PESTA demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sumatera
Barat tahun 2020 ini, barangkali istimewa dan berbeda dengan Pilkada tahun-tahun sebelumnya. Kecuali dilaksanakan dalam suasana pandemi Covid-19, sehingga strategi, model, dan pendekatan dalam kampanye politik dapat dipastikan berbeda; juga tampilnya bakal calon (balon) kepala daerah yang berasal dari kalangan perempuan, yakni: Betti Shadiq Pasadigoe (BSP). Dikatakan istimewa, karena sepanjang sejarah pesta demokrasi di Sumatera Barat yang bersendikan garis keibuan (matilineal) baru kali ini dipercaya dari kalangan perempuan menjadi bakal pemimpin. Artinya, menang atau tidak BSP tetap tercatat dalam sejarah sebagai pionir atau perempuan pertama atau pionir dalam pentas politik Pilkada Sumatera Barat. Tampilnya perempuan sebagai kepala daerah (bupati-walikota- gubernur), bahkan terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke-5 merupakan fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia. Di daerah lain, seperti di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi; kalangan perempuan telah berhasil memenangkan pemilu. Bahkan, di Lampung, Hj. Husnunia Chalim (37) terpilih sebagai Bupati Lapung Timur periode (2016-2021), merupakan perempuan pertama menjadi kepala daerah di Sumatera. Bagaimana dengan Sumatera Barat di negeri perempuan (matrilineal)? *** Fenomena tampilnya BSP dalam politik kontemporer Sumatera Barat (Minangkabau) agaknya kurang mendapat sorotan dari kalangan pengamat. Sekalipun secara sosio-antropolgis, etnik Minang memang unik dan banyak mengundang perhatian banyak pengamat asing dengan struktur masyarakatnya penganut garis matrilieal terbesar di dunia. Lebihkontroversial lagi jika dikaitkan dengan etnik Minang sebagai penganut Islam yang kuat, yang kental dengan garis bapak. Saya bukan pengamat atau pakar tentang Minangkabau; hanya sedikit-banyak belajar dan mempelajari sejarah dan kultur Minanng- kabau. Mungkin ini disebabkan karena dalam tarombo dari etnis Batak Simalungun, Partikkian Bandar Hanopan, silsilah keluarga marga Purba Tambak berasal dari Pagarruyung, dan mendirikan Kerajaan Dolok Silou sekitar abad ke-17. Sebagai pengamat dari luar (outsider), hal ini tentu saja menarik untuk dikaji. Karena sepanjang sejarah dunia takambang, perempuan belum pernah tampil ke permukaan. Pertanyaan agak sumir akan muncul: Masihkah Sumatera Barat berlandaskan garis keibuan (matrilineal)? Jika masih, akankah perempuan dipercaya sebagai pemimpin, sebagaimana laiknya mitos Bundo Kanduang, sebagaimana tertera dalam tambo Minangkabau? Dalam tulisan singkat ini, saya tidak memiliki kapasitas dan kepentingan politik dengan BSP. Dan, secara personil, saya juga tidak mengenal BSP secara dekat. Kecuali berasal dari Tanah Datar dan meniti karir di PT Semen Padang. Dan, saya juga tidak berharap semua ini meningkatkan elektalitas politik BSP atau mempengaruhi keputusan dalam pecoblosan kertas suara pada 7 Desember mendatang. Kecuali menjadi perempuan pertama dalam ajang pesta demokrasi di Sumatera Barat, tampilnya BSP yang nota bene berasal dari Tanah Datar, juga menarik disimak lebih lanjut. Dikatakan demikian karena Tanah Datar merupakan “jantungnya” Luhak Nan Tigo. Kecuali tempat berasalnya adat Minangkabau, dan juga tempat bertahtanya Bundo Kanduang, pusat pemerintahan Kerajaan Minangkabau (Pagarruyung); sebagaimana yang terdapat dalam tambo, historiografi trasional Minangkabau. Akankah luhak Tanah Datar mengawali kepemimpinan perempuan, dan kelak dikemudian hari dikuti oleh luhak lain atau di wilayah pesisir atau rantau Minangkabau, seperti Padang, Pariaman, Pasaman, atau Painan? *** Dalam konteks sosio-historis, budaya politik atau kharakter politik kepemimpinan dari Luhak Tanah Datar agak berbeda dengan dua luhak lainnya, Luhak Agam dan Luhak Limapuluh. Sebagaimana kita ketahui, kepemimpinan politik di Minangkabau digariskan (diciptakan) dua orang pembesar dari Pagarruyung, Datuak Katumanggungan dan Datuak Prapatih Nan Sabatang. Dua bersaudara, tapi berlainan ayah. Pertama dikenal dengan kelarasan Bodi Caniago (demokratis, hukum berasal dari bawah, mambassuih dari bumi, atau bottom-up); sementara kedua, kelarasan Koto Piliang, hukum yang dipakai otokrasi (bukan otoriter), titiak dari ateh, top-down). Setelah melalui perdebatan panjang yang berujung konflik (peristiwa batu batikam), dengan bijaksana Bundo Kanduang memberi titah: memakai kedua model kepemimpinan tersebut: luhak Agam dengan Bodi Caniago dan luhak paling bungsu, luhak Limapuluh menerapkan Koto Piliang. Bagaimana dengan luhak Tanah Datar, di luhak berkuasanya Bundo Kanduang? Sebagaian pengamat mengatakan menerapkan kedua sistem hukum tersebut, sementara pengamat lain berpendapat “campuran”, sebagaimana bunyi fakwa adat: Pisang sikalek-kalek utan, pisang tambatu nan bagatah; bodi caniago inyo bukan, koto piliang inyo antah]. Dalam kamus politik mungkin lebih dekat disebut mixed politics. Pertanyaannya, apakah di tengah hingar-bingar politik dewasa ini kita “merindukan” kepemimpinan Bundo Kanduang? Atau saya yang salah dalam mengamati fenomena ini? Sebagai orang luar, tentu saya dimaafkan!***