Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

Metformin is Associated with a Lower Risk of Active Tuberculosis in Patients


with Type 2 Diabetes

Pembimbing :

dr. Risky Akaputra, Sp.P

Disusun Oleh :

Amalia Grahani Prasetyo

2014730006

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah
SWT karena berkat rahmat, nikmat, dan karunia serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Abses Paru yang penulis ajukan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Departemen Penyakit Dalam di Program Studi Profesi Dokter
Universitas Muhammadiyah Jakarta. Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman
jahiliyah ke zaman yang yang penuh ilmu pengetahuan sampai hari ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun dan bermanfaat. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan berguna bagi
setiap pembacanya.

Jakarta, 25 Oktober 2018

Dwinur Syafitri Choirunisa


1

2
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

Abses paru merupakan proses kerusakan parenkim paru yang ditandai oleh pembentukan
kavitas berisi jaringan atau cairan nekrotik terutama disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme.Frekuensi abses paru pada populasi umum belum diketahui secara pasti.1 Angka
kematian penderita abses paru sebelum era antibiotik mencapai 30-40 % dari 2114 kasus abses
paru. Sejak antibiotik diperkenalkan sebagai terapi utama abses paru, angka kematian menurun
hingga 10-20%. Insidens abses paru telah berkurang selama beberapa tahun terakhir karena
pengobatan pneumonia yang adekuat. Pemberian antibiotik telah berhasil mengobati abses paru
sebanyak 80-90% kasus. Penatalaksanaan abses paru saat ini meliputi pemberian antibiotik yang
tepat, fisioterapi, penyaliran postural dan tindakan invasif termasuk pembedahan. Pemberian
antibiotik yang tepat telah menurunkan insidens dan angka kematian abses paru, mengurangi
tindakan bedah serta memperbaiki prognosis.

1.1 DEFINISI
Abses paru adalah kumpulan pus dalam paru sebagai akibat terjadinya proses infeksi oleh
mikroorganisme sehingga terbentuk kavitas dan dapat ditemukan gambaran air fluid level pada
gambaran radiologis. Pada umumnya abses paru memiliki ukuran diameter >2cm sedangkan
pembentukan abses dengan ukuran diameter <2cm pada parenkim paru disebut necrotizing
pneumonia atau gangren paru. Pembentukan abses paru biasanya dimulai sebagai pneumonia
yang terlokalisir dan menimbulkan kerusakan jaringan dan nekrosis pada bagian tengahnya.1

1.2 EPIDEMIOLOGI
1.2.1 Mortalitas/Morbiditas
Frekuensi abses paru pada populasi umum belum diketahui secara pasti. Angka
kematian penderita abses paru sebelum era antibiotik mencapai 30-40 % dari 2114 kasus
abses paru. Sejak antibiotik diperkenalkan sebagai terapi utama abses paru, angka
kematian menurun hingga 10-20%. Insidens abses paru telah berkurang selama beberapa
tahun terakhir karena pengobatan pneumonia yang adekuat.

1
Kebanyakan pasien dengan abses paru primer dapat sembuh dengan antibiotik, dengan
tingkat kesembuhan rata-rata sebanyak 90-95%. Faktor host yang menyebabkan
prognosis memburuk antara lain usia lanjut, kekurangan tenaga, malnutrisi, infeksi HIV
atau bentuk lain imunosupresi, keganasan, dan durasi gejala lebih dari 8 minggu. Tingkat
kematian untuk pasien dengan status imunokompromis mendasar atau obstruksi bronkial
yang kemudian membentuk abses paru dapat mencapai 75%.
Organisme aerobik, yang biasanya didapat di rumah sakit, juga dapat menghasilkan
prognosa yang buruk. Sebuah studi retrospektif melaporkan tingkat kematian abses paru
yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif digabungkan adalah sekitar
20%.
1.2.2 Seks
Laki-laki mempunyai prevalensi yang dominan dalam kejadian abses paru yang
dilaporkan dalam beberapa seri kasus yang sudah dipublikasikan.2
1.2.3 Umur
Abses paru pada umumnya terjadi pada pasien usia lanjut dikarenakan meningkatnya
penyakit periodontal dan peningkatkan prevalensi disfagi dan aspirasi pada usia ini.
Namun, serangkaian kasus dari warga yang tinggal di pusat perkotaan dengan prevalensi
alkoholisme tinggi melaporkan usia rata-rata yang mengalami abses paru adalah 41 tahun.
Orang-orang tua, orang-orang dengan immunocompromise, malnutrisi, debilitated dan
khususnya orang-orang yang tidak pernah mendapatkan antibiotik adalah orang-orang
yang paling rentan dan memiliki prognosis yang paling buruk.2

1.3 KLASIFIKASI
Abses paru diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal seperti lama timbulnya gejala
(awitan), keberadaan kondisi komorbid dan etiologi infeksi mikroorganisme atau noninfeksi.
Abses paru berdasarkan waktu awitan diklasifikasikan menjadi akut dan kronik. Abses paru
akut terjadi <2 minggu dan lebih sering disebabkan infeksi bakteri aerob dengan virulensi
tinggi. Abses paru kronik terjadi 4-6 minggu pada pasien dengan neoplasma, infeksi bakteri
anaerob atau bakteri dengan virulensi rendah. Klasifikasi abses paru berdasarkan terdapatnya
keadaan komorbid dibagi menjadi primer dan sekunder. Abses paru primer sebagian besar
disebabkan oleh aspirasi atau pneumonia pada individu yang sebelumya sehat sedangkan
abses paru sekunder disebabkan kondisi penyakit yang sudah ada sebelumnya seperti

2
obstruksi, transplantasi organ atau gangguan kekebalan tubuh. Abses paru berdasarkan
etiologi infeksi dapat disebabkan oleh bakteri atau jamur sedangkan penyebab noninfeksi
misalnya neoplasma, sarkoidosis dan penyakit Hodgkin’s.
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang
paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat
aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan striktur bronkial. Keadaan ini menyebabkan
obstruksi bronkus dan terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan terjadinya
infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada pasien
bronchitis kronis karena banyaknya mukus pada saluran napas bawahnya yang merupakan
kultur media yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Pada perokok usia lanjut
keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk terjadinya abses paru.
Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau sebagai
fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubuhnya seperti
iricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan terbentuk abses
multipel dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus. Penanganan abses multiple dan kecil-
kecil adalah lebih sulit dari abses single walaupun ukurannya besar. Secara umum diameter
abses paru bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 5 cm atau lebih. Disebut abses primer
bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan
abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi
seperti obstruksi, bronkiektasis dan gangguan imunitas.2,6,8

1.4 ETIOLOGI
Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, yaitu:
a. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi
1. Bacteriodes melaninogenus
2. Bacteriodes fragilis
3. Peptosireptococcus species
4. Bacillus Intermedius
5. Fusobacterium nucleatum
6. Microaerophilic streptococcus
Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85%-100% dari specimen yang
didapat melalui aspirasi transtrakheal.

3
b. Kelompok bakteri aerob:
1. Gram positif: sekunder oleh sebab selain aspirasi
- Staphylococcus aureus
- Streptococcus microaerophilic
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumonia
2. Gram negative: biasanya merupakan sebab nosocomial
- Klebsiella pneumonia
- Pseudomonas aeruginosa
- Escherichia coli
- Haemophilus Influenza
- Actinomyces Species
- Gram negative bacilli
c. Kelompok:
1. jamur: mucoraceae, aspergilus species
2. parasit, amuba
3. mikobakterium
Terdapat 46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran
bakteri anaerob dan aerob. Spektrum kuman patogen penyebab abses paru pada pasien
immunocompromised sedikit berbeda. Pada pasien AIDS kebanyakan kumannya adalah
bakteri aerob, P. carinii dan jamur termasuk Cryptococcus neoforman dan mycobacterium
tuberculosis.

1.5 FAKTOR PREDISPOSISI


1.5.1 Ada sumber infeksi di saluran pernapasan.
Infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronchitis, bronkiektasis, dan kanker
paru.
1.5.2 Daya tahan saluran pernapasan yang terganggu.
Pada paralisa laring, aspirasi cairan lambung karena tidak sadar, akalasia, kanker
esophagus, gangguan ekspektorasi dan gangguan pergerakan silia.

4
1.5.3 Obstruksi mekanik saluran pernapasan karena aspirasi bekuan darah, pus, bagian
gigi yang menyumbat, makanan dan tumor bronkus.
Yang terkena abses paru pada umumnya mempunyai status immunocompromised yang
sangat jelek (kadar CD4<50/mm3), dan kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi
paru.

1.6 PATOFISIOLOGI
Abses paru merupakan hasil interaksi agen infeksius termasuk bakteri, jamur dan parasit
dengan berbagai faktor predisposisi abses melalui mekanisme aspirasi sehingga
memungkinkan berbagai materi infeksius masuk ke dalam paru. Penyebab abses paru yang
utama adalah masuknya materi dari rongga mulut yang mengandung sejumlah besar bakteri
akan berperan dalam pembentukan abses paru terutama bila jumlah bakteri meningkat akibat
kebersihan gigi yang buruk atau penyakit gusi. Suatu penelitian menunjukkan pembentukan
abses paru dapat berlangsung 7-14 hari setelah aspirasi agen infeksius dari rongga mulut.
Aspirasi sejumlah besar bakteri anaerob dan kombinasi berbagai mikroorganisme
menyebabkan necrotizing pneumonia yang secara progresif dapat membentuk abses paru.
Abses paru tidak selalu terjadi pada semua pasien dengan faktor risiko aspirasi. Keberadaan
faktor lain khususnya penyakit komorbid dan kerusakan sistem pertahanan tubuh juga berperan
penting terhadap pembentukan abses paru. 2,5,7
Beberapa hal yang mempengaruhi terbentuknya abses paru adalah frekuensi aspirasi,
besarnya penurunan daya tahan tubuh dan jumlah bakteri infeksius yang masuk. Keadaan ini
menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan
terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada
pasien bronchitis kronis karena banyaknya mukus pada saluran napas bawahnya yang
merupakan kultur media yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Pada perokok usia
lanjut keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk terjadinya abses paru. Aspirasi
bakteri anaerob atau campuran beberapa spesies bakteri dalam jumlah banyak dari dapat
menyebabkan necrotizing pneumonia jika tidak diterapi dari awal. Keadaan akan berlangsung
progresif sehingga dapat terbentuk abses paru. Penyebaran abses paru dapat terjadi melalui 2
cara yaitu limfogen dan hematogen. Penyebaran limfogen dapat terjadi melalui pembuluh
limfe subfrenikus. Penyebaran hematogen dapat terjadi melalui tromboflebitis septik vena

5
jugularis atau vena pelvis serta keadaan abnormal vena pulmoner misalnya stasis, nekrosis
jaringan, karsinoma atau bronkiektasis. Penyebaran hematogen lebih sering ditemukan pada
anak yang mengalami bakteriemia Staphylococcus spp. 2,5,7
Abses hepar bakterial atau amubik bisa mengalami ruptur dan menembus diafragma yang
akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga pleura.
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada
orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya
sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis dan gangguan imunitas.
Diameter abses bervariasi dari beberapa milimeter sampai kavitas besar dengan ukuran 5-
6 cm. Lokalisasi dan jumlah abses bergantung pada bentuk perkembangannya. Abses paru
yang diakibatkan oleh aspirasi lebih banyak terjadi pada paru kanan (lebih vertikal) daripada
paru kiri, serta lebih banyak berupa kavitas tunggal. Abses yang terjadi bersamaan dengan
adanya pneumonia atau bronkiektasis umumnya bersifat multipel, terletak di basal dan tersebar
luas. Septik emboli dan abses yang diakibatkan oleh penyebaran hematogen umumnya bersifat
mulitipel dan dapat menyerang bagian paru manapun. 2,5,7
Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya diekspektoransikan ke luar
dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke rongga
pleura sehingga terjadi empiema yang diikuti dengan terbentuknya fistula bronkopleura. 2,5,7

1.7 DIAGNOSIS
1.7.1 Anamnesis
Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut. Disebut abses akut bila
terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan
penyakit 1-3 minggu dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan,
penurunan berat badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai
menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4°C atau lebih. Tidak ada demam tidak
menyingkirkan adanya abses paru. Setelah beberapa hari dahak bisa menjadi purulent
dan bisa mengandung darah.2,3,5
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses tersebut
menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam beberapa jam sampai
dengan beberapa hari yang masih mengandung jaringan paru yang mengalami ganggren.
Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy menunjukkan penyebabnya bakteri

6
anaerob dan disebut dengan putrid abscesses, tetapi tidak didapatkannya sputum dengan
ciri di atas tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Bila terdapat nyeri dada
menunjukkan keterlibatan pleura. Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada
yang masif.

Gejala penyakit biasanya berupa:


a. Malaise
Malaise merupakan gejala awal disertai tidak nafsu makan yang lama kelamaan
menyebabkan penurunan berat badan.
b. Demam
Demam berupa demam intermitten bisa disertai menggigil bahkan ‘rigor’ dengan
suhu tubuh mencapai 39.4ºC atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan
adanya abses paru
c. Batuk
Batuk pada pasiean abses paru merupakan batuk berdahak yang setelah beberapa
dapat berubah menjadi purulen dan bisa mengandung darah. Sputum yang berbau
amis dan berwarna anchovy menunjukkan penyebabnya bakteri anaeraob dan
disebut dengan putrid abscesses, tetapi tidak didapatkannya sputum dengan ciri di
atas tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Batuk darah bisa dijumpai,
biasanya ringan tetapi ada yang masif.
d. Nyeri pleuritik
Nyeri pleuritik atau nyeri yang dirasakan dalam dada menunjukkan adanya
keterlibatan pleura.
e. Sesak
Sesak disebabkan oleh adanya pus yang menumpuk menutupi jalan napas
f. Anemia
g. Anemia yang terjadi dapat berupa anemia defisiensi yang disebabkan oleh
kurangnya asupan akibat penurunan nafsu makan, namun lebih sering disebabkan
oleh perdarahan pada saluran nafas khususnya pada hemoptisis masif.

7
1.7.2 Pemeriksaan Fisik
Hasil yang bervariasi dapat ditemukan pemeriksaan fisis pada penderita abses paru
sesuai dengan penyakit sekunder yang mendasarinya. Demam dapat terjadi pada 60-90%
pasien abses paru, walaupun suhu badan normal pada infeksi anaerob.8 Suhu tinggi
(>38,50C) terjadi pada infeksi mikroorganisme aerob yang biasanya terdapat bukti
penyakit gusi. Pemeriksaan auskultasi didapatkan suara napas menurun akibat
konsolidasi dan terdapat suara napas bronkial serta ronki saat inspirasi. Perkusi yang
dilakukan pada pemeriksaan dada didapatkan ketukan yang redup. Suara napas amforik
dapat ditemukan bila terdapat kavitas, tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Sebanyak 20%
pasien pada abses paru ditemukan jari tabuh, efusi pleura dan kakheksia.
1.7.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, peningkatan laju endap
darah (LED) dan pergeseran hitung jenis ke kiri walaupun kondisi ini tidak selalu
ditemukan. Langkah awal penegakan etiologi abses paru dilakukan dengan
pemeriksaan sputum. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain dengan pewarnaan
gram, pewarnaan khusus bakteri tahan asam (BTA) dan jamur dilanjutkan dengan
pemeriksaan kultur. Pemeriksaan sputum umumnya tidak banyak membantu
diagnosis abses paru yang disebabkan bakteri anaerob tetapi dapat membantu
menyingkirkan penyebab abses lain misalnya Tb dan bakteri aerob, meskipun
demikian sputum purulen dan berbau busuk yang mengandung banyak bakteri gram
positif dan negatif dapat mengarahkan kecurigaan abses paru oleh kuman anaerob.
Kultur sputum yang didapat dengan cara dibatukkan sulit digunakan untuk
konfirmasi jenis kuman penyebab karena kemungkinan kontaminasi bakteri gram
negatif dan S.aureusyang berkolonisasi di orofaring
b. Pemeriksaan Radiologi
- Foto Thorax
Gambaran patognomonis pada foto toraks sering tidak ditemukan saat awal
timbulnya abses paru sehingga diperlukan foto toraks serial untuk mengetahui
perkembangan pneumonia menjadi necrotizing pneumonia dan abses paru
dengan kavitas. Gambaran daerah lusen disertai pneumonitis sering menyulitkan
penentuan kepastian gambaran kavitas abses paru. Kavitas terlihat mempunyai
dinding utuh yang mengelilingi daerah lusen atau air fluid level.2,6
8
Pada gambaran radiologik dapat ditemukan gambaran satu atau lebih
kavitas yang disertai dengan adanya air fluid level. Khas pada abses paru
anaerobik kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru
primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nososkomial atau hematogen)
lesinya biasanya multipel.
Ukuran dari abses bervariasi namun secara umum memiliki bentuk yang
bulat. Dinding abses umumnya tebal dan permukaan dalamnya irreguler.
Pembuluh darah bronkus dan bronkus sendiri dapat menjadi dinding dari abses.
Abses dapat berisi cairan saja maupun cairan yang bercampur dengan udara
sehingga memberikan gambaran air-fluid level. Bila abses mengalami ruptur
akan terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, yang akan
memberikan gambaran kavitas dengan batas udara dan cairan di dalamnya (air
fluid level). Secara umum terdapat perselubungan di sekitar kavitas, meskipun
begitu pada terapi kavitas akan menetap lebih lama dibanding perselubungan di
sekitarnya.2,6
Sepertiga kasus abses paru bisa disertai dengan empiema. Empiema yang
terlokalisir dan disertai dengan fistula bronkopleura akan sulit dibedakan dengan
gambaran abses paru. Untuk suatu gambaran abses paru simple, noduler dan
disertai limfadenopati hilus maka harus dipikirkan sebabnya adalah suatu
keganasan paru.2,6

Gambar 1. Komplikasi Pneumonia pneumococcus oleh nekrosis paru dan


pembentukan abses. Kavitas dengan air fluid level pada lapangan paru kanan
atas. Abses Paru – posisi AP dan lateral.2

9
- CT-Scan
CT-Scan adalah modalitas pencitraan yang paling sensitif dalam
menegakkan diagnosis abses paru. Kontras yang diberikan adalah kontras yang
dapat bercampur dengan perselubungan disekitar lesi sehingga batas margin
dapat diidentifikasi.2,6
Gambaran khas CT scan abses paru adalah berupa lesi dens bundar dengn
kavitas berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak di daerah jaringan paru yang
rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak
pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak.2,6

Gambar 2. CT-Scan pada abses paru2

c. Pemeriksaan Patologi-Anatomi

Gambar 3. Gambaran histopatologis dari abses paru menunjukkan


reaksi inflamasi4

10
1.8 DIAGNOSIS BANDING
1.8.1 Karsimoma bronkogenik yang mengalami kavitasi, biasanya dinding kavitas tebal dan
tidak rata. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan sitologi/patologi.
1.8.2 Tuberkulosis paru atau infeksi jamur. Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun
daripada abses paru. Pada tuberkulosis didapatkan BTA dan pada infeksi jamur
ditemukan jamur.
1.8.3 Bula yang terinfeksi, tampak air fluid level. Di sekitar bula tidak ada atau hanya sedikit
konsolidasi.
1.8.4 Kista paru yang terinfeksi. Dindingnya tipis dan tidak ada reaksi di sekitarnya.
1.8.5 Hematom paru. Ada riwayat trauma. Batuk hanya sedikit.
1.8.6 Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi. Pekerjaan penderita jelas di daerah berdebu
dan didapatkan simple pneumoconiosis pada penderita.
1.8.7 Hiatus hernia. Tidak ada gejala paru. Nyeri restrosternal dan heart burn bertambah
berat pada waktu membungkuk. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan foto barium.
1.8.8 Sekuester paru. Letak di basal kiri belakang. Diagnosis pasti dengan bronkografi atau
arteriografi retrograd.

1.9 TATALAKSANA
Penatalaksanaan abses paru meliputi terapi suportif, penyaliran postural dengan atau tanpa
bronkoskopi dan pembedahan. Ketiga modalitas tersebut mempunyai angka mortalitas yang
sama yaitu 30-40%. Angka mortalitas menurun hingga 10-20% sejak antibiotik diperkenalkan
sebagai terapi utama. Penatalaksanaan abses paru saat ini meliputi pemberian antibiotik yang
tepat, fisioterapi dengan penyaliran postural. Tindakan bedah dilakukan pada kasus tidak
respons terhadap antibiotik, keganasan dengan atau tanpa komplikasi seperti hemoptisis dan
empiema. Terapi abses paru harus disesuaikan dengan kuman penyebab dan kondisi komorbid.
1.9.1 Antibiotik
Pemberian antibiotik yang tepat berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi yang
tidak terkontaminasi merupakan terapi utama abses paru. Pemberian antibiotik
parenteral secara empirik harus dimulai saat diagnosis abses paru ditegakkan. Beberapa
penelitian menyarankan bahwa terapi akan lebih efektif bila pada awal pemilihan
antibiotik empirik terutama ditujukan untuk melawan bakteri anaerob dan golongan

11
Streptococcus milleri sebagai penyebab terbesar abses paru. Selain pemberian antibiotik
yang tepat, jangka waktu pemberian antibiotik juga dijadikan pertimbangan. 2,3,5
Antibiotik diberikan sampai dengan infiltrat di paru menghilang atau lesi menjadi
kecil. Pemberian antibiotik secara intravena sampai demam hilang dan menunjukkan
perbaikan klinis. Setelah itu pemberian antibiotik oral diberikan dalam jangka waktu
tertentu bervariasi tergantung kondisi klinis penderita. Antibiotik dapat diberikan pada
penderita kurang lebih 6-8 minggu. Penelitian awal menunjukan bahwa penisilin dan
klindamisin mempunyai efektivitas yang sama. Peningkatan kejadian resistensi terhadap
penisilin membutuhkan kombinasi antibiotik metronidazol yang efektif melawan
bakteri anaerob gram negatif termasuk Bacteriodes fragilis dan Clostridia. 2,3,5
Pemberian penisilin dengan dosis 12-18 juta unit per hari intravena dikombinasi
dengan metronidazol 2 gram perhari dibagi dalam 4 dosis. Metronidazol tidak
dianjurkan sebagai terapi tunggal karena dilaporkan menyebabkan angka kegagalan
terapi sebesar 43%. Klindamisin digunakan sebagai alternatif pada pasien yang alergi
terhadap penisilin. Antibiotik ini menunjukkan efek lebih baik dibandingkan penisilin
dan aktif melawan bakteri anaerob yang memproduksi laktamase (Bacteriodes dan
Fusobacterium) sehingga dapat mengurangi kebutuhan pemberian metronidazol.
Banyak ahli menganjurkan pemberian klindamisin menggantikan terapi konvensional
penisilin dan terapi standar untuk infeksi anaerob. Klindamisin juga menunjukkan hasil
klinis yang lebih baik dibandingkan penisilin dalam respons penderita, kecepatan
resolusi, demam, temuan radiologi dan kekambuhan setelah terapi. Dosis pemberian
klindamisin pada dewasa adalah 600 mg intravena setiap 8 jam diikuti terapi oral 150-
300 mg 4 kali sehari. Kombinasi yang direkomendasikan untuk antibiotik untuk abses paru
adalah kombinasi β-laktam dengan inhibitor β-laktamase (ticarcilin-klavulanat, ampisilin-
sulbaktam, amoksisilin-klavulanat, piperacilin-tazobactam), kloramfenikol, imipenem atau
meropenem, generasi kedua sefalosporin (cefoxitin, cefotetan), generasi baru fluoroquinolones-
moxifloxacin, yang mendorong seefektif kombinasi ampicillin-sulbactam).
Pasien dengan respons buruk terhadap terapi antibiotik perlu dipertimbangkan
penyebab lain misalnya obstruksi oleh benda asing, keganasan, infeksi dengan bakteri
yang resisten, Mycobacterium dan jamur. Keberhasilan terapi antibiotik juga tergantung
pada lama gejala dan ukuran kavitas sebelum terapi. Lama terapi masih kontroversial.

12
Beberapa peneliti merekomendasikan pengobatan selama 3 minggu tergantung
perbaikan klinis. Pemberian antibiotik tersebut sampai gambaran foto toraks normal
atau lesi mengecil. 2,3,5
1.9.2 Fisioterapi
Modalitas selain antibiotik dalam tata laksana abses paru adalah fisioterapi. Latihan
fisioterapi yang dapat diberikan oleh fisioterapis terlatih pada penderita abses paru
antara lain latihan sistem pernapasan, batuk, perkusi dada dan penyaliran postural.
Penyaliran postural dengan teknik pengaturan napas dalam program fisioterapi
bertujuan membantu penderita membersihkan saluran napas dari sekret purulen
sehingga diharapkan dapat mengatasi gejala dan memperbaiki pertukaran gas. Program
latihan penyaliran postural biasanya dimulai satu kali sehari dan ditingkatkan 2-3 kali
sehari. Fisioterapi dada termasuk penyaliran postural sebaiknya dikerjakan pada semua
penderita terutama penderita dengan produksi sputum yang banyak dan ukuran air fluid
level yang besar. 2,3,5
1.9.3 Penyaliran Perkutan
Penyaliran perkutan menggunakan selang dada ukuran french-10 dilakukan pada
kasus abses paru yang tidak berhasil dengan terapi medis yang adekuat. Tindakan ini
biasanya hanya dilakukan pada 20% penderita yang tidak memberikan respons terhadap
terapi konservatif. Prosedur tersebut lebih mudah dilakukan pada abses yang terletak di
perifer. Pelaksanaan tindakan ini dapat dipandu dengan menggunakan CT scan toraks,
fluoroskopi atau ultrasonografi (USG) untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Indikasi
khusus penyaliran perkutan adalah tension abscess, pergeseran mediastinum, pergeseran
fisura, pergerakan diafragma ke bawah, kontaminasi paru kontralateral, tanda sepsis
setelah 72 jam pemberian antibiotik,ukuran abses >4 cm, peningkatan ukuran abses,
peningkatan air fluid level dan ketergantungan terhadap ventilator persisten. Risiko
tindakan penyaliran perkutan antara lain empiema, perdarahan, fistula bronkopleura dan
pneumotoraks. 2,3,5

13
1.9.4 Penyaliran dengan bronkoskopi
Penting untuk membersihkan jalan napas sehingga drainase pun menjadi lancar. Di
samping itu, dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang
tidak mengalam drainase yang adekuat, serta dapat diberikannya larutan antibiotik
melewati bronkus langsung ke lokasi abses.
1.9.5 Pembedahan
Tindakan pembedahan pada abses paru sering dilakukan sebelum era antibiotik,
namun saat ini hanya sekitar 10%. Tindakan bedah dilakukan setelah terapi konservatif
menggunakan antibiotik gagal. Terapi antibiotik dikatakan gagal jika demam atau gejala
lain berlanjut sampai 10-14 hari, gambaran lesi radiologis tidak mengecil atau lesi
pneumonia menyebar ke bagian paru lain.10 Tindakan pembedahan yang dilakukan
adalah reseksi pada segmen paru yang mengalami nekrotik atau lobektomi. Tindakan ini
diambil pada kasus abses dengan ukuran besar (>6 cm), hemoptisis masif, empiema yang
tidak respons dengan terapi konservatif, obstruksi bronkus, fistel bronkopleural,
kegagalan terapi medis setelah 4-6 minggu atau terdapatnya infeksi yang berlangsung
progresif. 2,3,5
Podbielski melaporkan sebuah kasus abses paru yang mengalami kegagalan terapi
dengan antibiotik yang adekuat dan 3 kali penyaliran subkutan. Tindakan bedah yang
dilakukan pada kasus tersebut menggunakan teknik operasi video assisted thoracoscopy
(VATS). Tindakan VATS berhasil membersihkan kavitas, memotong kemudian
memasang selang penyaliran ke rongga pleura. Pada penderita abses paru dengan keadaan
gangguan imunitas, seringkali ukuran abses akan membesar secara progresif sehingga
membutuhkan tindakan reseksi lebih awal dan penambahan antibiotik. 2,3,5
Lobektomi merupakan prosedur yang paling sering, sedangkan reseksi segmental
biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses
multipel atau gangren paru yang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan. 2,3,5

14
1.10 KOMPLIKASI
Komplikasi abses paru yang tidak ditangani dengan baik diantaranya infeksi dan abses paru
berulang, pecahnya abses ke dalam rongga pleura yang berakibat timbulnya empiema,
perlekatan pleura, fistula bronkopleura, fistula pleurokutan, penyebaran abses ke segmen paru
lain, perdarahan, ARDS, inflamasi membran di dekat jantung dan inflamasi paru kronik. Abses
otak juga dilaporkan dapat terjadi pada penderita abses paru yang tidak memperoleh terapi
adekuat. Prognosis akan memburuk bila sudah terdapat komplikasi. Pemberian terapi yang
adekuat dan cepat dapat mengurangi risiko komplikasi dan memperbaiki prognosis.8

Gambar 4. Komplikasi utama dari


abses paru meliputi (a) fistula
bronchopleural, menyebabkan
nanah dapat masuk ke dalam cavum
pleura, 1

(b) intrabronchial hemorrhage yang


masif bahkan dapat membanjiri
paru pasien, (c) isi abses dapat
memasuki bronkus, (d) penyebaran
menyeluruh dari bakteri ke otak dan
bagian tubuh lainnya.1

Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan selama 6 minggu,
akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan mungkin akan menyisakan suatu
bronkiektasis, kor pulmonal, dan amiloidosis. Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia,
malnutrisi, kakeksia, gangguan cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada manula.8

15
1.11 PROGNOSIS
Sebagian besar penderita abses paru akan memiliki prognosis yang baik apabila
mendapatkan tata laksana yang tepat. Prognosis penderita abses paru dipengaruhi oleh berbagai
keadaan antara lain terdapatnya komorbid, faktor risiko dan inisiasi pemberian terapi yang tepat.
Prognosis yang buruk dijumpai pada abses dengan diameter berukuran >6 cm, necrotizing
pneumonia, abses multipel, gangguan kekebalan tubuh, usia lanjut, terdapatnya obstruksi
bronkial dan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri aerobik. Mortalitas abses paru yang
disebabkan oleh necrotizing pneumonia anaerob dan pneumonia yang disebabkan bakteri gram
negatif lebih tinggi apabila dibandingkan dengan abses paru yang disebabkan oleh bakteri
anaerobik. Abses paru mempunyai prognosis lebih baik dan lama rawat yang lebih singkat jika
diagnosis ditegakkan secara tepat dan pemberian antibiotik sesuai.

1.12 PENCEGAHAN
Perhatian khusus ditujukan kepada kebersihan mulut. Kebersihan mulut yang jelek dan
penyakit-penyakit periodontal bisa menyebabkan kolonisasi bakteri patogen orofaring yang
akan menyebabkan infeksi saluran napas sampai dengan abses paru. Setiap infeksi paru akut
harus segera diobati sebaik mungkin terutama bila sebelumnya diduga ada faktor yang
memudahkan terjadinya aspirasi seperti pada pasien manula yang dirawat di rumah, batuk yang
disertai muntah, adanya benda asing, kesadaran yang menurun dan pasien yang memakai
ventilasi mekanik. Menghindari pemakaian anestesi umum pada tonsilektomi, pencabutan
abses gigi dan operasi sinus para nasal akan menurunkan insiden abses paru.8

16
BAB II
KESIMPULAN

1. Abses paru adalah kumpulan pus dalam paru sebagai akibat terjadinya proses infeksi oleh
mikroorganisme sehingga terbentuk kavitas dan dapat ditemukan gambaran air fluid level pada
gambaran radiologis.
2. Penyebab abses paru yang utama adalah masuknya materi dari rongga mulut yang mengandung
sejumlah besar bakteri akan berperan dalam pembentukan abses paru terutama bila jumlah
bakteri meningkat akibat kebersihan gigi yang buruk atau penyakit gusi.
3. Penyebab abses paru adalah bakteri piogenik terutama anaerob, Mycobacterium spp, jamur,
parasit dan keganasan baik primer atau metastasis di paru.
4. Penegakkan diagnosis abses paru umumnya berdasarkan gejala klinis, foto toraks yang
memperlihatkan gambaran air fluid level, leukositosis dan temuan mikrobiologi.
5. Pemberian antibiotik adekuat telah menurunkan insidens dan mortalitas abses paru.
6. Intervensi bedah hanya diindikasikan pada kegagalan terapi medis,timbulnya berbagai
komplikasi dan keadaan mengancam nyawa
7. Pemberian terapi yang adekuat dan cepat dapat mengurangi risiko komplikasi dan memperbaiki
prognosis.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Fishman JA. Aspiration, empyema, lung abscess and anaerobic infections. In: Fishman AP,
Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Pack AI, Senior RM, editors. Fishman’s pulmonary diseases
and disorders. 4th edition. New York: McGrawHill Companies;2008. p.2141-60
2. Kamnagar,Nader. Lung Abscess. Updated on [July 11, 2018] cited on Okt 20, 2018. Available
at URL: https://emedicine.medscape.com/article/299425-overview
3. Kuhadja, Ivan, dkk. Lung abscess-etiology, diagnostic and treatment options. Update on (2015
Aug; 3(13): 183) cited on Okt 20, 2018. Available URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4543327/
4. Kumar R, Cotran S, Robbind L. Buku Ajar Patologi. Vol.2. Edisi 7. Jakarta:EGC; 2007. hal.
556
5. Loukeri, Angeliki MD,dkk . Diagnosis, treatment and prognosis of lung abscess. Update on
(Number 1, Vol. 28, January - March 2015) cited on Okt 20, 2018. Available at URL:
https://www.pneumon.org/assets/files/789/file597_123.pdf
6. Muller, Nestor. Franquet, Thomas. Soo Lee, Kyung. Imaging of Pulmonolgy Infection, 1st
edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007. Chapter 1
7. Price A,Wilson M. Patofisiologi. Vol. 2. Edisi 6. Jakarta: EGC;2005. hal.737
8. Rasyid A. Abses paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S,
editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
hal.2323-2327.

18

Anda mungkin juga menyukai