adanya hubungan sebab akibat antara perintah dan
pelaksanaannya, baik perintah itu eksplisit ataupun implisit.
2. Sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen. Karena kekuasaan
dianggap berasal atau disimpulkan dari pola-pola tingkah laku
dan hubungan-hubungan sosial tertentu, maka banyak pemikiran
politik Barat dicurahkan kepada cara mengklasifikasi-kan dan
menganalisis pola-pola dan hubungan-hubungan ini, dan dengan
demikian perhatian dicurahkan juga kepada bagaimana membeda-
bedakan berbagai sumber kekuasaan. Maka mereka (orang Barat)
telah menerima berbagai sumber kekuasaan seperti kekayaan, status
sosial, jabatan formal, organisasi, senjata, jumlah penduduk dan
sebagainya. Walaupun masing-masing sumber kekuasaan ini
dalam praktek dapat berhubungan satu dengan lainnya, dan
biasanya memang begitu juga, namun dalam analisis politik
sehari-hari masingmasing sumber itu diperlakukan sebagai
variabel-variabel terpisah yang mempengaruhi tingkah laku.
3. Akumulasi kekuasaan tidak ada batas-batasnya yang inheren.
Karena kekuasaan hanyalah suatu abstraksi yang
menggambarkan hubungan-hubungan tertentu antara manusia,
maka kekuasaan itu secara inheren tidak membatasi diri. Lagi pula,
kalau orang Barat menganggap bahwa sumber kekuasaan itu
mencakup senjata, kekayaan, organisasi dan teknologi, maka
mereka harus mengakui bahwa, sekurang-kurangnya dalam teori,
akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya. Dengan kata lain, kita
dapat mengatakan bahwa di mata orang Barat “jumlah” seluruh
kekuasaan yang ada di dunia sekarang ini jauh lebih besar
dibandingkan dengan tiga puluh tahun yang lalu (sebagai akibat dari
diciptakannya bom hidrogen umpamanya), dan bahwa “jumlah”
kekuasaan ini mungkin akan terus bertambah dalam waktu tiga
puluh tahun mendatang. Dalam pengertian ini, maka konsep
tentang kekuasaan langsung ditentukan dan dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi modern yang meningkat semakin
cepat.
4. Dan segi moral, kekuasaan itu berarti ganda. Adalah merupakan
akibat logis dari konsepsi sekuler. mengenal kekuasaan politik
sebagai hubungan antarmanusia, bahwa kekuasaan seperti itu
tidaklah dengan
sendirinya absah. Arti ganda moral ini tentu saja ditingkatkan oleh
anggapan bahwa kekuasaan diambil dari sumber-sumber yang heterogen.
Sifat heterogen ini telah memberi tekanan kepada pentingnya dan
rumitnya suatu masalah yang terus menjadi pemikiran para ahli teori
politik. Jenis kekuasaan manakah yang abash? Atau lebih tajam lagi,
apakah hubungan antara konsep positivis mengenal kekuasaan dengan
konsep etis mengenai kebenaran?
Jadi, secara ringkas kekuasaan menurut konsep Barat sekarang ini
adalah suatu abstraksi yang ditarik dari pola-pola interaksi sosial yang
terlihat; kekuasaan dianggap berasal dan sumber-sumber yang heterogen;
kekuasaan secara inheren tidak membatasi diri; dan dipandang dari segi
moral mempunyai arti ganda.
Pada intinya, masing-masing dasar pikiran tentang kekuasaan seperti
itu bertentangan dengan dasar pikiran yang sepadan dengan yang terdapat
dalam tradisi Jawa. Dan dari hubungan yang terdapat antara masing-
masing dasar pikiran Jawa, yang bertentangan dengan rangkaian dasar
pikiran Barat ini, timbullah kepaduan dan konsistensi tradisi itu.
1. Kekuasaan itu kongkret. Ini adalah dasar pikiran pertama dan
pokok dari pemikiran politik Jawa. Kekuasaan itu ada, terlepas dari orang
yang mungkin mempergunakannya. Kekuasaan bukan suatu anggapan
teoretis, melainkan suatu realitas yang benar-benar ada. Kekuasaan adalah
daya yang tidak dapat diraba, penuh misteri dan bersifat ketuhanan yang
menghidupkan seluruh alam semesta. Kekuasaan terwujud dalam setiap
aspek dunia alami, pada batu, kayu, awan dan api, tetapi dinyatakan
secara murni dalam misteri pokok kehidupan, yaitu proses generasi dan
regenerasi. Dalam pemikiran tradisional Jawa, tidak ada garis batas yang
tegas antara zat organis dan zat inorganis, karena segala sesuatunya
ditopang oleh kekuasaan sarna yang tidak kelihatan. Konsepsi yang
menyatakan bahwa seluruh kosmos ini dipenuhi oleh suatu daya yang
tidak berbentuk tetapi selalu kreatif, telah merupakan kaitan dasar antara
“animisme” yang terdapat di desa-desa Jawa dan paham pantaisme
metafisik tinggi yang terdapat di pusat-pusat perkotaan.10
2. Kekuasaan itu homogen. Dari konsepsi ini timbul pendapat bahwa
semua kekuasaan itu sarnajenisnya dan sarna pula sumbernya. Kekuasaan
Tuhan adalah Aku, menyatakan kongkretnya gagasan Jawa tentang kekuasaan. Kekuasaan Tuhan
adalah inti dari Aku, inti dari diri itu sendiri.
di tangan satu individu atau satu kelompok adalah identik dengan
kekuasaan yang ada di tangan individu atau kelompok lain mana pun.
3. Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap. Menurut
pandangan orang Jawa, alam semesta tidak bertambah luas dan tidak
pula bertambah sempit. Demikian pula jumlah kekuasaan yang
terdapat di dalamnya selalu tetap. Karena kekuasaan itu ada begitu
saja, dan bukan merupakan hasil dari organisasi, kekayaan,
persenjataan dan lain-lain, malah lebih dulu ada daripada
semuanya itu dan membuat semuanya seperti adanya, maka
jumlah keseluruhannya tidak berubah, walaupun pembagian
kekuasaan dalam alam semesta mungkin dapat berubah. Untuk teori
politik, pendapat ini mempunyai akibat penting yang semestinya,
yaitu terpusatnya kekuasaan di satu tempat atau pada satu
orang mengharuskan pengurangan jumlah kekuasaan di tempat
lain dalam jumlah yang sebanding.
4. Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan.11 Karena semua
kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka
kekuasaan itu sendiri lebih dahulu ada daripada masalah-masalah
baik dan buruk Mennrut cara pemikiran orang Jawa, menuntut hak
berkuasa berdasarkan sumber-sumber kekuasaan yang berbeda-
beda, tidak akan ada artihya, misalnya mengatakan bahwa
kekuasaan yang berdasarkan kekayaan adalah absah, sedang
kekuasaan yang berdasarkan senjata tidak absah. Kekuasaan tidak
absah dan tidak pula tidak absah. Kekuasaan ada.
Jadi sebagai kesimpulan, orang Jawa memandang kekuasaan sebagai
sesuatu yang kongkret, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, dan
sebagai kekuasaan tidak mempunyai implikasi-implikasi moral yang
inheren.12
Mencari Kekuasaan
Berbeda dengan tradisi teori politik Barat, masalah pokok yang
ditimbulkan konsepsi mengenai kekuasaan ini bukan masalah bagaimana
menggunakan kekuasaan, melainkan bagaimana menghimpunnya. Sesuai
dengan itu, sebagian besar kepustakaan tradisional lebih membicarakan
11
Sekurang-kurangnya tidak dalam bentuk yang biasa
kita kenal. Untuk pembiearaan yang lebih lengkap, lihatlahbagian “kekuasaan dan etika.”
12
Perbedaan ini, dari segi pandangan yang sedikit agak berbeda, dibiearakan dalam buku
Maruyama, Bab 9 (Same Problems ofPoltical Power), terutama bagian yang membicarakan “konsep-
konsep kekuasaan substantif dan fungsional” (hlm. 269-275).
masalah bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan,
daripada masalah bagaimana menggunakannya dengan wajar. Menurut
tradisi ortodoks, usaha memperoleh kekuasaan dilakukan melalui praktik-
praktik yoga dan bertapa yang sangat keras. Walaupun praktik-praktik
yoga berbeda-beda bentuknya di berbagai daerah Jawa termasuk
berpuasa, tidak tidur, bersemadi, tidak melakukan hubungan seksual,
pemurnian ritual dan mempersembahkan berbagai sesaji, terdapat satu
gagasan pokok yang mendasarmya. Semuanya dimaksudkan untuk
memfokuskan atau memusatkan hakikat asli. Tuntutan terbaik untuk
menghayati garis-garis besar konsepsi itu mungkin adalah gambaran suatu
suryakanta atau sinar laser, di mana pemusatan cahaya yang luar biasa
menciptakan curahan panas yang luar biasa. Analogi ini amat tepat,
karena dalam pelukisan klasik dalam kepustakaan Jawa, bertapa yang
amat keras memang mempunyai kemampuan untuk menimbulkan panas
fisik. Orang percaya bahwa para pembuat keris13 legendaris di zaman dulu
mampu menempa mata keris yang terbuat dari besi dengan pamornya
yang indah itu, hanya dengan panas yang terpusat dalam Ibu jari mereka.
Dalam cerita wayang14 pada bagian gara-gara yang khas di mana seorang
pertapa yang tak dikenal namanya sedang bersemedi, maka perwujudan
yang paling menyolok dan konsentrasinya adalah, seperti dikatakan sang
dalang, lautan mulai mendidih dan bergolak 15 Arti kejiwaan dari bertapa
seperti itu bukanlah sekali-kali penyiksaan diri dengan tujuan-tujuan etis,
melainkan hanyalah dan semata-mata untuk memperoleh kekuasaan.
Menurut tradisi ortodoks, bertapa mengikuti hukum kompensasi yang
fundamental bagi rasa orang Jawa tentang keseimbangan kosmos. Jadi
mengurangi diri lebih kurang sarna artinya dengan membesarkan diri
dengan cara bermatiraga; dan sebagaimana akan kita lihat nanti, dengan
paradoks khas Jawa, membesarkan diri (dengan pengertian ketamakan
pribadi atau memanjakan diri sendiri) menjadi sama artinya dengan
13
Orang percaya bahwa. banyak keris mengandung endapan-endapan kekuasaan dan amat dicari
orang, sekalipun cara pembuatannya tidak begitu mdah. Untuk keterangan panjang lebar tentang arti
keris secara simbolis dan sosial, lihatlah buku karangan W.R. Rassers, Panji: The Culture Hero, A
Structural Study ofReligion in Java (The Hague Nijhoft, 1959) hlm. 219-297.
14
Seperti diketahui, adegan gara-gara itu, di mana tata tertib dan ketenteraman alam semesta
terganggu, menjadi salah satu bagian klimaks dalam pertunjukan wayang kulit.
15
Bandingkan misalnya: Ki Siswoharsojo, Pakem Pedhalangan Lampahan Makutharama,
(Yogyakarta: tanpa nama penerbit, 1963), hlm. 44-45; J.Kats, Het Javaansche Toneel; 1 (Wajang
Poerwa) (Weltevreden, Commissie voor de Volkslectuur, 1923) hlm. 52 dan untuk parabel historis, di
mana bertapanya Panembahan Senapati menimbulkan akibat yang sarna, lihat: Soemarsaid Moertono,
State and Statecraft in Old Java, Cornell Modern Indonesia Project Monograph Series (Ithaca, N.Y.
Cornel University, 1968), hlm. 19 yang mengutip JJ. Meinsma, ed. Babad Tanah Djawi (The Hague,
Nijhoff, 1941), hlm. 77.
mengurangi diri sendiri (dengan pengertian hilangnya kekuasaan atau
hilangnya konsentrasi). Konsepsi mengenai pemusatanyang mendasari
praktik matiraga, juga rapat hubungannya dengan gagasan mengenai
kemurnian; sebaliknya, gagasan mengenai tiadanya kemurnian rapat pula
hubungannya dengan pemencaran (diffusion) dan disintegrasi.
Kenikmatan-kenikmatan duniawi tidak tentu pertama-tama dianggap jahat
atau tidak bermoral, tetapi merupakan sesuatu yang mengalihkan dan
mengacaukan pemikiran, dan karena itu menyebabkan hilangnya
kekuasaan. Banyak contoh garis pemikiran seperti ini ditemukan dalam
kepustakaan tradisional. Bukan hanya para satria yang suka melakukan
praktik-praktik matiraga. Sebagian dari mereka yang paling gigih
melakukan hidup mati raga ini berasal dari kalangan “buta” (dalam arti
Jawa) dan raksasa yang dalam lakon-lakon wayang merupakan musuh
abadi para dewa dan manusia. Karena itu, kekuasaan mereka sering luar
biasa, malah kadang-kadang melebihi kekuasaan dewa-dewa. Tetapi
perbedaan pokok antara para satria dan. musuh-musuhnya adalah bahwa
pada akhirnya musuh-musuhnya itu membiarkan kekuasaan mereka kacau
balau, karena mereka menuruti hawa nafsu tanpa kekangan, sedangkan
para satria mempertahankan kebulatan tekad dan kesatuan tujuannya
secara ketat, yang menjamin dapat dipertahankannya dan dihimpunnya
kekuasaan secara terus-menerus.16
Di samping pandangan ortodoks tentang jalan ke kekuasaan itu, di
Jawa terdapat juga tradisi lain yang heterodoks. Dalam sejarah, contoh
terbaik dari tradisi ini ialah pribadi Raja Singasariyang terakhir, yaitu Raja
Kertanegara. Menurut tradisi Bhairavis (Tantri) ini kekuasaan dicari
melalui mabuk-mabukan, pesta-pesta seks dan pembunuhan ritual. 17
Tetapi bahkan tradisi ini, yang masih mempunyai pengikut-pengikut
secara diam-diam di Indonesia sekarang ini, pada akhirnya juga berusaha
mencapai tujuan yang sama dengan tujuan tradisi yang lebih ortodoks.
Sebabnya adalah karena dalam sistem kepercayaan Bhairavis, mengikuti
hawa nafsu secara sistematis dalam bentuk yang paling ekstrem dianggap
16
Mungkin ada orang yang berpendapat bahwa ada
sejenis penilaian moral tentang kekuasaan yang terkandung dalam perbedaan antara satria dan
raksasa. Tetapi saya lebih cenderung untuk percaya, bahwa dalam menentukan penilaian moral,
yang diperhatikan bukanlah penggunaan kekuasaan itu tetapi terhimpun atau terpencarnya
kekuasaan itu. Kritik yang ditujukan kepada raksasa-raksasa adalah mengenai tidak mampunya
atau tidak bersedianya mereka itu menjaga kekuasaan yang telah mereka himpun.
17
Mengenai topik ini lihat W.F. Stutterheim, Het Hinduisme in de Archipel, ed. ke 3 (Jakarta dan
Groningen, Wolters, 1952) hlm. 63, 67, dan 138; dan W.F.Stutterheim, Studies in Indonesian
Archeology (The Hague, Nijhoff, 1956), hlm. 107-143.
dapat menghabiskan nafsu itu sendiri, sehingga memungkinkan
dipusatkannya kekuasaan seseorang tanpa mengalami halangan lebih
lanjut. Jadi dalam kedua tradisi itu, tujuan terakhir adalah pemusatan
kekuasaan walaupun jalan yang dipilih untuk mencapai tujuan ini amat
berbeda.
Walaupun bertapa pribadi umumnya dianggap sebagai cara yang
fundamental untuk menghimpun dan menyerap kekuasaan, pemikiran
Jawa tradisional juga mengakui bahwa proses penyerapan dan
penghimpunan itu dapat ditingkatkan, baik dengan melakukan upacara-
upacara tertentu yang sering berisi inti bertapa seperti berpuasa,
bersemadi dan sebagainya, maupun dengan memiliki barang-barang atau
orang-orang tertentu yang dianggap “berisi” kekuasaan. Karena C.C. Berg
telah menulis panjang lebar tentang mobilisasi ritual dari kekuasaan
melalui mantra dalam bentuk babad-babad Jawa Kuno, maka di sini kita
tidak perlu lagi menyelidiki masalah itu lebih lanjut.18 Tetapi akan sukar
sekali memahami arti sangat penting yang diberikan kepada upacara-
upacara kenegaraan di Indonesia modern tanpa mengingat bagian tradisi
ini. Obsesi dengan upacara ini biasanya ditafsirkan hanya sebagai
kesukaan berideologi, atau sebagai akal manipulatif untuk menyelubungi
kenyataan-kenyataan politik dan ekonomi sehingga tidak terlihat oleh
rakyat, atau sebagai cara untuk mengintegrasikan secara formal
kelompok-kelompok dan kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan dalam suatu bangsa di mana sarana-sarana kelembagaan
yang dipergunakan untuk maksud ini selalu dalam keadaan amat lemah.
Penilaian-penilaian seperti ini tentu sebagian benar (walaupun orang
mungkin berbeda pendapat mengenai sampai di mana para pemimpin
politik Indonesia secara sadar mempunyai motivasi seperti ini). Tetapi
tentu tidak layak untuk membantah bahwa arti penting yang diberikan
kepada upacara-upacara itu mungkin juga mempunyai dasar yang lebih
tradisional, sudah pasti dalam pikiran para penonton luar, dan mungkin
walaupun sampai batas tertentu, juga dalam pikiran para pemimpin itu
sendiri. Kita seharusnya jangan mengabaikan aspek dinamis dan agresif
pada upacara-upacara ini, dan mengecilkan pula derajat sampai di mana
18
Sebagian besar dari tulisan-tulisan C.C. Berg
berkisar sekitar tema ini. Untuk mengungkapkan yang baik, pendek dan komprehensif lihatlah
karangannya “The Javanese Picture of the Past” dalam buku Soedjatmoko, eds. An Introduction to
Indonesia Historiography (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1965) hlm. 87-177.
upacara-upacara ini melambangkan pemanggilan kekuasaan bagi para
pesertanya.19
Beberapa upacara sangat jelas bersifat memanggil seperti misalnya
mengadakan pertunjukan wayang di istana presiden dengan lakon-lakon
yang dipilih secara khusus karena simbolisme politiknya yang relevan;
memanggil para pemimpin berbagai kelompok spiritual dan mistik untuk
ikut serta dalam kampanye perang melawan Belanda waktu krisis Irian
tahun 196 1-1962; dan menegakkan suatu lingga modern dalam bentuk
Monumen Nasional. Tetapi banyak aspek khas lainnya dalam tingkah laku
politik umum di Indonesia modern, seperti rapat raksasa, pawai simbolis,
pidato yang berapi-api, menyebut-nyebut revolusi, walaupun kelihatannya
hampir tidak ada hubungan dengan tradisi, dan memang secara formal
diambil dari praktik politik Barat, tetapi dalam pengertian kalangan dalam
sangat berorientasi kepada kekuasaan dan dimaksudkan untuk
memusatkan dan memperlihatkan kekuasaan yang telah diserap dari
berbagai sumber, seperti kata-kata yang penuh kekuasaan (Pancasila,
revolusi, saptamarga),20 pengalaman penuh kekuasaan (revolusi) dan
kolektivitas-kolektivitas yang penuh kekuasaan (rakyat). 21 Sesungguhnya
banyak rapat raksasa politik yang diadakan Soekarno yang secara
menyolok dimaksudkan untuk menyampaikan suatu pesan kepada rakyat
atau memperlihatkan dukungan rakyat kepada Presiden, adalah tidak
kurang pentingnya sebagai cara menghimpun dan memperlihatkan
kekuasaan berdasarkan kepatuhan yang diberikan oleh ribuan orang
dengan suka rela. Semakin besar jumlah kelompok politik yang berbeda-
beda atau bahkan bermusuhan dapat dibawa ke dalam upacara-upacara
ini, semakin besar pulalah kekuasaan nyata yang dirasakan ada, yang
dimiliki oleh pemimpin upacara itu. Sudah pasti bahwa cara pidato
Soekarno yang seolah-olah mengucapkan mantra dalam gaya yang sangat
tradisional itu menainbah kehebatan upacara politik itu.22
19
Mengenai tafsiran yang agak berbeda mengenai
fungsi politik dari upacara, yang didefinisikan sebagai tujuan tersendiri, di bawah rubrik, Doctrine of the
Theater State lihat Clifford Geertz, Islam Observerd (New Haven, Yale University Press, 1968), hlm.
38.
20
Pancasila dan Revolusi tidak perlu diterangkan lagi. Sapta Marga adalah Tujuh Prinsip yang
merupakan kode Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang dirumuskan oleh Kolonel Bambang
Supeno pada permulaan tahun-tahun 1950-an.
21
Dapat dikemukakan di sini bahwa di Barat juga, barisan-barisan, rapat-rapat umum dan
seterusnya digunakan untuk memperoleh dan mempertunjukkan kekuasaan. Yang saya maksud di sini
adalah bahwa kekuasaan yang diperoleh dan dipertunjukkan itu dipandang dari segi yang amat
berbeda dalam kedua kebudayaan itu.
22
Mohammad Roem dalam pembicaraannya dengan penulis di Ithaca pada permulaan 1968
mengatakan, bahwa sebelum timbulnya pemimpin nasionalis H.O.S. Tjokroaminoto dalam tahun-
Lagi pula, menurut tradisi lama di Jawa, penguasa harus
mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apa pun yang
dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan. Keratonnya tidak saja
dipenuhi oleh koleksi benda-benda pusaka tradisional, seperti keris,
tombak, alat-alat musik suci, kereta dan sebangsanya, tetapi juga oleh
berbagai macam manusia luar biasa seperti orang bulai, pelawak, orang
kerdil dan ahli nujum. Karena tinggal bersama dalam keraton dengan
penguasa itu, maka kekuasaan yang dimiliki benda-benda dan orangorang
itu diserap dan ditambahkan pada kekuasaan penguasa. Kalau benda atau
orang itu hilang dengan cara bagaimanapun juga, maka ini dianggap
berkurangnya kekuasaan raja, dan sering dianggap sebagai pratanda
datangnya kehancuran dinasti yang sedang berkuasa. Sampai di mana
tradisi ini tetap hidup, bahkan dalam kalangan-kalangan elite politik,
bukan merupakan rahasia lagi bagi para pengamat situasi Indonesia di
zaman Soekarno. Tetapi barangkali baik dicatat bahwa dari segi politik,
yang penting ialah bahwa seseorang di anggap mempunyai benda-benda
atau manusia-manusia seperti itu dalam penguasaannya, walaupun
sebenarnya ia tidak mempunyainya ataupun tidak menggunakannya
dengan sungguh-sungguh. Suatu ilustrasi yang menarik dari gej ala ini
adalah keeenderungan sementara tokoh politik non-Jawa untuk berusaha
agar masyarakat Jawa percaya bahwa mereka juga memiliki beberapa
“upacara" (benda-benda keramat) kekuasaan itu.23
Pratanda-pratanda Kekuasaan
Jadi tradisi pemikiran politik Jawa seeara khas memberikan tekanan
kepada pratanda-pratanda pemusatan kekuasaan, dan bukan kepada
perbuatan yang memperlihatkan pemakaian atau penggunaannya.
Pratanda-pratanda ini dicari orang baik pada diri pemegang kekuasaan
maupun dalam masyarakat di mana ia memegang kekuasaan. Kedua hal
itu tentu saja berhubungan rapat. Menurut salah seorang cendekiawan
tahun 1910-an para ahli pidato politik meminjam gaya orator mereka dari sandiwara bangsawan. yang
selanjutnya sebagian besar mengambilnya pula dari teater Eropa. Gerak-gerik tangan dan kiasan-
kiasan biasanya agak mekanis dan formal. Pembaruan Tjokroaminoto yang besar, yang kemudian
diambil alih dan dikembangkan oleh Soekarno, adalah mendasarkan gaya pidatonya kepada gaya
pengucapan dalang. Ini memberikan kesempatan untuk digunakannya kiasan-kiasan tradisional dan
gaya suara tradisional dengan terampil oleh kedua orator ulung itu, untuk membangun hubungan yang
tidak ada sebelumnya dengan para pendengar mereka.
23
Beberapa dari mereka tentu saja telah cukup di-Jawakan untuk melakukan usaha sungguh-
sungguh guna mendapatkanjenis-jenis lambang kekuasaan Jawa itu.
Indonesia yang terkemuka dewasa ini, “konsep pokok dalam pandangan
hidup tradisional Jawa adalah adanya hubungan langsung antara keadaan
ba tin ses eora ng da n ke mampua nnya untuk me ngendal ikan
lingkungannya.”24
Dengan cara yang sungguh konsisten, pratanda yang paling jelas dan
orang yang mempunyai kekuasaan adalah kemampuannya berkonsentrasi.
Memfokuskan kekuasaan pribadinya sendiri, menyerap kekuasaan dari
luar dan memusatkan dalam dirinya hal-hal yang kelihatannya
bertentangan. Pemusatan jenis pertama telah kita bahas secara singkat; di
sini cukup dikatakan bahwa bertapa adalah pernyataan yang paling utama
dari kekuasaan yang dipusatkan. Kemampuan menyerap pemusatan-
pemusatan kekuasaan dari luar merupakan tema yang sering terdapat
dalam lakon-lakon wayang dandalam tradisi sejarah 25. Salah satu
gambaran khas, yang menghubungkan jenis penyerapan ini dengan
penyatuan dua prinsip yang berlawanan, adalah pertarungan antara
seorang satria dengan seorang musuh yang kuat, di mana setelah musuh
itu dikalahkan, dalam kematiannya ia memasuki tubuh sang satria, dan
dengan begitu menambah kekuatan sang satria penakluk. Suatu contoh
terkenal dalam kepustakaan wayang adalah cerita Prabu Parta yang
memasuki tubuh Arjuna setelah ia kalah dalam pertempuran. 26 Tetapi
lakon-lakon lain, seperti yang melukiskan roh Begawan Bagaspati yang
turun kepada Yudistira untuk memungkinkannya membunuh Prabu Salya,
atau penyatuan Srikandi dan Ambalika untuk menyiasati keruntuhan Resi
Bisma pada awal Perang Bratayuda, mengungkapkan adanya pola-pola
yang sejajar di mana kekuasaan diserap dari sumber-sumber eksternal.27
Tetapi tidak kurang menarik, dan barangkali dalam perspektif sejarah
memiliki arti yang bertahan lebih lama, adalah kemampuan memusatkan
hal-hal yang berlawanan. Lambang inkonografis klasik dalam hal ini
adalah gabungan antara kelakian dan kewanitaan. Dalam kesenian Jawa
Kuno gabungan ini tidak mengambil bentuk banci seperti di dunia
Hellenistis, yaitu suatu mahluk peralihan yang tidak mempunyai jenis
kelamin yang jelas, tetapi lebih menyerupai suatu mahluk di mana ciri-ciri
24
Soedjatmoko, “Indonesia: Problems and Opportunities” Australian Outlook, 21, no. 3
(Desember, 1967), hlm. 266.
Satu aspek yang biasa dalam penulisan sejarah Jawa Kuno, yaitu cerita-cerita tentang raja-raja
25
bersejarah sebagai penjelmaan dewa-dewa, atas dasar ini dapat ditafsirkan sebagai penyerapan
kekuasaan eksternal ke dalam diri penguasa itu. Lihat umpamanya: Berg. hlm. 93, 112.
26
Lihatjalan cerita lakonArimba. yang diringkaskan dalamKats. hlm. 282.
27
Lihat cerita lakon Pedjahipun Soejoedana dan Pedjahipttn Bima lan Seta, yang diringkaskan
dalam Kats, hlm. 436 dan 428.
khas lelaki dan wanita dijajarkan dengan tajam. Kita menemukan
misalnya dalam jenis arca ardhanari bahwa bagian kiri patung itu
fisiologis berhentuk wanita, sedangkan bagian kanannya lelaki. 28 Ciri
esensial dari gabungan hal-hal yang berlawanan ini bukanlah
perpaduannya, melainkan penggabungannya yang serentak dan dinamis
dalam suatu persenyawaan. Jadi gambaran ardhanari mewujudkan
vitalitas penguasa, kemanunggalannya, dan sifat sentralnya. Ia sekaligus
bersifat lelaki dan wanita, mengandung kedua unsur yang berlawanan
dalam dirinya, dan memegangnya dalam suatu perimbangan yang tegang
dan penuh daya.29
Walaupun dalam dunia seni gabungan lelaki-wanita merupakan
lambang kekuasaan, namun dalam dunia politik, karena alasan-alasan
yang jelas, sinkretisme dinamis dalam pemikiran Jawa menyatakan
dirinya dalam bentuk-bentuk lain. Pernyataan yang paling menarik
mengenai hal ini ialah apa yang dinamakan politik Nasakom dari bekas
Presiden Soekarno.30 Sewaktu Soekarno menyatakan dirinya nasionalis,
beragama dan komunis sekaligus, para pengamat di luar tradisi politik
Jawa sering menafsirkan bahwa ia mempergunakan bahasa manuver dan
kompromi. Orang sering menganggap rumusan Nasakom sebagai slogan
28
Suatu contoh yang indah dari gambaran hari-hara
ardhanari dapaf ditemui dalam buku Claire Holt, Art in Indonesia (Ithaca. N.Y.: Cornell University
Press, 1967), hlm. 81.
29
Penafsiran saya di sini sebagian diambil dari esai J.M. van der Kroef tentang “Transvestitism
and the Religiaus Hermaphrodite” dalam bukunya Indonesia in the Modem World (Bandung: Masa
Baru, 1956), hlm. 182-195, walaupun metade analisis sayajelas sekali berbeda dari metodenya. Orang
barangkali dapat melihat versi lain dari gabungan antara pria dan wanita sebagai suatu gambaran
gerakan kekuasaan, di dalam suatu lembaga yang menarik di keratan Jawa Tengah. Di antara berbagai
jenis upacara (benda-benda dan/atau orang-orang yang dianggap mengandung kekusaan) kerajaan,
jadi sebagian dari tanda kekuasaan penguasa, orang menemukan bedaya, yaitu suatu kelompak
khusus yang biasanya terdiri dari wanita yang bertanggung jawab menjaga upacara-upacara yang lain
dan mempertunjukkan tari-tarian istana yang paling suci. Suatu hal yang menarik adalah bilamana raja
pergi ke medan pertempuran, bedaya-.nya selalu dibawa; dan banyak kata-kata nyanyian yang
mengiringi tarian-tarian bedaya itu mengagungkan kemenangan-kemenangan raja. Menarik sekali
bahwa bukanlahpermeswari (ratu seniar) atau istri-istri resmi lain dari raja itu yang melakukan fungsi
mewakili unsur wanita dari kekuasaan, melainkan bedaya itu. Perkembangan selanjutnya dari
terdapatnya unsur lelaki dan wanita secara berdampingan ini, terungkap oleh kenyataan bahwa
sekurang-kurangnya di Yogyakarta sampai kepada pemerintahan Sultan Hamengku Buwano VII,
tarian bedaya ini dipertunjukkan aleh anak-anak lelaki muda yang diberi pakaian wanita.
Penjaga-penjaga tradisional dari lambang-lambang para penguasa Bugis dan Makassar di
Sulawesi Selatan dinamakan bissu, yaitu arang lelaki yang diberi pakaian gabungan antara pakaian
wanita dan pakaian lelaki. Untuk keterangan yang baik sekali tentang bissu ini, dengan foto-foto,
lihatlah buku Claire Holt, Dance Quest in Celebes (Paris, Les Archives Internatianales de la Dance,
1939), hlm. 27-3 6, 87-89 dan halaman bergambar 15-18, 94-97.
30
Palitik Nasakom, yang dijalankan Soekarno selama masa Demakrasi Terpimpin, dimaksudkan
untuk menggalakkan rasa saling percaya dan kerja sama antara kelompok-kelompok dan partai, yang
biasanya terbagi-bagi di bawah ketiga golongan itu.
yang tidak bertanggung jawab dan secara intelektual tidak mempunyai
keutuhan atau sebagai alat halus yang dipergunakan untuk melemahkan
prasangka-prasangka antikomunis dalam kelompok-kelompok nasionalis
dan agama yang besar pengaruhnya. Tetapi tafsiran-tafsiran seperti itu
belum berhasil menempatkan politik Nwswkom dalam konteks pemikiran
politik Jawa. Dalam pemlklran ini, rumusan Soekarno tidak dapat
ditafsirkan sebagai kompromi atau muslihat, tetapi sebagai pernyataan
yang kuat bahwa penguasa memiliki kekuasaan. Menurut persyaratannya,
semua pelaku politik lain dipaksa memainkan peranan bawahan sebagai
bagian-bagian dari sistem. Hanya Soekarno sajalah yang merupakan
keseluruhan, sembada, menyerap semuanya ke dalam dirinya dan
melakukan penaklukan sinkretis.
Tetapi tidak hanya di dalam simbolisme terbuka Nasakom orang
menemukan rumusan kekuasaan yang berupa kesatuan dalam
pertentangan-pertentangan.31 Hubungan yang sama ditemukan juga dalam
imbauan yang amat kuat yang dilakukan PNI di masa sebelum Perang
Dunia Kedua dan dalam tahun-tahun 60-an terutama dilakukan PKI, yaitu
imbauan yang sekaligus ditujukan kepada modernitas dan tradisi, atau
barangkali lebih tepat lagi mempertahankan tradisi dengan
memodernisasikannya. Ruth McVey telah memberikan uraian mendalam
dan halus mengenai perkembangan nasionalisme kebudayaan Indonesia
dalam sistem sekolah Taman Siswa sebelum Perang Dunia Kedua. 32 Ia
menunjukkan bagaimana pendiri Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara, telah
berhasil menggabungkan apa yang pada waktu itu merupakan teori-teori
pendidikan humanis yang sangat modern dengan unsur-unsur tradisional
dalam pendidikan Jawa, guna memberikan, sekurang-kurangnya untuk
zaman itu, suatu gabungan yang dinamis dan sangat efektif dari yang baru
dan yang lama, yang radikal dan yang konservatif. Sementara orang-orang
Belanda yang bersimpati berpendapat bahwa gagasan-gagasan Ki Hajar
diambil dari Froebel dan Montessori, para pengikut dari kalangan orang
Jawa memandang gagasan-gagasan itu sebagai gagasan-gagasan yang
timbul dari formulasi-formulasi yang dirumuskan oleh kelompok
31
Cukup menarik bahwa rumusan ini dalam bentuk
yang paling ringkas telah dinyatakan dalam lambang nasional Indonesia Bhinnekw Tunggwl Ikw. Moto
ini biasanya diterjemahkan dengan bersatu dalam keanekaragaman, dan sering dianggap serupa dengan
moto nasional Amerika Epluribus unum. Tetapi ada perbedaan nuansa yang penting antara kedua moto
itu. Moto Amerika mengandung arti suatu proses penyatuan dari unsur-unsur yang berbeda-beda,
sedangkan moto Indonesia menunjukkan tidak dapat dipisahkannya antara persatuan dan keragaman.
32
Ruth McVey, “Taman Siswa and the Indonesia National Awakening”, 4 Oktober 1967 hlm.
128-149.
kebatinan tradisionalis, yaitu Paguyuban Selasa Kliwon, yang dipimpin
oleh sekelompok ternan-ternan Ki Hajar. Sifat khas nasionalisme radikal
yang berwajah dua ini tentu saja dapat diterangkan dengan jelas dari segi
sosiologi dan sejarah. Tetapi keadaan rangkap dua ini dapat juga
dipandang sebagai pantulan orientasi dinamis terhadap kekuasaan dari
pemikiran Jawa itu.33
Kalau kemampuan menguasai hal-hal yang bertentangan dan
kemampuan menyerap lawan-Iawannya merupakan unsur-unsur penting
dari pernyataan seorang pemimpin bahwa ia mempunyai kekuasaan, maka
suatu pratanda umum yang menyolok bagi hal itu adalah apa yang secara
tradisional dinamakan wahyu oleh orang Jawa. Moertono menulis tentang
pancaran cahaya ini: “Wahyu ini digambarkan dalam berbagai bentuk dan
rupa, seperti cahaya terang benderang, suatu ‘bintang’, tetapi amat sering
kelihatan seperti bola cahaya gemerlap berwarna biru, hijau atau putih
(andaru, pulung) yang melintas cepat melalui langit malam.”34 (Bayangan
ini mengungkapkan identifikasi kekuasaan dan cahaya yang terdapat di
mana-mana dalam pemikiran Jawa). Gerak wahyu itu secara khas
merupakan pratanda kejatuhan suatu dinasti dan berpindahnya sumber
cahaya itu kepada dinasti lain. Dalam keadaan sehari-hari, adanya
kekuasaan itu lebih biasa ditandai oleh téja (pancaran sinar) yang
dianggap memancar dengan halus dari wajah atau badan orang yang
memiliki kekuasaan. Genggaman psikologis bayangan ini dapat dirasakan
sepintas kilas dalam suatu pidato Soekarno yang amat menarik dalam
tahun 1963, berkenaan dengan penganugerahan gelar doktor kehormatan
kepadanya di Universitas Indonesia di Jakarta. 35 Dalam kesempatan itu ia
berbicara panjang lebar tentang téja, dengan menyatakan bahwa berbagai
tokoh Eropa mempunyainya, dan yang paling terkenal di antaranya adalah
Adolf Hitler. Pembicaraan Soekarno tentang Hitler dan tejanya itu
mengagetkan beberapa pengamat Barat yang hadir waktu itu, yang
33
Dalam tahun enam puluhan, Partai Komunis
Indonesia berhasil sekali menghidupkan dan mengembangkan kembali serta menyesuaikan bentuk-
bentuk kesenian rakyat dan teater tradisional. Dengan menyajikan adaptasi-adaptasi kesenian
tradisional ini sebagai sesuatu yang jauh lebih modern dan lebih progresif dan juga lebih asli daripada
kebudayaan borjuis di kota-kota yang telah lepas dari akarnya, maka partai itu dengan sukses telah
memainkan perasaan-perasaan orang Jawa mengenai sifat kekuasaan.
34
Moertono, hlm. 56.
35
Soekarno, Ilmu Pengetahuan Sekedw' Alat Mencapai Sesllaw (Jakarta, Departemen Penerangan
Republik Indonesia, Penerbitan khusus 253 1963). Pidato ini diucapkan tanggal 2 Februari 1963. ' 36.
Sebagaimana akan kita lihat nanti, seorang penguasa dapat kehilangan tejanya karena melakukan
tindakan-tindakanjahat, tetapi teja itu telah datang terIebih duIu dan tidak dapat hanya dicapai dengan
tindakan-tindakan yang demikian itu.
menilainya dalam kerangka referensi sejarah Eropa. Tetapi dilihat dalam
kerangka tradisi Jawa, ucapan Soekarno itu merupakan analisis yang
tenang. Dalam menyebut Hitler, ia tidak pernah menyinggung kualitas-
kualitas moral pemerintahan Fuehrer itu. Mengapa Soekarno tidak
menyebut masalah moral ini, bukan karena ia tidak menghargai masalah-
masalah moral melainkan lebih karena dalam kategori-kategori teori
politik Jawa, persoalan moralitas suatu pemerintahan adalah soal kedua,
baik dalam pengertian historis maupun analitis dibandingkan dengan
aspek-aspek kekuasaan. Kenyataaan bahwa Hitler mempunyai teja adalah
persoalan pokok dan harus merupakan titik tolak setiap analisis tentang
rezimnya.36 Menurut tradisi, cahaya téja itu dihubungkan dengan
penampilan penguasa di depan umum. Moertono mengutip kasus
Amangkurat III (1703-1708), di mana diceritakan bahwa pada waktu ia
hampir digulingkan, ia telah “kehilangan cahayanya dan kelihatan pucat
seperti orang Cina yang sakit perut”. 37 Sebaliknya, Amangkurat II(1677-
1703), pada saat ia memutuskan untuk melawan serangan Trunajaya dan
mempertahankan Kerajaan Mataram yang sedang rontok itu, diceritakan
bahwa para pengikutnya “tidak mengenal pemimpin mereka karena
tadinya wajahnya begitu pucat dan tanpa ekspresi, sekarang wajahnya
menjadi bercahaya dan penuh keagungan.”38
Tetapi karena teja itu hanyalah merupakan perwujudan luar tenaga
dalam yang kreatif dari alam semesta, téja tidak hanya dapat muncul pada
wajah penguasa, tetapi juga dalam kemampuan seksualnya. Kejadian
istimewa berikut di mana diceritakan tentang krisis penggantian sesudah
wafatnya Amangkurat II pada tahun 1703, dimaksudkan untuk
menyatakan mengapa Pangeran Puger, yang dengan bantuan Belanda,
telah berhasil merebut singgasana dari kemenakannya, Amangkurat III,
sebagai pengganti yang sah dari raja yang telah mangkat itu. “Cerita itu
mengatakan bahwa alat kelaki-lakian raja (yang telah meninggal itu)
berdiri tegak, dan dipuncaknya terdapat cahaya, hanya sebesar butir
merica. Tetapi tidak seorang pun melihatnya. Hanya Pangeran Pugerlah
yang melihatnya. Pangeran Puger cepat-cepat menghisap cahaya itu.
Segera setelah cahaya itu dihisapnya, alat kelaki-lakian itu tidak berdiri
36
Sebagaimana akan kita lihat nanti, seorang
penguasa dapat kehilangan tejanya karena melakukan tindakan-tindakan jahat, tetapi teja itu telah
datang terIebih duIu dan tidak dapat hanya dicapai dengan tindakan-tindakan yang demikian itu.
37
Moertono, hlm. 40, mengutip Babad Tanah Djawi, hIm. 273.Di sini dan pada kedua catatan
berikut, terjemahan saya berbeda sedikit dengan terjemahan Moertono.
38
Moertono, hlm. 57, mengutip Babad Tanah Djawi, hlm. 174.
lagi. Kehendak Tuhanlah yang telah menentukan bahwa Pangeran Puger
harus menggantikannya di singgasana”.39 Memang kesuburan seksual
seorang penguasa adalah suatu pratanda yang sangat penting dari
kekuasaan yang dimilikinya, karena air maninya merupakan lambang
mikrokosmis dari kekuasaan yang telah dipusatkannya. Kesuburan
penguasa dianggap dapat menimbulkan dan sekaligus menjamin
kesuburan negara, kemakmuran masyarakat dan vitalitas kerajaan untuk
berekspansi. Masa Soekarno sekali lagi memberikan pararelisasi modern
yang menarik bagi gagasan lama ini.
Para pengamat asing dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di
Indonesia sering mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan seksual Soekarno
yang disiarkan secara luas itu, kelihatannya tidak merugikannya dari segi
politik. Malah dikatakan bahwa orang Jawa merasa bahwa memang sudah
kodratnya jika para penguasa bertindak seperti itu. Tetapi kalau analisis di
atas benar, maka aspek-aspek politik kehidupan pribadi Soekarno kurang
diperhatikan dalam perspektif seperti itu. Sebab, pratanda-pratanda
kejantanan penguasa adalah petunjuk-petunjuk politik bahwa ia masih
mempunyai kekuasaan. Sebaliknya, penurunan menyolok dalam kegiatan
seksual dapat dianggap sebagai tanda surutnya kekuasaan dalam hal-hal
lain. Para pengamat masa terakhir Demokrasi Terpimpin yang telah
berpengalaman memang cenderung untuk menduga bahwa para petugas
istana dengan sengaja menyiarkan berita yang dilebih-lebihkan tentang
kehidupan pribadi Presiden sebagai bagian dari usaha terus-menerus
mereka untuk mempertahankan kewibawaannya.
Pratanda-pratanda sosial dari pemusatan kekuasaan adalah
kesuburan, kemakmuran, stabilitas dan kemuliaan. Sebagaimana
dikatakan oleh dalang wayang beber dalam gambarannya yang klasik
tentang Kerajaan Kediri di Jawa zaman dulu: “Negara Kediri dapat
dilukiskan sebagai negara yang terbentang luas dan lebar, dengan pantai
yang panjang, gunung-gunung yang tinggi, subur, makmur, tentram dan
teratur. Kalau subur, maka desa-desalah yang subur; kalau makmur, maka
kerajaanlah yang makmur. Pangan dan sandang sangat murah. Bahkan
janda yang paling hina pun sanggup memiliki gajahnya sendiri dengan
pawangnya. Demikianlah kekayaan dan kemakmuran kerajaan itu. Tidak
ada yang meminta-minta dari orang lain; masing-masing mempunyai
39
Moertono, hIm. 58, mengutip Babad Tanah Djawi,
hIm. 260.
harta bendanya sendiri-sendiri. Semua ini berkat kayanya dan teraturnya
kerajaan itu.”40
Dua gagasan pokok yang terdapat di balik lukisan-lukisan
konvensional ini adalah kreativitas (kesuburan dan kemakmuran) dan
keselarasan (ketentraman dan tata tertib), yang dinyatakan dalam suatu
moto yang telah sangat tua dan yang begitu sering disebut-sebut oleh elite
sekarang ini, yaitu: tata tentrem karta rahmja (tertib, tentram, makmur
dan bahagia). Kesuburan dan ketertiban kedua-duanya hanyalah
pernyataan-pernyataan dari kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan
memberikan kehidupan. Kekuasaan adalah juga kemampuan
mempertahankan keketatan yang lancar dan bertindak sebagai besi berani
yang mengatur bubuk besi yang berserakan menjadi bidang daya yang
berpola. Sebaliknya, tanda-tanda melemahnya keketatan kekuasaan
seorang penguasa atau terpencarnya kekuatannya dapat juga dilihat dalam
perwujudan-perwujudan kekacauan dalam alam, seperti terjadinya banjir,
letusan gunung dan wabah penyakit, serta terlihat juga pada perilaku
sosial yang tidak pantas seperti pencurian, keserakahan dan
pembunuhan.41 Sekali lagi harus kita ingat bahwa dalam pemikiran Jawa
tidak terdapat pengaruh timbal balik antara kekuasaan yang mulai
menurun dan timbulnya gejala-gejala yang tidak diingini. Peri laku
antisosial timbul sebagai akibat menurunnya kekuasaan seorang penguasa,
tetapi perilaku itu sendiri selanjutnya tidak mengurangi kekuasaan itu.
Peri laku antisosial itu hanya merupakan pratanda dan bukan sebab dan
kejatuhannya. Karena itu, seorang penguasa yang pernah membiarkan
terjadinya kekacauan-kekacauan alam dan sosial akan amat sulit untuk
menegakkan kewibawaan kembali. Orang Jawa cenderung untuk percaya
bahwa seandainya penguasa itu masih mempunyai kekuasaan, tentulah
kekacauan-kekacauan itu tidak akan pernah terjadi. Pokoknya, kekacauan
itu terjadi bukan karena kondisi-kondisi sosial atau ekonomi yang otonom
melainkan karena kekuasaan dalam negara itu telah menjadi kendor dan
terpencar.
40
Kutipan ini diambil dari salinan yang tidak
diterbitkan dari suatu pertunjukan wayang beber yang direkam di Donorojo, Jawa Tengah, tahun
1963, oleh penulis sendiri. Mengenai wayang beber, lihat Holt, Art in Indonesia, hIm. 127-128.
41
Untuk mengetahui daftar yang baik dan terperinci dari gejaIa-gejaIa alamiah dan sosial yang
timbul di waktu kemunduran, lihat Cantrik Mataram (nama samaran), Peranan ramalan Jl)1joOOyo
dalam Revolusi kita, edisi ketiga (Bandung, Masa Baru, 1954), hIm. 29-31.
Kekuasaan dan Sejarah
Bagaimanakah gagasan tentang kekuasaan mempengaruhi pandangan
Jawa tradisional tentang sifat atau struktur proses sejarah? Sartono
mengemukakan bahwa perbedaan pokok antara pandangan Jawa
tradisional tentang sejarah dan perspektif Barat modern adalah bahwa
menurut pandangan modern, sejarah dipandang sebagai suatu gerakan
menurut garis lurus yang berjalan mengikuti waktu, sedangkan orang
Jawa secara tradisional cenderung menganggap sejarah mereka sebagai
serangkaian lingkaran yang terjadi berulang-ulang. Sartono berpendapat
bahwa walaupun para ahli sejarah dan ahli ilmu politik Barat berbeda
pendapat tentang arah sejarah yang mengikuti garis lurus, dan sampai ke
tingkat mana sejarah ditentukan oleh faktor-faktor obyektif, mereka
semuanya mempunyai perasaan sama, yaitu perasaan yang pada pokoknya
bersumber pada revolusi teknologi yang terjadi selama 200 tahun terakhir
ini, yang mengatakan bahwa sejarah tidak berulang (noniterative), dan
merupakan suatu rangkaian peristiwa unik yang dihubungkan oleh
hubungan sebab-akibat yang rumit. Sebaliknya, Sartono percaya bahwa
pemikiran historis Jawa tradisional, karena antara lain dipengaruhi oleh
tulisan-tulisan kosmologi Sanskerta, memandang sejarah sebagai suatu
lingkaran zaman (Yuga) yang bergerak dari zaman keemasan (Kertayuga),
seterusnya secara berturut-turut melalui zaman-zaman yang kurang
bahagia (Tretayuga dan Dyaparayuga) sampai kepada masa Kaliyuga
yang buruk, sebelum pada akhirnya roda itu berputar kembali dan
mengembalikan suatu zaman Kertayuga yang baru. 42 Tetapi penafsiran
saya ialah bahwa walaupun orang Jawa mungkin mempergunakan
unsurunsur kosmologi India untuk maksud-maksud klasifikasi formal,
namun perasaan intuitif mereka tentang proses historis pada dasarnya
adalah konsekuensi logis dari konsep mereka tentang kekuasaan. Dalam
pemikiran Jawa yang populer sekarang ini dan dalam kepustakaim masa
dulu, sedikit saja kita temui perasaan adanya lingkaran-lingkaran, dan
adanya keruntuhan dan kebangunan yang terjadi dengan teratur. Sebagai
gantinya kita temui kontras tajam yang diadakan antara zaman emas dan
42
Lihat Sartono Kartodirdjo, Catatan tentang segi-
segi mesianistis dalam sejarah Indonesia (Yogyakarta, Gadjah Mada, 1959). Tema pokoknya
memperlihatkan bagaimana SeratJoyoboyo yang bersifat ramalan itu menandai suatu pergeseran
penting dari pandangan sejarah yang bersifat siklus kepada pandangan sejarah yang bersifat linear di
bawah pengaruh eschatologi agama Islam. Bandingkanjuga Moertono, hIm. 81-82; dan Heinrich
Zimmer, Myths and Symbols in Indian Art and Civilization (New York, Harper Torchbooks, 1962),
hlm. 13-19,35-37.
zaman edan.43 Kedua jenis periode sejarah ini masing-masing dianggap
secara khas sebagai masa keteraturan dan masa kekacauan. Saya kira hal
yang sangat penting ialah bahwa pandangan sejarah orang Jawa adalah
pandangan gerak bolak-balik kosmologis antara masa-masa pemusatan
kekuasaan dan masa-masa terpencarnya kekuasaan. Jadi urutan historis
yang khas ialah terpusat - terpencar - terpusat - terpencar tanpa ada titik
istirahat apa pun.44 Dalam masing-masing masa pemusatan kekuasaan,
didirikanlah pusat-pusat kekuasaan baru (dinasti-dinasti, penguasa-
penguasa) dan kesatuan diciptakan kembali. Dalam setiap masa
terpencarnya kekuasaan, kekuasaan mulai surut dari pusat, dan dinasti
yang berkuasa mulai kehilangan haknya untuk memerintah dan timbullah
kekacauan. Demikianlah seterusnya sampai proses pemusatan mulai
kembali. Pentingnya masa terpencar ini, dari segi keharusan sejarah tidak
kurang daripada pentingnya masa pemusatan, karena kekuasaan amat
sukar untuk dipertahankan dan harus terus-menerus diperjuangkan. Kalau
kendor sedikit saja ataupun lengah maka ini dapat menyebabkan mulainya
proses disintegrasi, yang sekali telah mulai tidak dapat dibalikkan lagi,
(Pengendoran keketatan kosmologis ini disebabkan oleh pamrih yang
pada pokoknya berarti penggunaan kekuasaan demi keinginan-keinginan
pribadi atau menyia-nyiakan kekuasaan yang terpusatkan untuk
memuaskan nafsu-nafsu pribadi).45
Konsepsi sejarah ini dapat membantu menerangkan dua sifat
psikologi politik Jawa yang menonjol tetapi yang kelihatannya
43
Bahkan kosmologi Hindu menunjuk ke arah ini, karena pola perubahan tidak secara ketat
berbentuk lingkaran. Perubahan dari Kaliyuga ke Kertayuga tidak melalui tahap-tahap berangsur-
angsur dari reintegrasi, yang simetris dengan proses disintegrasi.
44
Saya ingin menekankan bahwa apa yang saya katakan ini hanya dimaksudkan sebagai
penafsiran pandangan J awa terhadap sejarah, dalam pengertiannya yang amat khusus. Hal ini bukan
penafsiran konsep Jawa tentang waktu, yang saya kira besar kemungkinannya sarna dengan konsep
Bali yang berdasarkan penanggalan gabungan, yang dengan cemerlang sekali telah diterangkan oleh
Clifford Geertz. (Lihat Geertz, Person, Time and Conduct in Bali, hIm. 45-53). Menurut perasaan
saya, yang pada pokoknya bersifat intuitif, adalah bahwa konsep waktu yang bersifat penanggalan dan
"berketepatan" (punctuality), di Jawa merupakan kerangka di mana terjadi kehidupan sosial sehari -
hari, dan pertama-tama berlaku dalam konteks kekeluargaan dan lokal. Mungkin karena sejarah
kerajaan Jawa yang panjang, timbuL tenggelamnya dinasti-dinasti yang nama-namanya dikenal
bahkan oleh para petani yang buta hurufmelalui tradisi wayang yang diucapkan, dan setelah itu masa
penjajahan yang lama pula, maka terdapat suatu pandangan tersendiri mengenai apa yang dapat
dinamakan sejarah politik, yang sarna sekali tidak bersifat penanggalan. Perspektif historis ini
kelihatan amat jelas dalam babad keraton-keraton dan tradisi yang panjang ten tang kepercayaan-
kepercayaan mesianistis dan millenarianistis di antara para petani, yang dibicarakan oleh Sartono.
Menurut pengetahuan saya yang terbatas, Bali memperlihatkan tiadanya secara relatifhistoriografi
dinasti-dinasti dan millenarianisme para petani.
45
Lihat bagian "kekuasaan dan etika", untuk suatu diskusi yang lebih lengkap ten tang arti dan
pentingnya pamrih.
bertentangan, yaitu pesimisme yang mendasar dan pada waktu yang sama
juga sifatnya yang mudah menerima imbauan-imbauan mesianis. Rasa
pesimisme ini berasal dari perasaan tentang tiadanya sifat kekal pada
kekuasaan yang terpusatkan, kesukaran yang dihadapi dalam
menghimpun dan mempertahankannya, dan perasaan tentang tidak dapat
dihindarkannya kekacauan yang terdapat di ‘sebelah sana’ karena
keteraturan. Tetapi mudahnya menerima mesianisme dalam waktu-waktu
kekacauan, timbul dari perasaan bahwa dalam kekacauan itu selalu
berlangsung pemusatan kekuasaan baru, sehingga orang harus siap-siaga
memperhatikan pratanda-pratanda kemunculan yang bakal terjadi itu, dan
segera mendekati pusat yang masih dini itu selekas mungkin serta
melekatkan diri pada orde yang baru itu segera setelah orde ini muncul.
Mesianisme ini jelas hanya sedikit saja mempunyai sifat garis (linear)
seperti yang terdapat pada banyak gerakan millenarisme Eropa, yang
percaya dunia akan berakhir dengan kedatangan Mesias. Orang Jawa
tradisional tidak merasa bahwa sejarah akan berakhir dan berkeyakinan
bahwa para juru selamat hanyalah untuk masa mereka masing-masing,
dan bahwa silih-bergantinya kekuasaan itu akan terus berlangsung
sebagaimana sebelumnya.
misalnya Benedict. Anderson"Indonesia: Unity against Progress", Current History (Februari 1965),
hIm. 75-81; Donald Hindley "President Sukarno and the Communists: The Politics of Domestication",
American Political Science Review, 56, no. 4 (Desember 1962), 915-926; Daniel S. Lev, "Political Parties
in Indonesia" Journal of Southeast Asian History. 8, no. 1 (Maret 1967) 52-67, terutama 61-64; dan
Herbert Feith, "Suharto's Search for Political Format" Indonesia, 6 (Okt. 1961),88-105.
pendiri kerajaan yang menggantikannya. Sering kali penguasa baru itu
adalah “orang baru” yang berasal dan golongan yang relatif rendah,
seperti misalnya Ken Arok, Panembahan Senopati, Soekarno, yang
memperoleh kekuasaan setelah terjadinya suatu masa kacau dan
pertumpahan darah. Walaupun sejarah Jawa dipengaruhi oleh kisah
berbagai pemberontakan, namun para pemimpin pemberontakan itu baru
dikatakan memperoleh wahyu sesudah mereka berhasil mendirikan dinasti
baru. Kegagalan dengan sendirinya diartikan (kemudian) sebagai
kenyataan bahwa pemimpin pemberontakan ltu tldak mempunyai
kekuasaan; seandainya ia memilikinya, tentulah ia berhasil. Pengakuan
utama atas keabsahan yang dilakukan oleh pendiri suatu dinasti baru
didasarkan atas keberhasilannya dalam menghancurkan pusat kekuasaan
yang terdahulu dan kepercayaan bahwa dalam melakukan itu, ia telah
menerima wahyu ketuhanan. Tetapi adalah khas bagi dorongan yang
dirasakan orang Jawa untuk mengarah ke pusat, ke arah akumulasi semua
himpunan kekuasaan. Penguasa, yang orang baru itu, sering kali mencoba
menghubungkan dirinya melalui babad-babad kraton dengan sisa-sisa
pusat kekuasaan dan kejayaan yang terdahulu. Schrieke, Berg dan
Moertono telah memperlihatkan secara panjang lebar adanya usaha-usaha
serentak untuk menghubungkan para orang baru yang menjadi pendiri
dinasti baru dengan orang-orang yang mereka gantikan melalui silsilah
yang rumlt (dan sermg dipalsukan).52 Ciri ini tentu bukan hanya milik
orang Jawa. Tetapi segi yang paling menarik dari “pemalsuan” sejarah
yang dilakukan orang Jawa ini adalah bahwa praktik ini pertama-tama
tidak dimaksudkan untuk mengadakan hubungan-hubungan keturunan
dengan dinasti-dinasti sebelumnya untuk membuktikan keabsahan legal
yang diwarisi, dalam hal mana hampir semua nenek-moyang yang mana
pun dapat dianggap mencukupi. Tetapi secara khas, hubungan-hubungan
keturunan ini dibuat dengan orang-orang yang paling berkuasa dan paling
terkenal dari dinasti-dinasti itu.
Karena itu dalam zaman modern ini kita temui orang-orang Jawa
yang mengaku bahwa ia keturunan Sultan Agung yang besar dari dinasti
Mataram (1613-1646), atau bahwa iamemiliki peninggalan-peninggalan
sakti (gong, keris, dan sebagainya) dari penguasa itu. Tetapi hampir tidak
pernah kedengaran orang mengatakan bahwa ia keturunan para pengganti
52
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, 2, bk, 1 (The, Hague and Bandung: Van Hoeve,
1957), Bab 1 dan 2; Moertono, hIm. 52-54, 63-64; C.C Berg, "Javaansche Geschiedschrijving" dalam
F.W. Stappel, editor; Geschiedenis van Nederlandsch Indie (Amsterdam, Joost van den Vondel,
1938).
Sultan Agung itu, yang juga tidak kurang kesenangannya dalam hal
banyak kawin, tetapi kurang mahir dipandang dari segi politik, seperti
Amangkurat I, II, III, dan IV. Masalahnya di sini bukan hanya
“kecemerlangan” historis pemerintahan Sultan Agung, melainkan juga
sifat pemikiran kosmologis Jawa tradisional yang tidak membuat
perbedaan yang jelas antara yang hidup dan yang mati. Orang mati dapat
juga memiliki kekuasaan sebagaimana orang hidup. Seorang penguasa
yang kekuasaannya demikian unggulnya seperti Sultan Agung, dalam
kematiannya sekurang-kurangnya masih mempunyai berbagai sisa
pemusatan kekuasaan besar yang dimilikinya semasa hidupnya. Jadi
kaitan-kaitan khas dengan Sultan Agung, sebagian adalah demi
kontinuitas historis, tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk
menangkap dan menyerap himpunan kekuasaan yang telah terkenal.
Dalam tradisi seperti inilah kita menemui Soekarno yang menyatakan
bahwa ia keturunan langsung bukan hanya dari seorang nenekmoyang
kerajaan biasa, melainkan dari seorang raja Singaraja yang
amattermashur, keturunan Raja Jayabaya dari Kediri yang terkenal
sebagai peramal, dan juga keturunan wali Islam awal penyebar agama
yang terbesar, ialah Sunan Kalijaga.53 Sudah tentu, sebaliknya, kejatuhan
seorang penguasa dapat menyebabkan dipercayainya secara luas cerita-
cerita yang disebarkan kalangan oposisi bawah tanah yang mengatakan
bahwa penguasa itu sesungguhnya bukan anak raja ini atau raja itu,
melainkan, umpamanya, anak seorang Belanda tuan kebon, atau seorang
Indo.
Tetapi kenyataan bahwa pada akhirnya hubungan yang dicari adalah
hubungan keturunan, menunjukkan sekalilagi adanya hubungan antara
seksualitas dan kekuasaan dalam pemikiran Jawa, dan gagasan bahwa
mani manusia, terutama mani seseorang yang mempunyai kekuasaan,
merupakan suatu pemusatan kekuasaan tersendiri dan merupakan alat
untuk mewariskannya. 54 Memang, dalam waktu-waktu normal, ketika
53
Untuk kedua pengakuan pertama, lihat Cindy Adams, Soekarno, An Autobiography
(Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1965), hIm. 19. Pengakuan terakhir terdapat dalam Sin Po, 13 April
1958. Soekarno menyingkap bagian silsilahnya ini setelah ia berkunjung ke Kadilangu, dekat
Demak, di mana dikatakan terletak kuburan Sunan Kalijaga. Kita tidak perlu mempersoalkan kebenaran
atau kepalsuan silsilah ini. Yang perlu diperhatikan ialah mengapa silsilah itu dikemukakan.
54
Di sini harus dicatat, bahwa sekurang-kurangnya ada satu alasan bagi ditekankannya larangan
seks untuk kepentingan akumulasi kekuasaan yaitu karena dengan begitu orang dapat menjaga air
maninya agar tetap dalam dirinya dan tidak membiarkannya terbuang-buang keluar dengan percuma
saja. Mungkin orang bertanya bagaimana orang Jawa dapat menyesuaikan larangan seks ini dengan
tekanan yang mereka berikan kepada seksualitas seorang penguasa sebagai suatu pratanda vitalitas
kerajaan dan masyarakat Ada beberapa jawaban yang mungkin diberikan_ Pertama ialah bahwa kedua
suatu dinasti dapat mengendalikan kerajaan secara terjamin, pengganti
raja dilakukan melalui dan di dalam kelompok keturunan raja. Tetapi
konsepsi penggantian ini amat berbeda dengan pewarisan dinasti di Eropa,
di mana pertimbangan-pertimbangan utama adalah legal dan birokratis.
Dalam tradisi Jawa, setiap generasi berikutnya yang semakin jauh dari
seorang penguasa tertentu, jatuh kedudukannya satu tingkat, sampai pada
generasi ketujuh, di mana orang-orang yang mempunyai garis keturunan
itu kembali terlebur ke dalam kelompok luas orang biasa, kecuali kalau
sementara itu mereka dapat menciptakan hubungan keturunan yang lebih
baru dan lebih segar dengan para raja selanjutnya. Dalam proses ini, kita
dapat melihat dengan jelas konsepsi tentang mani sang raja sebagai
sumber kekuasaan, yang pemusatannya secara berangsur-angsur mengecil
dengan bertambah jauhnya jarak historis dengan sumber aslinya, dan
bertambah banyaknya percampuran dengan mani yang tidak bersifat
kerajaan. Jadi hubungan pokok dengan penguasa diukur menurut
jaraknya, apakah melalui garis keturunan ataukah, sebagaimana akan kita
lihat nanti, melalui poros-poros lain dari kekuasaan raja. Para pengganti
pendiri kerajaan mengambil kekuasaan asli mereka dari dorongan pertama
yang diberikan oleh pendiri itu sendiri. Tetapi kekuasaan ini cenderung
untuk makin lama makin memencar dari generasi ke generasi. Kalau
kekuasaan tidak diperbarui. dan diintegrasikan kembali oleh usaha-usaha
pribadi yang dililkukan seorang keturunan tertentu, maka dinasti itu akan
runtuh dengan sendirinya karena sudah melemah.
hal itu tidak sepenuhnya dapat disesuaikan, tetapi diambil dari tradisi ortodoks dan tradisi heterodoks
mengenai mendapatkan kekuasaan yang telah kita perbincangkan sebelum ini. Jawaban yang lain
ialah bahwa penguasa itu memiliki kekuasaan dalam jumlah yang begitu berlimpah dalam dirinya,
sehingga ia "mampu" membuang sebagian dalam aktivitas seksual secara meluas. Saya cenderung
mengira bahwa apa yang kelihatannya bertentangan itu, dapat diselesaikan kalau seksualitas itu
dikaitkan dengan kesuburan. Kekuasaan raja itu diungkapkan oleh kemampuannya untuk menciptakan
para pengganti dan memindahkan kekuasaannya kepada mereka. Orang Jawa biasa tidak mempunyai
cara untuk mengetahui kesuburan penguasa, selain dengan mengetahui jumlah anak yang
dihasilkannya. Seandainya penguasa itu impoten atau tidak dapat beranak, hal itu dapat dianggap
sebagai tanda kelemahan politik. Masa pertapa yang kadang-kadang dilakukan penguasa, akan
menjadi lebih besar artinya kalau di samping itu vitalitas seksualnya jelas sekali. Adalah menarik
bahwa dalam lakon-Iakon wayang, sedikit disebut hubungan seksual antara para satria dengan para
wanita mereka yang tidak langsung mengakibatkan kehamilan. Kesuburan dalam hubung-'n seksual
ini sampai dibawa kepada hal-hal yang lucu dalam beberapa lakon dagelan di mana dikatakan bahwa
bahkan dewadewaitu sendiri menjadi hamil sewaktu mereka mandi dalam suatu kolam di mana satria
Pandawa, Arjuna, sedang melakukan sanggama di bawah permu-'aan . air dengan seorang widadari.
Aktivitas seksual tanpa kehamllan, tIdak mempunyai harga politik.
Konsep kekuasaan Jawa ada juga implikasi-implikasinya bagi
konsepsi-konsepsi tentang kedaulatan, integritas teritorial, dan hubungan-
hubungan luar negeri. Moertono dan lain-lainnya telah memperlihatkan
ketentuan yang hampir tidak berubah dalam lakon-lakon wayang dan
dalam tradisi historis, bahwa nama-nama kekaisaran atau kerajaan sarna
dengan nama ibu kotanya. Di antara contoh-contoh yang terkenal adalah
Majapahit, Singasari, Kediri dan Demak55 Memang bahasa Jawa tidak
membuat perbedaan etimologis yang jelas antara ibu kota negara dan
kerajaan itu sendiri. Kedua pengertian ini tercakup dalam kata negari. Jadi
negara secara khas ditentukan, bukan oleh batas wilayahnya, melainkan
oleh pusatnya. Luas wilayah negara selalu mengalami perubahan sesuai
dengan jumlah kekuasaan yang dikonsentrasikan di pusat. Tapal-tapal
batas tertentu dan umumnya diakui dalam praktik, umpamanya hambatan-
hambatan geografis yang hebat, seperti pegunungan dan lautan, yang juga
cenderung dianggap sebagai tempat tinggal kekuatan-kekuatan gaib yang
besar kuasanya. Dengan pengecualian itu, kerajaan biasanya dianggap
tidak mempunyai batas-batas yang tetap dan dipetakan, tetapi mempunyai
batas-batas tidak tetap dan selalu berubah. Dalam pengertian
sesungguhnya, tapal batas politis tidak ada sarna sekali, karena kekuasaan
seorang penguasa berangsur-angsur semakin lemah dikejauhan dan secara
tak terasa menyatu dengan kekuasaan raJa tetangga yang semakin
menanjak.
Perspektif ini memperjelas perbedaan fundamental antara gagasan
lama mengenai suatu kerajaan Asia Tenggara dan negara modern yang
bersumber dari pandangan-pandangan yang sarna sekali berbeda tentang
arti tapal batas. Implisit di dalam gagasan negara modern ialah konsepsi
bahwa tapal batas menandaI turunnya secara cepat dan mendadak
“voltase” kekuasaan para penguasa negara itu. Sepuluh meter di sebelah
sini tapal batas kekuasaan mereka “berdaulat”; sepuluh meter di sebelah
sana dalam teori, kekuasaan mereka tidak berarti.56 Lagi pula, di tempat
mana pun di dalam wilayah tapal batas negara, kekuasaan pusat secara
teoretis seragam beratnya. Para warga negara yang tinggal di daerah
pinggiran kerajaan, harus mempunyal status yang sama dengan warga
negara yang tinggal dl pusat, dan kewaJiban-kewajiban hukum harus
55
Hal sarna kelihatannya berlakujuga di Birma,
Muangthai, dan Kamboja.
56
Pengakuan atas daerah-daerah pengaruh yang melampaui garis-garis batas legal-kartogra-'s,
merupakan perubahan sebagian dari gagasan ini, tetapi adalah menank ba-'wa kata pengaruhlah yang
dipergunakan sebagian untuk m-'ngliormatl gagasan negara nasional yang berdaulat untuk
menand-'l -'erubaha.n kualitatif dari gagasan tentang kekuasa-'n yang· terorgamsasl secara mtern.
berlaku seragarn di seluruh daerah negara. Karena gagasan tradisional
tentang kekuasaan sama sekali berbeda sifatnya, dan gagasan untuk
menerapkan kekuasaan secara seragam di seluruh wilayah tidak ada
artinya, maka konsep tapal batas terbatas sekali artinya; sifat negara
tradisional ditentukan oleh pusatnya, bukan oleh batas pinggirnya.57
Sifat pemikiran Jawa tradisional yang sangat berorientasi kepada
pusat, jelas sekali dilukiskan oleh terbaginya dunia menjadi dua jenis
negara: Jawa dan Sabrang (kata yang tidak dibedakan yang berarti
“seberang lautan”, tetapi pada pokoknya dipergunakan untuk
menunjukkan semua kelompok dan satuan politik yang bukan Jawa).
Walaupun sopan-santun dan persyaratan ideologi nasionalisme Indonesia
dewasa ini telah menjadikan pembagian seperti ini tidak dapat diterima di
depan umum, namun dalam pembicaraan-pembicaraan pribadi dengan
banyak orang Jawa masih kita dapati sisa-sisa konsepsi intelektual ini
dengan kuat dan jelas. Bahkan demikian dalamnya gagasan itu tertanam,
sehingga orang Belanda telah menerimanya kira-kira tanpa disadarinya,
dengan membagi wilayah-wilayah jajahan mereka dengan istilah-istilah
Jawa dan daerah-daerah luar. Banyak orang Jawa yang masih merasa
sangat sukar sekali menerima sepenuhnya pendapat bahwa Indonesia
terdiri dari gugusan pulau-pulau yang sederajat dan berinteraksi, ialah
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan pulau-pulau lain. Semua pulau
itu cenderung dipandang dalam hubungannya dengan pusatnya (Jawa).
Demikian pula, banyak orang Jawa sukar membayangkan terdapatnya dua
negari, setidak-tidaknya di Jawa. Jadi walaupun kedua kerajaan
Yogyakarta dan Surakarta, masing-masing telah berdiri secara terpisah
selama lebih dari 200 tahun, dan jarak antara keduanya kurang lebih
hanya 60 kilometer, banyak orang Jawa masih biasa menggunakan kata
negari (umpamanya dalam kalimat: Kulo badé dateng negari, yang
57
Bandingkan dengan keadaan Muangthai, di mana
masalah"regionalisme" dl Tlmur Laut mlsalnya, .hanya ada artinya dalam hubungannya dengan.
negara ban.g-'a. ReglOnal1sme mengandung arti mengakui pusat, tetapi secara polItis merasa tidak
begitu senang kepadanya. dan bukan merupakan pusat yang berdiri sendiri yang mempunyai
hubungan permusuhan dengan pusat lain. Sebelum abad ke-20, para penguasa Thai sewaktu-waktu
mempunyai kekuasaan di Timur Laut yang berubah-ubah tingkatannya menurut situasi, tetapi masalah
ini Vdak pernah dikatakan masalah regional, karena perasaan tidak senang kepada Bangkok misalnya
akan menimbulkan pembentukan pusat-pusat baru atau tertariknya bagianbagian daerah itu oleh
Kerajaan Laos umpamanya, tanpa implikasi kelestarian historis apa pun dalam kedua kasus itu.
Sifat mudah berubah ini sangat ditingkatkan oleh kesibukan para periguasa untuk lebih
mengendalikan penduduk daripada mengendalikan wilayah. Jadi dipandang dari suatu segi, kita
dapat menentukan tanggal timbulnya masalah regional di Muangthai, yaitu dengal1 terjadinya
perubahan intelektual dalam pandangan orang-orang Thai terhadap satuan politik di mana. merek-' hid
up, dari bentuk kerajaan kepada bentuk negara-bangsa.
artinya: Saya akan pergi ke negari) dengan maksud satu ibu kota, dan
menyebut lainnya dengan namanya saja, sebagaimana mereka menyebut
nama kota lain mana pun di Indonesia.58
Pemikiran politik Jawa yang berorientasi ke pusat ini (centripetality),
digabungkan dengan konsepsi-konsepsi kedaulatan yang. berangsur-
angsur, sebagaimana telah digambarkan secara garis besar di atas, secara
logis mengakibatkan adanya perspektif yang khas mengenai hubungan
luar-negeri. Pertam-atama hal ini mengandung arti lebih memberi tekanan
kepada pengupasan penduduk daripada kepada penguasaan wilayah
Dipandang secara historis terdapat alasan-alasan praktis bagi penekanan
ini. Hanya pemusatan populasi-populasi yang besar yang dimungkinkan
oleh penanaman padi secara intensif, dapat memberikan surplus ekonomi
dan cadangan tenaga manusia yang diperlukan untuk membangun
monumen-monumen atau balatentara. Tetapi pemusatan populasi-populasi
besar di sekitar penguasa juga merupakan pratanda terbaik untuk
menunjukkan bahwa ia memiliki kekuasaan yang daya tarik magnetisnya
mengungkapkan bahwa penguasa itu tetap memiliki wahyu. Gagasan ini
dapat membantu menerangkan suatu aspek terkenal dari pertikaian
antardinasti yang terdapat bukannya di Jawa saja, melainkan juga di Asia
Tenggara daratan, yaitu pemindahan-pemindahan penduduk secara besar-
besaran oleh penguasa-penguasa yang menang. Membawa penduduk yang
dltaklukkan in ke dekat pusat sangat memperbesar kekuasaan raja. Kita
barangkali dapat memilih arti. penting yang diberikan kepada kepadatan
penduduk ini di balik penolakan Soekarno yang konsisten terhadap
gagasan keluarga berencana, yang sebagian mungkin karena keyakinan
pribadi, tetapl jelas berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik.59
Kedua, logika tertentu dalam “pola” hubungan-hubungan
internasional menjadi jelas. Moertono telah menggambarkan pola ini
dengan baik dalam pembahasannya mengenai konsep mandala, yang di
ambil dari teori politik India, tetapi mendapat tempat yang amat cocok di
Jawa.
“Mandala” (yaitu lingkaran, ialah lingkaran pengaruh, kepentingan
atau ambisi) dapat digambarkan sebagai suatu kompleks hubungan-
58
Demlkian pula orang Thai menamakan ibu kota
mereka Krnng-Thep (Kota Tuhan, I-'dra). !3angkok adalah nama yang digunakan oleh dan untuk
orangorang asmg sa)a.
59
Bandingkan Louis Fischer, The Story of Indonesia (New York; Harper, 1959), him. 1-'. Harus
dlcatat bagalmana Soekarno sefing kali dengan bangga menunJuk kepada penduduk Indonesia sebagai
penduduk nomor lima terbesar di dunia.
hubungan geopolitis, yang berkenaan dengan tapal batas dan hubungan-
hubungan dengan negara-negara asing. Ajaran ini menekankim. kultus
ekspansi yang merupakan suatu dorongan yang perlu untuk perjuangan
mempertahankan hidup, untuk menyatakan dirl serta demi dominasi
dunia, dan faktor dmamis yang dlperhltungkan untuk mengganggu
keseimbangan hubungan-hubungan antarnegara.
Nafsu berperang suatu negara pertama-tama ditujukan kepada satu
atau beberapa negara tetangga terdekat, dan dengan demikian diperlukan
persahabatan negara yang berada di sebelah “sana” dari musuh itu, yang
karena dekatnya, menjadi musuh yang wajar pula dari musuh itu. Tetapi
seandainya musuh bersama itu telah ditaklukkan, maka kedua sekutu itu
akan menjadi tetangga-tetangga dekat, yang tentu akan menimbulkan
permusuhan baru. Jadi lingkaran persekutuan dan permusuhan ini akan
selalu meluas sampai tercapai suatu perdamaian universal, dengan
didirikannya suatu negara dunia dengan seorang penguasa tunggal
tertinggi (chakravartin).60
Beberapa hal penting timbul dari gambaran mandala ini sebagai dasar
hubungan-hubungan internasional atau, lebih tepat lagi, hubungan -
hubungan antara kerajaan. Yang pertama adalah bahwa musuh a priori
seorang penguasa adalah tetangga terdekatnya. Moertono tidak
menjelaskan lebih lanjut alas an-alasan mengapa pola seperti ini harus
ada. Tetapi kalau garis umum argumentasi saya itu benar, maka logikanya
menjadi amat jelas. Telah saya kemukakan bagaimana dalam pemikiran
orang Jawa, kekuasaan penguasa tidak terbagi rata di seluruh wilayah
kerajaan, tetapi cenderung untuk menipis secara merata jika semakin jauh
dari pusat, sehingga ia paling lemah justru pad a titik di mana daerah
kekuasaan menyatu degan daerah tetangganya. Jadi kalau ia ingin agar
kekuasaannya tldak diperkecil dan diperlemah oleh tarikan kekuasaan
tetangganya, haruslah ia pertama-tama berusaha menggunakan
kekuasaannya itu terhadap kekuasaan tetangganya. Kita dapat mengmgat
kembali mengenai gagasan bahwa jumlah kekuasaan dalam alam semesta
ini tetap, mengandung arti bahwa kalau jumlah kekuasaan di suatu tempat
bertambah besar, maka ]umlah kekuasaan di tempat lain berkurang dalam
jumlah yang tepat samna. Karena kekuasaan itu seperti zat cair dan tidak
stabil, selalu siap terpencar dan membaur, maka agresi antarnegara sudah
tentu menjadi asumsi pokok dalam hubungan antarnegara.
60
Moertono. hIm. 71, catatan 207.
Ada tiga cara yang mungkin dilakukan dalam menghadapi ancaman
yang datang dari pemusatan-pemusatan kekuasaan yang dekat, yaitu
menghancurkan dan mengobrak-abrik, menyerap, atau kombinasikedua
hal itu. Menghancurkan musuh sebagaimana yang misalnya dilakukan
Sultan Agung dalam rangkaian operasi penaklukannya yang kejam
terhadap negara-negara kota perdagangan di pasisir (pantai utara Pulau
Jawa), ada kerugian-kerugiannya. Pada tingkat praktisnya saja,
penghancuran total akan menyebabkan habisnya penduduk setempat,
menimbulkan kekacauan dan kemunduran ekonomi, dan kemudian
mungkin akan menyebabkan timbulnya pemberontakan dan perlawanan
gerilya. Pemindahan penduduk mungkin dapat mencegah timbulnya
masalah yang tersebut terakhir ini, tetapi seandainya pemindahan itu tidak
menyeluruh, maka timbulnya masalah ini mungkin tidak dapat dicegah
secara pasti.61 Dipandang dari segi yang lebih teoretis, memusnahkan
orang-orang lain tidak dengan sendirinya berarti memperluas atau
memperbesar kekuasaan penguasa itu, tetapi hanya berarti mencerai-
beraikan kekuasaan lawan, yang mungkin diambil atau diserap oleh
lawan-Iawan lain. Lagi pula, menghancurkan itu sendiri adalah cara yang
paling kasar untuk menaklukkan musuh, dan karena itu merupakan cara
yang paling tidak diinginkan. Yang lebih memuaskan adalah cara
menyerap, yang dalam praktik mungkin berupa tekanan diplomasi, dan
cara-cara lain yang halus (beradab) untuk menyebabkan diakuinya
keunggulan dan kekuasaannya.62 Dalam teori, penyerapan itu dianggap
sebagai tunduknya kerajaan-kerajaan yang bertetangga secara sukarela
kepada kekuasaan seorang penguasa yang tertinggi. Karena itu, dalam
pelukisan klasik raja-raja besar dulu kala kita jumpai bahwa raja séwu
negara nungkul (sujud), (seribu raja tunduk kepadanya). Patut juga
diperhatikan bahwa dalam sanjungan terhadap seorang penguasa, tidak
disebut keberaniannya dalam pertempuran, sebagaimana halnya dengan
raja-raja Eropa dalam zaman pertengahan. Kalau penguasa terpaksa
menggunakan cara peperangan, dalam teori itu berarti ia mengakui
kelemahannya. Gagasan “seribu raja menyerah kepadanya”, juga
mengandung arti diserapnya pusat-pusat kekuasaan mereka yang lebih
61
Sultan Agung memang
memindahkan sejumlah besar penduduk ke Mataram. Bandingkan Schrieke, hIm.
62
142.
keeil ke dalam pusat kekuasaan raja besar dan dengan begitu langsung
menambah keagungannya dengan jumlah sebanding.63
Ketiga, akibat terakhir yang logis dari hubungan-hubungan
antarmandala adalah timbulnya chakravartin, yang dalam bahasa Jawa
ialah: prabu murbéng wisés a anyakrawati (penguasa dunia). Bentuk ideal
kekuasaan duniawi adalah suatu kerajaan dunia, di mana seluruh satuan
politik digabung dalam suatu persatuan yang padu, sehingga pasang
surutnya kekuasaan yang terkandung dalam alam semesta yang
mempunyai banyak mandala yang saling bertentangan satu sarna lain
untuk sementara tidak akan ada lagi. Suatu ilustrasi yang menarik dari
posisi sentral yang dipunyai oleh universalisme dalam pemikiran politik
Jwa ialah bahwa kata-kata yang berarti alam semesta (buwana) dan dunia
alamiah (alam) terdapat dalam gelar tiga dari empat raja Jawa sekarang
ini: Paku Buwana, Hamengku Buwana dan Paku Alam.
Akhirnya, barangkali bukan hanya suatu kebetulan bahwa pola khas
hubungan-hubungan politik antara Jawa dan pulaupulau lain eenderung
untuk menyerupai hubungan “lompat katak” yang digambarkan oleh
Moertono dalam pembahasannya tentang mandala. Dalam periode
kemerdekaan saja, kita temukan contoh-contoh menarik dari pola ini
dalam hubunganhubungan yang erat antara pusat dan Batak Karo dalam
menghadapi Batak Toba yang dominan di Sumatra Timur; antara pusat
dan kelompok-kelompok Dayak pedalaman dalam menghadapi orang
Banjar di Kalimantan Selatan; dan antara pusat dengan orang Toraja
pedalaman dalam menghadapi orang Bugis dan orang Makassar di
Sulawesi Selatan. Walaupun pola “lompat katak” ini dapat dipahami
dengan baik berdasarkan teori politik Barat, namun pola itu tidak amat
konsisten dengan suatu ke.rangka intelektuallain yang amat berbeda.
Languages of Indonesian Politics' Indonesia, 1 (April 1966), 89-116, terutama 93 dan selanjutnya.
perwujudan dramatis yang tepat dari proses ini.80 Dalam lakon ini, satria
muda Bratasena bertanya kepada gurunya, Pandita Durna, bagaimana
caranya mempelajari rahasia kehidupan. Ia disuruh mencarinya di dasar
lautan. Di dasar lautan yang dalam itu, ia diserang oleh seekor naga
raksasa, tetapi pada akhirnya ia dapat menang. Kemudian muncullah di
hadapannya dewa yang amat kecil, Dewa Ruci, yang merupakan bentuk
miniatur dirinya sendiri, yang memerintahkan Bratasena untuk memasuki
telinganya. Bratasena mematuhi perintah yang mustahil ini, dan setelah
masuk ke dalam telinga Dewa Ruci, ia mencapai sesuatu yang tidak
mungkin dicapai. Tafsiran-tafsiran rakyat biasa tentang cerita ini
menekankan bahwa naga dan laut itu melambangkan nafsu-nafsu manusia
yang menyelewengkan orang, dan karena itu, perjuangan melawan naga
itu berarti perjuangan menaklukkan nafsu-nafsu rendah. Dewa Ruci
melambangkan Aku, yaitu hakikat batin yang bersifat ketuhanan, yang
hanya dapat dijumpai setelah menang berjuang melawan naga. Peristiwa
masuknya Bratasena yang berukuran raksasa ke dalam telinga Dewa Ruci
yang amat keeil itu, melambangkan gagasan bahwa pengetahuan batin
tidak dapat dicapai dengan studi biasa saja, tetapi harus melalui ilham
yang bersifat suprarasional. Hanya setelah melalui cobaan inilah,
Bratasena dapat timbul dari dalam lautan dengan wajah yang telah
berubah dan dengan memakai nama dewasa sepenuhnya, yaitu
Wrekudara.81
Gambaran tradisional dari cara memperoleh ngelmu adalah gambaran
mencari suatu kunci yang dapat membuka pintu antara kebodohan dan
ngélmu, yang memungkinkan adanya lompatan kualitatif dari yang satu
kepada yang lain. Proses belajar seperti itu sama sekali tidak mengandung
suatu sifat yang memungkinkan murid untuk memperoleh ngélmu sendiri
atau yang bersifat pragmatis. Sisa-sisa daya tarik konsepsi lama ini tidak
sukar dicari dalam pemikiran Indonesia dewasa ini. Kalau kita mengingat
hal itu, kita akan banyak sekali dibantu dalam memahami pembagian
penduduk yang khas oleh kaum elite politik menjadi dua kelompok yang
80
Untuk memperoleh keterangan lebih lengkap
mengenai pertunjukan ini dan analisis terperinci serta amat otoritatif tentang arti mistiknya, lihat:
KG.PAA. Mangkunegara VII, On the Wayang Kulit (PurwaJ and itS Symbolic lHystical Elements,
diterjemahkan dari aslinya bahasa Belanda oleh Claire Holt, Southeast Asia Program Data Paper no.
27 (Ithaca, N.Y.: Cornell University, 1957), terutama hIm. 16-19,23-24.
81
Pengaruh belajar dalam bentuk seperti ini dilukiskan dengan amat baik oleh kenyataan bahwa
penguasa jenis' tertinggi biasanya dinamakan pandita·ratu (raja-ahli-ilmu pengetahuan). yang model
klasiknya adalah yang tertua di antara Pandawa bersaudara, yaitu Prabu Yudistira dari Ngamarta.
terpisah secara radikal, yaitu mereka yang “masih bodoh” dan mereka
yang telah “insaf” atau “terpelajar”.82
Pandangan seperti itu dapat juga membantu menerangkan daya tarik
yang amat besar dari pemikiran yang secara eksplisit bersifat ideologis di
Indonesia belakangan ini. Aliran-aliran ideologis yang amat kuat di
Indonesia, yaitu. komunisme, nasionalisme radikal dan Islam (baik yang
reformis maupun yang ortodoks) dipandang sebagai kunci untuk
menerangkan kerumitan-kerumitan dan kekaeauan-kekacauan dunia
dewasa ini. Mereka yang ahli dalam masing-masing aliran ini merasa
bahwa dengan melalui suatu proses pelajaran yang bersifat politik dan
keagamaan, mereka mencapai suatu gambaran mendalam dan menyeluruh
mengenai alam semesta serta cara-cara bekerjanya. 83 Walaupun masing-
masing aliran itu mengandung unsur-unsur ekspansionis yang amat kuat
dan mencari pengikut sebanyak mungkin, namun masing-masing tetap
mempunyai watak yang amat memandang ke dalam diri (introvert). Sifat
yang sangat tertutup dari aliran-aliran itu telah dicatat oleh banyak
pengamat. Tidak adanya kesesuaian di antara mereka pada umumnya,
jarangnya terjadi hubungan sosial yang intim, hampir tiadanya sama
sekali pertukaran intelektual, dan adanya garis pemisah yang tajam antara
para pengikut dan yang bukan pengikut, sekurang-kurngnya menurut
pikiran para ahlinya, semuanya dapat dianggap mirip dengan struktur-
struktur dan nilai-nilai pesantren dan lembaga-lembaga tradisional lainnya
yang berurusan dengan pencanan ngêlmu.84
Di sini melalui jalan lingkar, sampailah kita kembali ke hubungan
intim antara pengetahuan dan kekuasaan. Sebagaimana telah ditunjukkan
oleh sejarah republik, masalahnya bukanlah hanya karena ideologi -
82
Lihat Anderson, 'The Languages of Indonesian
Politics', hIm. 10.
83
Untuk pembicaraan yang luas tentang aliran, lihat Clifford Geertz, 'The Javanese Village'
dalam G. William Skinner. ed., Local, Ethnic and National Loyalties in Village Indonesia: A
Symposium. Southeast Asia Studies, Cultural Report Series no. 8 (New Haven; Yale University,
1959), hIm. 37-41. Geertz mengemukakan dua definisi aliran, yaitu: 'Suatu partai politik yang
dikelilingi oleh seperangkat organisasi sosial sukarela yang dihubungkan dengannya, baik secara
formal atau tidak' dan 'suatu pol a integrasi sosial yang komprehensif'. Menurut pengertian saya,
aliran itu ialah lebih dekat kepada definisi' kedua, yaitu: suatu pandangan kultural khusus dan
terintegrasi, bersama para pengikutnya yang terorganisasi atau tidak (tetapi secara potensial dapat
diorganisasi). Untuk diskusi yang amat mendalam ten tang hubungan antara aliran, kelas dan
organisasi politik, lihatlah pendahuluan yang ditulis oleh Ruth McVey untuk buku K Warouw dan ·P.
Weldon yang menerjemahkan karangan Soekarno Nasionalisme, Islam clan Mar:risme, Cornell
Modern Indonesia Project Translation Series (Ithaca, N.Y.: Cornell University, 1969).
84
Untuk gambaran yang baik tentang aspek 'tertutupnya' masyarakat pesantren, lihat Samudja
Asjari, hIm. 13()'-155, 160-166.
ideologi itu memberikan sarana yang siap pakai untuk mencapai
kekuasaan lokal dan nasional melalui rnekanisme partai-partai politik,
atau bahwa di dalarn masing-masing aliran orang-orang yang mengaku
mempunyai lebih banyak pengetahuan tentang inti ilmu aliran itu atau
telah menjalani inisiasi yang lebih mendalam, telah memperoleh posisi-
posisi yang sangat dihormati dan sangat berkuasa. Ideologi-ideologi itu
telah berakar dalam sekali, justru karena ideologi-ideologi itu dapat
dianggap sebagai pemberi kekuasaan. Semakin mirip “inisiasi” ke dalam
suatu ideologi tertentu rnenyerupai praktik-praktik dan konsepsi-konsepsi
pendidikan tradisional, semakin efektif pulalah ideologi itu dalam
rneningkatkan genggaman psikologis. yang kuat terhadap penganut baru.
Jelas faktor ini telah menyebabkan PKI di bawah pimpinan Aidit
mencapai sukses besar dalam kegiatan pendidikan. Sebab masa
pencalonan dan konsepsi mengenai partai yang digambarkan sebagai
piramida pendidikan yang hirarkis memperlihatkan kemiripan-kemiripan
yang kuat dengan struktur pendidikan pesantren. Kita juga tidak boleh
mengabaikan daya tarik yang kuat dari disiplin dan kerahasiaan yang
diminta dari para anggota partai itu di tengah lingkungan tradisional. 85
Sifat radikal dari kritik yang dilancarkan partai terhadap tatanan yang ada,
dapat dianggap sebagai halangan bagi usaha mencari anggota-anggota
baru. Tetapi sesungguhnya, hal itu sering ternyata justru sebaliknya,
karena kritik itu dirasakan dapat rnemberikan pandangan yang utuh dan
rnengandung arti pembaruan tatanan dari dalam kekacauan-kekacauan dan
pertentangan-pertentangan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan yang lebih bersifat sebagian-sebagian atau sedikit demi
sedikit, pendekatan yang lebih siap menerima unsur-unsur dari situasi
yang ada, tentulah akan sukar, dan memang sukar, menandingi kesatnan,
kepastian dan sentripetalisme paham Marxisme-Leninisme seperti yang
terdapat di Indonesia.
Dalam hubungan ini kita tidak boleh melupakan kekuasaan politik
khusus dari orang-orang yang tahu baca tulis dalam suatu masyarakat
tradisional yang sebagian besar anggotanya buta huruf. Di mana buta
huruf merupakan gej ala umum, kemampuan menulis mempunyai suatu
potensi yang sangat besar untuk menciptakan kekuasaan, karena sifatnya
yang rahasia, dan karena menulis memungkinkan komunikasi yang
85
Bandingkanlah sifat tarekat (perkumpulan Sufi)
yang diluki'skan dengan demikian cemerlangnya dalam buku Sarto no Kartodirdjo, The Peasants'
Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Mavements in
Indonesia (The Hague: De Nederlandsche Boek - en Steendrukkerij vlh Smits, 1966), hIm. 157-165.
misterius dan cepat antara orang-orang yang pandai melakukannya.
Menarik sekali bahwa dalam lakon-lakon wayang, senjata tunggal yang
paling ampuh di tangan para Pandawa bukanlah panah, alat pemukul atau
tombak, melainkan tulisan, Serat Kalimasada, pusaka khusus Prabu
Yudistira saudara tertua Pandawa. Apa yang sebenarnya tertulis di dalam
pusaka itu tidak pernah diungkapkan, dan memang dipandang dari suatu
segi, kekuasaan pusaka itu letaknya justru pada sifatnya yang tidak jelas
bagi semua orang kecuali bagi yang telah diperkenalkan dengannya. 86
Dipandang dari segi ini, kepandaian baca tulis hanyalah merupakan tanda
luar dari dimilikinya ngélmu. Walaupun dalam praktik tidak semua priyai
tahu baca tulis secara fungsional, tetapi priyai sebagai suatu kelompok
status dalam dunia tradisional cenderung diidentifikasikan dengan kaum
terpelajar. Kepandaian baca tulis di kalangan kelas yang berkuasa adalah
lambang kekuasaan, terutama karena kemampuan baca tulis itu dianggap
sebagai kemampuan untuk melakukan lompatan besar keluar dari dunia
buta huruf. Mereka yang pandai baca tulis tidak hanya terdidik lebih baik,
tetapi mereka adalah orang-orang terpelajar dalam suatu masyarakat yang
terdiri dari orang-orang tidak terpelajar. Kekuasaan mereka itu bersumber
bukan dari kemampuan mereka untuk menyebarluaskan konsep-konsep
baru dalam masyarakat, melainkan dari kemampuan mereka untuk
menembus ke dalam suatu ilmu kuno yang bersifat rahasia dan
menyimpannya.
86
Perhatikanlah pengaruh dan kedudukan strategis
orang-orang dalam suatu desa yang pandai membaca surat kabar terl\adap orang-orang lain yang
tjdak pandai membaca. Perkataan"koran bilang" sekurang-kurangnya sampai beberapa waktu yang
lalu, merupakan jenis khusus pemanggilan otoritas di lingkungan desa.
hubungan-hubungan politik, yaitu suatu hal yang pada dasarnya asing
bagi pemikiran Jawa. Sistem yang demikian itu tentu mewajibkan adanya
pengakuan bahwa sifat-sifat halus dan berkuasa mengharuskan
dilakukannya kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang kecil justru
karena orang-orang itu kasar dan tidak berkuasa. Sebagaimana akan kita
lihat, orang-orang yang halus dan berkuasa memang mengakui adanya
kewajiban-kewajiban sosial tertentu, tetapi dasar pemikiran bagi
kewajiban-kewajiban seperti itu mempunyai logikanya sendiri yang tidak
ada hubungannya sarma sekali dengan gagasan-gagasan mengenai
perjanjian, atau secara lebih tegas, dengan gagasan noblesse oblige
(kebangsawanan harus sembada dan wajib mengabdi).
Kalau kita mengarahkan perhatian kita pertama-tama kepada
hubungan-hubungan di kalangan kelas penguasa itu sendiri, kita temui
suatu hal yang menonjol, yaitu tiadanya unsur perjanjian, sebagaimana
yang terdapat secara implisit dalam lembaga feodal Eropa yang berbentuk
vassalage (sistem di mana penguasa menguasakan suatu wilayah kepada
seorang vassal. Tiadanya vassalage ini dapat diterangkan secara empiris
dengan keeenderungan-keeenderungan yang bersifat memusat dan
struktur keuangan negara patrimonial, yang telah dikontraskan oleh
Weber dengan feodalisme klasik. Dasar kelas priayi yang memermtah
bukanlah pemilikan tanah yang berdiri sendiri melainkan sistem
penjatahan tanah sebagai sumter penghidupan (appanage benefices)
seperti yang telah dibicarakan di atas. Dan sebagian dari kebijaksanaan
penguasa patrimonial adalah mencegah agar hak-hak seperti itu tidak
menjadi turun-temurun (yang pada akhirnya menjadi dasar bagi struktur
sosial feodal yang lebih keras dan juga untuk memencarkan jatah-jatah
tanah (appanage) yang dikaitkan dengan suatu jabatan tertentu, dengan
maksud mencegah terjadinya konsolidasi setempat dari kekuatan
ekonomi, yang pada akhirnya mungkin menimbulkan suatu jenis tuan
tanah yang bebas dan merdeka.87
Sistem appanage itu sebenarnya berarti bahwa tanah di seluruh.
wilayah kerajaan adalah “milik” raja, dan surplus ekonominya (termasuk
tenaga petani yang mengerjakan tanah itu) adalah pemberiannya, yang
akan dibagikan menurut kehendak hatinya kepada para pejabat yang
87
Keterangan yang baik tentang perkembangan
setingkat demi setingkat dari slstem appanage di Jawa. muIai dari zaman sebeIum penjajahan sampai
kepada zaman penjajahan. dapat dilihat daIam buku SeIo Soemardjan. SOCUll Changes in
Yogyakarta (Ithaca N.Y. Cornell University Press, 1962), hIm. 25-27, 31-33, 216-220,272-275.
dianggapnya pantas menerimanya. Antara sistem seperti ini dan konsep
kekuasaan terdapat keserasian yang jelas, karena sistem itu sudah
sewajarnya mendorong gagasan-gagasan yang telah kita temui
sebelumnya: kekayaan (atau harta benda) adalah atribut kekuasaan, bukan
asal kekuasaan; status sosial ekonomi adalah suatu kualitas yang diperoleh
dari pusat, dan tidak ada artinya kecuali dalam hubungannya dengan
pusat. Sistem seperti itu juga mengandung arti bahwa kekayaan negara
adalah hadiah raja dan dapat didistribusikan ke bawah melalui jenjang
resmi sebagai keuntungan-keuntungan jabatan; namun pembagian itu
tidak boleh dianggap sebagai kewajiban penguasa terhadap para
pegawainya, tetapi lebih sebagai tanda kesukaan hatinya.
Mengingat apa yang telah kita gambarkan sebagai timbulnya kembali
paham patrimonial di Indonesia merdeka, maka pengaruh-pengaruh yang
tersisa dari sistem appanage dalam peri laku administratif dewasa ini
dapat dilihat dengan jelas, terutama dalam bidang korupsi. Kalau kita
kesampingkan korupsi kecil-kecilan yang dilakukan karena terpaksa
berhubung dengan keadaan ekonomi yang gawat, inflasi dan gaji yang
rendah, dan kita pusatkan perhatian kita kepada korupsi besar-besaran
yang mengambil bentuk resmi-semu, maka menarik sekali bagaimana
sedikitnya terdapat bukti tentang adanya jual beli jabatan ala Eropa klasik.
Kaum jutawan, baik dari kalangan pengusaha maupun tuan tanah,
biasanya tidak dapat membeli kedudukan-kedudukan administratif yang
mempunyai pengaruh dan kekuasaan bagi diri mereka sendiri. Dan
memang ketidakmampuan ini merupakan sebab keluhan yang biasa di
kalangan anggota-anggota tertentu dari kelompok yang sangat kecil ini.
Korupsi besar-besaran biasanya secara khas mengambil bentuk
menjatahkan “surplus” sektor-sektor kunci tertentu di bidang ekonomi
kepada para pejabat atau klik-klik pejabat yang disenangi penguasa
tertinggi, baik sipil maupun militer.88 Pengumpulan beras, tambang timah,
produksi dan distribusi minyak tanah dan pemungutan pajak hanyalah
beberapa contoh dari berbagai bidang di mana terjadi penyelewengan-
penyelewengan yang terjadi di bawah pengawasan pejabat. Dalam
kebanyakan kasus, korupsi ini tidaklah terutama demi keuntungan
langsung pribadi pejabat yang telah ditunjuk untuk mengawasi suatu
sektor ekonomi tertentu (walaupun pejabat seperti itu jarang ditemukan
dalam keadaan kesulitan keuangan). Korupsi itu secara khas digunakan
Sistem korupsi yang terorganisasi ini tentu saja
88
telah sangat diperluas semenjak negara Indonesia menguasai sumber-sumber ekonomi Indonesia
dalam kampanye anti-Belanda tahun 1957- 1958.
untuk membiayai seluruh sub-sektor aparat administratif. Ini berarti
bahwa terdapat suatu sistem pembiayaan sektor-sektor birokrasi yang
disukai penguasa dan disalurkan melalui arus korupsi yang tidak kelihatan
yang berjalan di samping struktur yang formal. Arus tersebut, yang
disalurkan ke bawah melalui suatu piramida tidak formal yang terdiri dari
kelompok-kelompok kawulo-gusti, berdasarkan model patrimonial yang
khas, digunakan untuk memperkuat kohesi kelompok-kelompok seperti
itu. Komisi-komisi, baik yang resmi maupun yang tidak resmi, sering
eukup distandardisasikan sehingga dapat dinamakan keuntungan -
keuntungan jabatan dalam pengertian tradisional. Dengan demikian,
dalam banyak sektor, korupsi telah menjadi suatu unsur pokok bagi
stabilitas organisasi birokrasi.
Semakin korupsi merupakan bagian utama dari pendapatan seorang
pejabat dan mengambil bentuk keuntungan jabatan resmi-semu, maka
semakin cenderung pula orientasi birokratis orang tersebut untuk bergeser
ke arah pelindung-pelindung langsung atau penguasa-penguasa di pusat.
Etika “memberikan pelayanan” yang boleh dikatakan murni kepada
rakyat, suatu etika yang dapat bertahan dalam suatu sistem yang
didominasi oleh gaji tetap yang cukup, dan norma-norma rasional-legal,
tentu saja sukar dipertahankan di bawah patrimonialisme yang bangkit
kembali. Dapat pula dikemukakan bahwa orientasi kepada para pelindung
dan para penguasa yang dilakukan oleh para pejabat yang korup, malah
menjadi semakin hebat dengan adanya korupsi yang setengah terselubung
dan bahkan pungutan liar terang-terangan dewasa ini. Dalam kondisi
seperti itu, perlindungan dari para atasan lebih-lebih diperlukan, dan
ketergantungan orang kepada mereka semakin meningkat.89
Walaupun struktur-struktur patrimonialisme dan konsep kekuasaan
tradisional bekerja ke arah yang sarna, dengan memfokuskan loyalitas
kelas yang memerintah ke dalam dan ke atas, namun kenyataan ini saja
tidak cukup untuk menerangkan tiada menyoloknya daya tarik gagasan-
gagasan perjanjian sosial (social contract) bagi golongan elite politik
Indonesia modern. Sejauh gagasan-gagasan seperti itu merupakan bagian
sentral dari pemikiran Barat konservatif dan liberal di mana golongan elite
ini telah terbiasa dalam sistem pendidikan kolonial, maka rasanya perlu
89
Ketergantungan korupsi resmi semu ini pada didudukinya posisi-posisi birokraktis tertentu
adalah suatu hal yang sangat menarik. Terdapat bukti sedikit yang menyatakan bahwa penguasaan
atas keuntungan-keuntungan seperti itu memberikan kepada pejabat yang bersangkutan basis
kekuasaan tersendiri dalam sistem politik, yang betul-betul dapat menghalangi dipecatnya dia dari
jabatan.
diberikan keterangan lebih lanjut. Untuk sebagian, gejala ini dapat
diterangkan dengan mengingat tersebarluasnya pengaruh Marxisme,
walaupun kadang-kadang dalam bentuk yang diperlemah dan
diputarbalikkan. Kritik Marxis terhadap teori perjanjian sosial sangat
efektif dalam suatu rezim kolonial - apa pun yang dinyatakannya
mengenai tujuan-tujuan etisnya - dalam praktiknya telah menjadikan
setiap teori tentang kewajiban-kewajiban timbal balik antara yang
memerintah dan yang diperintah suatu bahan ejekan belaka.
Tetapi kita dapat mencatat bahwa di masa setelah penjajahan,
terutama dalam apa yang dinamakan masa liberal (19501959), gagasan-
gagasan tentang perjanjian sosial amat sedikit memperoleh pengaruh atau
prestise baru. PKI sudah tentu tidak terpengaruh oleh pengertian -
pengertian seperti itu. Tetapi kelompok-kelompok kekuasaan lainnya
dalam dunia politik Indonesia, secara khas cenderung untuk berpegang
teguh pada konsepsi-konsepsi holistis tentang masyarakat Indonesia dan
dengan begitu menolak teori-teori mengenai pertentangan kelas dan
mengenai kewajiban-kewajiban kelas.
Pada umumnya, sedikit sekali dikembangkan pemikiran tentang
sosiologi politik Indonesia, dan sejauh terdapat suatu perspektif
sosiologis, maka perspektif itu berpusat pada pembagian elite massa, yang
dilambangkan oleh kata-kata “pemimpin” dan “rakyat”. Kata
“pemimpin”, sebagaimana juga sinonim-sinonimnya seperti “tokoh”,
“orang gede” dan “pembesar”, hampir tidak dibeda-bedakan sifatnya dan
diterapkan tanpa pembedaan pada para pejabat, para jenderal atau kaum
politisi. Di dasar paling bawah pada sistem politik itu terdapat rakyat,
lagi-lagi kata yang tidak mempunyai garis-garis batas sosiologis yang
jelas. Rakyat adalah mereka yang masih bodoh (bukan pemimpin dan
bukan elite). Pembagian ini jelas sejajar dengan pembagian lama antara
priayi dan wong cilik (orang kecil), serta antara mereka yang tahu baca
tulis dan mereka yang buta huruf.
Namun, rakyat selamanya menjadi suatu lambang sentral
nasionalisme Indonesia. Secara ideologis, revolusi nasional tahun 1945
dimaksudkan untuk mencapai kebebasan bagi rakyat. Pada orang-orang
yang berpikiran lebih radikal, revolusi nasional itu memang adalah hasil
usaha rakyat. Di sini kita menemukan suatu sikap yang tampaknya seperti
pembalikan intelektual sepenuhnya dari pandangan lama yang
berpendapat bahwa rakyat ada di pinggiran yang tidak penting dalam
sistem politik yang berorientasi kepada pusat yang amat berkuasa.
Tetapi dalam banyak segi, pembalikan ini lebih bersifat luar saja
daripada menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Kontradiksi formal
ini dapat diselesaikan tanpa susah payah dalam sebagian besar pemikiran
politik Indonesia modern.90 Pemecahan yang terkenal adalah pernyataan
Soekarno bahwa ia “penyambung lidah rakyat”. Walaupun beberapa
orang skeptis merasa bahwa Soekarno dan sebagian besar orang
segenerasinya dalam praktek telah menjadikan lidah rakyat agak pendek,
namun rumusan itu sendiri merupakan suatu campuran yang menarik
antara populisme modern dan gagasan-gagasan tradisional. Populisme itu
kelihatan dalam penolakan terhadap setiap teori liberal mengenai
perwakilan dan karena itu menolak gagasan-gagasan perjanjian sosial atau
kewajiban yang kompleks yang terkandung dalam teori-teori seperti itu.
Tema tradisional kelihatan dalam kemiripan yang dekat antara konsep
rakyat yang tidak dibeda-bedakan dan yang tinggal diam, dengan gagasan
lama tentang penduduk yang besar jumlahnya, yang merupakan atribut
pokok bagi kekuasaan. Dalam kerangka seperti itu, penyambung lidah
rakyat ternyata bukan pertama-tama merupakan penyambung lidah rakyat,
melainkan lebih merupakan fokus yang terpusatkan dari kekuasaan
masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi pernyataan Soekarno itu bukan
pernyataan komitmen, melainkan lebih merupakan pernyataan bahwa ia
mempunyai kekuasaan.
Jadi walaupun aspek populis formal dalam gelar Soekarno
mengandung unsur kewajiban, yaitu kewajiban menyatakan tuntutan-
tuntutan rakyat, tetapi sifat tradisional informalnya sarna sekali tidak
mengandung arti apa pun seperti itu. Kerenaahan hati yang terkandung
dalam gelar yang diberikan kepada dirinya sendiri itu semestinya tidak
menyembunyikan kemiripannya yang pokok dengan gelar-gelar
kemegahan lain yang banyak jumlahnya, seperti Pemimpin Besar
Revolusi, Pramuka Agung dan sebagainya, yang dipakai oleh Presiden.
Semua gelar seperti itu merupakan pernyataan bahwa Soekarno
mempunyai kekuasaan dengan jalan menyatukan lam banglambang
kekuasaan itu dengan namanya.
Walaupun begitu. adalah suatu kesalahan kalau kita menarik
kesimpulan dari apa yang baru saja dikatakan, bahwa· pandangan dunia J
awa tradisional tidak mengandung perasaan kewajiban dan tanggung
jawab. Tetapi kewajiban ini, dulu dan sekarang, adalah kewajiban
90
Walaupun Soekarno digunakan di sini sebagai
eontoh utama, tokoh-tokoh politik yang lebih keeiljuga mengungkapkan pemikiran yang serupa
dengan itu.
terhadap kekuasaan itu sendiri. Kita telah melihat bahwa kesejahteraan
masyarakat dianggap tergantung pada kemampuan pusat untuk
memusatkan kekuasaan, sedangkan pertanda luar dari surutnya kekuasaan
adalah berupa kebobrokan dan kehancuran masyarakat itu. Jadi tidak
terdapat pertentangan inheren antara akumulasi. kekuasaan pusat dan
kesejahteraan kolektivitas, bahkan kedua-duanya berhubungan.
Kesejahteraan kolektivitas bukannya tergantung pad a kegiatan-kegiatan
masing-masing komponennya, melainkan pada tenaga pusat yang
dikonsentrasikan. Kalau kewajiban ini terpenuhi, kesejahteraan rakyat
dengan sendirinya akan terjamin. Jadi, walaupun para penulis Jawa
tradisional sering menulis karangan-karangan panjang yang
membicarakan sikap yang pantas bagi seorang raja dan cara memerintah
negara, namun adalah suatu kesalahan untuk menyangka bahwa peri laku
yang merupakan kewajiban seorang raja ditentukan oleh keperluan-
keperluan rakyat, baik yang diucapkan maupunyang tidak. Penguasa harus
berkelakuan baik, karena kalau tidak begitu, kekuasaan akan surut atau
lenyap, dan kalau hal itu terjadi, akan hilang pulalah tatanan yang baik
serta kelancaran sistem sosial.
92
Samudja Asjari, hIm. 84, 101-105.
93
Bandingkan Sartono Kartodirdjo, The Peasants' Revolt of Banten in 1888, terutama halaman
154-175; G.W.J. Drewes, Drie Javaansche Goeroe's, Hun Leven, Onderricht en Messiasprediking
(Leiden, Vros 1925); L\I. Van der Kroef, "Javanese Messianic Expectations: Their Origins and
Cultural Context" Comparative Studies in Society and History. 1. no. 4(1959). 299 -323.
Di zaman penjajahan, kiai pedesaan itulah, dan bukan penghulu kota,
yang selalu menimbulkan kerepotan bagi penguasa-penguasa asing.
Seperti halnya kerajaan-kerajaan tradisional, birokrasi pemerintah
kolonial pun tidak menemukan tempat struktural bagi kiai dan
pesantrennya. Para penguasa kolonial dapat saja menindas pemberontakan
kiai, jika hal ini terjadi, tetapi penindasan itu tidak meningkatkan
pengaruh dan kewibawaan pemerintah. Seperti halnya kekerasan yang
dilakukan terhadap ajar tidak dapat menyangkal kebenaran ramalannya,
malah menunjukkan sifat penuh pamrih dari pemerintahan yang
bersangkutan, maka penindasan yang dilakukan terhadap kiai dapat
dianggap sebagai pratanda kebobrokan yang terdapat dalam pemerintah
kolonial.
Dapatkah garis intelektual ajar itu ditelusuri sampai ke masa kita
sekarang ini? Kiai sarna sekali belum hilang dari daerah pedesaan.
Masuknya mereka ke dalam dunia politik secara besar-besaran dalam
waktu tiga puluh tahun terakhir ini hanya terjadi dua kali, yaitu pada tahun
1945 dan pad a tahun 1965.94 Dalam kedua peristiwa itu campur tangan
mereka memberi pratanda akan timbulnya perubahan besar dalam
pemerintahan yang berkuasa - dan memang telah membantu melahirkan
perubahan itu - yaitu dari kekuasaan Jepang kepada kekuasaan republik
pada tahun 1945, dan dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru pada
tahun-tahun 1965-1966. Dalam kedua peristiwa itu, para kiai bertindak di
luar kerangka politik yang ada, dan dalam banyak segi penting mereka
berada di luar kekuasaan kelompok yang berkuasa, baik yang sedang
menanjak, maupun yang sedang surut. (Dalam kedua kasus itu, mereka
tidak terus langsung mengambil bagian dalam kekuasaan pusat yang
baru). Tetapi di samping itu, peranan yang dimainkan sebagian kaum
inteligensia modern yang tinggal di kota, 9595 dan sikap-sikap para
penguasa dan sebagian kalangan tertentu dari masyarakat dewasa ini
terhadap mereka, memperlihatkan kesamaan bentuk yang menyolok
dengan tradisi yang telah kita bicarakan.96
94
Untuk beberapa bahan tentang masa 1945, lihat
B.R.O·G. Anderson. 'The Pemuda Revolution' (Ph.D. Tesis, Cornell University, 1967), him. 7-12. 209.
234, 316, 324.
95
Saya menggunakan istilah 'inteligensia' sebagai sinonim istiJah kaum intelek, yang kasarnya
mencakup orang-orang yang telah mendapat pendidikan tinggi gaya Barat.
96
Saran ini dapat diajukan tanpa menutup mata terhadap kenyataan bahwa dalam setiap
pembicaraan mengenai peranan-peranan yang dimainkan secara sadar oleh kaum intelek kota di
Indonesia sekarang ini, pengalaman-pengalaman masa lampau di Barat dan tuntutan-tuntutan
sosiologis adalah sangat penting. Kaum intelek yang berpendidikan Barat telah mewarisi tradisi yang
kuat untuk berbeda pendapat, sebagaimana yang terdapat dalam sejarah intelektual Barat modern,
Pada bagian akhir masa penjajahan, kita temui kesamaan struktural
yang jelas dengan dikotomi lama antara pejabat yang terdidik di pusat
patrimonial, dan ajar serta kiai yang terisolasi. Walaupun sebagian besar
dari orang Indonesia yang terpelajar merupakan bagian dari birokrasi
kolonial atau menjadi kaki tangannya, kaum inteligensia nasionalis yang
keeil, jumlahnya, sebagian atas kemauan sendiri, dan sebagian karena
dipaksa keadaan, berada di luar struktur kekuasaan kolonial. Prestise
kelompok ini tergantung pada sikapnya yang tampaknya tanpa pamrih,
sejauh mereka mengatakan berbieara tidak untuk diri sendiri, tetapi atas
nama seluruh rakyat yang tertindas. Kelompok itu juga mengaku memiliki
pengetahuan yang khusus dan mendalam mengenai jalannya sejarah dan
kebobrokan dalam orde yang berkuasa, yaitu pengetahuan yang sebagian
besar berdasarkan atas kritik Leninis terhadap imperialisme, yang mereka
serap dari Barat.
Dengan berkuasanya golongan inteligensia nasionalis setelah tahun
1945, mungkin orang mengira bahwa persamaanpersamaan struktural
seperti itu telah hilang. Namun, terutama dalam hal tingkah laku dan
sikap-sikap golongan inteligensia nonteknis, kita dapat mengatakan
bahwa tradisi-tradisi yang sarna masih tetap ada: yaitu tradisi utama
mengenai pengabdian dan pengagungan terhadap kekuasaan pusat, dan
tradisi sekunder berupa pengasingan diri serta menyuarakan kritik (yang
lain daripada oposisi partisipatif). Di waktu Soekarno sedang jaya -
jayanya, ketika kekuasaan pusat yang menarik itu sedang besar sekali,
menteri-menteri tertentu seperti Subandrio, Ruslan Abdulgani, Prijono,
dan juga beberapa politisi Islam terkenal, dilihat oleh para pengamat
sebagai orang-orang yang melakukan fungsi-fungsi kuno dengan selubung
baru. Kalau mereka kadang-kadang dinamakan pujangga (penyair istana)
atau penghulu Demokrasi Terpimpin, maksudnya bukanlah semata-mata
bergurau.97
yang demikian baik diterangkan dalam buku Julien Benda, La Trahison des Clercs. Pengaruhyang
dimiliki sikap oposisi dan skeptis di dalam sejarah intelektual Barat sudah pasti besar pengaruhnya
terhadap bagaimana kaurri intelek Indonesia membayangkan dirinya. Lihat karangan S. Tasrif,
"Situasi Kaum intelektuil di Indonesia," Budaya Djaja (Sept. 1968), untuk mengikuti pembicaraan
panjang lebar tentang buku Benda dan implikasiimplikasinya bagi kaum inteleh,'tual di bawah
pemerintahan Soekarno. Lagi pula, ketidakseimbangan yang terus-menerus meningkat antara jumlah
kaum intelektual danjabatan-jabatan administratif dan politis yang tersedia, sudah pasti menimbulkan
sejumlah besar orang terdidik atau setengah terdidik yang tidak dapat masuk ke dalam aparatur
pemerintahan.
97
Orde Baru telah menemukan orang-orang yang memainkan peranan seperti itu. Di antara
orang-orang yang menentang Demokrasi Terpimpin, tidak sedikit yang berambisi memainkan peranan
pujangga dan penghulu bagi kepemimpinan baru dan dalam pusat yang baru pula.
Sebaliknya, di antara para pengeritik pemerintah, ada juga orang
yang memainkan, atau dianggap memainkan, sejenis peranan ajar atau
kiai. Di sekeliling beberapa tokoh yang menyendiri ini berkumpullah para
cantrik yang setia, orangorang muda dari daerah, yang bergantung pada
mereka untuk memperoleh pendidikan intelektual dan bimbingan
kerohanian.98 Kemampuan tokoh-tokoh yang berada di luar struktur
kekuasaan seperti itu untuk memperoleh para pengikut, tergantung pada
kharismanya, pada tiadanya pamrih dari segi moral, dan reputasi mereka
sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan meramalkan nasib
penguasa pusat dan identitas para pengganti yang potensial. 99 Kelemahan
politik kaum intelektual seperti itu, seeara paradoksal mengungkapkan
kemampuan mereka yang sesungguhnya. Ini bukan berarti bahwa orang-
orang yang berkuasa, apakah Soekarno ataupun militer, tidak akan
menindas para pengeritik mereka. Tetapi penindasan itu biasanya tidak
akan memperbesar kekuasaan para penguasa, sejauh peranan pengeritik
itu dirasakan atau dilihat dalam pengertian-pengertian yang kurang lebih
bersifat tradisional. Jadi pada akhirnya, sekurang-kurangnya akan sarna
besarlah bahayanya bagi pihak yang berkuasa untuk menindas para
pengeritik yang tidak berdaya ini, yang sedikit banyak berada di luar
sistem politik, dibandingkan dengan menindas oposisi kuat yang berada di
dalam sistem itu. Kalau menindas oposisi di dalam sistem dapat dianggap
sebagai pengungkapan dan peningkatan kekuasaan pusat, maka
menghancurkan oposisi para pengeritik di luar sistem itu dapat dianggap
sebagai pratanda sudah dekatnya disintegrasi pusat. Dengan melakukan
kekerasan terhadap para pengeritik yang tidak berdaya itu, maka penguasa
telah menegaskan kebenaran kritik itu serta memperkuat kebenaran
ramalan mereka. Sekali lagi, walaupun dalam bentuk yang berbeda, kita
temui penegasan kembali paradoks yang telah dikemukakan dulu;
menggenggam kekuasaan dapat berarti kehilangan kekuasaan itu,
98
Orang-orang seperti itu sering dianggap oleh para
pengikutnya yang mudamuda sebagai orangorang yang mempunyai "kunci" terhadap masalahmasalah
politik dan lain-lain, yang akhirnya akan diungkapkan kepada yang paling berhak di antara para
pengikutnya. Kunciisme ini merupakan ciri yang menonjol dari sikap banyak mahasiswa terhadap
beberapa aspekpendidikan universitas formal.
99
Sejak bermulanya Orde Baru. dikotomi yang serupa dapat dikatakan tetah membelah gerakan
mahasiswa. Sebagian pemimpin mahasiswa tetah mengasosiasikan dirinya dengan hirarki pusat,
dengan memberi nasihat kepada pemerintah, berbicara untuk pemerintah, dan mengabdikan diri
dengan berpartisipasi secara aktif dalam struktur pemerintahan. Sementara itu yang lainnya tetap
bersikeras untuk menjauh dan memencilkan diri. Ketompok inilah yang tetap ingin melihat
mahasiswa dan kaum intelektual menjadi suatu kekuatan moral, yang komitmennya bukan kepada
pemerintah melainkan kepada gagasan-gagasan yang menurutpemerintah itu sedang dipraktikkannya.
sedangkan menarik diri dari kekuasaan dapat berarti menghimpun
kekuasaan itu.
Kesimpulan-kesimpulan
Kalau argumentasi keseluruhan karangan ini ada benarnya, maka
timbullah dua pertimbangan yang sangat umum. Yang pertama
menyangkut hubungan antara struktur intelektual kebudayaan tradisional,
dan penerimaan, perubahan, atau penolakan berbagai aspek kelembagaan
dan pemikiran dari apa yang dinamakan modernisasi. Yang kedua
menyangkut sejauh mana analisis mengenai konsepsi Jawa tentang
kekuasaan mungkin membantu dalam memikirkan bentuk-bentuk
kekuasaan di luar dunia Jawa, baik dalam masyarakat-masyarakat
praindustri maupun pada bangsa-bangsa industri di Barat.