Anda di halaman 1dari 79

The Idea of Javanese Politics Power?

GAGASAN TENTANG KEKUASAAN DALAM


KEBUDAYAAN JAWA

Oleh Benedict R.O'G.Anderson

Pendahuluan
Walaupun karya-karya ilmiah tentang sejarah dan kebudayaan
Indonesia terutama Jawa, telah banyak ditulis, hanya sedikit usaha yang
telah dilakukan untuk membuat analisis sistematis tentang konsepsi-
konsepsi politik tradisional atau pengaruhnya yang kuat dan tetap
terhadap Indonesia dewasa ini.
Kekurangan pertama sebagian dapat dikatakan disebabkan oleh
karena kepustakaan klasik Indonesia, berlainan dengan kepustakaan
Tionghoa dan India, tidak mengandung penjelasan-penjelasan lengkap
tentang “teori politik” asli berupa apapun. Karena itu, kalau sekarang ini
orang ingin merekonstruksi teori seperti itu, ia terpaksa harus mencarinya
dari sumber-sumber sejarah yang terpisah-pisah dan kemudian
menggabungkannya dengan pengertian-pengertian tidak lengkap yang
diambil dari pengalaman lapangan.
Kekurangan kedua jelas bersumber dari yang pertama tadi. Karena
penjelasan sistematis tentang teori politik dalam kepustakaan klasik
Indonesia tidak ada, maka telah timbul anggapan bahwa teori seperti itu
tidak pernah ada, walaupun dalam bentuk terselubung. Dengan begitu,
pendapat ini telah berakibat tidak disadarinya kepaduan dan logika
sesungguhnya dari konsep-konsep politik tradisional itu. Selanjutnya,
tiadanya kesadaran ini telah merupakan hambatan untuk menganalisis dan
menilai pengaruh konsepsi-konsepsi seperti itu terhadap tingkah laku
politik dewasa ini. Orang cenderung memilih unsur-unsur kebudayaan
tradisional [1] yang terpisah-pisah, dan menghubungkan-nya dengan
aspek-aspek tertentu dari politik yang ada di saat secara sesuka hati dan
demi maksud khusus orang itu pada saat itu. Faktor-faktor kebudayaan
Dalam esai ini, istilah tradisi, tradisi kebudayaan
1

dan kebudayaan tradisional dapat saling dipertukarkan.


secara khas dimasukkan hanya dengan tujuan menjadikannya sebagai
semacam “dewa penyelamat” apabila gabungan variabel-variabel sosial,
ekonomi dan sejarah kelihatannya tidak cukup untuk menerangkan
bentuk-bentuk tertentu perilaku politik Jadi unsur-unsur kebudayaan ini
pada pokoknya digunakan untuk mengakal-akali agar cocok. Menurut
pendapat saya, asumsi implisit tentang tiadanya kepaduan dalam tradisi
kebudayaan itu mau tidak mau menimbulkan tiadanya kepaduan
metodologis dalam mengembangkan pendekatan menyeluruh terhadap
politik Indonesia dewasa ini.
Esai ini adalah usaha untuk memperbaiki setidak-tidaknya
kekurangan pertama dari dua kekurangan yang telah saya sebutkan tadi.
Dengan mengemukakan secara sistematis konsepsi-konsepsi Jawa
tradisional2 dan memperlihatkan kepaduan intinya, saya berharap telah
melakukan langkah pertama ke arah penelitian yang lebih memuaskan
mengenai adaya hubungan timbal balik antara kebudayaan dan tindakan
sosial di Indonesia.3 Cara mengemukakan persoalan seperti ini diharap
dapat menjelaskan bahwa kebudayaan Jawa tradisional memang
mempunyai teori politik, yang memberikan penjelasan sistematis dan
logis tentang tingkah laku politik, dalam bentuk yang berbeda sekali dari
perspektif ilmu politik modern, dan malah dalam banyak hal secara
fundamental bertentangan dengannya. Sesungguhnya para pengamat
dalam masing-masing tradisi intelektual dapat mengartikan, dan memang
telah mengartikan, gejala-gejala politik obyektif yang sama, dengan cara
yang sangat berbeda, tetapi sama konsistensinya. Dengan mempergunakan
suatu kiasan usang tetapi masih tetap berlaku, dapat dikatakan bahwa
kedua tradisi politik itu telah mempergunakan lensa yang sangat berlainan
dalam memetakan dunia politik.
Jadi tujuan saya adalah untuk mencoba melukiskan kehidupan sosial
dan politik, ditinjau dari lensa Jawa tradisional, dan menunjukkan
perbedaan-perbedaan yang ekplisit antara lukisan itu dan lukisan yang
2
Fokus saya dalam seluruh esai ini adalah tradisi
Jawa, karena selain demi penghematan dan kejelasan, adalah juga karena amat kurangnya
pengetahuan saya tentang tradisi-tradisi politik sukusuku bangsa lain di Indonesia.
3
Dalam banyak segi, walaupun tersendat-sendat. esai ini mencoba mengikuti rencana untuk
mengembangkan "fenomenolog ilmiah kebudayaan" yang dikemukakan oleh Geertz dalam
analisisnya yang sangat baik tentang tradisikebudayaan Bali. Lihat Clifford Geertz, Person, Time and
Condouct in Bali: An Essay in Cultural Analysis, Southeast Asia Studies,Cultural Report. Series no.
14 (New Haven, Yale University, 1966), hIm. 7. Bab kedua dari studi ini memberikan ringkasan yang
sangat baik dari alasan-alasan mengapa program seperti itu sangat diperlukan, dan juga
mengemukakan kesulitan-kesulitan intelektual yang timbul dalampelaksanaannya.
dilihat dengan mempergunakan lensa ilmu sosial modern. Namun lensa-
lensa ini sudah jelas tidak hanya menstrukturkan persepsi-persepsi (dan
dengan begitu juga penafsiran-penafsiran) orang-orang yang
mempergunakannya, tetapi dengan berbuat demikian juga mempengaruhi
tingkah laku mereka. Gambaran-gambaran yang tampak lewat lensa-lensa
itu akhirnya lebih kurang sarna dengan apa yang dinamakan Weber
pengertian subyektif terhadap suatu tindakan sosial yang diberikan oleh
para pelakunya, yaitu pengertian yang mutlak perlu bagi seorang
pengamat. dalam memahami tindakan tersebut sepenuhnya, sebagaimana
telah jelas diperlihatkan oleh Weber.4 Hanya dengan penelaahan arti yang
diberikan orang Jawa yang tradisional (dan orang Jawa yang telah
mengalami detradisionalisasi sebagian) kepada fenomena obyektif seperti
perbuatan seksual atau perbuatan menumpuk harta benda, kita akan
membuka jalan ke arah pemahaman umum tentang jalannya politik, baik
di Jawa tradisional maupun di Jawa sekarang ini. Tetapi di sini saya tidak
dapat menganalisis dengan terperinci hubungan timbal balik yang terdapat
antara arti dan perbuatan dalam masyarakat Jawa tradisional maupun
masyarakat Jawa dewasa ini. Sebabnya ialah bahwa sesuatu gagasan
haruslah disajikan secara sistematis terlebih dulu, sebelum pengaruh
praktisnya terhadap fenomena obyektif dapat dipelajari dengan teratur.
Saya juga harus menekankan sejak dari permulaan, bahwa saya sama
sekali tidak menganggap bahwa konsepsi-konsepsi politik Jawa,
dipandang unsur demi unsur, bersifat khas Jawa saja; walaupun saya
percaya bahwa dalam keseluruhannya semua unsur itu merupakan
gabungan yang unik. Dipandang dari segi sejarah, banyak di antara unsur
ini berasal dari pengaruh peradaban India, sedangkan sebagian lainnya
banyak persamaannya dengan berbagai kebudayaan tradisional di Asia
dan di luar Asia.5 Kalau nampaknya seolah-olah “keunikan” konsep Jawa
itu ditekankan di sini tanpa dasar bukti yang kuat, maka ini terutama
timbul dari keinginan untuk menghindari ulangan persyaratan tertentu
yang dapat membosankan pembaca. Malahan, persamaan-persamaan
antara konsepsi-konsepsi politik Jawa dan konsepsi-konsepsi politik
tradisional lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
4
Lihat pembicaraan tentang cara Weber
menggunakan istilah.Sinn sebagai konsep teoretis kunci, dalam buku Reinhard Bendix, Max Weber, An
Intellectual Portrait (Garden City, Doubleday Anchor, 1962), him. 474.
5
Bandingkan umpamanya dengan diskusi yang baik sekali tentang konsepkonsep Jepang yang
serupa dengan ini, dalam btiku Masao Maruyama, Thought and Behaviour in Modern Japanese
Politics (London, Oxford University Press, 1963), Bab 1.
asumsi yang melatar belakangi uraian ini, sehingga merupakan dasar
kesimpulan teoretisnya, yaitu kemungkinan perlunya penyederhanaan dan
peninjauan kembali konsep kharisma konvensional dan timbulnya
kharisma itu dalam sejarah.6

Konsep-konsep tentang Kekuasaan


Kalau kita mempelajari kepustakaan Jawa klasik dan tingkah laku
politik Jawa dewasa ini, maka kita akan mengetahui bahwa salah satu
kunci untuk memahami teori politik Jawa mungkin adalah tafsiran secara
tradisional tentang apa yang dinamakan kekuasaan oleh ilmu sosial. 7
Sebabnya bahwa konsepsi Jawa berbeda secara radikal dari konsepsi yang
telah berkembang di Barat sejak Zaman Pertengahan, dan dari perbedaan
ini sudah logis timbul pandangan-pandangan yang berbeda pula mengenai
cara-cara berjalannya politik dan sejarah.8
6
Lihat kesimpulan karangan ini.
7
Penting sekali untuk dikemukakan sejak dari permulaan bahwa ini adalah suatu masalah
linguistik dan konseptualdalam analisis yang akan saya kembangkan. Karena esai ini aslinya ditulis
dalam bahasa Inggris oleh seorang yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris, dan terutama ditujukan
kepada para pembaca yang berbahasa ibu Inggris pula. dan juga karena pandangan intelektual saya
sendiri sudah pasti bersifat Barat, saya terpaksa mempergunakan kata-kata dan konsep-konsep seperti
power yang diambil dari kerangka analisis dan penafsiran Barat, dalam menghadapi masalah
memperbandingkan kerangka itu dengan kerangka pemikiran Jawa. Sudah jelas terdapat sifat berat
sebelah yang fundamental dalam metode kerja ini. Tetapi dengan tidak adanya bahasa dan kerangka
konseptual khusus, di mana dapat ditempatkan istilah-istilah dan konsepkonsep baik Barat maupun
Jawa, maka yang dapat dilakukan hanyalah mengakui dan tetap sadar akan adanya sifat berat sebelah
ini. Kalau saya katakan bahwa orang Jawa mempunyai gagasan tentang power yang berbeda sekali
dengan konsep power yang terdapat di Barat sekarang ini, maka pada hakikatnya pernyataan ini tidak
ada artinya, karena orang Jawa tidak mempunyai kata atau konsep seperti itu. Sebaliknya, kalau kita
berbicara 'dari dalam kerangka pemikiran Jawa, orang dapat berkata bahwa Barat mempunyai suatu
konsep kasekten yang berbeda sekali dari yang terdapat di J awa, sedangkan sesungguhnya bahasa
Inggris modern sarna sekali tidak mempunyai konsep seperti itu. Penggunaan lama dart kata power,
yang sampai sekarang masih didapati dalam ungkapan seperti The Great Powers, the power went out
of Him (dalam konteks Injili) kira-kira mendekati gagasan Jawa, tetapi tidak serupa. Jadi dalam
prinsip intelektual yang ketat seluruh pembicaraan tentang berbagai konsep power dalam seksi
selanjutnya, semestinya disertai dengan suatu pembicaraan yang sarna tentang berbagai-bagai konsep
Barat mengenai kasekten, ditinjau dari segi pandangan Jawa. Pembicaraan yang sejajar itu dapat
dimulai sebagai berikut: "Orang Barat mempunyai konsep kasekten yang amat berbeda dari yang kita
miliki, mereka membagi-baginya ke dalam konsep-konsep seperti kekuasaan, keabsahan dan
kharisma". Analisis lengkap yang mengikuti garis ini memang pada prinsipnya harus dilakukan, tetapi
karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, saya tidak mencobanya di sini, selain
menunjukkan bagaimana caranya kita harus mendekati persoalan itu. Barangkali hanya orang Jawalah
yang dapat melakukan itu dengan efektif.
8
Dalam pembicaraan berikut mengenai gaga san politikJawa, saya mencoba membuat model
murni untuk tujuan-tujuan analisis. Kebudayaan politik Jawa tradisional adalah suatu gejala yang
amat rumit, di mana seperti dalam kebudayaan lain, tidak berguna mencoba mencari konsistensi yang
Barangkali ada gunanya kalau diingat kembali bahwa konsep
tentang kekuasaan baru menjadi masalah eksplisit bagi para pemikir Barat
sesudah zaman pertengahan. Para filsuf pertama yang mencurahkan
perhatian yang serius dan cukup terperinci kepada masalah kekuasaan ini
adalah Machiavelli dan Hobbes. Bukanlah suatu hal yang kebetulan dalam
sejarah bahwa terutama baru sejak zaman Hobbes para pemikir Barat
memusatkan perhatiannya kepada sifat, sumber-sumber dan penggunaan
kekuasaan. Peristiwa itu terjadinya lebih kurang paralel dengan timbulnya
arus sekularisasi yang telah melanda Eropa sejak zaman renaissance dan
reformasi. Dipandang dari segi sejarah, konsep kekuasaan yang ada
sekarang ini timbul dari keperluan untuk memberikan penafsiran terhadap
politik dalam suatu dunia yang sekuler.
Usaha untuk menjelaskan gagasan Jawa mengenai kekuasaan
mungkin dapat dipermudah, kalau kita adakan perbandingan skematis
dengan beberapa aspek penting dari konsep Eropa modern, yang dapat
disimpulkan di bawah empatjudul:9
1. Kekuasaan itu abstrak. Kalau dinyatakan secara kata, kekuasaan
itu tidak “ada”. Kekuasaan adalah kata yang biasanya digunakan untuk
menerangkan satu hubungan atau lebih. Seperti kata-kata kewibawaan

sempurna atau logika matematis. Dalam kebudayaan tradisional itu, pola cetakan asli dicampur secara
tidak sempurna dengan' unsur-unsur yang berbeda-beda, yaitu unsur-unsur Brahma, Budha dan Islam.
Bagaimanapun juga, proses penyerapan dan sintesis yang pelan, yang telah berlangsung selama
berabad-abad sebelum “kedatangan Barat” itu, telah memungkmkan terjadinya kristalisasi yang
relatif lanjut dipandang dari segi konsistensi internnya. Jadi model yang saya coba gariskan adalah
“tipe ideal” pemikiran politik Jawa sebelum penjajahan, yang dengan sebaiknya jangan dianggap
sebagai kenyataan sejarah. Dengan ditundukkannya Jawa oleh pengaruh politik Jawa sekarang ini
adalah suatu kompleks unsur-unsur tradisional dan Barat yang heterogen, tidak berhubungan, dan
bertentangan secara internal, dengan logika dan keutuhan internal yang lebih rendah daripada di masa
lalu. Untuk mulai memahami kompleks ini, diperlukan suatu model pendahuluan dari kerangka
referensi sebelum datangnya Barat, yaitu model yang dicoba diberikan oleh esai ini.
9
Saya menggunakan “konsep Eropa modern” sebagai istilah ringkasnya yang mudah. Empat
gagasan pokok tentang kekuasaan yang saya kemukakan itu tidak timbul sekaligus, tetapi melalui
proses yang lambat dan tidak merata. Walaupun sebagian dari gagasan-gagasan ini mungkin jelas
dalam falsafat klasik, tetapi umumnya gagasan-gagasan itu tenggelam di zaman pertengahan, dan
hanya dalam periode-periode berikutnya kemudian berkembang penuh. Berteori secara eksplisit
mengenai hubungan antara kekuasaan dan keabsahan muncul dalam sejarah dari pertikaian yang lama
antara Paus dan para penguasa Eropa zaman pertengahan. Konsep kekuasaan modern sebagai suatu
yang abstrak sekurang-kurangnya berasal dari Machiavelli. Gagasan mengenai sumber kekuasaan
yang heterogen berkembang penuh secara filosofis dengan Montesquieu dan para penggantinya di
zaman kecerahan (enlightenment). Apa yang dapat dinamakan pandangan kekuasaan non-zera-sum
mungkin baru timbul setelah revolusi industri. (Masa-masa ini tentulah tidak lebih daripada tanda
titik-titik yang kasar dari saya). Jadi “konsep Eropa modern” mengenai kekuasaan sebagaimana yang
garis besarnya dikemukakan di sini, pada pokoknya merupakan puncak proses evolusi intelektual
yang berlangsung lama.
atau keabsahan, maka kekuasaan adalah abstraksi, suatu rumusan untuk
pola-pola interaksi sosial tertentu yang kebetulan sedang diamati. Jadi kita
biasanya menyimpulkan kekuasaan itu “ada” dalam berbagai macam
keadaan, di mana sebagian orang kelihatan patuh kepada kemauan orang
lain, baik dengan sukarela maupun tidak. Kita biasanya mengatakan
bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kekuasaan, hanya
dengan men unjukkan adanya hubungan sebab akibat antara perintah dan
pelaksanaannya, baik perintah itu eksplisit ataupun implisit.
2. Sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen. Karena kekuasaan
dianggap berasal atau disimpulkan dari pola-pola tingkah laku
dan hubungan-hubungan sosial tertentu, maka banyak pemikiran
politik Barat dicurahkan kepada cara mengklasifikasi-kan dan
menganalisis pola-pola dan hubungan-hubungan ini, dan dengan
demikian perhatian dicurahkan juga kepada bagaimana membeda-
bedakan berbagai sumber kekuasaan. Maka mereka (orang Barat)
telah menerima berbagai sumber kekuasaan seperti kekayaan, status
sosial, jabatan formal, organisasi, senjata, jumlah penduduk dan
sebagainya. Walaupun masing-masing sumber kekuasaan ini
dalam praktek dapat berhubungan satu dengan lainnya, dan
biasanya memang begitu juga, namun dalam analisis politik
sehari-hari masingmasing sumber itu diperlakukan sebagai
variabel-variabel terpisah yang mempengaruhi tingkah laku.
3. Akumulasi kekuasaan tidak ada batas-batasnya yang inheren.
Karena kekuasaan hanyalah suatu abstraksi yang
menggambarkan hubungan-hubungan tertentu antara manusia,
maka kekuasaan itu secara inheren tidak membatasi diri. Lagi pula,
kalau orang Barat menganggap bahwa sumber kekuasaan itu
mencakup senjata, kekayaan, organisasi dan teknologi, maka
mereka harus mengakui bahwa, sekurang-kurangnya dalam teori,
akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya. Dengan kata lain, kita
dapat mengatakan bahwa di mata orang Barat “jumlah” seluruh
kekuasaan yang ada di dunia sekarang ini jauh lebih besar
dibandingkan dengan tiga puluh tahun yang lalu (sebagai akibat dari
diciptakannya bom hidrogen umpamanya), dan bahwa “jumlah”
kekuasaan ini mungkin akan terus bertambah dalam waktu tiga
puluh tahun mendatang. Dalam pengertian ini, maka konsep
tentang kekuasaan langsung ditentukan dan dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi modern yang meningkat semakin
cepat.
4. Dan segi moral, kekuasaan itu berarti ganda. Adalah merupakan
akibat logis dari konsepsi sekuler. mengenal kekuasaan politik
sebagai hubungan antarmanusia, bahwa kekuasaan seperti itu
tidaklah dengan
sendirinya absah. Arti ganda moral ini tentu saja ditingkatkan oleh
anggapan bahwa kekuasaan diambil dari sumber-sumber yang heterogen.
Sifat heterogen ini telah memberi tekanan kepada pentingnya dan
rumitnya suatu masalah yang terus menjadi pemikiran para ahli teori
politik. Jenis kekuasaan manakah yang abash? Atau lebih tajam lagi,
apakah hubungan antara konsep positivis mengenal kekuasaan dengan
konsep etis mengenai kebenaran?
Jadi, secara ringkas kekuasaan menurut konsep Barat sekarang ini
adalah suatu abstraksi yang ditarik dari pola-pola interaksi sosial yang
terlihat; kekuasaan dianggap berasal dan sumber-sumber yang heterogen;
kekuasaan secara inheren tidak membatasi diri; dan dipandang dari segi
moral mempunyai arti ganda.
Pada intinya, masing-masing dasar pikiran tentang kekuasaan seperti
itu bertentangan dengan dasar pikiran yang sepadan dengan yang terdapat
dalam tradisi Jawa. Dan dari hubungan yang terdapat antara masing-
masing dasar pikiran Jawa, yang bertentangan dengan rangkaian dasar
pikiran Barat ini, timbullah kepaduan dan konsistensi tradisi itu.
1. Kekuasaan itu kongkret. Ini adalah dasar pikiran pertama dan
pokok dari pemikiran politik Jawa. Kekuasaan itu ada, terlepas dari orang
yang mungkin mempergunakannya. Kekuasaan bukan suatu anggapan
teoretis, melainkan suatu realitas yang benar-benar ada. Kekuasaan adalah
daya yang tidak dapat diraba, penuh misteri dan bersifat ketuhanan yang
menghidupkan seluruh alam semesta. Kekuasaan terwujud dalam setiap
aspek dunia alami, pada batu, kayu, awan dan api, tetapi dinyatakan
secara murni dalam misteri pokok kehidupan, yaitu proses generasi dan
regenerasi. Dalam pemikiran tradisional Jawa, tidak ada garis batas yang
tegas antara zat organis dan zat inorganis, karena segala sesuatunya
ditopang oleh kekuasaan sarna yang tidak kelihatan. Konsepsi yang
menyatakan bahwa seluruh kosmos ini dipenuhi oleh suatu daya yang
tidak berbentuk tetapi selalu kreatif, telah merupakan kaitan dasar antara
“animisme” yang terdapat di desa-desa Jawa dan paham pantaisme
metafisik tinggi yang terdapat di pusat-pusat perkotaan.10
2. Kekuasaan itu homogen. Dari konsepsi ini timbul pendapat bahwa
semua kekuasaan itu sarnajenisnya dan sarna pula sumbernya. Kekuasaan

Jadi rumusan mistik yang terkenal yang berbunyi:


10

Tuhan adalah Aku, menyatakan kongkretnya gagasan Jawa tentang kekuasaan. Kekuasaan Tuhan
adalah inti dari Aku, inti dari diri itu sendiri.
di tangan satu individu atau satu kelompok adalah identik dengan
kekuasaan yang ada di tangan individu atau kelompok lain mana pun.
3. Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap. Menurut
pandangan orang Jawa, alam semesta tidak bertambah luas dan tidak
pula bertambah sempit. Demikian pula jumlah kekuasaan yang
terdapat di dalamnya selalu tetap. Karena kekuasaan itu ada begitu
saja, dan bukan merupakan hasil dari organisasi, kekayaan,
persenjataan dan lain-lain, malah lebih dulu ada daripada
semuanya itu dan membuat semuanya seperti adanya, maka
jumlah keseluruhannya tidak berubah, walaupun pembagian
kekuasaan dalam alam semesta mungkin dapat berubah. Untuk teori
politik, pendapat ini mempunyai akibat penting yang semestinya,
yaitu terpusatnya kekuasaan di satu tempat atau pada satu
orang mengharuskan pengurangan jumlah kekuasaan di tempat
lain dalam jumlah yang sebanding.
4. Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan.11 Karena semua
kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka
kekuasaan itu sendiri lebih dahulu ada daripada masalah-masalah
baik dan buruk Mennrut cara pemikiran orang Jawa, menuntut hak
berkuasa berdasarkan sumber-sumber kekuasaan yang berbeda-
beda, tidak akan ada artihya, misalnya mengatakan bahwa
kekuasaan yang berdasarkan kekayaan adalah absah, sedang
kekuasaan yang berdasarkan senjata tidak absah. Kekuasaan tidak
absah dan tidak pula tidak absah. Kekuasaan ada.
Jadi sebagai kesimpulan, orang Jawa memandang kekuasaan sebagai
sesuatu yang kongkret, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, dan
sebagai kekuasaan tidak mempunyai implikasi-implikasi moral yang
inheren.12

Mencari Kekuasaan
Berbeda dengan tradisi teori politik Barat, masalah pokok yang
ditimbulkan konsepsi mengenai kekuasaan ini bukan masalah bagaimana
menggunakan kekuasaan, melainkan bagaimana menghimpunnya. Sesuai
dengan itu, sebagian besar kepustakaan tradisional lebih membicarakan
11
Sekurang-kurangnya tidak dalam bentuk yang biasa
kita kenal. Untuk pembiearaan yang lebih lengkap, lihatlahbagian “kekuasaan dan etika.”
12
Perbedaan ini, dari segi pandangan yang sedikit agak berbeda, dibiearakan dalam buku
Maruyama, Bab 9 (Same Problems ofPoltical Power), terutama bagian yang membicarakan “konsep-
konsep kekuasaan substantif dan fungsional” (hlm. 269-275).
masalah bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan,
daripada masalah bagaimana menggunakannya dengan wajar. Menurut
tradisi ortodoks, usaha memperoleh kekuasaan dilakukan melalui praktik-
praktik yoga dan bertapa yang sangat keras. Walaupun praktik-praktik
yoga berbeda-beda bentuknya di berbagai daerah Jawa termasuk
berpuasa, tidak tidur, bersemadi, tidak melakukan hubungan seksual,
pemurnian ritual dan mempersembahkan berbagai sesaji, terdapat satu
gagasan pokok yang mendasarmya. Semuanya dimaksudkan untuk
memfokuskan atau memusatkan hakikat asli. Tuntutan terbaik untuk
menghayati garis-garis besar konsepsi itu mungkin adalah gambaran suatu
suryakanta atau sinar laser, di mana pemusatan cahaya yang luar biasa
menciptakan curahan panas yang luar biasa. Analogi ini amat tepat,
karena dalam pelukisan klasik dalam kepustakaan Jawa, bertapa yang
amat keras memang mempunyai kemampuan untuk menimbulkan panas
fisik. Orang percaya bahwa para pembuat keris13 legendaris di zaman dulu
mampu menempa mata keris yang terbuat dari besi dengan pamornya
yang indah itu, hanya dengan panas yang terpusat dalam Ibu jari mereka.
Dalam cerita wayang14 pada bagian gara-gara yang khas di mana seorang
pertapa yang tak dikenal namanya sedang bersemedi, maka perwujudan
yang paling menyolok dan konsentrasinya adalah, seperti dikatakan sang
dalang, lautan mulai mendidih dan bergolak 15 Arti kejiwaan dari bertapa
seperti itu bukanlah sekali-kali penyiksaan diri dengan tujuan-tujuan etis,
melainkan hanyalah dan semata-mata untuk memperoleh kekuasaan.
Menurut tradisi ortodoks, bertapa mengikuti hukum kompensasi yang
fundamental bagi rasa orang Jawa tentang keseimbangan kosmos. Jadi
mengurangi diri lebih kurang sarna artinya dengan membesarkan diri
dengan cara bermatiraga; dan sebagaimana akan kita lihat nanti, dengan
paradoks khas Jawa, membesarkan diri (dengan pengertian ketamakan
pribadi atau memanjakan diri sendiri) menjadi sama artinya dengan
13
Orang percaya bahwa. banyak keris mengandung endapan-endapan kekuasaan dan amat dicari
orang, sekalipun cara pembuatannya tidak begitu mdah. Untuk keterangan panjang lebar tentang arti
keris secara simbolis dan sosial, lihatlah buku karangan W.R. Rassers, Panji: The Culture Hero, A
Structural Study ofReligion in Java (The Hague Nijhoft, 1959) hlm. 219-297.
14
Seperti diketahui, adegan gara-gara itu, di mana tata tertib dan ketenteraman alam semesta
terganggu, menjadi salah satu bagian klimaks dalam pertunjukan wayang kulit.
15
Bandingkan misalnya: Ki Siswoharsojo, Pakem Pedhalangan Lampahan Makutharama,
(Yogyakarta: tanpa nama penerbit, 1963), hlm. 44-45; J.Kats, Het Javaansche Toneel; 1 (Wajang
Poerwa) (Weltevreden, Commissie voor de Volkslectuur, 1923) hlm. 52 dan untuk parabel historis, di
mana bertapanya Panembahan Senapati menimbulkan akibat yang sarna, lihat: Soemarsaid Moertono,
State and Statecraft in Old Java, Cornell Modern Indonesia Project Monograph Series (Ithaca, N.Y.
Cornel University, 1968), hlm. 19 yang mengutip JJ. Meinsma, ed. Babad Tanah Djawi (The Hague,
Nijhoff, 1941), hlm. 77.
mengurangi diri sendiri (dengan pengertian hilangnya kekuasaan atau
hilangnya konsentrasi). Konsepsi mengenai pemusatanyang mendasari
praktik matiraga, juga rapat hubungannya dengan gagasan mengenai
kemurnian; sebaliknya, gagasan mengenai tiadanya kemurnian rapat pula
hubungannya dengan pemencaran (diffusion) dan disintegrasi.
Kenikmatan-kenikmatan duniawi tidak tentu pertama-tama dianggap jahat
atau tidak bermoral, tetapi merupakan sesuatu yang mengalihkan dan
mengacaukan pemikiran, dan karena itu menyebabkan hilangnya
kekuasaan. Banyak contoh garis pemikiran seperti ini ditemukan dalam
kepustakaan tradisional. Bukan hanya para satria yang suka melakukan
praktik-praktik matiraga. Sebagian dari mereka yang paling gigih
melakukan hidup mati raga ini berasal dari kalangan “buta” (dalam arti
Jawa) dan raksasa yang dalam lakon-lakon wayang merupakan musuh
abadi para dewa dan manusia. Karena itu, kekuasaan mereka sering luar
biasa, malah kadang-kadang melebihi kekuasaan dewa-dewa. Tetapi
perbedaan pokok antara para satria dan. musuh-musuhnya adalah bahwa
pada akhirnya musuh-musuhnya itu membiarkan kekuasaan mereka kacau
balau, karena mereka menuruti hawa nafsu tanpa kekangan, sedangkan
para satria mempertahankan kebulatan tekad dan kesatuan tujuannya
secara ketat, yang menjamin dapat dipertahankannya dan dihimpunnya
kekuasaan secara terus-menerus.16
Di samping pandangan ortodoks tentang jalan ke kekuasaan itu, di
Jawa terdapat juga tradisi lain yang heterodoks. Dalam sejarah, contoh
terbaik dari tradisi ini ialah pribadi Raja Singasariyang terakhir, yaitu Raja
Kertanegara. Menurut tradisi Bhairavis (Tantri) ini kekuasaan dicari
melalui mabuk-mabukan, pesta-pesta seks dan pembunuhan ritual. 17
Tetapi bahkan tradisi ini, yang masih mempunyai pengikut-pengikut
secara diam-diam di Indonesia sekarang ini, pada akhirnya juga berusaha
mencapai tujuan yang sama dengan tujuan tradisi yang lebih ortodoks.
Sebabnya adalah karena dalam sistem kepercayaan Bhairavis, mengikuti
hawa nafsu secara sistematis dalam bentuk yang paling ekstrem dianggap
16
Mungkin ada orang yang berpendapat bahwa ada
sejenis penilaian moral tentang kekuasaan yang terkandung dalam perbedaan antara satria dan
raksasa. Tetapi saya lebih cenderung untuk percaya, bahwa dalam menentukan penilaian moral,
yang diperhatikan bukanlah penggunaan kekuasaan itu tetapi terhimpun atau terpencarnya
kekuasaan itu. Kritik yang ditujukan kepada raksasa-raksasa adalah mengenai tidak mampunya
atau tidak bersedianya mereka itu menjaga kekuasaan yang telah mereka himpun.
17
Mengenai topik ini lihat W.F. Stutterheim, Het Hinduisme in de Archipel, ed. ke 3 (Jakarta dan
Groningen, Wolters, 1952) hlm. 63, 67, dan 138; dan W.F.Stutterheim, Studies in Indonesian
Archeology (The Hague, Nijhoff, 1956), hlm. 107-143.
dapat menghabiskan nafsu itu sendiri, sehingga memungkinkan
dipusatkannya kekuasaan seseorang tanpa mengalami halangan lebih
lanjut. Jadi dalam kedua tradisi itu, tujuan terakhir adalah pemusatan
kekuasaan walaupun jalan yang dipilih untuk mencapai tujuan ini amat
berbeda.
Walaupun bertapa pribadi umumnya dianggap sebagai cara yang
fundamental untuk menghimpun dan menyerap kekuasaan, pemikiran
Jawa tradisional juga mengakui bahwa proses penyerapan dan
penghimpunan itu dapat ditingkatkan, baik dengan melakukan upacara-
upacara tertentu yang sering berisi inti bertapa seperti berpuasa,
bersemadi dan sebagainya, maupun dengan memiliki barang-barang atau
orang-orang tertentu yang dianggap “berisi” kekuasaan. Karena C.C. Berg
telah menulis panjang lebar tentang mobilisasi ritual dari kekuasaan
melalui mantra dalam bentuk babad-babad Jawa Kuno, maka di sini kita
tidak perlu lagi menyelidiki masalah itu lebih lanjut.18 Tetapi akan sukar
sekali memahami arti sangat penting yang diberikan kepada upacara-
upacara kenegaraan di Indonesia modern tanpa mengingat bagian tradisi
ini. Obsesi dengan upacara ini biasanya ditafsirkan hanya sebagai
kesukaan berideologi, atau sebagai akal manipulatif untuk menyelubungi
kenyataan-kenyataan politik dan ekonomi sehingga tidak terlihat oleh
rakyat, atau sebagai cara untuk mengintegrasikan secara formal
kelompok-kelompok dan kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan dalam suatu bangsa di mana sarana-sarana kelembagaan
yang dipergunakan untuk maksud ini selalu dalam keadaan amat lemah.
Penilaian-penilaian seperti ini tentu sebagian benar (walaupun orang
mungkin berbeda pendapat mengenai sampai di mana para pemimpin
politik Indonesia secara sadar mempunyai motivasi seperti ini). Tetapi
tentu tidak layak untuk membantah bahwa arti penting yang diberikan
kepada upacara-upacara itu mungkin juga mempunyai dasar yang lebih
tradisional, sudah pasti dalam pikiran para penonton luar, dan mungkin
walaupun sampai batas tertentu, juga dalam pikiran para pemimpin itu
sendiri. Kita seharusnya jangan mengabaikan aspek dinamis dan agresif
pada upacara-upacara ini, dan mengecilkan pula derajat sampai di mana

18
Sebagian besar dari tulisan-tulisan C.C. Berg
berkisar sekitar tema ini. Untuk mengungkapkan yang baik, pendek dan komprehensif lihatlah
karangannya “The Javanese Picture of the Past” dalam buku Soedjatmoko, eds. An Introduction to
Indonesia Historiography (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1965) hlm. 87-177.
upacara-upacara ini melambangkan pemanggilan kekuasaan bagi para
pesertanya.19
Beberapa upacara sangat jelas bersifat memanggil seperti misalnya
mengadakan pertunjukan wayang di istana presiden dengan lakon-lakon
yang dipilih secara khusus karena simbolisme politiknya yang relevan;
memanggil para pemimpin berbagai kelompok spiritual dan mistik untuk
ikut serta dalam kampanye perang melawan Belanda waktu krisis Irian
tahun 196 1-1962; dan menegakkan suatu lingga modern dalam bentuk
Monumen Nasional. Tetapi banyak aspek khas lainnya dalam tingkah laku
politik umum di Indonesia modern, seperti rapat raksasa, pawai simbolis,
pidato yang berapi-api, menyebut-nyebut revolusi, walaupun kelihatannya
hampir tidak ada hubungan dengan tradisi, dan memang secara formal
diambil dari praktik politik Barat, tetapi dalam pengertian kalangan dalam
sangat berorientasi kepada kekuasaan dan dimaksudkan untuk
memusatkan dan memperlihatkan kekuasaan yang telah diserap dari
berbagai sumber, seperti kata-kata yang penuh kekuasaan (Pancasila,
revolusi, saptamarga),20 pengalaman penuh kekuasaan (revolusi) dan
kolektivitas-kolektivitas yang penuh kekuasaan (rakyat). 21 Sesungguhnya
banyak rapat raksasa politik yang diadakan Soekarno yang secara
menyolok dimaksudkan untuk menyampaikan suatu pesan kepada rakyat
atau memperlihatkan dukungan rakyat kepada Presiden, adalah tidak
kurang pentingnya sebagai cara menghimpun dan memperlihatkan
kekuasaan berdasarkan kepatuhan yang diberikan oleh ribuan orang
dengan suka rela. Semakin besar jumlah kelompok politik yang berbeda-
beda atau bahkan bermusuhan dapat dibawa ke dalam upacara-upacara
ini, semakin besar pulalah kekuasaan nyata yang dirasakan ada, yang
dimiliki oleh pemimpin upacara itu. Sudah pasti bahwa cara pidato
Soekarno yang seolah-olah mengucapkan mantra dalam gaya yang sangat
tradisional itu menainbah kehebatan upacara politik itu.22
19
Mengenai tafsiran yang agak berbeda mengenai
fungsi politik dari upacara, yang didefinisikan sebagai tujuan tersendiri, di bawah rubrik, Doctrine of the
Theater State lihat Clifford Geertz, Islam Observerd (New Haven, Yale University Press, 1968), hlm.
38.
20
Pancasila dan Revolusi tidak perlu diterangkan lagi. Sapta Marga adalah Tujuh Prinsip yang
merupakan kode Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang dirumuskan oleh Kolonel Bambang
Supeno pada permulaan tahun-tahun 1950-an.
21
Dapat dikemukakan di sini bahwa di Barat juga, barisan-barisan, rapat-rapat umum dan
seterusnya digunakan untuk memperoleh dan mempertunjukkan kekuasaan. Yang saya maksud di sini
adalah bahwa kekuasaan yang diperoleh dan dipertunjukkan itu dipandang dari segi yang amat
berbeda dalam kedua kebudayaan itu.
22
Mohammad Roem dalam pembicaraannya dengan penulis di Ithaca pada permulaan 1968
mengatakan, bahwa sebelum timbulnya pemimpin nasionalis H.O.S. Tjokroaminoto dalam tahun-
Lagi pula, menurut tradisi lama di Jawa, penguasa harus
mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apa pun yang
dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan. Keratonnya tidak saja
dipenuhi oleh koleksi benda-benda pusaka tradisional, seperti keris,
tombak, alat-alat musik suci, kereta dan sebangsanya, tetapi juga oleh
berbagai macam manusia luar biasa seperti orang bulai, pelawak, orang
kerdil dan ahli nujum. Karena tinggal bersama dalam keraton dengan
penguasa itu, maka kekuasaan yang dimiliki benda-benda dan orangorang
itu diserap dan ditambahkan pada kekuasaan penguasa. Kalau benda atau
orang itu hilang dengan cara bagaimanapun juga, maka ini dianggap
berkurangnya kekuasaan raja, dan sering dianggap sebagai pratanda
datangnya kehancuran dinasti yang sedang berkuasa. Sampai di mana
tradisi ini tetap hidup, bahkan dalam kalangan-kalangan elite politik,
bukan merupakan rahasia lagi bagi para pengamat situasi Indonesia di
zaman Soekarno. Tetapi barangkali baik dicatat bahwa dari segi politik,
yang penting ialah bahwa seseorang di anggap mempunyai benda-benda
atau manusia-manusia seperti itu dalam penguasaannya, walaupun
sebenarnya ia tidak mempunyainya ataupun tidak menggunakannya
dengan sungguh-sungguh. Suatu ilustrasi yang menarik dari gej ala ini
adalah keeenderungan sementara tokoh politik non-Jawa untuk berusaha
agar masyarakat Jawa percaya bahwa mereka juga memiliki beberapa
“upacara" (benda-benda keramat) kekuasaan itu.23

Pratanda-pratanda Kekuasaan
Jadi tradisi pemikiran politik Jawa seeara khas memberikan tekanan
kepada pratanda-pratanda pemusatan kekuasaan, dan bukan kepada
perbuatan yang memperlihatkan pemakaian atau penggunaannya.
Pratanda-pratanda ini dicari orang baik pada diri pemegang kekuasaan
maupun dalam masyarakat di mana ia memegang kekuasaan. Kedua hal
itu tentu saja berhubungan rapat. Menurut salah seorang cendekiawan

tahun 1910-an para ahli pidato politik meminjam gaya orator mereka dari sandiwara bangsawan. yang
selanjutnya sebagian besar mengambilnya pula dari teater Eropa. Gerak-gerik tangan dan kiasan-
kiasan biasanya agak mekanis dan formal. Pembaruan Tjokroaminoto yang besar, yang kemudian
diambil alih dan dikembangkan oleh Soekarno, adalah mendasarkan gaya pidatonya kepada gaya
pengucapan dalang. Ini memberikan kesempatan untuk digunakannya kiasan-kiasan tradisional dan
gaya suara tradisional dengan terampil oleh kedua orator ulung itu, untuk membangun hubungan yang
tidak ada sebelumnya dengan para pendengar mereka.
23
Beberapa dari mereka tentu saja telah cukup di-Jawakan untuk melakukan usaha sungguh-
sungguh guna mendapatkanjenis-jenis lambang kekuasaan Jawa itu.
Indonesia yang terkemuka dewasa ini, “konsep pokok dalam pandangan
hidup tradisional Jawa adalah adanya hubungan langsung antara keadaan
ba tin ses eora ng da n ke mampua nnya untuk me ngendal ikan
lingkungannya.”24
Dengan cara yang sungguh konsisten, pratanda yang paling jelas dan
orang yang mempunyai kekuasaan adalah kemampuannya berkonsentrasi.
Memfokuskan kekuasaan pribadinya sendiri, menyerap kekuasaan dari
luar dan memusatkan dalam dirinya hal-hal yang kelihatannya
bertentangan. Pemusatan jenis pertama telah kita bahas secara singkat; di
sini cukup dikatakan bahwa bertapa adalah pernyataan yang paling utama
dari kekuasaan yang dipusatkan. Kemampuan menyerap pemusatan-
pemusatan kekuasaan dari luar merupakan tema yang sering terdapat
dalam lakon-lakon wayang dandalam tradisi sejarah 25. Salah satu
gambaran khas, yang menghubungkan jenis penyerapan ini dengan
penyatuan dua prinsip yang berlawanan, adalah pertarungan antara
seorang satria dengan seorang musuh yang kuat, di mana setelah musuh
itu dikalahkan, dalam kematiannya ia memasuki tubuh sang satria, dan
dengan begitu menambah kekuatan sang satria penakluk. Suatu contoh
terkenal dalam kepustakaan wayang adalah cerita Prabu Parta yang
memasuki tubuh Arjuna setelah ia kalah dalam pertempuran. 26 Tetapi
lakon-lakon lain, seperti yang melukiskan roh Begawan Bagaspati yang
turun kepada Yudistira untuk memungkinkannya membunuh Prabu Salya,
atau penyatuan Srikandi dan Ambalika untuk menyiasati keruntuhan Resi
Bisma pada awal Perang Bratayuda, mengungkapkan adanya pola-pola
yang sejajar di mana kekuasaan diserap dari sumber-sumber eksternal.27
Tetapi tidak kurang menarik, dan barangkali dalam perspektif sejarah
memiliki arti yang bertahan lebih lama, adalah kemampuan memusatkan
hal-hal yang berlawanan. Lambang inkonografis klasik dalam hal ini
adalah gabungan antara kelakian dan kewanitaan. Dalam kesenian Jawa
Kuno gabungan ini tidak mengambil bentuk banci seperti di dunia
Hellenistis, yaitu suatu mahluk peralihan yang tidak mempunyai jenis
kelamin yang jelas, tetapi lebih menyerupai suatu mahluk di mana ciri-ciri
24
Soedjatmoko, “Indonesia: Problems and Opportunities” Australian Outlook, 21, no. 3
(Desember, 1967), hlm. 266.
Satu aspek yang biasa dalam penulisan sejarah Jawa Kuno, yaitu cerita-cerita tentang raja-raja
25

bersejarah sebagai penjelmaan dewa-dewa, atas dasar ini dapat ditafsirkan sebagai penyerapan
kekuasaan eksternal ke dalam diri penguasa itu. Lihat umpamanya: Berg. hlm. 93, 112.
26
Lihatjalan cerita lakonArimba. yang diringkaskan dalamKats. hlm. 282.
27
Lihat cerita lakon Pedjahipun Soejoedana dan Pedjahipttn Bima lan Seta, yang diringkaskan
dalam Kats, hlm. 436 dan 428.
khas lelaki dan wanita dijajarkan dengan tajam. Kita menemukan
misalnya dalam jenis arca ardhanari bahwa bagian kiri patung itu
fisiologis berhentuk wanita, sedangkan bagian kanannya lelaki. 28 Ciri
esensial dari gabungan hal-hal yang berlawanan ini bukanlah
perpaduannya, melainkan penggabungannya yang serentak dan dinamis
dalam suatu persenyawaan. Jadi gambaran ardhanari mewujudkan
vitalitas penguasa, kemanunggalannya, dan sifat sentralnya. Ia sekaligus
bersifat lelaki dan wanita, mengandung kedua unsur yang berlawanan
dalam dirinya, dan memegangnya dalam suatu perimbangan yang tegang
dan penuh daya.29
Walaupun dalam dunia seni gabungan lelaki-wanita merupakan
lambang kekuasaan, namun dalam dunia politik, karena alasan-alasan
yang jelas, sinkretisme dinamis dalam pemikiran Jawa menyatakan
dirinya dalam bentuk-bentuk lain. Pernyataan yang paling menarik
mengenai hal ini ialah apa yang dinamakan politik Nasakom dari bekas
Presiden Soekarno.30 Sewaktu Soekarno menyatakan dirinya nasionalis,
beragama dan komunis sekaligus, para pengamat di luar tradisi politik
Jawa sering menafsirkan bahwa ia mempergunakan bahasa manuver dan
kompromi. Orang sering menganggap rumusan Nasakom sebagai slogan
28
Suatu contoh yang indah dari gambaran hari-hara
ardhanari dapaf ditemui dalam buku Claire Holt, Art in Indonesia (Ithaca. N.Y.: Cornell University
Press, 1967), hlm. 81.
29
Penafsiran saya di sini sebagian diambil dari esai J.M. van der Kroef tentang “Transvestitism
and the Religiaus Hermaphrodite” dalam bukunya Indonesia in the Modem World (Bandung: Masa
Baru, 1956), hlm. 182-195, walaupun metade analisis sayajelas sekali berbeda dari metodenya. Orang
barangkali dapat melihat versi lain dari gabungan antara pria dan wanita sebagai suatu gambaran
gerakan kekuasaan, di dalam suatu lembaga yang menarik di keratan Jawa Tengah. Di antara berbagai
jenis upacara (benda-benda dan/atau orang-orang yang dianggap mengandung kekusaan) kerajaan,
jadi sebagian dari tanda kekuasaan penguasa, orang menemukan bedaya, yaitu suatu kelompak
khusus yang biasanya terdiri dari wanita yang bertanggung jawab menjaga upacara-upacara yang lain
dan mempertunjukkan tari-tarian istana yang paling suci. Suatu hal yang menarik adalah bilamana raja
pergi ke medan pertempuran, bedaya-.nya selalu dibawa; dan banyak kata-kata nyanyian yang
mengiringi tarian-tarian bedaya itu mengagungkan kemenangan-kemenangan raja. Menarik sekali
bahwa bukanlahpermeswari (ratu seniar) atau istri-istri resmi lain dari raja itu yang melakukan fungsi
mewakili unsur wanita dari kekuasaan, melainkan bedaya itu. Perkembangan selanjutnya dari
terdapatnya unsur lelaki dan wanita secara berdampingan ini, terungkap oleh kenyataan bahwa
sekurang-kurangnya di Yogyakarta sampai kepada pemerintahan Sultan Hamengku Buwano VII,
tarian bedaya ini dipertunjukkan aleh anak-anak lelaki muda yang diberi pakaian wanita.
Penjaga-penjaga tradisional dari lambang-lambang para penguasa Bugis dan Makassar di
Sulawesi Selatan dinamakan bissu, yaitu arang lelaki yang diberi pakaian gabungan antara pakaian
wanita dan pakaian lelaki. Untuk keterangan yang baik sekali tentang bissu ini, dengan foto-foto,
lihatlah buku Claire Holt, Dance Quest in Celebes (Paris, Les Archives Internatianales de la Dance,
1939), hlm. 27-3 6, 87-89 dan halaman bergambar 15-18, 94-97.
30
Palitik Nasakom, yang dijalankan Soekarno selama masa Demakrasi Terpimpin, dimaksudkan
untuk menggalakkan rasa saling percaya dan kerja sama antara kelompok-kelompok dan partai, yang
biasanya terbagi-bagi di bawah ketiga golongan itu.
yang tidak bertanggung jawab dan secara intelektual tidak mempunyai
keutuhan atau sebagai alat halus yang dipergunakan untuk melemahkan
prasangka-prasangka antikomunis dalam kelompok-kelompok nasionalis
dan agama yang besar pengaruhnya. Tetapi tafsiran-tafsiran seperti itu
belum berhasil menempatkan politik Nwswkom dalam konteks pemikiran
politik Jawa. Dalam pemlklran ini, rumusan Soekarno tidak dapat
ditafsirkan sebagai kompromi atau muslihat, tetapi sebagai pernyataan
yang kuat bahwa penguasa memiliki kekuasaan. Menurut persyaratannya,
semua pelaku politik lain dipaksa memainkan peranan bawahan sebagai
bagian-bagian dari sistem. Hanya Soekarno sajalah yang merupakan
keseluruhan, sembada, menyerap semuanya ke dalam dirinya dan
melakukan penaklukan sinkretis.
Tetapi tidak hanya di dalam simbolisme terbuka Nasakom orang
menemukan rumusan kekuasaan yang berupa kesatuan dalam
pertentangan-pertentangan.31 Hubungan yang sama ditemukan juga dalam
imbauan yang amat kuat yang dilakukan PNI di masa sebelum Perang
Dunia Kedua dan dalam tahun-tahun 60-an terutama dilakukan PKI, yaitu
imbauan yang sekaligus ditujukan kepada modernitas dan tradisi, atau
barangkali lebih tepat lagi mempertahankan tradisi dengan
memodernisasikannya. Ruth McVey telah memberikan uraian mendalam
dan halus mengenai perkembangan nasionalisme kebudayaan Indonesia
dalam sistem sekolah Taman Siswa sebelum Perang Dunia Kedua. 32 Ia
menunjukkan bagaimana pendiri Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara, telah
berhasil menggabungkan apa yang pada waktu itu merupakan teori-teori
pendidikan humanis yang sangat modern dengan unsur-unsur tradisional
dalam pendidikan Jawa, guna memberikan, sekurang-kurangnya untuk
zaman itu, suatu gabungan yang dinamis dan sangat efektif dari yang baru
dan yang lama, yang radikal dan yang konservatif. Sementara orang-orang
Belanda yang bersimpati berpendapat bahwa gagasan-gagasan Ki Hajar
diambil dari Froebel dan Montessori, para pengikut dari kalangan orang
Jawa memandang gagasan-gagasan itu sebagai gagasan-gagasan yang
timbul dari formulasi-formulasi yang dirumuskan oleh kelompok
31
Cukup menarik bahwa rumusan ini dalam bentuk
yang paling ringkas telah dinyatakan dalam lambang nasional Indonesia Bhinnekw Tunggwl Ikw. Moto
ini biasanya diterjemahkan dengan bersatu dalam keanekaragaman, dan sering dianggap serupa dengan
moto nasional Amerika Epluribus unum. Tetapi ada perbedaan nuansa yang penting antara kedua moto
itu. Moto Amerika mengandung arti suatu proses penyatuan dari unsur-unsur yang berbeda-beda,
sedangkan moto Indonesia menunjukkan tidak dapat dipisahkannya antara persatuan dan keragaman.
32
Ruth McVey, “Taman Siswa and the Indonesia National Awakening”, 4 Oktober 1967 hlm.
128-149.
kebatinan tradisionalis, yaitu Paguyuban Selasa Kliwon, yang dipimpin
oleh sekelompok ternan-ternan Ki Hajar. Sifat khas nasionalisme radikal
yang berwajah dua ini tentu saja dapat diterangkan dengan jelas dari segi
sosiologi dan sejarah. Tetapi keadaan rangkap dua ini dapat juga
dipandang sebagai pantulan orientasi dinamis terhadap kekuasaan dari
pemikiran Jawa itu.33
Kalau kemampuan menguasai hal-hal yang bertentangan dan
kemampuan menyerap lawan-Iawannya merupakan unsur-unsur penting
dari pernyataan seorang pemimpin bahwa ia mempunyai kekuasaan, maka
suatu pratanda umum yang menyolok bagi hal itu adalah apa yang secara
tradisional dinamakan wahyu oleh orang Jawa. Moertono menulis tentang
pancaran cahaya ini: “Wahyu ini digambarkan dalam berbagai bentuk dan
rupa, seperti cahaya terang benderang, suatu ‘bintang’, tetapi amat sering
kelihatan seperti bola cahaya gemerlap berwarna biru, hijau atau putih
(andaru, pulung) yang melintas cepat melalui langit malam.”34 (Bayangan
ini mengungkapkan identifikasi kekuasaan dan cahaya yang terdapat di
mana-mana dalam pemikiran Jawa). Gerak wahyu itu secara khas
merupakan pratanda kejatuhan suatu dinasti dan berpindahnya sumber
cahaya itu kepada dinasti lain. Dalam keadaan sehari-hari, adanya
kekuasaan itu lebih biasa ditandai oleh téja (pancaran sinar) yang
dianggap memancar dengan halus dari wajah atau badan orang yang
memiliki kekuasaan. Genggaman psikologis bayangan ini dapat dirasakan
sepintas kilas dalam suatu pidato Soekarno yang amat menarik dalam
tahun 1963, berkenaan dengan penganugerahan gelar doktor kehormatan
kepadanya di Universitas Indonesia di Jakarta. 35 Dalam kesempatan itu ia
berbicara panjang lebar tentang téja, dengan menyatakan bahwa berbagai
tokoh Eropa mempunyainya, dan yang paling terkenal di antaranya adalah
Adolf Hitler. Pembicaraan Soekarno tentang Hitler dan tejanya itu
mengagetkan beberapa pengamat Barat yang hadir waktu itu, yang
33
Dalam tahun enam puluhan, Partai Komunis
Indonesia berhasil sekali menghidupkan dan mengembangkan kembali serta menyesuaikan bentuk-
bentuk kesenian rakyat dan teater tradisional. Dengan menyajikan adaptasi-adaptasi kesenian
tradisional ini sebagai sesuatu yang jauh lebih modern dan lebih progresif dan juga lebih asli daripada
kebudayaan borjuis di kota-kota yang telah lepas dari akarnya, maka partai itu dengan sukses telah
memainkan perasaan-perasaan orang Jawa mengenai sifat kekuasaan.
34
Moertono, hlm. 56.
35
Soekarno, Ilmu Pengetahuan Sekedw' Alat Mencapai Sesllaw (Jakarta, Departemen Penerangan
Republik Indonesia, Penerbitan khusus 253 1963). Pidato ini diucapkan tanggal 2 Februari 1963. ' 36.
Sebagaimana akan kita lihat nanti, seorang penguasa dapat kehilangan tejanya karena melakukan
tindakan-tindakanjahat, tetapi teja itu telah datang terIebih duIu dan tidak dapat hanya dicapai dengan
tindakan-tindakan yang demikian itu.
menilainya dalam kerangka referensi sejarah Eropa. Tetapi dilihat dalam
kerangka tradisi Jawa, ucapan Soekarno itu merupakan analisis yang
tenang. Dalam menyebut Hitler, ia tidak pernah menyinggung kualitas-
kualitas moral pemerintahan Fuehrer itu. Mengapa Soekarno tidak
menyebut masalah moral ini, bukan karena ia tidak menghargai masalah-
masalah moral melainkan lebih karena dalam kategori-kategori teori
politik Jawa, persoalan moralitas suatu pemerintahan adalah soal kedua,
baik dalam pengertian historis maupun analitis dibandingkan dengan
aspek-aspek kekuasaan. Kenyataaan bahwa Hitler mempunyai teja adalah
persoalan pokok dan harus merupakan titik tolak setiap analisis tentang
rezimnya.36 Menurut tradisi, cahaya téja itu dihubungkan dengan
penampilan penguasa di depan umum. Moertono mengutip kasus
Amangkurat III (1703-1708), di mana diceritakan bahwa pada waktu ia
hampir digulingkan, ia telah “kehilangan cahayanya dan kelihatan pucat
seperti orang Cina yang sakit perut”. 37 Sebaliknya, Amangkurat II(1677-
1703), pada saat ia memutuskan untuk melawan serangan Trunajaya dan
mempertahankan Kerajaan Mataram yang sedang rontok itu, diceritakan
bahwa para pengikutnya “tidak mengenal pemimpin mereka karena
tadinya wajahnya begitu pucat dan tanpa ekspresi, sekarang wajahnya
menjadi bercahaya dan penuh keagungan.”38
Tetapi karena teja itu hanyalah merupakan perwujudan luar tenaga
dalam yang kreatif dari alam semesta, téja tidak hanya dapat muncul pada
wajah penguasa, tetapi juga dalam kemampuan seksualnya. Kejadian
istimewa berikut di mana diceritakan tentang krisis penggantian sesudah
wafatnya Amangkurat II pada tahun 1703, dimaksudkan untuk
menyatakan mengapa Pangeran Puger, yang dengan bantuan Belanda,
telah berhasil merebut singgasana dari kemenakannya, Amangkurat III,
sebagai pengganti yang sah dari raja yang telah mangkat itu. “Cerita itu
mengatakan bahwa alat kelaki-lakian raja (yang telah meninggal itu)
berdiri tegak, dan dipuncaknya terdapat cahaya, hanya sebesar butir
merica. Tetapi tidak seorang pun melihatnya. Hanya Pangeran Pugerlah
yang melihatnya. Pangeran Puger cepat-cepat menghisap cahaya itu.
Segera setelah cahaya itu dihisapnya, alat kelaki-lakian itu tidak berdiri
36
Sebagaimana akan kita lihat nanti, seorang
penguasa dapat kehilangan tejanya karena melakukan tindakan-tindakan jahat, tetapi teja itu telah
datang terIebih duIu dan tidak dapat hanya dicapai dengan tindakan-tindakan yang demikian itu.
37
Moertono, hlm. 40, mengutip Babad Tanah Djawi, hIm. 273.Di sini dan pada kedua catatan
berikut, terjemahan saya berbeda sedikit dengan terjemahan Moertono.
38
Moertono, hlm. 57, mengutip Babad Tanah Djawi, hlm. 174.
lagi. Kehendak Tuhanlah yang telah menentukan bahwa Pangeran Puger
harus menggantikannya di singgasana”.39 Memang kesuburan seksual
seorang penguasa adalah suatu pratanda yang sangat penting dari
kekuasaan yang dimilikinya, karena air maninya merupakan lambang
mikrokosmis dari kekuasaan yang telah dipusatkannya. Kesuburan
penguasa dianggap dapat menimbulkan dan sekaligus menjamin
kesuburan negara, kemakmuran masyarakat dan vitalitas kerajaan untuk
berekspansi. Masa Soekarno sekali lagi memberikan pararelisasi modern
yang menarik bagi gagasan lama ini.
Para pengamat asing dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di
Indonesia sering mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan seksual Soekarno
yang disiarkan secara luas itu, kelihatannya tidak merugikannya dari segi
politik. Malah dikatakan bahwa orang Jawa merasa bahwa memang sudah
kodratnya jika para penguasa bertindak seperti itu. Tetapi kalau analisis di
atas benar, maka aspek-aspek politik kehidupan pribadi Soekarno kurang
diperhatikan dalam perspektif seperti itu. Sebab, pratanda-pratanda
kejantanan penguasa adalah petunjuk-petunjuk politik bahwa ia masih
mempunyai kekuasaan. Sebaliknya, penurunan menyolok dalam kegiatan
seksual dapat dianggap sebagai tanda surutnya kekuasaan dalam hal-hal
lain. Para pengamat masa terakhir Demokrasi Terpimpin yang telah
berpengalaman memang cenderung untuk menduga bahwa para petugas
istana dengan sengaja menyiarkan berita yang dilebih-lebihkan tentang
kehidupan pribadi Presiden sebagai bagian dari usaha terus-menerus
mereka untuk mempertahankan kewibawaannya.
Pratanda-pratanda sosial dari pemusatan kekuasaan adalah
kesuburan, kemakmuran, stabilitas dan kemuliaan. Sebagaimana
dikatakan oleh dalang wayang beber dalam gambarannya yang klasik
tentang Kerajaan Kediri di Jawa zaman dulu: “Negara Kediri dapat
dilukiskan sebagai negara yang terbentang luas dan lebar, dengan pantai
yang panjang, gunung-gunung yang tinggi, subur, makmur, tentram dan
teratur. Kalau subur, maka desa-desalah yang subur; kalau makmur, maka
kerajaanlah yang makmur. Pangan dan sandang sangat murah. Bahkan
janda yang paling hina pun sanggup memiliki gajahnya sendiri dengan
pawangnya. Demikianlah kekayaan dan kemakmuran kerajaan itu. Tidak
ada yang meminta-minta dari orang lain; masing-masing mempunyai

39
Moertono, hIm. 58, mengutip Babad Tanah Djawi,
hIm. 260.
harta bendanya sendiri-sendiri. Semua ini berkat kayanya dan teraturnya
kerajaan itu.”40
Dua gagasan pokok yang terdapat di balik lukisan-lukisan
konvensional ini adalah kreativitas (kesuburan dan kemakmuran) dan
keselarasan (ketentraman dan tata tertib), yang dinyatakan dalam suatu
moto yang telah sangat tua dan yang begitu sering disebut-sebut oleh elite
sekarang ini, yaitu: tata tentrem karta rahmja (tertib, tentram, makmur
dan bahagia). Kesuburan dan ketertiban kedua-duanya hanyalah
pernyataan-pernyataan dari kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan
memberikan kehidupan. Kekuasaan adalah juga kemampuan
mempertahankan keketatan yang lancar dan bertindak sebagai besi berani
yang mengatur bubuk besi yang berserakan menjadi bidang daya yang
berpola. Sebaliknya, tanda-tanda melemahnya keketatan kekuasaan
seorang penguasa atau terpencarnya kekuatannya dapat juga dilihat dalam
perwujudan-perwujudan kekacauan dalam alam, seperti terjadinya banjir,
letusan gunung dan wabah penyakit, serta terlihat juga pada perilaku
sosial yang tidak pantas seperti pencurian, keserakahan dan
pembunuhan.41 Sekali lagi harus kita ingat bahwa dalam pemikiran Jawa
tidak terdapat pengaruh timbal balik antara kekuasaan yang mulai
menurun dan timbulnya gejala-gejala yang tidak diingini. Peri laku
antisosial timbul sebagai akibat menurunnya kekuasaan seorang penguasa,
tetapi perilaku itu sendiri selanjutnya tidak mengurangi kekuasaan itu.
Peri laku antisosial itu hanya merupakan pratanda dan bukan sebab dan
kejatuhannya. Karena itu, seorang penguasa yang pernah membiarkan
terjadinya kekacauan-kekacauan alam dan sosial akan amat sulit untuk
menegakkan kewibawaan kembali. Orang Jawa cenderung untuk percaya
bahwa seandainya penguasa itu masih mempunyai kekuasaan, tentulah
kekacauan-kekacauan itu tidak akan pernah terjadi. Pokoknya, kekacauan
itu terjadi bukan karena kondisi-kondisi sosial atau ekonomi yang otonom
melainkan karena kekuasaan dalam negara itu telah menjadi kendor dan
terpencar.

40
Kutipan ini diambil dari salinan yang tidak
diterbitkan dari suatu pertunjukan wayang beber yang direkam di Donorojo, Jawa Tengah, tahun
1963, oleh penulis sendiri. Mengenai wayang beber, lihat Holt, Art in Indonesia, hIm. 127-128.
41
Untuk mengetahui daftar yang baik dan terperinci dari gejaIa-gejaIa alamiah dan sosial yang
timbul di waktu kemunduran, lihat Cantrik Mataram (nama samaran), Peranan ramalan Jl)1joOOyo
dalam Revolusi kita, edisi ketiga (Bandung, Masa Baru, 1954), hIm. 29-31.
Kekuasaan dan Sejarah
Bagaimanakah gagasan tentang kekuasaan mempengaruhi pandangan
Jawa tradisional tentang sifat atau struktur proses sejarah? Sartono
mengemukakan bahwa perbedaan pokok antara pandangan Jawa
tradisional tentang sejarah dan perspektif Barat modern adalah bahwa
menurut pandangan modern, sejarah dipandang sebagai suatu gerakan
menurut garis lurus yang berjalan mengikuti waktu, sedangkan orang
Jawa secara tradisional cenderung menganggap sejarah mereka sebagai
serangkaian lingkaran yang terjadi berulang-ulang. Sartono berpendapat
bahwa walaupun para ahli sejarah dan ahli ilmu politik Barat berbeda
pendapat tentang arah sejarah yang mengikuti garis lurus, dan sampai ke
tingkat mana sejarah ditentukan oleh faktor-faktor obyektif, mereka
semuanya mempunyai perasaan sama, yaitu perasaan yang pada pokoknya
bersumber pada revolusi teknologi yang terjadi selama 200 tahun terakhir
ini, yang mengatakan bahwa sejarah tidak berulang (noniterative), dan
merupakan suatu rangkaian peristiwa unik yang dihubungkan oleh
hubungan sebab-akibat yang rumit. Sebaliknya, Sartono percaya bahwa
pemikiran historis Jawa tradisional, karena antara lain dipengaruhi oleh
tulisan-tulisan kosmologi Sanskerta, memandang sejarah sebagai suatu
lingkaran zaman (Yuga) yang bergerak dari zaman keemasan (Kertayuga),
seterusnya secara berturut-turut melalui zaman-zaman yang kurang
bahagia (Tretayuga dan Dyaparayuga) sampai kepada masa Kaliyuga
yang buruk, sebelum pada akhirnya roda itu berputar kembali dan
mengembalikan suatu zaman Kertayuga yang baru. 42 Tetapi penafsiran
saya ialah bahwa walaupun orang Jawa mungkin mempergunakan
unsurunsur kosmologi India untuk maksud-maksud klasifikasi formal,
namun perasaan intuitif mereka tentang proses historis pada dasarnya
adalah konsekuensi logis dari konsep mereka tentang kekuasaan. Dalam
pemikiran Jawa yang populer sekarang ini dan dalam kepustakaim masa
dulu, sedikit saja kita temui perasaan adanya lingkaran-lingkaran, dan
adanya keruntuhan dan kebangunan yang terjadi dengan teratur. Sebagai
gantinya kita temui kontras tajam yang diadakan antara zaman emas dan

42
Lihat Sartono Kartodirdjo, Catatan tentang segi-
segi mesianistis dalam sejarah Indonesia (Yogyakarta, Gadjah Mada, 1959). Tema pokoknya
memperlihatkan bagaimana SeratJoyoboyo yang bersifat ramalan itu menandai suatu pergeseran
penting dari pandangan sejarah yang bersifat siklus kepada pandangan sejarah yang bersifat linear di
bawah pengaruh eschatologi agama Islam. Bandingkanjuga Moertono, hIm. 81-82; dan Heinrich
Zimmer, Myths and Symbols in Indian Art and Civilization (New York, Harper Torchbooks, 1962),
hlm. 13-19,35-37.
zaman edan.43 Kedua jenis periode sejarah ini masing-masing dianggap
secara khas sebagai masa keteraturan dan masa kekacauan. Saya kira hal
yang sangat penting ialah bahwa pandangan sejarah orang Jawa adalah
pandangan gerak bolak-balik kosmologis antara masa-masa pemusatan
kekuasaan dan masa-masa terpencarnya kekuasaan. Jadi urutan historis
yang khas ialah terpusat - terpencar - terpusat - terpencar tanpa ada titik
istirahat apa pun.44 Dalam masing-masing masa pemusatan kekuasaan,
didirikanlah pusat-pusat kekuasaan baru (dinasti-dinasti, penguasa-
penguasa) dan kesatuan diciptakan kembali. Dalam setiap masa
terpencarnya kekuasaan, kekuasaan mulai surut dari pusat, dan dinasti
yang berkuasa mulai kehilangan haknya untuk memerintah dan timbullah
kekacauan. Demikianlah seterusnya sampai proses pemusatan mulai
kembali. Pentingnya masa terpencar ini, dari segi keharusan sejarah tidak
kurang daripada pentingnya masa pemusatan, karena kekuasaan amat
sukar untuk dipertahankan dan harus terus-menerus diperjuangkan. Kalau
kendor sedikit saja ataupun lengah maka ini dapat menyebabkan mulainya
proses disintegrasi, yang sekali telah mulai tidak dapat dibalikkan lagi,
(Pengendoran keketatan kosmologis ini disebabkan oleh pamrih yang
pada pokoknya berarti penggunaan kekuasaan demi keinginan-keinginan
pribadi atau menyia-nyiakan kekuasaan yang terpusatkan untuk
memuaskan nafsu-nafsu pribadi).45
Konsepsi sejarah ini dapat membantu menerangkan dua sifat
psikologi politik Jawa yang menonjol tetapi yang kelihatannya
43
Bahkan kosmologi Hindu menunjuk ke arah ini, karena pola perubahan tidak secara ketat
berbentuk lingkaran. Perubahan dari Kaliyuga ke Kertayuga tidak melalui tahap-tahap berangsur-
angsur dari reintegrasi, yang simetris dengan proses disintegrasi.
44
Saya ingin menekankan bahwa apa yang saya katakan ini hanya dimaksudkan sebagai
penafsiran pandangan J awa terhadap sejarah, dalam pengertiannya yang amat khusus. Hal ini bukan
penafsiran konsep Jawa tentang waktu, yang saya kira besar kemungkinannya sarna dengan konsep
Bali yang berdasarkan penanggalan gabungan, yang dengan cemerlang sekali telah diterangkan oleh
Clifford Geertz. (Lihat Geertz, Person, Time and Conduct in Bali, hIm. 45-53). Menurut perasaan
saya, yang pada pokoknya bersifat intuitif, adalah bahwa konsep waktu yang bersifat penanggalan dan
"berketepatan" (punctuality), di Jawa merupakan kerangka di mana terjadi kehidupan sosial sehari -
hari, dan pertama-tama berlaku dalam konteks kekeluargaan dan lokal. Mungkin karena sejarah
kerajaan Jawa yang panjang, timbuL tenggelamnya dinasti-dinasti yang nama-namanya dikenal
bahkan oleh para petani yang buta hurufmelalui tradisi wayang yang diucapkan, dan setelah itu masa
penjajahan yang lama pula, maka terdapat suatu pandangan tersendiri mengenai apa yang dapat
dinamakan sejarah politik, yang sarna sekali tidak bersifat penanggalan. Perspektif historis ini
kelihatan amat jelas dalam babad keraton-keraton dan tradisi yang panjang ten tang kepercayaan-
kepercayaan mesianistis dan millenarianistis di antara para petani, yang dibicarakan oleh Sartono.
Menurut pengetahuan saya yang terbatas, Bali memperlihatkan tiadanya secara relatifhistoriografi
dinasti-dinasti dan millenarianisme para petani.
45
Lihat bagian "kekuasaan dan etika", untuk suatu diskusi yang lebih lengkap ten tang arti dan
pentingnya pamrih.
bertentangan, yaitu pesimisme yang mendasar dan pada waktu yang sama
juga sifatnya yang mudah menerima imbauan-imbauan mesianis. Rasa
pesimisme ini berasal dari perasaan tentang tiadanya sifat kekal pada
kekuasaan yang terpusatkan, kesukaran yang dihadapi dalam
menghimpun dan mempertahankannya, dan perasaan tentang tidak dapat
dihindarkannya kekacauan yang terdapat di ‘sebelah sana’ karena
keteraturan. Tetapi mudahnya menerima mesianisme dalam waktu-waktu
kekacauan, timbul dari perasaan bahwa dalam kekacauan itu selalu
berlangsung pemusatan kekuasaan baru, sehingga orang harus siap-siaga
memperhatikan pratanda-pratanda kemunculan yang bakal terjadi itu, dan
segera mendekati pusat yang masih dini itu selekas mungkin serta
melekatkan diri pada orde yang baru itu segera setelah orde ini muncul.
Mesianisme ini jelas hanya sedikit saja mempunyai sifat garis (linear)
seperti yang terdapat pada banyak gerakan millenarisme Eropa, yang
percaya dunia akan berakhir dengan kedatangan Mesias. Orang Jawa
tradisional tidak merasa bahwa sejarah akan berakhir dan berkeyakinan
bahwa para juru selamat hanyalah untuk masa mereka masing-masing,
dan bahwa silih-bergantinya kekuasaan itu akan terus berlangsung
sebagaimana sebelumnya.

Kesatuan dan Pusat


Mungkin ada gunanya jika pembahasan mengenai masyarakat politik
tradisional dimulai dengan bentuk simbolisnya yang ideal, dan bukannya
dengan strukturnya yang kongkret. Barangkali lukisan yang paling tepat
mengenai masyarakat politik Jawa yang teratur adalah lukisan kerucut
cahaya yang dipancarkan ke bawah dengan suatu reflektor. Lukisan ini
menurut pendapat saya memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai
beberapa nuansa pemikiran politik Jawa daripada istilah-istilah yang lebih
konvensional. Masyarakat yang baik tidak bersifat hirarkis secara ketat,
karena suatu hirarki terlebih dulu memerlukan adanya suatu otonomi
sampai batas tertentu pada masing-masing tingkatannya yang berbeda-
beda. Gerak pemikiran Jawa tradisional secara implisit menolak hal ini,
karena pemikiran itu secara ideal mencari satu sumber kekuasaan dan
kewibawaan, sumber mana meliputi segala-galanya. Sebagaimana akan
kita lihat nanti, cahaya lampu yang berangsur-angsur meredup secara
tidak terputus-putus dengan semakin jauhnya cahaya itu dari bola
lampunya, adalah suatu perumpaaan konsepsi Jawa yang tepat, bukan
hanya mengenal struktur negara saja, tetapi juga mengenai hubungan-
hubungan pusat daerah dan mengenai kedaulatan teritorial. Sementara
sifat cahaya yang tidak berbeda-beda itu menyatakan gagasan tentang
homogenitas kekuasaan, maka warna cahaya yang putih, yaitu merupakan
persenyawaan “sinkretis” dari semua warna spektrum cahaya itu,
melambangkan aspek-aspek kekuasaan yang mempersatukan dan
memusatkan.
Inti masyarakat politik tradisional selamanya adalah diri penguasa
yang merupakan personifikasi kesatuan masyarakat. 46 Kesatuan itu sendiri
adalah lambang kekuasaan, dan kenyataan ini, tidak kurang daripada
tujuan-tujuan ideologi-ideologi etatis yang formal, telah membantu
menerangkan adanya perhatian berlebih-lebihan yang diberikan kepada
kesatuan yang menyelimuti pemikiran politik banyak orang Jawa. Rasa
permusuhan yang dinyatakan terhadap Republik IndonesIa Serikat (1949-
1950) menurut pendapat saya mencerminkan bukan hanya perasaan curiga
yang eksplisit bahwa negara-negara. bagiannya merupakan boneka-
boneka ciptaan Belanda, melainkan juga perasaan bahwa kesatuan adalah
kekuasaan, sedangkan keserbaragaman adalah pemenearan dan
kelemahan.47
Imbauan-imbauan Soekarno yang terus-menerus demi kesatuan
nasional, sebagian dapat dikatakan berasal dari ketakutan tradisional akan
terpenearnya kekuaaan. Dalam kerangka pemikiran Jawa tradisional,
sistem banyak partai, pembagian kekuasaan secara konstitusional dan
federalisme, mudah sekali ditafsirkan sebagai menurunnya kekuasaan
dalam pereaturan internasional dan menurunnya kekuasaan Soekarno
sendiri sebagai titik pusat politiknya. Sumpah Pemuda tahun 1928 (Satu
Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa) juga mengulang tema yang sarna. Kita
dapat juga menemukan hal ini dalam program dan strategi PKI di zaman
sebelum partai itu dihancurkan, di mana rumusan-rumusan Marxis
tradisional mengenai perjuangan kelas telah diubah menjadi suatu gaya
propaganda di mana pada pokoknya satu rakyat dengan masing-masing
unsurnya yang berjasa itu dibariskan lebih untuk menentang kelompok-
kelompok keeil unsur-unsur asing, yang karena sifat reaksioner dan sifat
46
Bandingkan Geertz, Islam Obseroed, hIm. 36,
mengenai doktrin ten tang pusat sebagai teladan.
47
Rasa kebencian, orang Jawa terhadap konsep federalisme masih terus terdapat, walaupun orang
Belanda telah lama pergi dan sekutu-sekutu Belanda yang berpaham federalis telah dihancurkan
secara politis. Apa yang saya kemukakan di sini bukanlah berarti mengurangi alasan-alasan historis
dan sosiologis dari rasa kebencian ini. Tradisi kerajaan Jawa dan kepentingan-kepentingan materi
Jawa yang kongkret dalam menghadapi daerah seberang dengan sendirinya akan mengurangi minat
orang Jawa terhadap federalisme. Apa yang saya mau kemukakan adalah kepentingankepentingan dan
pandangan-pandangan yang saling memperkuat dalam masalah ini.
kompradornya, telah membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa
daripada untuk menentang suatu kelas yang dimusuhi. 48 Gaya pemikiran
seperti ini dapat juga kita temukan dalam pidato pembelaan Sudisman,
Sekretaris Jenderal PKI, di depan Mahkamah Militer Luar Biasa dalam
bulan Juli 1967; di mana istilah Jawa manunggal yang penuh emosi itu
sering disebut-sebut. Menurut kata-katanya, pimpinan partai terdiri atas
lima orang, yaitu Aidit, Lukman, Nyoto, Sakirman dan ia sendiri, tetapi
kelima orang ini telah manunggal jadi satu dalam hidup dan dalam ajal.49
Dorongan untuk manunggal yang demikian sentralnya bagi sikap-
sikap politik Jawa, dapat membantu menerangkan pengaruh psikologis
yang besar dari gagasan nasionalisme di Jawa. Nasionalisme jauh lebih
dalam artinya daripada suatu keyakinan politik, karena nasionalisme
menyatakan dorongan fundamental ke arah solidaritas dan kesatuan dalam
menghadapi disintegrasi masyarakat tradisional di bawah kapitalisme
kolonial dan kekuatan-kekuatan luar lainnya yang ada sejak menj elang
akhir abad ke-19. Jenis nasionalisme seperti ini merupakan sesuatu yang
jauh lebih kuat daripada patriotisme, dan adalah suatu usaha untuk
merebut kembali kesatuan asli.
Perasaan sarna terhadap masyarakat politik ini, saya kira dapat
membantu menerangkan perasaan psikologis yang tidak enak yang
dialami orang Jawa di bawah sistem demokrasi parlementer multipartai
pada permulaan tahun-tahun 50-an. Herbert Feith secara tajam
menggambarkan rasa tidak enak ini sebagai suatu perasaan kecewa setelah
usainya gejolak semangat revolusi. Perasaan ini oleh politikus kiri
Sudisman dan oleh wartawan kanan Rosihan Anwar disebut sleur
(kerutinan).50 Feith mengaitkan perasaan ini dengan ketidakmampuan
48
Walaupun mungkin merupakan pengulangan yang menjemukan, saya ingin mengatakan bahwa
saya tidak mencoba mengemukakan bahwa para pemimpin PKI menjalankari strategi ini karena
mereka orang Jawa tradisionalis. Dari segi pandangan Barat, orang dapat mengemukakan bahwa
pengaruh yang amat menentukan terhadap kepemimpinan PKI adalah sejarah Front Rakyat, (program
dan strategi yang ditetapkan oleh Komintern pada tahun 1935.) pengalaman-pengalaman mereka
dalam Perang Dunia II contoh Mao, dan pertimbangan-pertimbangan praktis tentang keuntungan
dalam manuver politik. Tetapi saya ingin mengemukakan di sini bahwa bagi kebanyakan pemilih PKI
yang tradisionalis, dan barangkali juga bagi sebagian dari para pemimpinnya yang lebih bersifat
tradisionalis, garis front nasional yang bersatu itu "secara kultural menyenangkan".
49
Pidato Sudisman di depan Mahmilub bulan Juli 1967 (dokumen yang tidak diterbitkan ada pada
saya), hIm. 8. Dalam pikiran saya terdapat sedikit sekali keraguan bahwa Sudisman juga menunjuk
dengan amatsadar kepada kelima saudara Pandawa, pahlawan-pahlawan cerita wayang, dan
mengidentifikasikan para pemimpin PKI dengan para satria itu.
50
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca, N.Y.: (Cornell
University Press, 1962), hIm. 22 1-224. Lihatjuga pidato Sudisman yang dikutip di atas, hIm. 17-18,
dan karangan Rosihan Anwar dalam Kompas, 7 Agustus 1968.
kabinet-kabinet pemerintah di masa itu, ketidakmampuan kabinet-kabinet
yang lemah untuk mempertahankan diri, untuk melaksanakan program-
program mereka dan bahkan untuk mewujudkan kewibawaannya dalam
masyarakat pada umumnya. Tetapi saya menduga bahwa argumentasi ini
mungkin membalikkan urutan intelektual untuk banyak pemikir Jawa;
karena, ditinjau dari kaca mata tradisional masalahnya yang penting
bukanlah bahwa partai-partai politik itu “dalam praktek” tidak berhasil
bekerja sama melaksanakan suatu program, melainkan bahwa struktur
pemerintahan itu sendiri, dengan pempagian-pembagian formalnya antara
oposisi dan pemerintah, dan antara badan-badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif, menunjukkan suatu kelemahan di pusat. Dalam perspektif ini
maka inflasi, perpecahan, dan kedaerahan akan ditafsirkan sebagai akibat-
akibat, bukan sebab-sebab, dan terpencarnya kekuasaan, yang telah
merupakan sebab internal bagi cepatnya kehancuran pemerintah
parlementer. Bukan saja partai-partai itu menurut definisinya bersifat
segmental, tetapi pun dalam struktur negara tidak ada sesuatu pun yang
dapat diharapkan mampu meleburkan kumpulan bagian-bagian ini
sehingga menjadi suatu kesatuan yang lebih tinggi. Sudah pasti intuisi
Soekarno mengenai masalah ini telah menuntunnya ke arah apa yang oleh
beberapa pengamat dilukiskan sebagai politik “sentris”, yaitu istilah yang
cukup tepat, kalau yang dimaksud dengan istilah itu bukan “di tengah”,
melainkan “dari pusat”. 51

Kenaikan dan Penggantian


Saya telah mengemukakan bahwa logika konsepsi tradisional Jawa
mengenai kekuasaan memerlukan suatu pusat yang bersifat sinkretis dan
serba menyerap, dan hanya pusat ini biasanya terjelma dalam diri seorang
penguasa. Bagaimanakah penguasa ini ditemukan atau dikenal? Menurut
tradisi sejarah penguasa secara khas muncul melalui salah satu dari dua
jalan. Kalau la merupakan penguasa pertama dinasti baru ia timbul
sebagai orang yang dipercayai telah menerima wahyu, yang telah terlepas,
dan kekuasaan suatu kerajaan yang hancur dan kemudian diterima oleh

Untuk keterangan mengenai masalah ini, lihat


51

misalnya Benedict. Anderson"Indonesia: Unity against Progress", Current History (Februari 1965),
hIm. 75-81; Donald Hindley "President Sukarno and the Communists: The Politics of Domestication",
American Political Science Review, 56, no. 4 (Desember 1962), 915-926; Daniel S. Lev, "Political Parties
in Indonesia" Journal of Southeast Asian History. 8, no. 1 (Maret 1967) 52-67, terutama 61-64; dan
Herbert Feith, "Suharto's Search for Political Format" Indonesia, 6 (Okt. 1961),88-105.
pendiri kerajaan yang menggantikannya. Sering kali penguasa baru itu
adalah “orang baru” yang berasal dan golongan yang relatif rendah,
seperti misalnya Ken Arok, Panembahan Senopati, Soekarno, yang
memperoleh kekuasaan setelah terjadinya suatu masa kacau dan
pertumpahan darah. Walaupun sejarah Jawa dipengaruhi oleh kisah
berbagai pemberontakan, namun para pemimpin pemberontakan itu baru
dikatakan memperoleh wahyu sesudah mereka berhasil mendirikan dinasti
baru. Kegagalan dengan sendirinya diartikan (kemudian) sebagai
kenyataan bahwa pemimpin pemberontakan ltu tldak mempunyai
kekuasaan; seandainya ia memilikinya, tentulah ia berhasil. Pengakuan
utama atas keabsahan yang dilakukan oleh pendiri suatu dinasti baru
didasarkan atas keberhasilannya dalam menghancurkan pusat kekuasaan
yang terdahulu dan kepercayaan bahwa dalam melakukan itu, ia telah
menerima wahyu ketuhanan. Tetapi adalah khas bagi dorongan yang
dirasakan orang Jawa untuk mengarah ke pusat, ke arah akumulasi semua
himpunan kekuasaan. Penguasa, yang orang baru itu, sering kali mencoba
menghubungkan dirinya melalui babad-babad kraton dengan sisa-sisa
pusat kekuasaan dan kejayaan yang terdahulu. Schrieke, Berg dan
Moertono telah memperlihatkan secara panjang lebar adanya usaha-usaha
serentak untuk menghubungkan para orang baru yang menjadi pendiri
dinasti baru dengan orang-orang yang mereka gantikan melalui silsilah
yang rumlt (dan sermg dipalsukan).52 Ciri ini tentu bukan hanya milik
orang Jawa. Tetapi segi yang paling menarik dari “pemalsuan” sejarah
yang dilakukan orang Jawa ini adalah bahwa praktik ini pertama-tama
tidak dimaksudkan untuk mengadakan hubungan-hubungan keturunan
dengan dinasti-dinasti sebelumnya untuk membuktikan keabsahan legal
yang diwarisi, dalam hal mana hampir semua nenek-moyang yang mana
pun dapat dianggap mencukupi. Tetapi secara khas, hubungan-hubungan
keturunan ini dibuat dengan orang-orang yang paling berkuasa dan paling
terkenal dari dinasti-dinasti itu.
Karena itu dalam zaman modern ini kita temui orang-orang Jawa
yang mengaku bahwa ia keturunan Sultan Agung yang besar dari dinasti
Mataram (1613-1646), atau bahwa iamemiliki peninggalan-peninggalan
sakti (gong, keris, dan sebagainya) dari penguasa itu. Tetapi hampir tidak
pernah kedengaran orang mengatakan bahwa ia keturunan para pengganti
52
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, 2, bk, 1 (The, Hague and Bandung: Van Hoeve,
1957), Bab 1 dan 2; Moertono, hIm. 52-54, 63-64; C.C Berg, "Javaansche Geschiedschrijving" dalam
F.W. Stappel, editor; Geschiedenis van Nederlandsch Indie (Amsterdam, Joost van den Vondel,
1938).
Sultan Agung itu, yang juga tidak kurang kesenangannya dalam hal
banyak kawin, tetapi kurang mahir dipandang dari segi politik, seperti
Amangkurat I, II, III, dan IV. Masalahnya di sini bukan hanya
“kecemerlangan” historis pemerintahan Sultan Agung, melainkan juga
sifat pemikiran kosmologis Jawa tradisional yang tidak membuat
perbedaan yang jelas antara yang hidup dan yang mati. Orang mati dapat
juga memiliki kekuasaan sebagaimana orang hidup. Seorang penguasa
yang kekuasaannya demikian unggulnya seperti Sultan Agung, dalam
kematiannya sekurang-kurangnya masih mempunyai berbagai sisa
pemusatan kekuasaan besar yang dimilikinya semasa hidupnya. Jadi
kaitan-kaitan khas dengan Sultan Agung, sebagian adalah demi
kontinuitas historis, tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk
menangkap dan menyerap himpunan kekuasaan yang telah terkenal.
Dalam tradisi seperti inilah kita menemui Soekarno yang menyatakan
bahwa ia keturunan langsung bukan hanya dari seorang nenekmoyang
kerajaan biasa, melainkan dari seorang raja Singaraja yang
amattermashur, keturunan Raja Jayabaya dari Kediri yang terkenal
sebagai peramal, dan juga keturunan wali Islam awal penyebar agama
yang terbesar, ialah Sunan Kalijaga.53 Sudah tentu, sebaliknya, kejatuhan
seorang penguasa dapat menyebabkan dipercayainya secara luas cerita-
cerita yang disebarkan kalangan oposisi bawah tanah yang mengatakan
bahwa penguasa itu sesungguhnya bukan anak raja ini atau raja itu,
melainkan, umpamanya, anak seorang Belanda tuan kebon, atau seorang
Indo.
Tetapi kenyataan bahwa pada akhirnya hubungan yang dicari adalah
hubungan keturunan, menunjukkan sekalilagi adanya hubungan antara
seksualitas dan kekuasaan dalam pemikiran Jawa, dan gagasan bahwa
mani manusia, terutama mani seseorang yang mempunyai kekuasaan,
merupakan suatu pemusatan kekuasaan tersendiri dan merupakan alat
untuk mewariskannya. 54 Memang, dalam waktu-waktu normal, ketika
53
Untuk kedua pengakuan pertama, lihat Cindy Adams, Soekarno, An Autobiography
(Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1965), hIm. 19. Pengakuan terakhir terdapat dalam Sin Po, 13 April
1958. Soekarno menyingkap bagian silsilahnya ini setelah ia berkunjung ke Kadilangu, dekat
Demak, di mana dikatakan terletak kuburan Sunan Kalijaga. Kita tidak perlu mempersoalkan kebenaran
atau kepalsuan silsilah ini. Yang perlu diperhatikan ialah mengapa silsilah itu dikemukakan.
54
Di sini harus dicatat, bahwa sekurang-kurangnya ada satu alasan bagi ditekankannya larangan
seks untuk kepentingan akumulasi kekuasaan yaitu karena dengan begitu orang dapat menjaga air
maninya agar tetap dalam dirinya dan tidak membiarkannya terbuang-buang keluar dengan percuma
saja. Mungkin orang bertanya bagaimana orang Jawa dapat menyesuaikan larangan seks ini dengan
tekanan yang mereka berikan kepada seksualitas seorang penguasa sebagai suatu pratanda vitalitas
kerajaan dan masyarakat Ada beberapa jawaban yang mungkin diberikan_ Pertama ialah bahwa kedua
suatu dinasti dapat mengendalikan kerajaan secara terjamin, pengganti
raja dilakukan melalui dan di dalam kelompok keturunan raja. Tetapi
konsepsi penggantian ini amat berbeda dengan pewarisan dinasti di Eropa,
di mana pertimbangan-pertimbangan utama adalah legal dan birokratis.
Dalam tradisi Jawa, setiap generasi berikutnya yang semakin jauh dari
seorang penguasa tertentu, jatuh kedudukannya satu tingkat, sampai pada
generasi ketujuh, di mana orang-orang yang mempunyai garis keturunan
itu kembali terlebur ke dalam kelompok luas orang biasa, kecuali kalau
sementara itu mereka dapat menciptakan hubungan keturunan yang lebih
baru dan lebih segar dengan para raja selanjutnya. Dalam proses ini, kita
dapat melihat dengan jelas konsepsi tentang mani sang raja sebagai
sumber kekuasaan, yang pemusatannya secara berangsur-angsur mengecil
dengan bertambah jauhnya jarak historis dengan sumber aslinya, dan
bertambah banyaknya percampuran dengan mani yang tidak bersifat
kerajaan. Jadi hubungan pokok dengan penguasa diukur menurut
jaraknya, apakah melalui garis keturunan ataukah, sebagaimana akan kita
lihat nanti, melalui poros-poros lain dari kekuasaan raja. Para pengganti
pendiri kerajaan mengambil kekuasaan asli mereka dari dorongan pertama
yang diberikan oleh pendiri itu sendiri. Tetapi kekuasaan ini cenderung
untuk makin lama makin memencar dari generasi ke generasi. Kalau
kekuasaan tidak diperbarui. dan diintegrasikan kembali oleh usaha-usaha
pribadi yang dililkukan seorang keturunan tertentu, maka dinasti itu akan
runtuh dengan sendirinya karena sudah melemah.

Kekuasaan dan Kerajaan

hal itu tidak sepenuhnya dapat disesuaikan, tetapi diambil dari tradisi ortodoks dan tradisi heterodoks
mengenai mendapatkan kekuasaan yang telah kita perbincangkan sebelum ini. Jawaban yang lain
ialah bahwa penguasa itu memiliki kekuasaan dalam jumlah yang begitu berlimpah dalam dirinya,
sehingga ia "mampu" membuang sebagian dalam aktivitas seksual secara meluas. Saya cenderung
mengira bahwa apa yang kelihatannya bertentangan itu, dapat diselesaikan kalau seksualitas itu
dikaitkan dengan kesuburan. Kekuasaan raja itu diungkapkan oleh kemampuannya untuk menciptakan
para pengganti dan memindahkan kekuasaannya kepada mereka. Orang Jawa biasa tidak mempunyai
cara untuk mengetahui kesuburan penguasa, selain dengan mengetahui jumlah anak yang
dihasilkannya. Seandainya penguasa itu impoten atau tidak dapat beranak, hal itu dapat dianggap
sebagai tanda kelemahan politik. Masa pertapa yang kadang-kadang dilakukan penguasa, akan
menjadi lebih besar artinya kalau di samping itu vitalitas seksualnya jelas sekali. Adalah menarik
bahwa dalam lakon-Iakon wayang, sedikit disebut hubungan seksual antara para satria dengan para
wanita mereka yang tidak langsung mengakibatkan kehamilan. Kesuburan dalam hubung-'n seksual
ini sampai dibawa kepada hal-hal yang lucu dalam beberapa lakon dagelan di mana dikatakan bahwa
bahkan dewadewaitu sendiri menjadi hamil sewaktu mereka mandi dalam suatu kolam di mana satria
Pandawa, Arjuna, sedang melakukan sanggama di bawah permu-'aan . air dengan seorang widadari.
Aktivitas seksual tanpa kehamllan, tIdak mempunyai harga politik.
Konsep kekuasaan Jawa ada juga implikasi-implikasinya bagi
konsepsi-konsepsi tentang kedaulatan, integritas teritorial, dan hubungan-
hubungan luar negeri. Moertono dan lain-lainnya telah memperlihatkan
ketentuan yang hampir tidak berubah dalam lakon-lakon wayang dan
dalam tradisi historis, bahwa nama-nama kekaisaran atau kerajaan sarna
dengan nama ibu kotanya. Di antara contoh-contoh yang terkenal adalah
Majapahit, Singasari, Kediri dan Demak55 Memang bahasa Jawa tidak
membuat perbedaan etimologis yang jelas antara ibu kota negara dan
kerajaan itu sendiri. Kedua pengertian ini tercakup dalam kata negari. Jadi
negara secara khas ditentukan, bukan oleh batas wilayahnya, melainkan
oleh pusatnya. Luas wilayah negara selalu mengalami perubahan sesuai
dengan jumlah kekuasaan yang dikonsentrasikan di pusat. Tapal-tapal
batas tertentu dan umumnya diakui dalam praktik, umpamanya hambatan-
hambatan geografis yang hebat, seperti pegunungan dan lautan, yang juga
cenderung dianggap sebagai tempat tinggal kekuatan-kekuatan gaib yang
besar kuasanya. Dengan pengecualian itu, kerajaan biasanya dianggap
tidak mempunyai batas-batas yang tetap dan dipetakan, tetapi mempunyai
batas-batas tidak tetap dan selalu berubah. Dalam pengertian
sesungguhnya, tapal batas politis tidak ada sarna sekali, karena kekuasaan
seorang penguasa berangsur-angsur semakin lemah dikejauhan dan secara
tak terasa menyatu dengan kekuasaan raJa tetangga yang semakin
menanjak.
Perspektif ini memperjelas perbedaan fundamental antara gagasan
lama mengenai suatu kerajaan Asia Tenggara dan negara modern yang
bersumber dari pandangan-pandangan yang sarna sekali berbeda tentang
arti tapal batas. Implisit di dalam gagasan negara modern ialah konsepsi
bahwa tapal batas menandaI turunnya secara cepat dan mendadak
“voltase” kekuasaan para penguasa negara itu. Sepuluh meter di sebelah
sini tapal batas kekuasaan mereka “berdaulat”; sepuluh meter di sebelah
sana dalam teori, kekuasaan mereka tidak berarti.56 Lagi pula, di tempat
mana pun di dalam wilayah tapal batas negara, kekuasaan pusat secara
teoretis seragam beratnya. Para warga negara yang tinggal di daerah
pinggiran kerajaan, harus mempunyal status yang sama dengan warga
negara yang tinggal dl pusat, dan kewaJiban-kewajiban hukum harus
55
Hal sarna kelihatannya berlakujuga di Birma,
Muangthai, dan Kamboja.
56
Pengakuan atas daerah-daerah pengaruh yang melampaui garis-garis batas legal-kartogra-'s,
merupakan perubahan sebagian dari gagasan ini, tetapi adalah menank ba-'wa kata pengaruhlah yang
dipergunakan sebagian untuk m-'ngliormatl gagasan negara nasional yang berdaulat untuk
menand-'l -'erubaha.n kualitatif dari gagasan tentang kekuasa-'n yang· terorgamsasl secara mtern.
berlaku seragarn di seluruh daerah negara. Karena gagasan tradisional
tentang kekuasaan sama sekali berbeda sifatnya, dan gagasan untuk
menerapkan kekuasaan secara seragam di seluruh wilayah tidak ada
artinya, maka konsep tapal batas terbatas sekali artinya; sifat negara
tradisional ditentukan oleh pusatnya, bukan oleh batas pinggirnya.57
Sifat pemikiran Jawa tradisional yang sangat berorientasi kepada
pusat, jelas sekali dilukiskan oleh terbaginya dunia menjadi dua jenis
negara: Jawa dan Sabrang (kata yang tidak dibedakan yang berarti
“seberang lautan”, tetapi pada pokoknya dipergunakan untuk
menunjukkan semua kelompok dan satuan politik yang bukan Jawa).
Walaupun sopan-santun dan persyaratan ideologi nasionalisme Indonesia
dewasa ini telah menjadikan pembagian seperti ini tidak dapat diterima di
depan umum, namun dalam pembicaraan-pembicaraan pribadi dengan
banyak orang Jawa masih kita dapati sisa-sisa konsepsi intelektual ini
dengan kuat dan jelas. Bahkan demikian dalamnya gagasan itu tertanam,
sehingga orang Belanda telah menerimanya kira-kira tanpa disadarinya,
dengan membagi wilayah-wilayah jajahan mereka dengan istilah-istilah
Jawa dan daerah-daerah luar. Banyak orang Jawa yang masih merasa
sangat sukar sekali menerima sepenuhnya pendapat bahwa Indonesia
terdiri dari gugusan pulau-pulau yang sederajat dan berinteraksi, ialah
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan pulau-pulau lain. Semua pulau
itu cenderung dipandang dalam hubungannya dengan pusatnya (Jawa).
Demikian pula, banyak orang Jawa sukar membayangkan terdapatnya dua
negari, setidak-tidaknya di Jawa. Jadi walaupun kedua kerajaan
Yogyakarta dan Surakarta, masing-masing telah berdiri secara terpisah
selama lebih dari 200 tahun, dan jarak antara keduanya kurang lebih
hanya 60 kilometer, banyak orang Jawa masih biasa menggunakan kata
negari (umpamanya dalam kalimat: Kulo badé dateng negari, yang
57
Bandingkan dengan keadaan Muangthai, di mana
masalah"regionalisme" dl Tlmur Laut mlsalnya, .hanya ada artinya dalam hubungannya dengan.
negara ban.g-'a. ReglOnal1sme mengandung arti mengakui pusat, tetapi secara polItis merasa tidak
begitu senang kepadanya. dan bukan merupakan pusat yang berdiri sendiri yang mempunyai
hubungan permusuhan dengan pusat lain. Sebelum abad ke-20, para penguasa Thai sewaktu-waktu
mempunyai kekuasaan di Timur Laut yang berubah-ubah tingkatannya menurut situasi, tetapi masalah
ini Vdak pernah dikatakan masalah regional, karena perasaan tidak senang kepada Bangkok misalnya
akan menimbulkan pembentukan pusat-pusat baru atau tertariknya bagianbagian daerah itu oleh
Kerajaan Laos umpamanya, tanpa implikasi kelestarian historis apa pun dalam kedua kasus itu.
Sifat mudah berubah ini sangat ditingkatkan oleh kesibukan para periguasa untuk lebih
mengendalikan penduduk daripada mengendalikan wilayah. Jadi dipandang dari suatu segi, kita
dapat menentukan tanggal timbulnya masalah regional di Muangthai, yaitu dengal1 terjadinya
perubahan intelektual dalam pandangan orang-orang Thai terhadap satuan politik di mana. merek-' hid
up, dari bentuk kerajaan kepada bentuk negara-bangsa.
artinya: Saya akan pergi ke negari) dengan maksud satu ibu kota, dan
menyebut lainnya dengan namanya saja, sebagaimana mereka menyebut
nama kota lain mana pun di Indonesia.58
Pemikiran politik Jawa yang berorientasi ke pusat ini (centripetality),
digabungkan dengan konsepsi-konsepsi kedaulatan yang. berangsur-
angsur, sebagaimana telah digambarkan secara garis besar di atas, secara
logis mengakibatkan adanya perspektif yang khas mengenai hubungan
luar-negeri. Pertam-atama hal ini mengandung arti lebih memberi tekanan
kepada pengupasan penduduk daripada kepada penguasaan wilayah
Dipandang secara historis terdapat alasan-alasan praktis bagi penekanan
ini. Hanya pemusatan populasi-populasi yang besar yang dimungkinkan
oleh penanaman padi secara intensif, dapat memberikan surplus ekonomi
dan cadangan tenaga manusia yang diperlukan untuk membangun
monumen-monumen atau balatentara. Tetapi pemusatan populasi-populasi
besar di sekitar penguasa juga merupakan pratanda terbaik untuk
menunjukkan bahwa ia memiliki kekuasaan yang daya tarik magnetisnya
mengungkapkan bahwa penguasa itu tetap memiliki wahyu. Gagasan ini
dapat membantu menerangkan suatu aspek terkenal dari pertikaian
antardinasti yang terdapat bukannya di Jawa saja, melainkan juga di Asia
Tenggara daratan, yaitu pemindahan-pemindahan penduduk secara besar-
besaran oleh penguasa-penguasa yang menang. Membawa penduduk yang
dltaklukkan in ke dekat pusat sangat memperbesar kekuasaan raja. Kita
barangkali dapat memilih arti. penting yang diberikan kepada kepadatan
penduduk ini di balik penolakan Soekarno yang konsisten terhadap
gagasan keluarga berencana, yang sebagian mungkin karena keyakinan
pribadi, tetapl jelas berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik.59
Kedua, logika tertentu dalam “pola” hubungan-hubungan
internasional menjadi jelas. Moertono telah menggambarkan pola ini
dengan baik dalam pembahasannya mengenai konsep mandala, yang di
ambil dari teori politik India, tetapi mendapat tempat yang amat cocok di
Jawa.
“Mandala” (yaitu lingkaran, ialah lingkaran pengaruh, kepentingan
atau ambisi) dapat digambarkan sebagai suatu kompleks hubungan-
58
Demlkian pula orang Thai menamakan ibu kota
mereka Krnng-Thep (Kota Tuhan, I-'dra). !3angkok adalah nama yang digunakan oleh dan untuk
orangorang asmg sa)a.
59
Bandingkan Louis Fischer, The Story of Indonesia (New York; Harper, 1959), him. 1-'. Harus
dlcatat bagalmana Soekarno sefing kali dengan bangga menunJuk kepada penduduk Indonesia sebagai
penduduk nomor lima terbesar di dunia.
hubungan geopolitis, yang berkenaan dengan tapal batas dan hubungan-
hubungan dengan negara-negara asing. Ajaran ini menekankim. kultus
ekspansi yang merupakan suatu dorongan yang perlu untuk perjuangan
mempertahankan hidup, untuk menyatakan dirl serta demi dominasi
dunia, dan faktor dmamis yang dlperhltungkan untuk mengganggu
keseimbangan hubungan-hubungan antarnegara.
Nafsu berperang suatu negara pertama-tama ditujukan kepada satu
atau beberapa negara tetangga terdekat, dan dengan demikian diperlukan
persahabatan negara yang berada di sebelah “sana” dari musuh itu, yang
karena dekatnya, menjadi musuh yang wajar pula dari musuh itu. Tetapi
seandainya musuh bersama itu telah ditaklukkan, maka kedua sekutu itu
akan menjadi tetangga-tetangga dekat, yang tentu akan menimbulkan
permusuhan baru. Jadi lingkaran persekutuan dan permusuhan ini akan
selalu meluas sampai tercapai suatu perdamaian universal, dengan
didirikannya suatu negara dunia dengan seorang penguasa tunggal
tertinggi (chakravartin).60
Beberapa hal penting timbul dari gambaran mandala ini sebagai dasar
hubungan-hubungan internasional atau, lebih tepat lagi, hubungan -
hubungan antara kerajaan. Yang pertama adalah bahwa musuh a priori
seorang penguasa adalah tetangga terdekatnya. Moertono tidak
menjelaskan lebih lanjut alas an-alasan mengapa pola seperti ini harus
ada. Tetapi kalau garis umum argumentasi saya itu benar, maka logikanya
menjadi amat jelas. Telah saya kemukakan bagaimana dalam pemikiran
orang Jawa, kekuasaan penguasa tidak terbagi rata di seluruh wilayah
kerajaan, tetapi cenderung untuk menipis secara merata jika semakin jauh
dari pusat, sehingga ia paling lemah justru pad a titik di mana daerah
kekuasaan menyatu degan daerah tetangganya. Jadi kalau ia ingin agar
kekuasaannya tldak diperkecil dan diperlemah oleh tarikan kekuasaan
tetangganya, haruslah ia pertama-tama berusaha menggunakan
kekuasaannya itu terhadap kekuasaan tetangganya. Kita dapat mengmgat
kembali mengenai gagasan bahwa jumlah kekuasaan dalam alam semesta
ini tetap, mengandung arti bahwa kalau jumlah kekuasaan di suatu tempat
bertambah besar, maka ]umlah kekuasaan di tempat lain berkurang dalam
jumlah yang tepat samna. Karena kekuasaan itu seperti zat cair dan tidak
stabil, selalu siap terpencar dan membaur, maka agresi antarnegara sudah
tentu menjadi asumsi pokok dalam hubungan antarnegara.
60
Moertono. hIm. 71, catatan 207.
Ada tiga cara yang mungkin dilakukan dalam menghadapi ancaman
yang datang dari pemusatan-pemusatan kekuasaan yang dekat, yaitu
menghancurkan dan mengobrak-abrik, menyerap, atau kombinasikedua
hal itu. Menghancurkan musuh sebagaimana yang misalnya dilakukan
Sultan Agung dalam rangkaian operasi penaklukannya yang kejam
terhadap negara-negara kota perdagangan di pasisir (pantai utara Pulau
Jawa), ada kerugian-kerugiannya. Pada tingkat praktisnya saja,
penghancuran total akan menyebabkan habisnya penduduk setempat,
menimbulkan kekacauan dan kemunduran ekonomi, dan kemudian
mungkin akan menyebabkan timbulnya pemberontakan dan perlawanan
gerilya. Pemindahan penduduk mungkin dapat mencegah timbulnya
masalah yang tersebut terakhir ini, tetapi seandainya pemindahan itu tidak
menyeluruh, maka timbulnya masalah ini mungkin tidak dapat dicegah
secara pasti.61 Dipandang dari segi yang lebih teoretis, memusnahkan
orang-orang lain tidak dengan sendirinya berarti memperluas atau
memperbesar kekuasaan penguasa itu, tetapi hanya berarti mencerai-
beraikan kekuasaan lawan, yang mungkin diambil atau diserap oleh
lawan-Iawan lain. Lagi pula, menghancurkan itu sendiri adalah cara yang
paling kasar untuk menaklukkan musuh, dan karena itu merupakan cara
yang paling tidak diinginkan. Yang lebih memuaskan adalah cara
menyerap, yang dalam praktik mungkin berupa tekanan diplomasi, dan
cara-cara lain yang halus (beradab) untuk menyebabkan diakuinya
keunggulan dan kekuasaannya.62 Dalam teori, penyerapan itu dianggap
sebagai tunduknya kerajaan-kerajaan yang bertetangga secara sukarela
kepada kekuasaan seorang penguasa yang tertinggi. Karena itu, dalam
pelukisan klasik raja-raja besar dulu kala kita jumpai bahwa raja séwu
negara nungkul (sujud), (seribu raja tunduk kepadanya). Patut juga
diperhatikan bahwa dalam sanjungan terhadap seorang penguasa, tidak
disebut keberaniannya dalam pertempuran, sebagaimana halnya dengan
raja-raja Eropa dalam zaman pertengahan. Kalau penguasa terpaksa
menggunakan cara peperangan, dalam teori itu berarti ia mengakui
kelemahannya. Gagasan “seribu raja menyerah kepadanya”, juga
mengandung arti diserapnya pusat-pusat kekuasaan mereka yang lebih

61
Sultan Agung memang
memindahkan sejumlah besar penduduk ke Mataram. Bandingkan Schrieke, hIm.
62

142.
keeil ke dalam pusat kekuasaan raja besar dan dengan begitu langsung
menambah keagungannya dengan jumlah sebanding.63
Ketiga, akibat terakhir yang logis dari hubungan-hubungan
antarmandala adalah timbulnya chakravartin, yang dalam bahasa Jawa
ialah: prabu murbéng wisés a anyakrawati (penguasa dunia). Bentuk ideal
kekuasaan duniawi adalah suatu kerajaan dunia, di mana seluruh satuan
politik digabung dalam suatu persatuan yang padu, sehingga pasang
surutnya kekuasaan yang terkandung dalam alam semesta yang
mempunyai banyak mandala yang saling bertentangan satu sarna lain
untuk sementara tidak akan ada lagi. Suatu ilustrasi yang menarik dari
posisi sentral yang dipunyai oleh universalisme dalam pemikiran politik
Jwa ialah bahwa kata-kata yang berarti alam semesta (buwana) dan dunia
alamiah (alam) terdapat dalam gelar tiga dari empat raja Jawa sekarang
ini: Paku Buwana, Hamengku Buwana dan Paku Alam.
Akhirnya, barangkali bukan hanya suatu kebetulan bahwa pola khas
hubungan-hubungan politik antara Jawa dan pulaupulau lain eenderung
untuk menyerupai hubungan “lompat katak” yang digambarkan oleh
Moertono dalam pembahasannya tentang mandala. Dalam periode
kemerdekaan saja, kita temukan contoh-contoh menarik dari pola ini
dalam hubunganhubungan yang erat antara pusat dan Batak Karo dalam
menghadapi Batak Toba yang dominan di Sumatra Timur; antara pusat
dan kelompok-kelompok Dayak pedalaman dalam menghadapi orang
Banjar di Kalimantan Selatan; dan antara pusat dengan orang Toraja
pedalaman dalam menghadapi orang Bugis dan orang Makassar di
Sulawesi Selatan. Walaupun pola “lompat katak” ini dapat dipahami
dengan baik berdasarkan teori politik Barat, namun pola itu tidak amat
konsisten dengan suatu ke.rangka intelektuallain yang amat berbeda.

Penguasa dan Kelas yang Berkuasa


Kalau kita beralih ke masalah hubungan tradisional antara raja dan
struktur pemerintahan yang dipergunakannya untuk memerintah, maka
konsep tentang kekuasaan dapat membantu menerangkan perspektif yang
digunakan pada zaman dulu dalam. memandang hubungan ini. Sehrieke
telah melukiskan seeara terperinci struktur administratif kerajaan Jawa
63
Orang dapat menduga bahwa di masa pengendalian
administratifterhadap daerah-daerah yang terletak jauh sukar dilakukan, maka menyerah secara
formal disertai dengan otonomi praktis merupakan bentuk yang menyenangkan bagi"kedua belah
pihak dalam hubungan antarnegara.
sebelum masa penjajahan, yang sesuai sekali dengan model negara
patrimonial yang digambarkan Max Weber. 64 Menurut model ini,
pemerintahan pusat pada pokoknya merupakan perluasan rumah tangga
dan staf pribadi raja. Para pejabat diberi kedudukan-kedudukan dan
keuntungan-keuntungan yang menyertai pangkat, sebagai anugerah raja
itu pribadi, dan mereka dapat dipecat atau diturunkan pangkatnya
sekehendak hati raja itu. Kasta feodal tersendiri tidak pernah ada.
Pembayaran kepada para pejabat pada pokoknya berupa keuntungan-
keuntungan khusus yang diberikan raja selama mereka masing-masing
memangku jabatan tertentu. Dalam pemerintahan pusat itu selalu terdapat
ketegangan, baik tersembunyi maupun terbuka, antara kelompok
keturunan raja, atau keluarga besar raja, dan para ministeriales, yaitu para
pejabat tinggi yang berasal dari orang-orang biasa yang telah naik dalam
jenjang kekuasaan karena kemampuan administratif dan loyalitas pribadi
mereka kepada raja. Karena orang-orang biasa tidak mempunyai harapan
untuk naik singgasana, keeuali apabila dinasti itu runtuh sama sekali,
maka mereka tidak dianggap sebagai ancaman politik oleh raja dan
selama raja itu seorang yang kuat dan berkemauan keras, maka para
ministeriales itu sering diberi kedudukan-kedudukan kunei, sehingga
merugikan kelompok keturunan raja.
Walaupun kekuasaan raja di sekitar daerah ibu kotanya tidak perlu
dipersoalkan lagi, namun sarana-sarana perhubungan yang relatif primitif
dan kesukaran keuangan yang terus-menerus terdapat dalam suatu
ekonomi yang sebagian besar tidak berdasarkan uang, telah menyebabkan
kesulitan bagi raja untuk mempertahankan pengendalian administratif
yang ketat sewaktu kerajaan bertambah besar walaupun dari waktu ke
waktu ia mengirimkan ekspedisi-ekspedisi militer yang mengesankan.
Mau tidak mau ia harus mencoba mengambil hati (dengan maksud
mencaplok) para pemuka daerah dan menyerahkan banyak kekuasaan
informal kepada mereka.65 Ia tidak dapat memecat atau mengangkat
mereka sebagaimana ia lakukan terhadap ministeriales-nya sendiri.
Walaupun ia berusaha sedapat mungkin untuk mengganti para pemuka
setempat, sebagaimana yang dapat ia lakukan terhadap pembantu -
64
Lihat B. Schrieke, Indonesian Sociological Sttldies, 1, (The Hague and Bandung, Van Hoeve,
1955), 169-22 1; dan Bendix, Bab 11. Bandingkan Th. Pigeaud, Java in the Faurteenth Century, 4 (The
Hague, Nijhoff, 1962),521-536.
65
Ini dapat dilakukan dengan mengatur perkawinan-perkawinan dengan keluarga-keluarga yang
terkemuka di daerah, dengan mewajibkan tinggal secara periodik di keraton raja dan dengan
memberikan sandera-sandera ke'pada pusat
pembantu pribadinya, para pemuka ini tentu saja akan berusaha
menentang pencaplokan-pencaplokan yang bermaksud memusatkan itu.
Raja juga harus menghadapi bahaya bahwa seorang ministeriales yang
telah ditugaskan untuk memerintah suatu daerah terpencil, dapat berakar
demikian mendalamnya di sana, sehingga ia berhasil menjadi pemimpin,
atau dipilih untuk masuk ke dalam kelompok pemuka setempat, dan
sesungguhnya telah bergabung dengan oposisi laten. Raja harus terus-
menerus memindahkan orang-orang seperti itu untuk mencegah jangan
sampai mereka pada akhirnya kehilangan rasa ketergantungan mereka
kepada raja itu sendiri.
Struktur administratif, walaupun resminya bersifat hirarkis,
sesungguhnya terdiri dari kelompok-kelompok hubungan kawulo-gusti
(hamba-tuan) yang berlapis-lapis. Baik di daerah-daerah maupun di pusat,
setiap pejabat mengumpulkan sekelompok orang yang bergantung
kepadanya di sekelilingnya, mengikuti model raja sendiri. Nasib para
kawulo itu berhubungan erat dengan sukses tidaknya gusti mereka.
Mereka bekerja sebagai pembantu administratif atau pembantu politik,
dan tidak mempunyai status otonom yang benar-benar kecuali dalam
hubungan dengan otonomi gusti mereka. Mereka dibiayai dengan
sebagian dari keuntungan-keuntungan yang telah dijatahkan kepada gusti
mereka oleh gusti yang lebih tinggi, atau oleh raja sendiri, seandainya
gusti mereka itu mempunyai kedudukan cukup tinggi. Tepat sebagaimana
kekuasaan raja diukur dengan besarnya jumlah penduduk yang dikuasai,
kekuasaan pejabat bawahan (gusti) juga diukur dengan jumlah bawahan
yang dipimpinnya.
Dalam kasus Jawa, Schrieke mengemukakan adanya tarik-menarik
terus-menerus antara para pembesar daerah, yang sering mempunyai garis
keturunan yang lebih tua daripada garis keturunan raja sendiri, dengan
para pejabat (ministeriales) yang berada di dan diutus dari istana;
demikian juga antara para pejabat itu dengan kelompok keturunan raja. Ia
memberikan tekanan kepada sifat-sifat sewenang-wenang dan serba
pribadi dalam kebijaksanaan kepegawaian dan kebijaksanaan umum para
raja Mataram, dan pembiayaan administrasi negara melalui monopoli
yang dimiliki raja dan sistem appanage, yaitu suatu sistem di mana para
pejabat itu diberi hak untuk memanfaatkan tanah-tanah tertentu (yang
sering terpencar-pencar letaknya), termasuk tenaga kaum tani yang tinggal
di atasnya.
Mestinya sudah jelas bahwa konsep kekuasaan tradisional di Jawa
memberikan perspektif yang baik untuk meninjau struktur serta kata kerja
negara patrimonial. Pertama, gambaran cahaya lampu yang semakin
memudar bersama dengan bertambah-nya jarak, tidak hanya paralel
dengan semakin lemahnya kekuasaan seorang penguasa dalam
menghadapi raja tetangga di pinggiran wilayah-wilayah kekuasaannya.
Gambaran itu dapat juga diterapkan dengan tepat sekali pada pertarungan
antara pusat dan daerah yang dianggap begitu penting oleh Weber dan
Schrieke. Memang menurut perspektif tradisional tidak diadakan
pembedaan analitis yang jelas antara seorang pemuka provinsi yang kuat
dan seorang raja berdaulat yang merupakan saingan. Secara potensial
masing-masing dapat menjadi lainnya, tergantung dari jumlah kekuasaan
yang dapat dihimpun oleh pusat. Daya pancar sumber cahaya itu menjadi
bertamban besar kalau raja sanggup memaksakan penyerahan raja-raja
tandingan dan menurunkan mereka ke status pemuka daerah. Daya pancar
cahaya itu berkurang, bilamana para pemuka daerah berhasil
membebaskan diri dari pusat dan mendirikan wilayah-wilayah
pemerintahan mereka sendiri yang merdeka. Jadi “kekendoran” di pusat
yang sangat ditakutkan itu seiring dengan suksesnya desakan-desakan
demi desentralisasi dan “keketatan” yang dikagumi itu seiring dengan
berhasilnya pemaksaan sentralisasi.
Kedua, apa yang dicatat Weber dan Schrieke sebagai sifat yang amat
pribadi pada pemerintahan patrimonial, di mana para pegawai dianggap
sebagai kepaniangan pribadi raja sendiri, mengandung arti bahwa
dekatnya seseorang dengan raja, dan bukannya pangkat formal,
merupakan kunci bagi kekuasaan di negara seperti itu. Para pejabat
(ministeriales) yang berasal dari golongan orang biasa berhasil menanjak
melebihi kelompok keturunan raja di bawah pemerintahan raja-raja yang
kuat, adalah justru karena mereka dekat dengan raja. Pada akhirnya segala
sesuatunya tergantung kepada kekuasaan pribadi raja itu. Pancaran
kekuasaan ini terjelma dengan cara yang tidak dapat dibeda-bedakan
melalui tiga poros: poros pusat-pinggiran, yang telah dibicarakan; poros
askriptif, atau penyebaran diakronis dari kekuasaan dalam bentuk mani
raja melalui tujuh generasi keturunan; poros kawulo-gusti, atau poros
administratif, di mana kekuasaan gusti tertinggi, yaitu raja, merembes ke
bawah melalui lapisan-Iapisan menurun yang terdiri dari kelompok-
kelompok kawulo-gusti, sampai pada akhirnya mencapai dasar
masyarakat yang terdiri dari kaum tani. Jadi walaupun pad a zaman dulu
status anggota-anggota keluarga dekat sang raja jauh dan jelas berbeda
dengan status para pejabat tinggi yang berasal dari golongan orang biasa,
namun dipandang dari segi politik, perbedaan ini tidak begitu penting
seperti yang mungkin diduga semula. Perbedaan-perbedaan itu kurang
penting dibandingkan dengan faktor yang menentukan, ialah dekatnya
seseorang dengan sang raja.66
Hal-hal ini mungkin berguna untuk memahami beberapa aspek
tingkah laku politik di Indonesia dewasa ini. Kita sudah melihat
terdapatnya kesesuaian yang menonjol antara konsep J awa tradisional ten
tang kekuasaan dengan struktur-struktur dan tingkah laku politik negara
patrimonial. Kita selanjutnya dapat mencatat bahwa “pemribumian”
struktur-struktur dan tingkah laku birokrasi di Indonesia, 67 yang begitu
jelas kentara setelah pertengahan tahun 50-an, dapat dipandang sebagai
timbulnya kembali model patrimonial itu. Suatu analisis lengkap tentang
sebab-musabab timbulnya kembali paham patrimonial ini, akan
menyebabkan kita menyimpang terlalu jauh. Tetapi telah pasti sebab
utamanya adalah kenyataan bahwa sistem birokrasi legal rasional yang
diwariskan oleh Belanda tidak dapat dipertahankan dalam masa
kemunduran ekonomi yang terus-menerus ini. 68 Tetapi daya tahan
patrimonialisme itu barangkali juga diperkuat oleh tetap adanya
perspektif-perspektif tradisional yang demikian cocok dengannya.
Keengganan yang besar dari pusat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan
desentralisasi dan otonomi daerah pada bagian akhir masa parlementer
(1956-1958), walaupun jelas disebabkan oleh ketakutan akan merosotnya
pendapatan negara kalau daerah yang banyak menghasilkan valuta asing,
seperti Sumatra dan Sulawesi, akan meningkatkan kekuasaan mereka
namun sebagia~ juga dapat dikatakan berasal dari pengaruh konsepsi-
konsepsi lama yang masih terus ada tentang hubungan-hubungan pusat
dan daerah-daerah, sebagai petunjuk-petunjuk mengenai sehat tidaknya
kerajaan. Kemenangan yang dicapai kemudian atas pemberontakan daerah
tahun 1958 dan konsolidasi Demokrasi Terpimpin, ditandai oleh
bertambah besarnya jumlah pengangkutan para pejabat (ministeriales)
untuk menduduki posisi-posisi kunci, militer dan sipil, dalam birokrasi
66
Bandingkan dengan Maruyama, hIm. 12-20. Di
halaman 13 ia menulis: 'J adi nilai-nilai yang menentukan kedudukan seseorang dalam masyarakat dan
dalam bangsa, didasarkan atas bagaimana dekatnya seseorang dengan Maharaja, lebih daripada fungsi
sosialnya'.
Proses 'pemeribumian' ini dibahas dengan baik sekali dalam karangan Ann Ruth Willner, The
67

Neo-Traditional Accommodation to Political Independence: The Case of Indonesia, Center of


International Studies, Research Monograph, no. 26 (princeton, N.J.: Princeton University, 1966).
68
Saya berhutang budi kepada Daniel Lev atas pengetahuan yang penting ini.
daerah dan diserapnya jabatan kepala daerah (yang dipilih) ke dalam
jabatan-jabatan administratif gubernur dan bupati yang diangkat oleh
pusat.69 Para pejabat ini, sesuai dengan tradisi lama, diangkat terutama
atas dasar loyalitas mereka kepada Jakarta; bukan atas dasar kemampuan
yang istimewa di bidang administrasi.
Garis organisasi yang sejajar dengan ini dapat diikuti pada pola-pola
tingkah laku administratif di pusat, terutama setelah berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1959. Undang-Undang Dasar ini
menetapkan secara eksplisit bahwa para menteri kabinet adalah pembantu
Presiden dan hanya bertanggung jawab kepadanya saja. Walaupun
contoh-contohnya dapat ditemukan di Tiongkok Kuomintang, di Jepang
setelah Meiji dan barangkali juga di Amerika Serikat, kita dapat
merasakan pengaruh gaya patrimonial lama dalam begitu mudahnya orang
Jawa menerimanya dan meninggalkan Undang-Undang Dasar 1950 yang
bersifat parlementer. Keengganan psikologis banyak menteri kabinet
untuk menerima tanggung jawab otonom apa pun, terutama
pertanggungjawaban kepada anggota-anggota parlemen dan kepada
umum, amat jelas kelihatan di zaman liberal, tetapi tidak sesuai dengan
norma-norma etika yang terkandung dalam undang-undang dasar
parlementer. Di bawah Undang-Undang Dasar 1945, norma-norma formal
dan kecenderungan-kecenderungan tradisional makin cocok satu sarna
lain.
Kalau kekuasaan yang sesungguhnya dianggap mengalir dari pusat
yang terkonsentrasi, dan bukan dari daerah pinggiran yang terpencar,
maka tingkah laku pejabat tentu seharusnya lebih mencerminkan
keinginan-keinginan pusat daripada keinginan-keinginan daerah. 70
Argumentasi serupa dapat membantu menerangkan begitu mudahnya
orang Jawa, di bawah pemerintahan yang mengandalkan kewibawaan dari
Soekarno, menerima munculnya kelompok-kelompok kekuasaan informal
di luar struktur birokrasi yang “legal-rasional”. Apa yang disamakan
“golongan istana” di zaman Demokrasi Terpimpin sesungguhnya
merupakan kabinet dapur penguasa, pembantu-pembantu pribadi dan
69
Mengenai kecenderungan desentralisasi dan
sentralisasi pad a masa 19551959, penciptaan dan, secara praktis, penghapusan jabatan kepala daerah
yang berdiri sendiri,· lihatlah J.D. Legge, Central Authority and Regional Autonomy in Indonesia: A
Study in Local Administration 1950-1960 (Ithaca, N.Y.; Cornell University Press, 1961), Bab-bab 4
dan 9.
70
Pada akhirnya, tanggung jawab pribadi haruslah didasarkan atas kekuasaan pribadi yang
otonom. Sukarlah mempertahankan norma ini bersama dengan pandangan tradisional bahwa para
pembantu penguasa itu tidak mempunyai kekuasaan tersendiri terlepas dari kekuasaan atasannya.
orang-orang kepercayaannya. Kekuasaan luar biasa yang mereka pegang
dalam praktiknya semata-mata tergantung kepada kenyataan bahwa
dekatnya mereka dengan pusat diakui oleh seluruh elite politik dan
pemerintahan.

Kekuasaan dan Etika.


Walaupun kelas penguasa Jawa tradisional dapat didefinisikan dalam
pengertian-pengertian struktural sebagai hirarki para pegawai dan
keluarga-keluarga besar mereka, namun sebagaimana keadaannya dengan
kelas penguasa mana pun, mereka itu dibedakan, malahan memang
membedakan diri, dari orang kebanyakan dalam gaya hidup dan sistem
nilai yang mereka anut dengan rasa sadar akan diri mereka. Sekarang ini
kata priayi, yang merupakan sebutan paling umum bagi kelas ini, lebih
mengandung arti nilai-nilai etika dan cara berkelakuan daripada jabatan
resmi. Namun nilai-nilai dan cara berkelakuan ini berhubungan erat
dengan fungsi-fungsi tradisional kelas ini; dan konsep tentang kekuasaan
mengungkapkan hubungan ini denganjelas sekali.
Sifat yang biasanya secara tradisional ditekankan oleh priayi untuk
membedakan mereka dari orang kebanyakan, ialah sifat kehalusan. Arti
istilah ini, yang sukar sekali didefinisikan secara tepat dalam bahasa
Inggris, walaupun usaha yang terpuji telah dilakukan oleh Clifford
Geertz71 dan lain-lain, sampai batas tertentu tercakup oleh pengertian
“tidak tergoyahkan”, “tidak ternoda”, “tidak kasar”, atau “polos”.
Kehalusan jiwa berarti penguasaan diri, dan kehalusan penampilan berarti
tampan dan bercita rasa; kehalusan tingkah laku berarti tata krama serta
perasaan peka. Sebaliknya, sifat yang bertentangan dengan itu, yaitu sifat
kasar, berarti “tidak dapat mengendalikan diri”, “tidak teratur”, “tidak
seimbang”, “tidak selaras”, “jelek”, dan “tidak murni”. Karena kasar itu
adalah sifat alami manusia, di mana tenaga, pikiran dan tingkah lakunya
tidak dikendalikan dan tidak dipusatkan, maka orang tidak memerlukan
usaha untuk mencapai sifat itu. Tetapi sebaliknya untuk menjadi halus,
diperlukan usaha dan pengendalian - terusmenerus, sehingga seluruh
spektrum perasaan dan pikiran manusia dapat diubah menjadi suatu
pancaran cahaya “putih” halus yang terdiri dari daya yang dipusatkah. Di
71
7Lihat Clifford Geertz, The' Religion of Java (New
York, Free Press, 1964), him. 232.
sini hubungan antara kehalusan dan kekuasaan sangat jelas; kekuasaan
merupakan penghubung pokok antara manusia alami dengan satria yang
tergambar dalam mitologi pewayangan dan tata krama kaum priayi Jawa.
Dalam pikiran orang Jawa tradisional, sifat halus itu sendiri merupakan
tanda kekuasaan karena kehalusan hanya dapat dicapai dengan pemusatan
daya. Dalam legenda-Iegenda dan cerita sejarah populer Jawa, satria yang
ramping dan halus hampir selalu berhasil mengalahkan raksasa, buto
(makhluk mengerikan), atau “orang biadab” dari seberang lautan. Dalam
adegan-adegan perang yang khas dalam pertunjukan wayang, perbedaan
yang menyolok antara keduanya menjadi jelas sekali dalam gerak-gerik
satria yang lemah lembut, halus dan serba indah, yang hampir tidak
pernah beranjak dari tempatnya, hal mana berlawanan dengan lompatan-
lompatan akrobatik, jungkir balik, teriakan-teriakan, maki-makian,
hentakan-hentakan dan serangan-serangan cepat yang tiba-tiba dari
musuhnya yang kasar itu. Pertarungan dilambangkan dengan tepat sekali
pada waktu satria berdiri dengan amat tenangnya, dengan mata tertuju ke
bawah, seakan-akan tidak berdaya, sedangkan musuhnya berulang-ulang
menyerangnya dengan pisau, pentung atau pedang, tetapi tanpa hasil apa
pun. Kekuasaan satria yang terpusat telah menjadikan kebal.
Kekebalan yang halus ini merupakan sifat khas satria yang sangat
didambakan, baik sebagai tokoh militer maupun sebagai negarawan.
Tetapi ciri khas itu hanya dapat dicapai dengan disiplin diri sendiri yang,
seperti telah kita lihat, merupakan kunci bagi akumulasi kekuasaan.
Ancaman yang paling berbahaya terhadap kekebalan ini bukanlah lawan
satria itu melainkan pamTih.
Pamrih adalah suatu istilah rumit yang barangkali dapat diartikan
sebagai “motif pribadi yang tersembunyi”. Artinya ialah mengerjakan
sesuatu, bukan karena tindakan itu harus dilakukan, melainkan karena
kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan pribadi terpenuhi
dengan melakukannya. Moto tradisional seorang pejabat Jawa sepi ing
pamTih Tamé ing gawé, yang masih sering disebut oleh kaum politisi dan
para pejabat Indonesia, berarti bahwa sikap yang tepat bagi para pejabat
priayi adalah menahan diri terhadap pemuasan motif-motif pribadi, dan
dalam pada itu bekerja keras demi kepentingan negara. Di tingkat
moralitas sehari-hari, pamrih adalah sifat mementingkan diri sendiri dan
membesar-besarkan diri yang dari segi sosial tidak diinginkan. Tetapi
pada tingkat yang lebih dalam, pamrih seorang pejabat atau seorang
militer sesungguhnya merupakan ancaman bagi kepentingan -
kepentingannya sendiri, karena memuaskan nafsu-nafsu pribadinya, dan
karenanya nafsu-nafsu sepihak, berarti tiadanya keseimbangan batin dan
buyarnya pemusatan dan kekuasaan pribadi. Gagasan tentang pamrih
merupakan motif yang selalu terdapat dalam “moralitas” pewayangan.
Pamrih itu menunjukkan perbedaan pokok antara Pandawa dan Kurawa
dalam siklus Bratayuda, dan antara Rama dan Dasamuka dalam siklus
Ramayana. Dalam masing-masing cerita itu, pihak yang “jahat” telah
ditakdirkan untuk dikalahkan, bukannya karena “kejahatannya”,
melainkan karena “ahat” itu berarti mengikuti nafsu pribadi, yang pada
akhirnya merongrong pemusatan kekuasaan.72 Tema ini digambarkan
dengan menarik sekali dalam dua episode yang penting dalam cerita
Bratayuda. Peristiwa pertama adalah pembicaraan terakhir antara Sri
Batara Kresna dan Adipati Karna, pada saat peperangan antara Pandawa
dan Kurawa akan pecah, di mana Kresna mencoba membujuk Karna
untuk meninggalkan barisan Kurawa dan berjuang di pihak saudara-
saudara seibu, yaitu para Pandawa. Inti penolakan Karna yang diucapkan
dengan fasih adalah bahwa ia menolak pamrih. Ia mengatakan kepada
Kresna bahwa ia mengetahui sepenuhnya bahwa para Kurawa telah
melakukan kesalahan dan bahwa para Pandawa akan menang perang.
Tetapi segala sesuatunya yang mengenai dirinya adalah berkat Suyudana,
yang tertua dari keluarga Kurawa, dan kesetiaan tanpa memikirkan
kepentingan diri sendiri adalah sifat pertama seorang satria. Lagi pula,
seandainya ia menyeberang ke pihak Pandawa, maka ia tidak hanya akan
ikut-ikutan dengan mereka yang telah pasti menang, tetapi juga akan
merendahkan martabat kemenangan akhir para Pandawa. Tanpa adanya
Karna di pihak mereka, para Kurawa bukanlah lawan bagi saudara -
saudara sepupu mereka, sehingga perang besar Bratayuda yang telah
ditakdir-kan itu akan merupakan suatu operasi militer sepihak tanpa
kemegahan. Maka terhadap Kurawa dan Pandawa, ia akan memenuhi
darmanya dengan memihak kepada Prabu Suyudana, walaupun ia sadar
bahwa hal itu akan menyebabkan kematiannya.73
Dalam bagian epik yang bahkan lebih terkenal, Arjuna dan Karna
saling berhadapan di medan perang. Dihadapkan dengan saudara seibunya
72
Contoh prototipe dari hal ini adalah diculiknva istri Rama Sinta oleh Prabu Dasamuka. Tetapi
hampir dapat dikatakan bah\~a tindakan penculikan itu sendiri kurang "jahatnya" dibandingkan
dengan tindakan memuaskan nafsu sendiri yang dilakukan oleh Dasamuka. Dalam pengertian ini,
perbuatanjahat itu lebih banyak dilakukan terhadap Dasamuka sendiri daripada terhadap Sinta.
73
Sesungguhnya darma adalah kewajiban kasta atau status. Kalau seseorang termasuk kasta
satria, maka ia bertindak sebagai satria. Dalam pengertian yang lebih umum, kata itu mengandung
konotasi "keadilan".
sendiri, Arjuna “menjadi lemah”. Dengan berpaling kepada Kresna, ia
menyatakan bahwa ia tidak sampai hati untuk membunuh saudaranya
sendiri dan tidak sanggup menghadapi kemungkinan penderitaan dan
kematian yang demikian banyaknya. Jawaban klasik Kresna adalah bahwa
rasa kemanusiaan seperti itu pada pokoknya adalah suatu bentuk pamrih.
Ikatan-ikatan pribadi semestinya tidak boleh menggoyahkan seorang
satria dalam memikul tanggung jawab yang telah diletakkan di bahunya.
Satria pergi ke medan perang siap untuk mati kalau perlu, tetapi ia
berjuang bukan karena kebencian atau nafsu pribadi, melainkan karena
darma. Arjuna semestinya tidak boleh kurang jiwa satrianya daripada
Karna yang telah melakukan darmanya walaupun ia sendiri sudah
mengetahui bahwa ini akan menyebabkan kematiannya. Maksud-maksud
takdir berada jauh di atas kehendak-kehendak manusia yang fana ini.
Karena ia diingatkan kembali akan tanggung jawabnya, maka Arjuna
kembali memasuki medan peperangan.
Hanya berdasarkan konsep pamrih inilah kita dapat memahami
dengan wajar sikap banyak orang Jawa terhadap akumulasi kekayaan.
Nafsu memiliki untuk kepentingan pribadi, seperti halnya rnenghanyutkan
diri dalarn seks dan ambisi politik, adalah salah satu jenis paling jelas dari
pemanjaan diri sendiri atau pamrih. Dernikian pula rnengejar kekayaan
secara terbuka yang rnerupakan sifat pedagang atau pengusaha
rnenunjukkan tiadanya kekuasaan dan karena itu tiadanya status. Pendapat
ini jangan diartikan bahwa orang Jawa yang berstatus tinggi pada
umumnya bukan orang yang kaya, atau bahwa tradisi Jawa tidak
menganggap bahwa kekayaan itu merupakan suatu atribut yang penting
bagi penguasa dan ternan-ternan terdekatnya. Tetapi uang itu sendiri
sekali-kali jangan dijadikan sasaran pencarian aktif. Kekayaan hendaknya
rnengalir kepada orang yang rnempunyai kekuasaan, sebagai akibat dari
kekuasaan itu, sama halnya dengan pusaka, penduduk yang besar
jumlahnya, istri-istri, kerajaan-kerajaan dan negara-negara tetangga yang
mengalir ke arah penguasa itu, seolah-olah semuanya itu tertarik ke pusat
oleh kekuatan magnetis. Kekayaan besar yang menurut cerita dimiliki
oleh raja-raja agung di Jawa dulu kala, selalu rnerupakan suatu atribut
kekuasaan, dan bukan sarana untuk mendapat kekuasaan itu. Jadi dalam
tradisi politik Jawa, kekayaan sudah pasti rnengikuti kekuasaan dan bukan
kekuasaan mengikuti kekayaan.
Salah satu alasan penting bagi tersebar luasnya rasa cemas terhadap
permerintahan Dermokrasi Terpirnpin ialah karena beberapa dari tokoh-
tokoh tertinggi dalam negara disangka tergila-gila untuk menumpuk harta
pribadi. Masalah korupsi mempunyai gema yang lebih luas daripada
hanya soal tiadanya kejujuran di kalangan para pegawai tinggi, atau
terbuang-buangnya sumber-sumber nasional, karena korupsi untuk
kepentingan pribadi ditafsirkan sebagai tanda membusuknya suatu
permerintahan. Unsur yang sangat penting dalarn karnpanye tahun 1966-
1967 untuk menggulingkan Soekarno adalah berita yang disiarkan
mengenai bukti pamrihnya Presiden dalam persoalan korupsi dan bentuk-
bentuk lain dari penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Sebaliknya, salah satu kartu terkuat di tangan PKI, baik di masa
Demokrasi Liberal maupun di masa Dernokrasi Terpimpin, adalah karena
partai itu memiliki reputasi yang memang pantas disebut sebagai partai
yang tidak melakukan korupsi. Tidak adanya korupsi di kalangan PKI
tidak hanya mempunyai daya tarik bagi keinginan “modern” untuk
bersikap rasional, jujur dan berdisiplin dalam kehidupan umum, tetapi
juga memiliki daya tarik bagi rasa hormat tradisional kepada orang tanpa
pamrih, yang merupakan sumber potensial bagi kekuasaan baru yang
sedang timbul. Karena itu salah satu langkah pertama yang diambil aparat
propaganda militer dalam kampanye antikomunis pada akhir tahun 1965,
adalah berupa usaha untuk menunjukkan bahwa permimpin-pemimpin
PKI adalah orang-orang yang dengan sembunyi-sembunyi menjalani
kehidupan seksual yang bebas (Nyoto) dan koruptor (Aidit), karena
propaganda itu mengandung arti yang berat dalam alam pikiran
tradisional. 74
Argumentasi yang sama dapat membantu menjelaskan satu tradisi
yang telah berakar dalam tingkah laku administrasi di Jawa, yaitu yang
dinamakan perintah halus. Ungkapan ini biasanya dipahami sebagai
sesuatu yang berarti memberikan perintah dengan bahasa yang sopan dan
secara tidak langsung, kadang-kadang bahkan lebih dalam bentuk
permohonan daripada suatu perintah. Namun permohonan ini dipahami
oleh kedua belah pihak sebagai perintah. Nuansa-nuansa konsep ini telah
dibahas secara sensitif dari perspektif politik dan sosiologi oleh Ann
Willner dan Donald Fagg, yang melihat perintah halus itu sebagai akibat
dari pola hubungan antara pribadi yang amat diformalisasikan di kalangan
74
Sambi! lalu orang dapat berspekulasi bahwa
strategi PKI di tahun-tahun 1.963-1965 yang mencoba menciptakan suatu perasaan bahwa ada arus
yang tidak terbendung menuju ke arah mereka, ialah jumlah pengikut yang dengan pesat sekah
bertambah besar, sebagian menggunakan dengan sadar gagasan-gagasan tradisional tentang
mengalirnya kekuasaan dari pus at yang sedang membusuk ke arah pusat baru yang menanjak.
orang-orang Jawa atau sebagai suatu cara yang perlu untuk
menyembunyikan tawar-menawar atau sikap pura-pura, yang menjadi ciri
khas hubungan-hubungan kekuasaan orang-orang Jawa.75 Tetapi dalam
konteks pemikiran Jawa tradisional, perintah halus sama sekali bukan
suatu perintah yang lemah dan tidak langsung yang dimaksudkan untuk
menutupi rasa tidak pasti dari orang yang memberikan perintah tentang
sampai sejauh mana otoritasnya akan ditaati. Malah sebaliknya, perintah
halus adalah suatu perintah yang lebih kuat daripada perintah terus terang,
karena perintah halus itu pasti diberikan oleh seorang yang halus pula,
seorang yang lebih tinggi kekuasaan serta statusnya dan berada lebih
dekat dengan pusat kekuasaan. Lagi pula, kita jangan melupakan
simbolisme satria di medan pertempuran. Orang yang memiliki kekuasaan
semestinya mempergunakan tenaga sesedikit mungkin dalam melakukan
tindakan apa pun. Sedikit saja ia mengangkat anak jarinya, sudah cukup
untuk menggerakkan serangkaian tindakan. Orang yang benar-benar
mempunyai kekuasaan tidak perIu mengangkat suaranya dan tidak perlu
memberikan perintah secara terbuka. Kehalusan perintahnya adalah
pernyataan lahiriah dari kewibawaannya. Karena itu, seluruh gaya
pemerintahan Jawa sejauh mungkin ditandai oleh usaha untuk
memberikan kesan mengeluarkan tenaga sesedikit mungkin, seperti
melalui perintah halus. Etika kehalusan itu pad a dasarnya adalah etika
kekuasaan.

Kekuasaan dan Pengetahuan


Kalau kehalusan itu merupakan ciri priayi, fokus etiknya, dan
pernyataan kekuasaannya, bagaimanakah kehalusan itu dapat dicapai?
Dalam artl tertentu, jawaban atas pertanyaan ini telah diberikan, karena
kehalusan adalah perwujudan kekuasaan, maka kehalusan dapat dieapai
melalui cara tradisional, ialah bertapa dan disiplin batiniah. Tetapi disiplin
75
Lihat Donald R. Fagg, Authority and Social
Structure: A Study in Javanese Bureaucracy (Ph. D. thesis, Harvard University 1958), hIm. 362-
368,372-429, dan Willner, terutama hlm. 44-57. Dalam analisis Fagg dan Willner terdapat kekurangan
perspektif historis dan kultural tertentu. "Perintah halus" yang terdapat pada masa setelah
kemerdekaan sudah pasti untuk sebagian ungkapan yang hampa. Tidak hanya karena sistem
kepercayaan dari mana perintah halus itu berasal sudah dirongrong oleh norma-norma saling
bertentangan yang diambil dariBarat yang sekuler dan skeptis, tetapi juga karena kekuasaan
monolitik dari pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, yang dulu selalu mendukung perintah
halus itu dengan paksaan fisik yang tidak dapat ditentang, sekarang sudah tidak ada lagi. Kelemahan
dan banyak macamnya otoritas di Indonesia setelah merdeka memperlihat. kan keroposnya perintah
halus, yang disebabkan oleh pengalaman kolonial tetapi disembunyikan oleh dominasi total
pemerintahan koloniaL
batiniah ini tidak dapat dicapai dengan cara-cara sembarangan;
pencapaiannya hanya mungkin melalui pendidikan dalam bentuk-bentuk
pengetahuan khas tertentu. Dipandang dalam perspektif ini, pengetahuan
menjadi kunci kekuasaan.
Pendidikan Jawa tradisional dapat digambarkan secara memadai
sebagai suatu inisiasi ke dalam pengetahuan rahasia yang lebih kurang
permanen. Samudja Asjari telah menggambarkan dengan terperinci proses
pendidikan tradisional di pesantren pedesaan di bawah pimpinan seorang
kiai.76 Dalam pesantren ini, para siswa (santri) melewati serangkaian
tingkat-tingkat pengetahuan yang diatur dengan teliti, mulai dari tingkat
yang paling sederhana, yaitu yang paling duniawi melalui studi-studi yang
makin esoteris (mendalam dan rahasia) sampai mereka mencapai tingkat
ngêlmu makripat (rahasia rahasia mengenai Yang Ada, mengenai
Tuhan).77 Kemajuan santri itu dilihat sebagai suatu proses panjang di
mana ia semakin dekat dengan rahasia-rahasia kosmos yang pada
akhirnya hanya dapat dicapai melalui ilham.78 Hanya sejumlah kecil dari
para santri dapat mencapai tahap terakhir ini - kita dapat membayangkan
mereka menyebar seperti planit-planit dalam orbit-orbit yang makin kecil
di sekeliling suatu matahari yang terdapat di tengah. Dengan begitu,
pendidikan memberikan kunci untuk membuka pintu yang memisahkan
kebodohan dari ngélmu, dan ngélmu itu merupakan jalan untuk sampai
kepada Yang Ada.79.
Pola pendidikan seperti ini, baik dulu maupun sekarang, tIdak
terbatas pada sekolah-sekolah Islam di pedesaan saja, tetapi juga
mendasari pendidikan tradisional kaum elite. Dalam lakon-lakon wayang
dan dalam babad-babad, suatu masa yang sangat kritis dalam kehidupan
seorang satria muda adalah masa isolasi dan latihan di pertapaan atau di
gua pegunungan. Di tempat itu, di bawah bimbingan seorang resi
(pendeta) ia mengalami inisiasi ke dalam ilmu-ilmu yang bersifat rahasia.
Inisiasi itu mungkin mencakup pelajaran seni bela diri atau ngélmu
kadigdayan, tetapi terutama dicurahkan kepada intro speksi magis religius.
Barangkali lakon wayang yang paling terkenal, Dewa Ruci, adalah suatu
Samudja Asjari, Kedudukan Kjai Dalam Pondok Pesantren (Tesis M.A., Universitas Gadjah
76

Mada, Yogyakarta. 1967), terutama hIm. 120-136.


Bandingkan Geertz, Islam Observed, hIm. 3S-37, mengenai 'kerohanian bertingkat-tingkat'
77

dalam konteks yang agak berbeda.


Di tingkat yang lebih kasar, santri mungkin juga sedikit demi sedikit belajar rahasia-rahasia
78

ngelmu kedotan (ilmu kebal).


Untuk penggarapan tema ini dan implikasi-implikasinya, lihat B.R.O·G. Anderson, 'The
79

Languages of Indonesian Politics' Indonesia, 1 (April 1966), 89-116, terutama 93 dan selanjutnya.
perwujudan dramatis yang tepat dari proses ini.80 Dalam lakon ini, satria
muda Bratasena bertanya kepada gurunya, Pandita Durna, bagaimana
caranya mempelajari rahasia kehidupan. Ia disuruh mencarinya di dasar
lautan. Di dasar lautan yang dalam itu, ia diserang oleh seekor naga
raksasa, tetapi pada akhirnya ia dapat menang. Kemudian muncullah di
hadapannya dewa yang amat kecil, Dewa Ruci, yang merupakan bentuk
miniatur dirinya sendiri, yang memerintahkan Bratasena untuk memasuki
telinganya. Bratasena mematuhi perintah yang mustahil ini, dan setelah
masuk ke dalam telinga Dewa Ruci, ia mencapai sesuatu yang tidak
mungkin dicapai. Tafsiran-tafsiran rakyat biasa tentang cerita ini
menekankan bahwa naga dan laut itu melambangkan nafsu-nafsu manusia
yang menyelewengkan orang, dan karena itu, perjuangan melawan naga
itu berarti perjuangan menaklukkan nafsu-nafsu rendah. Dewa Ruci
melambangkan Aku, yaitu hakikat batin yang bersifat ketuhanan, yang
hanya dapat dijumpai setelah menang berjuang melawan naga. Peristiwa
masuknya Bratasena yang berukuran raksasa ke dalam telinga Dewa Ruci
yang amat keeil itu, melambangkan gagasan bahwa pengetahuan batin
tidak dapat dicapai dengan studi biasa saja, tetapi harus melalui ilham
yang bersifat suprarasional. Hanya setelah melalui cobaan inilah,
Bratasena dapat timbul dari dalam lautan dengan wajah yang telah
berubah dan dengan memakai nama dewasa sepenuhnya, yaitu
Wrekudara.81
Gambaran tradisional dari cara memperoleh ngelmu adalah gambaran
mencari suatu kunci yang dapat membuka pintu antara kebodohan dan
ngélmu, yang memungkinkan adanya lompatan kualitatif dari yang satu
kepada yang lain. Proses belajar seperti itu sama sekali tidak mengandung
suatu sifat yang memungkinkan murid untuk memperoleh ngélmu sendiri
atau yang bersifat pragmatis. Sisa-sisa daya tarik konsepsi lama ini tidak
sukar dicari dalam pemikiran Indonesia dewasa ini. Kalau kita mengingat
hal itu, kita akan banyak sekali dibantu dalam memahami pembagian
penduduk yang khas oleh kaum elite politik menjadi dua kelompok yang
80
Untuk memperoleh keterangan lebih lengkap
mengenai pertunjukan ini dan analisis terperinci serta amat otoritatif tentang arti mistiknya, lihat:
KG.PAA. Mangkunegara VII, On the Wayang Kulit (PurwaJ and itS Symbolic lHystical Elements,
diterjemahkan dari aslinya bahasa Belanda oleh Claire Holt, Southeast Asia Program Data Paper no.
27 (Ithaca, N.Y.: Cornell University, 1957), terutama hIm. 16-19,23-24.
81
Pengaruh belajar dalam bentuk seperti ini dilukiskan dengan amat baik oleh kenyataan bahwa
penguasa jenis' tertinggi biasanya dinamakan pandita·ratu (raja-ahli-ilmu pengetahuan). yang model
klasiknya adalah yang tertua di antara Pandawa bersaudara, yaitu Prabu Yudistira dari Ngamarta.
terpisah secara radikal, yaitu mereka yang “masih bodoh” dan mereka
yang telah “insaf” atau “terpelajar”.82
Pandangan seperti itu dapat juga membantu menerangkan daya tarik
yang amat besar dari pemikiran yang secara eksplisit bersifat ideologis di
Indonesia belakangan ini. Aliran-aliran ideologis yang amat kuat di
Indonesia, yaitu. komunisme, nasionalisme radikal dan Islam (baik yang
reformis maupun yang ortodoks) dipandang sebagai kunci untuk
menerangkan kerumitan-kerumitan dan kekaeauan-kekacauan dunia
dewasa ini. Mereka yang ahli dalam masing-masing aliran ini merasa
bahwa dengan melalui suatu proses pelajaran yang bersifat politik dan
keagamaan, mereka mencapai suatu gambaran mendalam dan menyeluruh
mengenai alam semesta serta cara-cara bekerjanya. 83 Walaupun masing-
masing aliran itu mengandung unsur-unsur ekspansionis yang amat kuat
dan mencari pengikut sebanyak mungkin, namun masing-masing tetap
mempunyai watak yang amat memandang ke dalam diri (introvert). Sifat
yang sangat tertutup dari aliran-aliran itu telah dicatat oleh banyak
pengamat. Tidak adanya kesesuaian di antara mereka pada umumnya,
jarangnya terjadi hubungan sosial yang intim, hampir tiadanya sama
sekali pertukaran intelektual, dan adanya garis pemisah yang tajam antara
para pengikut dan yang bukan pengikut, sekurang-kurngnya menurut
pikiran para ahlinya, semuanya dapat dianggap mirip dengan struktur-
struktur dan nilai-nilai pesantren dan lembaga-lembaga tradisional lainnya
yang berurusan dengan pencanan ngêlmu.84
Di sini melalui jalan lingkar, sampailah kita kembali ke hubungan
intim antara pengetahuan dan kekuasaan. Sebagaimana telah ditunjukkan
oleh sejarah republik, masalahnya bukanlah hanya karena ideologi -
82
Lihat Anderson, 'The Languages of Indonesian
Politics', hIm. 10.
83
Untuk pembicaraan yang luas tentang aliran, lihat Clifford Geertz, 'The Javanese Village'
dalam G. William Skinner. ed., Local, Ethnic and National Loyalties in Village Indonesia: A
Symposium. Southeast Asia Studies, Cultural Report Series no. 8 (New Haven; Yale University,
1959), hIm. 37-41. Geertz mengemukakan dua definisi aliran, yaitu: 'Suatu partai politik yang
dikelilingi oleh seperangkat organisasi sosial sukarela yang dihubungkan dengannya, baik secara
formal atau tidak' dan 'suatu pol a integrasi sosial yang komprehensif'. Menurut pengertian saya,
aliran itu ialah lebih dekat kepada definisi' kedua, yaitu: suatu pandangan kultural khusus dan
terintegrasi, bersama para pengikutnya yang terorganisasi atau tidak (tetapi secara potensial dapat
diorganisasi). Untuk diskusi yang amat mendalam ten tang hubungan antara aliran, kelas dan
organisasi politik, lihatlah pendahuluan yang ditulis oleh Ruth McVey untuk buku K Warouw dan ·P.
Weldon yang menerjemahkan karangan Soekarno Nasionalisme, Islam clan Mar:risme, Cornell
Modern Indonesia Project Translation Series (Ithaca, N.Y.: Cornell University, 1969).
84
Untuk gambaran yang baik tentang aspek 'tertutupnya' masyarakat pesantren, lihat Samudja
Asjari, hIm. 13()'-155, 160-166.
ideologi itu memberikan sarana yang siap pakai untuk mencapai
kekuasaan lokal dan nasional melalui rnekanisme partai-partai politik,
atau bahwa di dalarn masing-masing aliran orang-orang yang mengaku
mempunyai lebih banyak pengetahuan tentang inti ilmu aliran itu atau
telah menjalani inisiasi yang lebih mendalam, telah memperoleh posisi-
posisi yang sangat dihormati dan sangat berkuasa. Ideologi-ideologi itu
telah berakar dalam sekali, justru karena ideologi-ideologi itu dapat
dianggap sebagai pemberi kekuasaan. Semakin mirip “inisiasi” ke dalam
suatu ideologi tertentu rnenyerupai praktik-praktik dan konsepsi-konsepsi
pendidikan tradisional, semakin efektif pulalah ideologi itu dalam
rneningkatkan genggaman psikologis. yang kuat terhadap penganut baru.
Jelas faktor ini telah menyebabkan PKI di bawah pimpinan Aidit
mencapai sukses besar dalam kegiatan pendidikan. Sebab masa
pencalonan dan konsepsi mengenai partai yang digambarkan sebagai
piramida pendidikan yang hirarkis memperlihatkan kemiripan-kemiripan
yang kuat dengan struktur pendidikan pesantren. Kita juga tidak boleh
mengabaikan daya tarik yang kuat dari disiplin dan kerahasiaan yang
diminta dari para anggota partai itu di tengah lingkungan tradisional. 85
Sifat radikal dari kritik yang dilancarkan partai terhadap tatanan yang ada,
dapat dianggap sebagai halangan bagi usaha mencari anggota-anggota
baru. Tetapi sesungguhnya, hal itu sering ternyata justru sebaliknya,
karena kritik itu dirasakan dapat rnemberikan pandangan yang utuh dan
rnengandung arti pembaruan tatanan dari dalam kekacauan-kekacauan dan
pertentangan-pertentangan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan yang lebih bersifat sebagian-sebagian atau sedikit demi
sedikit, pendekatan yang lebih siap menerima unsur-unsur dari situasi
yang ada, tentulah akan sukar, dan memang sukar, menandingi kesatnan,
kepastian dan sentripetalisme paham Marxisme-Leninisme seperti yang
terdapat di Indonesia.
Dalam hubungan ini kita tidak boleh melupakan kekuasaan politik
khusus dari orang-orang yang tahu baca tulis dalam suatu masyarakat
tradisional yang sebagian besar anggotanya buta huruf. Di mana buta
huruf merupakan gej ala umum, kemampuan menulis mempunyai suatu
potensi yang sangat besar untuk menciptakan kekuasaan, karena sifatnya
yang rahasia, dan karena menulis memungkinkan komunikasi yang
85
Bandingkanlah sifat tarekat (perkumpulan Sufi)
yang diluki'skan dengan demikian cemerlangnya dalam buku Sarto no Kartodirdjo, The Peasants'
Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Mavements in
Indonesia (The Hague: De Nederlandsche Boek - en Steendrukkerij vlh Smits, 1966), hIm. 157-165.
misterius dan cepat antara orang-orang yang pandai melakukannya.
Menarik sekali bahwa dalam lakon-lakon wayang, senjata tunggal yang
paling ampuh di tangan para Pandawa bukanlah panah, alat pemukul atau
tombak, melainkan tulisan, Serat Kalimasada, pusaka khusus Prabu
Yudistira saudara tertua Pandawa. Apa yang sebenarnya tertulis di dalam
pusaka itu tidak pernah diungkapkan, dan memang dipandang dari suatu
segi, kekuasaan pusaka itu letaknya justru pada sifatnya yang tidak jelas
bagi semua orang kecuali bagi yang telah diperkenalkan dengannya. 86
Dipandang dari segi ini, kepandaian baca tulis hanyalah merupakan tanda
luar dari dimilikinya ngélmu. Walaupun dalam praktik tidak semua priyai
tahu baca tulis secara fungsional, tetapi priyai sebagai suatu kelompok
status dalam dunia tradisional cenderung diidentifikasikan dengan kaum
terpelajar. Kepandaian baca tulis di kalangan kelas yang berkuasa adalah
lambang kekuasaan, terutama karena kemampuan baca tulis itu dianggap
sebagai kemampuan untuk melakukan lompatan besar keluar dari dunia
buta huruf. Mereka yang pandai baca tulis tidak hanya terdidik lebih baik,
tetapi mereka adalah orang-orang terpelajar dalam suatu masyarakat yang
terdiri dari orang-orang tidak terpelajar. Kekuasaan mereka itu bersumber
bukan dari kemampuan mereka untuk menyebarluaskan konsep-konsep
baru dalam masyarakat, melainkan dari kemampuan mereka untuk
menembus ke dalam suatu ilmu kuno yang bersifat rahasia dan
menyimpannya.

Yang Memerintah dan yang Diperintah


Keeenderungan-keeenderungan berorientasi ke pusat yang terdapat
dalam pemikiran politik tradisional tentu saja mempengaruhi konsepsi-
konsepsi Jawa mengenai hubungan-hubungan wajar antara yang
memerintah dan yang diperintah, antara gusti dan kawulo dan antara
priyai dan kaum tani.
Pemikiran tradisional jelas tidak memungkinkan adanya suatu bentuk
perjanjian sosial (social contract) atau konsep mengenai kewajiban-
kewajiban timbal balik antara atasan dan bawahan. Sistem seperti itu tentu
harus mengakui adanya ikatan timbal balik yang bersifat hukum dalam

86
Perhatikanlah pengaruh dan kedudukan strategis
orang-orang dalam suatu desa yang pandai membaca surat kabar terl\adap orang-orang lain yang
tjdak pandai membaca. Perkataan"koran bilang" sekurang-kurangnya sampai beberapa waktu yang
lalu, merupakan jenis khusus pemanggilan otoritas di lingkungan desa.
hubungan-hubungan politik, yaitu suatu hal yang pada dasarnya asing
bagi pemikiran Jawa. Sistem yang demikian itu tentu mewajibkan adanya
pengakuan bahwa sifat-sifat halus dan berkuasa mengharuskan
dilakukannya kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang kecil justru
karena orang-orang itu kasar dan tidak berkuasa. Sebagaimana akan kita
lihat, orang-orang yang halus dan berkuasa memang mengakui adanya
kewajiban-kewajiban sosial tertentu, tetapi dasar pemikiran bagi
kewajiban-kewajiban seperti itu mempunyai logikanya sendiri yang tidak
ada hubungannya sarma sekali dengan gagasan-gagasan mengenai
perjanjian, atau secara lebih tegas, dengan gagasan noblesse oblige
(kebangsawanan harus sembada dan wajib mengabdi).
Kalau kita mengarahkan perhatian kita pertama-tama kepada
hubungan-hubungan di kalangan kelas penguasa itu sendiri, kita temui
suatu hal yang menonjol, yaitu tiadanya unsur perjanjian, sebagaimana
yang terdapat secara implisit dalam lembaga feodal Eropa yang berbentuk
vassalage (sistem di mana penguasa menguasakan suatu wilayah kepada
seorang vassal. Tiadanya vassalage ini dapat diterangkan secara empiris
dengan keeenderungan-keeenderungan yang bersifat memusat dan
struktur keuangan negara patrimonial, yang telah dikontraskan oleh
Weber dengan feodalisme klasik. Dasar kelas priayi yang memermtah
bukanlah pemilikan tanah yang berdiri sendiri melainkan sistem
penjatahan tanah sebagai sumter penghidupan (appanage benefices)
seperti yang telah dibicarakan di atas. Dan sebagian dari kebijaksanaan
penguasa patrimonial adalah mencegah agar hak-hak seperti itu tidak
menjadi turun-temurun (yang pada akhirnya menjadi dasar bagi struktur
sosial feodal yang lebih keras dan juga untuk memencarkan jatah-jatah
tanah (appanage) yang dikaitkan dengan suatu jabatan tertentu, dengan
maksud mencegah terjadinya konsolidasi setempat dari kekuatan
ekonomi, yang pada akhirnya mungkin menimbulkan suatu jenis tuan
tanah yang bebas dan merdeka.87
Sistem appanage itu sebenarnya berarti bahwa tanah di seluruh.
wilayah kerajaan adalah “milik” raja, dan surplus ekonominya (termasuk
tenaga petani yang mengerjakan tanah itu) adalah pemberiannya, yang
akan dibagikan menurut kehendak hatinya kepada para pejabat yang
87
Keterangan yang baik tentang perkembangan
setingkat demi setingkat dari slstem appanage di Jawa. muIai dari zaman sebeIum penjajahan sampai
kepada zaman penjajahan. dapat dilihat daIam buku SeIo Soemardjan. SOCUll Changes in
Yogyakarta (Ithaca N.Y. Cornell University Press, 1962), hIm. 25-27, 31-33, 216-220,272-275.
dianggapnya pantas menerimanya. Antara sistem seperti ini dan konsep
kekuasaan terdapat keserasian yang jelas, karena sistem itu sudah
sewajarnya mendorong gagasan-gagasan yang telah kita temui
sebelumnya: kekayaan (atau harta benda) adalah atribut kekuasaan, bukan
asal kekuasaan; status sosial ekonomi adalah suatu kualitas yang diperoleh
dari pusat, dan tidak ada artinya kecuali dalam hubungannya dengan
pusat. Sistem seperti itu juga mengandung arti bahwa kekayaan negara
adalah hadiah raja dan dapat didistribusikan ke bawah melalui jenjang
resmi sebagai keuntungan-keuntungan jabatan; namun pembagian itu
tidak boleh dianggap sebagai kewajiban penguasa terhadap para
pegawainya, tetapi lebih sebagai tanda kesukaan hatinya.
Mengingat apa yang telah kita gambarkan sebagai timbulnya kembali
paham patrimonial di Indonesia merdeka, maka pengaruh-pengaruh yang
tersisa dari sistem appanage dalam peri laku administratif dewasa ini
dapat dilihat dengan jelas, terutama dalam bidang korupsi. Kalau kita
kesampingkan korupsi kecil-kecilan yang dilakukan karena terpaksa
berhubung dengan keadaan ekonomi yang gawat, inflasi dan gaji yang
rendah, dan kita pusatkan perhatian kita kepada korupsi besar-besaran
yang mengambil bentuk resmi-semu, maka menarik sekali bagaimana
sedikitnya terdapat bukti tentang adanya jual beli jabatan ala Eropa klasik.
Kaum jutawan, baik dari kalangan pengusaha maupun tuan tanah,
biasanya tidak dapat membeli kedudukan-kedudukan administratif yang
mempunyai pengaruh dan kekuasaan bagi diri mereka sendiri. Dan
memang ketidakmampuan ini merupakan sebab keluhan yang biasa di
kalangan anggota-anggota tertentu dari kelompok yang sangat kecil ini.
Korupsi besar-besaran biasanya secara khas mengambil bentuk
menjatahkan “surplus” sektor-sektor kunci tertentu di bidang ekonomi
kepada para pejabat atau klik-klik pejabat yang disenangi penguasa
tertinggi, baik sipil maupun militer.88 Pengumpulan beras, tambang timah,
produksi dan distribusi minyak tanah dan pemungutan pajak hanyalah
beberapa contoh dari berbagai bidang di mana terjadi penyelewengan-
penyelewengan yang terjadi di bawah pengawasan pejabat. Dalam
kebanyakan kasus, korupsi ini tidaklah terutama demi keuntungan
langsung pribadi pejabat yang telah ditunjuk untuk mengawasi suatu
sektor ekonomi tertentu (walaupun pejabat seperti itu jarang ditemukan
dalam keadaan kesulitan keuangan). Korupsi itu secara khas digunakan
Sistem korupsi yang terorganisasi ini tentu saja
88

telah sangat diperluas semenjak negara Indonesia menguasai sumber-sumber ekonomi Indonesia
dalam kampanye anti-Belanda tahun 1957- 1958.
untuk membiayai seluruh sub-sektor aparat administratif. Ini berarti
bahwa terdapat suatu sistem pembiayaan sektor-sektor birokrasi yang
disukai penguasa dan disalurkan melalui arus korupsi yang tidak kelihatan
yang berjalan di samping struktur yang formal. Arus tersebut, yang
disalurkan ke bawah melalui suatu piramida tidak formal yang terdiri dari
kelompok-kelompok kawulo-gusti, berdasarkan model patrimonial yang
khas, digunakan untuk memperkuat kohesi kelompok-kelompok seperti
itu. Komisi-komisi, baik yang resmi maupun yang tidak resmi, sering
eukup distandardisasikan sehingga dapat dinamakan keuntungan -
keuntungan jabatan dalam pengertian tradisional. Dengan demikian,
dalam banyak sektor, korupsi telah menjadi suatu unsur pokok bagi
stabilitas organisasi birokrasi.
Semakin korupsi merupakan bagian utama dari pendapatan seorang
pejabat dan mengambil bentuk keuntungan jabatan resmi-semu, maka
semakin cenderung pula orientasi birokratis orang tersebut untuk bergeser
ke arah pelindung-pelindung langsung atau penguasa-penguasa di pusat.
Etika “memberikan pelayanan” yang boleh dikatakan murni kepada
rakyat, suatu etika yang dapat bertahan dalam suatu sistem yang
didominasi oleh gaji tetap yang cukup, dan norma-norma rasional-legal,
tentu saja sukar dipertahankan di bawah patrimonialisme yang bangkit
kembali. Dapat pula dikemukakan bahwa orientasi kepada para pelindung
dan para penguasa yang dilakukan oleh para pejabat yang korup, malah
menjadi semakin hebat dengan adanya korupsi yang setengah terselubung
dan bahkan pungutan liar terang-terangan dewasa ini. Dalam kondisi
seperti itu, perlindungan dari para atasan lebih-lebih diperlukan, dan
ketergantungan orang kepada mereka semakin meningkat.89
Walaupun struktur-struktur patrimonialisme dan konsep kekuasaan
tradisional bekerja ke arah yang sarna, dengan memfokuskan loyalitas
kelas yang memerintah ke dalam dan ke atas, namun kenyataan ini saja
tidak cukup untuk menerangkan tiada menyoloknya daya tarik gagasan-
gagasan perjanjian sosial (social contract) bagi golongan elite politik
Indonesia modern. Sejauh gagasan-gagasan seperti itu merupakan bagian
sentral dari pemikiran Barat konservatif dan liberal di mana golongan elite
ini telah terbiasa dalam sistem pendidikan kolonial, maka rasanya perlu
89
Ketergantungan korupsi resmi semu ini pada didudukinya posisi-posisi birokraktis tertentu
adalah suatu hal yang sangat menarik. Terdapat bukti sedikit yang menyatakan bahwa penguasaan
atas keuntungan-keuntungan seperti itu memberikan kepada pejabat yang bersangkutan basis
kekuasaan tersendiri dalam sistem politik, yang betul-betul dapat menghalangi dipecatnya dia dari
jabatan.
diberikan keterangan lebih lanjut. Untuk sebagian, gejala ini dapat
diterangkan dengan mengingat tersebarluasnya pengaruh Marxisme,
walaupun kadang-kadang dalam bentuk yang diperlemah dan
diputarbalikkan. Kritik Marxis terhadap teori perjanjian sosial sangat
efektif dalam suatu rezim kolonial - apa pun yang dinyatakannya
mengenai tujuan-tujuan etisnya - dalam praktiknya telah menjadikan
setiap teori tentang kewajiban-kewajiban timbal balik antara yang
memerintah dan yang diperintah suatu bahan ejekan belaka.
Tetapi kita dapat mencatat bahwa di masa setelah penjajahan,
terutama dalam apa yang dinamakan masa liberal (19501959), gagasan-
gagasan tentang perjanjian sosial amat sedikit memperoleh pengaruh atau
prestise baru. PKI sudah tentu tidak terpengaruh oleh pengertian -
pengertian seperti itu. Tetapi kelompok-kelompok kekuasaan lainnya
dalam dunia politik Indonesia, secara khas cenderung untuk berpegang
teguh pada konsepsi-konsepsi holistis tentang masyarakat Indonesia dan
dengan begitu menolak teori-teori mengenai pertentangan kelas dan
mengenai kewajiban-kewajiban kelas.
Pada umumnya, sedikit sekali dikembangkan pemikiran tentang
sosiologi politik Indonesia, dan sejauh terdapat suatu perspektif
sosiologis, maka perspektif itu berpusat pada pembagian elite massa, yang
dilambangkan oleh kata-kata “pemimpin” dan “rakyat”. Kata
“pemimpin”, sebagaimana juga sinonim-sinonimnya seperti “tokoh”,
“orang gede” dan “pembesar”, hampir tidak dibeda-bedakan sifatnya dan
diterapkan tanpa pembedaan pada para pejabat, para jenderal atau kaum
politisi. Di dasar paling bawah pada sistem politik itu terdapat rakyat,
lagi-lagi kata yang tidak mempunyai garis-garis batas sosiologis yang
jelas. Rakyat adalah mereka yang masih bodoh (bukan pemimpin dan
bukan elite). Pembagian ini jelas sejajar dengan pembagian lama antara
priayi dan wong cilik (orang kecil), serta antara mereka yang tahu baca
tulis dan mereka yang buta huruf.
Namun, rakyat selamanya menjadi suatu lambang sentral
nasionalisme Indonesia. Secara ideologis, revolusi nasional tahun 1945
dimaksudkan untuk mencapai kebebasan bagi rakyat. Pada orang-orang
yang berpikiran lebih radikal, revolusi nasional itu memang adalah hasil
usaha rakyat. Di sini kita menemukan suatu sikap yang tampaknya seperti
pembalikan intelektual sepenuhnya dari pandangan lama yang
berpendapat bahwa rakyat ada di pinggiran yang tidak penting dalam
sistem politik yang berorientasi kepada pusat yang amat berkuasa.
Tetapi dalam banyak segi, pembalikan ini lebih bersifat luar saja
daripada menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Kontradiksi formal
ini dapat diselesaikan tanpa susah payah dalam sebagian besar pemikiran
politik Indonesia modern.90 Pemecahan yang terkenal adalah pernyataan
Soekarno bahwa ia “penyambung lidah rakyat”. Walaupun beberapa
orang skeptis merasa bahwa Soekarno dan sebagian besar orang
segenerasinya dalam praktek telah menjadikan lidah rakyat agak pendek,
namun rumusan itu sendiri merupakan suatu campuran yang menarik
antara populisme modern dan gagasan-gagasan tradisional. Populisme itu
kelihatan dalam penolakan terhadap setiap teori liberal mengenai
perwakilan dan karena itu menolak gagasan-gagasan perjanjian sosial atau
kewajiban yang kompleks yang terkandung dalam teori-teori seperti itu.
Tema tradisional kelihatan dalam kemiripan yang dekat antara konsep
rakyat yang tidak dibeda-bedakan dan yang tinggal diam, dengan gagasan
lama tentang penduduk yang besar jumlahnya, yang merupakan atribut
pokok bagi kekuasaan. Dalam kerangka seperti itu, penyambung lidah
rakyat ternyata bukan pertama-tama merupakan penyambung lidah rakyat,
melainkan lebih merupakan fokus yang terpusatkan dari kekuasaan
masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi pernyataan Soekarno itu bukan
pernyataan komitmen, melainkan lebih merupakan pernyataan bahwa ia
mempunyai kekuasaan.
Jadi walaupun aspek populis formal dalam gelar Soekarno
mengandung unsur kewajiban, yaitu kewajiban menyatakan tuntutan-
tuntutan rakyat, tetapi sifat tradisional informalnya sarna sekali tidak
mengandung arti apa pun seperti itu. Kerenaahan hati yang terkandung
dalam gelar yang diberikan kepada dirinya sendiri itu semestinya tidak
menyembunyikan kemiripannya yang pokok dengan gelar-gelar
kemegahan lain yang banyak jumlahnya, seperti Pemimpin Besar
Revolusi, Pramuka Agung dan sebagainya, yang dipakai oleh Presiden.
Semua gelar seperti itu merupakan pernyataan bahwa Soekarno
mempunyai kekuasaan dengan jalan menyatukan lam banglambang
kekuasaan itu dengan namanya.
Walaupun begitu. adalah suatu kesalahan kalau kita menarik
kesimpulan dari apa yang baru saja dikatakan, bahwa· pandangan dunia J
awa tradisional tidak mengandung perasaan kewajiban dan tanggung
jawab. Tetapi kewajiban ini, dulu dan sekarang, adalah kewajiban
90
Walaupun Soekarno digunakan di sini sebagai
eontoh utama, tokoh-tokoh politik yang lebih keeiljuga mengungkapkan pemikiran yang serupa
dengan itu.
terhadap kekuasaan itu sendiri. Kita telah melihat bahwa kesejahteraan
masyarakat dianggap tergantung pada kemampuan pusat untuk
memusatkan kekuasaan, sedangkan pertanda luar dari surutnya kekuasaan
adalah berupa kebobrokan dan kehancuran masyarakat itu. Jadi tidak
terdapat pertentangan inheren antara akumulasi. kekuasaan pusat dan
kesejahteraan kolektivitas, bahkan kedua-duanya berhubungan.
Kesejahteraan kolektivitas bukannya tergantung pad a kegiatan-kegiatan
masing-masing komponennya, melainkan pada tenaga pusat yang
dikonsentrasikan. Kalau kewajiban ini terpenuhi, kesejahteraan rakyat
dengan sendirinya akan terjamin. Jadi, walaupun para penulis Jawa
tradisional sering menulis karangan-karangan panjang yang
membicarakan sikap yang pantas bagi seorang raja dan cara memerintah
negara, namun adalah suatu kesalahan untuk menyangka bahwa peri laku
yang merupakan kewajiban seorang raja ditentukan oleh keperluan-
keperluan rakyat, baik yang diucapkan maupunyang tidak. Penguasa harus
berkelakuan baik, karena kalau tidak begitu, kekuasaan akan surut atau
lenyap, dan kalau hal itu terjadi, akan hilang pulalah tatanan yang baik
serta kelancaran sistem sosial.

Penguasa dan Para Pengeritiknya


Walaupun mayoritas terbesar dari orang-orang yang dapat dinamakan
kaum inteligensia di Jawa tradisional tergabung ke dalam struktur
pemerintahan, namun di bagian pinggiran masyarakat masih terdapat
suatu jenis penting kaum “intelektual” yang memainkan peranan khusus. 91
Di dalam kepustakaan tradisional sebelum Islam, kelompok ini terdiri dari
para pertapa dan pendeta (resi, begawan, ajar) yang biasa tinggal di gua-
gua terpencil atau di lereng-lereng pegunungan yang sunyi, jauh terpisah
dari masyarakat ramai. Isolasi mereka secara fisik menyatakan
terpisahnya mereka secara fundamental dari saling ketergantungan yang
ada dalam kehidupan masyarakat. Ajar itu (dengan para cantrik atau
murid-muridnya) selalu berswasembada, dan berada di luar orde politik.
Ia menarik diri dari masyarakat untuk mengembangkan kemampuan
melihat hal-hal yang akan terjadi, mempelajari rahasia-rahasia alam
91
Dalam pengertian yang umum, yang dapat
dianggap sebagai kaum inteligensia ialah seluruh kelas pejabat yang tahu baca tulis. Dalam
pengertian yang lebih sempit, golongan itu terbatas pada para pujangga (penyair istana dan
pengarang babad), para ahli nujum dan penasihat politik tidak resmi dari raja. Dalam kepustakaan
wayang, contoh yang .menonjol adalah Pandita Duma, seorang brahma, pendidik para pangeran dan otak
pihak Kurawa.
semesta, dan mempersiapkan diri untuk mati. Lakon-lakon wayang dan
babad-babad penuh dengan gambaran-gambaran tentang tokoh. tokoh
yang amat dihormati ini, yang bertapanya telah memberikan ngélmu
khusus kepada mereka mengenai keadaan batin dunia dan mengenai arus
kekuasaan di masa depan. Peranan khas juru ramal ini adalah
mendiagnosa kebobrokan di dalam kerajaan dan memberi peringatan
tentang jatuhnya dinasti yang semakin dekat. Reaksi raja yang biasanya
dicatat adalah kemarahan. Juru ramal itu dipukuli, disiksa dan dibunuh.
Tetapi kekerasan yang dilakukan itu sendiri adalah pratanda bahwa
ramalan-ramalan peramal itu sedang menjadi kenyataan. Tindakan
kekerasan yang diambil penguasa itu jelas memperlihatkan bahwa ia
dikuasai oleh nafsu-nafsu pribadinya. Sebaliknya, justru karena peramal
itu telah mengundurkan diri dari masyarakat untuk selama-lamanya, maka
tidak mungkin ia dipengaruhi oleh pamrih. Justru karena orang percaya
bahwa peramal itu mempunyai kemampuan melihat hal-hal yang bakal
terjadi, maka restunya dianggap sangat penting demi suksesnya calon
pengganti raja atau seorang calon pendiri dinasti baru. Restu itu tidak
akan diperoleh, kecuali jika peramal itu yakin bahwa penerimanya akan
berhasil. Dialah yang melihat pratanda-pratanda pertama berpindahnya
wahyu dan mengetahui tujuan akhir wahyu itu.
Penarikan diri ajar itu dari masyarakat dan dari politik adalah suatu
unsur yang sangat penting dalam pengaruhnya dan dengan sendirinya juga
dalam kewibawaan kritiknya; otoritas kritik yang ia tujukan kepada
penguasa tergantung pada keadaan ini. Peramal itu tidak berasal dari pusat
dan tidak tergantung dari pusat. Tiadanya kepentingan politik bagi dirinya
sendiri membuat peramal itu menjadi suatu barometer yang dihormati
(dan disegani) bagi nasib para penguasa, baik dalam pandangan penguasa
itu sendiri maupun dalam· pandangan pihak-pihak ketiga yang merasa
berkepentingan (umpamanyakaum pemberontak, para hamba, dan lain-
lain).
Ajar klasik sebagian besar lenyap dengan masuknya agama Islam
dan kemudian dengan diletakkannya kekuasaan birokratis kolonial
sebagai lapisan atas. Namun peranan sosial dan politiknya, kalau kita
dapat berbicara dengan memakai paradoks, tidaklah hilang. Samudja
Asjari secara eksplisit telah memperlihatkan kaitan antara ajar dan kiai
Islam di pedesaan pada masa-masa tidak lama sebelum datangnya
penjajahan dan dalam masa penjajahan. Dalam gambarannya mengenai
pesantren, kita temui sifat-sifat yang pada pokoknya sarna dengan yang
terdapat dalam kelompok ajar-cantrik di masa-masa sebelumnya, seperti
pemisahan dari masyarakat ramai secara fisik, bertapa, pencarian ngélmu,
dan pengasingan diri yang hampir total dari struktur-struktur politik
administrasi negara.92 Penarikan diri yang biasa dilakukan kiai dari
kehidupan politik menjadikan campur tangan mereka, bilamana terjadi,
berpengaruh besar secara psikologis. Kenyataan bahwa kiai itu sekarang
menjadi tokoh agama Islam tidak mengubah sesuatunya secara
fundamental, karena Islam yang dianut kiai itu adalah dari suatu jenis di
mana unsur-unsur tradisional tetap sangat kuat; bersifat intuitif, pribadi
dan mistis, dan karena itu mewarisi banyak hal dari agama sebelum Islam.
Walaupun para penguasa mempunyai pejabat-pejabat Islam di antara
pengiringnya (yaitu penghulu dan bawahan-bawahannya) sebagai bagian
dari kaum inteligensia istana, dengan fungsi memperbesar kemegahan dan
kekuasaan pusat, namun para tokoh agama ini mempunyai pengaruh yang
kecil saja. Sebaliknya kiai “bebas” di pedesaan yang tidak pernah terserap
ke dalam struktur negara, membangun reputasi-reputasi tersendiri, sering
kali di desa-desa yang jauh terpencil dari pusat-pusat istana.
Kiai biasanya tetap menjauhkan diri dari kehidupan politik negara.
Hanya di waktu-waktu gawat dan kacau, mereka mungkin keluar dari
pesantren dan memimpin para santrinya yang taat, untuk memainkan
peranan yang tidak berlangsung lama tetapi kadang-kadang menentukan,
dalam menumbangkan suatu orde yang lama dan membangun suatu orde
yang baru, sebelum menarik diri kembali ke tempat ia mengasingkan diri.
Para ahli sosiologi modern barangkali mengharapkan timbulnya
pemimpin-pemimpin kharismatis seperti itu pada waktuwaktu keresahan
sosial; kebanyakan tulisan tentang gerakan mesianis Jawa menekankan
hal ini.93 Tetapi dipandang dari kerangka intelektual tradisional, sekali
lagi urutan sebab-akibat harus dibalik. Munculnya tokoh-tokoh seperti itu
secara tiba-tiba ke dalam gelanggang politik mengungkapkan adanya
kebobrokan dari dalam atau kekacauan di dalam orde sosial; bahkan
mempercepat proses ini. J adi kiai kelihatan mewarisi banyak peranan dan
status ajar yang ada sebelumnya.

92
Samudja Asjari, hIm. 84, 101-105.
93
Bandingkan Sartono Kartodirdjo, The Peasants' Revolt of Banten in 1888, terutama halaman
154-175; G.W.J. Drewes, Drie Javaansche Goeroe's, Hun Leven, Onderricht en Messiasprediking
(Leiden, Vros 1925); L\I. Van der Kroef, "Javanese Messianic Expectations: Their Origins and
Cultural Context" Comparative Studies in Society and History. 1. no. 4(1959). 299 -323.
Di zaman penjajahan, kiai pedesaan itulah, dan bukan penghulu kota,
yang selalu menimbulkan kerepotan bagi penguasa-penguasa asing.
Seperti halnya kerajaan-kerajaan tradisional, birokrasi pemerintah
kolonial pun tidak menemukan tempat struktural bagi kiai dan
pesantrennya. Para penguasa kolonial dapat saja menindas pemberontakan
kiai, jika hal ini terjadi, tetapi penindasan itu tidak meningkatkan
pengaruh dan kewibawaan pemerintah. Seperti halnya kekerasan yang
dilakukan terhadap ajar tidak dapat menyangkal kebenaran ramalannya,
malah menunjukkan sifat penuh pamrih dari pemerintahan yang
bersangkutan, maka penindasan yang dilakukan terhadap kiai dapat
dianggap sebagai pratanda kebobrokan yang terdapat dalam pemerintah
kolonial.
Dapatkah garis intelektual ajar itu ditelusuri sampai ke masa kita
sekarang ini? Kiai sarna sekali belum hilang dari daerah pedesaan.
Masuknya mereka ke dalam dunia politik secara besar-besaran dalam
waktu tiga puluh tahun terakhir ini hanya terjadi dua kali, yaitu pada tahun
1945 dan pad a tahun 1965.94 Dalam kedua peristiwa itu campur tangan
mereka memberi pratanda akan timbulnya perubahan besar dalam
pemerintahan yang berkuasa - dan memang telah membantu melahirkan
perubahan itu - yaitu dari kekuasaan Jepang kepada kekuasaan republik
pada tahun 1945, dan dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru pada
tahun-tahun 1965-1966. Dalam kedua peristiwa itu, para kiai bertindak di
luar kerangka politik yang ada, dan dalam banyak segi penting mereka
berada di luar kekuasaan kelompok yang berkuasa, baik yang sedang
menanjak, maupun yang sedang surut. (Dalam kedua kasus itu, mereka
tidak terus langsung mengambil bagian dalam kekuasaan pusat yang
baru). Tetapi di samping itu, peranan yang dimainkan sebagian kaum
inteligensia modern yang tinggal di kota, 9595 dan sikap-sikap para
penguasa dan sebagian kalangan tertentu dari masyarakat dewasa ini
terhadap mereka, memperlihatkan kesamaan bentuk yang menyolok
dengan tradisi yang telah kita bicarakan.96
94
Untuk beberapa bahan tentang masa 1945, lihat
B.R.O·G. Anderson. 'The Pemuda Revolution' (Ph.D. Tesis, Cornell University, 1967), him. 7-12. 209.
234, 316, 324.
95
Saya menggunakan istilah 'inteligensia' sebagai sinonim istiJah kaum intelek, yang kasarnya
mencakup orang-orang yang telah mendapat pendidikan tinggi gaya Barat.
96
Saran ini dapat diajukan tanpa menutup mata terhadap kenyataan bahwa dalam setiap
pembicaraan mengenai peranan-peranan yang dimainkan secara sadar oleh kaum intelek kota di
Indonesia sekarang ini, pengalaman-pengalaman masa lampau di Barat dan tuntutan-tuntutan
sosiologis adalah sangat penting. Kaum intelek yang berpendidikan Barat telah mewarisi tradisi yang
kuat untuk berbeda pendapat, sebagaimana yang terdapat dalam sejarah intelektual Barat modern,
Pada bagian akhir masa penjajahan, kita temui kesamaan struktural
yang jelas dengan dikotomi lama antara pejabat yang terdidik di pusat
patrimonial, dan ajar serta kiai yang terisolasi. Walaupun sebagian besar
dari orang Indonesia yang terpelajar merupakan bagian dari birokrasi
kolonial atau menjadi kaki tangannya, kaum inteligensia nasionalis yang
keeil, jumlahnya, sebagian atas kemauan sendiri, dan sebagian karena
dipaksa keadaan, berada di luar struktur kekuasaan kolonial. Prestise
kelompok ini tergantung pada sikapnya yang tampaknya tanpa pamrih,
sejauh mereka mengatakan berbieara tidak untuk diri sendiri, tetapi atas
nama seluruh rakyat yang tertindas. Kelompok itu juga mengaku memiliki
pengetahuan yang khusus dan mendalam mengenai jalannya sejarah dan
kebobrokan dalam orde yang berkuasa, yaitu pengetahuan yang sebagian
besar berdasarkan atas kritik Leninis terhadap imperialisme, yang mereka
serap dari Barat.
Dengan berkuasanya golongan inteligensia nasionalis setelah tahun
1945, mungkin orang mengira bahwa persamaanpersamaan struktural
seperti itu telah hilang. Namun, terutama dalam hal tingkah laku dan
sikap-sikap golongan inteligensia nonteknis, kita dapat mengatakan
bahwa tradisi-tradisi yang sarna masih tetap ada: yaitu tradisi utama
mengenai pengabdian dan pengagungan terhadap kekuasaan pusat, dan
tradisi sekunder berupa pengasingan diri serta menyuarakan kritik (yang
lain daripada oposisi partisipatif). Di waktu Soekarno sedang jaya -
jayanya, ketika kekuasaan pusat yang menarik itu sedang besar sekali,
menteri-menteri tertentu seperti Subandrio, Ruslan Abdulgani, Prijono,
dan juga beberapa politisi Islam terkenal, dilihat oleh para pengamat
sebagai orang-orang yang melakukan fungsi-fungsi kuno dengan selubung
baru. Kalau mereka kadang-kadang dinamakan pujangga (penyair istana)
atau penghulu Demokrasi Terpimpin, maksudnya bukanlah semata-mata
bergurau.97

yang demikian baik diterangkan dalam buku Julien Benda, La Trahison des Clercs. Pengaruhyang
dimiliki sikap oposisi dan skeptis di dalam sejarah intelektual Barat sudah pasti besar pengaruhnya
terhadap bagaimana kaurri intelek Indonesia membayangkan dirinya. Lihat karangan S. Tasrif,
"Situasi Kaum intelektuil di Indonesia," Budaya Djaja (Sept. 1968), untuk mengikuti pembicaraan
panjang lebar tentang buku Benda dan implikasiimplikasinya bagi kaum inteleh,'tual di bawah
pemerintahan Soekarno. Lagi pula, ketidakseimbangan yang terus-menerus meningkat antara jumlah
kaum intelektual danjabatan-jabatan administratif dan politis yang tersedia, sudah pasti menimbulkan
sejumlah besar orang terdidik atau setengah terdidik yang tidak dapat masuk ke dalam aparatur
pemerintahan.
97
Orde Baru telah menemukan orang-orang yang memainkan peranan seperti itu. Di antara
orang-orang yang menentang Demokrasi Terpimpin, tidak sedikit yang berambisi memainkan peranan
pujangga dan penghulu bagi kepemimpinan baru dan dalam pusat yang baru pula.
Sebaliknya, di antara para pengeritik pemerintah, ada juga orang
yang memainkan, atau dianggap memainkan, sejenis peranan ajar atau
kiai. Di sekeliling beberapa tokoh yang menyendiri ini berkumpullah para
cantrik yang setia, orangorang muda dari daerah, yang bergantung pada
mereka untuk memperoleh pendidikan intelektual dan bimbingan
kerohanian.98 Kemampuan tokoh-tokoh yang berada di luar struktur
kekuasaan seperti itu untuk memperoleh para pengikut, tergantung pada
kharismanya, pada tiadanya pamrih dari segi moral, dan reputasi mereka
sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan meramalkan nasib
penguasa pusat dan identitas para pengganti yang potensial. 99 Kelemahan
politik kaum intelektual seperti itu, seeara paradoksal mengungkapkan
kemampuan mereka yang sesungguhnya. Ini bukan berarti bahwa orang-
orang yang berkuasa, apakah Soekarno ataupun militer, tidak akan
menindas para pengeritik mereka. Tetapi penindasan itu biasanya tidak
akan memperbesar kekuasaan para penguasa, sejauh peranan pengeritik
itu dirasakan atau dilihat dalam pengertian-pengertian yang kurang lebih
bersifat tradisional. Jadi pada akhirnya, sekurang-kurangnya akan sarna
besarlah bahayanya bagi pihak yang berkuasa untuk menindas para
pengeritik yang tidak berdaya ini, yang sedikit banyak berada di luar
sistem politik, dibandingkan dengan menindas oposisi kuat yang berada di
dalam sistem itu. Kalau menindas oposisi di dalam sistem dapat dianggap
sebagai pengungkapan dan peningkatan kekuasaan pusat, maka
menghancurkan oposisi para pengeritik di luar sistem itu dapat dianggap
sebagai pratanda sudah dekatnya disintegrasi pusat. Dengan melakukan
kekerasan terhadap para pengeritik yang tidak berdaya itu, maka penguasa
telah menegaskan kebenaran kritik itu serta memperkuat kebenaran
ramalan mereka. Sekali lagi, walaupun dalam bentuk yang berbeda, kita
temui penegasan kembali paradoks yang telah dikemukakan dulu;
menggenggam kekuasaan dapat berarti kehilangan kekuasaan itu,

98
Orang-orang seperti itu sering dianggap oleh para
pengikutnya yang mudamuda sebagai orangorang yang mempunyai "kunci" terhadap masalahmasalah
politik dan lain-lain, yang akhirnya akan diungkapkan kepada yang paling berhak di antara para
pengikutnya. Kunciisme ini merupakan ciri yang menonjol dari sikap banyak mahasiswa terhadap
beberapa aspekpendidikan universitas formal.
99
Sejak bermulanya Orde Baru. dikotomi yang serupa dapat dikatakan tetah membelah gerakan
mahasiswa. Sebagian pemimpin mahasiswa tetah mengasosiasikan dirinya dengan hirarki pusat,
dengan memberi nasihat kepada pemerintah, berbicara untuk pemerintah, dan mengabdikan diri
dengan berpartisipasi secara aktif dalam struktur pemerintahan. Sementara itu yang lainnya tetap
bersikeras untuk menjauh dan memencilkan diri. Ketompok inilah yang tetap ingin melihat
mahasiswa dan kaum intelektual menjadi suatu kekuatan moral, yang komitmennya bukan kepada
pemerintah melainkan kepada gagasan-gagasan yang menurutpemerintah itu sedang dipraktikkannya.
sedangkan menarik diri dari kekuasaan dapat berarti menghimpun
kekuasaan itu.

Suatu Catatan tentang Islam


Setelah argumentasi ini demikian jauhnya, kita dapat beralih ke
hubungan antara tradisi pemikiran politik ini dengan Islam Jawa dan
meneliti hubungan itu secara singkat. Analisis seperti ini dapat
memperjelas pertentangan yang semakin meningkat antara kelompok-
kelompok Islam yang penting dengan pendukung-pendukung utama
tradisi Jawa, yang telah menjadi terma pokok dalam politik Indonesia
dewasa ini. Lagi pula, semenjak timbulnya apa yang dengan tepat sekali
dinamakan oleh Clifford Geertz scripturalism100 Islamiah di Jawa di abad
ke-20, maka dapat ditarik beberapa implikasi penting tentang gej ala
umum kharisma, yaitu implikasi-implikasi yang akan saya kemukakan
dalam kesimpulan karangan ini.
Telah dikemukakan bahwa di masa-masa permulaan masuknya ke
Jawa; Islam telah mengambil alih peranan-peranan tradisional pra-Islam
tertentu, seperti misalnya penasihat istana, ahli nujum, brahmin dan resi.
Asimilasi ini mustahil terjadi kalau tidak ada unsur-unsur persamaan dan
kecocokan yang besar antara jenis Islam yang masuk ke Jawa dalam abad
ke-1 5 dan abad ke-1 6, dengan tradisi lama tetap menonjol, terutama
dalam asosiasi Islam dengan lambang-Iambang kekuasaan yang terdapat
di masa-masa sebelumnya. Suatu ilustrasi yang jelas mengenai hal ini
adalah sekumpulan legenda yang mengatakan bahwa unsur-unsur pokok
kebudayaan pra-Islam, seperti wayang atau gamelan diciptakan dan
dikembangkan oleh para wali, yaitu orang-orang suci penyebar agama
Islam Jawa dulu kala. Suatu contoh lain yang terkenal adalah penafsiran
yang diberikan kepada nama pus aka Prabu Yudistira, yaitu Serat
Kalimasada, sebagai Kalimah Sahadat, yaitu pengakuan iman dalam Al
Qur'an.101

100 Clifford Geertz, Islam Observed, terutama hIm.


56-74.
101 Lihat umpamanya Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga (Kudus, Menara Kudus, 1960), hIm.
35-5 1, untuk peranan Wali yang secara kultural bersifat pembaruan. Solichin Salam sebenarnya
mempergunakan kata-kata "asimilasi kebudayaan" untuk menggambarkan karya Sunan Kalijaga (hIm.
48). Untuk penyatuan Kalimasada-Kalimah Sahadat, lihat hIm. 66 buku itu. Untuk keterangan
terperinci mengenai peranan wali yang dianggap ada dalam memperkembangkan wayang menjadi
bentuk-bentuknya yang modern, lihat L. Serrurier De Wayang Poerwa (Leiden, Brill 1896), hIm.
Bahwa masuknya Islam itu lebih bersifat asimilatif daripada
revolusioner dapat dikatakan disebabkan oleh kenyataan bahwa Islam
datang ke Jawa “mengiringi perdagangan, dan bukannya untuk
penaklukan.”102 Islam pertama-tama dibawa oleh para pedagang dan tidak
pernah kehilangan ciri-ciri aslinya, ialah dengan mengembangkan
pengaruhnya yang terkuat pada lapisan menengah, yaitu kaum saudagar,
dan bukan pada lapisan tinggi, yaitu golongan pejabat, atau pada lapisan
bawah, ialah golongan petani. Setelah melalui suatu masa permulaan yang
fanatik, kelompok-kelompok Islam yang saleh sedikit banyak terserap ke
dalam keadaan patrimonial. Di satu pihak, againa Islam yang datang ke
Jawa melalui Persia dan India telah mengalami proses patrimonialisasi
dan karena itu pada umumnya sesuai dengan pandangan Jawa tradisional
mengenai dunia (terutama mengenal peranan dan pentmgnya penguasa).
Di lain pihak, sesudah abad ke- 15, para. penguasa mempergunakan gelar-
gelar keislaman, memiliki pejabat-pejabat Islam di antara pengiringnya,
dan menambahkan “Islam” dalam perbendaharaan benda-benda keramat
mereka. Namun pengislaman para penguasa secara lahiriah ini
kelihatannya tidak menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam cara
hidup atau pandangan mereka. Masuknya Islam hampir tidak mengubah
susunan atau cara merekrut kaum elite politik J awa, atau mempengaruhi
kerangka intelektual pemikiran politik tradisional. 103 Dengan
mempergunakan istilah Gramsci, kebudayaan Islam yang hegemonic tidak
pernah berkembang di mana pun di Jawa. Kesadaran diri orang-orang
Islam yang saleh tetap hanya dalam batas lingkungan kelompoknya
98107. Banyak keterangan Serrurier adalah berdasarkan manuskrip yang tidpk diterbitkan dari R.
Adipati Sastranegara, Patih Surakarta, yang dikirimke Amsterdam dalamtahun 1883.
102 Geertz, Islam Observed, hIm. 12.
103 Tetapi Denys Lombard telah menunjukkan kepada saya bahwa dalam abad ke-19, sekurang-
kurangnya ada satu contoh penting dari pemikiran politik Islam yang dipelajari di kalangan keraton di
Jawa Tengah, yaitu buku Tadjus Salatin yang dikatakan ditulis oleh Imam Bukhari ul Djauhari pada
tahun 1603 yang diterangkan tepat sekali oleh Hooykaas: "judulnya bahasa Arab, isinya Islam Persia,
bahasanya bahasa Melayu dan dikarang di Aceh" (c. Hooykaas, Over Maleise Literatuur, (Leiden,
Brill, 1947), hIm. 166). Menurut Soebardi "The Book of Tjabolek" (Ph.D. Thesis, Australian National
University, Canberra, 1967), him. 69-70, buku Tadjus-Salatin diterjemahkan dan disesuaikan dengan
sajak Jawa oleh pujangga besar Surakarta, Jasadipura I(1729-1803), besar kemungkinannya di tahun
1759. Menurut RM.Ng. Poerbatjaraka, Kapustakan Djawi (Jakarta, Djambatan, 1952), hIm. 143-144,
Jasadipura telah mengarang karya ini pada tahun 1726, yang kelihatannya tidak mungkin kalau
diperhatikan tanggallahirnya. Masalah ini lebih dikacaukan lagi oleh Th. Pigeaud, Literature of
Java, 1 (The Hague, NijhofI, 1967), 100, yang mengutip pandangan Poerbatjaraka tetapi
mengatakan Jasadipura adalah penyair permulaan abad ke-I9! Bagaimanapunjuga, versi Jasadipura
sering dicetak dalam bentuk buku sejak akhir abad ke-19, terbit di Semarang pada tahun-tahun 1873 dan
1875 dan di Surakarta pada tahun-tahun 1905 dan 1922 (Poerbatjaraka, hIm. 144). Jadi dapat diperkirakan
bahwa pengaruhnya yang besar telah terjadi pada waktu pengaruh Islam umumnya sedang
berkembang dengan cepat di J awa sebagai akibat dari gerakan reformasi di Timur Tengah.
saja.104 Subordinasi politik dan subordmasl kebudayaan berlangsung
bersama-sama.
Dalam dua puluh lima tahun terakhir abad ke-19, baik kedudukan
sosial-ekonomi maupun pandangan hidup golongan Islam yang saleh di
Jawa mulai berubah. Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1870 sangat
meningkatkan hubungan Jawa dengan Timur Tengah, pada waktu apa
yang dinamakan gerakan reformasi Islam sedang mengalami masa
jayanya. Para Jemaah yang pulang dari menunaikan ibadah hajl
menyiarkan gagasan pokok gerakan ini di antara para pendengar mereka
yang sangat bersemangat untuk menerimanya. Gagasan pokok gerakan ini
adalah tentang perlunya mengusahakan kembali Islam yang “murni” dan
“progresif”' seperti di zaman Nabi, dan menolak tambahan-tambahan
heterodoks yang “bukan-Islam” yang masuk selama abad-abad
sesudahnya.
Sebab-sebab terdapatnya kesediaan besar untuk menerima gagasan-
gagasan scripturalist ini akhirnya dapat dicari pada pengaruh kapitalisme
dan teknologi Belanda yang semakin mendalam terhadap kehidupan sosial
da n ekonomi tradisional, dan pengaruh rasi onalis me yang
mensekularisasikan kepercayaan-kepercayaan tradisional. Islam
reformasi, sebagaimana yang tumbuh dan menyebar di Jawa dalam abad
ke-20, merupakan tanggapan rasionalisme religius terhadap tantangan-
tantangan yang diciptakan oleh perkembangan-perkembangan ini. Hampir
setiap unsur Islam tradisional, selain daripada asas-asas pokok
kepercayaan, telah terkena oleh kecenderungan rasionalisasi ini. Dalam
proses ini, banyak unsur tradisional dibuang, termasuk unsur-unsur yang
telah memberikan kemungkinan terjadinya persesuaian yang telah
berlangsung lama antara Islam dan pemikiran politik Jawa tradisional.
Hasilnya adalah semakin meningkatnya kesadaran akan diri sendiri dan
rasa pertentangan antara orang-orang Islam reformis yang saleh dan
orang-orang sesama Jawa. Dalam pertikaian ini, golongan reformis
terhalang tidak hanya oleh oposisi mereka, yang dari segi sosiologi
bersifat menengah dan dari segi ekonomi lemah, tetapi juga oleh masalah-
masalah intelektual yang timbul karena ditingalkannya tradisionalisme
asimilasionis. Karena asumsi-asumsi fundamental Islam reformis itu telah
menyimpang secara drastis dari asumsi-asumsi Jawa tradisional, maka
pengikut-pengikutnya merasakan perlunya menemukan jawaban-jawaban
104 Antonio Gramsci, The Modem Prince and Other
Writings (New York, International, 1957), hIm. 154-156, 168-173.
baru bagi masalah-masalah politik yang telah dijawab oleh tradisi lama
yang sedikit banyak memuaskan bagi zamannya.
Dalam kosmologi Islam modernis, konsepsi Jawa tentang Tuhan
sebagai sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak dapat diraba, yang
memenuhi seluruh alam semesta, telah digantikan oleh suatu Tuhan yang
dipisahkan secara tajam dari karya-karya tanganNya. Antara Tuhan dan
manusia terdapat jarak yang tidak terukur jauhnya. Tuhan itu mahakuasa,
maha mengetahui dan maha pengasih. Manusia tidak lebih daripada
ciptaanNya. Karena itu, dalam arti tertentu, kekuasaan telah dipindahkan
dari dunia, karena kekuasaan terletak para Tuhan, yang bukan dari dunia
ini, melainkan di atas dan lebih dulu adanya daripada dunia. Selanjutnya,
karena jurang antara Tuhan dan manusia itu lebar dan kekuasaan Tuhan
itu mutlak, maka seluruh umat manusia sama-sama tidak ada artinya di
hadapan kebesaran Tuhan. Tetapi justru kesamaan inilah yang
menimbulkan masalah-masalah bagi suatu teori politik dan pengabsahan
yang langgeng terhadap ketidaksamaan politik dan kekuasaan. Seandainya
semua orang sarna hina-dinanya dalam pandangan Tuhan maka apakah
dasar keagamaan bagi penguasaan politik seseorang atas orang lain?
Karena kosmologi Jawa tidak membuat perbedaan tajam antara dunia
ini dan dunia transendental, maka tidak terdapat pegangan di luar dunia
ini yang dapat digunakan untuk mengukur tindakan-tindakan manusia.
Bagi orang Jawa tradisionalis yang sangat dipengaruhi oleh gagasan
mengenai Tuhan yang imanen di dunia ini, hampir semua aspek peri laku
boleh dikatakan mempunyai isi “politik”, sejauh aspek-aspek itu mungkin
mempengaruhi pembagian dan pemusatan kekuasaan. Hal mana adalah
satu-satunya yang telah menjadikan masyarakat di mana mereka hidup
dapat teratur dengan baik, makmur dan stabil. Keputusan-keputusan
penguasa tidak mempunyai kadar etika yang tetap dan inheren; keputusan-
keputusan itu dinilai berdasarkan tingkat sampai di mana, dalam situasi
atau masa yang mana saja, keputusan-keputusan itu meningkatkan atau
merongrong pemusatan kekuasaan. Dari sinilah asalnya relatifisme
pemikiran Jawa tradisional yang telah banyak diulas.
Sebaliknya, aliran-aliran yang lebih baru dalam Islam terutama
menekankan gagasan bahwa hukum Islam adalah berdasarkan perintah-
perintah Tuhan kepada orang-orang yang beriman, yang diturunkan
melalui diri Nabi. Perintah-perintah ini mempunyai nilai transenden tetap
dan digunakan sebagai dasar yang tetap untuk menilai setiap hukum
politik yang diciptakan man usia. Hukum seperti itu tidak mempunyai
status inheren. Jadi etika dan kekuasaan duniawi dengan demikian
dipisahkan secara radikal.
Logika perspektif rasionalis ini tampaknya menunjuk ke arah suatu
struktur politik dan hukum yang benar-benar sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam yang telah dimurnikan. Dalam pandangan kaum reformis, timbul
masalah mengenai status struktur-struktur politik dan hukum yang tidak
diatur atas dasar itu. Masalah itu terasa dalam bentuk yang amaf tajam di
dalam suatu masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia, dan
mendasari pertentangan mengenai “Negara Islam”. Kalau logika
rasionalisme Islam itu diikuti sampai akhir dalam keadaan seperti itu,
tentu tidak dapat dielakkan bahwa tindakan itu akan membangkitkan
pertentangan terhadap pihak orang-orang Islam “statistik”, kaum Kristen,
orang-orang sekuler dan lain-lain. Kalau logika ini tidak diikuti, maka
sudah pasti timbul rasa frustrasi di kalangan orang-orang Islam yang
saleh.
Kita telah memperhatikan hubungan yang erat antara kekuasaan dan
status dalam pandangan orang Jawa. Karena itu tidaklah mengherankan
kalau orang Jawa tradisional biasanya memandang politikus sebagai orang
yang tinggi kewibawaannya, kecuali kalau ia menyalahgunakan
kekuasaannya karena pamrih, dalam hal mana kekuasaannya akan surut.
Tetapi dalam pandangan dunia Islam modernis, kita telah melihat
bagaimana kecilnya status yang diberikan kepada kekuasaan duniawi,
justru karena semua kekuasaan sesunguhnya terletak di tangan Tuhan.
Sesuai dengan itu, politikus Islam tidak mempunyai tuntutan yang inheren
demi kekuasaan, kecuali barangkali selama ia berbicara atas nama Tuhan.
Namun seorang politikus yang mengangkat dirinya sebagai juru bicara
Tuhan berada dalam posisi yang cukup rawan. Dalam masyarakat Islam,
status tertinggi diberikan kepada ulama, yaitu orang yang mempunyai
pengetahuan mendalam tentang hukum agama dan ajaran-ajaran Nabi.
Arti status itu tentunya terbatas pada golongan Islam yang saleh saja.
Sebaliknya politikus, lebih-lebih dalam masyarakat majemuk seperti
Indonesia sekarang ini, akan terus-menerus dihadapkan dengan keperluan
untuk berdampingan dan berhubungan dengan kelompok-kelompok non-
Islam atau yang namanya saja Islam. Kalau hubungan itu tidak semata-
mata bersifat menindas, maka politikus Islam itu cenderung untuk
d.ianggap mengaburkan garis-garis batas antara “kami” dan “mereka” dan
mengotori kemurnian ajaran Islam.105 Dengan sedikit perkecualian yang
jarang terjadi, politikus Islam modernis terjerat dalam dilema yang sangat
gawat. Selama ia benar-benar mewakili tuntutan-tuntutan Islam, ia akan
mempunyai pengaruh yang besar dalam komunitasnya sendiri, tetapi
kurang laku bagi bangsa secara keseluruhan; dan sejauh ia berhasil
menggarap hubungan-hubungan baik dengan kelompok-kelompok di luar
umat dan menyebarluaskan pengaruhnya yang efektif dalam masyarakat
umumnya, maka pengaruhnya dalam komunitasnya sendiri mungkin
menurun. Dilema ini timbul dari kenyataan bahwa dalam Islam rasionalis
modernis tidak terdapat suatu pembenaran apa pun yang dapat diterima
bagi jenis sinkretisme dinamis yang khas bagi pemikiran Jawa tradisional.
Pengaruh seseorang seperti Soekarno di kalangan orang Jawa tradisional
dapat menjadi semakin besar sejauh ia berhasil menyerap lambang -
Iambang Islam ke dalam tanda-tanda kebesarannya. Seorang Islam seperti
Natsir tidak akan dapat menyerap lambang-Iambang non-Islam, karena
seandainya ia berbuat demikian, kemungkinan besar ia akan merusak
pengaruh dan kewibawaannya di dalam komunitasnya sendiri.106

Kesimpulan-kesimpulan
Kalau argumentasi keseluruhan karangan ini ada benarnya, maka
timbullah dua pertimbangan yang sangat umum. Yang pertama
menyangkut hubungan antara struktur intelektual kebudayaan tradisional,
dan penerimaan, perubahan, atau penolakan berbagai aspek kelembagaan
dan pemikiran dari apa yang dinamakan modernisasi. Yang kedua
menyangkut sejauh mana analisis mengenai konsepsi Jawa tentang
kekuasaan mungkin membantu dalam memikirkan bentuk-bentuk
kekuasaan di luar dunia Jawa, baik dalam masyarakat-masyarakat
praindustri maupun pada bangsa-bangsa industri di Barat.

105 Orientasi ke pusat yang merupakan sifat


pemikiran Jawa berarti tiadanya perhatian besar kepada tapal batas sebelah luar atau lingkungan
masyarakat sebelah luar. Islam, sebaliknya sebagai suatu agama besar di dunia yang mencari pengikut,
saya kira, selalu sadar akan lingkaran luarnya, dan selalu sadar akan garis pemisah antara “kami”, yaitu
umat, dan"mereka", yaitu orang-orang kafir. Di Indonesia abad ke-20, perasaan . ke-“kami”-an ini tentu
saja telah amat diperkuat oleh politik kolonial Belanda yang berbentuk manipulasi dan tekanan,
persaingan dengan misi Kristen yang agresif dan kaya, dan oleh menyebarnya pemikiran-pemikiran
sekuler. Orang hampir dapat mengemukakan bahwa justru karena semakin tiadanya perasaan akan
adanya pusat, masyarakat Islam modernis semakin cenderung untuk mendeflnisikan dirinya dengan
tapal-tapal batasnya.
106
Natsir, bekas Perdana Menteri dan pemimpin partai Islam reformis Masyumi, agaknya adalah
seorang politikus Islam yang paling dihormati di masa setelah kemerdekaan.
Saya telah mencoba memperlihatkan keutuhan intelektual dari
perspektif Jawa tradisional tentang kekuasaan dan politik, dan
menunjukkan bagaimana berbagai lembaga dan proses politik jika
dipandang melalui lensa ini. Telah saya kemukakan bahwa walaupun
telah berlangsung penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, revolusi
nasional, dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang diakibatkan oleh
peristiwa-peristiwa itu, namun genggaman kultural dari perspektif
tradisional ini tetap sangat kuat. Aspek-aspek pemikiran dan peri laku
politik Jawa dewasa ini yang tampaknya terpisah, seperti penolakan
terhadap demokrasi parlementer, corak-corak khas politik internasional
dan antarsuku yang dilaksanakan oleh Jakarta, pola-pola organisasi
pemerintahan dan hubungan-hubungan birokratis intern, gaya
kepemimpinan di masa sesudah merdeka, bentuk-bentuk korupsi dan
posisi politik yang bersifat ganda dari kaum inteligensia kota, semuanya
dapat dan memang harus dilihat sebagai hal-hal yang saling berhubungan
dan tidak dipisahkan satu dengan lainnya. Dan yang menghubungkan
semuanya itu adalah genggaman kultural konsepsi-konsepsi tradisional
yang berlanjut, termasuk konsepsi-konsepsi tentang kekuasaan.
Lalu, kalau harus terjadi suatu perubahan radikal dalam politik dan
masyarakat Jawa, dari perspektif manakah gagasan-gagasan politik
tradisional itu harus dilihat? Dari satu sudut, orang dapat mengemukakan
perlunya serangan frontal terhadap gagasan-gagasan ini, sejauh gagasan-
gagasan itu merupakan kunci tata tradisional dan terus memperkuat
kecenderungan-kecenderungan konservatif yang kuat dalam masyarakat
Indonesia. Menurut pandangan ini, kalau porosnya itu dapat disingkirkan,
maka akan sangat mudahlah mengatasi perlawanan terhadap seluruh
spektrum perubahan sosial. Jelas bahwa dalam arti tertentu, serangan
Islam modernis dan, propaganda politik kaum intelektual Orde Baru
menuju ke arah ini. Tetapi berhasilnya “strategi” ini pertama-tama akan
tergantung dari jelasnya konsepsi mengenai sifat “si lawan” itu dan
kekuatan pertahanan-pertahanannya. Kedua, sukses akan tergantung pula
dari kemampuan untuk memberikan suatu alternatif yang utuh dan
persuasif bagi orientasl tradisional yang telah berakar dalam. Tetapi
sampai sekarang ini, kesan saya ialah bahwa orang-orang yang
menamakan dirinya “modernisator” sedikit sekali memberikan perhatian
kepada masalah-masalah ini. Walaupun telah banyak kecaman yang
dilontarkan kepada apa yang sering disebut “mental lama”, namun
hampir tidak adta usaha yang dilakukan untuk memahami mentalitas ini
dan mengukur kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahannya.
Dari sudut lain, orang dapat mengemukakan bahwa cara perubahan
sosial harus disesuaikan dengan gagasan-gagasan tradisional. Tetapi
strategi seperti ini memerlukan adanya kepemimpinan dan yang memiliki
pengetahuan cukup luas sehingga mengenal gagasan-gagasan ini secara
mendalam, tetapi tidak terikat olehnya, dan cukup berdisiplin dalam
mempergunakannya tanpa menyerah kepadanya. pengalaman Soekarno
merupakan suatu pelajaran mengenal segi ini. Dalam sejarah Indonesia
modern belum pernah ada orang yang demikian suksesnya
mempergunakan gagasan-gagasan tradisional untuk memobilisasi rakyat
dan memperbesar kewibawaan pribadinya. Namun, kegagalan yang
akhirnya dialami Soekarno, berupa pemerintahannya yang makin lama
makin konservatif, dan jalan buntu intern yang diakibatkan oleh
kebijaksanaan-kebijaksanaannya, untuk sebagian dapat dikatakan berasal
dari ketidakmampuannya untuk membebaskan diri dan genggaman
gagasan-gagasan yang dimanipulasikannya. Terlalu sering konsep-konsep
pusat, konsep sinkretisme dinamis dan konsep kekuasaan dijadikan
sebagai tujuan dan bukan sebagai alat, menguasai pikirannya yang paling
dalam, serta penampilannya di depan umum dan manuver-manuver
pribadinya. Demokrasi Terpimpin adalah suatu negara yang penuh
kekuasaan, tetapi sarna sekali bukanlah suatu negara yang penuh daya,
dalam arti suatu organisasi yang mampu melakukan perubahan yang
berlanjut dan berencana. Namun amat diragukan sejauh mana Soekarno
membeda-bedakan kedua hal itu denganjelas dalam pikirannya sendiri.
Pada permulaan esai ini, telah saya kemukakan bahwa analisis yang
cermat mengenai konsepsi Jawa tentang kekuasa an dan politik, mungkin
ada gunanya untuk analisis politik di luar batas-batas geografis Jawa atau
Indonesia. Saya kira nilainya mungkin terletak dalam membantu
menjelaskan masalah “kharisma” yang sangat rumit itu. Jenis kepribadian
yang amat banyak ragamnya di kalangan “pemimpin-pemimpin
kharismatis” sekarang ini, ideologi-ideologi mereka yang saling
bertentangan, sifat sosial ekonomis, keagamaan dan etnis para pengikut
mereka yang sangat berbeda-beda, banyaknya ragam jenis dari “tingkat”
organisasi politik di mana para pemimpin ini muncul, semuanya
menimbulkan masalah-masalah analisis dan konseptualisasi yang sukar.107
K es ulita n- kes ulita n y an g ter us berl a nj ut d ij ump a i d a lam
mengklasifikasikan “kharisma” dengan sumber-sumber kekuasaan yang
107 Untuk pembicaraan yang menarik tentang
kesukaran-kesukaran ini dan beberapa usul untuk penyelesaiannya, lihat Ann Ruth Willner. Charismatic
Political Leadership: A Theory, Center of International Studies, Research Monograph no. 32
(Princeton. N.J.: Princeton University. 1968).
lebih konvensional, seperti misalnya kekayaan, senjata, penduduk dan
seterusnya. Sifat “kharisma” yang tampaknya labil dan cair, seperti yang
tercermin dalam muncul dan jatuhnya orang-orang bagaikan meteor,
seperti Nkrumah, Ben Bella dan Soekarno, menunjukkan bahwa jenis
kekuasaan ini dipandang dari segi tertentu merupakan jenis tersendiri.
Tetapi apa kiranya jenis itu, sama sekali tidaklah jelas.108
Pada zaman sekarang, pandangan yang umum ialah bahwa
“kharisma” terletak di mata orang yang memandangnya. “Kharisma”
bukan merupakan sifat yang benar-benar ada pada diri seorang pemimpin,
melainkan lebih banyak merupakan sifat yang menurut anggapan para
pengikutnya ada pada pemimpin itu. Pemimpin itu dianggapnya seorang
yang luar biasa dan kadang-kadang dianggap mengemban tugas sejarah,
dianggap memperoleh berkah dari Tuhan, tetapi selalu mempunyai
kemampuan-kemampuan gaib yang luar biasa. Bagaimanakah caranya
menerangkan penglihatan ini? Saya berpendapat bahwa persepsi ini
diambil dari gagasan-gagasan yang serupa dengan konsepsi kekuasaan
Jawa, dan bahwa pemimpin kharismatis itu mempunyai kekuasaan dalam
arti yang banyak persamaannya dengan yang dipunyai oleh para penguasa
tradisional Jawa. Ia dianggap sebagai pusat pancaran kekuasaan, dan
orang yang percaya lebih menempelkan dirinya pada kekuasaan itu
daripada tunduk kepadanya sebagaimana halnya yang dilakukan orang
kepada penguasa rasional-legal. Kekuasaannya lebih nampak daripada
dipertunjukkan. Kesukaran yang dihadapi seorang pemimpin kharismatis
yang mencoba kembali ke pentas politik adalah justru kesulitan mengenai
pusat yang telah melemah seperti yang dipikirkan orang Jawa. Seandainya
ia masih mempunyai kekuasaan, tentu ia tidak akan kehilangan;
seandainya ia mempunyai jawaban terhadap kekacauan, tentulah
persoalan ini tidak akan pernah timbul. (Kita dapat juga mencatat bahwa
para pemimpin kharismatis modern, sarna seperti tokoh-tokoh kekuasaan

108 Ketidakpastian ini membantu menerangkan


kecenderungan yang selalu ada dan hampir tidak disadari ke arah reifikasi (reifikasi, reification -
pemakaian suatu konsep abstrak dan simbolis demikian rupa sehingga seolah-olah konsep itu benar
“ada” dalam kehidupan materiel sehari-hari dengan melupakan bahwa konsep itu hanya buah pikiran
atau hipotesis saja) konsep kharisma, baik dalam kepustakaan populer maupun dalam karangan-
karangan ilmiah. Untuk menghindari bahaya reifikasi. saya telah menggunakan sarana tipografis
yang menjemukan. yaitu meletakkan kata “kharisma” di antara dua tanda kutip.
dalam legenda dan sejarah Jawa, sering diasosiasikan dengan bertapa,
dinamisme sinkretis dan pemanggilan magis). 109
Kalau apa yang telah dikatakan sebegitu jauh benar, saya ingin
mengemukakan, walaupun dengan cara yang sangat tentatif, bahwa kita
mempunyai dasar untuk melakukan penyederhanaan pengertian
“kharisma” seperti yang digambarkan oleh Max Weber. 110 Pertama-tama
saya rasa bahwa kesukaran dan kesamar-samaran konsep “kharisma” Max
Weber berasal dari kenyataan bahwa ia cenderung memandang kharisma
itu terutama lebih dari sudut sosiologis daripada dari segi pandangan
antropologis kultural. Artinya, ia lebih memusatkan perhatiannya kepada
kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik di mana para pemimpin
kharismatis itu muncul, serta kepada kepribadian para pemimpin seperti
itu, daripada kepada kebudayaan para pengikutnya. Ia cenderung
memperlihatkan sifat-sifat luar biasa yang dianggap dipunyai oleh para
pemimpin ini, tanpa sanggup mendefinisikan apa sebenarnya inti dari
sifat-sifat ini atau apa dasar yang dimilikinya.
Saya ingin mengemukakan bahwa sifat-sifat yang berbeda-beda ini
dapat dikembalikan kepada satu sebutan, yaitu: kepercayaan para
pengikutnya bahwa pemimpin mereka itu mempunyai kekuasaan. Tanda-
tanda kekuasaan ini, yaitu sifat-sifat yang khas, ditentukan oleh sifat
khusus yang kebetulan terdapat dalam masing-masing kebudayaan yang
bersangkutan.111 Orang dapat mengemukakan asketisme (bertapa) di Asia
Tenggara, dan kejantanan yang berlebih-Iebihan (machismo) di Amerika
Latin. Asketisme dalam suatu daerah kebudayaan dan machismo di daerah
kebudayaan lain, berarti hal yang sarna, yaitu kekuasaan.
Pada umumnya, Weber cenderung memandang “kharisma” sebagai
sesuatu yang tidak lama hidupnya, spontan, tidak dapat diramalkan, serta
revolusioner, walaupun dalam kondisikondisi ter.tentu “kharisma” itu
dapat mengalami depersonalisasi dan pelembagaan.112 “Kharisma” politik
109 Bandingkan deskripsi kepemimpinan kharismatis
yang diberikan Weber dalam H.H. Gerth dan C. Wright Mills, penerjemah dan editors, From Max Weber:
Essays in Sociology (New York, Oxford University Press, 1958), hlm. 245-252: bandingkanjuga
Bendix, hlm. 298-329.
110 Dalam pembicaraan berikut ini, saya memberikan pandangan agak sepihak tentang pemikiran
Weber. Pembahasan Weber tentang kharisma sering agak membingungkan, terutama disebabkan
karena reifikasi berulang-ulang dari konsepnya. Gagasan-gagasan Weber dengan sengaja
disederhanakan di sini dengan tujuan menjelaskan maksud pokok saya.
111 Bandingkan Willner, Charismatic Political Leadership, hlm. 8 1-87, untuk suatu diskusi yang
informatif tentang cara berbagai pemimpin kharismatis sekarang ini membangkit-bangkitkan kembali
kisah-kisah pendekar rakyat yang terdapat dalam kebudayaan mereka masing-masing.
112
Bandingkan Bendix. hlm. 309-3 14.
secara khas timbul kalau suatu sistem birokrasi patrimonial feodal atau
legalrasional tertentu mengalami masa ketegangan. Kemudian,
“kharisma” cenderung mengalami proses rutinisasi dan birokratisasi,
sampai krisis tersebut menghasilkan seorang pemimpin kharismatis baru.
Implikasi pandangan ini adalah bahwa terdapat suatu gerak bolak-balik
historis yang tiada habis-habisnya antara kekuasaan kharismatis dan
kekuasaan tradisional atau birokratis. Sebagaimana halnya dengan ayam
dan telur, kita tidak dapat mengatakan dengan pasti mana yang ada
terlebih dulu.
Tetapi seandainya kita dapat menerima bahwa “kharisma”
menyangkut kepercayaan akan kekuasaan, seharusnya telah jelas bahwva
baik dalam pengertian historis maupun analitis, “kharisma” telah lebih
dulu ada daripada kekuasaan rasional-lega1 .113 Studi tentang tradisi politik
Jawa memperlihatkan bahwa di zaman Jawa Kuno, semua pemerintahan
adalah kharismatis sejauh pemerintahan itu berdasarkan kepercayaan akan
kekuasaan. Birokrasi memang telah ada, tetapi birokrasi itu memperoleh
keabsahannya dan kewibawaannya dari pusat yang memancarkan cahaya,
yang dianggap memenuhi seluruh struktur dengan dayanya. Dalam
masyarakat seperti itu, “kharisma” bukanlah suatu gej ala sementara di
waktu krisis saja, melainkan suatu prinsip organisasi negara yang
permanen dan rutin. Oleh karena itu, umur pendek, tidak dapat
diramalkan, dan revolusioner yang dikatakan oleh Weber merupakan
sifat-sifat kharisma, mungkin hanya semata-mata suatu hal yang
tergantung dari keadaan saja dan terikat oleh waktu, dan dengan suatu
modifikasi penting, yang akan dibicarakan sebentar lagi, semua
masyarakat prasekuler dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan
kharismatis. Masalah yang timbul adalah mengapa Weber membatasi
penggunaan gagasan “kharisma” terutama bagi waktu ketegangan dan
krisis saja. Saya berpendapat bahwa jawabannya terletak dalam kurangnya
perspektif historis, hal mana sebenarnya agak mengherankan. Walaupun
Weber mengambil teori umumnya tentang timbulnya birokrasi rasional-
legal dari apa yang dipandangnya sebagai menyebarnya rasionalisme dan
sekularisme dalam sejarah, namun dalam membicarakan “kharisma”
unsur historis ini hampir tidak ada.
Kalau komponen hi storis itu dikem bali kan lagi, maka
argumentasinya bergeser ke arah berikut. Dalam evolusi historis yang
113 Barangkali orang dapat juga mengatakan.
tergantung dari penafsiran masing-masing tentang “dominasi tradisional”, bahwa hal itu termasuk
dalam dominasi kharismatis.
terjadi kemudian di Barat, laju perubahan ekonomi, teknologi dan sosial
yang relatif cepat disertai oleh perubahan kebudayaan yang sangat luas,
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perkembangan ini dapat dilihat
dari sudut ilmu sosial dewasa ini sebagai gerakan dari arah magis, melalui
rasionalisme religius, sampai kepada rasionalisme sekuler, karena
ontologi-ontologi tradisional telah ditantang oleh penemuan-penemuan
ilmiah, pembaruan-pembaruan di bidang teknologi, serta kerumitan
kehidupan ekonomi dan sosial yang sangat meningkat. Tentu saja gerakan
ini tidak terbatas pada dunia Barat, walaupun di sana gerakan itu telah
berjalan lebih jauh daripada di tempat-tempat lain. Dalam gambaran
Geertz tentang evolusi Islam di Maroko umpamanya, menanjaknya kaum
skripturalis dengan merugikari golongan marabout, dapat dipandang
sebagai kekuasaan rasionalisme keagamaan dalam menghadapi agama
magis. Orang barangkali dapat mengemukakan proses evolusi seperti itu
di Tiongkok, dari agama magis di zaman Shang ke rasionalisme setengah
religius dari pemikiran Confucius. Di Indonesia, tersebarnya Islam
reformis dalam abad ke-20 mungkin merupakan gej ala yang dapat
diperbandingkan.
Ketika Barat bergerak ke arah rasionalisme sekuler maka konsepsi
baru mengenai kekuasaan dikristalisasikan sedikit demi sedikit, mulanya
oleh para filsuf politik seperti Machiavelli dan Hobbes, dan kemudian
oleh alat penyebar pendidikan dan penelitian ilmiah-industrial.114 Dalam
bentuknya yang terakhir, konsep tentang kekuasaan itu berbeda secara
radikal dari konsep lama, sebagaimana telah saya coba tunjukkan dalam
pendahuluan esai ini. Namun sebagaimana telah dikemukakan oleh Marx,
kebudayaan sesuatu masyarakat, walaupun mengikuti garis umum
perkembangan teknologi dan sosial, selalu cenderung untuk berubah lebih
lambat, sebagaimana demi sebagian dan sepotong demi sepotong. Dalam
semua masyarakat yang kebudayaannya dipengaruhi oleh rasionalisme
114 Surutnya gagasan-gagasan Eropa tradisional
tentang power di bagian akhir dari zaman pertengahan dan permulaan zaman modern yang mula-mula
dipengaruhi oleh rasionalisme agama, kemudian di bawah pengaruh rasionalisme sekuler, dilukiskan
dengan indah dalam Marc Bloch, Les Rois Thaumaturges (Strasbourg, Librairie Istra, 1924). Bloch
terutama memusatkan perhatiannya kepada power yang dapat menyembuhkan yang dikatakan
terdapat pada raja-raja Prancis dan Inggris (di Prancis sampai kepada Revolusi Prancis, 1789 dan
Inggris sampai kepada Ratu Anne, 1702- 1714), tetapi terutama pada hlm. 5 1-79, ia membicarakan
secara lebih umum akar-akar kebudayaan dari gagasan Eropa tentang monarki. Anehnya. di halaman
52-53, ia membuat perbandingan yang eksplisit dengan konsepsi-konsepsi kebudayaan yang
terdapat di Polynesia, yang kebudayaannya tidak jauh berbeda dari kebudayaan-kebudayaan
daerah-daerah tertentu di Indonesia, dengan mengambil datanya dari buku Frazer, Golden Bough.
Untuk referensi ini saya berhutang budi kepada Denys Lombard.
religius atau sekuler, orang dapat mengharapkan untuk menemukan sisa-
sisa dari cara-cara kebudayaan lama. Unsur-unsur kebudayaan lama dan
baru akan tetap terdapat berdampingan secara kontradiktif..
Saya ingin mengemukakan bahwa inilah kasusnya tentang unsur
yang demikian sentralnya dalam setiap kebudayaan, yaitu gagasan-
gagasannya tentang kekuasaan. Dalam kebanyakan kebudayaan dewasa
ini, termasuk kebudayaan Barat, kedua konsep tentang kekuasaan yang
berlawanan yang telah saya berikan garis besarnya, terdapat saling
berdampingan, yang satu atau yang lainnya lebih atau kurang
pengaruhnya.115 Dalam masyarakat Barat, konsepsi lama tentang
kekuasaan kelihatan bekas-bekasnya dalam celah-celah kebudayaan legal-
ilmiah, seperti dalam pengobatan melalui kepercayaan, psikiatri, doa, dan
yang dinamakan “kharisma”. Walaupun gagasan lama tentang kekuasaan
mungkin merupakan sisa-sisa dalam masyarakat-masyarakat yang
dipengaruhi oleh rasionalisme religius atau sekuler, gagasan itu dapat saja
timbul dalam bentuk yang menonjol di dalam keadaan adanya ketegangan
hebat dan kacaunya asumsi-asumsi rutin, ketika lembaga-lembaga yang
ada dan diakui menurut prinsip-prinsip kebudayaan. yang hegemonis
kelihatannya mulai kropos atau sedang mengalami kemunduran. 116
Keadaan-keadaan seperti itu tidak seberapa menimbulkan jenis-jenis
pemimpin baru atau bentuk-bentuk kekuasaan baru, seperti halnya
konsepsi-konsepsi dan sumber-sumber kekuasaan yang kuno.

115 Dengan memberikan tekanan kepada proses


kristalisasi dalam perkembangan konsep Barat modern tentang kekuasaan, saya bermaksud
menunjukkan bahwa ahtara kedua jenis ideal yangberlawanan secara ekstrem itu, dapat
dibayangkan adanya berbagai jenis "pertengahan".
116
Mestinya tidaklah mengherankan dalam perspektif ini, bahwa rasionalisme religius dari kaum
skripturalis di Maroko, diganti oleh tradisi maraboutic yang lebih kuno, selama krisis dekolonisasi.
Dalam analisisnya tentang peranan Sultan Muhammad V, Geertz menyatakan bahwa pemerintahan
Prancis telah menghasilkan apa yang sudah hampir pasti tidak lagi mampu dihasilkan oleh dinasti itu,
kalau dibiarkan, yaitu seorang raja maraboutic (Islam Observed, hlm. 81). Lagi pula tidak
mengherankan bahwa rasionalisme sekuler Barat, sesudah berakhirnya bencana Perang Dunia I dan
pada waktu krisis ekonomi dunia pada tahun-tahun 1930-an, telah ditantang dengan berhasil
olehpemimpin-pemimpin kharismatis seperti Adolf Hitler dan Benito Mussolini.
* Terjemahan dan editing tulisan ini adalah di luar tannggungjawab
penulis. Dalam memberi bentuk akhir kepada esai ini, penulis sangat
dibantu oleh pengetahuan serta ulasan-ulasan kritis yang diberikan oleh:
Harry Benda (almarhum), Lance Castles, Herbert Feith, Clifford Geertz,
Claire Holt (almarhum), George Kahin, Daniel Lev, Lionel Landry, Denys
Lombard, Ruth MacVey, Soemarsaid Moertono, Onghokham, James
Siegel, John Smail, Soedjatmoko, Mildred Wagemann dan Oliver
Wolters. Penulis ingin menyatakan terima kasihnya yang mendalam atas
segala bantuan ini.
Soal judul memang rumit -- dan untuk saya belum jelas penyelesaian
yang baik letaknya di mana. Soalnya ialah bahwa esai saya sedikit
banyak berkisar sekitar perbedaan antara kata power dan kata apa pun
dalam bahasa Jawa -- juga dalam bhasa Indonesia. Dan ketidakserasian ini
sering terasa dalam terjemahan ini. Tentunya kekurangan ini bukan
“salahnya” penerjemah, tetapi justru menunjukkan inti masalah itu. Di
beberapa tempat power dapat diterjemahkan sebagai kekuasaan, di tempat
lain lagi sebagai “kesaktian”. Dengan demikian suatu judul seperti
“Gagasan tentang kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa” ada lucunya
karena menimbulkan kesan bahwa apa yang nanti dipersoalkan ialah
“gagasan tentang kekuasaan”, sedangkan sebenarnya topiknya ialah
“gagasan tentang power”. Usaha saya dulu (tahun 1970 pada waktu saya
menulis esai ini) maksudnya ialah untuk memperlihatkan kepada
mahasiswa Barat betapa berbeda asumsi mereka dari asumsi orang Jawa,
namun demikian asumsi orang Jawa tidak kalah fundamentalnya, dan
“logika”-nya tidak kalah logisnya dengan “logika” ilmu politik Barat:
artinva saya bermaksud menggoyahkan asumsi mahasiswa Barat itu. Nah,
kalau karangan yang aslinya dalam bahasa Inggris ini perlu diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, maka perlu juga dipikirkan pembacanya,
yaitu mahasiswa Indonesia, baik Jawa maupun “Sabrang” dengan masing-
masing asumsi mereka. Kalau tidak salah, pikiran mereka juga perlu
digoyahkan: ada baiknya kalau dirasakan “jurang” intelektual antara alam
pikiran Barat modern, Jawa kuno, Aceh modern, Batak kuno dan
sebagamya. Mereka juga harus memahami bahwa “pembaca saya” (dulu)
bukan mereka, tetapi orang Barat pada dasarnya. Pokoknya, para
mahasiswa, baik Barat maupun Indonesia, kalau membaca esai ini perlu
meresapi keanehannya, dan problematika antara bahasa dan antar
kebudayaan yang dipersoalkan di dalamnya. Oleh karena itu, mungkin
judul yang lebih baik, karena lebih aneh ialah “Gagasan tentang
Kekuasaan dalam Kebudavaan Jawa”.

Anda mungkin juga menyukai