Anda di halaman 1dari 6

Minggu, 23 September 2018.

Weekend produktif, begitulah aku menyebutnya karena hari ini yang seharusnya
bisa beristirahat atas hari-hari yang melelahkan dan otak yang tak pernah berhenti
berfikir, malah ada kegiatan ekstrakukikuler yang mewajibkan kehadiranku. Rasa
tanggung jawab menghantui dan menempatkanku pada posisi harus hadir.

Terik matahari menyengat lapisan epidermis, dahaga mulai melanda tenggorokan,


ditambah riuh kering dikerongkongan, ku lirik jam tangan disisi kanan dan wajar
saja waktu menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh dua detik, hampir
setengah hari terlewati dengan banyak kegiatan tanpa henti, menepi dibawah
pohon beringin, tentu dingin, serentak angin menghembuskan kesejukan.
“Zizah, anti gak kepanasan tah?” Tanya Rahma.
“Enggak, karena sudah biasa, mungkin kalau masih awal-awal ya gak betah,
panas gitu.” Jawabku.
“Oiya Zah, kalau pakai rok kemana-mana kek gitu ribet gak?” Tanya Gebby.
“Enggak juga, malah kalau ana pakai celana rasanya aneh gitu, dan gak nyaman.”
Jawabku.
“Iya juga sih, kalau pakai rok tuh kelihatannya anggun.” Sahut Rahma.
“Zah, anti pakai jilbab besar gini udah dari dulu atau hijrah baru-baru ini?” Tanya
Gebby.
“Kalau jilbab besar, ana mulai pakai tuh semenjak masuk MAN, Alhamdulillah
lingkungan ana juga mendukung, ya InsyaAllah istiqomah, doain aja ya.”
Jawabku.
“Aamiin..” Serentak Rahma dan Gebby mengaminkan.
Tiba-tiba Diana yang sedari tadi memaninkan handphonenya, angkat bicara.
“Zah, pernah gak dalam perjalanan hijrahmu atau selama ini gitu, ada pengalaman
pahit dan menyedihkan?” Tanya Diana.
“Pernah gak ya(sok berfikir dan melirik keranting-ranting pohon beringin), kek
nya pernah deh, pasti seseorang dalam proses hijrahnya punya pengalaman pahit.”
Jawabku.
“Apa? Cerita geh.” Sahut Rahma.
Mulailah potongan-potongan memori masa kelam bernostalgia satu sama lain.
Waktu itu mungkin istilah bullying belum seterkenal masa kini
Lokasi: rumah lama(Lampung Tengah); penjelasan: akan faham jika mengikuti
cerita.

Kurang lebih dua belas tahun lalu, ketika aku duduk dibangku sekolah dasar, tidak
semua teringat jelas, setidaknya ada pembelajaran yang bisa ku review ulang.
Lulus dari Taman Kanak-kanak yang mungkin tidak begitu berbasis islami,
membuatku belum begitu faham mengenai hijab, ditambah umur yang masih
sangat belia, hanya saja aku ingat mbah putiku mengatakan “Kamu pakek jilbab
ya, biar mama sama papamu masuk syurga”, aku selalu mengingat kalimat itu dan
membuatku teguh akan keyakinanku memakai jilbab.
Penerimaan siswa-siswi baru untuk sekolah dasar dimulai, aku diterima disalah
satu sekolah dasar negri favorite di desaku, sama hal nya dengan TK, SD-ku kali
ini pun tidak begitu berbasis islami, dan tak kuduga sebelumnya, banyak hal
terjadi disini, usiaku masih terbilang anak-anak, tapi pemikiran mereka entah
bagaimana, yang jelas ini pengaruh generasi micin.
Hari ini hujan tidak turun, mentari saja tersenyum cerah tapi, aku menangis
merengek tidak mau berangkat sekolah, mama hanya menenangkanku, dan
mengatakan akan mengantarkanku ke sekolah(biasanya aku berangkat sekolah
sendiri naik sepedah kesayanganku). Ia berfikir bahwa aku malu membawa bekal
ke sekolah, karena hari-hari kemarin aku tidak pernah membawa bekal.
Sesampainya didepan pintu kelas, teman-teman yang kemarin memojokkanku,
menghampiri dengan penuh kelembutan dan sok manis.
“Zizah kenapa bude, kok nangis?” Tanya salah satu dari mereka.
“Ini katanya malu bawa bekal ke sekolah,” Jawab Mama.
“Oalah, sini aku bantu bawain(membawakan bekalku dan salim sama mama),
udah bude, Azizah sama kita aja, bude pulang gak papa kok.” Sahut salah satu
dari mereka.
“Iya, yaudah belajar yang bener ya, mama pulang.” Jawab Mama.
Mama pulang, dan aku masuk kelas bersamaan dengan si-Geng, duduk dikursi
kesayanganku dan benar, mereka mulai mengoceh.
“Huu.. dasar manja, cengeng, gitu aja nangis” Ungkap salah satu dari mereka.
“Untung tadi ada mamamu, kalau enggak, jilbabmu udah kita ambil, kita buang!”
“Iya, kita bakar, kan kemarin udah dibilangin, awas aja sampe kamu masih pakek
jilbab lagi.”
“Yaudahlah, minggir sana, jangan duduk disini.”
“Iya, minggir! Kita gak mau duduk bareng kamu lagi.”
Aku hanya terdiam, menunduk dan pindah tempat duduk, adapun temanku saat itu
tak berani ikut angkat bicara, karena memang mereka sudah terkenal si-Geng
sedari zaman TK.
“Udah Zah, gak papa, kan ada aku, aku juga pakek jilbab, duduk sini aja.” Sahut
Annisa.
“Iya Zah, sabar ya, susah emang kalo temenan sama mereka.” Lanjut Ajeng.
Sekedar info, Annisa adalah satu-satunya temanku yang memakai jilbab sedari
TK, ibunya saja memakai cadar, dan ayahnya guru mengaji. Sedang aku?
Lanjut..
Dan hari-hari itu terlewati dengan berbagai hambatan, selesai dan timbul lagi yang
baru. Begitu selanjutnya, sampai aku lupa bagaimana lagi cara menyikapinya, tak
terasa kini aku duduk dibangku kelas tiga SD, temanku sudah banyak, si-Geng
juga sudah berteman denganku lagi, bahkan temanku yang memakai jilbab juga
bertambah, hampir setengahnya dari siswi kelas tiga memakai jilbab. Rasa
bahagia itu tak bisa ku jelaskan, senang.
Ternyata aku tak bisa bersama-sama mereka sampai lulus, aku pun tak bisa
menyaksikan satu persatu temanku memakai jilbab walau hanya dilingkungan
sekolah. Aku pindah sekolah. Alasannya tak bisa ku jelaskan dengan mudah, tak
hanya itu, aku juga pindah rumah, lebih jauh, sangat jauh, di kabupaten
Tanggamus.
Kurang lebih dua minggu kelas pertamaku terlewati, kini aku sekolah di SDN
favorite didesaku. Bukan tak ingin sekolah, hanya saja aku malu, karena belum
memiliki teman, takut berbeda lagi. Dan benar, aku datang ke sekolah bersama
saudara sepupuku, dia laki-laki, kami sedikit tidak akrab. Kejadian itu terulang,
meski sedikit berbeda.
Teman pertamaku Vita, dia juga masih saudaraku, dia juga yang mengenalkanku
dengan teman-teman yang lain, jika ada yang bertanya tentangku, pasti dia jawab
“Ooh, ini Azizah, saudaranya Agung.”
Lantas semua anak mengenalku, ya mungkin karna Agung salah satu anak yang
populer di sekolah, tak begitu tampan kok, hanya sedikit.
Tak ada yang memakai jilbab, hanya aku, ‘murid yang berbeda’ mungkin mereka
memandangku begitu. Perlakuan yang kurang baik, sifat yang kurang ramah, jadi
makananku sehari-hari dikelas. Aku tak peduli, mereka tidak tahu seberat apa
perih yang pernah kurasa, yang mereka lakukan kini hanya bagian kecilnya saja.
Berlalunya waktu, aku yakin akan terjadi hal baik.
Ketika aku duduk di bangku kelas enam, banyak temanku yang memakai jilbab,
bahkan kini kepala sekolahku pun memberi izin untuk berpakaian serba panjang
untuk menyesuaikan jilbab kami. Kebahagiaan yang tak bisa dinilai dengan
apapun. Allah maha mendengar segala permintaan hambanya.
Hingga aku lulus dan masuk sekolah menengah pertama aku masih bertahan
dengan jilbabku, waktu itu mungkin rasanya biasa saja, tapi jikaku rasakan
sekarang, ini adalah keajaiban yang Allah berikan padaku untuk mengubah jalan
cerita orang, terutama mempermudah proses hijrahku.
Kejadian itu terulang, aku bersekolah di SMPN favorite di kecamatanku, awal
masuk, tak semua temanku memakai jilbab, dan pakaian dari sekolah juga masih
baju dan rok pendek tapi, aku berbeda, aku benar-benar ingin beda.
Mempertahankan ini semua tidaklah mudah, banyak sekali ujian dalam setiap
langkahku menuju kebaikan tapi, aku yakin Allah selalu menolongku, dan
terbukti, ketika aku menginjak kelas tiga SMP, kepala sekolahku mewajibkan
siswinya berbapakaian baju dan rok panjang, berjilbab jika muslim dan untuk
non-muslim tidak, begitupun untuk yang laki-laki diwajibkan celana panjang,
mungkin sekolahku bukan sekolah berbasis islami seperti Tsanawiyyah tapi, Allah
memberikan hidayah untuk sekolahku, Wallahua’lam.

“Wahh, Zizah, gak kuat aku dengerinnya, hebat!” Sahut Gebby.


“Bisa gitu ya, berat, lebih berat dari rindu.” Lanjut Rahma.
“Buat novel bagus nih, terus lanjutannya gimana? Sukses tak?” Tanya Diana.
Aku tersenyum lebar sembari menghela nafas,
“Alhamdulillah, lancar pak eko.” Jawabku.
“Hahahahaha..” kami tertawa bersama.

Keinginanku masuk pondok pesantren mungkin tak tersampaikan tapi, Allah


memberiku banyak nikmat yang lebih dari cukup untuk di syukuri. Aku lanjut ke
jenjang sekolah menengah atas di salah satu MAN favorite di Metro. Boarding
School kami menyebutnya, aku belajar lebih banyak disini, banyak ilmu baru,
pengetahuan tentang agama dan sosial yang mungkin belum pernah ku dapatkan
sebelumnya. Hidupku benar-benar bisa dikatakan berubah, tentunya jadi lebih
baik dari yang lalu, lingkungan dan orang-orang yang mendukung proses
hijrahku, ku temukan disini. Aku sangat bahagia. “Nikmat Tuhan-Mu yang
manakah yang kamu dustakan?”
Sekali lagi, hanya aku dan Allah yang tahu.

“Alhamdulillah ya Allah aku bisa bertemu teman yang Insya Allah bisa
membawaku jadi lebih baik lagi” Sahut Diana.
“Aamiin..” Jawabku.
“Aku juga pengen Zah kek gitu, tapi masih berat bener.” Kata Gebby.
“Sama, mau berubahnya tuh ya berat, takutnya masih belum istiqomah.” Lanjut
Rahma.
“Gak papa, pelan-pelan saja.. mulai dari always pakek jilbab dulu ya, Insya Allah
nanti juga dapet hidayah, tapi kalau kamu emang bener-bener mau hijrah ya mulai
melangkah, jangan hanya dengan berfikir saja.” Jawabku.
“Oh, oh, oh, pelan-pelan saja..” Sahut Diana.
“Eh, udah masuk zduhur, solat dulu yok” Ajak Rahma.
“Ayookk..”

Langkah kaki kami beriringan, sembari tertawa memecah kegaringan, dalam


hatiku begitu damai, betapa indahnya nikmat Tuhan.
Dikutip dari kisah nyata seorang remaja yang beranjak dewasa dengan segala
lika-liku problema demi mempertahankan hijabnya.
Mohon kritik dan sarannya.
***Terima kasih ***

Anda mungkin juga menyukai