ROBERT US ROBET
Pancasila dan Politik Kewargaan yang Baru
© Robertus Robet, 2014
Penutup ~ 77
Daftar Pustaka ~ 80
Sambutan
Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
vii
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
viii
Robertus Robet bukan baru kali ini menulis buku, tetapi
yang menjadi kegembiraan bagi saya selaku dekan FIS
UNJ adalah skim penelitian RUBI di FIS UNJ telah
memberikan buah berupa buku teks yang diterbitkan
oleh penerbit yang cukup dikenal masyarakat.
Saya berharap, penerbitan buku ini turut memper-
kaya khazanah dan pengembangan keilmuan, bukan
hanya pada bidang sosiologi, melainkan terutama pada
diskursus tentang pengembangan dan pemantapan
ideologi Pancasila dan kewarganegaraan di Indonesia.
Perspektif sosiologi yang digunakan penulis dalam
mencermati Pancasila sebagai ideologi dan politik ke-
wargaan Indonesia yang baru diharapkan menambah
cakrawala dan sudut pandang bagi pengamat dan pe-
merhati pendidikan kewarganegaraan, yang selama ini
lebih menekankan aspek legal-formal, dan normatif
ideologis. Semoga buku ini bermanfaat dan selamat
membaca.
ix
1 Pancasila: dari Penanda Persatuan
ke Penanda Kekuasaan
1
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
2
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
3
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
4
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
5
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
6
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
7
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
8
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
9
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
^
^
10
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
11
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
12
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
13
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
11. Untuk ini lihat Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya:
Otobiografi. Sebagaimana dipaparkan kepada G. Dwipayana dan
Ramadhan K.H. (Jakarta: PT. Cita Lamtoro Gung Persada, 1989),
hlm. 422-423.
14
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
15
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
12. Untuk ini lihat Philip Kitley, “Pancasila in the Minor Key: TVRI‘s
Si Unyil Model the Child,” Indonesia 68, Oktober 1999.
13. Dikutip dan diterjemahkan dari David Bourchier, Lineages of
Organicist Political Thought in Indonesia (tesis doktroral untuk
Departemen Politik Monash University, 1996).
16
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
Saya tahu, terhadap diri saya ada yang senang, tetapi juga
ada yang tidak senang. Mereka yang tidak senang dengan
sendirinya mengeluarkan ucapan seperti isi hatinya... Te-
tapi kalau ucapan-ucapan dan pernyataan-pernyataan me-
reka itu sudah keterlaluan menyinggungnya, sudah keter-
laluan melanggar hukum, dengan sendirinya perbuatan
mereka itu bisa saja dihadapkan ke pengadilan.14
14. Soeharto, op. cit., hlm. 423. 15. Ibid., hlm. 347.
17
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
16. Ibid. Soeharto menyebut kasus Sawito sebagai contoh oposisi yang
bermaksud menjatuhkan pemerintah. Kasus Sawito berawal dari
apa yang dikenal dengan istilah “dokumen Sawito”, sebuah naskah
kritik berjudul Menuju Keselamatan yang melibatkan nama-nama
besar seperti Bung Hatta dan Prof. Hamka. Oleh pengadilan Sawito
dinyatakan bersalah dan dihukum penjara selama 8 tahun.
17. Ibid., hlm. 409.
18
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
19
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
20
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
21
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
integralisme Soepomo.
Akibat transformasi menjadi ideologi ke arah totali-
tarianisme di bawah Orde Baru, Pancasila yang semula
merupakan penanda persatuan di dalam perbedaan dan
ideal penting dalam pendirian republik modern justru
mengalami kerusakan. Kerusakan yang pertama adalah
dia menjadi obsolete (usang dan lapuk) karena terlampau
sering diperlawankan dengan gagasan modern seperti
demokrasi dan hak asasi. Yang kedua, dia dianggap
sebagai sumber represi yang mengakibatkan trauma
sosial bagi banyak orang. Yang ketiga, Pancasila tidak
dapat masuk dan ikut serta ke dalam wacana perubah-
an politik demokratisasi di Indonesia. Akibat terjauh-
nya adalah: transisi di Indonesia mengalami defisit
ideal dalam rangka mempertahankan ciri kolektifnya.
Di sini demokrasi berjalan tanpa suatu politik kewarga-
negaraan yang baru.
22
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
23
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
24
PENANDA PERSATUAN KE PENANDA KEKUASAAN
25
2 Pancasila, Hak Asasi Manusia,
dan Kewarganegaraan Baru
26
PANCASILA , HAM , DAN KEWARGANEGARAAN BARU
27
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
28
PANCASILA , HAM , DAN KEWARGANEGARAAN BARU
29
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
30
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
31
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
32
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
33
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
34
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
35
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
36
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
37
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
titas tunggal.
Dengan demikian yang disebut sebagai jatidiri di sini
lebih merupakan kesatuan politik, kultural, ideologis
yang didefinisikan secara baku, kaku, dan lengkap de-
ngan sifat-sifat fisik (di sini menjadi bisa dimengerti
mengapa berbagai bentuk pendisiplinan dalam upacara
bendera, baris berbaris, senam kesegaran jasmani men-
jadi sedemikian penting) maupun ciri-ciri psikologis
atau mentalitasnya (lihat 16 butir-butir Pancasila). Di
sini Pancasila dan identitas nasional benar-benar ber-
fungsi sebagai apa yang disebut oleh Foucault sebagai
biopower. Di titik ini, berbeda dengan suasana awal
hingga akhir 1950an di mana penafsiran akan makna
Pancasila dilakukan dalam suasana keterbukan dan pe-
nuh kontestasi seiring dengan keragaman partai-partai
dan ideologi politik yang tumbuh pada waktu itu, Orde
Baru menjadikan dirinya agen tunggal yang memono-
poli penafsiran serta konstruksi filosofis terhadap Pan-
casila. Aspek reflektifnya dihilangkan seraya aspek dok-
trinernya diperkuat. Dengan kehendak mencapai totali-
tas fisik-mental, universal-partikular, mikro-makro terse-
but, maka tak pelak Pancasila memang dibentuk dan di-
definisikan oleh Orde Baru lebih sebagai ideologi
totalitarian yang berkecendrungan fasistik.
Di sini kemudian muncul paradoks. Di satu sisi, se-
cara konseptual sebagai simbol jatidiri bangsa maupun
warga, Pancasila disusun dalam doktrin dengan detail
yang nyaris sempurna, bahkan diangkat ke atas dan di-
keramatkan. Namun di sisi lain, secara praktis ia lebih
sering digunakan sebagai instrumen politik untuk mela-
38
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
39
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
40
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
41
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
42
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
43
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
44
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
45
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
46
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
5. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=89018
47
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
48
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
49
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
50
PANCASILA , HAM & KEWARGANEGARAN BARU
51
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
52
3 Pancasila sebagai Wawasan
Modern Universal
53
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
54
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
55
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
56
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
57
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
58
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
59
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
60
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
61
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
62
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
1. Untuk ini lihat dalam Göran Therborn, The Ideology of Power and the
Power of Ideology (London: Verso, 1999).
63
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
64
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
65
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
66
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
67
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
68
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
69
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
70
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
Persatuan Indonesia:
Kebangsaan dalam Pertautannya dengan Kerakyatan
Ketika Soekarno menyatakan bahwa kemerdekaan dari
kolonialisme itu ibarat jembatan emas, maka dengan itu
bagi Soekarno nasionalisme Indonesia selalu merupa-
kan sebuah awal mula. Dan sebagai awal mula, maka
implisit, di situ diharapkan akan datang sesuatu yang
lebih unggul, yang lebih agung, yang akan mengatasi-
nya. Ini diantisipasi juga oleh Hatta manakala dia se-
cara elegan mengatakan bahwa bangsa Indonesia perlu
menyempurnakan kemerdekaannya. Artinya, bagi dua
proklamator ini, nasionalisme Indonesia bukanlah
tujuan akhir dan bukan tujuan pada dirinya sendiri me-
lainkan instrumen atau fasilitas bagi kehadiran hal-hal
yang lebih penting lagi.
Pada Hatta penyempurnaan nasionalisme Indonesia
itu berujung pada dua hal, yakni: pertama, kesejahtera-
an seluruh rakyat Indonesia; dan kedua, demokrasi. Per-
tautan antara kemerdekaan dengan demokrasi itu se-
cara unik namun mendalam dikemukakan oleh Hatta
dengan ucapan: “Oleh karenanya kemerdekaan Indonesia
hanya bisa kekal dengan demokrasi, dengan satu pemerin-
tahan yang dipikul oleh rasa tanggung jawab seluruhnya.”
Adapun hubungan dan cara demokrasi menopang ke-
merdekaan dijelaskan oleh Hatta lebih jauh: “Hanya,
apabila rakyat merasai bahwa nasibnya adalah dalam ta-
71
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
72
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
73
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
74
PANCASILA SEBAGAI WAWASAN MODERN UNIVERSAL
75
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
76
Penutup
77
PANCASILA DAN POLITIK KEWARGAAN YANG BARU
78
PENU TUP
79
Daftar Pustaka
80
Risalah Sidang BPUPKI, PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Soeharto (1989), Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Oto-
biografi. Sebagaimana dipaparkan kepada G. Dwipa-
yana dan Ramadhan K.H. Jakarta: PT. Cita Lamto-
ro Gung Persada.
Soekarno, “Amanat Presiden/Panglima Tertinggi,” di-
sampaikan pada 20 Februari 1959 dalam Seminar
Pantjasila 1, 16-20 Februari 1959, di Jojakarta.
_______ [Bung Karno] (1960), Pantjasila Dasar Filsafat
Negara. Jakarta: Jajasan Empu Tantutlar.
Therborn, Göran (1999), The Ideology of Power and the
Power of Ideology. London: Verso.
81