Pertama-tama saya ucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat Nya sehingga saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Twin to Twin
Tranfusion Syndrome”. Penyusunan referat ini untuk memenuhi tugas kepaniteraan
klinik di SMF Obsetri dan Ginekologi RSUD Sidoarjo.
Pada kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya
kepada dr.Pramudyo Dwiputro Sp.OG yang selama ini telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Harapan saya semoga referat ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi
dokter muda yang sedang menjalani kepaniteraan klinik untuk memperlancar
studinya.
Penulis
1
DAFTAR ISI
Judul ............................................................................................................................ i
Daftar Isi....................................................................................................................... 2
BAB I ` PENDAHULUAN
A. Kehamilan Kembar
1. Definisi ................................................................................... 5
2. Epidemiologi .......................................................................... 5
3. Etiologi ................................................................................... 5
4. Klasifikasi .............................................................................. 6
5. Faktor resiko .......................................................................... 7
6. Diagnosa................................................................................. 9
7. Patofisiologi ...........................................................................10
8. Tatalaksana.............................................................................12
9. Prognosis ................................................................................13
B. Twin to Twin Tranfussion Syndrome .........................................14
1. Definisi ...................................................................................14
2. Epidemiologi ..........................................................................14
3. Patofisiologi ...........................................................................14
4. Klasifikasi ..............................................................................16
5. Diagnosis ................................................................................18
6. Managemen ............................................................................19
7. Prognosis ................................................................................24
8. Komplikasi .............................................................................24
KESIMPULAN ..........................................................................................................27
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
2. Faktor resiko dari semua komplikasi kehamilan pada hamil kembar lebih besar
dibandingkan hamil tunggal.
3
polihidroamnionik pada satu kantong dan oligohidroamnion pada kantong yang
lainnya pada suatu kehamilan ganda monochorionik-diamniotik.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kehamilan Kembar
1. Definisi
2. Epidemiologi
Kembar terjadi pada 1% dari semua kehamilan dengan dua pertiga (70%)
adalah dizigot dan sepertiga (30%) adalah monozigot. Insiden dari kembar
bervariasi menurut :
Kelompok etnik (1:50 kehamilan ras Afrika, 1 : 80 kehamilan pada ras Caucasia,
1:50 kehamilan pada ras Asia dan paling sedikit pada ras Mongoloid)
Usia maternal (2% setelah 35 tahun). Paling tinggi pada wanita yang berusia 37
tahun, dimana terjadi stimulasi hormonal yang maksimal
Paritas (2% setelah kehamilan keempat)
Metode konsepsi (20% dengan induksi ovulasi)
Riwayat keluarga
Insidensi kembar monozigot sama pada semua kelompok etnis dan tidak
berbeda oleh usia maternal, paritas maupun metode konsepsi yaitu 3,4/1000
kelahiran. Insidensi untuk kehamilan kembar menurut Hukum Hellin adalah 1
dalam 80 kehamilan, misalnya gemelli 1: 80 kehamilan, triplet 1:80, kuadriplet 1
: 80, dan seterusnya.
3. Etiologi
Janin yang kembar lebih sering terjadi akibat fertilisasi dua buah
ovum yang terpisah (ovum-ganda, kembar dizigot atau kembar “fraternal”).
Sekitar sepertiga di antara kehamilan kembar berasal dari ovum tunggal yang
5
dibuahi, dan selanjutnya membagi diri menjadi dua buah struktur yang
serupa, masing – masing dengan kemampuan untuk berkembang menjadi
ovum tunggal tersendiri (kehamilan monozigot ataukembar identik). Salah
satu atau kedua proses dapat terlibat dalam pembentukan fetus dengan jumlah
yang lebih besar. Sebagai contoh, kembar empat atau kuadruplet dapat timbul
dari satu, dua, tiga, atau empat buah ovum.
4. Klasifikasi
6
3. Fetus papyraceous
Salah satu fetus yang kembar tidak berkembang
Tak berbentuk, mengkerut, dan rata.
5. Faktor Resiko
7
Ras Afrika – Amerika memiliki kecenderungan untuk kehamilan
kembar paling besar dibandingkan ras lain. Myrianthopoulus (1970)
mendapatkan bahwa pada wanita kulit putih terdapat 1 kehamilan kembar
dari 100 kehamilan, dan 1 banding 80 pada wanita kulit hitam. Kehamilan
kembar di Asia lebih sedikit. Di Jepang angka kejadian angka kejadian hanya
1 dari 155 kehamilan.
2. Usia
Kejadian kehamilan kembar mulai dari pubertas di mana aktivitas
ovarium minimal, dan mencapai puncaknya pada usia 37 tahun. Dari
penelitian – penelitian disimpulkan bahwa wanita berusia lebih dari 30 tahun
mempunyai kesempatan lebih besar mendapatkan hasil konsepsi ganda.
Setelah usia 40 tahun frekuensi kehamilan kembar menurun kembali.
3. Paritas
Wanita yang telah hamil satu kali atau lebih sebelumnya, terutama
kehamilan kembar meningkatkan risiko hamil kembar.
4. Hereditas
8
6. Patofisiologi
Pada kehamilan kembar distensi uterus berlebihan, sehingga melewati
batas toleransi dan seringkali terjadi partus prematurus. Lama kehamilan
kembar dua rata-rata 260 hari, triplet 246 hari dan kuadruplet 235 hari. Berat
lahir rata-rata kehamilan kembar ± 2500 gram, triplet 1800gram, kuadriplet
1400 gram. Penentuan zigositas janin dapat ditentukan dengan melihat
plasenta dan selaput ketuban pada saat melahirkan. Bila terdapat satu amnion
yang tidak dipisahkan dengan korion maka bayi tesebut adalah monozigotik.
Secara umum, derajat dari perubahan fisiologis maternal lebih besar
pada kehamilan kembar dibanding dengan kehamilan tunggal. Pada trimester
1 sering mengalami nausea dan muntah yang melebihi yang dikarateristikan
kehamilankehamilan tunggal. Perluasan volume darah maternal normal
adalah 500 ml lebih besar pada kehamilan kembar, dan rata-rata kehilangan
darah dengan persalinan vagina adalah 935 ml, atau hampir 500 ml lebih
banyak disbanding dengan persalinan dari janin tunggal. Massa sel darah
merah meningkat juga, namun secara proporsional lebih sedikit pada
kehamilan-kehamilan kembar dua dibanding pada kehamilan tunggal, yang
menimbulkan” anemia fisiologis” yang lebih nyata. Kadar haemoglobin.
kehamilan kembar dua rata-rata sebesar 10 g/dl dari 20 minggu ke depan.
Sebagaimana diperbandingkan dengan kehamilan tunggal, cardiac
output meningkat sebagai akibat dari peningkatan denyut jantung serta
peningkatan stroke volume. Ukuran uterus yang lebih besar dengan janin
banyak meningkatkan perubahan anatomis yang terjadi selama kehamilan.
Uterus dan isinya dapat mencapai volume 10 L atau lebih dan berat lebih dari
20 pon. Khusus dengan kembar dua monozygot, dapat terjadi akumulasi yang
cepat dari jumlah cairan amnionik yang nyata sekali berlebihan, yaitu
hidramnion akut. Dalam keadaan ini mudah terjadi kompresi yang cukup
besar serta pemindahan banyak visera abdominal selain juga paru dengan
peninggian diaphragma. Ukuran dan berat dari uterus yang sangat besar dapat
menghalangi keberadaan wanita untuk lebih sekedar duduk.
Pada kehamilan kembar yang dengan komplikasi hidramnion, fungsi
ginjal maternal dapat mengalami komplikasi yang serius, besar
kemungkinannya sebagai akibat dari uropati obstruktif. Kadar kreatinin
plasma serta urin output maternal dengan segera kembali ke normal setelah
9
persalinan. Dalam kasus hidramnion berat, amniosintesis terapeutik dapat
dilakukan untuk memberikan perbaikan bagi ibu dan diharapkan untuk
memungkinkan kehamilan Berbagai macam stress kehamilan serta
kemungkinan-kemungkinan dari komplikasi-komplikasi maternal yang serius
hampir tanpa kecuali akan lebih besar pada kehamilan kembar.
7. Diagnosis
Laboratorium
10
kehamilan kembar. Pada kehmilan kembar chorionic gonadotropin pada urin,
estriol dan pregnanendiol meningkat. Kehamilan kembar juga dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan peningkatan serum alfa fetoprotein ibu
walaupun pemeriksaan ini tidak dapat berdiri sendiri. Tidak ada tes biokimia
yang dapat membedakan kehamilan tunggal atau kembar.
Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan USG yang teliti, kantung gestasional yang
terpisah dapat diidentifikasi pada awal kehamilan kembar. Identifikasi
masing – masing kepala fetus harus bisa dilakukan dalam bidang tegak lurus
sehingga tidak tertukar dengan potongan lintang badan janin dengan kepala
janin yang kedua.6
Pada kehamilan kembar dikhorionik: jenis kelamin berbeda, plasenta
terpisah dengan dinding pemisah yang tebal (> 2mm) atau “twin peak sign”
dimana membran melekat pada dua buah plasenta yang menjadi satu.6 Pada
kehamilan monokhorionik, mempunyai membran pemisah yang sangat tipis
sehingga tidak terlihat sampai trimester kedua. Tebal membran < 2mm.6
11
8. Tatalaksana
Untuk kepentingan ibu dan janin, perlu diadakan pencegahan
terhadap pre-eklampsia dan eklampsia, partus prematurus, dan anemia. Agar
tujuan tersebut dapat tercapai, perlu dibuat diagnosis dini kehamilan kembar.
Pemeriksaan antenatal perlu diadakan lebih sering. Mulai kehamilan 24
minggu pemeriksaan dilakukan tiap 2 minggu, sesudah kehamilan 36 minggu
tiap minggu, sehingga tanda – tanda pre-eklampsia dapat diketahui dini dan
penanganan dapat dikerjakan dengan segera. Istirahat – baring dianjurkan
lebih banyak karena hal itu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta
meningkat, sehingga pertumbuhan janin lebih baik.
Setelah kehamilan mencapai 30 minggu, perjalanan jauh dan koitus
sebaiknya dilarang karena dapat merupakan faktor predisposisi partus
prematurus. Oleh beberapa penulis dianjurkan untuk merawat wanita dengan
kehamilan kembar setelah kehamilan mencapai 30 minggu untuk
menghindarkan partus prematurus, tetapi berapa jauh pengaruhnya tidak
diketahui dengan pasti.
Anemia hipokrom tidak jarang terjadi pada kehamilan kembar karena
kebutuhan besi dua bayi dan penambahan volume darah ibu sangat
meningkat. Pemberian sulfas ferrosus sebanyak 3 x 100 mg secara rutin perlu
dilakukan. Selain besi, dianjurkan pula untuk memberikan asam folat sebagai
tambahan.
12
Pemakaian korset sering meringankan beban pembesaran perut.
Makanan dianjurkan mengandung banyak protein dan makan dilaksanakan
lebih sering dalam jumlah lebih sedikit.
9. Prognosis
13
banyaknya terjadi prolapsus funikuli, solusio plasenta, serta kelainan letak
pada janin kedua.
Kematian anak pada kehamilan monozigotik lebih besar daripada
kehamilan dizigotik karena pada yang pertama dapat terjadi lilitan tali pusat
antara janin pertama dan kedua.
1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Patofisiologi
14
AA
AV
VV
15
dengan hambatan pertumbuhan, kontraktur, serta hipoplasia paru pada satu
kembar, dan ketuban pecah dini dan gagal jantung pada yang satunya.
4. Klasifikasi
Setelah TTTS teridentifikasi, biasanya ditentukan stadium
berdasarkan sistem Quintero. Stadium-stadium ini diidentifikasi sebagai
berikut:
Stadium I: ketidak samaan volume cairan amnion seperti dijelaskan di
atas, tetapi urin masih terlihat secara sonografis di dalam kandung
kemih kembar donor.
Stadium II: kriteria stadium I, tetapi urin tidak terlihat di dalam
kandung kemih donor
Stadium III: kriteria stadium II dan kelainan arteri umbilikalis, duktus
venosus, atau vena umbilikalis pada pemeriksaan Doppler
Stadium IV: asites atau hidrops yang jelas pada salah satu kembar;
dan
Stadium V: kematian salah satu janin.
1. TTTS tipe berat: Biasanya terjadi pada awat trimester ke II, umur
kehamilan 16018 minggu. Perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5
minggu kehamilan. Ukuran tali pusat juga berbeda. Konsentrasi Hb
biasanya sama pada kedua janin. Polihidramnion terjadi pada kembar
resipien karena adanya volume overload dan peningkatan jumlah urin
janin. Oligohidramnion yang berat bisa menyebabkan terjadinya
fenomena stuck twin dimana janin terfiksir pada dinding uterus.
2. TTTS tipe sedang: terjadi pada akhir trimester II, umur kehamilan 24-
30 minggu. Walaupun terdapat perbedaan ukuran besar janin lebih
dari 1,5 minggu kehamilan, polihidramnion dan oligohidramnion
tidak terjadi. Kembar donor menjadi anemia, hipovolemia dan
pertumbuhan terhambat. Sedangkan kembar resipien mengalami
plethoric, hipervolemia dan makrosomia. Kedua janin bisa
berkembang menjadi hidrops.
16
3. TTTS tipe ringan: terjadinya secara perlahan pada trimester III.
Polihidramnion dan oligohidramnion biasanya tidak terjadi.
Konsentrasi Hb berbeda lebih dari 5gr%. Ukuran besar janin berbeda
lebih dari 20%.
1. Tipe akut: Jika terjadi tranfusi darah secara akit/tiba-tiba dari satu
janin ke janin yang lain, biasanya pada trimester III atau selama
persalinan dari kehamilan monokorionik yang tidak berkomplikasi,
menyebabkan keadaan hipovolemia pada kembar donor dan
hipervolemia pada kembar resipien, dengan berat badan lahir yang
sama. Transfuse dari kembar pertama ke kembar kedua saat kelahiran
kembar pertama. Namun demikian, bila tali pusat kembar pertama
terlamabat dijepit, darah dari kembar yang belum dilahirkan dapat
tranfusi ke kembar pertama. Diagnosis biasanya dibuat pada saat post
natal.
2. Tipe kronik: Biasanya terjadi pada kehamilan dini (umur kehamilan
12-26 minggu) kasus tipe ini merupakan yang paling bermasalah
karena biayanya masih immature dan tidak dapat dilahirkan, sehingga
dalam pertumbuhannya di uterus, bisa mengalami kelainan akibat dari
TTTS seperti hydrops. Tanpa terapi, sebagian besar bayi tidak dapat
bertahan hidup atau bila survival, akan timbul kecacatan. Walaupun
arah tranfusi darah menuju kembar resipien, tetapi thrombus dapat
secara bebas berpindah arah menujunkembar resipien, tetapi thrombus
dapat secara bebas berpindah arah melalui anastomosis pembuluh
darah sehingga dapat menyebabkan infark atau kematian pada kedua
janin.
17
5. Diagnosis
TTTS merupakan kondisi dengan perjalanan yang lambat, dengan
dimulai (dilaporkan) pada umur kehamilan 13 minggu atau trimester kedua.
Diagnosis TTTS ditegakkan dengan evaluasi ultrosonografi yang
menunjukkan adanya:
1. kehamilan kembar dengan satu plasenta (monochorionic),
2. jenis kelamin sama dengan dipisahkan oleh membran ketuban,
3. pengukuran nuchal translucency >3mm pada umur kehamilan 10-14
minggu,
4. hasil crown-rump length (CRL) yang kurang pada salah satu janin,
5. polihidramnion pada janin resipien dan oligohidramnion pada janin
donor, jumlah air ketuban diukur dengan maximum vertical pocket
(MVP).
Tabel 1. Temuan sonographi trimester pertama dan kedua pada twin-twin transfution
syndrome.
Kehamilan monokorionik
18
Kantung kencing yang persisten
6. Manajemen
Ada beberapa pilihan manajemen, amnioreduksi dan
microseptostomy (penusukan membran intertwin) dengan tujuan untuk
menormalkan volume air ketuban sehingga dapat mencegah partus preterm
oleh karena polihidramnion. Manajemen ini, utamanya tidak ditujukan untuk
dekompensasi terhadap sirkulasi seperti yang terjadi pada kondisi berat, dan
janin yang hidup berisiko untuk terjadinya komplikasi neurologi terutama
jika salah satu janin meninggal in utero, dan juga akan mempercepat
terjadinya hipotensi pada janin lainnya oleh karena agonal transfusi antara
janin. Pada kasus dimana terjadi kematian salah satu janin, dilakukan oklusi
tali pusat dengan bipolar diatermi untuk memberikan kesempatan bagi janin
yang hidup untuk menurunkan risiko komplikasi neurogenik. Tujuan utama
ablasi dengan laser endoskopik adalah menghentikan sindroma dengan cara
memutuskan transfusi intertwin, tetapi dengan risiko kematian janin oleh
karena kerusakan non selektif pembuluh darah pada kotiledon plasenta. Dari
semua penelitian sampai saat ini, menajemen yang paling tepat belum
didapatkan walaupun manajemen amnioreduksi dan laser endoskopik
19
menghasilkan survival rates 60% sampai dengan 65% (pada suatu studi
cohort skala besar).
1. Reduction amniocentesis
20
2. Septostomy atau microseptostomy
Septostomy adalah tindakan untuk membuat lubang pada
membran diantara membran ketuban kedua janin dengan
menggunakan jarum (Gambar 3). Lubang ini akan menyebabkan
perpindahan cairan dari kantung ketuban dengan jumlah air ketuban
yang berlebihan (resipien) ke kantung ketuban dengan jumlah sedikit
(donor). Dikarenakan tindakan septostomy menggunakan dengan
jarum yang sama dengan tindakan amniocentesis, komplikasi dari
infeksi, persalinan prematur dan ketuban pecah dini sangat jarang.
Septostomy memiliki risiko dimana lubang yang menghubungkan
kedua kantung amnion menjadi lebih besar oleh karena sobeknya
membran ketuban sehingga memungkinkan kedua janin untuk
berbagi ruang kantung ketuban yang sama (dilaporkan sejumlah
3%). Dalam kondisi terburuk, tali pusat kedua janin dapat terlilit
satu sama lain yang mengakibatkan kematian salah satu atau kedua
janin. Pada penelitian dengan skala besar didapatkan survival rate
sejumlah 80% untuk salah satu janin dan 60% untuk kedua janin.
21
janin resipien. Dengan menggunakan fetoscope untuk menemukan
pembuluh darah yang menghubungkan kedua janin pada permukaan
plasenta kemudian “ditutup” dengan menggunakan energi laser,
dilanjutkan dengan amniocentesis hingga mencapai volume normal.
Oleh karena fetoscope memerlukan lubang/insisi pada kulit yang
lebih lebar sehingga dihubungkan dengan komplikasi yang lebih
tinggi dari kontraksi prematur, ketuban pecah dini (15%-20%),
abruptio plasenta (2%) dan infeksi, sehingga dengan alasan ini
diberikan medikasi untuk mencegah kontraksi dan infeksi sebelum
dan sesudah prosedur. Sebagai tambahan, terapi laser dapat
dihubungkan dengan risiko unik dimana energi laser dapat
menyebabkan perdarahan pada beberapa area plasenta atau
pembuluh darah di permukaan plasenta. Ablasi dengan laser
memiliki survival rate setidaknya salah satu janin sebesar 70%-80%
dan keduanya 1/3 kasus. Jika salah satu janin meninggal akibat
prosedur tindakan, kemungkinan bagi janin hidup untuk timbulnya
komplikasi mengalami penurunan dari 35% menjadi 7%
dikarenakan keduanya tidak lagi berbagi pembuluh darah.
22
Pada beberapa kasus didapatkan kondisi dimana pasien sulit
untuk mengambil keputusan terhadap manajemen yang akan
dilakukan oleh karena kemungkinan kematian salah satu janin untuk
menyelamatkan yang lainnya. Prosedur selective cord coagulation
ini dilakukan jika ablasi dengan laser tidak dimungkinkan atau jika
salah satu dari janin dalam kondisi mendekati kematian. Dengan
menghentikan aliran darah pada tali pusat janin yang sekarat, janin
lainnya dapat terlindungi dari konsekuensi kematian saudaranya.
Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan forcep khusus yang
dimasukkan kedalam kantung ketuban janin resipien dengan
panduan ultrasonografi (Gambar 5). Tali pusat dikoagulasi dengan
menggunakan aliran listrik sehingga aliran darah ke janin ini akan
berhenti dan hubungan antara kedua janin akan terputus, tetapi akan
menghilangkan kesempatan hidup dari salah satu janin. Komplikasi
dari prosedur ini adalah persalinan prematur dan ketuban pecah dini
20%.
Menjemen post-partum:
23
Pada bayi yang baru lahir dengan hidrops fetalis memerlukan
ventilasi mekanik, torakosentesis, perikardiosentesis, dan
paracentesis.
7. Prognosis
Prognosis tergantung pada usia kehamilan saat lahir dan apakah
terjadi iskemia otak intrauterine. Semakin rendah usia kehamilan saat lahir
semakin besar risiko neurologis atau infeksi paru-paru yang berlangsung
lama. Pertumbuhan terjadi pada postnatal sebagian besar kembar donor yang
lebih kecil.
Tanpa manajemen yang adekuat, TTTS dengan umur kehamilan
kurang dari 24 minggu sejumlah 80%-90% kasus akan dihubungkan dengan
kematian salah satu atau kedua janin. Jika salah satu janin meninggal, maka
pembuluh darah yang menghubungkan kedua janin akan menempatkan janin
hidup dengan risiko jangka panjang terjadi kerusakan otak pada 1/3 kasus.
Pada umumnya, semakin lanjut progresivitas semakin buruk prognosis janin.
Jika TTTS timbul pada umur kehamilan awal (sebelum umur kehamilan 16
minggu), terminasi kehamilan merupakan suatu pilihan dengan pertimbangan
prognosis yang buruk.
Bahkan meskipun dipantau secara teratur dan nampaknya tanpa
komplikasi, kehamilan diamniotik monokorionik meningkat risiko kematian
janin intrauterine yang tak terduga satu kembar, menempatkan co-twin
beresiko mati atau bertahan hidup dengan cedera neurologis yang merupakan
akibat dari ketidakstabilan dalam sirkulasi plasenta bersama.
8. Komplikasi
1. Komplikasi neurlogis
TTTS dikaitkan dengan peningkatan resiko dari sekuele neurologis
diperkirakan sekitar 15% kejadian nerulogis jangka panjang lebih dari
setengahnya menyebabkan cerebral palsy. Mobiditas kelainan neurologis
karena kelahiran premature meliputi periventrikular leukomalacia (PVL)
dan traventrikular homoragik. Hal ini disebabkan iskemia oleh karena
ketidakseimbangan hemodinamik via anastomosis plasenta. Polisitema
dan vascular status pada resipien dan anemia dan hipotensi pada donor
24
adalah mekenisme kelainan neurologis. Kebanyakan terjadi gangguan
neurologis yang sama pada donor dan resipien. Kematian pada salah satu
kember juga meningkatkan resiko sekuel neurologis pada bayi yang
hidup.
Sekuele neurologis terkadang ditemukan kelainans saat antenatal atau
atau gambaran pasca kelahiran, namun kelainan pada temuan ultrasound
belum tentu sama dengan sekuele neurologis. Pada ultrasound kranial
postnatal bayi yang selamat 29% memiliki kelainan, 12% bayi yang
selamat ditemukan adanya PVL saat antennal. Lesi yang didapat saat
antenatal harus dibedakan dengan bayi lahir melipuliti perdarahan dan
PVL pada pencitraan neonatal. Akan tetapi dengan tidak adanya TTTS
23% kehamilan monokorion juga mengalami kelainan saat postnatal pada
temuan ultrasound.
2. Komplikasi kardiovaskular
3. Komplikasi lainnya
Pada studi kohor kehamilan dengan TTTS terdapat sekitar 48%
terjadinya gagal ginjal akut dimana donar>resipien. Namun, gagal ginjal
25
ini sering sekali bersifat sementara, kelainan ginjal jangka panjang hanya
terjadi 3% bayi yang selamat.
26
BAB III
KESIMPULAN
fetal/neonatus. angka kejadian 10-20% dan bila tidak dilakukan penanganan yang
adekuat 80-100% janin dari kehamilan tersebut akan mati. TTTS terjadi akibat
aliran satu arah melalui anastomosis arteriovena. Darah terdeoksigenasi dari arteri
plasenta donor dipompa kedalam ketiledon yang dipakai bersama oleh resepien.
TTTS ditemukan pada umur kehamilan 13 minggu atau trimester kedua. Diagnosis
27
DAFTAR PUSTAKA
28
13. Sueters M, Middeldorp JM, Lopriore E, Oepkes D, Kanhai HH,
Vandenbussche FP. Timely diagnosis of twin-to-twin transfusion syndrome
in monochorionic twin pregnancies by biweekly sonography combined with
patient instruction to report onset of symptoms. Ultrasound Obstet Gynecol .
Oct 2006;28(5):659-64.
14. Taylor MJ, Govender L, Jolly M, Wee L, Fisk NM. Validation of the
Quintero staging system for twin-twin transfusion syndrome. Obstet Gynecol
. Dec 2002;100(6):1257-65
15. Quintero RA, Morales WJ, Allen MH, Bornick PW, Johnson PK, Kruger M.
Staging of twin-twin transfusion syndrome. J Perinatol . Dec 1999;19(8 Pt
1):550-5.
16. Yamamoto M, Ville Y. Recent findings on laser treatment of twin-to-twin
transfusion syndrome. Curr Opin Obstet Gynecol . Apr 2006;18(2):87-92
17. Zach, Terence. 2009. www.emedicine.org. Twin to Twin Transfusion
Syndrome. Creighton University.
18. Nora, H., 2013. Twin Twin Transfusion Syndrome. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala, 13(2), pp.86-95.
19. Simpson, L.L. and Society for Maternal-Fetal Medicine (SMFM, 2013.
Twin-twin transfusion syndrome. American journal of obstetrics and
gynecology, 208(1), pp.3-18.Twin to Twin Transfusion Syndrome Claudia
Cinnante ,
20. Sueters, M. and Oepkes, D., 2014. Diagnosis of twin-to-twin transfusion
syndrome, selective fetal growth restriction, twin anaemia-polycythaemia
sequence, and twin reversed arterial perfusion sequence. Best Practice &
Research Clinical Obstetrics & Gynaecology, 28(2), pp.215-226.
21. Jain, V. and Fisk, N.M., 2004. The twin–twin transfusion syndrome. Clinical
obstetrics and gynecology, 47(1), pp.181-202.
29