Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya ucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat Nya sehingga saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Twin to Twin
Tranfusion Syndrome”. Penyusunan referat ini untuk memenuhi tugas kepaniteraan
klinik di SMF Obsetri dan Ginekologi RSUD Sidoarjo.

Pada kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya
kepada dr.Pramudyo Dwiputro Sp.OG yang selama ini telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan membantu dalam menyelesaikan referat ini.

Saya menyadari akan kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penyusunan


referat ini, oleh karena itu saya mohon petunjuk, kritik dan saran-saran dari pembaca
yang sangat saya harapkan guna memperbaiki karya tulis ini.

Harapan saya semoga referat ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi
dokter muda yang sedang menjalani kepaniteraan klinik untuk memperlancar
studinya.

Sidoarjo, September 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

Judul ............................................................................................................................ i

Kata Pengantar ............................................................................................................. 1

Daftar Isi....................................................................................................................... 2

BAB I ` PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 5

A. Kehamilan Kembar
1. Definisi ................................................................................... 5
2. Epidemiologi .......................................................................... 5
3. Etiologi ................................................................................... 5
4. Klasifikasi .............................................................................. 6
5. Faktor resiko .......................................................................... 7
6. Diagnosa................................................................................. 9
7. Patofisiologi ...........................................................................10
8. Tatalaksana.............................................................................12
9. Prognosis ................................................................................13
B. Twin to Twin Tranfussion Syndrome .........................................14
1. Definisi ...................................................................................14
2. Epidemiologi ..........................................................................14
3. Patofisiologi ...........................................................................14
4. Klasifikasi ..............................................................................16
5. Diagnosis ................................................................................18
6. Managemen ............................................................................19
7. Prognosis ................................................................................24
8. Komplikasi .............................................................................24

KESIMPULAN ..........................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................28

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehamilan kembar atau kehamilan multipel adalah suatu kehamilan dengan


dua janin atau lebih. Kehamilan multipel dapat berupa kehamilan ganda/gemeli (2
janin), triplet ( 3 janin ), kuadruplet ( 4 janin ), Quintiplet ( 5 janin ) dan seterusnya
dengan frekuensi kejadian yang semakin jarang. Hukum Hellin menyatakan bahwa
perbandingan antara kehamilan ganda dan tunggal adalah 1: 89, untuk triplet 1 : 89,
untuk kuadruplet 1 : 89, dan seterusnya. Kehamilan kembar dapat didefinisikan
sebagai kehamilan dimana 2 atau lebih embrio terbentuk secara simultan. Kehamilan
kembar terjadi 1% dari seluruh kehamilan. “Two for the price of one” atau “Instant
family” kedengarannya suatu hal yang baik hingga dapat disadari bahwa pada
kehamilan kembar dapat terjadi peningkatan seluruh komplikasi obstetrik kecuali
post maturitas. Hiperemesis, keguguran, premature partum bleeding, pertumbuhan
fetus yang terganggu, kematian fetus, presentasi abnormal, malformasi dan
perdarahan post partum seluruhnya dapat meningkat. Pada bayi kembar mortalitas
perinatal 3-6 kali lebih besar dan resiko terjadinya cerebral palsy 6 kali lebih besar.

Kehamilan kembar ini penting untuk dibicarakan karena beberapa sebab :


1. Tingginya angka mortalitas dan morbiditas sebagian besar dihubungkan dengan
prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, malformasi janin dan sindroma twin-
twin transfusi. Penelitian Scotland menyatakan bahwa angka kejadian mortalitas
pada hamil kembar 6x lebih sering dibandingkan hamil tunggal.

2. Faktor resiko dari semua komplikasi kehamilan pada hamil kembar lebih besar
dibandingkan hamil tunggal.

3. Peningkatan jumlah kembar akhir-akhir ini disebabkan meningkatnya


penggunaan obat-obatan pemicu ovulasi.

Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) merupakan suatu keadaan dimana


terjadi transfuse darah intrauterine dari janin ke janin yang lain pada kehamilan
kembar monochorionik dimana dari gambaran sonografi terlihat ditemukan

3
polihidroamnionik pada satu kantong dan oligohidroamnion pada kantong yang
lainnya pada suatu kehamilan ganda monochorionik-diamniotik.

Angka terjadinya TTTS beriksar antara 4% sampai 35% dari seluruh


kehamilan kembar monochorionik dan menyebabkan kematian pada lebih dari 17%
dari seluruh kehamilan kembar. Bila tidak diberikan penanganan adekuat, > 80%
janin dari kehamilan tersebut akan mati intrauterin atau mati selama masa neonatus.
Kematian dari satu janin intrauterine akan membawa konsekuensi terjadinya
disseminated intravascular coagulation (DIC). Kehamilan kembar monochorion
menunjukkan adanya peningkatan resiko gangguan perkembangan substansi alba
dari jaringan otak pada periode antenatal.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kehamilan Kembar

1. Definisi

Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau


lebih. Kembar dizigotik memiliki dua amnion (diamniotik) dan dua plasenta
(dikorionik). Pada kembar monozigot dapat terbentuk satu plasenta
(monokorionik), satu amnion (monoamniotik) atau bahkan satu organ fetal
(kembar siam).

2. Epidemiologi

Kembar terjadi pada 1% dari semua kehamilan dengan dua pertiga (70%)
adalah dizigot dan sepertiga (30%) adalah monozigot. Insiden dari kembar
bervariasi menurut :
 Kelompok etnik (1:50 kehamilan ras Afrika, 1 : 80 kehamilan pada ras Caucasia,
1:50 kehamilan pada ras Asia dan paling sedikit pada ras Mongoloid)
 Usia maternal (2% setelah 35 tahun). Paling tinggi pada wanita yang berusia 37
tahun, dimana terjadi stimulasi hormonal yang maksimal
 Paritas (2% setelah kehamilan keempat)
 Metode konsepsi (20% dengan induksi ovulasi)
 Riwayat keluarga

Insidensi kembar monozigot sama pada semua kelompok etnis dan tidak
berbeda oleh usia maternal, paritas maupun metode konsepsi yaitu 3,4/1000
kelahiran. Insidensi untuk kehamilan kembar menurut Hukum Hellin adalah 1
dalam 80 kehamilan, misalnya gemelli 1: 80 kehamilan, triplet 1:80, kuadriplet 1
: 80, dan seterusnya.

3. Etiologi

Janin yang kembar lebih sering terjadi akibat fertilisasi dua buah
ovum yang terpisah (ovum-ganda, kembar dizigot atau kembar “fraternal”).
Sekitar sepertiga di antara kehamilan kembar berasal dari ovum tunggal yang

5
dibuahi, dan selanjutnya membagi diri menjadi dua buah struktur yang
serupa, masing – masing dengan kemampuan untuk berkembang menjadi
ovum tunggal tersendiri (kehamilan monozigot ataukembar identik). Salah
satu atau kedua proses dapat terlibat dalam pembentukan fetus dengan jumlah
yang lebih besar. Sebagai contoh, kembar empat atau kuadruplet dapat timbul
dari satu, dua, tiga, atau empat buah ovum.

4. Klasifikasi

Kehamilan kembar dapat dibagi atas beberapa tipe :


1. Kembar dizigotik (Binovular-fraternal twins) (66%): yaitu
 Fertilisasi dari 2 ovum oleh 2 sperma
 Dikorionik, korion yang terpisah, memiliki 2 plasenta.
 Diamniotik, amnion yang terpisah (kantung amnion)
2. Kembar monozigotik (Mono ovular-identical twins) (33%) yaitu :
 Pembelahan dari 1 ovum, fertilisasi oleh 1 sperma
 Jika pembelahan terjadi sebelum terbentuknya inner cell mass (morula),
dalam 3 hari (72 jam pertama) dari fertilisasi, yang terjadi pada 1/3 dari
kembar monozigotik maka setiap fetus akan memiliki kantong amnion
dan plasenta masing-masing (kembar dikorionik diamniotik) sekitar
96%.
 Jika pembelahan embrio terjadi setelah 3 hari fertilisasi (antara 4-8
hari), dimana morulla sudah terbentuk, maka akan terjadi komunikasi
antara sirkulasi plasenta sehingga terjadi kembar diamniotik
monokorionik sekitar 4%.
 Pembelahan ovum pada hari 8-13 setelah fertilisasi, dimana lapisan
amnion sudah terbentuk akan menjadi kembar monokorionik,
monoamniotik
 Pembelahan ovum > 13 hari setelah fertilisasi, dimana segmentasi
terhambat dan setelah primitive streak terbentuk maka akan terjadi
kembar dempet (kembar siam). Dapat dibagi sesuai lokasi anatomis
dempetnya.

6
3. Fetus papyraceous
 Salah satu fetus yang kembar tidak berkembang
 Tak berbentuk, mengkerut, dan rata.

5. Faktor Resiko

Faktor – faktor yang menyebabkan matangnya 2 atau lebih folikel de Graaf


atau terbentuknya 2 ovum atau lebih dalam satu folikel :
1. Ras

7
Ras Afrika – Amerika memiliki kecenderungan untuk kehamilan
kembar paling besar dibandingkan ras lain. Myrianthopoulus (1970)
mendapatkan bahwa pada wanita kulit putih terdapat 1 kehamilan kembar
dari 100 kehamilan, dan 1 banding 80 pada wanita kulit hitam. Kehamilan
kembar di Asia lebih sedikit. Di Jepang angka kejadian angka kejadian hanya
1 dari 155 kehamilan.

2. Usia
Kejadian kehamilan kembar mulai dari pubertas di mana aktivitas
ovarium minimal, dan mencapai puncaknya pada usia 37 tahun. Dari
penelitian – penelitian disimpulkan bahwa wanita berusia lebih dari 30 tahun
mempunyai kesempatan lebih besar mendapatkan hasil konsepsi ganda.
Setelah usia 40 tahun frekuensi kehamilan kembar menurun kembali.

3. Paritas
Wanita yang telah hamil satu kali atau lebih sebelumnya, terutama
kehamilan kembar meningkatkan risiko hamil kembar.

4. Hereditas

Riwayat kehamilan kembar pada keluarga meningkatkan


kemungkinan untuk kehamilan kembar, genotip ibu jauh lebih penting
daripada ayah dan pada umumnya terbatas pada kehamilan dizigotik.

5. Faktor – faktor lain


Induksi ovulasi dengan menggunakan preparat gonadotropin (FSH +
chorionic gonadotropin) atau klomifen, akan meningkatkan secara nyata
kemungkinan ovulasi ovum yang jumlahnya lebih dari satu, yang jika dibuahi
akan menghasilkan janin kembar. Obat klomid dan hormone gonadotropin
yang dipergunakan untuk menimbulkan ovulasi dilaporkan menyebabkan
kehamilan dizigotik. Tekhnologi reproduksi yang berkembang, seperti in
vitro fertilization (IVF) dan tekhnik – tekhnik lain menghasilkan telur
multipel yang kemudian dibuahi dan dikembalikan ke dalam uterus memiliki
kemungkinan kehamilan kembar yang tinggi.

8
6. Patofisiologi
Pada kehamilan kembar distensi uterus berlebihan, sehingga melewati
batas toleransi dan seringkali terjadi partus prematurus. Lama kehamilan
kembar dua rata-rata 260 hari, triplet 246 hari dan kuadruplet 235 hari. Berat
lahir rata-rata kehamilan kembar ± 2500 gram, triplet 1800gram, kuadriplet
1400 gram. Penentuan zigositas janin dapat ditentukan dengan melihat
plasenta dan selaput ketuban pada saat melahirkan. Bila terdapat satu amnion
yang tidak dipisahkan dengan korion maka bayi tesebut adalah monozigotik.
Secara umum, derajat dari perubahan fisiologis maternal lebih besar
pada kehamilan kembar dibanding dengan kehamilan tunggal. Pada trimester
1 sering mengalami nausea dan muntah yang melebihi yang dikarateristikan
kehamilankehamilan tunggal. Perluasan volume darah maternal normal
adalah 500 ml lebih besar pada kehamilan kembar, dan rata-rata kehilangan
darah dengan persalinan vagina adalah 935 ml, atau hampir 500 ml lebih
banyak disbanding dengan persalinan dari janin tunggal. Massa sel darah
merah meningkat juga, namun secara proporsional lebih sedikit pada
kehamilan-kehamilan kembar dua dibanding pada kehamilan tunggal, yang
menimbulkan” anemia fisiologis” yang lebih nyata. Kadar haemoglobin.
kehamilan kembar dua rata-rata sebesar 10 g/dl dari 20 minggu ke depan.
Sebagaimana diperbandingkan dengan kehamilan tunggal, cardiac
output meningkat sebagai akibat dari peningkatan denyut jantung serta
peningkatan stroke volume. Ukuran uterus yang lebih besar dengan janin
banyak meningkatkan perubahan anatomis yang terjadi selama kehamilan.
Uterus dan isinya dapat mencapai volume 10 L atau lebih dan berat lebih dari
20 pon. Khusus dengan kembar dua monozygot, dapat terjadi akumulasi yang
cepat dari jumlah cairan amnionik yang nyata sekali berlebihan, yaitu
hidramnion akut. Dalam keadaan ini mudah terjadi kompresi yang cukup
besar serta pemindahan banyak visera abdominal selain juga paru dengan
peninggian diaphragma. Ukuran dan berat dari uterus yang sangat besar dapat
menghalangi keberadaan wanita untuk lebih sekedar duduk.
Pada kehamilan kembar yang dengan komplikasi hidramnion, fungsi
ginjal maternal dapat mengalami komplikasi yang serius, besar
kemungkinannya sebagai akibat dari uropati obstruktif. Kadar kreatinin
plasma serta urin output maternal dengan segera kembali ke normal setelah

9
persalinan. Dalam kasus hidramnion berat, amniosintesis terapeutik dapat
dilakukan untuk memberikan perbaikan bagi ibu dan diharapkan untuk
memungkinkan kehamilan Berbagai macam stress kehamilan serta
kemungkinan-kemungkinan dari komplikasi-komplikasi maternal yang serius
hampir tanpa kecuali akan lebih besar pada kehamilan kembar.

7. Diagnosis

Gejala dan Tanda


Gangguan yang biasanya muncul pada kehamilan akan meningkat
pada kehmilan kembar. Efek dari kehamilan kembar pada pasien antar lain:
tekanan pada pelvis yang lebih berat dan lebih awal, nausea, sakit punggung,
varises, konstipasi, hemoroid, distensi abdominal dan kesulitan bernafas.
Aktivitas fetus lebih banyak dan persisten pada kehamilan kembar.
Diagnosis kehamilan kembar 75% didapatkan dari penemuan fisik,
tanda-tanda yang harus diperhatikan pada kehamilan kembar adalah:
1. Uterus lebih besar (>4 cm) dibandingkan usia kehamilannya.
2. Penambahan berat badan ibu yang mencolok yang tidak disebabkan oleh
edema atau obesitas
3. Polihidramnion
4. Ballotement lebih dari satu fetus
5. Banyak bagian kecil yang teraba
6. Uterus terdiri dari tiga bagian besar janin
7. Terdengarnya denyut jantung janin yang letaknya berjauhan dengan
perbedaan kecepatan paling tidak 8 dpm
8. Palpasi satu atau lebih fetus pada fundus setelah melahirkan satu bayi.

Laboratorium

Nilai hematokrit dan hemoglobin dan jumlah sel darah merah


menurun, berhubungan dengan peningkatan volume darah. Anemia
mikrositik hipokrom seringkali muncul pada kehamilan kembar. Kebutuhan
fetus terhadap besi (Fe) melebihi kemampuan maternal untuk mensuplai Fe
didapatkan pada trimester kedua. Pada tes toleransi glukosa didapatkan
gestasional DM dan gestasional hipoglikemi sering ditemukan pada

10
kehamilan kembar. Pada kehmilan kembar chorionic gonadotropin pada urin,
estriol dan pregnanendiol meningkat. Kehamilan kembar juga dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan peningkatan serum alfa fetoprotein ibu
walaupun pemeriksaan ini tidak dapat berdiri sendiri. Tidak ada tes biokimia
yang dapat membedakan kehamilan tunggal atau kembar.

Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan USG yang teliti, kantung gestasional yang
terpisah dapat diidentifikasi pada awal kehamilan kembar. Identifikasi
masing – masing kepala fetus harus bisa dilakukan dalam bidang tegak lurus
sehingga tidak tertukar dengan potongan lintang badan janin dengan kepala
janin yang kedua.6
Pada kehamilan kembar dikhorionik: jenis kelamin berbeda, plasenta
terpisah dengan dinding pemisah yang tebal (> 2mm) atau “twin peak sign”
dimana membran melekat pada dua buah plasenta yang menjadi satu.6 Pada
kehamilan monokhorionik, mempunyai membran pemisah yang sangat tipis
sehingga tidak terlihat sampai trimester kedua. Tebal membran < 2mm.6

11
8. Tatalaksana
Untuk kepentingan ibu dan janin, perlu diadakan pencegahan
terhadap pre-eklampsia dan eklampsia, partus prematurus, dan anemia. Agar
tujuan tersebut dapat tercapai, perlu dibuat diagnosis dini kehamilan kembar.
Pemeriksaan antenatal perlu diadakan lebih sering. Mulai kehamilan 24
minggu pemeriksaan dilakukan tiap 2 minggu, sesudah kehamilan 36 minggu
tiap minggu, sehingga tanda – tanda pre-eklampsia dapat diketahui dini dan
penanganan dapat dikerjakan dengan segera. Istirahat – baring dianjurkan
lebih banyak karena hal itu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta
meningkat, sehingga pertumbuhan janin lebih baik.
Setelah kehamilan mencapai 30 minggu, perjalanan jauh dan koitus
sebaiknya dilarang karena dapat merupakan faktor predisposisi partus
prematurus. Oleh beberapa penulis dianjurkan untuk merawat wanita dengan
kehamilan kembar setelah kehamilan mencapai 30 minggu untuk
menghindarkan partus prematurus, tetapi berapa jauh pengaruhnya tidak
diketahui dengan pasti.
Anemia hipokrom tidak jarang terjadi pada kehamilan kembar karena
kebutuhan besi dua bayi dan penambahan volume darah ibu sangat
meningkat. Pemberian sulfas ferrosus sebanyak 3 x 100 mg secara rutin perlu
dilakukan. Selain besi, dianjurkan pula untuk memberikan asam folat sebagai
tambahan.

12
Pemakaian korset sering meringankan beban pembesaran perut.
Makanan dianjurkan mengandung banyak protein dan makan dilaksanakan
lebih sering dalam jumlah lebih sedikit.

Penatalaksanaan dalam persalinan


Mengingat banyaknya komplikasi kehamilan dan persalinan kembar,
maka diperlukan perhatian khusus. Rekomendasi untuk penatalaksanaan
intrapartum meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Tersedia tenaga professional yang senantiasa mendampingi proses
persalinan dan memonitor keadaan janin.
2. Tersedia produk darah untuk transfuse
3. Terpasang akses intravena
4. Pemberian ampisilin 2 gram tiap 6 jam bila terdapat persalinan prematur
untuk mencegah infeksi neonatus.
5. Tersedia obstetrisian yang mampu mengidentifikasi bagian janin
intrauterin dan melakukan manipulasi intrauterin.
6. Jika memungkinkan tersedia mesin ultrasonografi
7. Ada dokter anestesi yang dapat segera dipanggil jika diperlukan
8. Ada tenaga terlatih untuk melakukan resusitasi neonatus
9. Tempat persalinan cukup luas agar memungkinkan anggota tim bekerja
secara efektif.

9. Prognosis

Bahaya bagi ibu pada kehamilan kembar lebih besar daripada


kehamilan tunggal karena lebih seringnya terjadi anemia, pre-eklampsia dan
eklampsia, operasi obstetrik, dan perdarahan postpartum.
Kematian perinatal anak kembar lebih tinggi daripada anak kehamilan
tunggal. Prematuritas merupakan sebab utama. Selain itu, juga lebih sering
terjadi pre-eklampsia dan eklampsia, hidramnion, kelainan letak, prolapsus
funikuli dan operasi perdarahan serebral dan kemungkinan adanya kelainan
bawaan pada bayi.
Kematian anak kedua lebih tinggi daripada yang pertama karena lebih
sering terjadi gangguan sirkulasi plasenta setelah anak pertama lahir, lebih

13
banyaknya terjadi prolapsus funikuli, solusio plasenta, serta kelainan letak
pada janin kedua.
Kematian anak pada kehamilan monozigotik lebih besar daripada
kehamilan dizigotik karena pada yang pertama dapat terjadi lilitan tali pusat
antara janin pertama dan kedua.

B. Twin Twin Tranfussion Syndrome

1. Definisi

Twin-twin transfusion syndrome (TTTS) adalah suatu komplikasi dari


kehamilan multipel monokorion yang berisiko tinggi menyebabkan kematian
fetal/neonatus, terutama pada janin usia belum mampu hidup dan bila janin
berhasil hidup maka janin tersebut berisiko mengalami gangguan jantung,
syaraf dan mental. Pada TTTS darah ditransfusikan secara tidak seimbang
antara satu janin (donor) dengan janin yang lain (resipien). Transfusi ini
menyebabkan penurunan volume darah janin donor. Hal ini mengakibatkan
pertumbuhan janin donor menjadi terhambat. Sedangkan janin resipien
mendapat darah yang berlebihan sehingga bias mengakibatkan gagal jantung.

2. Epidemiologi

TTTS merupakan keadakan patologi yang serius pada kelahiran


kembar monokorionik diamnion dengan angka kejadian 10-20% dan bila
tidak dilakukan penanganan yang adekuat 80-100% janin dari kehamilan
tersebut akan mati.

3. Patofisiologi

Patofisiologi TTTS tidak sepenuhnya dipahami, akan tetapi terdapat


adanya anastomosis vaskuler plasenta terlibat dalam perkembangannya.
Terdapat tiga jenis anastomosis plasenta pada monokronik plasenta yaitu
venovenous (VV), arterioarterial (AA), dan arteriovenous (AV).

14
AA

AV

VV

Gambar 1. Anastomosis pada plasenta monokorionik

TTTS terjadi akibat aliran satu arah melalui anastomosis arteriovena.


Darah terdeoksigenasi dari arteri plasenta donor dipompa kedalam ketiledon
yang dipakai bersama oleh resepien (gambar 1). Jika pertukaran oksigen di
vilus korion telah selesai maka darah teroksigenasi meninggalkan kotiledon
melalui suatu vena plasenta pada kembar resipien. Jika tidak terkompensasi,
aliran satu arah ini menyebabkan ketidak seimbangan volume darah.

Sindrom transfusi antar kembar yang secara klinis sering bersifat


kronis dan merupakan akibat perbedaan volume vaskuler signifikan di antara
kembar. Sindrom ini biasanya bermanifestasi pada pertengahan kehamilan
ketika janin donor menjadi oliguria akibat berukrangnya perfusi ginjal. Janin
donor mengalami oligohidramnion, dan janin resepien mengalami
hidramnion berat, diduga akibat meningkatnya produksi urin. Cairan amnion
yang hamper tidak ada dikantong donor menghambat gerakan janin,
menghasilkan istilah desktiptif stuck twin attau sindrom hidramnion-
oligohidramnion-“poli-oli’. Ketidak seimbangan cairan amnion ini berkaitan

15
dengan hambatan pertumbuhan, kontraktur, serta hipoplasia paru pada satu
kembar, dan ketuban pecah dini dan gagal jantung pada yang satunya.

4. Klasifikasi
Setelah TTTS teridentifikasi, biasanya ditentukan stadium
berdasarkan sistem Quintero. Stadium-stadium ini diidentifikasi sebagai
berikut:
 Stadium I: ketidak samaan volume cairan amnion seperti dijelaskan di
atas, tetapi urin masih terlihat secara sonografis di dalam kandung
kemih kembar donor.
 Stadium II: kriteria stadium I, tetapi urin tidak terlihat di dalam
kandung kemih donor
 Stadium III: kriteria stadium II dan kelainan arteri umbilikalis, duktus
venosus, atau vena umbilikalis pada pemeriksaan Doppler
 Stadium IV: asites atau hidrops yang jelas pada salah satu kembar;
dan
 Stadium V: kematian salah satu janin.

Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) berdasarkan berat


ringannya penyakit dibagi atas.:

1. TTTS tipe berat: Biasanya terjadi pada awat trimester ke II, umur
kehamilan 16018 minggu. Perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5
minggu kehamilan. Ukuran tali pusat juga berbeda. Konsentrasi Hb
biasanya sama pada kedua janin. Polihidramnion terjadi pada kembar
resipien karena adanya volume overload dan peningkatan jumlah urin
janin. Oligohidramnion yang berat bisa menyebabkan terjadinya
fenomena stuck twin dimana janin terfiksir pada dinding uterus.
2. TTTS tipe sedang: terjadi pada akhir trimester II, umur kehamilan 24-
30 minggu. Walaupun terdapat perbedaan ukuran besar janin lebih
dari 1,5 minggu kehamilan, polihidramnion dan oligohidramnion
tidak terjadi. Kembar donor menjadi anemia, hipovolemia dan
pertumbuhan terhambat. Sedangkan kembar resipien mengalami
plethoric, hipervolemia dan makrosomia. Kedua janin bisa
berkembang menjadi hidrops.

16
3. TTTS tipe ringan: terjadinya secara perlahan pada trimester III.
Polihidramnion dan oligohidramnion biasanya tidak terjadi.
Konsentrasi Hb berbeda lebih dari 5gr%. Ukuran besar janin berbeda
lebih dari 20%.

Twin to twin transfusion syndrome juga dapat diklasifikasi menjadi


akut dan kronik. Patofisiologi yang mendasar penyakit ini, gambaran klinis,
morbiditas dan mortalitas janin pada kedua tipe ini sangat berbeda. Angka
kematian perinatal yang tinggi pada twin to twin transfusion syndrome
terutama disebabkan tipe yang kronik:

1. Tipe akut: Jika terjadi tranfusi darah secara akit/tiba-tiba dari satu
janin ke janin yang lain, biasanya pada trimester III atau selama
persalinan dari kehamilan monokorionik yang tidak berkomplikasi,
menyebabkan keadaan hipovolemia pada kembar donor dan
hipervolemia pada kembar resipien, dengan berat badan lahir yang
sama. Transfuse dari kembar pertama ke kembar kedua saat kelahiran
kembar pertama. Namun demikian, bila tali pusat kembar pertama
terlamabat dijepit, darah dari kembar yang belum dilahirkan dapat
tranfusi ke kembar pertama. Diagnosis biasanya dibuat pada saat post
natal.
2. Tipe kronik: Biasanya terjadi pada kehamilan dini (umur kehamilan
12-26 minggu) kasus tipe ini merupakan yang paling bermasalah
karena biayanya masih immature dan tidak dapat dilahirkan, sehingga
dalam pertumbuhannya di uterus, bisa mengalami kelainan akibat dari
TTTS seperti hydrops. Tanpa terapi, sebagian besar bayi tidak dapat
bertahan hidup atau bila survival, akan timbul kecacatan. Walaupun
arah tranfusi darah menuju kembar resipien, tetapi thrombus dapat
secara bebas berpindah arah menujunkembar resipien, tetapi thrombus
dapat secara bebas berpindah arah melalui anastomosis pembuluh
darah sehingga dapat menyebabkan infark atau kematian pada kedua
janin.

17
5. Diagnosis
TTTS merupakan kondisi dengan perjalanan yang lambat, dengan
dimulai (dilaporkan) pada umur kehamilan 13 minggu atau trimester kedua.
Diagnosis TTTS ditegakkan dengan evaluasi ultrosonografi yang
menunjukkan adanya:
1. kehamilan kembar dengan satu plasenta (monochorionic),
2. jenis kelamin sama dengan dipisahkan oleh membran ketuban,
3. pengukuran nuchal translucency >3mm pada umur kehamilan 10-14
minggu,
4. hasil crown-rump length (CRL) yang kurang pada salah satu janin,
5. polihidramnion pada janin resipien dan oligohidramnion pada janin
donor, jumlah air ketuban diukur dengan maximum vertical pocket
(MVP).

Temuan pada trimester pertama Temuan pada trimester kedua

 Crown-rump length yang  Lingkar perut yang kurang


kurang pada satu janin pada satu janin
 Ukuran nuchal translucency  Membrane pemisah yang
> 3 mm pada umur tipis
kehamilan 10-14 minggu atau
 Masuknya velamentous
berbeda >20% diantara bayi
placenta (donor kembar)
 Echogensiti plasenta
(hyperecoic donor)

Tabel 1. Temuan sonographi trimester pertama dan kedua pada twin-twin transfution
syndrome.

Kriteria diagnostic TTTS pada awal trimester ketiga (kriteria diagnostik


ultrasonografi)

 Kehamilan monokorionik

 Jenis kelamin yang sama

 Satu massa plasenta

 Membrane pemisah yang tipis

 Kelainan volume cairan amnion

18
 Kantung kencing yang persisten

 Perkiraaan perbedaan berat janin (20% lebih berat kembar besar)

 Adanya stuck twin

 Hidrops fetalis ( adanya satu atau lebih gejala edema kulit(tebal 5


mm), efusi pericardial, efusi pleura, acites)

 Membrane pembungkus pada umur kehamilan 14-17 minggu.

Diagnosis post natal TTTS dapat ditegakkan dengan :

1. Adanya perbedaan berat badan kedua janin yang >500gr atau


perbedaan>20% pada janin aterm( untuk TTTS Kronis)

2. Terdapat perbedaan kadar hemoglobin dan hematokrit dari kedua


janin, janin donor dapat mencapai 8gr% atau kurang dan janin
resipien bisa mencapai 27%

3. Perbedaan ukuran pada organ-organ jantung,ginjal,hepar dan thymus.

6. Manajemen
Ada beberapa pilihan manajemen, amnioreduksi dan
microseptostomy (penusukan membran intertwin) dengan tujuan untuk
menormalkan volume air ketuban sehingga dapat mencegah partus preterm
oleh karena polihidramnion. Manajemen ini, utamanya tidak ditujukan untuk
dekompensasi terhadap sirkulasi seperti yang terjadi pada kondisi berat, dan
janin yang hidup berisiko untuk terjadinya komplikasi neurologi terutama
jika salah satu janin meninggal in utero, dan juga akan mempercepat
terjadinya hipotensi pada janin lainnya oleh karena agonal transfusi antara
janin. Pada kasus dimana terjadi kematian salah satu janin, dilakukan oklusi
tali pusat dengan bipolar diatermi untuk memberikan kesempatan bagi janin
yang hidup untuk menurunkan risiko komplikasi neurogenik. Tujuan utama
ablasi dengan laser endoskopik adalah menghentikan sindroma dengan cara
memutuskan transfusi intertwin, tetapi dengan risiko kematian janin oleh
karena kerusakan non selektif pembuluh darah pada kotiledon plasenta. Dari
semua penelitian sampai saat ini, menajemen yang paling tepat belum
didapatkan walaupun manajemen amnioreduksi dan laser endoskopik

19
menghasilkan survival rates 60% sampai dengan 65% (pada suatu studi
cohort skala besar).
1. Reduction amniocentesis

Amniocentesis secara serial untuk mengurangi jumlah air ketuban


yang berlebihan dari kantung amnion janin resipien dengan menggunakan
jarum melewati dinding perut ibu (Gambar 2). Jumlah air ketuban yang
dikeluarkan bervariasi berdasarkan volume awal air ketuban pada janin
resipien, umur kehamilan dan adanya kontraksi uterus selama prosedur
tindakan. Pada umumnya tidak lebih dari 3 liter pada setiap kali prosedur dan
diselesaikan dalam waktu kurang dari 30 menit. Tindakan ini sementara
waktu dapat mengembalikan keseimbangan dalam jumlah air ketuban pada
kedua kantung amnion janin dan dilakukan pada TTTS stadium I-II yang
timbul pada akhir kehamilan. Akan tetapi tindakan ini memerlukan
pengulangan yang dilakukan setiap beberapa hari sampai dengan minggu
dimana jumlah air ketuban kembali mencapai berlebihan. Prosedur ini
dirasakan tidak efektif pada TTTS stadium III dan IV. Komplikasi dari
prosedur berulang ini yaitu termasuk persalinan prematur 3%, ketuban pecah
dini 6%, infeksi sejumlah 1% dan pelepasan dini plasenta (abruptio plasenta)
pada 1% kasus. Kehamilan TTTS dengan manajemen amniosentesis berulang
dengan angka rata-rata persalinan pada umur kehamilan 29-30 minggu
dengan survival rate dilaporkan sejumlah 18%- 83%, dimana 56% nya
dengan TTTS lanjut dengan luaran satu janin hidup tanpa kerusakan otak.
Mendekati 20%- 25% dari janin TTTS yang hidup didapatkan memiliki
gangguan pertumbuhan jangka panjang.

Gambar 2. Reduction amniocentesis

20
2. Septostomy atau microseptostomy
Septostomy adalah tindakan untuk membuat lubang pada
membran diantara membran ketuban kedua janin dengan
menggunakan jarum (Gambar 3). Lubang ini akan menyebabkan
perpindahan cairan dari kantung ketuban dengan jumlah air ketuban
yang berlebihan (resipien) ke kantung ketuban dengan jumlah sedikit
(donor). Dikarenakan tindakan septostomy menggunakan dengan
jarum yang sama dengan tindakan amniocentesis, komplikasi dari
infeksi, persalinan prematur dan ketuban pecah dini sangat jarang.
Septostomy memiliki risiko dimana lubang yang menghubungkan
kedua kantung amnion menjadi lebih besar oleh karena sobeknya
membran ketuban sehingga memungkinkan kedua janin untuk
berbagi ruang kantung ketuban yang sama (dilaporkan sejumlah
3%). Dalam kondisi terburuk, tali pusat kedua janin dapat terlilit
satu sama lain yang mengakibatkan kematian salah satu atau kedua
janin. Pada penelitian dengan skala besar didapatkan survival rate
sejumlah 80% untuk salah satu janin dan 60% untuk kedua janin.

Gambar 3. Septostomy atau microseptostom

3. Selective laser ablation of the placenta anastomosis vessels


Pada TTTS stadium II atau lebih, tindakan ablasi laser pada
pembuluh darah pada plasenta yang menghubungkan kedua janin
dapat merupakan tindakan kuratif (Gambar 4). Dengan membuat
insisi kecil pada kulit yang memungkinkan untuk memasukkan
instrumen dengan panduan ultrasonografi kedalam kantung ketuban

21
janin resipien. Dengan menggunakan fetoscope untuk menemukan
pembuluh darah yang menghubungkan kedua janin pada permukaan
plasenta kemudian “ditutup” dengan menggunakan energi laser,
dilanjutkan dengan amniocentesis hingga mencapai volume normal.
Oleh karena fetoscope memerlukan lubang/insisi pada kulit yang
lebih lebar sehingga dihubungkan dengan komplikasi yang lebih
tinggi dari kontraksi prematur, ketuban pecah dini (15%-20%),
abruptio plasenta (2%) dan infeksi, sehingga dengan alasan ini
diberikan medikasi untuk mencegah kontraksi dan infeksi sebelum
dan sesudah prosedur. Sebagai tambahan, terapi laser dapat
dihubungkan dengan risiko unik dimana energi laser dapat
menyebabkan perdarahan pada beberapa area plasenta atau
pembuluh darah di permukaan plasenta. Ablasi dengan laser
memiliki survival rate setidaknya salah satu janin sebesar 70%-80%
dan keduanya 1/3 kasus. Jika salah satu janin meninggal akibat
prosedur tindakan, kemungkinan bagi janin hidup untuk timbulnya
komplikasi mengalami penurunan dari 35% menjadi 7%
dikarenakan keduanya tidak lagi berbagi pembuluh darah.

Gambar 4. Selective laser ablation of the placenta anastomosis vessels

4. Selective cord coagulation

22
Pada beberapa kasus didapatkan kondisi dimana pasien sulit
untuk mengambil keputusan terhadap manajemen yang akan
dilakukan oleh karena kemungkinan kematian salah satu janin untuk
menyelamatkan yang lainnya. Prosedur selective cord coagulation
ini dilakukan jika ablasi dengan laser tidak dimungkinkan atau jika
salah satu dari janin dalam kondisi mendekati kematian. Dengan
menghentikan aliran darah pada tali pusat janin yang sekarat, janin
lainnya dapat terlindungi dari konsekuensi kematian saudaranya.
Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan forcep khusus yang
dimasukkan kedalam kantung ketuban janin resipien dengan
panduan ultrasonografi (Gambar 5). Tali pusat dikoagulasi dengan
menggunakan aliran listrik sehingga aliran darah ke janin ini akan
berhenti dan hubungan antara kedua janin akan terputus, tetapi akan
menghilangkan kesempatan hidup dari salah satu janin. Komplikasi
dari prosedur ini adalah persalinan prematur dan ketuban pecah dini
20%.

Gambar 5. Selective cord coagulation

Menjemen post-partum:

Perawatan medis kembar setelah lahir diarahkan pada masalah yang


berhubungan dengan prematuritas, anemia, polisitemia, dan hidrops fetalis:

 Pada kembar donor yang anemia memerlukan transfusi RBC


yang memenuhi syarat atau transfusi tukar parsial.
 Pada kembar resipien polisitemia memerlukan transfusi tukar
parsial untuk menurunkan kadar hematokrit serum.

23
 Pada bayi yang baru lahir dengan hidrops fetalis memerlukan
ventilasi mekanik, torakosentesis, perikardiosentesis, dan
paracentesis.
7. Prognosis
Prognosis tergantung pada usia kehamilan saat lahir dan apakah
terjadi iskemia otak intrauterine. Semakin rendah usia kehamilan saat lahir
semakin besar risiko neurologis atau infeksi paru-paru yang berlangsung
lama. Pertumbuhan terjadi pada postnatal sebagian besar kembar donor yang
lebih kecil.
Tanpa manajemen yang adekuat, TTTS dengan umur kehamilan
kurang dari 24 minggu sejumlah 80%-90% kasus akan dihubungkan dengan
kematian salah satu atau kedua janin. Jika salah satu janin meninggal, maka
pembuluh darah yang menghubungkan kedua janin akan menempatkan janin
hidup dengan risiko jangka panjang terjadi kerusakan otak pada 1/3 kasus.
Pada umumnya, semakin lanjut progresivitas semakin buruk prognosis janin.
Jika TTTS timbul pada umur kehamilan awal (sebelum umur kehamilan 16
minggu), terminasi kehamilan merupakan suatu pilihan dengan pertimbangan
prognosis yang buruk.
Bahkan meskipun dipantau secara teratur dan nampaknya tanpa
komplikasi, kehamilan diamniotik monokorionik meningkat risiko kematian
janin intrauterine yang tak terduga satu kembar, menempatkan co-twin
beresiko mati atau bertahan hidup dengan cedera neurologis yang merupakan
akibat dari ketidakstabilan dalam sirkulasi plasenta bersama.
8. Komplikasi

Komplikasi yang dapat muncul pada TTTS meliputi:

1. Komplikasi neurlogis
TTTS dikaitkan dengan peningkatan resiko dari sekuele neurologis
diperkirakan sekitar 15% kejadian nerulogis jangka panjang lebih dari
setengahnya menyebabkan cerebral palsy. Mobiditas kelainan neurologis
karena kelahiran premature meliputi periventrikular leukomalacia (PVL)
dan traventrikular homoragik. Hal ini disebabkan iskemia oleh karena
ketidakseimbangan hemodinamik via anastomosis plasenta. Polisitema
dan vascular status pada resipien dan anemia dan hipotensi pada donor

24
adalah mekenisme kelainan neurologis. Kebanyakan terjadi gangguan
neurologis yang sama pada donor dan resipien. Kematian pada salah satu
kember juga meningkatkan resiko sekuel neurologis pada bayi yang
hidup.
Sekuele neurologis terkadang ditemukan kelainans saat antenatal atau
atau gambaran pasca kelahiran, namun kelainan pada temuan ultrasound
belum tentu sama dengan sekuele neurologis. Pada ultrasound kranial
postnatal bayi yang selamat 29% memiliki kelainan, 12% bayi yang
selamat ditemukan adanya PVL saat antennal. Lesi yang didapat saat
antenatal harus dibedakan dengan bayi lahir melipuliti perdarahan dan
PVL pada pencitraan neonatal. Akan tetapi dengan tidak adanya TTTS
23% kehamilan monokorion juga mengalami kelainan saat postnatal pada
temuan ultrasound.

2. Komplikasi kardiovaskular

Kehamilan kembar monokorion memiliki resiko enam kali lipat


terjadinya kelainan jantung kongenital, kelainan ini bahkan lebih tinggi
dari pada TTTS yaitu 6,9% dibandingan kehamilan kembar tanpa TTTS
sekitar 2,3%. Kelainan yang dapat terjadi yaitu hipertropi dan dilatasi
beventrikular, regurgitasi tricuspid dan menurunkan fungsi ventricular.

Overload volume dan hipertensi sistemik pada bayi resipien


merupakan penyabab terjadinya hipertopi myocardial, hipertropi
kardiomiopati ini dapat menyebabkan stenosis subvalvular maka terjadi
obstruksi pada saluran keluar ventrikel kanan sehingga pada beberapa
kasus dilakukan valvotomi pada bayi. Meskipun hipertropi beventrikular
sering terjadi pada resipien. Meskipun 45% hingga 50% bayi resipien
menunjukkan adanya abnormalitas fungsi jantung akan tetapi sebagian
besar reversible sekitar 5-10% dari bayi respien yang memiliki masalah
jantung jangka panjang.

3. Komplikasi lainnya
Pada studi kohor kehamilan dengan TTTS terdapat sekitar 48%
terjadinya gagal ginjal akut dimana donar>resipien. Namun, gagal ginjal

25
ini sering sekali bersifat sementara, kelainan ginjal jangka panjang hanya
terjadi 3% bayi yang selamat.

26
BAB III

KESIMPULAN

Twin-twin transfusion syndrome (TTTS) adalah suatu komplikasi dari

kehamilan multipel monokorion yang berisiko tinggi menyebabkan kematian

fetal/neonatus. angka kejadian 10-20% dan bila tidak dilakukan penanganan yang

adekuat 80-100% janin dari kehamilan tersebut akan mati. TTTS terjadi akibat

aliran satu arah melalui anastomosis arteriovena. Darah terdeoksigenasi dari arteri

plasenta donor dipompa kedalam ketiledon yang dipakai bersama oleh resepien.

TTTS ditemukan pada umur kehamilan 13 minggu atau trimester kedua. Diagnosis

TTTS ditegakkan dengan evaluasi ultrosonografi. Prognosis tergantung pada usia

kehamilan saat lahir dan apakah terjadi iskemia otak intrauterine.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Lubis, Muara. Dr. Sp.OG. 2010. “KEHAMILAN KEMBAR (GEMELLI)”.


Departemen Obstetri Ginekologi. USU.
2. Winknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan Edisi
ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2007
3. Cunningham, Mc Donald, Gant. Multifetal Gestation. William Obstetrik, 22st
USA.Prentice Hall International,1 2005. Confirmed Twin Pregnancy.
Available from: www.nice.org.uk/nice/medialive.
4. Rusda, Muhammad, et all. 2005. “TWIN TO TWIN TRANSFUSION
SYNDROME”. Departemen Obstetri Ginekologi. USU
5. Zach, T. and Barsoom, M.J., 2015. Twin-to-twin transfusion syndrome.
Medscape.
6. Jain, V. and Fisk, N.M., 2004. The twin–twin transfusion syndrome. Clinical
obstetrics and gynecology, 47(1), pp.181-202.

7. Kalaichandran S. Twin Pregnancy Double Trouble or Twice The Joy.


Lecturere University of Ottawa Obstetric and Gynaecology,
http://www.twinspregnancy/obstetric.html
8. Kliegman RM. Kehamilan multiple. Dalam: Wahab AS, editor bahasa
Indonesia. Ilmu kesehatan anak. Volume 1 edisi 15. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC, 2000.
9. Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri Jilid I. Obstetri fisiologi. Jakarta: EGC.
1998
10. Bebbington, Michael. 2010. “Twin-to-twin transfusion syndrome: current
understanding of pathophysiology, in-utero therapy and impact for future
development”.
www.elsevier.com/locate/siny
11. Mosquera, C., Miller, R.S. and Simpson, L.L., 2012, June. Twin–twin
transfusion syndrome. In Seminars in perinatology (Vol. 36, No. 3, pp. 182-
189). WB Saunders.
12. Paek, Betina dan ES, Laurence, 2005. Twin to Twin Transfusion Syndrome.
Curent Women’s Reviews. Department of Obstetrics and Gynecology,
Division of Maternal Fetal Medicine, University of Washington. USA.

28
13. Sueters M, Middeldorp JM, Lopriore E, Oepkes D, Kanhai HH,
Vandenbussche FP. Timely diagnosis of twin-to-twin transfusion syndrome
in monochorionic twin pregnancies by biweekly sonography combined with
patient instruction to report onset of symptoms. Ultrasound Obstet Gynecol .
Oct 2006;28(5):659-64.
14. Taylor MJ, Govender L, Jolly M, Wee L, Fisk NM. Validation of the
Quintero staging system for twin-twin transfusion syndrome. Obstet Gynecol
. Dec 2002;100(6):1257-65
15. Quintero RA, Morales WJ, Allen MH, Bornick PW, Johnson PK, Kruger M.
Staging of twin-twin transfusion syndrome. J Perinatol . Dec 1999;19(8 Pt
1):550-5.
16. Yamamoto M, Ville Y. Recent findings on laser treatment of twin-to-twin
transfusion syndrome. Curr Opin Obstet Gynecol . Apr 2006;18(2):87-92
17. Zach, Terence. 2009. www.emedicine.org. Twin to Twin Transfusion
Syndrome. Creighton University.

18. Nora, H., 2013. Twin Twin Transfusion Syndrome. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala, 13(2), pp.86-95.
19. Simpson, L.L. and Society for Maternal-Fetal Medicine (SMFM, 2013.
Twin-twin transfusion syndrome. American journal of obstetrics and
gynecology, 208(1), pp.3-18.Twin to Twin Transfusion Syndrome Claudia
Cinnante ,
20. Sueters, M. and Oepkes, D., 2014. Diagnosis of twin-to-twin transfusion
syndrome, selective fetal growth restriction, twin anaemia-polycythaemia
sequence, and twin reversed arterial perfusion sequence. Best Practice &
Research Clinical Obstetrics & Gynaecology, 28(2), pp.215-226.
21. Jain, V. and Fisk, N.M., 2004. The twin–twin transfusion syndrome. Clinical
obstetrics and gynecology, 47(1), pp.181-202.

29

Anda mungkin juga menyukai