Anda di halaman 1dari 93

PANCASI LA DAN POLI T I K KEWARGAAN YANG BARU

ROBERTUS ROBET dosen sosiologi Universitas


Negeri Jakarta. Buku-bukunya yang telah diterbit-
kan oleh Marjin Kiri adalah Republikanisme dan Ke-
indonesiaan: Sebuah Pengantar (2006) dan Manusia
Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era
^
^

Kapitalisme Global Menurut Slavoj Zizek (2010).


Pancasila dan Politik
Kewargaan yang Baru

ROBERT US ROBET
Pancasila dan Politik Kewargaan yang Baru
© Robertus Robet, 2014

Cetakan pertama, Maret 2014


x + 81 hlm, 12 x 19 cm
ISBN: 978-979-1260-33-6

CV. Marjin Kiri


Regensi Melati Mas A9/10
Serpong, Tangerang Selatan 15323
www.marjinkiri.com

Dilarang memperbanyak atau menggandakan sebagian atau seluruh isi


buku ini untuk tujuan komersial. Setiap tindak pembajakan akan diproses
sesuai hukum yang berlaku. Pengutipan untuk kepentingan akademis, jur-
nalistik, dan advokasi diperkenankan. Tersedia potongan harga bagi staf
pengajar, mahasiswa, perpustakaan, dan lembaga-lembaga riset kampus.

Dicetak oleh GAJAH HIDUP Didistribusikan oleh NALAR


Isi di luar tanggung jawab percetakan
Daftar Isi

Sambutan Dekan Fakultas Ilmu Sosial


Universitas Negeri Jakarta ~ vii

1 Pancasila: dari Penanda Persatuan ke


Penanda Kekuasaan ~ 1

2 Pancasila, Hak Asasi Manusia, dan


Kewarganegaraan Baru ~ 26

3 Pancasila sebagai Wawasan Modern


Universal ~ 53

Penutup ~ 77

Daftar Pustaka ~ 80
Sambutan
Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta

DALAM SUATU DIALOG dengan civitas akademika, seba-


gai ajang perkenalan calon dekan FIS UNJ periode
2009-2013 dengan para civitas akademika, khususnya
mahasiswa FIS UNJ, pada tahun 2009, saya pernah
ditanya, “Apa yang menjadi program unggulan jika ke-
lak terpilih menjadi dekan?” Secara spontan saya men-
jawab, “Membangun budaya akademik, dengan ditan-
dai produktivitas dosen dan mahasiswa yang tinggi
dalam menghasilkan karya-karya akademik.” Sejurus
kemudian saya menambahkan, “Karya-karya akademik
itu dapat berupa hasil riset yang bermutu dan inovatif,
buku teks, jurnal, atau karya-karya lainnya termasuk
paten atau HKI.”
Jawaban ini tentu saja tidak muncul begitu saja,
melainkan dilatari oleh pengalaman dan hasil pere-
nungan selama saya menjadi dosen di Fakultas Ilmu
Sosial UNJ sejak tahun 1991. Pertanyaan besarnya ada-
lah: mengapa iklim akademik belum tumbuh di fakultas
saya? Mengapa tidak banyak dosen yang secara rutin

vii
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

dan intensif melakukan riset? Dan, mengapa tidak


banyak dosen yang rajin menulis buku dan diterbitkan
oleh penerbit berskala nasional? Sementara di fakultas
atau kampus lain, banyak dosen yang melakukan riset
yang berkaliber nasional dan bahkan telah banyak me-
nerbitkan buku, terutama buku teks. Rasa miris dan
sedih semakin menjadi-jadi ketika saya –dua atau tiga
tahun sebelum menjadi dekan—mencari-cari di toko-
toko buku terkenal, tidak satu pun buku yang ditulis
oleh dosen FIS UNJ yang saya temui. Kondisi ini tentu
sangat memprihatinkan.
Beranjak dari kondisi itu, maka saya membuat prog-
ram unggulan “membangun budaya akademik” dengan
membuat skim penelitian RINA (Riset Pembinaan) dan
RUBI (Riset Unggulan Bidang Ilmu). Harapannya, de-
ngan diluncurkannya skim penelitian RUBI ini paling
tidak ada dua hal: pertama, menstimulasi dosen untuk
rajin dan bersemangat melakukan penelitian yang ber-
mutu; dan kedua, dari penelitian ini diharapkan dihasil-
kan produk yang bermutu yang bisa dibanggakan fakul-
tas atau memberikan nilai lebih bagi fakultas, baik da-
lam bentuk artikel jurnal, buku teks berupa bahan ajar
atau bahan pengayaan, model, dan bahkan paten.
Kini, setelah empat tahun berlalu, program itu su-
dah mulai menuai hasil. Salah satunya adalah diterbit-
kannya buku Pancasila dan Politik Kewargaan yang Baru
oleh Robertus Robet, dosen Sosiologi Universitas Ne-
geri Jakarta yang merupakan hasil Riset Unggulan
Bidang Ilmu (RUBI) tahun 2012. Meskipun saudara

viii
Robertus Robet bukan baru kali ini menulis buku, tetapi
yang menjadi kegembiraan bagi saya selaku dekan FIS
UNJ adalah skim penelitian RUBI di FIS UNJ telah
memberikan buah berupa buku teks yang diterbitkan
oleh penerbit yang cukup dikenal masyarakat.
Saya berharap, penerbitan buku ini turut memper-
kaya khazanah dan pengembangan keilmuan, bukan
hanya pada bidang sosiologi, melainkan terutama pada
diskursus tentang pengembangan dan pemantapan
ideologi Pancasila dan kewarganegaraan di Indonesia.
Perspektif sosiologi yang digunakan penulis dalam
mencermati Pancasila sebagai ideologi dan politik ke-
wargaan Indonesia yang baru diharapkan menambah
cakrawala dan sudut pandang bagi pengamat dan pe-
merhati pendidikan kewarganegaraan, yang selama ini
lebih menekankan aspek legal-formal, dan normatif
ideologis. Semoga buku ini bermanfaat dan selamat
membaca.

Jakarta, November 2013

Dr. Komarudin, M.Si


DEKAN FIS UNJ

ix
1 Pancasila: dari Penanda Persatuan
ke Penanda Kekuasaan

Esensialisme-Partikularistik yang Salah Kaprah

PANCASILA –sejauh mau dilihat sebagai ideologi—


adalah ideologi yang paling rumit. Mengapa? Karena
pada awal mula pendiriannya, ia bukanlah ideologi da-
lam arti konvensional. Transformasinya menjadi ideo-
logi dibangun secara dahsyat dan rumit yang dilakukan
berbarengan dengan mengombinasikan politik dan filo-
sofikasi berlebih-lebihan. Hadirnya kekerasan dan filo-
sofikasi dalam konstruksi pemaknaannya secara tidak
langung merugikan tujuan awal keberadaannya.
Di sini orang yang merasakan pentingnya Pancasila
dalam kerangka tujuan awalnya, direpotkan dengan ke-
harusan untuk menyetujui juga pentingnya Pancasila
dalam kerangka ideologisasinya itu. Filosofikasi Orde
Baru yang menyatukan Pancasila dengan kekerasan
menghasilkan kejengahan intelektual. Ada persetujuan
dan kebutuhan akan Pancasila, tetapi antusiasme ke
arah itu dengan segera terhalang oleh pengalaman

1
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

penggunaannya dalam kekerasan. Ini yang merepot-


kan. Juga, bagaimana ini dijelaskan? Sejauh mana kita
bisa memisahkan Pancasila dari kombinasi filosofikasi
dan kekerasan warisan Orde Baru?
Berbeda dengan liberalisme dan Marxisme, yang
memiliki susunan dan sistematisasi serta bangunan ga-
gasan yang terbilang kukuh sebagai ideologi, Pancasila
sama sekali tidak memiliki latar dan instalasi itu.
Pancasila adalah sesuatu yang dianggap ada sebagai
ideologi oleh karena suatu praktik politik yang menda-
huluinya. Akibatnya, Pancasila tidak bisa dengan gam-
pang dan begitu saja disamakan dengan ideologi-ideo-
logi lain tersebut karena: Pertama, dibandingkan dengan
liberalisme, komunisme, sosialisme, dan nasionalisme,
Pancasila sedari mulanya adalah ide yang lahir dari se-
buah proses politik yang sangat spesifik, historik, dan
dilakukan demi menjawab kebutuhan praktis mengenai
syarat-syarat pendirian negara merdeka. Dalam kerang-
ka itu, dari awalnya, di dalamnya tidak ada proyek dan
trajektori tentang bagaimana masyarakat ditata, bagai-
mana manusia-manusianya terbentuk, dan bagaimana
ia dioperasionalkan untuk menjangkau persoalan-per-
soalan dunia. Filosofikasi terhadapnya dimungkinkan
baru setelah Pancasila mendapatkan tambalan tafsir
dari paham integralisme. Jadi ideologisasi dan intelek-
tualisasinya terjadi bukan karena potensi dari dirinya,
melainkan dari paham di luar dirinya.
Kedua, diskursus mengenai Pancasila sebagai ideo-
logi sepenuhnya bermotif pada pendefinisian dan pe-
maknaan politik. Akibatnya, usaha-usaha yang kemudi-

2
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

an muncul untuk mengilmiahkan dan mensistematisa-


sikannya lebih tampak sebagai upaya yang dipaksakan.
Ini kelihatan dari banyaknya produksi berbagai konsep
yang bersifat oxymoron mengenai Pancasila seperti
“bukan ini bukan itu”, “bukan Barat – bukan komu-
nis”. Istilah “ideologi terbuka” misalnya, sebenarnya le-
bih banyak menjelaskan “kekakuan” yang diakibatkan
oleh upaya untuk melakukan filosofikasi dengan harap-
an mengurangi aspek politik kekerasan serta esensial-
isme dan kemutlakan di dalamnya.

Sebelum Ideologi: Pancasila sebagai Penanda


Pendirian Republik Modern Indonesia

Sebelum menjadi semacam ideologi, Pancasila adalah


konsep yang dihasilkan dari suatu perjanjian politik
dalam sejarah Indonesia yang diadakan dalam rangka
menjamin persatuan nasional dari suatu negara modern
yang baru.
Sewaktu Soekarno menyebut Pancasila, ia mengata-
kannya dalam rangka suatu kebutuhan politik partiku-
lar, yakni bahwa “Kita bersama-sama mencari persatu-
an Philosophische grondslag, mencari satu Weltanschauung
yang kita semua setuju... yang menjadi dasar Indonesia
Merdeka.”1 Pentingnya dasar bagi kita semua itu ditegas-
kan lagi oleh Soekarno dengan pernyataan bahwa “Kita
hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua.’

1. Risalah Sidang BPUPKI PPKI 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945 (Jakarta:


Sekretariat Negara Republik Indonesia), hlm 63.

3
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan...


tetapi semua buat semua.”2
Dengan melihat momen serta motif penyebutannya,
Pancasila muncul sebagai sebuah konsepsi politik yang
ada untuk menjamin keberlangsungan suatu kesatuan
politik yang bernama Indonesia yang baru merdeka.
Keperluan ini secara lebih tegas lagi dikemukakan oleh
Soekarno beberapa saat kemudian, yakni ketika ia me-
ngatakan bahwa:

Memang, rakyat Bali menyambut proklamasi dengan


gegap gempita. Agamanya adalah Hindu-Bali. Tetapi me-
reka menyambut proklamasi ini ialah karena proklamasi
ini didasarkan kepada Pancasila... Inilah dasar yang men-
jamin keutuhan bangsa kita yang beraneka agama, yang
beraneka adat istiadat, yang beraneka suku.

Dengan gagasan itu, maka meski membandingkan dan


menyejajarkannya dengan berbagai ideologi serta pemi-
kiran seperti Marxisme, fasisme, atau Islamisme, fungsi
akhir dan utama Pancasila pada dasarnya adalah men-
jamin keberlangsungan kemerdekaan nasional.
Di titik ini sebagai konsep, Pancasila adalah konsep
yang mengabdi pada suatu kepentingan praktis, yakni:
Pertama, ia ada sebagai penanda pendirian Republik
Indonesia. Kedua, ia menjadi konsep yang mempersatu-
kan, semacam konsensus yang bisa diterima segala go-
longan. Dengan menyebut dan mempertimbangkan aspi-
rasi “rakyat Bali”, perbedaan agama-agama, adat istiadat

2. Ibid., hlm 71.

4
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

dan suku-suku dalam pidatonya, Soekarno menghadir-


kan Pancasila sebagai jalan keluar untuk menyelamat-
kan persatuan Indonesia dari kemungkinan perpecahan
akibat berbagai perbedaan sosial-antropologis.
Jadi, meski menyebut-nyebut berbagai ideologi dan
gagasan, Soekarno tidak pernah membangun suatu teo-
retisasi yang mengarahkan Pancasila menjadi semacam
ideologi dengan struktur dan tubuh kefilsafatan yang
kukuh dan baku. Pancasila adalah pandangan bersama
yang perlu ada sebagai syarat minimal pendirian Indo-
nesia Merdeka.3 Di sini Pancasila hampir mirip dengan
Declaration of Independence Amerika Serikat. Terlepas
bahwa AS merupakan negara penganut liberalisme ter-
besar, sebagai sebuah piagam politik Declaration itu me-
miliki fungsi lain dan terus dipertahankan sebagai ciri
republik tersebut.
Kedudukan Pancasila sebagai instrumen persatuan
ini secara jelas tampak dalam berbagai perdebatan ser-
ta pertentangan politik yang kemudian muncul sepan-
jang sejarah pendirian Indonesia. Setelah 1 Juni, dalam
perdebatan mengenai Pancasila sebagai dasar negara,
muncul dua jenis penafsiran, yakni antara apa yang di-
sebut sebagai “golongan kebangsaan” (Soekarno, Hatta,

3. Ini yang membedakan Pancasila dengan ideologi pada umumnya.


Perbedaan ini semakin dipertegas dengan kenyataan bahwa Soe-
karno sendiri tidak pernah membangun partai dengan dasar ideo-
logi Pancasila (untuk membedakan dengan Marxisme dan fasisme).
Dalam urusan ideologi politik, Soekarno nantinya malah mengaju-
kan Marhaenisme dan Nasakom. Jadi, Pancasila adalah tanda ber-
negara, tanda hidup bersama, sementara untuk berpolitik diguna-
kan ideologi yang benar-benar ideologi.

5
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

Yamin) dengan yang disebut sebagai “golongan Islam.”


Hasil dari perdebatan 22 Juni 1945 itu melahirkan apa
yang disebut Soekarno sebagai gentlemen’s agreement
untuk menerima Piagam Djakarta.
Namun demikian 18 Agustus 1945, gentlemen’s agree-
ment ini kemudian berubah lagi dengan dihilangkannya
tujuh kata “ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalan-
kan Sya’riat Islam bagi pemeluknya.” Yang penting di
sini adalah bahwa dalam waktu dua bulan itu, doku-
men politik yang sedemikian penting berubah secara
drastis. Apabila dalam hal perumusan awalnya, yakni 1
Juni dan 22 Juni 1945, Soekarno mengambil peran
begitu besar, maka dalam perubahan ini, argumen pen-
ting datang dari Hatta, Wahid Hasyim, Agus Salim dll
bahwa penghapusan tujuh kata itu dilakukan dengan
mempertimbangkan “perasaan” wilayah-wilayah yang
mayoritas penduduknya non-muslim. Yang dalam isti-
lah Hatta, penghapusan itu dilakukan agar Indonesia
mencapai suatu “persatuan yang bulat.”4 Dengan de-
mikian setelah 1 Juni ditegaskan secara politik kedu-
dukan Pancasila sebagai penjaga persatuan Indonesia.
Namun demikian, sebagai hasil sebuah kesepakatan
politik, maka pendefinisian Pancasila ini selalu ringkih
terhadap berbagai upaya pemaknaan, perubahan, dan
kontestasi. Ini bisa dilihat dalam ketegangan politik
yang muncul di era-era sesudahnya. Paling tidak hingga
era Konstituante (1956-1959) muncul kembali perten-
tangan tiga kubu, yakni “blok Pancasila” (PNI, PKI,
4. Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara
dan Sebuah Projeksi (Djakarta: Penerbit Hadayu, 1970).

6
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

Partai Katolik, PSI dsb), “blok Islam” (Masyumi, NU


dsb),” dan “blok sosial ekonomi” (Murba, Partai Bu-
ruh, Acoma). Sayangnya di sini, dengan pengaruh Ang-
katan Darat, Soekarno kemudian menghentikan dan
memutus seluruh debat Konstituante itu dengan Dekrit
kembali ke UUD 45.5 Dari sini kemudian kita bisa mu-
lai melihat suatu perbedaan dan suasana politik yang
sama sekali lain. Apabila pada 1945 –masa yang lebih
genting—Pancasila dicapai oleh suatu rasionalitas poli-
tik yang dialogis, maka pada 1959, tradisi diskursus
rasional dalam merumuskan dasar negara berubah sa-
ma sekali karena keterlibatan otoritas Soekarno.
Di titik ini kiranya, pemaknaan dan pendefinisan
politik Pancasila mulai dilakukan dalam suatu orientasi
politik kekuasaan yang lebih sempit, bukan lagi dalam
kerangka –sebagaimana kata Hatta—persatuan Indo-
nesia yang bulat. Pada Soekarno, tanda-tanda ke arah
itu bisa dilacak sebelum Dekrit 5 Juli. Meski tidak da-
lam kekejaman dan semanipulatif Orde Baru, Soekar-
no memulai memulai praktik penggunaan Pancasila
lebih dalam kerangka keperluan politik yang bersifat
personal, yakni mempertahankan kekuasaan politik-
nya. Kenyataan ini bisa kita lihat dalam praktik bagai-
mana diskursus Pancasila itu dipakai untuk menopang
Demokrasi Terpimpin dan Dekrit 5 Juli yang menghe-
bohkan itu.
Salah satu contoh utama adalah apa yang terjadi

5. Untuk ini lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan


Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-
1959 (Jakarta: Graffiti Pers, 1995).

7
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

pada 16-20 Februari 1959 di Yogyakarta, yakni dalam


momen Seminar Pantjasila ke 1, beberapa bulan menje-
lang Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hasil Seminar Pantja-
sila ke-1 itu dirumuskan dalam lima pokok pikiran se-
bagai berikut:
1. Pantjasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia
Indonesia tidak perlu diperdebatkan lagi;
2. Demokrasi Terpimpin sebagai penjelenggaraan pe-
merintahan untuk merealisasi tjita-tjita Negara
Proklamasi 17 Agustus 1945;
3. Masuknya golongan Fungsional dalam badan-
badan kenegaraan;
4. Azaz ke-Tuhanan Jang Mahasa Esa sebagai salah
satu Sila dalam rangka kesatuan Pantjasila jang bisa
menjamin adanya pemeliharaan dan perkembang-
an kejakinan agama;
5. Kembalinja setjara prinsipiil pada Undang-undang
Dasar Proklamasi 17 Agustus 1945.

Di sini tampak jelas bahwa Seminar Pantjasila merupa-


kan semacam pemanasan menjelang Dekrit. Dalam ke-
butuhan politik zamannya, Pantjasila digunakan secara
praktis untuk melegitimasi kepentingan politik masa
itu, yakni memberikan dasar bagi Demokrasi Terpim-
pin dan Dekrit 5 Juli. Kesimpulan ini dipertegas lagi
oleh Soekarno dalam amanatnya di hari penutupan
seminar itu bahwa:

... seminar ini memberi dukungan jang kuat kepada idee


demokrasi terpimpin, memberi petundjuk-petundjuk pula

8
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

jang berharga kepada pelaksanaan daripada demokrasi


terpimpin.6

Setelah menegaskan relevansi Seminar Pantjasila bagi


Demokrasi Terpimpin, Soekarno mengatakan:

Saja akan minta nanti kepada Sidang Konstituente, oleh


karena toch Republik jang kita proklamirkan pada tanggal
17 Agustus 1945 itu sudah membawa dengannya satu
UUD jaitu UUD’45, agar supaja Konstituante kembali
sadja kepada UUD’45.7

Dengan amanat semacam itu, maka lepas dari ke-


sadaran awal untuk meletakkan Pancasila sebagai dasar
pendirian Republik Indonesia, Soekarno sendiri ikut
menyumbang dalam menjadikan Pancasila tidak hanya
sebagai tujuan akhir (atau sebagai apa yang disebut oleh
Ki Hadjar Dewantara sebagai “perjanjian moral” yang
luhur dan tertinggi bangsa Indonesia) melainkan seba-
gai instrumen politik yang mengabdi pada tujuan poli-
tiknya sendiri.
Seminar Jogja yang diikuti dengan Dekrit 5 Juli dan
Demokrasi Terpimpin itu memperlihatkan secara jelas
suatu tahap baru dalam proses pemaknaan Pancasila
yang semula digunakan secara terbatas sebagai identitas
kebangsaan dan tanda persatuan, mulai berubah dan di-
arahkan ke arah pembentukan dan pembenaran kekua-
saan politik. Namun demikian, hingga akhir masa pe-

6. Amanat Presiden/Panglima Tertinggi disampaikan 20 Februari 1959


dalam Seminar Pantjasila 1, 16-20 Februari 1959, di Jogjakarta.
7. Ibid.

9
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

merintahan Soekarno, Pancasila belum sempat dikon-


struksi sebagai sebuah ideologi dengan sistem dan struk-
tur yang baku, kukuh, yang memiliki unsur-unsur tun-
tunan pemahaman situasi sosial; mengarahkan kepada
tujuan masa depan; memberi garis bagi tindakan. De-
^
^

ngan menggunakan istilah Zizek, bisa dikatakan bahwa


pada Soekarno, Pancasila baru hadir sebagai doktrin, ia
belum diinstitusionalisasikan dan dioperasikan menjadi
sebuah belief, juga belum dicocok-tanamkan ke dalam
sistem tindakan individu.8
Baru kemudian pada era Soeharto Pancasila diisi
dalam bentuk yang paling vulgar di tingkat tindakan,
yakni melalui jalan kekerasan, pembantaian, dan paling
sophisticated di tingkat filosofikasinya (melalui pemben-
tukan konsepsi manusia Pancasila, keluarga Pancasila
dsb). Terlebih lagi dalam kerangka itu, Soeharto me-
nambalkan elemen yang sangat penting dan mujarab
dalam ideologisasi Pancasila ini, yaitu paham negara
integralistik Soepomo. Semasa Soehartolah Pancasila
dikukuhkan sebagi doktrin, diinstitusionalkan ke dalam
sebuah sistem belief (P4, BP7), dan disuntikkan ke da-
lam pola tingkah individu.

^
^

8. Menurut Zizek, ideologi bukan urusan epistemik (kesadaran), me-


lainkan urusan tindakan. Ia memang memiliki unsur-unsur dok-
trinal, tetapi yang paling penting adalah tindakan. Karena menu-
rutnya, orang/individu bisa saja memiliki kesadaran bahwa kapi-
talisme itu jahat, misalnya, tapi toh dari segi tindakan ia tetap ber-
tahan dan membela kapitalisme. Ideologi harus dilihat di dalam
tindakan, bukan di dalam pengetahuan. Baca Tony Myers, Slavoj
^
^

Zizek (London: Routledge, 2003).

10
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

Ke Arah Totalitarianisme dalam


Negara Pancasila Orde Baru

Pemaknaan Pancasila oleh Orde Baru dimulai dengan


apa yang oleh Foucault disebut sebagai discursive practice,
yakni praktik pemecahan subyek atas unsur-unsur yang
dibedakan satu sama lain berdasarkan kategori kekua-
saan. Dalam soal Pancasila, praktik diskursif dilakukan
pertama-tama dengan mengonstruksi pembelahan an-
tara dua pelaksanaan, yakni: “Pancasila yang murni
dan konsekuen” dengan “Pancasila yang diseleweng-
kan.” Subyek yang ditunjuk di sana adalah Soekarno/
Orde Lama sebagai penyeleweng Pancasila dan di sisi
lain Orde Baru/Soeharto sebagai –sebagaimana Orde
Baru menyebut dirinya—“sebuah tatanan negara dan
bangsa yang didadasarkan atas pelaksanaan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.” Ini ber-
lanjut dengan pemecahan subyek-subyek sebagai Pan-
casilais dan Bukan Pancasilais, Pengkhianat Pancasila,
anti-Pancasila berhadapan dengan Keluarga Pancasila,
Desa Pancasila, Pemuda Pancasila dsb.
Titik pembeda yang jauh lebih signifikan dalam me-
lihat politik diskursif Orde Baru dapat kita mengerti de-
ngan memahami klaim atas makna “pelaksanaan Pan-
casila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.”
Apa yang dimaksud murni dan konsekuen di sini? Apa-
bila dilihat dari postur ideologi politik Orde Baru,
murni-cemarnya Pancasila ditentukan oleh dua hal,
yakni: Pertama, sejauh mana adanya ideologi atau sub-
ideologi lain di luar tetapi menopang penafsiran dan pe-

11
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

maknaan Pancasila. Dalam sudut pandang Orde Baru


“murni dan konskuen” berarti pertama-tama adalah be-
bas atau bersih dari penafsiran dan pengisian oleh ideo-
logi lain (dalam hal ini komunisme atau Marhaenisme
yang dilihat sebagi sub dari Pancasila). Kedua, setelah
komunisme dan Marhaenisme dibersihkan, kemurnian
Pancasila berarti juga harus steril dari tafsir liberal.
Dengan demikian kemurnian Pancasila berarti Pancasila itu
bukan komunis bukan juga liberal.9
Di sini berlaku suatu kenyataan yang sebenarnya,
yakni bahwa pada akhirnya makna utama Pancasila,
apa isinya, dan ke mana arahnya memang secara khas
dan eksklusif ditentukan sendiri oleh Orde Baru.
Di titik ini, makna Pancasila pada akhirnya dikon-
struksi tidak hanya secara monopolistik oleh Orde Baru
tetapi juga dirombak benar-benar secara baru dan di-
bentuk secara berbeda melalui pemutusan hubungan
keterikatan dan fungsi historisnya dari masa lampau.
Untuk keperluan pemutusan historis inilah maka berba-
gai cara kemudian dilakukan seperti misalnya menang-
galkan tradisi 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Pancasila
dan menggantinya dengan upacara di Lubang Buaya,
pembuatan diorama Lubang Buaya, pemutaran film
Pengkhianatan G30S/PKI setiap tahun.
Dilakukan pula pengeramatan dan magifikasi Pan-
casila. Dengan itu, Orde Baru sebenarnya secara cerdik
meletakkan Pancasila sebagai sesuatu yang berada di

9. Lihat dalam A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila


(Jakarta: CSIS, 1985).

12
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

wilayah keagungan adikodrati. Akibatnya, ia makin


tampil dalam eksklusivitas, sehingga dengan itu ia pun
mengukuhkan tafsir eksklusif monopoli Orde Baru.
Pengeramatan itu (“kesaktian Pancasila”) dilekatkan
secara khusus pada suatu memori kekerasan kolektif
yang dialamatkan kepada golongan komunis dan peng-
ikut-pengikut Soekarno. Pada bagian ini, aspek transen-
dental juga dimainkan, yakni bahwa kaum komunis di-
konstruksi sebagai kaum bejat (penyilet alat kelamin,
penari telanjang, pembunuh berdarah dingin) yang ha-
rus dibedakan dengan kaum suci pemegang Pancasila.
Melalui proses inilah kemudian Orde Baru meman-
tapkan Pancasila sebagai ideologi tunggal. Penunggalan
di sini sebenarnya tidak lebih dari keinginan untuk me-
nunggalkan dirinya sebagai satu-satunya wadah kepoli-
tikan bagi seluruh rakyat Indonesia.10 Dengan perkem-

10. Penunggalan ini ditegaskan secara ketatanegaraan oleh Soeharto


pada Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1983. Dalam kesempatan itu
ia mengatakan:
Pancasila adalah ideologi nasional yang menjadi milik kita
bersama. Jika masing-masing golongan memiliki ideologi
sendiri, maka kita akan kembali ke zaman nasakom, yang
kita alami, dengan segala malapetakanya.
Penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas ini kemudian diper-
kuat lagi oleh Ketetapan No. II/MPR/1983 Tentang GBHN, yang
menandaskan pandangan:
Untuk memantapkan stabilitas di bidang politik haruslah di-
usahakan makin kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa
serta makin tegak kan tumbuhnya kehidupan yang konstitu-
sional, demokratis dan berdasarkan hukum berlandaskan
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kerangka ini dan demi
kelestarian dan pengamalan Pancasila, kekuatan-kekuatan
sosial politik khusunya Partai Politik dan Golongan Karya
haruslah benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang
hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.

13
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

bangan ke arah ini maka Pancasila kemudian hadir


dalam suatu format kemaknaan yang sama sekali ber-
beda. Pancasila yang semula berfungsi sebagai penanda
persatuan berubah menjadi penanda kekuasaan. Dari
sign of unity menjadi sign of power.
Baru dari sini, setelah sukses dikukuhkan sebagai
fondasi dan penanda kekuasaan, Orde Baru kemudian
menggunakan Pancasila dalam kebutuhan penataan
masyarakat dan politik secara lebih luas. Di sini kita
mendapatkan beberapa pola penggunaan Pancasila
oleh Orde Baru yakni:
Pertama, membangun totalisasi politik melalui kon-
sep kewargaan yang partikularistik. Penggunaannya se-
cara jelas dapat kita pahami dari pandangan Soeharto
yang menulis bahwa:

Pancasila menetapkan menghormati hak individu. Tetapi


Pancasila menetapkan juga individu itu mempunyai kewa-
jiban sebagai mahluk sosial...Apakah seseorang atau se-
kelompok orang boleh bebas saja menyatakan pendapat
tetapi merusak kepentingan negara, kepentingan bangsa,
kepentingan golongan lain dan kepentingan keluarga lain
semata-mata karena menurutkan kepentingan sendiri? Ini
tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila.11

Di sini, pandangan mengenai Pancasila menjangkau


dimensi yang sangat luas, tidak hanya dimensi politik

11. Untuk ini lihat Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya:
Otobiografi. Sebagaimana dipaparkan kepada G. Dwipayana dan
Ramadhan K.H. (Jakarta: PT. Cita Lamtoro Gung Persada, 1989),
hlm. 422-423.

14
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

tetapi juga dimensi antropologis. Pancasila digunakan


oleh Soeharto untuk merumuskan siapa warga negara
atau siapa orang Indonesia dan hak-haknya. Dalam su-
dut pandang Soeharto ini individu dilihat sebagai ba-
gian dari totalitas masyarakat dan negara secara umum.
Pendirian atas hak individu ditentukan sejauh dalam
pertautannya dengan keberadaan dan kedudukan ne-
gara, masyarakat, bahkan keluarga. Tanggungjawab te-
rus ada mendahului kebebasan yang tidak pernah ada.
Dengan begitu, warga atau orang Indonesia didefinsi-
kan sebagai passive bearer of duties, haknya baru bisa di-
sebut hak sejauh ia menyadari kedudukannya sebagai
bagian dari komunitas yang lebih besar dan luas. De-
ngan begitu di dalam konsepsi Pancasila Soeharto ini
hak-hak sebagai pencerminan dari kebebasan indivi-
dual tidak diakui karena konsepsi hak yang diakui ada-
lah sejauh ia diturunkan dari kepentingan kelompok
yang lebih besar. Di sini, identitas komunitas jauh lebih
penting ketimbang identitas individual.
Dua, mengonstruksi siapa manusia Indonesia/
manusia Pancasila. Kelanjutan dari politik kewargaan
ini kemudian juga dilanjutkan dengan konstruksi yang
lebih hebat menyangkut ruang yang sangat privat, yakni
dengan pelebaran diskursus politik Pancasila ke dalam
ruang privat dan melalui individuasi politik. Di sinilah
lahir konsep “manusia Indonesia yang utuh, manusia
Indonesia yang lengkap”, “manusia Pancasila”, “ke-
luarga Indonesia”, “keluarga Pancasila”, termasuk
“anak Pancasila.”
Philip Kitley melihat bahwa salah satu taktik dan

15
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

cara halus tetapi efektif dalam konstruksi negara atas


pribadi Pancasila ini dilakukan melalui pembentukan
tipe ideal mengenai “anak” dan keluarga Pancasila da-
lam sandiwara boneka yang sangat terkenal sampai
akhir era 1980an yaitu Si Unyil. Si Unyil adalah anak
yang mencerminkan: pertama, masyarakat atau komuni-
tas ideal (desa Sukamaju), manusia ideal (berpeci, ber-
sarung, rajin puasa, religius, tapi meng-Indonesia);
kedua, pluralitas dan harmoni; ketiga, tidak feodalistik
tapi juga tidak kebarat-baratan. Kitley mengatakan bah-
wa figur Si Unyil ini memang dimunculkan di tengah-
tengah kebutuhan akan suatu strategi politiko-kultural
yang menekankan bahwa P4 harus diterapkan “sedini
mungkin.”12 Ini persis sebagaimana dikehendaki oleh
Soeharto ketika mengatakan bahwa “hanya seorang
yang berkepribadian Pancasila dapat membangun suatu
masyarakat yang berdasarkan Pancasila.”13
Dengan memasuki ruang privat dan proses individu-
asi itu, maka Pancasila bergerak membentuk suatu ke-
satuan yang menjangkau semua elemen. Mulai dari
bentuk masyarakat, pikirannya hingga pembentukan
ciri individual kemanusiaan dan kepribadiannya. Di
sini Pancasila berkehendak menjadi totalitarian.
Kedua, sebagai penolakan terhadap demokrasi dan
hak asasi. Penolakan terhadap hak dan kewajiban indi-

12. Untuk ini lihat Philip Kitley, “Pancasila in the Minor Key: TVRI‘s
Si Unyil Model the Child,” Indonesia 68, Oktober 1999.
13. Dikutip dan diterjemahkan dari David Bourchier, Lineages of
Organicist Political Thought in Indonesia (tesis doktroral untuk
Departemen Politik Monash University, 1996).

16
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

vidu serta kebebasan mengeluarkan pendapat itu dila-


kukan oleh Soeharto dalam pandangan sebagai berikut:

Saya tahu, terhadap diri saya ada yang senang, tetapi juga
ada yang tidak senang. Mereka yang tidak senang dengan
sendirinya mengeluarkan ucapan seperti isi hatinya... Te-
tapi kalau ucapan-ucapan dan pernyataan-pernyataan me-
reka itu sudah keterlaluan menyinggungnya, sudah keter-
laluan melanggar hukum, dengan sendirinya perbuatan
mereka itu bisa saja dihadapkan ke pengadilan.14

Penggunaan Pancasila dalam makna yang khas ber-


lawanan dengan paham demokrasi sekali lagi ditampil-
kan oleh Soeharto, ketika ia merespons munculnya kri-
tik dari kalangan oposisi pada zaman itu dengan sikap
sebagai berikut:

Pada tahun 1980 muncul apa yang menyebut dirinya


“Petisi 50”... Orang bertanya, di mana tempatnya kelom-
pok oposisi di negeri kita ini? Dalam Demokrasi Pancasila
tidak ada tempat untuk oposisi ala Barat...15

Dari sini Soeharto menegaskan pandangan bahwa


demokrasi Pancasila tidak memberikan tempat bagi
oposisi. Bukan hanya itu, ia juga menegaskan suatu
sikap partikularistik khas Soepomo yakni bahwa demo-
krasi itu ide Barat sementara Pancasila itu ide asli Indo-
nesia. Lebih jauh Soeharto menyatakan:

Dalam negara Pancasila dan Demokrasi Pancasila, kalau


ada yang menyatakan tidak setuju, OK saja. Tetapi kalau

14. Soeharto, op. cit., hlm. 423. 15. Ibid., hlm. 347.

17
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

sudah bertindak menyalahi hukum, ya, sepatutnya diam-


bil tindakan terhadapnya.16

Kemudian dengan kelegaan yang bikin gawat Soeharto


menandaskan:

Tujuan kita tidak lain adalah untuk memanunggalkan se-


mua lapisan, golongan, kekuatan, dan generasi bangsa kita
dengan dasar, ideologi, dan cita-cita bangsa dan negara-
nya. Dengan demikian, seluruh lapisan, golongan dan ke-
kuatan bangsa kita akan dapat terhindar dari konflik-
konflik batin dan ketegangan-ketegangan yang menjadi
sumber perpecahan dan luka-luka bangsa.17

Dengan menyatakan bahwa tujuan kita adalah me-


manunggalkan semua lapisan, golongan, kekuatan, dan
generasi dengan cita-cita bangsa dan negaranya, konse-
kuensi dan bentuk praktis dari pandangan ini secara
tegas dilakukan Soeharto dengan menerapkan sistem
kepartaian yang sebenarnya tunggal dengan landasan
Asas Tunggal. Maka Soeharto secara penuh mengge-
napi apa yang pernah dikehendaki oleh Soepomo ke-
tika mengatakan “negara ialah suatu susunan masyara-
kat yang integraal, segala golongan, segala bagian, se-
gala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan

16. Ibid. Soeharto menyebut kasus Sawito sebagai contoh oposisi yang
bermaksud menjatuhkan pemerintah. Kasus Sawito berawal dari
apa yang dikenal dengan istilah “dokumen Sawito”, sebuah naskah
kritik berjudul Menuju Keselamatan yang melibatkan nama-nama
besar seperti Bung Hatta dan Prof. Hamka. Oleh pengadilan Sawito
dinyatakan bersalah dan dihukum penjara selama 8 tahun.
17. Ibid., hlm. 409.

18
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

merupakan persatuan masyarakat yang organis.”18


Oleh Soeharto, Pancasila secara unik dikombinasi-
kan dengan integralisme. Bedanya, pada Soepomo inte-
gralisme berhenti sebagai gagasan yang dikumandang-
kan dalam suatu diskursus kepolitikan yang rasional,
sementara pada Soeharto, Pancasila/integralisme ini
dikumandangkan dalam pesan politik kekuasaan yang
bisa segera dilanjutkan dengan segala bentuk ancaman
dan opresi.
Yang tidak pernah dipedulikan oleh Soeharto ada-
lah kenyataan bahwa dengan penerapan Pancasila me-
lalui jalan kekerasan, imaji dan tujuan persatuan nasio-
nal yang sejati justru semakin menjadi rapuh. Semakin
digunakan dalam kekerasan, semakin kuat antipati dan
resistensi bermunculan. Pancasila dalam praktik politik
Orde Baru bukan mempersatukan Indonesia, tetapi jus-
tru memisahkan dan memecah Indonesia sebagai se-
buah kesatuan politik.
Ketiga, meredam resistensi sosial melalui stigmati-
sasi dan kriminalisasi dalam diskursus komunis/PKI
versi Orde Baru. Rahasia tragedi 1965 adalah wilayah
“keramat” yang dijaga sedemikian rupa dari pengeta-
huan publik. Tahun dan peristiwa itu telah menjadi se-
macam –dalam istilah Zizek—poin de capiton dalam arti
yang sempit bagi Pancasila ala Orde Baru, yakni bahwa
pemaknaannya sama sekali bukan lagi diproduksi oleh
suatu tafsir akademik yang bebas dan luwes, melainkan
dipandu dan ditempatkan dalam suatu arena yang di-

18. Lihat Risalah BPUPKI, op. cit., hlm. 33.

19
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

kuasai oleh berbagai pihak mulai dari aparatur negara


Orde Baru, intelektual binaannya, ulama/rohaniawan
yang terlibat dalam peristiwanya demi menjaga keraha-
siaan dan kekeramatannya.
Oleh karenanya, 1965 adalah tahun eksistensial bagi
Orde Baru dan seluruh pihak pendukungnya. Di sini
semua harus bisa ditarik dan dipanggil pulang ke da-
lamnya. Dalam arti ini, diskursus politik apa pun hen-
dak dijelaskan dan dipelihara dengan memelihara
kenangan “kejayaan” tahun ini.
Di titik ini, maka Orde Baru dan Pancasila yang “di-
murnikan” di dalamnya menjadi pembatas dan ukuran
baru bagi siapa pun. Orde Baru/Pancasila artinya bu-
kan Orde Lama, artinya bukan Soekarno, bukan komu-
nis, dan bukan PKI. Artinya lagi, yang menentang Orde
Baru –dalam hal ini kebijakan-kebijakannya maupun
yang bukan kebijaknnya—akan berarti melawan Panca-
sila yang “murni dan konsekuen.”
Pembentukan demarkasi politik semacam ini tidak
lain adalah pembentukan wilayah teror. Karena pada
kenyataanya dia lebih banyak digunakan untuk menilai
dan mematikan berbagai bentuk gerakan sosial yang
muncul sebagai akibat dari buruknya kebijakan sosial
dan ekonomi Orde Baru. Yang paling jelas di sini ada-
lah dalam hal meredam gerakan buruh, gerakan komu-
nitas dan petani.
Dalam gerakan buruh, kontrol ini terasa lebih jelas,
karena Orde Baru –waktu itu melalu Sudomo—mem-
bentuk apa yang disebut sebagai “Hubungan Industrial
Pancasila.” Intinya adalah menekankan pentingnya

20
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

melihat pekerja dan majikan sebagai mitra yang saling


menjaga demi pembangunan dan harmonisasi. Dengan
pandangan industrial semacam itu, maka jelas setiap
protes buruh akan segera dituduh sebagai melawan
Pancasila atau disusupi komunis/PKI.
Pancasila pun jadi terlihat garang dalam mengha-
dapi apa yang disebut sebagai “musuh-musuh negara”
tetapi begitu lemah apabila digunakan untuk menjawab
persoalan rakyat yang paling dasar seperti kemiskinan
dan ketidakadilan sosial.
Dengan penjelasan ini, maka dapat kita katakan
bahwa sebenarnya terdapat dua Pancasila. Yang perta-
ma adalah Pancasila yang awal, yang berfungsi sebagai
penanda persatuan dan pengikat berbagai perbedaan,
menjamin kemajemukan, kesatuan nasional, dan pe-
nyemat pendirian republik modern Indonesia. Panca-
sila yang pertama ini adalah Pancasila yang belum atau
tidak mengalami ideologisasi, ontologisasi, dan jamin-
an represi.
Pancasila yang kedua adalah Pancasila yang telah
direkonstruksi oleh Orde Baru dengan penyumpalan
politik pemaknaan pasca 1965. Di sini Pancasila per-
tama-tama memang berfungsi sebagai demarkasi yang
membangun batas historis antara Orde Baru dengan
Orde Lama. Pada yang kedua ini Pancasila dikonstruk-
si sebagai suatu sistem nilai yang khas partikular. Di
sini filosofikasi dan ideologisasi Pancasila mengalami
tahap yang paling vulgar dan fundamental. Yang men-
colok dalam proses kedua ini, ketubuhan politik Panca-
sila sebagai ideologi dimungkinkan dengan bantuan

21
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

integralisme Soepomo.
Akibat transformasi menjadi ideologi ke arah totali-
tarianisme di bawah Orde Baru, Pancasila yang semula
merupakan penanda persatuan di dalam perbedaan dan
ideal penting dalam pendirian republik modern justru
mengalami kerusakan. Kerusakan yang pertama adalah
dia menjadi obsolete (usang dan lapuk) karena terlampau
sering diperlawankan dengan gagasan modern seperti
demokrasi dan hak asasi. Yang kedua, dia dianggap
sebagai sumber represi yang mengakibatkan trauma
sosial bagi banyak orang. Yang ketiga, Pancasila tidak
dapat masuk dan ikut serta ke dalam wacana perubah-
an politik demokratisasi di Indonesia. Akibat terjauh-
nya adalah: transisi di Indonesia mengalami defisit
ideal dalam rangka mempertahankan ciri kolektifnya.
Di sini demokrasi berjalan tanpa suatu politik kewarga-
negaraan yang baru.

Tantangan untuk Kembali ke Pancasila

Pasca runtuhnya Orde Baru, Pancasila dianggap seba-


gai semacam “ampas politik” yang ikut terbenam ber-
sama Orde Baru. Namun demikian, justru dalam masa
reformasi ini pertumbuhan demokrasi di Indonesia
mesti menghadapi dua tantangan yang berat.
Yang pertama adalah menguatnya gejala transaksio-
nalisasi dan komodifikasi segala bentuk ruang kehidup-
an. Di sini yang lain dipandang sebagai alat dan semata-
mata koin dalam pertukaran kepentingan. Maka solida-
ritas, rasa dan kerelaan untuk berkorban untuk kepen-

22
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

tingan umum atau orang lain menjadi tidak mendapat


tempat. Dengan begitu, kemanusiaan dan keadilan so-
sial menjadi muskil, karena kemanusian dan keadilan
hanya mungkin dengan mensyaratkan adanya kesadar-
an manusia untuk hidup dalam kebersamaan dengan
yang lain. Parahnya lagi, gejala ini mengendap secara
lebih kuat justru di wilayah-wilayah publik yang utama,
yakni dunia politik. Transaksionalisasi dan komodifi-
kasi telah mencaplok dunia politik kita dan mengubah-
nya menjadi pasar.
Yang kedua adalah munculnya gejala totalisasi lain
dalam menguatnya fundamentalisme agama dan sekta-
rianisme. Fundamentalisme dan sektarianisme tidak
hanya mengklaim suatu kebenaran tunggal, lebih jauh
lagi ia juga memaksakan preferensi atas kebenaran
tunggal itu sebagai kebenaran yang mesti dianut oleh
yang lain. Fundamentalisme tidak hanya cukup dengan
klaim bahwa “apa yang ia kenakan adalah yang paling
patut”—ia juga menghendaki bahwa “apa yang patut
buat dia mesti juga patut buat yang lain.”
Dengan kata lain, fundamentalisme melihat perbe-
daan sebagai halangan dan ancaman, yang oleh karena-
nya muncul agresivitas untuk menghapus dan melebur-
kan kemajemukan, bila perlu dengan kekerasan dan
paksaan. Dengan begitu, fundamentalisme juga ber-
maksud menguasai ruang publik dengan menjadikan
diskursusnya sebagai satu-satunya diskursus publik
yang boleh ada.
Maka, baik pasar maupun fundamentalisme sebe-
narnya memiliki perilaku yang sama, yakni keduanya

23
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

hendak mengeliminasi politik sebagai arena publik. Ke-


duanya sama-sama berkemauan mentotalisasi dan me-
nyeragamkan seluruh dunia kehidupan. Di dalam totali-
sasi ini tidak pernah akan ditemukan keadilan serta ke-
manusiaan. Keadilan dan kemanusiaan tidak akan per-
nah dicapai tanpa mengandaikan pluralisme.
Singkatnya dan pada akhirnya, kehadiran dua totali-
sasi ini menantang pendirian-pendirian persatuan
Indonesia dalam pengertiannya yang paling fundamen-
tal. Di titik ini kita kembali perlu membicarakan Panca-
sila, yakni: Pancasila yang bagaimanakah yang bisa
berdamai dengan demokrasi?
Dari pemahaman terhadap ideologisasi Pancasila
semasa Orde Baru, kita memahami bahwa justru berba-
gai filosofikasi (melalui Soepomo) dan ontologisasi ma-
lah menjadikan Pancasila menjadi paham yang esen-
sialis dan sama-sama mengandalkan kemutlakan. Ke-
mutlakan dalam Pancasila telah mengambil korban
yang sangat besar dan malah memecah masyarakat
Indonesia. Selain esensialisme di dalamnya, Pancasila
Orde Baru juga mengalami partikularisasi yang khas
yang digunakan semata-mata demi kepentingan legiti-
masi kekuasan Orde Baru.
Dari pelajaran ini, tersedia tiga kemungkinan. Yang
pertama adalah menghadirkan Pancasila dalam fungsi
dan tujuan aslinya yakni –sebagaimana pernah disam-
paikan oleh sejarawan Onghokham—semata-mata
sebagai kontrak, penanda persatuan dan pendirian re-
publik. Di sini seluruh bangunan filsafat, ontologisasi,
dan metafisikanya dirontokkan karena sama sekali ti-

24
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN

dak diperlukan. Esensialisme dalam Pancasila ditolak


dan dia dikukuhkan benar-benar secara praktis dalam
hukum/konstitusi sebagai ideal pemersatu. Atau yang
kedua, kita tetap mempertahankan esensialisme di da-
lamnya dengan membuang partikularisme Soepomo se-
cara total. Partikularisme bawaan Soepomo digantikan
dengan suatu tafsir universal. Di sini setiap sila tetap
diturunkan dan ditafsirkan di dalam nilai-nilai universal
mengenai demokrasi, hak asasi, keadilan sosial, juga di-
ajarkan bukan lewat doktrin penataran P4, melainkan
melalui pendidikan demokrasi kewargaan. Yang ketiga
mungkin adalah menggabungkan keduanya, memang-
kas esensialisme dan sekaligus memberikan penafsiran
universal ke dalam penggunaannya. Bagaimana ini di-
lakukan?

25
2 Pancasila, Hak Asasi Manusia,
dan Kewarganegaraan Baru

Hilangnya Sebuah Pusat Diri

“Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah ba-


ru belum jua jelas.” Ungkapan itu dilontarkan Mochtar
Lubis untuk menggambarkan situasi dan identitas se-
buah subyek besar yakni manusia Indonesia. Kini tiga
dasawarsa lebih semenjak ungkapan legendaris itu di-
lontarkan, pernyataan yang sama harus kita ajukan
lagi: “Politik dan rezim lama sudah tak keruan di kaca,
sedang wajah demokrasi dan masyarakat baru tak jua
jelas.” Di satu sisi kita sudah menolak bahkan hendak
mengubur kepolitikan yang brutal, membelenggu, dan
despotis yang menjadi ciri sistem dan pola Orde Baru,
tapi sekarang di saat kebebasan sudah diraih, justru
intoleransi, kekerasan, dan keterbelakangan makin ma-
rak dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan masalah dan keadaan semacam itu, banyak
orang jadi mulai bertanya-tanya “Sungguh masih ada-
kah Indonesia itu?” Indonesia dalam arti bukan sebagai

26
PANCASILA , HAM , DAN KEWARGANEGARAAN BARU

sebuah prosedur, bukan pula dalam arti kerja aparat-


nya, tapi Indonesia sebagai sebuah wahana yang di-
maknai secara sadar, progresif, dan bersama-sama.
Kalau benar masih ada bagaimana kita bisa memasti-
kannya? Siapakah Indonesia itu sekarang? Mengapa
yang buruk, bodoh, korup, bengis dan brutal justru be-
gitu gampang diambilalih dan diindonesiakan sebagai
“yang Indonesia”, sementara yang baik, masuk akal,
damai, solider justru tidak dipilih dan sulit untuk di-
indonesiakan? Apa yang salah? Mengapa modus identi-
tas nasional kita sekarang begitu jatuh dan terbelakang
hingga membuat banyak kelompok meninggalkan dan
malah berupaya mengubah bahkan menolak keindone-
siaan dan kembali ke kantong-kantong dan alam pri-
mordialnya masing-masing? Di mana peran –kalau
mungkin—bagi ideal-ideal hak asasi manusia dalam
mengisi kekosongan dan keterbelakangan ini? Lantas
bagaimana prospek hidup bersama di tanah warisan
Soekarno-Hatta ini?

Sikap-sikap dalam Memahami Identitas Nasional

Rontoknya identitas nasional dalam beberapa segi sebe-


narnya juga disadari oleh sejumlah pihak, tetapi sikap
dan reaksi politik yang dipilih untuk menghadapi dan
menyelesaikannya beragam. Untuk beberapa kasus jus-
tru sama sekali tak memiliki daya penyelesaian masa-
lah. Setidaknya kita jumpai tiga sikap dalam merespons
krisis identitas nasional. Sikap pertama berbasis pada
ide bahwa Indonesia sebagai konsep sudah final, tetapi

27
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

aktor dan relasi aktornya terus berubah. Di sini yang


ditekankan adalah peran individu serta psikologi-politik
yang menggarisbawahi karakter kepemimpinan. Dalam
ide ini, ideal tentang Indonesia diakui sebagai ideal uta-
ma yang baik dan bersifat immortal, timeless, dan ahisto-
ris serta melekat pada simbolnya. Indonesia dianggap
sebagai sebuah konsepsi final, sehingga dengan demi-
kian segala keterbelakangan menyangkut upaya-upaya
rekonsepsi dan inkorporasi sosial politik di dalamnya
dilihat sebagai masalah dan problem dari agen-agen atau
paling tidak pada cara, mekansime, instrumen politik
maupun hukum di dalamnya semata-mata.
Dalam pandangan ini, keterbelakangan keindone-
siaan dan rontoknya jatidiri dilihat sebagai akibat tin-
dakan para aktor semata-mata dan tidak dilihat sebagai
akibat berbagai pendefinisian mengenai Indonesia yang
berubah-ubah. Masalah diakui ada, tetapi bukan dalam
ide dan konsepsi Indonesia itu sendiri, melainkan pada
orang dan aktor-aktornya. Artinya, Indonesia tidak per-
nah diakui sebagai diskursus politik yang terbuka, me-
lainkan sebuah realitas mutlak yang dilepaskan dari
kemungkinan dialektisnya.
Pandangan yang kedua lebih bersifat eksklusif dan
introvert. Ide utamanya adalah memutlakan identitas
Indonesia secara keseluruhan sebagai entitas metafisik.
Keterbelakangan, kekerasan dan brutalisme, korupsi di-
tolak, tetapi dianggap sebagai barang asing yang bukan
berasal dari Indonesia. Kekacauan dalam pengindone-
siaan dianggap semata-mata sebagai konstruksi dan
tipu daya pihak luar. Gagasan ini berdiri pada gagasan

28
PANCASILA , HAM , DAN KEWARGANEGARAAN BARU

mengenai adanya dua dunia yang sama sekali terpisah,


yakni antara Indonesia (yang selalu bagus, indah, da-
mai, aman, beriman, suci dst) dengan yang bukan-Indo-
nesia (yang barat, terbelakang, kacau, jahiliyah dst).
Dalam pandangan ini, Indonesia baik sebagai konsep
maupun Indonesia dalam entitas-entitasnya yang terse-
rak merupakan realitas mutlak yang tidak dapat lagi di-
ganggu-gugat. Di sini konsepsi Indonesia baik sebagai
bangsa, negara, maupun relasi individual dilihat seba-
gai satu kesatuan mutlak. Pendekatan semacam ini s-
ama sekali tidak mau belajar dari luar, cenderung xeno-
fobi, dan secara ironis justru menolak pembaharuan de-
ngan berpegang kembali pada ide yang konservatif
mengenai Indonesia.
Wawasan ketiga melihat identitas nasional Indone-
sia sebagai sebuah imajinasi politik, dan sebagai imaji-
nasi maka ia bersifat progresif, terbuka sebagai diskur-
sus akal budi, dan dengan itu juga rentan terhadap se-
gala upaya pemaknaan. Dengan posisi ini, maka identi-
tas nasional selalu berubah seiring dengan berbagai ke-
kuatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang men-
coba mendefinisikannya. Pandangan ini memandang
Indonesia sebagai sebuah arena yang terbuka terhadap
berbagai perjuangan nilai-nilai. Persis sebagaimana di-
ramalkan Soekarno manakala ia mengatakan bahwa
“tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jika-
lau di dalam badan perwakilannya tidak sekan-akan
bergolak mendidih candradimuka, kalau tidak ada per-
juangan paham di dalamnya.” Artinya, identitas nasio-
nal –bahkan Indonesia sekalipun—bukanlah sebuah

29
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

konsepsi yang mutlak.


Namun demikian, dengan ini bukan mau dikatakan
bahwa identitas nasional itu bersifat melulu relatif.
Yang hendak ditekankan dalam pandangan ini adalah
pentingnya kesadaran bahwa identitas nasional sebagai
sebuah konsepsi politik lekang terhadap kegiatan-
kegiatan yang hendak mengubah makna dan bentuk-
bentuk simboliknya. Artinya, identitas nasional harus
dipandang sebagai entitas yang penuh dan senantiasa
dalam pergulatan.

Identitas Nasional sebagai Diskursus Politik

Pertarungan dalam upaya membentuk identitas nasio-


nal kewargaan sebenarnya telah berlangsung sepanjang
sejarah pembentukan Indonesia modern. Namun demi-
kian, memasuki era Orde Baru dan sesudahnya, per-
tarungan itu berlangsung secara lebih khusus dan
menarik.
Pada masa Soekarno, diskursus identitas nasional
lebih diarahkan pada pembentukan identitas kolektif
yang mengatasi ras, agama, kelas, suku, dan etnis. Ke-
beradaan yang lain, yang bukan kita (penjajah, imperi-
alis dsb) didefinisikan dalam kerangka emansipasitf
dan berhenti pada wilayah ideologi. Ini ditegaskan oleh
pendirian Soekarno yang mengacu secara terang-
terangan pada pemahaman Ernest Renan bahwa identi-
tas nasional ditentukan oleh sejauh mana individu me-
resapi rasa senasib, kesejarahan, dan solidaritas kebersa-
maan. Secara politik, gagasan Renan ini yang kiranya

30
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

dipakai Soekarno pada Juni 1945 sebagai dasar untuk


menekankan penolakannya pada hak-hak individual.
Pandangan Soekarno mengenai nasionalitas yang
berbasis pada kemauan kolektif sedikit banyak sebenar-
nya bisa ditemui dalam pikiran Rousseau mengenai
negara. Menurut Rousseau, negara tidak terbentuk atas
kemauan kontraktual individual sebagaimana pada
Locke, melainkan lebih merupakan ekspresi dari kehen-
dak bersama (popular will). Sehingga dengan itu negara
tidak menurunkan hak-hak dengan dasar kepentingan
yang bersifat individualistik, melainkan lebih pada ke-
hendak bersama yang disepakati. Dengan pandangan
semacam ini, maka secara otomatis identitas kolektif
menjadi sangat menonjol dan penting, bahkan diutama-
kan dalam pembentukan berbagai produk kepolitikan.
Implikasi politik dari ideal Soekarno ini adalah
negara nasional memang didefinisikan sebagai sebuah
totalitas yang mengatasi kemauan-kemauan dan aspi-
rasi-aspirasi lain di bawahnya. Maka nasionalitas Indo-
nesia yang kemudian terbentuk benar-benar didasarkan
pada suatu rumusan politik yang diabstraksikan sede-
mikian rupa sebagai rasa senasib dan sepenanggungan
dalam sejarah. Jadi pertanggungjawaban tertinggi atas
sejauh mana dan sedalam apa seseorang “mengindo-
nesia” atau tidak bergantung pada rasa solidaritasnya
dan keterlibatannya dalam perasaan tersebut.
Soekarno dan lain-lain dalam Sidang BPUPKI
kemudian memberikan sebuah pengukuhan terhadap
dasar identitas nasional yang terbentuk itu dengan me-
mancangkan sebuah prinsip kepolitikan melengkapi

31
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

totalisasi nasionalitas, yakni Pancasila. Pendirian ini di-


tegaskan oleh Soekarno sebagai berikut:

“Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan Nega-


ra Indonesia Merdeka. Paduka Tua Ketua timbulah per-
tanyaan: Apakah “Weltanschauung” kita untuk mendirikan
Negara Indonesia? Apakah Nasional-sosialisme? Apakah
Historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai
dikatakan doktoe Sun Yat Sen? ...Kita bersama-sama men-
cari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu
“Weltanschauung” yang kita semua setuju…”

“Tetapi Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah ke-


pada Saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti se-
insyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanshauung da-
pat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan
sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi
kenyataan, menjadi realiteit, jika tanpa perjuangan.”1

Dengan weltanschauung maka Soekarno meletakkan


Pancasila sebagai semacam perspektif, yakni cara kita
melihat dan memandang dunia. Sebagai perspektif,
maka Pancasila berfungsi secara positif, yakni mem-
berikan instrumen untuk memahami realitas, semacam
obor penerang atau peta yang memberi arah dan orien-
tasi, semacam jendela yang melalui bingkainya yang
terbatas kita mampu menjangkau cakrawala atau hori-
son yang jauh lebih luas.
Pancasila sebagai perspektif ini secara positif diper-
kuat dan dipertegas dengan konsepsi keduanya, yakni

1. Soekarno, Pidato 1 Juni 1945.

32
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

sebagai filsafat dasar bernegara. Dengan demikian ia


memiliki setidaknya tiga sifat, yakni: memberikan ori-
entasi; wacana yang bisa dipertanggungjawabkan se-
cara rasional dan dialogis; dan berfungsi kritis. Dengan
menyebut Pancasila sebagai filsafat dasar, maka tidak
kepalang lagi Soekarno hendak sekaligus meletakkan
Pancasila tidak hanya sebagai nilai-nilai yang mem-
berikan orientasi, tetapi juga pijakan untuk meneliti dan
mentransformasi dunia luar.
Dengan pengukuhan ideal ini, maka pada akhirnya
Pancasila terwujud secara politik sebagai simbolisasi
paling penting –selain bahasa Indonesia, bendera, dan
sebagainya—dari identitas nasional. Pertama, ia menja-
di penanda politik dari pendirian sebuah republik. Ke-
dua, identitas nasional itu mencakup kekhasan filosofis
dan normatif. Dengan kekhasasan yang sifatnya filo-
sofis tersebut, maka identitas nasional Indonesia juga
memiliki sifat-sifat self-criticism dan self-reflection. Artinya
ia bisa dipakai untuk mengevaluasi dan mengkritik ke
dalam. Ketiga, ia memang secara rasional dan terbuka
dipilih sebagai jalan untuk mengikat dan mempersatu-
kan kota-kota republik yang tercerai berai.2 Artinya,
Pancasila sebagai identitas nasional selain memiliki

2. Istilah “kota-kota republik” sengaja dipakai di sini untuk merujuk


dan mengingatkan pada konsepsi Machiavellian mengenai jatuh-
nya apa yang ia sebut sebagai kota-kota republik akibat perpecahan
di dalamnya. Padahal kota-kota tersebut menurut Machiavelli me-
nunjukkan ciri dari perkembangan demokrasi dan pemerintahan
rasional dan sekuler yang baik. Sayangnya, karena kurangnya ke-
pemimpinan politik, mereka saling berkonflik dan terpecah satu
sama lain.

33
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

fungsi normatif juga memiliki fungsi instrumental,


yakni mempersatukan dan memberikan tanda di dalam
persatuan politik tersebut. Ketiga substansi inilah yang
pada akhirnya berkembang dan secara kultural kemudi-
an dinamakan sebagai jatidiri bangsa.
Namun demikian, pada Soekarno, konsepsi Panca-
sila sebagai jatidiri bangsa ini digunakan masih lebih
sebagai bagian dari suatu mekanisme politik kebudaya-
an yang relatif sedikit lebih terbuka. Selebihnya sebagai
diskursus memang ia juga sering digunakan sebagai
bagian integral politik populis para pemimpin khas
negara bekas jajahan pada fase-fase awal pendiriannya.
Karakter ini tampak dengan jelas berkembang mema-
suki sebuah diskurus baru mengenai apa yang disebut
sebagai kepribadian nasional. Konsepsi mengenai kepri-
badian nasional berkembang secara intens pertama kali
pada era 1950-1959, terutama di forum Konstituante,
dan diuraikan lebih jauh oleh sejumlah pemikir seperti
N. Drijarkara, Sjamsi, dan Noto Hamidjojo.
Perkembangan diskursus Pancasila sebagai identitas
nasional yang lebih bersifat normatif dan kultural ini
sendiri didorong oleh suasana kebebasan politik yang
berkembang pada masa Undang-undang Dasar Semen-
tara. Menurut Pranarka, perkembangan ini memang
banyak dipengaruhi oleh munculnya penafsiran atas
Pancasila secara filosofis dan reflektif di satu sisi, se-
mentara di sisi yang lain suasana kepolitikan pada masa
itu memang diramaikan oleh persaingan politik dan
ideologi partai-partai yang demikian intens dan demo-
kratis. Dua hal ini yang mendorong munculnya sebuah

34
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

diskursus Pancasila yang lebih terbuka, majemuk,


reflektif, dan bersifat kultural.3
Konsepsi jatidiri di dalam diskursus Pancasila ke-
mudian berubah seiring dengan pembubaran Konstitu-
ante, dan Soekarno menjadi lebih keras dalam menggu-
nakan dan memanfaatkan berbagai diskurus politik
yang ada termasuk Pancasila, jatidiri bangsa, serta ke-
pribadian nasional. Yang semula lebih bersifat kultural
bergerak ke arah yang lebih politik bahkan ekonomi.
Namun demikian, perubahan yang benar-benar te-
lak baru terjadi pada masa Soeharto dan Orde Baru.
Pada Soeharto, identitas nasional, identitas politik, dan
rezim politik disatukan secara total ke dalam satu sis-
tem kekuasaan. Maka segala diskursus menyangkut
identitas nasional, Pancasila, jatidiri bangsa dipusatkan
hanya pada satu rujukan saja, yakni dirinya sendiri atau
Orde Baru.
Totalisasi mutlak ini berlangsung melalui proses
yang rumit dan kompleks. Soeharto mengambil alih ter-
lebih dahulu klaim politik identitas dan jatidiri itu dari
Soekarno ke dalam kepolitikan Orde Baru. Seperti te-
lah diuraikan pada bab sebelumnya, ini dilakukan de-
ngan membuat pembedaan antara rezimnya yang
mengklaim “menjalankan Pancasila secara murni dan
konsekuen” untuk menggantikan penafsiran Pancasila
masa Soekarno yang disebutnya “menyeleweng.” Di
titik ini kekaburan dan kekacauan gagasan serta argu-
mentasi yang sama sekali inkonsisten satu sama lain di-

3. Pranarka, op. cit., hlm. 339.

35
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

ajukan demi membangun sistem legitimasi politik ber-


kaitan dengan Pancasila. Di satu sisi Orde Baru menu-
duh komunis sebagai biang keladi kekacauan 1965 dan
bahwa itu dikarenakan komunis hendak mengganti
dasar Negara, tetapi di sisi lain disebutkan bahwa Soe-
karno atau Orde Lama secara umum tidak melaksa-
nakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam
alasan di balik penindasan terhadap komunis inilah ter-
letak kekaburannya: Apakah karena komunis mau
mengganti Pancasila? Atau karena Pancasila disele-
wengkan oleh komunis dan Orde Lama? Ini dua hal
berbeda yang digunakan secara bergantian oleh Soe-
harto untuk menjelaskan Pancasila versi Orde Baru.
Yang lebih penting lagi sesungguhnya: apa benar komu-
nis mau mengganti Pancasila? Bukankah dalam sejarah
politik bahkan sampai saat terakhir persidangan Kons-
tituante, kaum komunis justru salah satu faksi politik
yang paling setuju dan mendukung Pancasila?
Artinya, diskursus Pancasila pada awalnya benar-
benar dipakai oleh Soeharto secara pragmatis-instru-
mentalis, yakni sebagai cara untuk membangun demar-
kasi politik antara dirinya “yang murni dan konsekuen”
dengan rezim lama yang “menyeleweng.” Klaim ke-
murnian itu sendiri lantas diartikan sebagai status baru
Pancasila yang telah dibersihkan dari unsur-unsur pe-
nafsiran ideologis yang marak pada era 1950-1959, ter-
utama penafsiran Marxisme. Jadi murni di sini juga
dapat diartikan bahwa penafsiran Pancasila kini steril
dari tafsir kiri.
Namun demikian, purifikasi dari pikiran Marxis

36
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

rupanya barulah awal dari sebuah politik diskurus yang


lebih besar, yakni sterilisasi dari segala pemikiran ten-
tang demokrasi, hak asasi, dan penafsiran liberal. Di
sini Pancasila benar-benar direkonstruksi sebagai se-
buah ideologi partikular yang bukan ini bukan itu dan
benar-benar baru. Baru dalam arti bahwa ia mulai di-
susun sebagai sebuah doktrin filsafat yang komprehen-
sif yang tidak hanya menyangkut segi-segi ontologis,
bahkan disusun segi epistemologisnya lengkap dengan
segi etis dan praksisnya. Lebih jauh lagi, doktrin kom-
prehensif ini kemudian secara politik dipakai sebagai
ukuran segala hal mulai dari soal kenegaraan yang
kompleks dan luas hingga ke soal-soal yang personal
dan sempit.
Salah satu segi etis yang kemudian didefinsikan se-
cara serius oleh Pancasila ala Orde Baru adalah soal
siapa dan apa itu manusia Indonesia. Muncul sebuah
diskursus baru yang dipakai secara bergantian untuk
menunjuk hal yang sama, yakni “manusia Indonesia
seutuhnya” dan “manusia Pancasila.” Di titik ini kita
kembali kepada soal awal yang menjadi topik bab ini,
yakni soal identitas nasional. Apabila di era Soekarno
identitas atau jatidiri nasional merupakan konsepsi
yang lebih banyak dipakai untuk memberikan kerangka
kebudayaan politik yang bersifat imaginary frontier dan
makro, maka pada era Soeharto identitas nasional
dalam sifatnya yang khas partikularistik makro itu di-
lanjutkan dan ditambahkan dengan entitas mikronya
yakni soal manusianya. Artinya, antara bangsa, negara,
dan manusian dileburkan jadi satu ke dalam suatu iden-

37
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

titas tunggal.
Dengan demikian yang disebut sebagai jatidiri di sini
lebih merupakan kesatuan politik, kultural, ideologis
yang didefinisikan secara baku, kaku, dan lengkap de-
ngan sifat-sifat fisik (di sini menjadi bisa dimengerti
mengapa berbagai bentuk pendisiplinan dalam upacara
bendera, baris berbaris, senam kesegaran jasmani men-
jadi sedemikian penting) maupun ciri-ciri psikologis
atau mentalitasnya (lihat 16 butir-butir Pancasila). Di
sini Pancasila dan identitas nasional benar-benar ber-
fungsi sebagai apa yang disebut oleh Foucault sebagai
biopower. Di titik ini, berbeda dengan suasana awal
hingga akhir 1950an di mana penafsiran akan makna
Pancasila dilakukan dalam suasana keterbukan dan pe-
nuh kontestasi seiring dengan keragaman partai-partai
dan ideologi politik yang tumbuh pada waktu itu, Orde
Baru menjadikan dirinya agen tunggal yang memono-
poli penafsiran serta konstruksi filosofis terhadap Pan-
casila. Aspek reflektifnya dihilangkan seraya aspek dok-
trinernya diperkuat. Dengan kehendak mencapai totali-
tas fisik-mental, universal-partikular, mikro-makro terse-
but, maka tak pelak Pancasila memang dibentuk dan di-
definisikan oleh Orde Baru lebih sebagai ideologi
totalitarian yang berkecendrungan fasistik.
Di sini kemudian muncul paradoks. Di satu sisi, se-
cara konseptual sebagai simbol jatidiri bangsa maupun
warga, Pancasila disusun dalam doktrin dengan detail
yang nyaris sempurna, bahkan diangkat ke atas dan di-
keramatkan. Namun di sisi lain, secara praktis ia lebih
sering digunakan sebagai instrumen politik untuk mela-

38
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

yani kebutuhan-kebutuhan pengendalian politik sehari-


hari yang kasar dan kasat mata seperti misalnya untuk
menghentikan pemogokan buruh, petani, LSM. De-
ngan modus semacam ini maka secara politik Pancasila
serta konstruksi identitas nasional dan konsepsi jatidiri
di dalamnya lambat laun makin dibawa dalam perten-
tangan dengan normativitas yang lebih besar, terutama
dengan hak asasi manusia dan demokrasi.
Namun demikian, seiring dengan rentetan dan jejak
kekerasan yang dibuatnya, konstruksi politik dan ideo-
logi Orde Baru itu bukannya tanpa tantangan. Pada
April 1993 dengan sponsor PBB, sejumlah LSM di Asia
menyelenggarakan pertemuan internasional di Bang-
kok yang menghasilkan sebuah deklarasi bersama. Di
dalam deklarasi itu ditegaskan komitmen LSM Asia
terhadap nilai dan universalitas, individualitas, dan pen-
tingnya pemenuhan hak-hak sipil-politik serta hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya. Pada Juni tahun itu juga,
pertemuan dan deklarasi yang sama dilakukan oleh
LSM-LSM di Indonesia. Dengan deklarasi itu, peng-
amat LSM Philip Eldridge menandai munculnya ke-
cenderungan baru dalam debat hak asasi manusia di In-
donesia, bahwa sejak 1993 LSM di Indonesia secara
paradigmatik telah menempatkan dirinya di dalam
3
khazanah liberal.
Penerimaan ini menandai sebuah fase penting, yakni
bahwa sejak saat itu bentuk-bentuk kritik dan oposisi

3. Lihat dalam Philip J. Eldrige, Non-Government Organizations and


Democratic Participations in Indonesia (Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1995).

39
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

terhadap pemerintah tidak lagi semata-mata dilakukan


dalam semangat kritik spontan reaktif yang tanpa dasar
normatif atau konsepsi ideologis tertentu, melainkan
memiliki pendasaran normatif dan teoretis yang lebih
luas. Ini yang kemudian memungkinkan HAM diper-
gunakan dalam keperluan yang lebih stratregis, lebih
luwes, dan terpadu. Di titik ini, LSM-LSM yang berdiri
pada tahun-tahun sesudahnya kemudian memang
secara intrumental dan teknis mulai meletakkan dirinya
di dalam khazanah HAM dan demokrasi dengan lebih
sistematis. Mereka pun semakin dalam meletakkan
hubungan-hubungan institusional dan paradigmanya
dengan lembaga-lembaga dan komunitas internasional.
Dengan menguatnya aspek normativitas ini, maka
LSM-LSM yang bergerak di bidang advokasi dengan
sendirinya menemukan arena yang lebih “aman” dalam
berhadapan dengan negara, yakni di dalam arena hak.
Arena hak dalam beberapa segi merupakan arena ber-
main yang aman karena di sini gerakan pro-demokrasi
itu bisa berkelit dari tuduhan-tuduhan sebagai gerakan
“komunis, radikalis” dsb. Dalam arena ini pula, gerak-
an bisa melakukan perlawanan dan kritik-kritik yang
dasarnya bisa diambil dari norma-norma yang terdapat
di dalam sistem nilai kepolitikan Indonesia sendiri se-
hingga dengan itu mereka bisa juga bertahan dari tu-
duhan-tuduhan antek asing dsb, sekaligus di sisi yang
lain dimensi universalisme di dalamnya mampu mem-
berikan sokongan solidaritas yang lebih besar terutama
dari kalangan institusi dan LSM internasional. Dengan
basis politik dan relasi kuasa semacam itu, maka sebe-

40
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

narnya modal politik LSM untuk memajukan inisiatif-


inisiatifnya dalam perubahan kebijakan negara me-
mang menjadi semakin besar peluangnya.
Kekuatan baru ini dapat dilihat buktinya dengan
meningkatnya isu-isu hak asasi manusia berbasis ke-
pentingan kolektif dan urban, terutama isu buruh yang
secara efektif melengkapai gerakan kolektif petani pe-
desaan yang sudah dimulai terlebih dulu pada perte-
ngahan 1980an. Data-data memperlihatkan peningkat-
an arus protes secara signifikan pada 1993-1994. Kela-
hiran gerakan HAM berbasis kolektif ini di kemudian
hari menjadi daya dorong bagi perubahan politik dan
reformasi di Indonesia.
Secara politik dan ideologis, yang penting dari me-
nguatnya kritik berbasis hak ini adalah ditantangnya
konsepsi sempit Orde Baru tentang manusia dan jatidiri
bangsa dengan suatu gagasan mengenai manusia dan
identitas kewargaan yang lebih universal. Pada awal-
nya, untuk menghadapi dan memberangus gagasan uni-
versal ini, Orba bereaksi dengan kembali mengembang-
kan gagasan partikularisme. Namun demikian, faktor-
faktor eksternal lain seperti ketergantungan ekonomi
dan teknologi pada dunia internasional, serta derasnya
arus globalisasi sedemikian rupa mementahkan klaim-
klaim partikularitas Orba. Maka pada akhirnya, ketika
pemerintahan Soeharto jatuh, klaim manusia dan nilai
universal itu terangkat ke atas sebagai bagian dari nor-
mativitas baru dari suatu tatanan politik yang baru.
Namun pada saat yang sama, sebagai akibat politik
Orde Baru yang secara fatal menghancurkan segi-segi

41
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

TABEL 1. MODEL PEMAKNAAN PANCASILA


ORDE BARU VERSUS CIVIL SOCIETY

Pemaknaan Orde Baru Pemaknaan Civil Society


Pancasila Doktriner, tertutup Terbuka, reflektif, kritis
(murni)
Identitas Tertutup, konstan, sen- Terbuka dalam pergula-
Nasional tralistik dan politis. tan di masyarakat serta
bersifat kultural.
Bangsa Bangsa-negara-politik- Bangsa sebagai imajiasi
warga sebagai totalitas politik yang terbuka.
yang terlebur. Negara sebagai ekspresi
politik warga.
Jati diri Bangsa Ditentukan secara ter- Dirumuskan sebagai
tutup dan monopolistik bagian dari pengalaman
dan pergulatan rakyat.
Konsepsi Totalitas, integral de- Manusia Universal
Manusia ngan Negara: Manusia yang bertanah air.
Indonesia Seutuhnya,
manusia Pancasila dsb.

universal-normatif Pancasila warisan Soekarno mau-


pun Hatta,4 di mata rakyat banyak Pancasila lebih di-
anggap dan dialami sebagai mesin penindas ketimbang
nilai-nilai luhur. Keadaan inilah yang membuat ketika
Soeharto jatuh, Pancasila seakan ikut terbawa ke dalam
kejatuhannya. Dan kini saat Pancasila terasa sangat di-
butuhkan, kita pun mengalami kesulitan serius untuk
mengangkat dan menampilkannya kembali. Praktik po-

4. Dalam sebuah pidatonya, Hatta secara jenial membagi Pancasila


dalam dua jenis fundamen, yakni fundamen moral (sila pertama
dan kedua), serta fundamen politik (sila ketiga hingga kelima). Bagi
Hatta, fundamen politik mesti tunduk di bawah fundamen moral.
Artinya: politik mesti mengabdi kepada nilai-nilai kemanusiaan
dan universalitas. Ini yang menyebabkan sila-sila itu tidak dapat di-
pertukarkan satu sama lain susunannya.

42
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

litik Orba membenamkan juga Pancasila ke dalam ke-


bobrokannya.
Pembangunan ideologi politik Orde Baru itu telah
sedemikian rupa menjadikan HAM dan demokrasi se-
bagai adab dan nilai yang bertentangan dengan Panca-
sila. Modus ini pada akhirnya merugikan Indonesia
sendiri di kemudian hari, karena dengan itu Pancasila
disempitkan secara sepihak dan dikeringkan dari nilai-
nilai fundamental normatifnya, padahal sebagai simbol
ia akan terus melekat dalam identitas nasional kita.
Artinya, muncul kebutuhan untuk memposisikan kem-
bali Pancasila dalam format kepolitikan pasca Orde
Baru ini. Dan salah satu soal yang mesti dijawab adalah
setalah melewati transisi panjang beberapa tahun,
bagaimana mungkin kita mendamaikan kembali Panca-
sila dan hak asasi manusia?

Mengakhiri Pertentangan Pancasila


dan Hak Asasi Manusia

Ada paling tidak dua alasan untuk mengatakan bahwa


rekonsiliasi Pancasila dan HAM tidak hanya mungkin
tapi juga penting dan harus dilakukan. Lebih jauh dari
argumen konvensional selama ini yang mengatakan
bahwa secara intrinsik nilai-nilai Pancasila terutama ke-
manusiaan, permusyawaratan, dan keadilan bersesuai-
an dengan konvenan dan nilai-nilai universal hak asasi
manusia, terdapat argumen yang berbasis pada kenya-
taan empirik yang memperlihatkan bahwa tantangan
pemenuhan hak memang ber jalan seiring dengan kebu-

43
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

tuhan untuk mengkuhkan identitas nasional di titik


yang lain. Jadi secara empirik memang ada gejala-gejala
di mana tuntutan hak asasi manusia bersinggungan se-
cara paralel dengan tuntutan untuk menurunkan segi-
segi normativitas di dalam Pancasila. Titik persing-
gungan itu adalah pada isu kewargaan (citizenship). Se-
lain itu, dalam dunia politik kita saat ini berkembang
kuat kecenderungan untuk mentotaliasi kehidupan po-
litik berdasarkan identitas keagamaan. Totalisasi ini mi-
rip dengan cara dan intensi Orde Baru yang berkehen-
dak membangun totalitas, bersifat tertutup, integral.
Namun apabila pada Orde Baru yang dijadikan basis
nilai adalah Pancasila, yang menguat hendak dijadikan
basis nilai untuk totalisasi sekarang ini adalah agama.
Secara politis, godaan totalitarian yang dihembuskan
politik primordial tidak akan pernah sanggup dihadapi
oleh hak asasi manusia dan demokrasi semata-mata.
Untuk itu diperlukan sandaran yang lebih kuat secara
politik. Di titik ini, satu-satunya sandaran yang masih
ada –meskipun loyo—adalah Pancasila.
Kita akan bahas dahulu segi yang pertama, yakni
konsepsi kewargaan demokratis modern sebagai arena
jatidiri dan identitas nasional baru merupakan titik te-
mu antara konsepsi identitas nasional di dalam Panca-
sila dengan identitas manusai universal dalam hak asasi
manusia.
Sebagaimana kita ketahui, seiring dengan jatuhnya
Soeharto, jatuh pula beberapa jenis konstruski politik
dan ideologi yang berkait erat dengan rezimnya. Salah
satunya adalah model penafsiran tunggal atas Pancasila

44
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

serta konstruksi identitas nasional dan jatidiri bangsa


berdasarkan Pancasila. Artinya, Pancasila secara nor-
matif dan simbolik memang masih diakui baik sebagai
dasar negara, filosofi bangsa, maupun sebagai dasar hu-
kum. Namun ia tidak lagi memiliki sumber atau ke-
kuatan politik untuk menghasilkan tindakan atau prak-
sis yang merujuk kepada sistem nilai di dalamnya. Jadi,
Pancasila masih diakui secara normatif, tetapi tidak da-
pat lagi dioperasionalkan secara politik dan hukum.
Keadaan ini dipertegas dengan munculnya berbagai
penafsiran baru di tingkat empirik mengenai makna
dan fungsi identitas nasional yang suasana dan rumus-
an sama sekali berbeda dengan suasan dan rumusan di
masa lalu.
Misalnya, sebuah berita menuliskan bahwa dalam
rangka meningkatkan kesadaran dan wawasan kebang-
saan serta memantapkan jatidiri Bangsa, dan guna me-
wujudkan kesejahteraan rakyat, di Kementerian Koor-
dinator Bidang Kesra diadakan ceramah “Jatidiri Bang-
sa”. Acara tersebut dibuka oleh Menkokesra saat itu
Alwi Shihab, dan diisi oleh narasumber utama H. Soe-
marno Soedarsono selaku Ketua Yayasan Jatidiri Bang-
sa, dan Soerjadi Soedirdja, mantan mendagri sebagai
anggota Yayasan.
Beberapa hal yang disampaikan oleh Soerjadi Soe-
dirdja tentang kenapa perlu adanya jatidiri bangsa, di
antaranya adalah karena kita sudah kehilangan diri kita sen-
diri. Karena itu perlu adanya re-orientasi. Manusia ha-
rus dapat kembali ke fitrahnya sebagai manusia yang di-
dalamnya terdapat nilai-nilai ilahiah seperti kasih sa-

45
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

yang, cinta, jujur, benar, adil bijaksana, demokratis.


Apa yang membedakan manusia dengan makhluk lain
adalah akal. Dalam sejarah, bangsa ini mencanangkan
pembangunan ke-kita-an pada 1908 dan diwujudkan se-
cara konkret pada 1928 dalam bentuk Sumpah Pemuda.
Dilanjutkan pengukuhannya pada 1945 dengan kemer-
dekaan RI.
Pandangan di atas tidak secara terang menjelaskan
apa makna jatidiri bangsa di situ. Yang dijelaskan ada-
lah cara-cara mengukuhkan jatidiri bangsa, yakni kem-
bali ke nilai-nilai kasih sayang, jujur dan demokratis di-
tambah dengan satu-dua rujukan historis. Satu hal yang
bisa kita pastikan dari rekonstruksi gagasan di atas ada-
lah bahwa konsepsi mengenai jati diti bangsa tidak lagi
dimaknai secara konvensional dan ortodoks. Aktornya
mesti merasa perlu menyebut demokrasi dan sikap adil
bijaksana sebagai salah satu ciri jatidiri bangsa. Ini
memperlihatkan pergeseran penting: bila sebelumnya
diskursus jatidiri bangsa dengan serta merta merujuk
pada nilai-nilai lama, dan dibawa ke dalam sistem par-
tikular, maka dalam tuturan di atas, godaan kepada par-
tikularisme hampir sama sekali tidak muncul.
Pergeseran diskurus jatidiri bangsa ke arah pemak-
naan yang baru juga muncul di dalam pembahasan me-
ngenai soal-soal yang konkret sebagai berikut:

“Jika kita bertanya di mana sekarang jati diri bangsa ini,


maka hal itu hanya dapat ditemukan di tiang gantungan
atau di rumah sakit di beberapa tempat di Malaysia, Saudi
Arabia atau di negara penerima tenaga kerja Indonesia.
Tenaga kerja Indonesia yang berjuang untuk sesuap nasi,

46
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

gajinya tidak dibayar, dianiaya oleh majikan asingnya, di-


perlakukan secara tidak manusiawi, diperkosa lalu bangkit
melawan majikan. Di sinilah jati diri bangsa yang tercer-
min dalam diri korban TKI di luar negeri”, katanya.
“Jika fakta yang ditemukan di atas benar adanya, ma-
ka dapat disimpulkan bahwa jati diri bangsa Indonesia
saat ini ada di tangan orang asing”, tambahnya.5

Di sini makna mengenai jatidiri mengalami perluasan


dimensi yakni bahwa jatidiri bangsa ditentukan oleh
sejauh mana martabat manusia selaku warga dihargai.
Dengan begitu, yang menjadi ukuran pokok dari identi-
tas bukanlah pada unsur-unsur ideologis maupun ras,
melainkan pada unusr kesejahteraan ekonomi dan hak-
hak serta martabat manusianya.
Namun demikian, pergeseran itu tidak hanya me-
nyangkut pergeseran pada tingkat diskursus politik se-
mata-mata, yang lebih jauh dan radikal juga terjadi di
tingkat realitas. Dua atau tiga tahun sejak reformasi
1998, di sepanjang jalan antara Kupang menuju perba-
tasan Atambua, Nusa Tenggara Timur, ber jejer gubuk-
gubuk dari daun dan pelepah enau. Di atas tiap-tiap
gubuk terpancang bendera merah putih. Di dalam
gubuk hidup para pengungsi. Mereka katanya memilih
NKRI. Miskin dan sengsara membuat mereka seperti
bukan lagi manusia, dan bendera di atas gubuk menan-
dakan pengindonesiaan yang nyaris tanpa arti bagi
prospek perubahan dari kemelaratan. Pada Februari
2001, ribuan orang Indonesia bersuku Madura dibantai

5. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=89018

47
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

oleh ribuan orang Indonesia lainnya bersuku Dayak.


Waktu pembantaian terjadi, katanya musuh dipilih ser-
ta bisa dikenali dari “bau” tubuhnya. “Bau” musuh ter-
nyata lebih kuat ketimbang bendera dan senapan merah
putih. Tahun berikutnya, masih di masa reformasi,
ribuan orang Indonesia dicambuk di Malaysia. TKI-
TKI korban cambuk ini dibutuhkan oleh majikan, pe-
merintah Malyasia, maupun pemerintah Indonesia dan
pemerintah daerah sendiri. Puluhan ribu diungsikan ke
pinggiran Pulau Kalimantan, hidup dalam tenda-tenda
darurat dan menanti penuh harap untuk segera kem-
bali—bukan ke kampung halaman melainkan ke Ma-
laysia lagi. Para TKI itu selalu mengaku ingin bisa
berkumpul dengan keluarga dan daerah asalnya, tetapi
oleh Indonesia yang mereka puja mereka tidak dikenali,
karenanya mereka merasa lebih betah di Malaysia
meski dicambuk dan dicari-cari.
Belakangan semakin gencar ribuan orang di Jakarta
berdemo dan meminta “ditegakkannya khilafah”. Me-
reka tidak lagi minta Indonesia harus begini atau harus
begitu, yang diminta adalah sebuah sistem yang sama
sekali lain: khilafah! Berbagai ormas agama juga ber-
gerak, mengusiri jemaat Ahmadiyah dan menutup
paksa gereja-gereja. Indonesia dan bendera merah-
putih, sebagaimana yang dipancang di atas gubuk-
gubuk Atambua juga tak kelihatan sosoknya di tempat-
tempat di mana kasus ini berlangsung. Dari sini, tak
heran, orang Ahmadyah lantas minta suaka dan kaum
minoritas melarikan diri dalam keketatan berdoa.
Beberapa waktu lalu juga muncul peredebatan me-

48
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

ngenai disusunnya Rancangan Undang-undang Anti


Pornografi dan Pornoaksi. Yang jadi soal –berkaitan de-
ngan topik identitas nasional di sini—bukannya pada
isu untuk mencegah dan melawan pornografi itu sen-
diri. Banyak kalangan berpikir bahwa maksud-maksud
di balik RUU itu jauh melampaui bahkan sudah lepas
sama sekali dari motif untuk melindungi perempuan
atau melindungi moralitas masyarakat. RUU ini lebih
sebagai bagian dari biopower atau politik tubuh yang
hendak membentuk sebuah sistem kehidupan yang se-
ragam berdasarkan keagamaan dan model yang bukan
Indonesia. Dikhawatirkan penyeragaman semacam ini
akan menghancurkan sendi-sendi dasar kehidupan kul-
tural dan religius yang beragam di Indonesia.
Apabila dipahami secara teliti dan serius, upaya-
upaya untuk mendesakkan aturan dan norma semacam
RUU anti Pornografi dan Pornoaksi harus dilihat juga
sebagai sebuah politik untuk membentuk tidak hanya
sebuah citra tapi juga postur, bentuk, dan penampakan
identitas baru melalui tubuh manusia. Yang dikehen-
daki dari strategi perundang-undangan semacam itu
adalah terbentuknya sebuah identitas kewargaan yang
baru yang bukan lagi berbasiskan modus-modus kultur
keindonesiaan yang berbhinneka dan ber-Pancasila.
Tanda-tanda ini menunjukkan jelas bahwa di masyara-
kat kita sedang ter jadi suatu proses untuk mengisi iden-
titas nasional kewargaan yang baru, yang tidak lagi ber-
dasarkan suatu ciri-ciri nasional melainkan pada ciri
keagamaan.
Di titik ini kita tiba pada urusan yang kedua yakni

49
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

soal tantangan persoalan politik kewargaan yang baru.


Gejala kedua yang perlu kita bahas di sini adalah upaya
membangun suatu bentuk totalisiasi dunia politik ber-
dasarkan pandangan primordial etnis, suku, agama,
dan kedaerahan. Primordialisme ini sebenarnya dari
segi cara dan tujuan memiliki aspek-aspek yang tidak
berbeda dengan berbagai macam politik totalitarian se-
panjang sejarah. Keduanya menghendaki sebuah totali-
sasi dari satu sistem tunggal yang dianggap mampu
mengatasi semua persoalan politik, sosial, dan ekono-
mi. Pluralisme dalam pengertian politik dikesamping-
kan. Selain totalisasi kehidupan politik di bawah satu
doktrin tunggal, segi kultur dan identitas kewargaan
juga hendak diatur dan diseragamkan mulai dari cara
berpakaian, cara pikir, dan sikap individual. Jadi, seba-
gaimana Orde Baru dengan Pancasila, mereka ini juga
menghendaki sebuah sistem yang dapat meleburkan
individu, negara, bangsa, dan agama di dalam suatu
satu entitas politik.
Dari pertanyaan serta masalah di atas, kita dapat de-
ngan segera memahami munculnya masalah yang sa-
ngat fundamental, yakni: Pertama, kita merasa bahwa
kesertaan kita dalam hidup berbangsa dan negara sama
sekali tidak memiliki signifikansi yang nyata dengan ke-
pentingan dan perkembangan kita sebagai warga dan
pribadi. Dengan kata lain, negara atau komunitas poli-
tik tempat kita berada telah makin kehilangan relevansi-
nya. Kedua, pada saat negara makin kehilangan relevan-
sinya, secara tidak langsung, disadari ataupun tidak du-
nia politik (dalam arti makna dan tindakannya secara

50
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU

TABEL 2. KEADAAN DISKURSUS PANCASILA SEKARANG

Keadaan Sekarang Ideal


Pancasila Ada sebagai ideal Sebagai ideal dilepaskan
kosong, tapi tanpa dari totalisasi doktrinernya.
penafsiran kultural, Diisi dengan penafsiran
legal, dan politik politik dan kebudayaan yang
universal dan egaliter.
Bangsa Ada sebagai entitas Sebagai imajinasi politik
geografis tapi tanpa yang terbuka terhadap par-
dasar solidaritas dan tisipasi dan solidaritas.
imajinasi politik
Identitas Ditentukan oleh Ditentukan oleh perkem-
Nasional berbagai doktrin bangan dan dinamika kebu-
politik dan agama. dayaan nasional yang
beragam.
Siapa Makin kabur karena Dikukuhkan oleh rasionali-
Manusia tekanan primordial. tas dan kepolitikan yang
Indonesia bermartabat, bukan primor-
dialisme.
Akibat Lemahnya kapabili- Hak Asasi Manusia harus
terhadap tas sosial negara di- berelasi dan bersinergi de-
hak asasi tambah dengan de- ngan fundamen kenegaraan
manusia terminisme primor- untuk memperkuat relevansi
dialisme akan meng- negara sosial serta memper-
akhiri segala agenda kuat pergulatan identitas
hak asasi manusia. nasional dan manusia Indo-
nesia yang lebih terbuka dan
egaliter.

lengkap) menjadi semakin kehilangan fungsinya selaku


medium diskursus keutamaan-keutamaan umum.
Ketiga, dengan merosotnya relevansi Negara dan politik
sebagai the atmosphere of dignity, tak pelak lagi makin
kabur pula ikatan-ikatan lama antar setiap orang, ma-
kin longgar juga inisiatif kebersamaan dan solidaritas.
Setiap orang terangsang untuk melepaskan identitas po-

51
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

litik kebersamaanya dan kembali kepada ikatan-ikatan


dan identitas primordialnya. Akibatnya kepercayaan,
kesetiaan, rasa malu dan bertanggung jawab makin
hilang dalam tata hubungan setiap orang. Keempat, ke-
adaan ini berakibat pada satu hal yaitu munculnya se-
buah kekosongan besar dalam adab kepublikan di
Indonesia, di mana dunia ekonomi, sosial, dan budaya
yang mestinya diurus oleh negara dibiarkan kosong dan
akhirnya diisi serta diambilalih oleh kalau bukan pasar
maka kekuatan primordial. Dengan kata lain, kita
menghadapi masalah sangat mendasar yang melam-
paui persoalan-persoalan ekonomi, politik, hukum,
atau budaya semata-mata, yakni persoalan rontoknya
kekuatan dari sebuah konsepsi politik bersama.

52
3 Pancasila sebagai Wawasan
Modern Universal

Reformasi tanpa Keadaban Publik

Akibat penggunaan Pancasila untuk melegitimasi prak-


tik politik otoritarian Orde Baru, maka demokrasi dan
hak asasi sering dipandang bertolak belakang dan diper-
tentangkan dengan Pancasila. Pertentangan itu selain
telah mendangkalkan Pancasila secara filosofis juga
tidak mendasar karena lebih merupakan hasil politisasi
kekuasaan masa itu. Selain itu, Pancasila sendiri secara
historis telah lebih dahulu ada ketimbang Orde Baru,
karenanya secara ontologis dan epistemologis Pancasila
tidak bisa diidentikan dengan Orde Baru.
Setelah rezim otoritarian kita tinggalkan, ada dua
persoalan utama di masa reformasi ini. Pertama adalah
kesenjangan antara struktur demokrasi liberal yang ter-
institusi dalam sistem politik dan demokrasi langsung,
dengan mentalitas dan pemahaman umum mengenai
segi-segi fundamental kepolitikan nasional. Kedua ada-
lah kesenjangan antara pertumbuhan institusi demo-

53
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

krasi tersebut di atas dengan penyelesaian persoalan-


persoalan ekonomi dan keadilan sosial. Dengan dua
soal ini, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa demo-
krasi dan liberalisasi politik yang berlangsung kurang
memiliki basis rasionalitas politik berdemokrasi dan
berwarga yang memadai. Akibatnya, proses dan prose-
dur berdemokrasi di Indonesia bukannya menghasilkan
penguatan terhadap demokrasi dan keadilan sosial, te-
tapi malah mendaur ulang tradisionalisme, melahirkan
kembali politik aliran dan politik primordial, serta
menghadirkan kembali elite-elite birokrasi lama binaan
Orde Baru. Singkatnya, kita mencapai tumbuhnya civil
society, tetapi tidak ada keadaban publik. Ada demokrasi
tetapi tidak ada sikap dan politik kewarganegaraan
(citizenship). Dengan kata lain, demokrasi yang tumbuh
ternyata mengalami suatu defisit yang substansial.
Apabila tidak bisa kita selesaikan, masalah defisit
dalam demokrasi yang kita alami sekarang ini akan
menghantarkan kita ke dalam suatu bahaya besar yakni
kegagalan demokrasi. Padahal kita sadar betul bahwa
demokrasi yang gagal atau mati muda akan dengan
mduah menyeret negara ke dalam jurang konflik dan/
atau tirani. Pengalaman demokrasi di Jerman menje-
lang naiknya Hitler memberikan pelajaran berharga
bahwa demokrasi yang dihidupi secara apatis dikombi-
nasi dengan krisis ekonomi dengan gampang menyeret
suatu bangsa ke dalam tragedi yang luar biasa. Semen-
tara pengalaman negara-negara di Afrika memperlihat-
kan bahwa demokrasi yang gagal menaungi perbedaan
dan pergulatan kelompok-kelompok dengan mudah ter-

54
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

peleset menjadi konflik dan tragedi berdarah. Demo-


krasi adalah suatu jalan dan sarana baik yang pernah
ada, tetapi demokrasi saja ternyata tidak memadai.
Di sinilah kita perlu membicarakan nilai-nilai ber-
sama dan kesepakatan-kesepakatan untuk menjaga de-
mokrasi itu sendiri. Dalam keperluan ini, banyak pihak
mengatakan bahwa pembangunan kesepakatan bersa-
ma untuk menjaga demokrasi bisa dilakukan semata-
mata melalui jalan konstitusi dan hukum-hukum positif
yang berlandasakan pada semangat dan nilai-nilai hak
asasi, tanpa perlu mengundang kembali Pancasila yang
dianggap sebagai diskursus politik lama. Berkaitan de-
ngan ini dua hal dapat dikatakan: pertama, konstitusi
dan normativitas hak asasi dalam konstitusi tentu saja
secara meyakinkan penting diupayakan untuk menjaga,
memberikan dasar dan menjamin kebebasan. Namun
yang kedua, yang menjadi soal di sini adalah konstitusi,
hukum, serta normativitas selalu bisa berubah dan di-
ubah-ubah sehingga tidak dengan serta merta dapat di-
pakai untuk menjamin secara ontologis keberadaaan
Indonesia dan kebersamaan sebagai bangsa berikut his-
torisitasnya. Di titik inilah, selain konstitusi dan hak
asasi, Pancasila menjadi kebutuhan untuk mendasari
keberadaan demokrasi kita. Pancasila menjamin ke-
langsungan entitas bangsa dan kebersamaan di dalam-
nya yang menjadi prasrayat agar suatu demokrasi atau
apapun namanya itu menjadi mungkin. Soalnya di sini
adalah: setelah sekian tahun dalam rendaman politik
otoritarian Orde Baru, sejauh mana Pancasila bisa me-
yakinkan untuk menjamin demokrasi, kebebasan, ke-

55
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

adilan, dan perdamaian di era global ini? Bagaimana


Pancasila kita gunakan untuk menjadi dasar dan pene-
rang bagi kehidupan politik berdemokrasi, membangun
keadaban publik dan memperkuat rasionalitas publik
secara umum?

Pancasila Rujukan Keadaban Publik Kita

Kesatuan Etis untuk Menjamin Kesatuan Nasional


Sewaktu Soekarno mengatakan Pancasila dalam ke-
rangka yang ia sebut “bersama-sama mencari persatuan
Philosophische grondslag, mencari satu ‘Weltanschauung’
yang kita semua setuju,” maka Soekarno meletakkan
Pancasila sebagai semacam perspektif, yakni cara kita
melihat dan memandang dunia. Di sini Pancasila ber-
fungsi secara positif memberikan instrumen untuk me-
mahami realitas, semacam obor penerang atau peta
yang memberi arah dan orientasi, jendela di mana dari
bidangnya yang terbatas kita mampu menjangkau
cakrawala atau horison yang jauh lebih luas. Selain itu,
dengan menyebut Pancasila sebagai filsafat dasar, maka
tidak kepalang lagi, Soekarno hendak sekaligus mele-
takkan Pancasila tidak hanya sebagai nilai-nilai semata
tetapi juga pijakan untuk meneliti dan mentransformasi
dunia luar.
Dengan demikian di sini, Soekarno sedari awal telah
menegaskan Pancasila sebagai penjamin suatu kesatu-
an etis. Artinya, Pancasila didorong berfungsi sebagai
dasar yang memberikan orientasi kehidupan bersama
sebagai bangsa. Sebagai kesatuan etis Pancasila berarti

56
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

bersifat reflektif, kritis dan dengan sendirinya berdiri


sebagai diskursus yang terbuka.
Namun demikian, Pancasila tidak hanya berhenti
sebagai penjamin kesatuan etis belaka. Soekarno juga
melihat Pancasila dalam kerangka yang lebih “praktis,”
yakni sebagai wahana atau instrumen untuk menjamin
keselamatan suatu kesatuan ontologis, bangsa Indo-
nesia secara utuh dan tak terbagi-bagi, yang di saat itu
memang baru saja mencapai kemerdekaanya. Dengan
meletakkan Pancasila sebagai kesatuan ontologis, jelas
tergambar di sini bahwa memang pendirian Pancasila
didasarkan atas asumsi mengenai perbedaan atau ke-
beragaman sebagai prasyarat dari keberadaan dan Indo-
nesia yang merdeka. Dengan keadaan itu, maka oleh
Soekarno ditegaskan suatu kondisi bahwa menerima
Indonesia dan menerima Pancasila hanya bisa dilaku-
kan apabila kita menerima keadaan pluralisme.
Dengan pendasaran pada kesatuan etis dan kesatu-
an ontologis di atas, maka jelaslah bahwa sedari dasar-
nya Pancasila memang ada dengan asumsi untuk men-
jamin perbedaan. Dengan itu maka secara politik ini
berarti Pancasila ada dalam kerangka menjamin kehi-
dupan berdemokrasi. Pancasila merupakan sign of unity
karena ia berdiri di tengah-tengah lanskap antropologis
dan sosiologis yang berbeda-beda dan beragam.
Lebih jauh lagi, dengan kesadaran bahwa kebersatu-
an Indonesia itu muncul dari perbedaan, maka perlu
ditegaskan di sini bahwa dengan itu Indonesia harus
dilihat sebagai hasil dari kesadaran dan kehendak dari
beragam orang untuk “meng-Indonesia”. Artinya ke-

57
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

indonesiaan dan persatuan Indonesia merupakan ke-


sepakatan dari berbagai kelompok, golongan, agama,
ras dan etnis. Di titik ini terjalin suatu hubungan yang
dialektis antara dua proses: Pertama, bahwa Indonesia
adalah hasil dari perbuatan tindakan yang mengarah
kepada “menjadi Indonesia”. Dengan itu, Indonesia
harus diartikan sebagai buah dari kebersamaan, buah
dari solidaritas. Kedua, pada proses yang lain, segala
yang tumbuh dalam keberagaman itu dalam beberapa
tahap diserap dalam keindonesiaan yang telah terben-
tuk itu. Indonesia terbentuk oleh tindakan kita, namun
pada saat yang sama Indonesia pun membentuk kita.
Di titik ini muncul dua hal yang saling bersinergi
antara partisipasi, keterbukaan, inisiatif dan kehendak
warga dengan identitas kebangsaaan atau nasionalitas
di sisi yang lain. Di titik inilah pada tahap yang paling
subtil, demokrasi dan kebebasan kita secara utuh mem-
bentuk nasionalisme dan rasa kebangsaan kita, semen-
tara pada tahap yang sama nasionalitas atau identitas
nasional kita membantu mengukuhkan dan membuka
diri terhadap ekspresi dan inisitaif demokratis sebesar-
besarnya.
Dengan premis-premis di atas maka pada Soekarno,
Pancasila dan Indonesia memang berdiri di atas asum-
si kebhinnekaan, keterbukaan, demokrasi, dan solidari-
tas. Di dalam Soekarno ini diakui bahwa nasionalisme
dan identitas kebangsaan kita justru akan makin kuat
dan dikukuhkan manakala kita berhasil mengukuhkan
persatuan dalam perbedaan, demokrasi dan rasa soli-
der. Tanpa ketiganya Indonesia yang bersatu tidak akan

58
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

mungkin tercapai hingga saat ini. Inilah yang kemudian


dikukuhkan menjadi sendi pendirian republik modern
kita hingga sekarang.
Keadaan ini, menjadi tantangan tersendiri bagi kita
yang memang mencintai pendirian-pendirian kebangsa-
an demokratis di republik ini. Dengan pendirian Soe-
karno di atas, kita menjadi paham bahwa kebutuhan
kita untuk mempertahankan Pancasila dan republik ini
sama berharganya dengan kebutuhan kita memperta-
hankan demokrasi kita.

Pancasila dari Ontologi menjadi Etika


Dengan melihat Pancasila pertama-tama sebagai kesa-
tuan etis dan ke-Indonesiaan yang plural sebagai kesa-
tuan ontologis, maka jelas di sini kita menolak untuk
meletakkan Pancasila secara sebaliknya. Pancasila bu-
kanlah suatu kesatuan ontologis yang menghendaki
segala hal lainnya dirangkum total di dalamnya. Dari
pengalaman Orde Baru kita mengetahui bahwa berba-
gai bentuk ontologisasi Pancasila dalam berbagai rupa
ideologisasi dan sakralisasinya justru hanya mendang-
kalkan fungsi Pancasila sebagai penanda dari keberada-
an sebuah republik modern bernama Indonesia. Sema-
kin dia diontologisasikan ke dalam sebuah metafiska
umum yang total semakin dia berkemungkinan untuk
menyediakan ideologisasi yang membunuh pluralitas
dan kebebasan itu sendiri. Lebih dari itu ontologisasi
itu juga menyediakan ruang yang lengkap bagi lahirnya
berbagai bentuk irasionalitas serta pemaksaan dan
represi.

59
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

Pada Orde Baru, ontologisme Pancasila mendahului


fungsi etisnya akibatnya bukannya berada untuk men-
jadi penanda yang menaungi kemanusiaan ia malah
bersifat menekan kemanusiaan dan aspirasi hak-hak
kerakyatan. Akhirnya bukannya melindungi pluralisme
dan kebebasan Pancasila justru memakan kebebasan.
Inilah kemudian mengapa dalam Orde Baru Pancasila
dianggap lebih sebagai dasar legitimasi bagi politik
otoriterian.
Dengan pendasaran ini, maka jelas langkah pertama
untuk mengembalikan Pancasila dalam upaya menyele-
saikan persolan defisit dalam demokrasi kita saat ini
adalah dengan menghapusakan secara total segala as-
pek serta kecenderungan-kecendrungan ontologisasi-
nya agar ia benar-benar mampu menampung dan men-
jalankan fungsi pokoknya yakni menjaga keberadaan
Indonesia secara utuh.

Dari Esensialisme Partikularistik ke Universalisme


Kecendrungan ontologisasi atau upaya untuk menjadi-
kan Pancasila tidak hanya dasar normatif tetapi juga
ukuran untuk menjelaskan sesuatu secara negatif (me-
lalui jalan apa yang bukan Pancasila) dan membawanya
menjadi sumber untuk menyoroti seluruh tatanan du-
nia kehidupan mulai dari tingkat individual (kepribadi-
an) hingga struktur makro masyarakat. Di sinilah Pan-
casila menjadi doktrin yang bersifat esensialisme. Semua
hal dan urusan mau diukur secara totalistik di dalam sis-
tem kepancasilaan yang justru malah sering kabur.
Kecendrungan esensialisme ini dimulai secara poli-

60
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

tik oleh Soepomo, yakni ketika dia menafsirkan Panca-


sila dalam kebersatuannya dengan integralisme. Di sini
norma diaduk dan disemen dalam kesatuannya dengan
sistem dan kekuasaan. Akibatnya Pancasila secara dog-
matik dilekatkan ke dalam sistem kekuasaan yang spe-
sifik dan partikularistik.
Di sini segala paradoks muncul. Paradoks pertama
terjadi manakala Soepomo mengagungkan penafsiran
tradisional atas negara sementara di sisi yang lain selu-
ruh konstruksi berfikirnya sendiri dikatakan bersumber
pada pemikir barat seperti Hegel, Spinoza, dan Adam
Muller. Paradoks kedua dilanjutkan oleh Orde Baru
manakala ia menandaskan bahwa sistem ketatatanega-
raan kita harus bersumber pada tradisionalisme Soepo-
mo yang dianggap “asli Indonesia” ketimbang gagasan
lain seperti demokrasi dan hak asasi yang dikatakan
barat? Sementara Soepomo sendiri mengakui bahwa
gagasan integralismenya bersumber dari ketiga pemikir
barat tersebut di atas. Di sini secara lebih lanjut Panca-
sila ditempatkan secara partikular dan dikungkung da-
lam keistimewaan semu yang didefinisikan oleh politik
kekuasaan. Akibatnya, di satu sisi Pancasila memang
berfungsi efektif sebagai alas kekuasaan negara tetapi
gagal dipercakapkan dalam diskursus yang rasional dan
universal.
Pandangan esensialisme dan partikularisme Panca-
sila ini yang mesti ditolak. Mengapa? Pertama, karena
pada dasarnya kontroversi barat dan asli timur di da-
lamnya tidak lebih banyak diadakan dan disebarluas-
kan dalam kerangka mempertahankan dan membela

61
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

suatu praktik politik tertentu. Karena pada kenyataan-


nya semua pikiran Soepomo bersumber dari barat. Ke-
dua, model interpelasi ideologis yang menyertai esen-
sialisme Pancasila oleh Orde Baru ini secara mendasar
menyediakan bibit totalitarianisme di dalamnya. Ketiga,
secara intelektual ia penuh dengan paradoks yang mem-
bingungkan dan kacau balau. Keempat, esensialisme ini
menjadikan Pancasila sebagai gagasan yang kuno dan
usang yang tidak mampu diperakapkan dalam diskur-
sus publik irasional universal.
Di titik ini tidak bisa tidak, dalam kerangka menye-
lamatkan Pancasila diperlukan upaya untuk membebas-
kan Pancasila dari beban paradoksalnya serta beban
ontologisasi yang mau mengarahkannya kepada sistem
kuasa totalitarian, supaya ia bisa lestari di dalam alam
demokrasi. Dengan kata lain di sini kita perlu menyu-
dahi model penafsiran integralisme Soepomo dan
menggantikannya dengan mengembalikan penafsiran
etis Pancasila sebagaimana Soekarno Hatta dulu.

Makna Ideologi Terbuka


Di titik inilah kita kemudian bisa dengan enak mem-
bicarakan status gagasan Pancasila dalam istilah politik
yang lebih umum. Setelah menghapuskan ontologisasi
dan esensialisme partikularistik di dalamnya maka sta-
tus Pancasila sebagai ideologi terbuka baru menjadi
mungkin. Di sini setelah dilucuti kehendak esensial-
isme totalitariannya, kata terbuka di dalam Pancasila
baru memiliki makna. Sejauh mana?
Pertama kita pahami dulu apa itu esensialisme. Di

62
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

dalam filsafat, esensiliasme merupakan sistem dan pe-


ngenalan pokok dari banyak pemikiran filsafat. Esen-
sialisme mengandaikan kemestain adanya suatu poros,
fundamen, metafisik –juga teleologis—yang tunggal
dari segala hal. Poros atau fundamen ini biasanya digu-
nakan untuk mengembalikan segala penjelasan tentang
dunia, manusia dan ide-idenya ke dalamnya.
Esensialisme dalam bentuknya yang paling vulgar
dan praktis terdapat dalam dua kecenderungan ideolo-
gis, yakni dalam Stalinisme yang konon mengacu pada
tradisi Marxis, serta pada fasisme dan teokrasi.
Pada Marxisme sendiri terdapat dua pandangan me-
ngenai ideologi, yakni yang negatif dan positif.1 Pada
yang negatif, ideologi diartikan sebagai “gagasan
palsu” yang membius dan mengelabui kesadaran se-
hingga dengan itu sistem kekuasaan yang lebih kuat
bisa mendominasi. Dalam pandangan ini, ideologi di-
lihat secara negatif sebagai semata-mata instrumen ke-
kuasaan dari kelas yang berkuasa di masyarakat. Dalam
pengertian yang positif, ideologi dilihat dalam perten-
tangan dan konflik di dalam masyarakat yang merupa-
kan refleksi dari munculnya kesadaran kelas pekerja di
dalam masyarakat untuk menantang kelas penguasa.
Di sini ideologi dilihat semata-mata sebagai alat per-
juangan tapi sangat bersifat spesifik yakni kelas dan
relasi ekonomi. Esensialisme dalam Marxisme adalah
esensialisme ekonomistik.

1. Untuk ini lihat dalam Göran Therborn, The Ideology of Power and the
Power of Ideology (London: Verso, 1999).

63
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

Pada pemahaman yang lain, perangkap esensialisme


di dalam pemahaman tentang ideologi juga mengalir
dan dikembangkan oleh negara-negara teokrasi dan
totaliter baik fasisme maupun komunisme. Di sini ideo-
logi dilihat sebagai alat atau insrumen yang memberi-
kan tuntunan dan ajaran komprehensif menyeluruh
mengenai kehidupan di segala lapisan. Ideologi di sini
menyatu sebagai doktrin imperatif dan ajaran yang ka-
ku yang mau menyoroti dan mengatur seluruh aspek
kehidupan sambil menutup seluruh peluang kritik. Di
sini ideologi dibakukan sebagai ajaran tungal, memo-
nopoli kebenaran serta mengkesampingkan tafsir lain.
Esensialisme ekonomisme Marxis serta esensialisme
totalitarian fasistik/teokratik inilah yang pada intinya
memperlakukan ideologi secara tertutup dan sentralis-
tik. Di sini secara umum mereka dapat dilihat dalam
ciri-ciri sebagai berikut: ideologi dipraktikkan baik se-
cara fundamental maupun secara operatif; bersifat
holistik dan komprehensif ke segala arah dan lapisan;
tidak ada diskursus karena bersifat doktriner; karenanya
tidak ada kritik dan self-reflection; biasanya diberikan
tafsiran penguat yang bersifat partikularistik (misalnya
asli Indonesia, asli Timur dsb); biasanya dioperasikan
secara aktif dalam momen-momen kuasa spesifik.
Di titik inilah esensialisme itu bertentangan dengan
paham atau katakanlah kehendak untuk menempatkan
Pancasila sebagai ideologi terbuka. Kata terbuka di sini
haruslah diartikan secara serius dan mendalam, dengan
melibatkan penalaran filosofisnya. Kata terbuka harus
berarti openness, artinya sebagai sebuah kosakata dan

64
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

konsep, Pancasila bukanlah konsep yang mengakhiri


diri sendiri, bukan final dan mati di hadapan satu pe-
maknaan tunggal, melainkan terus tumbuh dan tak ber-
keputusan. Ia tidak bisa dimampatkan secara beku
(undecidablety).
Di titik ini, dengan menyebut Pancasila sebagai
ideologi terbuka, pada intinya kita hendak mengatakan
bahwa tidak ada esensialisme di dalam gagasan
Pancasila. Kalaupun ada maka itu tidak lain adalah
esensi kerepublikan yang tidak berhubungan dengan
sistem pemaknaanya, yakni sebatas sebagai bangunan
ide yang tumbuh sebagai hasil perayaan kita atas pene-
muan republik modern Indonesia semata-mata. De-
ngan istilah terbuka pula, Pancasila diartikan sebagai
diskursus rasional. Ia milik publik yang bebas diperbin-
cangkan dan ditafsirkan. Arti ketiganya adalah ia selalu
terbuka terhadap kritik. Dengan status tersebut maka
kelestarian Pancasila justru hanya bisa dijamin apabila
terdapat semakin banyak diskursus publik yang terlibat
dalam penfasirannya.
Dengan demikian, daripada ideologi dalam penger-
tian yang tertutup maka akan lebih tepat untuk menga-
takan bahwa Pancasila merupakan tradisi keindonesia-
an yang kita temukan pada saat kita menemukan ne-
gara modern Indonesia. Dari sini tumbuh nilai dan dari
nilai tumbuh etika berbangsa dan bernegara. Ideologi
terbuka pada akhirnya bukan lain adalah etika, bukan
ontologi.
Sementara itu tradisi dalam pengertian ini bukanlah
tradisi dalam pengertian umum mengenai ritualisasi

65
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

yang membosankan dan penuh ilusi metafisik. Tradisi


di sini harus lebih diartikan sebagai tindakan atau prak-
sis pemaknaan dengan melibatkan sistem simbol, bu-
daya, interpretasi dan keterlibatan tapi sebatas dalam
lingkup ketatanegeraan, bukan pada level pribadi. Pan-
casila adalah medium atau pintu keluar masuk bagi me-
kanisme mana kala setiap warga terlibat dalam dunia
publik dan pengambilan keputusan umum.

Dari Penanda Kuasa ke Penanda


Persatuan dan Keragaman
Dengan demikian jelaslah bahwa Pancasila adalah nilai
yang dikonstruksi dari historisasi atas penemuan Indo-
nesia sebagai republik. Pancasila adalah nilai yang kita
rayakan dalam rangka penemuan kebersamaan sebagai
bangsa Indonesia. Inilah nilai otentik, historis, dan pa-
ling mendasar dari Pancasila.
Sakralisasi dan kramatiasi Pancasila sebagai kelan-
jutan dari ontologisasi oleh Orde Baru menjadikan Pan-
casila jauh dari fungsi otentiknya ini. Ini yang membuat
Orde Baru kemudian gagal membangun kesatuan
bangsa yang otentik dan manusia; negara memang
menjadi negara yang kuat dan garang tetapi di dalam-
nya rakyat yang mestinya utama dalam konsepsi keber-
samaan itu justru tertekan. Akibatnya Pancasila bukan
lagi sebagai penanda persatuan dari keberagaman, me-
lainkan lebih sebagai penanda kekuasaan negara.
Pelepasan esensialisme partikularistik di dalam Pan-
casila dan Pancasila sebagai ideologi terbuka juga ber-
arti mengubah Pancasila dari penanda kuasa (sign of

66
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

power) menjadi penanda persatuan dan keberagaman


(sign of unity dan difference). Dengan ini artinya, Panca-
sila diarahkan pada dua upaya yakni bagaimana meng-
upayakan persatuan yang otentik yang didasarkan atas
solidaritas dan kemauan hidup bersama dari seluruh
rakyat Indonesia bukan atas represi dan manipulasi ke-
kuasaan. Yang kedua bagaimana mengupayakan Pan-
casila bekerja sesuai dengan sejarah politiknya yakni
sebagai penanda keberadaan dari republik Indonesia
yang berbhinneka.
Di titik ini, sebagaimana argumen Soekarno, perlu
diperhatikan kenyataan bahwa pendirian Pancasila di-
bangun atas dasar asumsi Indonesia yang plural secara
sosial, antropologis, maupun kultural. Pluralisme tidak
hanya berdiri dalam arti statis namun tapi juga dinamis.
Artinya, Pancasila adalah penanda tetap dari suatu
kondisi yang terus berubah dan bergerak dinamis. Ma-
syarakat, budaya, nilai, dan bahkan tatanannya bisa
dan terus berubah, tapi Pancasilanya tetap. Di sini ke-
beradaan Pancasila tidak bergantung dari perubahan
sistem politik dan ekonomi apapun, karena satu-satu-
nya keterkaitannya dengan unsur lain adalah justru de-
ngan pendirian Indonesia sendiri. Di sinilah Pancasila
memiliki karakter dinamis, pluralistik, dan terbuka.
Pancasila adalah penanda tetap dari suatu dinamik
yang tak berkeputusan (undecidable). Dengan karakter
ini, maka hubungan antara Pancasila dengan komuni-
tas bangsa yang ditandainya berlaku dialektis dan uni-
versal.

67
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

Pancasila sebagai Cakrawala Universal

Dalam keterbukaan Pancasila secara subtil akan dido-


rong ke arah yang universal. Dia menjadi sumur tanpa
dasar di mana sistem tindakan dan simbolik yang kita
buat ditantang untuk terus-menerus mengisinya. De-
ngan melepaskan kungkungan partikularistiknya,
Pancasila bergerak ke arah ideal yang imortal. Univer-
salitas di dalam Pancasila bukanlah universalitas yang
imperatif-terbatas, ia bukan semacam struktur super
ego yang memerintah kita dari luar sana. Lebih luas
dan penting dari itu, ia adalah semacam pandangan
atau cakrawala yang mengarahkan dan menarik kita ke
arah hal-hal yang baik dalam konteks kehidupan ber-
sama, sebagai warga bangsa sebagai warga dunia. Uni-
versalitas Pancasila adalah universalitas yang meng-
arahkan tindakan rasionalitas ekaligus reflektif, penuh
kesadaran, sekaligus kritik. Kondisi-kondisi ini yang se-
cara jelas nampak dalam berbagai sistem penafsiran
dan pemaknaan Pancasila di masa awalnya.
Selain Soekarno, Hatta misalnya, secara jenius me-
ngembangkan pemahaman Pancasila yang universal
dan terbuka itu melalui upaya pemecahan epistemik
membagi ke dalam dua gugus etika. Menurut Hatta li-
ma sila dalam Pancasila pada hakikatnya menanggung
dua fungsi utama yakni yang pertama sebagai funda-
men moral dan yang kedua fundamen politik. Sila per-
tama dan kedua disebutnya sebagai fundamen moral,
sementara yang ketiga hingga kelima disebut Hatta se-
bagai fundamen politik.

68
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

Dengan demikian bagi Hatta, politik selalu harus


dalam artian etika dan moralitas. Politik tidak hanya
harus mendasarkan diri pada tetapi juga mengarahkan
diri pada tujuan-tujuan yang universal dan humanistik.
Di dalam Hatta, politik harus berdasarkan pada virtue.

Ketuhanan Yang Maha Esa


Melampaui Partikularisme Agama-agama
Yang menarik dalam sistem Hatta ini adalah bahwa
yang disebutnya sebagai fundamen moral adalah sila
pertama dan kedua. Di sini ia mempersatukan Ketu-
hanan dengan Kemanusiaan. Dengan begitu –berbeda
dengan tafsir yang bersifat primordial—Hatta sebagai-
mana juga Soekarno, melihat sila Ketuhanan Yang
Maha Esa tidak pertama-tama merujuk kepada agama-
agama tertentu. Di dalam Soekarno, Ketuhanan Yang
Maha Esa lebih merujuk kepada tradisi masyarakat
Indonesia yang mengenal spiritualitas dalam kebuda-
yaaan yang panjang sebelum datangnya agama-agama.
Sementara di dalam Hatta, Ketuhanan lebih diarahkan
dalam penjabarannya pada sifat keadilan dan kebenar-
an serta kemanusiaan. Baik pada Hatta maupun Soe-
karno, Ketuhanan Yang Maha Esa itu melampaui
agama-agama dan tidak dapat dipisahkan dengan ke-
manusiaan yang universal.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan


Pengakuan akan Solidaritas dan Kemanusiaan Universal
Pada Soekarno, kemanusiaan secara jelas dipandang se-
bagai sebuah produk historis evolusi umat manusia se-

69
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

cara universal. Kemanusiaan menandai suatu keadaan


di mana –menurut istilah Soekarno—kalbu manusia
mencapai taraf yang tertinggi. Kemanusiaan adalah ke-
adaban. Penegasan ini lakukan juga dengan memban-
dingkan dan sekaligus mengecam praktik nasional-
fasistik Hitler, yang membeda-bedakan ras dan golong-
an manusia. Pada tulisan yang sama, Soekarno juga
menempatkan kemanusiaan sebagai landasan bagi ke-
mungkinan mencapai keadilan.2
Pada Hatta, kemanusiaan lebih ditafsirkan dalam
kerangka hukum kodrat. Kemanusiaan adalah anugrah
dan kelanjutan dari keberadaan sifat Ilahi. Manusia
dipandang sebagai pembawa citra Ilahi oleh karenanya
manusia berharga dan bermartabat secara spiritual dan
harus dilindungi dan dijaga keberlangsungannya. Di
sini spiritualitas ke-Ilahian itu sendiri bagi Hatta bersi-
fat universal karena ia lebih menyangkut sifat-sifat lu-
hur seperti kebaikan, keadilan dan keutamaan yang ada
pada semua orang.
Dalam kerangka ini, Hatta kemudian mengetengah-
kan pentingnya konsepsi hak untuk menjamin kema-
nusiaan melalui konstitusi. Di sini keyakinan Hatta se-
cara paralel berjumpa dengan pandangan modern me-
ngenai hak asasi manusia. Hak asasi manusia meman-
dang manusia sebagai mahluk yang bermartabat, yang
secara alamiah dimahkotai oleh hak asasi. Dengan cara
ini, manusia baik pada Hatta maupun dalam konsepsi

2. Lihat Bung Karno, Pantjasila Dasar Filsafat Negara (Jakarta: Jajasan


Empu Tantutlar, 1960), hlm. 83-108.

70
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

hak asasi dipikirkan sebagai subyek universal yang pe-


laksanaan hak-haknya harus dijaga dan dijamin oleh
konstitusi negara-negara tempat mereka hidup.

Persatuan Indonesia:
Kebangsaan dalam Pertautannya dengan Kerakyatan
Ketika Soekarno menyatakan bahwa kemerdekaan dari
kolonialisme itu ibarat jembatan emas, maka dengan itu
bagi Soekarno nasionalisme Indonesia selalu merupa-
kan sebuah awal mula. Dan sebagai awal mula, maka
implisit, di situ diharapkan akan datang sesuatu yang
lebih unggul, yang lebih agung, yang akan mengatasi-
nya. Ini diantisipasi juga oleh Hatta manakala dia se-
cara elegan mengatakan bahwa bangsa Indonesia perlu
menyempurnakan kemerdekaannya. Artinya, bagi dua
proklamator ini, nasionalisme Indonesia bukanlah
tujuan akhir dan bukan tujuan pada dirinya sendiri me-
lainkan instrumen atau fasilitas bagi kehadiran hal-hal
yang lebih penting lagi.
Pada Hatta penyempurnaan nasionalisme Indonesia
itu berujung pada dua hal, yakni: pertama, kesejahtera-
an seluruh rakyat Indonesia; dan kedua, demokrasi. Per-
tautan antara kemerdekaan dengan demokrasi itu se-
cara unik namun mendalam dikemukakan oleh Hatta
dengan ucapan: “Oleh karenanya kemerdekaan Indonesia
hanya bisa kekal dengan demokrasi, dengan satu pemerin-
tahan yang dipikul oleh rasa tanggung jawab seluruhnya.”
Adapun hubungan dan cara demokrasi menopang ke-
merdekaan dijelaskan oleh Hatta lebih jauh: “Hanya,
apabila rakyat merasai bahwa nasibnya adalah dalam ta-

71
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

ngannya sendiri, rakyat berani mempertahankan dan mem-


bela kemerdekaanya.” Dengan pandangan semacam ini
jelas bahwa Indonesia merdeka itu hanya mungkin
langgeng, berumur panjang, apabila ada demokrasi.
Dengan ini, demokrasi (dan kesejahteraan rakyat)
selalu bersifat transendental bagi nasionalisme Indo-
nesia, ia mengatasinya sebagai sebuah noktah dalam
kenyataan masa lalu Indonesia. Di sini tercipta suatu
kenyataan dialektik yang unik yakni bila pada mulanya
nasionalisme Indonesia menjadi syarat bagi demokrasi,
maka setelah kemerdekaan itu dicapai, giliran demo-
krasi yang menjadi syarat bagi kelestarian nasionalisme
Indonesia. Sebagaimana ditegaskan Hatta di atas
–sekali lagi—bahwa kemerdekaan hanya bisa kekal dengan
demokrasi!
Namun begitu, di sini perlu diingatkan, bahwa per-
tautan antara demokrasi dan kemerdekaan itu hanyalah
mungkin terjadi apabila dipenuhi satu prasyarat politik,
yakni adanya manusia yang sadar dan bertindak. Di sini,
Hatta memasukkan suatu aspek dinamis yang funda-
mental yakni rakyat. Inilah pengikat antara kemerde-
kaan dan demokrasi. Dengan ini ditegaskan lagi suatu
pendirian bahwa ukuran demokrasi sama dengan ukur-
an pada nasionalisme yakni adanya inisiatif rakyat. Di
sini demokrasi dan nasionalisme menjadi bertemu, ka-
rena keduanya bersumber pada enersi yang sama dan
tunggal yakni rakyat itu sendiri! Dan karena nasional-
isme itu nasionalisme rakyat, maka nasionalisme men-
jadi sama dengan demokrasi.
Diktum Hatta ini yang dilupakan oleh Orde Baru

72
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

selama lebih dari 30 tahun. Slogan NKRI, persatuan


dan kesatuan, dikencangkan terus menerus oleh Orde
Baru, tetapi pada saat yang sama korupsi merajalela
dan kemerdekaan serta hak-hak rakyat diberangus. De-
mokrasi dimatikan dan dijadikan barang haram semen-
tara ideal nasionalisme diambil menjadi slogan dan di-
monopoli oleh negara. Akibatnya, bukan persatuan
yang kita dapatkan, malah kita hampir kehilangan
Aceh dan Papua! Secara fisik-geografis negaranya keli-
hatan garang dan menyatukan, tetapi rakyat yang dite-
ror kehilangan rasa kecintaan dalam batinnya dan ber-
tanya-tanya untuk apa hidup di republik ini. Negara
kuat tapi kebangsaan melemah.
Dengan kesadaran ini, maka persatuan Indonesia
harus berarti kerakyatan, dan kerakyatan harus berarti
demokrasi. Di sini harus diyakini bahwa keutuhan per-
satuan nasional kita hanya bisa dicapai apabila kita
berhasil mempertahankan demokrasi itu sendiri. Hanya
melalui demokrasi rakyat dan seluruh warga negara
bisa mencintai republik ini tanpa paksaan, demokrasi
memberikan aspek otentisitas bagi nasionalisme kita.

Demokrasi Indonesia: Permusyawaratan


yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan
Oleh Hatta, demokrasi diartikan menyatu dengan re-
publik sebagai kedaulatan oleh rakyat. Rakyat diharap-
kan oleh Hatta sebagai rakyat yang sadar dan mema-
hami politik secara rasional. Demokrasi dengan begitu
adalah arena dan sarana bagai rakyat untuk melanjut-

73
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

kan perjuangan kepentingan yang lebih besar, misalnya


keadilan dan pemerataan.
Pandangan Hatta ini dalam beberapa segi sesuai de-
ngan pandangan Soekarno bahwa demokrasi adalah
alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih besar. De-
ngan itu, baik Soekarno maupun Hatta menegaskan
bahwa demokrasi lebih merupakan suatu fasilitas yang
memberikan keleluasan dan kemungkinan bagi masya-
rakat untuk mencapai tujuan-tujuan akhirnya. Sekali-
gus juga disiratkan bahwa demokrasi sendiri saja tidak
akan pernah memadai.
Dengan penegasan ini maka di dalam keduanya,
demokrasi tidak boleh hanya dipandang sebagai prose-
dur dan mekanisme buta. Demokrasi tetap perlu meng-
acu kepada keutamaan umum. Yang lolos dalam ujian
prosedural demokrasi harus tetap menghadapi dan
memperhatikan nilai-nilai lain yang lebih besar. Misal-
nya, prosedur demokrasi memang menjamin kebebasan
berserikat, tapi bila dari prosedur itu lahir ormas-ormas
yang melawan konstitusi, menolak Pancasila dan pen-
dirian kebangsaan Republik, maka meski sesuai dengan
prosedur, keadaan itu tidak bisa dibenarkan di hadapan
nilai yang lebih utama misalnya persatuan nasional se-
bagaimana dijamin di dalam konstitusi. Demokrasi,
Pancasila, dan konstitusionalisme merupakan tiga se-
rangkai yang tidak boleh dipisahkan.

Keadilan Sosial sebagai Demokrasi Sosial di Indonesia


Pandangan keadilan sosial di dalam Pancasila secara je-
las dan tegas merujuk pada praktik dan konsepsi sosial

74
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL

demokrasi. Di sini ada kesadaran bahwa: Pertama, peri-


kehidupan manusia tidak boleh diserahkan begitu saja
kepada permainan nasib dan kodrat sosial (brute luck
society), di mana orang miskin, orang cacat, dan kurang
beruntung dibiarkan tetap miskin dan sengsara karena
dianggap kemiskinan serta kemalangan tersebut sebagai
nasib alamiah mereka. Kedua, bahwa kebebasan sejati
hanya bisa dicapai secara otentik justru apabila manu-
sia bisa menikmati pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
dasarnya. Kebebasan tidak akan berarti apabila orang
terbelenggu oleh kemiskinan dan keterbelakangan.
Di sini keadilan sosial mendorong agar nasib manu-
sia tidak digantungkan pada mekanisme pasar yang
dingin, anonim, dan impersonal itu. Persoalan ekonomi
bukan hanya persoalan kesejahteraan tetapi juga keadil-
an. Sebagai persoalan keadilan, maka ekonomi selalu
berarti persoalan kolektif, dan kolektif selalu berarti
bersifat sosial. Di sini ekonomi harus selalu padan de-
ngan solidaritas. Keyakinan ini secara jelas kita temu-
kan baik pada Hatta maupun Soekarno. Pada Hatta,
bahkan keyakinan akan pentingnya sosialitas dan soli-
daritas itu tergambar dengan jelas ketika ia meyakini
bahwa watak gotong royong merupakan ciri dan jiwa
antropologi masyarakat Indonesia. Watak ini memung-
kinkan demokrasi sosial itu tumbuh dalam secara lebih
gampang dalam struktur masyarakat Indonesia.
Terlepas dari latar antropologis di atas, satu kepasti-
an yang tidak bisa diganggu gugat di sini adalah bahwa
peran negara selaku institusi yang mendorong dan men-
distribusikan keadilan sangat penting. Di sini ekonomi

75
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

tidak bisa dengan begitu saja diserahkan sepenuhnya


kepada pasar. Negara hasus terlibat dan ambil bagian
untuk menolong yang paling berkekurangan di dalam
masyarakat.

76
Penutup

Pasca kejatuhan Soeharto, diskursus mengenai apa itu


Indonesia, jati diri bangsa, dan Pancasila selalu hadir di
tempat yang salah dan selalu absen pada saat diperlu-
kan dan diminta. Akibat absennya politik kenegaraan
dan rendahnya kapabilitas sosial negara, maka politik
semakin kuat ditentukan oleh kecenderungan primor-
dialisme entah yang berbasis agama maupun etnis. Ini
berakibat pada dua segi sekaligus: Pertama, negara ma-
kin mengalami pelemahan dalam melaksanakan tugas-
tugas perlindungan dan menjamin hak-hak. Selain itu
sebagai akibat dekonstruksi ideologis terhadap Panca-
sila yang berlangung selama masa transisi, negara sebe-
narnya juga kekurangan orientasi dan visi ideologis
untuk menopang aktivitas-aktivitasnya. Dengan keada-
an ini, Pancasila terus hadir secara normatif tetapi po-
litik untuk menopang Pancasila absen.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu sebab ku-
rangnya politik Pancasila pada dasaranya merupakan
implikasi dekonstruksi terhadap Pancasila Orde Baru

77
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU

dulu. Namun demikian, politik akomodasi yang di-


mainkan oleh pemerintahan demokratis pasca Orde Ba-
ru juga nampaknya memberikan peran yang besar bagi
absennya politik Pancasila, terutama dalam tubuh ne-
gara. Politik akomodasi ini dewasa ini mementingkan
jumlah ketimbang nilai. Di tangan karakter kepemim-
pinan politik yang lemah, seringkali hal ini mengakibat-
kan pilihan-pilihan demokratis yang tidak menguntung-
kan bagi Pancasila. Di titik ini, tidak ada jalan lain, ba-
nyak pihak harus secara aktif mengambil inisiatif baru
dalam mempertahankan Pancasila. Fokus politik Pan-
casila mesti diperluas tidak hanya bergantung pada
negara dan pemerintah.
Namun demikian, keadaan ini juga tidak dapat
membuat pemerintah lari dari tanggung jawab. Panca-
sila masih diakui sebagai dasar negara kita, oleh kare-
nanya tanggung jawab terbesar masih berada di pundak
pemerintah. Negara perlu memperbahui komitmen-
komitmen sosial dan humanistik di dalam Pancasila
yakni dengan mengadopsi dan menginkorporasikan
secara sebanyak mungkin nilai, instrumentasi di dalam
hak asasi manusia ke dalam sistem dan penafsiran Pan-
casila yang baru. Inkorporasi hak asasi manusia ke da-
lam Pancasila ini penting untuk menyegarkan dan dan
merepresentasikan Pancasila secara baru sesuai dengan
konteks dan tantangan zaman demokrasi ini.
Pada saat yang sama, dengan mempertimbangkan
makin kuatnya kecenderungan totalitarianisme-primor-
dial, hak asasi manusia dan gerakan masyarakat sipil di
Indonesia juga membutuhkan sebuah platform ideolo-

78
PENU TUP

gis yang lebih kuat, berakar secara kultural di dalam


struktur masyarakat Indonesia dan memiliki cakupan
konstituen yang lebih luas secara politis dalam arti
mampu menampung keterlibatan pihak–pihak lain se-
perti kaum moderat dan nasionalis. Di titik ini tidak
dapat tidak, hak asasi manusia dan demokrasi di Indo-
nesia mesti terus diselaraskan dengan Pancasila.
Dengan dua kebutuhan yang sifatnya simultan, ma-
ka apabila secara politik keduanya bisa dilebur ke da-
lam sebuah sistem nilai bersama, maka secara otomatis
kita akan bisa mengatasi problem konseptual yang sejak
lama mengganjal yakni soal pertentangan antara nilai-
nilai Pancasila, ke-Indonesian dengan segi-segi funda-
mental hak asasi manusia dan demokrasi yang lebih
baru. Pada saat yang sama juga, secara praktis demo-
krasi dan usaha perjuangan hak asasi manusia akan
mendapatkan fondasi politik dan tradisi yang meno-
pangnya secara lebih kokoh.

79
Daftar Pustaka

Bourchier, David (1996), Lineages of Organicist Political


Thought in Indonesia. Tesis Doktoral untuk Departe-
men Politik Monash University.
Eldrige, Philip J. (1995), Non-Government Organizations
and Democratic Participations in Indonesia. Kuala
Lumpur: Oxford University Press.
Howarth, David (2000), Discourse. Buckingham: Open
University Press.
Laclau, Ernesto (1980), “Populist Rupture and
Discourse,” Screen Education, No. 34.
_______ (1990), New Reflection on the Revolution of Our
Time. London: Verso.
Mangkusasmito, Prawoto (1970), Pertumbuhan Historis
Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi. Jakarta:
Penerbit Hadayu. ^

Myers, Tony (2003), Slavoj Zizek. London: Routledge.


^

Nasution, Adnan Buyung (1995), Aspirasi Pemerintahan


Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Kons-
tituante 1956-1959. Jakarta: Graffiti Pers.
Pranarka, A.M.W (1985), Sejarah Pemikiran Tentang Pan-
casila. Jakarta: CSIS.

80
Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Soeharto (1989), Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Oto-
biografi. Sebagaimana dipaparkan kepada G. Dwipa-
yana dan Ramadhan K.H. Jakarta: PT. Cita Lamto-
ro Gung Persada.
Soekarno, “Amanat Presiden/Panglima Tertinggi,” di-
sampaikan pada 20 Februari 1959 dalam Seminar
Pantjasila 1, 16-20 Februari 1959, di Jojakarta.
_______ [Bung Karno] (1960), Pantjasila Dasar Filsafat
Negara. Jakarta: Jajasan Empu Tantutlar.
Therborn, Göran (1999), The Ideology of Power and the
Power of Ideology. London: Verso.

81

Anda mungkin juga menyukai