Anda di halaman 1dari 30

MINI RISET

PENGARUH BERCAKAP-CAKAP TERHADAP TINGKAT HALUSINASI


DI RUANG RIPD RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO PROVINSI JAWA
TENGAH

Disusun Oleh :

ANGGA MAHARGIA Y.F (G3A018071)

RIZKA AYU NUR A’ISYAH (G3A018072)

TUTUT RESA AMALIA (G3A018073)

EVA AYU AMALIYA (G3A018074)

NUR HOLILAH (G3A018075)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
PERIODE GENAP 2018-2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya, sehingga saya dapat menyelesaikan mini riset dengan
judul “Pengaruh Bercakap-cakap terhadap pasien Halusinasi”. Yang ditempuh
sebagai salah satu tugas praktik klinik di RSJD. Dr. Amino Gondohutomo Ruang
RIPD Keperawatan Stase Jiwa pada Program Pendidikan Profesi Ners Fakultas
Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang.
Dengan terselesainya makalah ini, maka kami mengucapkan banyak terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang sudah membantu sehingga
tugas telaah jurnal ini terselesaikan, terutama pada pembimbing Stase Jiwa.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan telaah jurnal ini masih banyak
kekurangan. Maka dari itu, demi kesempurnaan telaah jurnal ini saya
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak.
Semoga makalah telaah jurnal ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Semarang, Desember 2018


Penulis

( Kelompok 15 )

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menurut data dari World Health Organization (WHO), masalah
gangguan kesehatan jiwa diseluruh dunia memang sudah menjadi masalah
yang sangat serius. WHO menyatakan, tahun 2001 paling tidak ada satu
dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO
memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami
gangguan kesehatan jiwa (Yosep. 2009).
Menurut data Departemen Kesehatan (2009), jumlah penderita
gangguan jiwa saat ini, mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan kategori
gangguan jiwa ringan 11,6% dan 0,46% menderita gangguan jiwa berat.
Hasil penelitian WHO di Jawa Tengah menyebutkan dari 1000 warga
Jawa Tengah terdapat 3 orang yang mengalami gangguan jiwa. Sementara
19 orang dari 1000 warga Jawa Tengah mengalami stress. Pada penderita
gangguan jiwa, hanya 30% sampai 40% pasien gangguan jiwa bisa
sembuh total, 30% harus berobat jalan dan 30% lainnya harus menjalani
perawatan. Dibanding ratio dunia yang hanya satu permil, masyarakat
Indonesia yang telah mengalami gangguan kejiwaan ringan sampai berat
telah mencapai 18,5 % (Depkes RI, 2009). Salah satu gangguan jiwa yang
berat adalah Skizofrenia. Schizofrenia adalah diagnosis psikiatri yang
menggambarkan gangguan mental yang ditandai oleh kelainan dalam
persepsi atau ungkapan realitas.
Salah satu gejala umum dari skizofrenia yang banyak di jumpai
adalah halusinasi. Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada
individu yang ditandai dengan perubahan persepsi sensori; merasakan
sensasi palsu berupa suara, sudah dikenal dengan istilah terapi aktifitas
kelompok (TAK) dan secara individu dengan cara face to face (Bahrudin,
2010).

3
Pengontrolan halusinasi dapat dilakukan dengan empat cara yaitu,
bercakap-cakap halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan
aktivitas secara terjadwal, dan mengkonsumsi obat dengan teratur (Keliat
dan Akemat, 2012). Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan
bercakap-cakap sebagai salah satu acuan penelitian. Bercakap-cakap
merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan halusinasi dengan
menolak halusinasi yang muncul.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul pengaruh bercakap-cakap terhadap
penurunan tingkat halusinasi dengar di RSJD Dr.Amino Gondohutomo
Provinsi Jawa Tengah.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, fokus masalah dalam penelitian ini
adalah, “Bagaimana Pengaruh Bercakap-cakap Terhadap Penurunan
Tingkat Halusinasi Diruang RIPD RSJD Dr Amino Gondohutomo
Provinsi Jawa Tengah?”

C. TUJUAN
Tujuan Umum :
Untuk mengidentifikasi pengaruh terapi bercakap-cakap pada pasien
halusinasi.
Tujuan Khusus :
1. Untuk menggambarkan tingkat halusinasi sebelum dan sesudah terapi
bercakap-cakap
2. Untuk menganalisis perbedaan halusinasi sebelum dan sesudah terapi
bercakap-cakap
D. MANFAAT
1. Manfaat Bagi Peneliti
Mengaplikasikan jurnal dan ilmu yang di peroleh selama di bangku
perkuliahan

4
2. Manfaat Bagi Institusi
Hasil penelitian dapat memberikan informasi tentang Pengaruh
Bercakap-cakapTerhadap Penurunan Tingkat Halusinasi

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Gangguan Jiwa


1. Pengertian Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2010) adalah suatu
perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan
pada fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada individu dan
hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Gangguan jiwa atau
mental illenes adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang
karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena
persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya
sendiri-sendiri (Budiman, 2010).
Sedangkan menurut (Maramis, 2010), gangguan jiwa
adalah gangguan alam: cara berpikir (cognitive), kemauan
(volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor). Gangguan
jiwa merupakan kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak
normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan
mental. Keabnormalan tersebut dibagi ke dalam dua golongan
yaitu : gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa).
Keabnormalan terlihat dalam berbagai macam gejala yang
terpenting diantaranya adalah ketegangan (tension), rasa putus asa
dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa
(convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan,
takut, pikiran-pikiran buruk. Gangguan Jiwa menyebabkan
penderitanya tidak sanggup menilai dengan baik kenyataan, tidak
dapat lagi menguasai dirinya untuk mencegah mengganggu orang
lain atau merusak/menyakiti dirinya sendiri (Yosep, 2009).
Gangguan Jiwa sesungguhnya sama dengan gangguan jasmaniah
lainnya, hanya saja gangguan jiwa bersifat lebih kompleks, mulai
dari yang ringan seperti rasa cemas, takut hingga yang tingkat berat

6
berupa sakit jiwa atau lebih kita kenal sebagai gila (Budiman,
2010).
2. Faktor Yang Menyebabkan Gangguan Jiwa
Menurut Stuart & Sundeen (2008) penyebab gangguan jiwa dapat
dibedakan atas :
a. Faktor Biologis/Jasmaniah
1) Keturunan
2) Jasmaniah
3) Temperamen
4) Penyakit dan cedera tubuh
b. Ansietas dan Ketakutan
Kekhawatiran pada sesuatu hal yang tidak jelas dan
perasaan yang tidak menentu akan sesuatu hal menyebabkan
individu merasa terancam, ketakutan hingga terkadang
mempersepsikan dirinya terancam.
c. Faktor Psikologis
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan
keberhasilan yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan
sifatnya. Pemberian kasih sayang orang tua yang dingin, acuh
tak acuh, kaku dan keras akan menimbulkan rasa cemas dan
tekanan serta memiliki kepribadian yang bersifat menolak dan
menentang terhadap lingkungan.
d. Faktor Sosio-Kultural
Beberapa penyebab gangguan jiwa menurut Wahyu (2012)
yaitu :
1) Penyebab primer (primary cause) Kondisi yang secara
langsung menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, atau
kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan jiwa tidak
akan muncul.

7
2) Penyebab yang menyiapkan (predisposing cause)
Menyebabkan seseorang rentan terhadap salah satu bentuk
gangguan jiwa.
3) Penyebab yang pencetus (precipatating cause) Ketegangan-
ketegangan atau kejadian-kejadian traumatik yang langsung
dapat menyebabkan gangguan jiwa atau mencetuskan
gangguan jiwa.
4) Penyebab menguatkan (reinforcing cause) Kondisi yang
cenderung mempertahankan atau mempengaruhi tingkah
laku maladaptif yang terjadi.
5) Multiple cause Serangkaian faktor penyebab yang kompleks
serta saling mempengaruhi. Dalam kenyataannya, suatu
gangguan jiwa jarang disebabkan oleh satu penyebab
tunggal, bukan sebagai hubungan sebab akibat, melainkan
saling mempengaruhi antara satu faktor penyebab dengan
penyebab lainnya.
e. Faktor Presipitasi
Faktor stressor presipitasi mempengaruhi dalam kejiwaan
seseorang. Sebagai faktor stimulus dimana setiap individu
mempersepsikan dirinya melawan tantangan, ancaman, atau
tuntutan untuk koping. Masalah khusus tentang konsep diri
disebabkan oleh setiap situasi dimana individu tidak mampu
menyesuaikan. Lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri
dan komponennya. Lingkungan dan stressor yang dapat
mempengaruhi gambaran diri dan hilangnya bagian badan,
tindakan operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur
dan fungsi tubuh, proses tumbuh kembang, dan prosedur
tindakan serta pengobatan (Stuart & Sundeen, 2009).

8
3. Klasifikasi Gangguan Jiwa
Klasifikasi gangguan jiwadibagi menjadi (Stuart &
Sundeen, 2009) :
a. Gangguan Jiwa Psikotik
Gangguan jiwa psikotik yang meliputi gangguan otak
organik ditandai dengan hilangnya kemampuan menilai realita,
ditandai waham (delusi) dan halusinasi, misalnya skizofrenia
dan demensia.
1) Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai
dengan berbagai tingkat kepribadian diorganisasi yang
mengurangi kemampuan individu untuk bekerja secara
efektif dan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Gejala
klinis skizofrenia sering bingung, depresi, menarik diri atau
cemas.
2) Demansia
Demansia diklasifikasikan sebagai gangguan medis
dan kejiwaan, demensia terkait dengan hilangnya fungsi
otak. Demensia melibatkan masalah progresif dengan
memori, perilaku, belajar, dan komunikasi yang
mengganggu fungsi sehari-hari dan kualitas hidup.
3) Gangguan Jiwa Neurotik
Gangguan kepribadian dan gangguan jiwa yang
lainnya merupakan suatu ekspresi dari ketegangan dan
konflik dalamjiwanya, namun umumnya penderita tidak
menyadari bahwa ada hubungan antara gejala-gejala yang
dirasakan dengan konflik emosinya. Gangguan ini tanpa
ditandai kehilangan intrapsikis atau peristiwa kehidupan
yang menyebabkan kecemasan (ansietas), dengan gejala-
gejala obsesi, fobia, dan kompulsif

9
4) Depresi
Depresi merupakan penyakit jiwa akibat dysphoria
(merasa sedih), tak berdaya, putus asa, mudah tersinggung,
gelisah atau kombinasi dari karakteristik ini. Penderita
depresi sering mengalami kesulitan dengan memori,
konsentrasi, atau mudah terganggu dan juga sering
mengalami delusi atau halusinasi. Ketika seseorang dalam
keadaan depresi ada penurunan signifikan dalam personal
hygiene dan mengganggu kebersihan mulut.

B. Konsep Halusinasi
1. Definisi halusinasi
Perubahan sensori halusinasi adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami perubahan terhadap stimulus yang
datang yang menimbulkan kesan menurunkan, melebih-lebihkan
bahkan mengartikan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan realitas
keadaan yang sebenarnya. Halusinasi yaitu pengalaman panca
indra tanpa ada rangsangan atau stimulus (Hawari, 2006).
Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia
dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat
tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata.
Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak
ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau
pengalaman persepsi yang tidak terjadi dalam realitas. Halusinasi
dapat melibatkan pancaindra dan sensasi tubuh. Halusinasi dapat
mengancam dan menakutkan bagi klien walaupun klien lebih
jarang melaporkan halusinasi sebagai pengalaman yang
menyenangkan (Videbeck, 2008).

10
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana
klien mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau
penghiduan,. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada
(Damaiyanti & Iskandar, 2012).
Dari beberapa pengertian halusinasi diatas dapat
disimpulkan bahwa halusinasi adalah suatu persepsi klien terhadap
stimulus dari luar tanpa adanya obyek yang nyata. Halusinasi dapat
berupa penglihatan yaitu melihat seseorang ataupun sesuatu serta
sebuah kejadian yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, halusinasi
juga dapat berupa pendengaran berupa suara dari orang yang
mungkin dikenal atau tidak dikenal yang meminta klien melakukan
sesuatu baik secara sadar ataupun tidak.
2. Rentang respon neurobiologik
Respon perilaku klien dapat diidentifikasi sepanjang rentang
respon yang berhubungan dengan fungsi neurobiologik. Perilaku
yang dapat diamati dan mungkin menunjukkan adanya halusinasi,
respon yang terjadi dapat berada dalam rentang adaptif sampai
maladaptif yang dapat digambarkan sebagai berikut disajikan
dalam tabel berikut:
Respon adaptif respon maladaptif

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran 1. Waham


2. Persepsi akurat 2. Ilusi 2. Halusinasi
3. Emosi konsisten 3. Menarik diri 3. Sulit berespon
4. Perilaku sesuai 4. Reaksi emosi 4. Perilakudisorganisasi
5. Hubungan sosial 5. Perilaku tidak biasa 5. Isolasi sosial
(Kusumawati, 2010).
Gambar 2.1. Rentang respon neurologi

11
a. Respon adaptif
1) Pikiran logis berupa pendapat atau pertimbangan yang
dapat diterima akal.
2) Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang
tentang suatu peristiwa secara cermat dan tepat sesuai
perhitungan.
3) Emosi konsisten berupa kemantapan perasaan jiwa
sesuai dengan peristiwa yang pernah dialami.
4) Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau sesuatu
yang berkaitan dengan individu tersebut diwujudkan
dalam bentuk gerak atau ucapan yang tidak
bertentangan dengan moral.
5) Hubungan sosial dapat diketahui melalui hubungan
seseorang dengan orang lain dalam pergaulan ditengah-
tengah masyarakat (Stuart, 2007).
b. Respon transisi
1) Distorsi pikiran berupa kegagalan dalam
mengabstrakan dan mengambil kesimpulan.
2) Ilusi merupakan persepsi atau respon yang salah
terhadap stimulus sensori.
3) Menarik diri yaitu perilaku menghindar dari orang lain
baik dalam berkomunikasi ataupun berhubungan sosial
dengan orang-orang disekitarnya.
4) Reaksi Emosi berupa emosi yang diekspresikan dengan
sikap yang tidak sesuai.
5) Perilaku tidak biasa berupa perilaku aneh yang tidak
enak dipandang, membingungkan, kesukaran mengolah
dan tidak kenal orang lain (Stuart, 2007).
c. Respon maladaptif
1) Gangguan pikiran atau waham berupa keyakinan yang
salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak

12
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
realita sosial.
2) Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa
persepsi yang salah terhadap rangsangan.
3) Sulit berespon berupa ketidakmampuan atau
menurunnya kemampuan untuk mengalami
kesenangan, kebahagiaan, keakraban dan kedekatan.
4) Perilaku disorganisasi berupa ketidakselarasan antara
perilaku dan gerakan yang ditimbulkan.
5) Isolasi sosial merupakan suatu keadaan kesepian yang
dialami seseorang karena orang lain menyatakan sikap
yang negatif dan mengancam (Stuart, 2007).
3. Jenis – jenis halusinasi
Jenis – jenis halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Halusinasi pendengaran
Yaitu mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang
jelas ataupun yang jelas, dimana terkadang suara–suara tersebut
seperti mengajak berbicara klien dan kadang memerintahkan
klien untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi pendengaran
Stimulus visual dalam bentuk kilatan atau cahaya, gambar
atau bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa
menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidung
Membau–bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses,
parfum, atau bau yang lainnya. Ini sering terjadi pada
seseorang pasca serangan stroke, kejang, atau demensia.
d. Halusinasi pengecapan
Merasa mengecap seperti darah, urine, feses, atau yang
lainnya.

13
e. Halusinasi perabaan
Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau
ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.
f. Halusinansi cenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau
arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine. g.
Halusinasi kinestetika Merasakan pergerakan sementara berdiri
tanpa bergerak (Kusumawati & Hartono, 2010).
4. Fase–fase terjadinya halusinasi
Terjadinya Halusinasi dimulai dari beberapa fase. Hal ini
dipengaruhi oleh intensitas keparahan dan respon individu dalam
menanggapi adanya rangsangan dari luar. Menurut (Stuart, 2007)
tahapan halusinasi ada empat tahap. Semakin berat tahap yang
diderita klien, maka akan semakin berat klien mengalami ansietas.
Berikut ini merupakan tingkat intensitas halusinasi yang dibagi
dalam empat fase.
a. Fase I : Comforting : Ansietas tingkat sedang, secara umum
halusinasi bersifat menyenangkan.
1) Karakteristik: Orang yang berhalusinasi mengalami
keadaan emosi seperti ansietas, kesepian, merasa bersalah,
dan takut serta mencoba untuk memusatkan pada
penenangan pikiran untuk mengurani ansietas, individu
mengetahui bahwa pikiran dan sensori yang dialaminya
tersebut dapat dikendalikan jika ansietasnya bisa diatasi
(Nonpsikotik).
2) Perilaku klien:
a) Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.
b) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
c) Gerakan mata yang cepat.
d) Respons verbal yang lamban.
e) Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.

14
b. Fase II : Complementing : Ansietas tingkat berat, Secara umum
halusinasi bersifat menjijikan.
1) Karakteristik : Pengalaman sensori yang bersifat menjijikan
dan menakutkan. Orang yang berhalusinasi mulai merasa
kehilangan kendali dan mungkin berusaha untuk
menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan,
individu mungkin merasa malu karena pengalaman
sensorinya dan menarik diri dari orang lain (Nonpsikotik).
2) Perilaku klien
a) Peningkatan syaraf otonom yang menunjukkan ansietas
misalnya, peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan
darah.
b) Penyempitan kemampuan konsentrasi.
c) Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin
kehilangan kemampuan untuk membedakan antara
halusinasi dengan realitas.
c. Fase III : Controling : Ansietas tingkat berat, pengalaman
sensori menjadi penguasa.
1) Karakteristik : Orang yang berhalusinasi menyerah untuk
melawan pengalaman halusinasi dan membiarkan
halusinasi menguasai dirinya. Isi halusinasi dapat berupa
permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika
pengalaman sensori tersebut berakhir (Psikotik).
2) Perilaku klien:
a) Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan
oleh halusinasinya daripada menolaknya.
b) Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
c) Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.
d) Gejala fisik dari ansietas berat, seperti berkeringat,
tremor, ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.

15
d. Fase IV : Conquering panic : Ansietas tingkat panic, Secara
umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling terkait dengan
delusi.
1) Karakteristik: Pengalaman sensori mungkin menakutkan
jika individu tidak mengikuti perintah. Halusinasi bisa
berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada
intervensi terapeutik (Psikotik).
2) Perilaku klien
a) Perilaku menyerang seperti panik.
b) Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh
orang lain.
c) Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti
amuk, agitasi, menarik diri, atau katatonik.
d) Tidak mampu berespons terhadap petunjuk yang
kompleks.
e) Tidak mampu berespons terhadap lebih dari satu orang.
5. Etiologi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi
adalah:
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif
baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-
penelitian yang berikut :
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan
keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan
skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan
limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.

16
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin
neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah
pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal
menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak
manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia
kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi
korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum).
Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh
otopsi (post-mortem).
2) Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah
satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan
dalam rentang hidup klien.
3) Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi
gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial
budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan
yang terisolasi disertai stres.
b. Faktor Prespitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul
gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan,
isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Penilaian individu terhadap stresor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya
gangguan halusinasi adalah:
1) Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik
otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas
pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang

17
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
2) Stres Lingkungan Ambang toleransi terhadap stres yang
berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk menentukan
terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber Koping Perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi diri sendiri dari pengalaman yang menakutkan
berhubungan dengan respon neuro
a) Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi
dan upaya untuk mengurangi ansietas, hanya mempunyai
sedikit energi yang tertinggal untuk aktivitas hidup
sehari-hari.
b) Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan keracunan
persepsi.
c) Menarik diri.
6. Manifestasi klinis
Menurut (Kusumawati, 2010), tanda dan gejala halusinasi yang
mungkin muncul yaitu: Menarik diri, Tersenyum sendiri, Duduk
terpaku, Bicara sendiri, Memandang satu arah, Menyerang, Tiba-
tiba marah, Gelisah. Berdasarkan jenis dan karakteristik halusinasi
tanda dan gejalanya sesuai. Berikut ini merupakan beberapa jenis
halusinasi dan karakteristiknya menurut (Stuart, 2007) meliputi :
a. Halusinasi pendengaran
Karakteristik : Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara
orang. Suara dapat berkisar dari suara yang sederhana sampai
suara orang bicara mengenai klien. Jenis lain termasuk pikiran
yang dapat didengar yaitu pasien mendengar suara orang yang
sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkan oleh klien
dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang kadang-
kadang berbahaya.

18
b. Halusinasi pendengaran
Karakteristik : Stimulus penglihatan dalam kilatan cahaya,
gambar geometris, gambar karton atau panorama yang luas dan
kompleks. Penglihatan dapat berupa sesuatu yang
menyenangkan atau sesuatu yang menakutkan seperti monster.
c. Halusinasi penciuman
Karakteristik : Membau bau-bau seperti darah, urine, feses
umumnya bau-bau yang tidak menyenangkan. Halusinasi
penciuman biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang
dan demensia.
d. Halusinasi pengecapan
Karakteristik : Merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikan seperti darah, urine, atau feses.
e. Halusinasi perabaan
Karakteristik : Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa
stimulus yang jelas, rasa tersetrum listrik yang datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
f. Halusinasi senestetik
Karakteristik : Merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena dan arteri, makanan dicerna, atau pembentukan
urine.
g. Halusinasi kinestetik
Karakteristik : Merasa pergerakan sementara bergerak tanpa
berdiri.

19
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kualitatif dengan
pendekatan grauded theory yaitu penelitian dengan secara khusus
memakai metode guna mendapatkan jawaban/informasi secara mendalam
guna mengembangkan teori yang ada. Hal ini diperlukan untuk
menggambarkan pengaruh bercakap-cakap terhadap halusinasi.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara secara langsung
dengan klien mulai dari pengkajian, menganalisis hasil pengkajian yang
telah dilakukan, merencanakan tindakan yang akan diberikan kepada klien,
melakukan rencana yang sudah dibuat, serta mengevaluasi tindakan yang
di lakukan guna memperoleh informasi/keterangan secara lisan dari
seseorang sasaran penelitian (responden/pasien), atau bercakap-cakap
berhadapan muka dengan keluarga pasien (Notoatmodjo, 2010). Teknik
penelitian yang dipergunakan berupa wawancara mendalam (Indepth
Interview).

B. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau
subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan (Sugiyono, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah
pasien yang ada di ruang RIPD RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Provinsi Jawa Tengah sejumlah 4 orang .
2. Sampel
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi (Notoatmodjo, 2010). Metode pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah total sampling. Metode total sampling yaitu

20
pengambilan sampel penelitian dari keseluruhan total populasi yang
ada (Notoatmodjo, 2010). Sampel pada penelitian ini adalah pasien
yang ada di Ruang RIPD RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi
Jawa Tengah yang berjumlah 4 orang.
Penelitian ini menggunakan kriteria sampel sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi ialah karakteristik umum dari subyek peneliti dari
suatu populasi target yang layak untuk diteliti (Setiadi, 2013).
Adapun kriterianya adalah pasien yang berada di RIPD yang
mengalami halusinasi, bersedia menjadi responden dan sudah
kooperatif.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria ekslusi ialah menghilangkan atau mengeluarkan subyek
yang memenuhi kriteria inklusi dan studi karena berbagai sebab
(Setiadi, 2013). Pasien yang tidak setuju menjadi responden dan
keadaannya tidak terkontrol.

C. Definisi Operasional
Menurut Setiadi (2013), definisi operasional ialah penjelasan
semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara
operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam
mengartikan makna penelitian. Menurut Notoatmojo (2010), definisi
operasional adalah memberi pengertian suatu variabel dan
mengambarkan aktivitas yang diperlukan untuk mengukur.

Tabel 3.1
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel Definisi operasional Cara ukur Hasil
Jenis halusinasi Jenis halusinasi yang Wawancara dan Data berupa
terjadi pada pasien observasi catatan dokumentasi hasil
meliputi halusinasi medis pasien wawancara dan
pendengaran, observasi catatan
penglihatan, penciuman, medis pasien.
dan peraba

21
Variabel Definisi operasional Cara ukur Hasil
Isi halusinasi Isi/bentuk halusinasi Wawancara dan Data berupa
yang muncul pada pasien observasi catatan dokumentasi hasil
medis pasien wawancara dan
observasi catatan
medis pasien.
Waktu Waktu dan durasi Wawancara dan Data berupa
halusinasi terjadinya halusinasi observasi catatan dokumentasi hasil
medis pasien wawancara dan
observasi catatan
medis pasien.
Cara Cara yang digunakan Wawancara dan Data berupa
mengontrol pasien untuk mengontrol observasi catatan dokumentasi hasil
halusinasi medis pasien wawancara dan
observasi catatan
medis pasien.
Efektivitas cara Ungkapan pasien untuk Wawancara dan Data berupa
kontrol keberhasilan cara kontrol observasi catatan dokumentasi hasil
halusinasi halusinasi medis pasien wawancara dan
observasi catatan
medis pasien.

D. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang RIPD Rumah Sakit Jiwa Daerah
Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah.

E. Waktu Penelitian
Waktu Penelitian dilakukan pada tanggal 18 Desember – 29
Desember 2018.

F. Etika Penelitian
Etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat
penting dalam penelitian. Hal ini dikarenakan keperawatan merupakan
cabang ilmu yang berhubungan langsung dengan manusia, sehingga segi
etika penelitian harus diperhatikan. Menurut Hidayat (2009), masalah etika
yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti meliputi :
Peneliti membuat surat permohonan sebagai calon responden
penelitian :
1. Tanpa nama (Anonimity)

22
Anonimity adalah tidak memberikan nama responden pada lembar alat
ukur tapi hanya menulis kode pada lembar pengumpulan data.
2. Kerahasiaan (Confidentiality)
Confidentiality adalah menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik
informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang
telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang dilaporkan kepada hasil riset.

G. Alat Pengumpul Data


1. Instrumen Penelitian
Alat ukur yang digunakan untuk menggumpulkan data yaitu
lembar observasi dan catatan medis pasien.

H. Prosedur Pengumpulan Data


Langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan melalui tahap sebagai
berikut:
1. Peneliti mengambil data dari catatan medis pasien
2. Peneliti melakukan pengkajian kepada pasien
3. Peneliti mengobservasi perilaku pasien halusinasi
4. Peneliti melakukan terapi aktivitas bermain untuk mengontrol
halusinasi dengan cara bercakap-cakap.
5. Peneliti melakukan dokumentasi hasil terapi pasien untuk mengontrol
halusinasi dengan cara bercakap-cakap.

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan kepada
lima pasien dengan tujuan umum adalah untuk mengidentifikasi pengaruh
terapi bercakap-cakap pada pasien halusinasi. Peneliti juga memaparkan
karakteristik halusinasi yang muncul dari hasil wawancara yang mendalam
dengan pasien mengenai jenis halusinasi, isi halusinasi, waktu dan cara
mengontrol. Penyajian hasil penelitian akan diuraikan dalam bentuk naratif
sebagai berikut.

1. Gambaran karakteristik responden

Responden dalam penelitian ini sejumlah 4 pasien yang mengalami


halusinasi. Informasi yang diperoleh peneliti melalui wawancara
mendalam dengan pasien dan observasi melalui catatan medis. Hasil
karakteristik responden dapat dilihat dalam tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1
Karakteristik partisipan primer di kabupaten kudus pada bulan juli 2018
(n=5)
Inisial Umur JK Pekerjaan Pendidikan Riwayat Jenis
(tahun) Rawat Inap Halusinasi
Tn.Y 29 thn L Tdk bekerja SMA 2 kali pendengara
n
Tn.H 34 thn L Tdk bekerja SMA 1 kali pendengara
n

Ny. D 46 thn P Tdk bekerja Perguruan 5 kali pendengara


Tinggi n

Tn.L L Menjaga toko SMA 3 kali pendengara


n

24
Hasil penelitian menunjukkan jenis halusinasi yang terjadi pada ke 5
pasien adalah halusinasi pendengaran. Penelitian juga menunjukan
sebagian besar pasien mengalami kekambuhan setelah dibawa pulang
karena tidak rutin kontrol dan tidak rutin minum obat.

2. Hasil analisis data

Berdasarkan analisis data dari hasil wawancara secara mendalam kepada


pasien didapatkan karakteristik dan cara mengontrol halusinasi. Berikut
deskripsi kasus masing-masing pasien yang diperoleh dalam penelitian
ini :
Tabel 4.2
Deskripsi Kasus
No. Inisial Klien Deskripsi Kasus
1 Tn.Y Halusinasi pendengaran
2 Ny. D Halusinasi pendengaran
3 Tn.L Halusinasi pendengaran
4 Tn.h Halusinasi pendengaran

B. Pembahasan
Hasil mini riset ini menggambarkan bahwa dua dari empat pasien
mengalami peningkatan dalam mengontrol halusinasi. dua dari empat
pasien mengaku bahwa setelah bercakap-cakap, halusinasi pendengaran
yang muncul itu hilang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nugroho dan Supriyadi (2013) dengan judul “Pengaruh
Bercakap-cakap terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Dengar pada
Pasien Skizofrenia di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang” dengan
hasil bahwa setelah dilakukan terapi bercakap-cakap responden
mengalami penurunan tingkat halusinasi dengar dengan p value = 0,000.

Pengetahuan klien dalam mengontrol halusinasi merupakan suatu hal yang


paling mendasar dalam proses perubahan dari perilaku klien. Tanpa dasar
pengetahuan yang kuat, maka perilaku klien yang ditampilkan atau dihasilkan

25
tidak akan bertahan lama. Menurut Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa
pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, sehingga dapat
disimpulkan sebelum individu melakukan sesuatu tindakan, individu tersebut
harus mengetahui terlebih dahulu manfaat tindakan tersebut bagi dirinya
melalui proses pemberian informasi atau peningkatan pengetahuan.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh WHO (dalam Notoatmodjo, 2007), yang
menyatakan bahwa strategi merubah perilaku individu dikelompokkan menjadi
tiga antara lain; menggunakan kekuatan atau kekuasaan, pemberian informasi,
dan diskusi partisipasi. Selain itu, pemberian informasi akan meningkatkan
pengetahuan individu itu sendiri.
Selanjutnya, pengetahuan yang didapat melalui informasi akan
menimbulkan kesadaran dan pada akhirnya individu akan berperilaku sesuai
dengan pengetahuan yang didapatnya. Hasil perubahan perilaku itu akan
bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran individu sendiri dan bukan
karena paksaan.
Asuhan keperawatan pada klien halusinasi baik yang generalis maupun
spesialis bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien dalam mengontrol
halusinasinya. Menurut Varcarolis (1990), bahwa kemampuan yang harus
dimiliki klien meliputi 3 aspek yaitu kognitif, psikomotor dan juga afektif.
Kemampuan kognitif meliputi pengetahuan klien dalam hal mengontrol
halusinasinya, sedangkan kemampuan psikomotor merupakan pelaksanaan
cara mengontrol halusinasi dalam keseharian klien. Ketika perawat melakukan
asuhan keperawatan pada klien halusinasi, perawat memberi informasi
terlebih dahulu mengenai halusinasi dan cara mengontrol halusinasi,
kemudian melatih klien untuk mampu mengontrol halusinasinya secara
mandiri.
Pengontrolan halusinasi dapat dilakukan dengan empat cara yaitu,
menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan
aktivitas secara terjadwal dan mengkonsumsi obat dengan teratur (Keliat,

26
2012). Bercakap-cakap merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan
halusinasi dengan mengalihkan fokus perhatian klien. Metode bercakap-
cakap mengajarkan klien untuk mengalihkan fokus perhatian klien sehingga
klien mengabaikan halusinasi yang selama ini mengontrol perilaku klien.

27
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan hasil kesimpulan penelitian dan saran dari peneliti terkait
hasil yang didapatkan akan diuraikan berikut ini :

A. Kesimpulan
1. Karakteristik responden
Jumlah pasien yang menjadi responden ada 4 orang di ruang RIPD
yang mengalami halusinasi pendengaran. Sebagian besar responden
berumur 28 – 53 tahun yang berpendidikan SLTA dan pernah
mengalami gangguan jiwa sebelumnya.
2. Karakteristik halusinasi
Dari 4 responden, semua mengalami halusinasi pendengaran. Pasien
mengaku mendengar suara yang muncul secara tiba-tiba dan
mengganggu pasien.
3. Cara mengontrol halusinasi
Semua pasien dapat menyebutkan salah satu cara mengontrol
halusinasi yaitu dengan cara bercakap-cakap. Dua dari empat pasien
mengaku dapat mengontrol dan memperagakan bercakap-cakap secara
mandiri serta berhasil menghilangkan suara yang muncul.

B. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan kepada pihak-pihak terkait dengan
penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pengalaman
yang nyata dalam melaksanakan penelitian secara ilmiah dalam rangka
mengembangkan diri dalam melaksanakan fungsi perawatan sebagai
perawat peneliti yang dapat digunakan dalam penelitiannya. Bagi
peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti mengenai cara

28
mengontrol halusinasi yang lain yang dapat membantu mengurangi
halusinasi pada pasien gangguan jiwa.
2. Manfaat Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menciptakan generasi penerus
yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam hal penelitian
tentang kontrol halusinasi pada pasien dengan gangguan kejiwaan.
3. Bagi Responden.
Diharapkan pasien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi untuk
lebih teratur dalam mengontrol halusinasi dan memasukkan ke jadwal
kegiatan harian.

29
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, (2010). Stres Tanpa Distres: Seni Mengolah Stres Yogyakarta:


Kanisius.
Bussing A, Foller M A, Gidley J, Heusser P. Aspects of spirituality in
adolescents. Int J Child Spiritual. 2010;15(1):25–44.
Damaiyanti, M., & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT
Refika Aditama.
DEPKES RI. (2010). Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan.
Jakarta : Depkes
Gultom, P., Bidjuni, H., & Kallo, V. (2016). Hubungan Aktivitas Spiritual dengan
Tingkat Depresi di Balai Penyantunan Lanjut Usia Senja Cerah Kota
Manado. E-Journal Keperawatan (e-Kp), 4, 1-7.
Hawari, Dadang. (2006). Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Keliat, B.A, Dkk, (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2, Jakarta :
EGC
Kusumawati F & Hartono, Y, (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Jakarta :
Salemba Medika
Maramis WF. (2010). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Universitas
Airlangga; 20010. p. 215–34.
Stuart, G. W and Sudden, S. J. (2008). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3
Cetakan I. Alih Bahasa: Achir Yani. S. Hamid. Jakarta: EGC
Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. (2013). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: PT Refika
Aditama.

30

Anda mungkin juga menyukai