Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

“PENURUNAN KESADARAN EC GANGGUAN METABOLIK PADA DM


TIPE II, HIPERTENSI EMERGENCY, CKD, HIPOKALEMIA”

Disusun Oleh:

Syifa Silviyah 1710221036

Pembimbing:
DR. dr. Dyah Y, Sp.An KNA-KNIC

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
JAKARTA
2019
BAB I

Laporan Kasus
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Umur : 53 tahun
Alamat : Jakarta Selatan
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah

II. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan Utama: Penurunan Kesadaran
Pasien dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Pasar Minggu pada tanggal 14 Maret
2019 dengan penurunan kesadaran 1 jam SMRS. Penurunan kesadaran terjadi
secara perlahan-lahan, menurut keluarga pasien awalnya tidak menyambung ketika
diajak berkomunikasi kemudian pasien mengigau dan gelisah ketika tidur
kemudian tidak dapat dibangunkan. Keluhan penurunan kesadaran disertai dengan
keluarnya keringat dingin sebelumnya sekitar pukul 08.00.
Pasien mengeluhkan penurunan nafsu makan sejak 3 hari SMRS. Pasien tidak
mengeluhkan adanya demam, mual - muntah,nyeri kepala, kejang, sesak nafas,
nyeridada, bicara pelo, maupun kelemahan anggota gerak maupun riwayat jatuh
sebelumnya. BAK dan BAB pasien normal

Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat hipertensi, DM.

Riwayat Penyakit Keluarga: Ayah memiliki riwayat DM dan hipertensi

Riwayat Kebiasaan Pribadi: Pasien jarang berolahraga, pasien sering


mengkonsumsi makanan berlemak, dan tidak minum minuman beralkohol, dan
tidak memiliki riwayat merokok.
III.Pemeriksaan Fisik
KU : TSS
Kesadaran : GCS (E1 M4 V2 ) Tekanan darah : 240/100 mmHg
Pernafasan : 24x/menit Nadi : 100 x/menit
Suhu : 37⁰C Saturasi: 98%

Status Generalis:
Kepala : Normocephali
Mata: konjungtiva anemis (-/-), hiperemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT: faring hiperemis (-/-), tonsil T1/T1
Leher: tidak ada kelainan
Thoraks
 Paru : BND Vesikuler +/+, Rh -/- , Wh -/- ,
 Jantung : BJ I dan BJ II reguler, M-, G-
Abdomen : Bu +, Nyeri tekan -/- /-/-
Ekstremitas : Akral hangat +/+/+/+, Oedem -/- /-/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. GDS = 23
2. Laboratorium(14/03/2019)
o Hemoglobin 13.1 g/dL 13.2 - 17.3 |
o Hematokrit 38 % 40 - 52 |
o Leukosit 13.5 10^3/uL H 3.8 - 10.6 |
o Trombosit 351 10^3/uL 150 - 440 |
o Eritrosit 4.34 10^6/uL 4.40 - 5.90 |
o Nilai Eritrosit Rata Rata
o MCV 87 fl 80 - 100 |
o MCH 30 pg 26 - 34 |
o MCHC 35 g/dL 32 - 36 |
o KIMIA DARAH
o Fungsi Hati
o SGOT 50 U/L <35
o SGPT 26 U/L <35 |
o Diabetes
o Glukosa Darah Sewaktu 16 mg/dL H 70 - 180 |
o Fungsi Ginjal
o Ureum 82 mg/dl <48
o Kreatinin 3.26 mg/dL 0.70 - 1.30 |
o ELEKTROLIT
o Natrium 142 mEq/L 135 – 147
o Kalium 3.10 mEq/L 3.50 - 5.00
o Chlorida 106 mEq/L H 95 - 105

V. RESUME
Pasien dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Pasar Minggu pada tanggal 14 Maret
2019 dengan penurunan kesadaran 1 jam SMRS. Penurunan kesadaran terjadi
secara perlahan-lahan, menurut keluarga pasien awalnya tidak menyambung ketika
diajak berkomunikasi kemudian pasien mengigau dan gelisah ketika tidur
kemudian tidak dapat dibangunkan. Keluhan penurunan kesadaran disertai dengan
keluarnya keringat dingin sebelumnya sekitar pukul 08.00
 RPD: Riwayat hipertensi, DM
 RPK: Ayah riwayt hipertensi dan DM
 RKP: Pasien Pasien jarang berolahraga, pasien sering mengkonsumsi
makanan berlemak, dan tidak minum minuman beralkohol, dan tidak
memiliki riwayat merokok.
• Status generalis:
Kesadaran : GCS (E1 M4 V2) Tekanan darah : 240/100 mmHg
Pernafasan : 24x/menit Nadi : 100 x/menit
Suhu : 37⁰C Saturasi: 98%
Hasil Laboraturium :
o Ureum 82 mg/dl <48
o Kreatinin 3.26 mg/dL 0.70 - 1.30 |
o Kalium 3.10 mEq/L 3.50 - 5.00
VI. DIAGNOSIS
Penurunan kesadaran ec Gangguan metabolik
DM tipe II
Hipertensi emergency
CKD
Hipokalemia

VII. PENATALAKSANAAN
Terapi IGD
- protap hipoglikemia
11.00 GCS = E4M6V5
- candesartan 16 mg PO
- amlodipine 10 mg PO
- HCT 1 tab
- Clonidin 1 tab
13.00 GDS 167
Rencana Terapi Ranap
-diet ML
- lanjut protap hipoglikemia
- start perdipin 0,5 mcg/kgbb up titrasi sampai targer sistol 160/170
- ceftriaxone 1x2 gr iv
- KSR 3x1
- ranitidine 2x1 amp
-candesartan 1 x16 mg PO
20.20 GDS = 247. GCS = E4M6V5
21.08 GDS = 151. GCS = E4M6V5
23.43 GDS = 47
Pindah HCU
Terapi 16-03-19
- Iinfus asering 20 gtt/m
- Drip perdipin 1 ug
- Amlodipine 1x10
- Candesartan 1x 16 mg
- Ksr 3x1
- Bicnat 3x1
- Caco3 3x1
- Nocid 3x1
- Folic acid 2x1
- Ranitidin 2x1 amp iv
- Ceftriaxone drip 1x2 gr drip
- Gds/12 jam

VIII. PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad bonam
- Ad sanationum : Dubia ad malam
- Ad fungsionum : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PENURUNAN KESADARAN

II.1 Definisi
Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh atas dirinya
sendiri dan lingkungan sekitarnya. Komponen yang dapat dinilai dari suatu keadaan
sadar yaitu kualitas kesadaran itu sendiri dan isinya. Isi kesadaran menggambarkan
keseluruhan dari fungsi cortex serebri, termasuk fungsi kognitif dan sikap dalam
merespon suatu rangsangan. Pasien dengan gangguan isi kesadaran biasanya
tampak sadar penuh, namun tidak dapat merespon dengan baik beberapa
rangsangan - rangsangan, seperti membedakan warna, raut wajah, mengenali
bahasa atau simbol, sehingga seringkali dikatakan bahwa penderita tampak
bingung4.
Penurunan kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi
integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari gagal organ seperti
kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan
akibat kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran maka terjadi disregulasi dan
disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh. Dalam hal
menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan diklinik
yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, koma ringan dan koma.
Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat
pula dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow4.

1. Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif4,5


Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca
indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan
dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan
waspada.
Somnolen atau keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila
dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai : latergi, obtudansi. Tingkat kesadaran
ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban
verbal dan menangkis rangsang nyeri.
Sopor atau stupor berarti kantuk yang dalam. Penderita masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun
lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan
spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna.
Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban
verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
Koma ringan (semi-koma). Pada keadaan ini tidak ada respon terhadap
rangsang verbal. Reflex (kornea, pupil dan lain sebagainya) masih baik. Gerakan
terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi,
merupakan jawaban “primitif”. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.
Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan tidak ada jawaban sama
sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
Delirium adalah suatu keadaan mental abnormal yang dicirikan oleh adanya
disorientasi, ketakutan, iritabilitas, salah persepsi terhadap stimulasi sensorik, dan
sering kali disertai dengan halusinasi visual. Tingkah laku yang demikian biasanya
menempatkan penderita di alam yang tak berhubungan dengan lingkungannya,
bahkan kadang penderita sulit mengenali dirinya sendiri. Keadaan ini dapat juga
diselingi oleh suatu lucid interval. Biasanya delirium menimbulkan delusi seperti
alam mimpi yang kompleks sistematis serta berlanjut sehingga tak ada kontak sama
sekali dengan lingkungannya serta secara psikologis.
Penderita umumnya menjadi banyak bicara, bicaranya keras, menyerang,
curiga, dan agitatif. Keadaan ini timbulnya cepat dan jarang berlangsung lebih dari
4-7 hari namun salah persepsi dan halusinasinya dapat berlangsung sampai
berminggu-minggu terutama pada penderita alkoholik atau penderita yang
berkaitan dengan penyakit vaskuler kolagen. Keadaan delinum biasanya tampil
pada gangguan-gangguan toksik dan metabolik susunan saraf seperti keracunan
atropin yang akut, sindroma putus obat (alkohol-barbiturat), porfiria akut, uremia,
gagal hati akut, ensefalitis, penyakit vaskuler kolagen. Bentuk status epileptikus
yang melibatkan sistem limbik sering kali juga menimbulkan sindrom yang sulit
dibedakan dengan keadaan delirium ini.

2. Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif5


Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma
Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap rangsang
dan memberikan nilai pada respons tersebut. Tanggapan/respons penderita yang
perlu diperhatikan adalah:

Mata:
 E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
 E2 membuka mata dengan rangsang nyeri
 E3 membuka mata dengan rangsangsuara
 E4 membuka mata spontan

Motorik:
 M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
 M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
 M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
 M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
 M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
 M6 reaksi motorik sesuai perintah

Verbal:
 V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
 V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
 V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)
 V4 bicaradengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)
 V5 bicaradengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

Jika nilai GCS 14-13 menandakan somnolen, 12-9 sopor, dan kurang dari 8
menandakan koma.
Dua skala yang lebih sederhana ACDU (alert, confused, drowsy, unresponsive),
dan AVPU (alert, respon to voice, respon to pain, unresponsive). Skala AVPU
adalah cara mudah dan cepat untuk menilai tingkat kesadaran. Pemeriksaan ini ideal
sebagai penilaian awal dan cepat, yaitu terdiri dari:2
 Alert
 Respon terhadap suara
 Respon terhadap nyeri
 Penurunan kesadaran
AVPU termasuk ke dalam beberapa sistem skor peringatan dini untuk pasien –
pasien kritis, sebagai cara yang lebih sederhana dibanding dengan GCS, tetapi tidak
cocok untuk observasi jangka panjang2.

II.2 Etiologi Penurunan Kesadaran

Etiologi penurunan kesadaran secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu:
gangguan metabolik/fungsional dan gangguan struktural.2

1. Gangguan metabolik/fungsional
Gangguan ini antara lain berupa keadaan hipoglikemik/hiperglikemik, gangguan
fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi
obat-obatan, intoksikasi makanan serta bahan-bahan kimia, infeksi susunan saraf
pusat.

2. Gangguan struktural dapat dibagi lagi menjadi 2, yaitu:


a. Lesi supratentorial
i. Perdarahan intraserebral : ekstradural, subdural,
intraserebral
ii. Infark : emboli, thrombosis
iii. Tumor otak :Tumor primer, tumor sekunder,
abses, tuberkuloma
b. Lesi infratentorial
i. Perdarahan : serebelum pons
ii. Infark : batang otak
iii. Tumor : serebelum
iv. Abses : serebelum

II.3 Patofisiologi Penurunan Kesadaran


Penurunan kesadaran merupakan bentuk disfungsi otak yang melibatkan
hemisfer kiri ataupun kanan atau struktur - struktur lain dari dalam otak atau
keduanya6. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh
gangguan ARAS dibatang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus,
hipotalamus maupun mesensefalon7. Mekanisme fisiologis kesadaran dan koma
mulai memperoleh titik terang sejak penelitian yang dilakukan oleh Berger (1928)
dan kemudian Brcmcr (1937). Mereka menyimpulkan bahwa salah satu pusat
kesadaran berlokasi di daerah forebrain mengingat bahwa koma merupakan akibat
yang terjadi secara pasif bilamana rangsang sensorik spesifik pada forebrain
dihentikan atau diputus. Pada masa berikutnya Morrison dan Dempsey (1942)
menemukan adanya talamokortikal difus yang tak terpengaruh segala sistem
sensorik primer yang spesifik, atau dengan kata lain ternyata di samping hal di atas
ada mekanisme nonspesifik lain yang dapat mempengaruhi kesadaran. Hal ini
diperjelas oleh penemuan Moruni dan Mogoun pada tahun 1949 tentang suatu
daerah tambahan pada formasio rektikulatis yang terletak di bagian netral batang
otak, yang bila dirangsang akan menimbulkan aktivasi umum yang nonspesifik
pada korteks serebri, yang disebut sebagai Sistem Aktivasi Rektikuler Asendens
(ARAS - Ascendence Retricular Activating System). Sistem ini mencakup daerah-
daerah di tengah batang otak, meluas mulai dari otak tengah sampai hipotalamus
dan ralamus, dan menjabarkan bahwa struktur-struktur tersebut mengirimkan
transmisi efek-efek fisiologis difus ke korteks baik secara langsung maupun tidak
langsung, dalam peranannya terhadap arousal kesadaran. Bilamana ARAS binatang
yang sedang tidur dirangsang secara langsung dengan elektrode maka akan
menampilkan desinkronlsasi gelombang EEG dan binatang ini segera akan menjadi
bangun. Sebaliknya bila ARAS digelombang EEG akan melambat dan terjadi koma
(balikan walaupun diberikan rangsangan yang kuat).
Secara anatomik, letak lesi yang menyebabkan penurunan kesadaran dapat dibagi
menjadi dua, yaitu : supratentorial (15%), infratentorial (15%)., dan difus (70%)
misalnya pada intoksikasi obat dan gangguan metabolik7.
1. Koma diensefelik7
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio retikularis di daerah
mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran) disebut koma
diensefalik. Secara anatomik, koma diensefalik dibagi menjadi dua bagian utama,
ialah koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial.
a. Lesi supratentorial pada umumnya berbentuk proses desak ruang
atau space occupying process, misalnya gangguan peredaran darah
otak (GPDO atau stroke) dalam bentuk perdarahan, neoplasma,
abses, edema otak, dan hidrosefalus obstruktif. Proses desak ruang
tadi menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dan kemudian
menekan formasio retikularis di mesensefalon dan diensefalon
(herniasi otak).
b. Lesi infratentorial meliputi dua macam proses patologik dalam ruang
infratentorial (fossa kranii posterior).pertama, proses diluar batang
otak atau serebelum yang mendesak sistem retikularis, dan yang
kedua merupakan proses di dalam batang otak yang secara langsung
mendesak dan merusak sistem retikularis batang otak. Proses yang
timbul berupa:
i. penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon
(formasio retikularis)
ii. herniasi serebelum dan batang otak ke rostral melewati
tentorium serebeli yang kemudian menekan formasio
retikularis di mesensefalon, dan
iii. herniasi tonsilo-serebelum ke bawah melalui foramen
magnum dan sekaligus menekan medula oblongata.
2. Koma kortikal-bihemisferik7
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada terkecukupinya penyediaan
oksigen. Pada individu sehat dengan konsumsi okesigan otak kurang lebih
3,5ml/100gr otak/menit maka aliran darah otak kurang lebih 50ml/100gr
otak/menit. Bila aliran darah otak menurun menjadi 25-50ml/gr menit/otak,
mungkin akan terjadi kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen dari aliran
darah. Apabila aliran darah turun lebih rendah lagi maka akan terjadi penurunan
konsumsi oksigen secara proporsional.
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan teroksidasi
menjadi karbondioksida dan air. Untuk memelihara integritas neuronal, diperlukan
penyediaan ATP yang konstan untuk mengeluarkan ion natrium dari dalam sel dan
mempertahankan ion kalium di dalam sel. Apabila tidak ada oksigen maka
terjadilah glikolisis anaerob untuk memproduksi ATP. Glukosa dapat berubah
menjadi laktat dan ATP, tetapi energi yang ditimbulkannya kecil.
Dengan demikian oksigen dan glukosa memegang peranan yang sangat penting
dalam memelihara keutuhan kesadaran. Namun demikian, walaupun penyediaan
oksigen dan glukosa tidak terganggu, kesadaran individu dapat terganggu oleh
adanya gangguan asam basa darah, elekrolit, osmolalitas, ataupun defisiensi
vitamin.

a. Hipoventilasi diperkirakan berhubungan dengan hipoksemia,


hiperkapnea, gagal jantung kongestif, infeksi sistemik, serta
kemampuan respiratorik yang tidak efektif lagi. Dasar mekanisme
terjadinya gangguan kesadaran apda hipoventilasi belum diketahui
secara jelas. Hipoksia merupakan faktor potensial untuk terjadinya
ensefalopati, tetapi bukan faktor tunggal karena gagal jantung
kongestif masih mempunyai toleransi terhadap hipoksemia dan pada
kenyataannya tidak menimbulkan ensefalopati. Retensi CO2
malahan berhubungan erat dengan gejala neurologik. Sementara itu,
munculnya gejala neurologiuk bergantung pula pada lamanya
kondisi hipoventilasi. Sebagai contoh, penderita dengan hiperkarbia
kronis tidak menunjukkan gejala neurologik kronis dan penderita
yang mengalami hiperkarbia akut akan segera mengalami gangguan
kesadaran sampai koma.
b. Anoksia iskemik adalah suatu keadaan dimana darah masih cukup
atau dapat pula kurang cukup membwa oksigen tetapi aliran darah
otak tak cukup untuk memberi darah ke otak. Penyakit yang
mendasari biasanya menurunkan curah jantung, misalnya: infark
jantung, aritmia, renjatan dan refleks vasofagal, atau penyakit yang
meningkatkan resistensi vaskular serebral misalnya oklusi arterial
atau spasme. Iskemia pada umumnya lebih berbahaya daripada
hipoksia karena asam laktat tidak dapat dikeluarkan.
c. Anoksia anoksik merupakan gambaran tidak cukupnya oksigen
masuk kedalam darah. Dengan demikian baik isi maupun tekanan
ioksigen dalam darah menurun. Keadaan demikian ini terdapat pada
tekanan oksigen lingkungan yang rendah (tempat yang tinggi atau
adanya gas nitrogen) atau oleh ketidakmampuan oksigen untuk
mencapai dan menembus membran kapiler alveoli.
d. Anoksia anemik disebabkan oleh jumlah hemoglobin yang mengikat
dan membawa oksigen dalam darah menurrun. Sementara oksigen
yang m,asuk ke dalam darah cukup. Keadaan ini terdapat pada
anemia maupun keracunan karbonmonoksida.
e. Hipoksi atau iskemia difus akut disebabkan oleh dua keadaan, ialah
kadar oksigen dalam darah menurun cepat sekali atau aliran darah
otak menurun secara mendadak. Penyebab utamanya antara lain:
obstruksi jalan napas, obstruksi serebral secara masif, dan keadaan
yang menyebabkan menurunnya curah jantung secara mendadak.
Trombosis atau emboli termasuk purpura trombositopeni
trombotika, koagulasi intravaskularis diseminata, endokarditis
bakterial akut, malaria falsiparum, dan emboli lemak, semuanya
mampu menimbulkan iskemia multifokal yang luas dan secara klinis
akan memberi gambaran iskemia serebral difus akut.
f. Gangguan metabolisme karbohidrat meliputi hiperglikemia,
hipoglikemia dan asidosis laktat. Diabetes melitus tidak
mengangggu otak secara langsung. Delirium, stupor dan koma
biasanya merupakan gejala DM pada tahap tertentu.
g. Gangguan keseimbangan asam basa meliputi asidosis metabolik dan
respoiratorik serta alkalosis respiratorik dan metabolik. Dari 4 jenis
gangguan asam basa tadi, hanya asidosis respiratorik yang bertindak
sebagai penyebab langsung timbulnya stupor dan koma. Asidosis
metabolik lebih sering menimbulkan delirium dan obtundasi.
Alkalosis respiratorik hanya menimbulkan bingung dan perasaan
tidak enak di kepala. Satu alasan mengapa gangguan keseimbangan
asam basa sistemik sering tidak mengganggu otak, ialah karena
adanya mekanisme fisiologik dan biokimiawi yang melindungi
keseimbangan asam-basa di otak terhadap perubahan pH serum
yang cukup besar.
h. Uremia sering kali mengganggu kesadaran penderita. Namun
demikian, walaupun telah dilakukan penelitian yang cukup luas,
penyebab pasti disfungsi otak pada uremia belum diketahui. Urea itu
sendiri bukan bahan toksik untuk otak, karena infus dengan urea
tidak menimbulkan gejala-gejala uremia; sementara itu hemodialisis
mampu memperbaiki gejala klinik uremia justru kedalam cairan
dialisis ditembahkan urea.
i. Koma hepatik sering dijumpai di klinik. Defisiensi atau bahan-
bahan toksik diperkirakan sebagai penyebab potensial koma hepatik,
tetapi tidak satupun yang memberi kejelasan tentang
patofisiologinya. Meningkatnya kadar amonia dalam darah di otak
dianggap sebagai faktor utama terjadinya koma hepatik. Amonia,
dalam kadara yang tinggi dapat bersifat toksik langsung terhadap
otak.
j. Defisiensi vit. B sering kali mengakibatkan delirium, demensia dan
mungkin pula stupor. Defisiensi tiamin dianggap yang paling serius
dalam diagnosis banding koma. Defisiensi tiamin menimbulkan
penyakit Wernicke, suatu kompleks gejala yang disebabkan oleh
kerusakan neuron dan vaskular di substanta grisea, daerah sekitar
ventrikulus, dan akuaduktus.
II. 4 Penegakan Diagnostik Penurunan Kesadaran
Untuk mendiagnosis penurunan kesadaran tidaklah sulit. Yang menjadi masalah
apa yang menjadi penyebab penurunan kesadaran tadi dan bagaimana siatuasi koma
yang sedang dihadapinya (tenang, herniasi otak). Pendekatan diagnostik tidak
berbeda dengan kasus-kasus yang lainnya, yaitu melalui urutan anamnesa,
pemeriksaan fisik neurologik, dan pemeriksaan penunjang. Perbedaannya terletak
pada tuntutan kecepatan berpikir dan bertindak7.
1. Anamnesis (riwayat penyakit)2
Tanyakan pada pasien atau pada pengantar tentang lingkungan sekeliling saat
awitan terjadi serta perjalanan penyakitnya. Beberapa poin penting yang harus
ditanyakan:
a. Awitan: waktu, lingkungan sekeliling.
Usia pasien merupakan bagian penting dari anamnesis. Pada pasien yang
sebelumnya sehat, usia muda, penurunan kesadarannya terjadi tida-tiba,
kemungkinan penyebabnya bisa keracunan obat, perdarahan subarachnoid, atau
trauma kepala. Sedangkan pada usia tua, penurunan kesadaran yang tiba-tiba lebih
mungkin disebabkan oleh perdarahan serebral atau infark.
b. Gejala-gejala yang mendahului secara terperinci (bingung, nyeri kepala,
kelemahan, pusing, muntah, atau kejang), gejala-gejala fokal seperti sulit bicara,
tidak bisa membaca, perubahan memori, disorientasi, baal atau nyeri, kelemahan
motorik, berkurangnya enciuman, perubahan penglihatan, sulit menelan, gangguan
pendengaran, gangguan melangkah atau keseimbangan, tremor.
c. Pemakaian obat-obatan atau alkohol.
d. Riwayat penyakit jantung, paru-paru, liver, ginjal, atau yang lainnya
.
2. Pemeriksaan fisik8
a. Tanda vital
Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan perhatikan
tentang sirkulasi yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi dan ada tidaknya
aritmia.
b. Bau nafas dan pola pernapasan
Bau nafas dapat memberi petunjuk adanya proses patologik tertentu misalnya
uremia, ketoasidosis, intoksikasi obat, dan bahkan proses kematian yang sednag
berlangsung.
Pemeriksaan pola pernafasan berupa:
 Cheyne-Stokes (pernapasan apnea, kemudian berangsur bertambah
besar amplitudonya)→gangguan hemisfer dan atau batang otak
bagian atas
 Kussmaul (pernapasan cepat dan dalam) →gangguan di tegmentum
(antara mesensephalon & pons)
 Apneustik (inspirasi dalam diikuti penghentian ekspirasi selama
waktu yang lama) → gangguan di pons
 Ataksik (pernapasan dangkal, cepat, tak teratur) →gangguan di
fomartioretikularis bagian dorsomedial & medula Oblongata
c. Pemeriksaan kulit
Pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda – tanda trauma, stigmata kelainan hati
dan stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan. Pada penderita dengan
trauma, kepala pemeriksaan leher itu, harus dilakukan dengan sangat berhati – hati
atau tidak boleh dilakukan jikalau diduga adanya fraktur servikal. Jika
kemungkinan itu tidak ada, maka lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan
auskultasi karotis untuk mencari ada tidaknya bruit.

d. Kepala
Perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur.
e. Leher
Perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur servikal (jejas,
kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka).
f. Toraks/abdomen dan ekstremitas.
Perhatikan ada tidaknya fraktur.

Pemeriksaan fisik neurologis8


Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma secara
kualitatif dan kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan
neurologis meliputi derajat kesadaran dan pemeriksaan motorik2.
1). Umum
• Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma
• Deviasi kepala dan lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral
• Perhatikan mioklonus (proses metabolik), twitching otot berirama
(aktivitas
• seizure) atau tetani (spontan, spasmus otot lama).

2). Level kesadaran


• Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, soporo dan koma)
• Kuantitatif (menggunakanGCS)

3). Pupil
 Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya
 Simetris/reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas mesensefalon
baik.Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik(-), dicurigai suatu
koma metabolik
 Midposisi(2-5mm),ƒixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
 Pupil reaktif point-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiate
kolinergik.
 Dilatasi unilateral danƒixed,terjadi herniasi.
 Pupil bilateral ƒixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik – iskemi global,
keracunan barbiturat.
 Funduskopi
Pada pemeriksaan funduskopik perhatikanlah keadaan papil. apakah ada edema,
perdarahan, dan eksudasi, serta bagaimana keadaan pembuluh darah Tekanan
intrakranlal yang meninggi dapat menyebabkan terjadinya edema papli. Pada
perdarahan subarakhnoid dapat dijumpai perdarahan subhiaMd. Pada retinopati
diabetik dapat dijumpai mikro-anerisma di pembuluh darah retina

• Refleks okulovestibuler/okulosefalik (dolls eye manuevre)


Pergerakan bola mata untuk melirik dan memfokuskan pandangan diatur oleh
nervus okulomotorius. Nuclei nervus oculomotor mendapat impuls aferen dari
cortical, tectal, dan tegmental sistem oculomotor, serta impuls langsung dari sistem
vestibular dan vestibule cerebellum. Reflex okulovestibuler diperiksa dengan
menolehkan kepala pasien, namun harus hati-hati pada pasien trauma yang
dicurigai adanya fraktur atau dislokasi dari tulang cervical. Selain dengan
menolehkan kepala pasien, dapat juga tes kalori. Respon normal dari gerakan yang
menimbulkan impuls pada vestibular menuju sistem okulomotor dan membuat mata
berputar berlawanan arah dengan gerakan yang diberikan pemeriksa. Pada pasien
sadar, refleks memfokuskan pandangan menutupi reflex tesebut, sehingga
pemeriksaan doll’s eye tidak dilakukan pada pasien sadar, namun pada pasien
dengan penurunan kesadaran.
Refleks okuloauditorik , bila dirangsang suara keras penderita akan menutup mata
maka gangguan di pons. Sedangkan pada refleks okulovestibular bila meatus
autikus eksteernus dirangsang air hangat akan timbul nistagmus ke arah rangsangan
maka gangguan di pons.
Pemeriksaan pupil berupa:
• Lesi di hemisfer →kedua mata melihat ke samping ke arah hemisfer yang
terganggu.Besar dan bentuk pupil normal. Refleks cahaya positif normal
• Lesi di talamus→kedua mata melihat ke hidung (medial bawah), pupil kecil,
reflekscahaya negatif.
• lesi di pons →kedua mata di tengah, gerakan bola mata tidak ada, pupil
kecil, reflekscahaya positif, kadang terdapat ocular bobing.
• lesi di serebellum→kedua mata ditengah, besar, bentuk pupil normal,
refleks cahaya positif normal
• gangguan N oculomotorius→pupil anisokor, refleks cahaya negatif pada
pupil yanglebar, ptosis

4). Pemeriksaan rangsang meningeal


5). Fungsi motorik
Perhatikan adanya gerakan pasien, apakah asimetrik (ada paresis). Gerak
mioklonik dapat dijumpai pada ensefalopati metabolik (mininya pada gagal hepar,
uremta. htpoksia). demikian juga gerak astcriksis Kejang miofokal dapat dijumpai
pada gangguan metaboik. Sikap dekortikasi (lengan dalam keadaan fleksi dan
aduksi. Sedangkan tungkai dalam keadaan okstensi) menandakan lesi yang dalam
pada hemisfer atau tepat di alas mesensefalon. Sikap deserebrasl (lengan dalam
keadaan ekstensi, aduksi dan endorotasl, sedangkan tungkai dalam sikap ekstensi)
dapat dijumpai pada lesi batang otak bagian atas. di antara nukleus ruber dan
nukleus vestibular
.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera, ada yang bersifat
terencana. Pemeriksaan laboratorium yang bersifat segera pada umumnya meliputi
pemeriksaan glukosa darah, jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, dan
analisis gas darah. Pada kasus tertentu (meningitis, ensefalitis, perdarahan
suabarahnoid) diperlukan tindakan pungsi lumbal dan kemudian dilakukan analisis
cairan serebrospinal.
b. Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali
pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif, dapat
dikerjakan dengan mudah, tetapi manfaat diagnostiknya terbatas. Apabila ada CT
scan maka pemeriksaan ekoensefalografi tidak perlu dikerjakan. Pemeriksaan
elektroensefalografi terutama dikerjakan pada kasus mati otak (brain death).
c. Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak selamanya
mutlak perlu. CT scan akan sangat bermanfaat pada kasus-0kasus GPDO,
neoplasma, abses, trauma kapitis, dan hidrosefalus. Koma metabolik pada
umumnya tidak memerlukan pemeriksaan CT scan kepala.

II.5 Penatalaksanaan penurunan kesadaran


Langkah pertama yang harus diperhatikan saat melakukan penilaian pada pasien
dengan penurunan kesadaran baik etiologi yang mendasarinya seperti kelainan
struktural maupun metabolik kondisi medis utama yaitu kondisi jalan napas, pola
pernafasan, dan sirkulasi untuk reperfusi dan oksigenasi sistem saraf pusat. Prinsip
tatalaksana pasien dengan penurunan secara umum adalah:2
• Oksigenasi
• Mempertahankan sirkulasi
• Mengontrol glukosa
• Menurunkan tekanan tinggi intrakranial
• Menghentikan kejang
• Mengatasi infeksi
• Menoreksi keseimbangan asam-basa serta keseimbangan elektrolit
• Penilaian suhu tubuh
• Pemberian thiamin
• Pemberian antidotum (contoh: nalokson pada kasus keracunan morfin)
• Mengontrol agitasi

1. Mengontrol jalan napas (airway)2


Jalan napas yang baik dan suplementasi oksigen yang adekuat merupakan tindakan
yang sangat penting dalam mencegah terjadinya kerusakan otak lebih lanjut akibat
kondisi penurunan kesadaran terutama pada kasus-kasus yang akut.
Tindakan menjaga jalan napas tetap baik yang paling sederhana adalah dengan
mencegah jatuhnya lidah ke dinding faring posterior dengan jaw lift maneuver yaitu
dengan mengekstensinya kepala samapi menyentuh atlanto-occipital joint
bersamaan dengan menarik mandibula ke depan. Manuver ini dapat memperlebar
jarak antara lidah dan dinding faring sekitar 25%. Manuver ini tidak boleh
dilakukan pada kecurigaan adanya fraj=ktur atau lesi pada daerah cervical.
Pemasangan oropharingeal tube dapat juga dilakukan untuk menjaga patensi jalan
napas pada pasien dengan penurunan kesadaran. Oral airway device dapat
digunakan untuk mencegah tergigitnya lidah pada pasien dengan penurunan
kesadaran disertai kejang. Sedangkan nasal airway juga dapat digunakan dengan
menempatkan selang oksigen ke lubang hidung maupun nasofaring. Nasal airway
dapat digunakan pada pasien dengan kecurigaan adanya lesi pada cervical dan
kontraindikasi untuk dilakukan maneuver jaw lift maupun head-tilt.
Tindakan intubasi merupakan indikasi untuk jalan napas tetap terjaga dengan baik
pada pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan fungsi bulber. Pasien
dengan GCS yang rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
gangguan pernafasan walaupun masalah utamanya bukan pada sistem pernafasan.
Pasien dengan nilai GCS 8 harus dilakukan tindakan intubasi.

2. Pernafasan2
Pada pasien dengan penurunan kesadaran perlu diperhatikan frekuensi pernafasan
dan pola pernafasan. Frekuansi pernafasan normal adalah 16-24 kali permenit
dengan pola nafas torakoabdominal. Pada psien dengan gangguan pernafasan
seringkali disertai retraksi otot-otot ekstrapulmonal, seperti rektarksi suprasternal,
retraksi supraklavikula, dan retraksi otot abdominal. Suara nafas tambahan juga
perlu diperhatikan pada pasien dengan penurunan kesadaran. Suplai oksigen binasal
dapat diberikan sesuai dengan oksigenasinya. Pada keadaan tertentu seperti
kecurigaan adanya penyakit paru yang berat dapat siperiksa analisis gas darah dan
digunakan ventilator bila terdapat kondisi gagal nafas.

3. Sirkulasi2
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, untuk monitor dan evaluasi kondisi
sirkulasi sebaiknya dipasang kateterisasi vena sentral untuk memudahkan dalam
monitoring cairan dan pemberian nutrisi. Selain itu pula optimalkan tekanan darah
dengan target Mean Arterial Pressure di atas 70mmHg. Pada kondisi hipovolemia
berikan cairan kristaloid isotonik seperti cairan NaCl fisiologis dan ringer laktat.
Kita harus menghindari pemberian cairan hipotonik seperti cairan glukosa maupun
dektrosa terutama pada kasus stroke kecuali penyebab penurunan kesadarannya
adalah kondisi hipoglikemi. Bila cairan infus sudah diberikan tetapi MAP belum
mencapoai target, maka diusahakan untuk pemberian obat-obatan vasopresor
seperti dopamine dan epinefrin/norepinefrin.

II.6 Prognosis
Prognosis penurunan kesadaran bersifat luas tergantung kepada penyebab,
kecepatan serta ketepatan dari pengobatan yang diberikan. Sehingga pemeriksaan
dan penegakan diagnosis pada kasus penurunan kesadaran harus dilakukan sesegera
mungkin untuk mencegah timbulnya kelainan yang sifatnya ireversible.
Prognosis jelek bila didapatkan gejala-gejala adanya gangguan fungsi
batang otak, seperti doll’s eye, refleks kornea yang negatif, refleks muntah yang
negatif; Pupil lebar tanpa adanya refleks cahaya; dan GCS yang rendah (1-1-1) yang
terjadi selama lebih dari 3 hari2.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. 2012. Kesadaran dan fungsi luhur dalam neurologi


klinis dasar. Dian rakyat. Jakarta.
2. Dian S, Basuki A, 2012. Altered consciousness basic, diagnostic, and
management. Bagian/UPF ilmu penyakit saraf. Bandung.
3. Cavanna AE, Shah S, Eddy CM. 2011. Conscioussnes : A neurological
perspective. IOS press. UK
4. PlumF, PosnerJB, SaperCB, SchiffND. 2007. Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Ed. IV. Oxford University Press. NewYork.
5. Lumbantobing SM. 2010. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental.
Balai penerbit FKUI. Jakarta.
6. Kelly JP. 2001. Loss of Consciousness: Pathophysiology and Implications in
Grading and Safe Return to Play. Journal of athletic training. Chicago
7. Harsono.2008.Koma dalam Buku Ajar Neurologi Klinis.GajahMada
University Press. Yogyakarta.
8. Wulandari DS. 2011. Penurunan kesadaran. Fakultas kedokteran universitas
yarsi. Serang

Anda mungkin juga menyukai