Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara Hukum, dimana penegakan hukum

harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang berdasarkan pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum harus

ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana

yang dirumuskan pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

“Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi Ibu pertiwi yang berbentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan
hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (maachtsstaat),
serta pemerintahaannya dijalankan berdasarkan sistem konstitusi dan
bukan berdasarkan kekuasaan yang tidak terbatas”1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1

ayat (3) menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Ini berarti

bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum.


Hukum adalah kekuasaan yang mengatur dan memaksa. Hukum

terdapat di seluruh dunia. Hukum menurut isinya di bagi menjadi dua bagian,

yaitu :
1. Hukum privat (hukum sipil), yaitu yang mengatur
hubungan yang satu dengan orang yang lain dengan menitik
beratkan pada kepentingan orang-perorangan.
2. Hukum public (Negara), yaitu hukum yang mengatur
hubungan Negara dengan alat-alat perlengkapanya atau hubungan
antara Negara dengan perseorangan (warga Negara). Hukum publik
itu sendiri terdiri dari Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi
Negara, Hukum Pidana dan Hukum Internasional.²

1Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pasal 1 ayat 3


2

Tujuan dari hukum itu diantaranya untuk mencapai kepastian dan

keadilan hukum. Untuk menjamin tercapainya dua hal tersebut, perlu adanya

peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis yang berasaskan

keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang maha Esa, manfaat,

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan. untuk itu

Indonesia memperbaharui peraturan yang ada yakni dengan memberlakukan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, setiap pelaku

penyalahgunaan Narkotika dapat dikenakan sanksi pidana, yang berarti

penyalahgunaan Narkotika dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana

Narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah

mengatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang dapat dikenakan

pidana beserta denda yang harus ditanggung oleh penyalahguna narkotika.


Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun

semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan. 2
Salah satu jenis kejahatan yang cukup menyita perhatian masyarakat

maupun penegak hukum adalaha Tindak Pidana Narkotika³. Narkotiaka semula

ditujukan untuk kepentingan pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi obat-obatan maka jenis-jenis

narkotika dapat diolah sedemikian banyak seperti yang terdapat saat ini serta

2 Kancil, CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Putaka. 1989
Hal 25
3

dapat juga disalahgunakan fungsinya yang bukan lagi untuk kepentingan

dibidang pengobatan, bahkan sudah mengancam kelangsungan eksistensi

kehidupan gerasi suatu bangsa. Hampir setiap hari berita mengenai peredaran

narkotika muncul di berbagai media, baik di media massa, Koran, televisi,

majalah, radio, maupun internet. Masalah narkotika saat ini telah memasuki

kehidupan semua warga negara, mulai dari orang dewasa hingga anak-anak,

dari kalangan bawah sampai pejabat, bahkan kalangan politisi dan penegak

hukum juga tidak bersih dari peredaran narkotika sehingga upaya

pemberantasan tidak cukup hanya ditangani oleh pemerintah dan aparat

penegak hukum saja melainkan perlu melibatkan seluruh lapisan masyarakat

untuk berperan dan berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan

terhadap peredaran narkotika.


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah

memberi perlakuan yang berbeda bagi pelaku penyalahgunaan narkotika.

Penyalahgunaan narkotika disatu sisi merupakan pelaku tindak pidana namun

disisi lain merupakan korban. Penyalahgunaan narkotika menururut Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 merupakan pelaku tindak pidana yaitu adanya

ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika yang mengatur mengenai

pidana penjara yang diberikan pada pelaku penyalahgunaan narkotika, namun

disisisi lain menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 penyalahguna

narkotika terbut merupakan korban yaitu dengan adanya ketentuan Pasal 54

bahwa terhadap pecandu narkotika dapat dijatuhi vonis rehabilitasi sosial dan

rehabilitasi medis.
4

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah

melakukaan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan

hukum, sehingga meskipun perbuatan memenuhi rumusan delik dalam undang-

undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat

untuk penjatuhan pidana. Pemidanaan masih memerlukan adanya syarat bahwa

orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.

Asasnya adalah tiada pidana tampa kesalahan. Peran unsur kesalahan sebagai

syarat untuk penjatuhan pidana terlihat dengan adanya asas mens rea yaitu

subjektif guilt yang melekat pada si pembuat, subjektif guilt ini merupakan

kesengajaan atau kealpaan yang melekat pada si pembuat.


Penanganan kasus terpidana narkoba dikalangan pengguna selama ini

diproses sebagai tindak pidana, hal itu membuat vonis yang dijatuhkan hakim

kepada korban pengguna narkoba menempatkan terpidana diruang tahanan

Negara atau penjara. Hal ini tentu saja bertentangan dengan teori viktimologi,

bahwa sebenarnya pengguna narkoba merupakan korban dari rantai sindikat

atau mata rantai peredaran narkoba yang sulit melepaskan diri dari

ketergantungan.
Menempatkan korban pengguna narkoba dilembaga pemasyarakatan

(lapas) atau rumah tahanan (rutan) Negara justru tidak membuat korban

sembuh atau jera, sebaliknya banyak rutan dan lapas menjadi pasar baru

peredaran narkoba ,bahkan banyak media maupun surat kabar yang

memeberitakan banyaknya terpidana yang mati diruang tahanan akibat

everdosis.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB) sendiri, Kepala Badan Narkotika

Nasional (BNN) Kota Mataram Nur Rachmat menyebutkan, jumlah


5

penyalahguna narkotika, psikotropika dan obat-obatan berbahaya di Nusa

Tenggara Barat hingga tahun 2017 sudah mencapai 63.000 orang atau 1,77

persen dari total penduduk. Ini menandakan bahwa jumlah pelaku atau korban

penyalahgunaan narkotika di Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak sedikit. Ini

sangat berbahaya dan tidak akan menutup kemungkinan jika kejahatan

narkotika terus meningkat maka akan memperhambat proses perkembangan

dan kemajuan Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya maupun hingga

bangsa Indonesia umumnya.


Di lain hal efektifitas penerapan sanksi pidana juga menjadi masalah

tersendiri, disatu sisi apabila pengguna dikenakan sanksi pidana, maka akan

berimplikasi terhadap kesehatan fisik ataupun mental kejiwaanya, disisi yang

lain walaupun hakim telah menjatuhkan sanksi pidana terhadap pengguna

narkotika, akan tetapi tetap saja masih banyak yang terjadi penyalahgunaan

obat terlarang ini.


Kecanduan terhadap narkotika adalah gangguan dalam otak yang

disebabkan penyalahgunaan narkotika sehingga menyebabkan pengulangan

perilaku yang berlebihan dari orang yang susah berhenti terhadap obat-obatan

walaupun dengan resiko berbahaya bagi tubuhnya. Jika mereka berhenti

mengkonsumsi obat-obatan, maka tubuh dari si pecandu akan menderita secara

fisik dan mereka mau tidak mau harus memenuhi rasa ketagihan tersebut

dengan cara apapun.3


Penyalahgunaan narkoba secara terus menerus atau melebihi takaran

yang telah di tentukan akan mengakibatkan ketergantungan. Kecanduan inilah

yang akan mengakibatkan gangguan fisik dan psikologis, karena terjadinya

3http://justnodrugs.blogspot.com
6

kerusakan pada sistem syaraf pusat dan organ-organ tubuh seperti jantung,

paru-paru, hati dan ginjal.


Berdasarkan latar belakang pemikiran yang telah diuraikan diatas maka

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk

skripsi dengan judul “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku

Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 (Studi BNN, NTB )”.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan sanksi pidana oleh Badan Narkotika

Nasional (BNN) NTB, terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?


2. Apa saja factor-faktor yang memperhambat Badan Narkotika

Nasional (BNN) dalam proses penerepan sanksi pidana terhadap pelaku

penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika ?


C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana serta

penanggulangan Badan Narkotika Nasional terhadap para pelaku yang

menyalahgunakan narkotika di Nusa tenggara barat (NTB).


b. Untuk mengetahui factor-faktor yang memperhambat Badan

Narkotika Nasional dalam upaya penerapan sanksi pidana serta

penanggulangan kejahatan narkotika.


2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat secara akademis
Hasil penelitian ini juga sebagai prasyarat untuk menyelesaikan studi

Strata 1 (S1) di Fakultas Hukum Universitas Mataram.


b. Manfaat secara teoritis
7

Memberikan sumbangsih pemikiran terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan tentang hukum, khususnya di bidang Hukum Pidana.


c. Manfaat praktis
1) Sebagai salah satu acuan bagi penelitian lebih lanjut yang

mengkaji masalah narkotika yang disalahgunakan.


2) Sebagai masukan bagi penegak hukum serta praktisi untuk

melakukan penanggulangan terhadap korban/pelaku penyalahgunaan

narkotika.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah merupakan kajian dalam

hukum pidana, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

yang mana membahas mengenai bagaimana penerapan sanksi pidana serta

factor-faktor yang memperhambat penanggulangan kejahatan narkotika..

Ruang lingkup wilayah penelitian yaitu Badan Narkotika Nasional, Nusa

Tenggara Barat (NTB).


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum Tentang Hukum Pidana


1. Pengertian Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang

menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak

pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap

yang melakukannya.
Adapun pengertian hukum pidana menurut Moeljatno adalah

bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang

mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:4


1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.

Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa :5


“Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut”.
Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya

berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu diharapkan pada

masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar


4Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi cet. Ke 8, PT. Rineka Cipta, Jakarta 2009, Hal.
1

5 Ibid,hal. 59
9

sesamanya. Keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga

keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat. Istilah hukum pidana

dalam bahasa Belanda disebut dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa

Inggris disebut Criminal Law. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus,

maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang

menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Sebagaimana

pengertian didalam ilmu sosial, maka dalam pengertian pidana itupun

beberapa pakar memberikan arti yang berbeda berdasarkan pendapatnya

masing-masing.

Menurut sudarto :

“Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada


seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-
undang (hukum oidana), sengaja dirasakan sebagai nestapa”. 6

Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan

kepada seorang pelanggar ketentuan Undang-undang tidak lain

dimaksudkan agar orang itu menjadi jera. Hukum pidana sengaja

mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang

diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana inilah yang

membedakanya dengan bidang-bidang hukum yang lain.


Inilah sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai

sarana terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada bidang hukum yang

tidak memadai.

Roeslan Saleh mengatakan bahwa :

6 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung. 1981. Hal. 110
10

“Pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa


yang sengaja ditampakan kepada pembuat delik”.7

Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh ini pada dasarnya

hampIr sama dengan pengertian pidana dari Sudarto, bahwa pidana

berwujud suatu nestapa diberikan oleh Negara kepada pelanggar. Reaksi-

reaksi atas teori yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh ini menunjukan

bahwa suatu delik dapat memberikan reaksi atau imbalan apabila

dilanggar, yaitu berupa ancaman hukuman atau pidana.


Van Hammel mengartikan pidana adalah :
Suatu penderitaan yang bersifat khusus yanag telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhakan pidana atas nama
Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi
seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah
melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh Negara.8

Setiap pelanggaran atau kesalahan yang telah dilakukan dan

melawan hukum, maka Negara berdasarkan sistem yang telah di buat dan

menjadi tatanan untuk mengatur ketertiban, berhak memberikan hukuman

atau penderitaan atas perbuatan tersebut demi terciptanya ketertiban dan

kedamaian.
Beberapa pengertian serta ruang lingkup pidana atau straft atau

punishment tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa pidana mengandung

unsur-unsur atau cirri-ciri sebagai berikut :


a. Pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau

nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.


b. Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai

kekuasaan (oleh yang berwenang).

7 Roeslan Saleh, Stelse Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987. hal. 5

8 Tolib Setiady,. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta. Bandung, 2010. hal 19
11

c. Dikenaknan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana

menurut undang-undang.
Sistem hukum di Indonesia, pidana dan perbuatan-perbuatan yang

diancap pidana harus lebih dahulu tercantum dalam undang-undang

pidana. Hal ini sesuai dengan asas yang disebut dengan Nullum delictum

nulla poena sine praevia lege poenali, seperti yang tercantum dalam Pasal

1 ayat (1) KUHP. Dalam hal ini terdapat perbedaan istilah hukuman dan

pidana. Suatu pidana harus berdasarkan undang-undang, yang ada dan

masih diberlakukan sedangkan hukuman lebih luas pengertianya, karena

dalam pengertian hukuman, didalamnya termasuk keseluruhan norma,

baik norma agama, kepatutan, kesopanan, kesusilaan, hingga kebiasaan.


Menurut Lamintang, KUHP dahulu bernama Wetboek va strafrecht

voor Indonesia yang kemudian berdasarkan ketentuan didalam Pasal 6

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 kemudian diubah menjadi Kitab

Undang-undang Hukum Pidana.


KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah

merinci jenis-jenis pemidanaan, sebagaimana telah dirumuskan dalam

Pasal 10 KUHP yaitu :9


a. Pidana pokok :
1) Pidana mati
2) Pidana penjara
3) Pidana kurungan
4) Pidana denda
b. Pidana tambahan :
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman dari putusan hakim

9 Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. hlm. 35
12

Berdasrakan ketentuan diatas, untuk mengetahui lebih jelas

mengenai jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, akan

diuraikan sebagai berikut :


a. Pidan mati

Pidana mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan

oleh pengadilan ataupun tampa pengadilan sebagai bentuk hukuman

terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatanya. Jenis

pidana ini merupakan pidana terberat dan paling banyak mendapatkan

sorotan dan menimbulkan banyak perbedaan pendapat.

Penjatuhan pidana mati, KUHP membatasi atas beberapa

kejahatah-kejahatan tertentu yang berat saja, seperti :

1) Kejahatan terhadap Negara (Pasal 104, 105, pasal 111 Ayat

(3), 124 Ayat (3)) KUHP).


2) Pembunuhan berencana (Pasal 130 Ayat (3), 140 Ayat (3),

Pasal 340 KUHP).


3) Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dalam keadaan

yang memberatkan sebagaimana yang disebut dalam Pasal 363

Ayat (4) dan Pasal 368 Ayat (2) KUHP).


4) Pembajakan dilaut, dipantai, dipesisir dan disungai yang

dilakukan dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 444 KUHP.


b. Pidana penjara
Pidana penjara adalah untuk sepanjang hidup atau sementara

waktu (Pasal 12 KUHP), Lamanya hukuman penjara sementara waktu

berkisaran sedikit-dikitnya antara 1 hari dan 15 tahun berturut-turut

paling lama. Akan tetapi dalam berapa hal lamanya hukuman penjara
13

sementara waktu itu ditetapkan sampai 20 tahun berturut-turut.

maksimum 15 tahun dapat dinaikan menjadi 20 tahun apabila :


1) Kejahatan diancam dengan pidana mati
2) Kejahatan diancam dengan pidana seumur hidup
3) Terjadi perbuatan pidana karena adanya perbarengan,

recidive atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan KUHP


4) Karena keadaan khusus, seperti pasal 347 Ayat (2), Pasal

349 KUHP.
Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh

lebih dari dua puluh tahun. Hal ini hendaknya benar-benar diperhatikan

oleh pihak yang berwenang memutus perkara. Untuk menghindari

kesalahan fatal ini para penegak hukum harus benar-benar

mengindahkan/memperhatikan asas-asas dan peraturan-peraturan dasar

yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan pidana, yaitu batas

maksimal penjatuhan pidana.


c. Pidana kurungan
Pidana ini seperti halnya dengan hukuman penjara, maka

dengan hukuman kurunganpun, terpidana selama menjalani

hukumanya, kehilangan kemerdekaanya. Menurut Pasal 18 KUHP,

lamanya hukuman kurungan berkisaran antara 1 hari sedikit-dikitnya 1

tahun paling lama. Pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana

penjara dan ditempatkan dalam keadaan yang lebih baik, seperti

diuraikan berikut ini :


1) Terpidana penjara dapat diiangkut kemana saja untuk

menjalani hukumanya, sedangkan bagi terpidana yang kurungan

tampa persetujuanya tidak dapat diangkut ketempat lai di luar

daerah tempat yang ia tinggal waktu itu (Pasal 21 KUHP).


14

2) Pekerjaan pidana kurungan lebih ringan dari pada pekerjaan

yang diwajibkan kepada terpidana penjara (Pasal (19) Ayat (2)

KUHP).
3) Orang yang dipidana kurungan boleh memperbaiki

nasibnya dengan biaya sendiri (Pasal 23 KUHP), lembaga yang

diatur dalam Pasal ini terkenal dengan nama pistol.

d. Pidana denda
Pidana denda adalah hukuman yang dijatuhkan dengan

membayar sejumlah denda sebagai akibat dari tindak pidana yang

dilakukan oleh seseorang. Hasil dari pembayaran pidana denda ini

disetor ke khas Negara. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang

telah dijatuhkan pidana denda oleh hakim/pengadilan untuk membayar

sejumlah uang oleh karena telah melakukan perbuatan yang dapat

dipidana. Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa

pelanggaranatau kejahatan ringan. walaupun denda dijatuhkan terhadap

terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela

dibayar atas nama terpidana.


Selanjutnya akan dibahas mengenai pidana tambahan seperti

berikut ini, pidana tambahan terdiri dari :


a. Pencabutan hak-hak tertentu
Pencabuttan hak-hak tertentu adalah pencabutan segala hak

yang dipunyai atau atau diperoleh orang sebagai warga Negara.

Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti


15

hak-hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi

pencabutan hak-hak kehidupan, hak-hak sipil (perdata), dan hak

ketatanegaraan. Menurut Vos, pencabutan hak-hak tertentu itu ialah

suatu pidana dibidang kehormatan, berbeda dengan pidana hilang

kemerdekaan, pencabutan hak-hak tertentu dalam dua hal:


a) Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan

keputusan hakim
b) Tidak berlaku seumur hidup, tetapi dengan jamgka waktu

menurut undang-undang dengan putusan hakim.


Hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak

tertentu apabila di beri wewenang oleh undang-undang yang

diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak

pidana yang diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu

dirumuskan dalam Pasal 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363,

365, 372, 374, 375. Sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim

tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja,

kecuali apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup.


Hak-hak yang dapat dicabut telah diatur dalam Pasal 35

KUHP. Sedangkan berapa lama pencabutan hak-hak tertentu itu

dapat dilakukan oleh hakim, dalam Pasal 38 Ayat (1) KUHP.


b. Perampasan barang-barang tertentu
Biasa disebut dengan pidana kekayaan, seperti halnya dengan

pidana denda. Dalam Pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang

yang dapat dirampas yaitu barang-barang yang berasal/diperoleh dari

hasil kejahatan dan barang-barang yang sengaja digunakan dalam


16

melakukan kejahatan. Barang-barang yang dapat dirampas menurut

ketentuan Pasal 39 Ayat (1) KUHP, antara lain :


a) Benda-benda kepunyaan terpidana yang diperoleh dari

kejahatan, misalnya uang palsu.


b) Benda-benda kepunyaan terpidana yang digunakan

melakukan suatu kejahatan dengan sengaja, misalnya pisau yang

digunakan terpidana untuk membunuh.


Sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, pidana

perampasan barang-barang tertentu bersifat fakultatif, tidak

merupakan keharusan (imperatif), misalnya pada Pasal 250 bis

(pemalsuan mata uang), Pasal 205 (barang dagangan berbahaya)

Pasal 275 (menyimpan bahan atau benda, seperti surat dan

sertifikathutang, surat dagang).


c. Pengumuman putusan hakim
Didalam Pasal 43 KUHP, ditentukan bahwa apabila hakim

memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab

undang-undang ini atau aturan yang lain. Maka harus ditetapkan

pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana.

Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi

ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan

pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas

untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut, misalnya

melalui surat kabar, radio, televise, dan pembebanan biaya

ditanggung terpidana.
Perbedaan antara pidana pokok dengan pidana tambahan

sebagai berikut :
17

1) Pidana pokok dijatuhkan secara berdiri sendiri, sedangkan

pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan

pidana pokok
2) Penjatuhan pidana pokok merupakan keharusan (bersifat

imperatif) sedangkan penjatuhan pidana tambahan bukan

merupakan keharusan (bersifat fakultatif), kecuali dalam hal

pemalsuan uang (Pasal 250 bis KUHP), pemalsuan materai (Pasal

261 Ayat 2 KUHP) dan pemalsuan surat tertentu (Pasal 275

KUHP).
3) Berlakunya pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu

tidak bersamaan dengan eksekusi putusan pidana, tetapi

berdasarkan Pasal 38 Ayat (2) KUHP pencabutan hak mulai

berlaku pada hari putusan hakim mulai dilaksanakan.


2. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi juga

sebagai pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada

umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” dirartikan

sebagai penghukuman10
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seseorang penjahat,

dapat dibesarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu

mengandung konsekuensi positif bagi terpidana, tetapi juga korban, orang

lain dalam masyarakat. Pidana bukan dijatuhkan karena berbuat jahat

tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut

untuk melakukan kejahatan serupa.

110 Ad a mi.. “Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1 : Atelsel Pidana Teori-Teori Pemidanaan dan
Batas Berlakunya Hukum Pidana,” : Raja Grafindo Persada Jakarta , 2002. hal 27
18

Pernyataan diatas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali

bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan pembinaan

bagi pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap

terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat

benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai

berikut :
a. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;
b. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;
c. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.
Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam

mempertahankan norma-norma yang diakui dalam hukum, ini sebabnya

mengapa hukum pidana dianggap sebagai ultimum remedium atau obat

terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabng hukum lainya tidak

mempan hukum pidana baru akan diberlakukan. Dalam sanksi pidana itu

terhadap sesuatu tragis (nestapa yang menyedihkan) sehingga hukum

pidana dikatakan sebagai mengiris dagingnya sendiri atau sebagaipedang

bermata dua. Dalam hukum pidana itu merupakan hukum sanksi belaka

oleh karena itu hukum pidana disebut sebagai accesoir (bergantung)

terhadap cabang hukum lainya.


Berdasarkan pernyataan diatas, maka syarat-ayarat pemidanaan

harus diperhatikan untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang

telah melakukan tindak pidana. Menurut Sudarto syarat-syarat pemidanaan

itu terdiri dari :


a. Perbuatan yang melipiti :
1) Memenuhi rumusan undang-undang
2) bersifat melawan hukum (tidak alasan pembenaran)
3) Kesalahan
b. Orang yang meliputi :
1) Mampu bertanggung jawab
19

2) dolus atau culpa (tidak alasan pemaaf)11


Berikut ini adalah beebrapa teori-teori yang pernah dirumuskan

oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan

dan tujuan dari dijatuhkanya pemidanaan. Pada umumnya teori-teori

pemidanaan terbagi ataas tiga golongan besar, yaitu :12


a. Teori Absolute/teori pembalasan/teori retributive (vergeldins

theorien)
Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan

merupakan pembalasan atas keselahan yang telah dilakukan, jadi

berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri.

Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu

demi kesalahanya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari

kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan

penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalanya (vergelding), pelaku

harus di beri penderitaan. Setiap kejahatan harus diikuti dengan

pidana, tidak boleh tidak, tampa tawar menawar. seseorang mendapat

pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat

apapun yang timbul dengan dijatuhkanya pidana, tidak peduli apakah

masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk

memidana suatu kejahatan.


b. Teori Relatif/teori tujuan
Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan

bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tersebut, tetapi

111 Soedarto, Hukum Pidana Jilid 1A dan 1B, Universitas Jenderal Soedirman, Purworkerto. 1975.
Hlm. 32

112 http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015/05/teori-teori-pemidanaan-dalam-hukum. Di akses


tanggal 24 Januari 2019
20

sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi

masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan

pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang

ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang

dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu,

yakni memperbaiki ketidak puasaan masyarakat sebagai akibat

kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain

dari itu, tujuan dari hukuman untuk mencegah (prefentif) kejahatan.


c. Teori Penggabungan
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas

pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan

kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada

dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolute dan teori

relatif. Gabungan ke dua teori itu mengajaekan bahwa penjatuhan

hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam

masyarakat dan memperbaiki pribadi penjahat.


B. Tinjauan Umum Tindak Pidana
1. Pengertian tindak pidana
Menurut Amir iliyas, tindak pidana merupakan suatu istilah yang

mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum sebagai istilah

yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan cirri tertentu pada

peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang

abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum

pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah
21

dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang

dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat13.


Rumusan tindak pidana tersebut dalam bahasa inggris dikenal

dengan istilah “criminal act”.


Meskipun orang telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang

tapi belum berati bahwa ia mesti dipidana, ia harus mempertanggung

jawabkan atas perbuatan yang telah ia lakukan untuk menentukan

kesalahannya, yang dikenal dengan istilah “criminal responsibility”. 14


Istilah tindak pidana (strafbaar feit) diterjemahkan oleh pakar

hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya

ada yang memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak

pidana, pelanggaran pidana. Perbuatan yang melawan hukum atau

bertentangan dengan tata hukum dan diancam pidana apabila perbuatan

yang dilarang itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung

jawabkan. Istilah-istilah tersebut dikemukakan oleh para ahli, yakni

sebagai berikut :15


a. Simos
Merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu handelin

(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-

undang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan

kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Kemudian beliau membaginya dalam 2 (dua) golongan unsure yaitu :

113 Amir iliyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkan Edication Yogyakarta dan pukap Indonesia,
Yogyakarta, 2012. hlm. 18.

114 Suharo RM, Hukum Pidan Meteriil Unsur-Unsur Objektif Sebgai Dasar Dakwaan Edisi Ke
Dua, Jakarta, Sinar Grafika, 1996. hlm. 28-29

115 M. Sairman, sahadia, Pengertian Tindak Pidan, 2011,: http//id.shvoong.com/writing and-


speaking/2142586-pengertian-tindak-pidana/. Di akses 27 januari 2019.
22

1) Unsur subjektif yang berupa kesalahan (esculd) dan

kemampuan bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar) dari

petindak.
2) Unsur objektif yang berupa tindakan yang

dilarang/diharuskan, akibat keadaan atau masalah tertentu.


b. Wirjono Prodjodikoro
Beliau mengemukakan bahwa tindak pidana adalah

pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang yaitu hukum perdata,

hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh

pembentuk undang-undang.
c. Moeljatno
Menyatakan istiah perbuatan pidana adalah perbuatan yang

oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana,

barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan

perbuatan yang anti sosial.


d. Roeslan Saleh
Menyatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang

oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau

tidak dapat dilakukan.


e. Vos
Merumuskan “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan

(gedraging) manusia yang dilarang oleh undang-undang diancam

pidana.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan kedalam tiga bagian

yaitu :
a. Ada perbuatan (mencocoki rumusan delik)
Artinya perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang. Jika perbuatan yang dilakukan oleh

pelaku tidak memenuhi rumusan undang-undang atau belum diatur


23

dalam suatu undang-undang maka perbuatan tersebut bukanlah

perbuatan yang bisa dikenai ancaman pidana.


b. Melawan hukum
Melawan hukum diartikan sebagai “bertentangan dengan

hukum”, bukan saja terkait dengan hak orang lain (hukum subjektif),

melainkan juga mencakup Hukum Perdata dan Hukum Administrasi

Negara. Sifat melawan hukum dapat dibagi menjadi 4 (empat) jenis,

yaitu :16
1) Sifat melawan hukum umum
Ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang

tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana. Perbuatan

pidaa adalah kelakuan manumur yang termasuk dalam rumusan

delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.


2) Sifat melawan hukum khusus
Ada kalanya kata “bersifat melawan hukum” tercantum

secara tertulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum

merupakan syarat tertu lis untuk dapat dipidana. Sifat melawan

hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik dinamakan

sifat melawan hukum khusus. Juga dinamakan “sifat melawan

hukum facet”.

3) Sifat melawan hukum formal


Istilah ini berarti semua bagaian yang tertulis dari rumusan

delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).
4) Sifat melawan hukum materiil
Sifat melawan hukum materiil berarti melanggar atau

membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh

pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.


116 Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2010. hlm. 57
24

c. Tidak ada alasan pembenar


Meskipun suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku

memenuhi unsur dalam undang-undang dan perbuatan tersebut

melawan hukum, namun jika terdapat “alasan pembenar”, maka

perbuatan terseb ut bukan merupakan “perbuatan pidana”.


3. Pertanggung Jawaban Pidana
Pertanggung jawaban adalah sesuatu yang dipertanggung jawabkan

atas perbuatan yang telah dilakukan, mengatakan pertanggung jawabkan

pidana adalah sesuatu yang dipertanggung jawabkan secara pidana

terdapat seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.17

Untuk adanya pertanggung jawaban pidana harus lebih terdahulu siapa

yang dipertanggung jawabkan. Hal tersebut berarti harus diperhatikan

terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak

pidana. Sebaliknya apakah pertanggung jawaban itu dimintah atau tidak,

ini merupakan persoalan kedua, yang tentunya pada kebijaksanaan pihak

yang berkepentingan untuk memutuskan apakah ini merasa perluh atau

tidak perlu menurut pertanggung jawaban tersebut.


Pasal 45 KUHP disebutkan dalam hal penuntutuan pidana terhadap

orang yang belum dewasa kerena melakukan suatu perbuatan sebelum

umur enam belas tahun, dapat menentukan: memerintahkan supaya yang

bersalah dikembalikan kepada orangtuanya, walinya, pemeliharanya,

tampa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah

diserahkan kepada pemerintah tampa pidana apapun, jika perbuatan

merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal

117 Roeslan Saleh. Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Penerbit Aksara Baru.
Jakarta. 1983. Hal. 75.
25

489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan

540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena

melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, dan

putusannya telah menjadi tetap atau menjatuhkan pidan kepada yang

bersalah.
Masalah pertanggung jawaban ini menyangkut tindak pidana yang

pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk

tindak pidana yang bersangkutan. namun dalam kenyataanya untuk

memastikan siapa pembuat suatu tindak pidana, tidaklah mudah karena

untuk menentukan siapa yang bersalah dalam suatu perkara harus sesuai

dengan proses yang ada dalam sistim peradilan pidana yang ditetapkan.

Dengan demikian, pertanggung jawaban itu selalu ada meskipun belum

pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan, jika pelaksanaan peranan

yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan atau persyaratan

yang diinginkan. Demikian pula halnya dengan masalah terjadinya

perbuatan pidana atau delik, suatu tindakan melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggung jawabkan tindakanya oleh undang-undang yang telah

dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan yang dapat di hukum.


Berdasarkan batasan diatas, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud

dengan pertanggungjawaban adalah keadaan yang dibebankan kepada

seseorang yang untuk menerima atau menanggung akibat atau efek yang

timbul dari tindakan atau perbuatan yang dilakukannya. Suatu perbuatan

yang melanggar atau melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan


26

hukuman, disamping itu perbuatan yang melawan hukum harus ada

seorang pembuat yang bertanggung jawab atas perbuatanya. Pembuat

tindak pidana harus ada unsur kesalahan. Pertanggungjawaban pidana

harus terlebih dahulu memilih unsur yang sebelumnya harus dipenuhi :


a. Suatu perbuatan yang melawan hukum (unsure melawan hukum).
b. Seorang pembuat atau pelaku yang dianggap mampu

bertanggungjawab atas perbuatannya (unsur kesalahan).


Asas legalitas hukum pidana Indonesia menyatakan, bahwa

seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila

perbuatanya tersebut telah sesuai rumusan dalam undang-undang hukum

pidana. Meskipun demikian, orang tersebut belum dapat dijatuhi pidana

karena masih harus dibuktikan kesalahannya apakah dapat

dipertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Dengan demikian,

seseorang dijatuhi pidana harus terlebih dahulu memenuhi unsure-unsur

pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana.


Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah merupakan

suatu kemampuan untuk bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan

akibat melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh

undang-undang dan tidak di benarkan oleh masyarakat atau tidak dipatut

menurut pandangan masyarakat. Melihat pengertian diatas, maka dapat

disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana

adalah suatu penderitaan atau siksaan yang harus di terima dan dipikul

oleh seseorang akibat dari tindakan kejahatan, kesalahan dan pelanggaran

yang dilakukan, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam peraturan-

peraturan, perundang-undangan dan hukum pidana yang mengaturnya.


27

Selain itu, yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah

keadaan yang dibebankan kepada seseorang untuk menanggung akibat-

akibat atau efek yang dari tindakan atau perbuatan pidana yang telah

dilakukan.
C. Tinjauan Umum Tentang Narkotika
1. `Pengertian Narkotika

Istilah narkotika bukan lagi istilah asing dalam masyarakat karena

begitu banyak media yang memberitakan tentang kasus Narkotika tiap

harinya, baik itu media cetak maupun media elektronik yang

memeberitakan tentang penggunaan narkotika, bahkan akibat dari

penggunaan obat-obat terlarang itu banyak korban dari berbagai macam

kalangan dan usia berjatuhan dengan berbagaimacam bentuk penderitaan

yang didapat.

Naerkotika secara etimologis berasal dari bahasa inggris narcose

atau narcosis berarti menidurkan dan pembiusan. Kata narkotika berasal

dari bahasa Yunani yaitu narke yang berararti terbius sehingga tidak

merasakan apa-apa.18 Dari istilah farmakologi yang digunakan adalah kata

drug yaitu jenis zat yang bila dipergunakan akan membawa efek dan

pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai seperti pengaruh

kesadaran dan memberikan ketenangan, merangsang, dan menimbulkan

halusinasi.19

118 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan
Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkotika, Mandar Maju, Bandung, 2003. hlm. 35

119 Soedjono, D, Narkotika dan Remaja, Alumni Bandung, 1997. hlm . 3.


28

Pengertian narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, bahwa yang

dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan. Narkotika yang terkenalk di Indonesia sekarang ini

berasal dari kata “Narkoties”, yang sama artinya dengan kata narcosis

yang berarti membius. Dulu dikenal di Indonesia disebut dengan madat.

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika, mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi

norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang

diperberatkan. Cakupan yang lebih luas tersebut selain didasarkan pada

faktor diatas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa

nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai

sarana yang efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahguaan dan

peredaran gelap narkotika.

2. Penggolongan Narkotika

Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

membagi narkotika menjadi 3 golongan sesuai dengan Pasal 6 ayat(1):

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam


29

terapi, serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan

ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat

pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan

dalam terapi dan /atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.


c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat sebagai

pengobatan dan banyak digunakan dala terapi dan/ atau tujuan untuk

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

mengakibatkan ketergantungan.

Menurut Wresnoworo, narkotika menurut cara dan proses

pengolahanya dapat dibagi menjadi kedalam 3 golongan, yaitu:20

a. Narkotika alam adalah narkotika yang berasal dari hasil olahan

tanaman yang dapat di kelompakan dari 3 jenis tanaman, masin-

masing :
1) Opium atau candu, yaitu hasil olahan getah dari buah

tanaman papaver somniferum. Yang termasuk dalam kelompok ini

adalah opium mentah, opium masak dan morfin. Jenis opium ini

berasal dari luar negeri yang diselundupkan ke Indonesia, karena

jenis tanaman ini tidak terdapat di Indonesia.


2) Kokain, yang berasal dari olahan tanaman koka yang

banyak terdapat dan diolah secara gelap di Amerika bagian selatan

seperti Peru, Bolivia, Kolombia.

220 Wresniworo, Narkotika, Psikotropika dan Obat Berbahaya, yayasan Mitra Bintibmas Bina
Dharma Pemuda, Jakarta. 2001. hal. 10.
30

3) Canabis sativa atau marijuana atau yang bisa disebut juga

ganja termasuk hashish oil (minyak ganja). Tanaman ganja ini

banya ditanam secara illegal di daerah khatulistiwa khususnya

Indonesia terdapat di Aceh.


b. Narkotika semi sintesis

Narkotika semi sintesis adalah narkotika yang dibuat dari

alkaloida opium dengan inti penathren dan diproses secara kimiawi

untuk menjadi bahan obat yang berkhasiat sebagai narkotika. Contoh

yang terkenal dan sering disalahgunakanadalah heroin dan codein.

Narkotika sintesis, narkotika golongan ini diperoleh melalui

kimia dengan menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh

suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika seperti pethidine,

metadon, dan megadon.

3. Tindak Pidana Narkotika


Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab X Pasal 111 sampai

dengan Pasal 148 dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang

merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas

dalam Undang-undang Narkotika, bahwa tindak pidana yang diatur

didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disaksikan lagi

bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupaak

kejahatan. Alasannya, karena Narkotika hanya untuk pengobatan dan

kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar

kepentingan-kepentingan tersebut merupakan kejahatan mengingat


31

besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak

sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia. 20


Menurut Dr. Graham Bline, penyalahgunaan narkotika dapat

terjadi karena beberapa alasan, yaitu:21


a. Faktor Intern (dari dalam dirinya)
1) sebagai proses untuk menentang suatu otoritas terhadap

orang tua, guru, hukum atau instansi yang berweng.


2) mempermudah penyaluran dan pembuatan seksual.
3) Menimbulkan keberanian dalam melakukan tindakan-

tindakan yang berbahaya dan penuh resiko.


4) Berusaha mendapatkan atau mencari arti dari pada hidup.
5) Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memeperoleh

pengalaman sensasional dan emosional.


6) Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena

disebabkan kurang kesibukan.


7) Mengikuti kemauan teman dan untuk memupuk rasa

solidaritas dan setia kawan.


8) Dorongan rasa ingin tau dan karena iseng-isengan.
b. Faktor ekstern
1) Adanya usaha-usaha subversi untuk menyeret generasi mudah

kelembah siksa narkotika.


2) Adanya situasi yang diharmoniskan (brokenhome) dalam

kelurga, tidak ada rasa kasih sayang (emosional), renggangnya

hubungan antara Ayah dan Ibu, orang tua dan anak serta antara anak-

anaknya sendiri.
3) Karena politik yang ingin mendiskreditkan lawan politiknya

dengan menjerumuskan generasi mudah atau remaja.


4) Penyalahgunaan Narkotika merupakan wabah yang harus

mendapatkan penanggulangan yang serius dan menyeluruh.

220 Supramono, G. Huku Narkotika Indonesi. Djambatan, Jakarta. .2001. hal 22

221 AW Widjaja, Masalah Kenakalan Remaja Dan Penyalaan Narkotika, Bandung. Armico 1985,
hlm 73.
32

Penanggulangan dan pencegahan harus dilakukan dengan prioritas

yang tinggi serta terpadu.


Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat dilakukan

dengan cara preventif, moralistic, abolisionistik dan juga kerja sama

internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya usaha sebelum

terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam keluarga, orang tua,

sekolah, atau guru dengan memberikan edukasi pendidikan tentang

baahaya narkotika. Selain itu bisa dengan cara mengobati korban,

mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan dan melakukan

pengawasan terhadap eks pecandu narkotika.


Kebijakan kriminalisasi dalam hal perbuatan-perbuatan yang

dinyatakan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika adalah sebagai berikut :22


a. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,
memiliki, menyimpan, atau menguasai Narkotika (dalam bentuk
tanaman atau bukan tanaman) diatur dalam (Pasal 111 sampai
dengan Pasal 112);
b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika golongan I (Pasal 113);
c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika golongan I (114);
d. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika golongan I (Pasal 115);
e. Setiap orang yang tampa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika golongan I terhadap orang lain atau
memberikan Narkotika golongan I untuk digunakan orang lain
(Pasal 116);
f. Tampa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai atau menyediakan Narkotika golongan II (Pasal 117);
g. Tampa hak atau melawan hukum memproduksi Narkotika,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika golongan
II (118);

222 Hari Sasangka, op. cit., hlm 50


33

h. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,


menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
narkotika golongan II (Pasal 119);
i. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika golongan II (Pasal 120);
j. Setiap orang yang tampa hak melawan hukum
menggunakan Narkotika golongan II terhadap orang lain atau
memberikan Narkotika golongan II untuk digunakan orang lain
(Pasal 121);
k. Setiap orang yang tampa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
golongan III (pasal 122);
l. Setiap orang yang tampa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika golongan III (123);
m. Setiap orang yang tampa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika dalam golongan III (Pasal 124);
n. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentrasito
Narkotika golongan III (Pasal 125);
o. Setiap orang yang tampa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika golongan III terhadap orang lain atau
memberikan Narkotika golongan III untuk digunakan orang lain
(Pasal 126);
p. Setiap penyalahguna: (Pasal 127 Ayat (1))
1) Narkotika golongan I bagi diri sendiri
2) Narkotika golongan II bagi diri sendiri
3) Narkotika golongan III bagi diri sendiri
q. Pecandu Narkotika yang belum cukup umur (Pasal 55 Ayat
(1)) yang sengaja tidak melapor (Pasal 128);
r. Setiap orang tampa hak melawan hukum : (Pasal 129)
1) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan precursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika;
2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan precursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika;
3) menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan precursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika;
4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito precursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
34

Kebijakan sanksi pidana dan pemidanaannya antara lain disebutkan

sebagai berikut :
a. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (dend, kurungan, penjara,

dalam waktu tertentu/seumur hidup, dan pidan mati), pidan tambahan

(pencabutan izin usaha/pencabutan hak tertentu), dan tindakan

pengusiran (bagi warga Negara asing).


b. Jumlah lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp 10.000.000,00

(sepulih miliar rupiah) untuk tindak pidana Narkotika, untuk pidan

penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan seumur hidup.


c. Sanksi pidan pada umumnya (kebanyakan) diancamkan kumulatif

(terutama penjara dan denda);


d. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana minimal khusus

(penjara maupun denda);


e. Ada pemberantasan pidana terhadap tindak pidana yang dietahui

dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisai, dilakukan

oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup

umur, dan apabila ada pengulangan (recidive).


Kebijakan kriminalisasi dari Undang-undang Narkotika tampaknya

tidak terlepas dari tujuan dibuatnya Undang-undang itu, terutama tujuan :


a. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan

narkotika/psikotropika, dan;
b. Memberantas peredaran gelap narkotika/psikotropika.
Oleh karena itu, semua perumusan delik dalam Undsang-Undang

narkoba terfokus pada penyalahgunaan, dan peredaran narkobanya (mulai

dari penanaman, produksi, penyaluran, lalulintas, pengedaran sampai

kepemakaiannya, tremasuk pemakaian pribadi, bukan oada kekayaan


35

(property/assets) yang diperoleh dari tindak pidana “narkobanya”nya itu

sendiri.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian
Pada penelitian penulisan skripsi ini, jenis penelitian yang digunakan

adalah empiris, yang merupakan penelitian yang bertumpu pada penelusuran

bahan kepustakaan serta norma-norma hukum yang berlaku dan melakukan

penelitian atau studi dokumen langsung kelapangan sehingga mendapatkan

suatu jawaban yang sistematis dan runtut sesuai dengan pokok permasalahan

yang diteliti.
B. Metode pendekatan
Pada sebuah metode penelitian, metode pendekatan mempunyai

peranan yang sangat penting karena dapat dipergunakan sebagai pedoman

guna untuk mempermudah dalam mencari, mempelajari, menganalisis dan

memahami permasalahan yang sedang diteliti, maka metode pendekatan yang

digunakan adalah :
1) Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) yaitu pendekatan

yang dilakukan dengan melakukan kajian bahan kepustakaan yang sesuai

dengan pokok permasalahan yang diangkat yaitu Penerapan Sanksi Pidana

Terhadap Pelaku penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi BNN, NTB).


2) Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) yaitu

pendekatan yang mengkaji tentang asas-asas hukum, norma-norma hukum

dan peraturan perundang-undangan.


36

3) Pendekatan Kasus (Case Approach) yaitu pendekatan yang

mengkaji masalah-masalah atau perkara-perkara yang terjadi didalam

masyarakat yang menjadi fokus penelitian.


4) Pendekatan Sosiologis yaitu pendekatan yang mengkaji mengenai

proses terjadinya dan proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat.


C. Sumber dan Jenis Data
1. Sumber Data
Dalam penelitian ini, data-data yang dibutuhkan adalah data yang

bersumber dari:
a. Data Lapangan, yaitu data yang dikumpulkan dengan bentuk

wawancara terstruktur
b. Data Kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur

dan peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana

yang terjadi.
2. Jenis Data
Ada beberapa jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini,

yaitu :
a. Data Primer, yaitu berupa data yang dikumpulkan melalui

penelitian lapangan.
b. Data sekunder, yaitu merupakan data yang diperoleh melalui

penelitian kepustakaan, yang terdiri dari :


1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat,

seperti Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan

tindak pidana yang terjadi, yaitu:


(1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
(2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti

pandangan/pendapat (doktrin), buku, jurnal-jurnal ilmiah dan

jurnal hukum.
37

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti kamus (hukum) ensiklopedia

Indonesia.
D. Teknik/Cara Memperoleh Data
1. Data lapangan dikumpulkan dengan cara wawancara terstruktur

dengan pelaku/korban atau pecandu narkotika sebagai responden dan

dengan pihak-pihak yang berkaitan sebagai Informan.


2. Data kepustakaan dengan studi dokumen, yaitu pengumpulan bahan

hukum yang dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku, literatur-

literatur, Perundang-Undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti.
E. Analisis Data
Sebagai tindak lanjut dari sumber data yang telah terkumpul tersebut

akan di analisis :
1. Analisis Deskriptif, yaitu menguraikan tulisan berdasarkan

keterangan-keterangan dari suatu keadaan-keadaan atau peristiwa-

peristiwa yang merupakan objek pembahasan dan menyusunnya dalam

suatu susunan yang teratur (sistematis).


2. Analisis Sistematis, yaitu upaya mencari kaitan rumusan masalah

suatu konsep hukum atau proporsi hukum antara peraturan perundang-

undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.


38

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Ad a mi. 2002. “Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1 : Atelsel Pidana Teori-Teori


Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana,” : Raja Grafindo
Persada Jakarta

Amir iliyas, 2012. Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkan Edication Yogyakarta dan
pukap Indonesia, Yogyakarta

AW Widjaja, 1985. Masalah Kenakalan Remaja Dan Penyalaan Narkotika,


Bandung. Armico

Hari Sasangka, 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk
Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkotika, Mandar
Maju, Bandung

Kancil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Putaka. Jakarta

Lamintang, P.A.F, 2010. Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

Made Widnyana, 2010. Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta

Moeljatno, 2009. Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi cet. Ke 8, PT. Rineka
Cipta, Jakarta

Roeslan Saleh, 1987. Stelse Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta


39

________. 1983. Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Penerbit


Aksara Baru. Jakarta.

Soedarto, 1975. Hukum Pidana Jilid 1A dan 1B, Universitas Jenderal Soedirman,
Purworkerto.

Soedjono, D, 1997. Narkotika dan Remaja, Alumni Bandung,

Sudarto, 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung.

Suharo RM, 1996. Hukum Pidan Meteriil Unsur-Unsur Objektif Sebgai Dasar
Dakwaan Edisi Ke Dua, Sinar Grafika , Jakarta

Supramono, G. 2001. Huku Narkotika Indonesi. Djambatan, Jakarta.

Tolib Setiady, 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta.


Bandung,

Wresniworo, 2001. Narkotika, Psikotropika dan Obat Berbahaya, yayasan Mitra


Bintibmas Bina Dharma Pemuda, Jakarta

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pasal 1 ayat 3

C. INTERNET

http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015/05/teori-teori-pemidanaan-dalam-
hukum. Di akses tanggal 24 Januari 2019

M. Sairman, sahadia, Pengertian Tindak Pidan, 2011,:


http//id.shvoong.com/writing and-speaking/2142586-pengertian-tindak-
pidana/. Di akses 27 januari 2019
40

USULAN PENELITIAN

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENYALAHGUNAAN


NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35
TAHUN 2009 (Studi BNN, NTB )”

Oleh:

Mu’amar Adfal
61511A0049
41

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
MATARAM
2018
LEMBAR PENGESAHAN

PROPOSAL

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG


MELAKUKAN TINDAKAN PEMBUNUHAN
DI BAWAH UMUR 12 TAHUN

OLEH

Mu’amar Adfal
61511A0049
42

Menyetujui;
Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH Joko Jumadi, SH., MH


NIP. 19800411 200501 1 00 NIP. 19560705 198403 2 001

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING................................................ ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A..............................................................................Latar Belakang
........................................................................................................1
B.........................................................................Rumusan Masalah
........................................................................................................6
C......................................................Tujuan dan Manfaat Penelitian
........................................................................................................7
D.............................................................Ruang Lingkup Penelitian
........................................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 9
A.......................................Tinjauan umum Tentang Hukum Pidana
........................................................................................................9
1........................................................Pengertian Hukum Pidana
..................................................................................................1
2............................................................Pengertian Pemidanaan
................................................................................................19
B.....................................................Tinjauan Umum Tindak Pidana
......................................................................................................23
1..........................................................Pengertian tindak pidana
................................................................................................23
43

2.....................................................Unsur-Unsur Tindak Pidana


................................................................................................25
3...................................................Pertanggung Jawaban Pidana
................................................................................................27
C..............................................Tinjauan Umum Tentang Narkotika
......................................................................................................30
1................................................................Pengertian Narkotika
................................................................................................30
2..........................................................Penggolongan Narkotika
................................................................................................32
3..........................................................Tindak Pidana Narkotika
................................................................................................34
BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 39
A..............................................................................Jenis penelitian
......................................................................................................39
B........................................................................Metode pendekatan
......................................................................................................39
C..................................................................Sumber dan Jenis Data
......................................................................................................40
D.....................................................Teknik/Cara Memperoleh Data
......................................................................................................41
E..................................................................................Analisis Data
......................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai