Anda di halaman 1dari 146

Konsep Berpikir

Dari Sistematika Filsafat hingga Logika Matematika

revisi 1.0 (2013)

Sunkar E. Gautama

Paradoks Softbook
1
Publisher
2
Judul buku : Konsep Berpikir
Dari Sistematika Filsafat hingga Logika
Matematika
Edisi/revisi : 1.0
Penulis : Sunkar E. Gautama
Penyunting : Aldytia G. Sukma
Tahun terbit : 2013
Gambar sampul : Penrose Staircase by Diganta Saha
source:
http://www-vrl.umich.edu/intro/
Penerbit (cetak) : SAHABAT.com

Penerbit online Paradoks Softbook Publisher


Kritik, saran, koreksi, dan pertanyaan:
http://paradoks77.blogspot.com
skaga_01@yahoo.co.id

Free:

Buku ini ditujukan untuk disebarkan secara cuma-cuma demi


dunia pendidikan di Indonesia. Tiap orang berhak untuk
mencetak atau mengutipnya

Dilarang keras mengomersialkan buku ini tanpa izin


penerbit!

1
13

3
4
Kata Pengantar
Akhirnya buku berjudul Konsep Berpikir ini
rampung jua setelah berbulan-bulan dikerjakan dengan
perhatian yang tidak penuh. Buku ini disusun sebagai
panduan pelengkap dalam metodologi berpikir,
sistematika filsafat, kerangka berpikir ilmiah, maupun
sekedar bacaan untuk menambah pengetahuan pembaca
mengenai konsep dan cara berpikir.

Buku ini memuat sedikit pengantar sistematik


filsafat, dasar logika matematika, dan pembahasan
berbagai masalah matematis, fisis, maupun sosial secara
ringkas. Oleh karena itu, buku ini bukanlah buku yang
lengkap, tetapi cukup baik untuk mulai mengantarkan
Anda pada sistematika filsafat atau membuat Anda dapat
berpikir lebih kritis terhadap kehidupan.

Atas terselesaikannya buku ini, penulis berterima


kasih kepada Aldytia, yang dengan senang hati mau
menyunting naskah buku ini, memberikan koreksi dan
masukan yang berharga, saudara Surachman B. dan
Ariansyah “Yoko” yang masih setia menjadi teman diskusi,
serta segala hal lainnya yang, dengan atau tanpa penulis
sadari telah mendukung terciptanya buku ini. Untuk edisi
cetak ini, penulis secara khusus mengucapkan terima
kasih kepada saudara Hendry dan percetakannya
SAHABAT.com yang bersedia membantu membuat edisi
cetak buku ini. Semoga kalian semua diliputi kebahagiaan.

5
Bagaimanapun, buku ini pastilah masih
menyimpan kesalahan baik teknis maupun non teknis,
untuk itu penulis dengan rendah diri meminta maaf dan
memohon kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata dari
saya, terima kasih telah membaca kata pengantar ini dan
selamat melanjutkan bacaan Anda.

Makassar, Maret 2013

penulis

6
Daftar Isi

Kata Pengantar 5
Daftar Isi 7
1. Pendahuluan
1.1. Pengertian Filsafat 9
1.2. Dasar Sistematika Filsafat 18
1.3. Pengetahuan, Ilmu, dan Sains 30
2. Proses Berpikir
2.1. Definisi Berpikir 33
2.2. Konsep Berpikir 34
2.2.1. Entitas 34
2.2.2. Definisi dan Deskripsi 35
2.2.3. Himpunan dan Hirarki 40
2.2.4. Analogi 42
2.2.5. Dualisme dan Dikotomi 47
2.2.6. Kekeliruan (Fallacy) 50
2.3. Perangkat Berpikir 53
2.4. Berpikir Ilmiah 62
3. Logika Matematika
3.1. Proposisi dan Operator Logika 65
3.1.1. Proposisi 65
3.1.2. Operator Logika 69
3.2. Implikasi dan Biimplikasi 80
3.3. Quantifier 90
3.4. Ekuivalen, Tautologi, dan Kontradiksi 92
3.5. Pengambilan Kesimpulan 100

7
4. Pemecahan Masalah
4.1. Metode Berpikir 108
4.2. Kalkulus Diferensial 112
4.3. Paradoks 116
4.4. Alam Semesta adalah Masalah 121
5. Penutup
5.1. Aksiologi: Untuk Apa Kita Berpikir? 125
5.2. Pluralisme dan Berpikiran Terbuka 132
5.3. Cinta akan Kebijaksanaan 135
Glosarium 139

8
Bab 1

PENDAHULUAN

1. Pengertian Filsafat
Secara harfiah

Filsafat berasal dari Bahasa Arab falsafah yang


berasal dari kata Yunani philosophia. Philo berarti
suka atau cinta dan sophia berarti kebijaksanaan. Jadi
philosophia berarti suka akan kebijaksanaan. Filosofi
memiliki makna yang serupa dengan filsafat, yang
berasal langsung dari kata philosophia.

Menurut para filsuf

1. Plato (427 SM – 318 SM)


Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya
mencari kebenaran yang asli.
2. Aristoteles (382 SM – 322 SM)
Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-
ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika.
3. Al Farabi (870 – 950)
Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang bagaimana
hakikat yang sebenarnya dari alam maujud.
4. Rene Descartes (1590 – 1650)

9
Filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di
mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok
penyelidikan.
5. Immanuel Kant (1724 – 1804)
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi
pokok dan pangkal dari segala pengetahuan, yang
tercakup di dalamnya empat persoalan yakni
metafisika, etika, agama, dan antropologi.
6. Stephen Hawking (1942 – )
Filosofi sudah mati. Filosofi sudah tidak
mengimbangi kemajuan terkini dalam sains,
terutama fisika [sekedar gurauan].

Dari definisi-definisi di atas, dapat kita


rumuskan filsafat sebagai ilmu yang mendalami segala
sesuatu dengan [amat] mendalam mengenai Tuhan,
alam semesta, dan manusia. Ilmu filsafat berupaya
untuk menjangkau hakikat dari segala sesuatu selagi
masih dapat dicapai oleh akal manusia. Dengan
mengupas hakikat dari “segala sesuatu” itu sedalam-
dalamnya, tentunya diharapkan manusia dapat
mengambil manfaat dan pembelajaran untuk
kepentingan ke depannya. Meskipun demikian,
sebenarnya terdapat beberapa tantangan dalam
filsafat yakni:

1. Kajian filsafat yang demikian mendalam sering


menjadi sebuah omong kosong (retorika yang tak
berbuah). Ini bukanlah kesalahan filsafat,
melainkan kekeliruan orang yang berfilsafat.

10
Misalkan bagaimana kita mengkaji hakikat dari
suatu benda, mengapa benda itu disebut sebagai
kursi? Sampai kapan papan kayu berkaki itu
disebut kursi, bukan meja, dan sampai kapan
tumpukan batu itu disebut bangku, bukan pagar?
Meninjau terlalu mendalam tentang suatu hal
hanya akan menghabiskan waktu alih-alih terus
memberikan pengetahuan pada kita. Ibarat
konsumsi vitamin C untuk manusia ialah sekitar
1000 mg per hari. Mengkonsumsi vitamin C sehari
lebih dari 1000 mg tidak akan membuat
regenerasi sel-sel kita menjadi lebih cepat lagi,
malah akan menjadi mubazir karena kelebihan
vitamin C setiap harinya akan dibuang oleh ginjal.
Jadi, salah satu tantangan mempelajari filsafat
ialah mengetahui sampai di mana kita merasa
harus berhenti, sampai di mana kita merasa kajian
kita sudah optimal, mengkaji lebih jauh tidak akan
memberikan hasil lebih lagi. Jika kita tidak berhasil
membatasi diri kita, maka kita hanya akan
berkutat pada dunia teorema semata dan mungkin
saja takkan pernah membuahkan karya dalam
hidup!
2. Kajian filsafat tentang Tuhan, sampai batas
tertentu, nyata-nyatanya dapat bertentangan
dalam [sebagian besar] agama. Kebanyakan agama
tidak membolehkan mempertanyakan kebenaran
sesuatu yang sudah tertuliskan dalam kitab suci
atau diriwayatkan oleh nabi. Praktis, bahan-bahan
yang dapat dikaji hanyalah hal-hal yang memang

11
hanya disebutkan tetapi tidak dijelaskan dalam
literatur agama. Hal-hal yang dapat dikaji ini pun
tidak dapat kita kaji secara mendalam, karena
pengkajian secara mendalam akan melibatkan
banyak hal yang mungkin tabu untuk diusik. Jadi,
kajian filsafat mengenai Tuhan terbentur pada
prinsip kebanyakan agama yakni: “Terima saja apa
adanya seperti yang telah dituliskan, tidak perlu
mempertanyakan kebenarannya—itu sudah ‘pasti’
benar”. Dengan demikian hanya orang religius
yang bukan penganut agama tertentulah yang
masih dapat mengkaji hakikat Tuhan sampai
sedalam kemampuan akalnya.
3. Kajian yang demikian mendalam terhadap materi
abstrak menjadikan filsafat sebagai ilmu “tidak
pasti”. Hal ini disebabkan oleh munculnya aliran-
aliran atau mazhab-mazhab dalam filsafat akibat
pandangan-pandangan yang berbeda mengenai
suatu hal yang mendasar. Lalu, aliran-aliran ini
kemudian tumbuh seolah menjadi rival karena
yakin bahwa ialah yang benar, kemudian membuat
sistematika filsafatnya sendiri-sendiri. Padahal,
kebenaran pastilah cuma satu untuk setiap hal,
sehingga filsafat agak kehilangan artinya sebagai
ilmu yang berupaya mencari kebenaran yang asli
dengan hadirnya “jati diri” ini.
4. Tuntutan kehidupan di zaman modern ini
membuat manusia berinovasi dalam menciptakan
teknologi. Riset-riset dilakukan berdasarkan teori-
teori ilmu alam untuk menghasilkan produk-

12
produk yang dapat membantu kemudahan hidup
manusia. Para ilmuwan mendapatkan
pengetahuan baru dalam bidang material, partikel
elementer, inflasi alam semesta, penerowongan
kuantum, dan lain-lain serta bersama para
perekayasawan menciptakan pemercepat atom,
bom atom, superkonduktor, nano-material,
komputer, bahasa C++, monitor LED, MRI,
pesawat hypersonic, vaksin, beras transgenik,
kloning, dan lainnya. Di sisi lain, filsuf tulen hanya
akan terlibat dalam diskusi maupun debat-debat
yang tidak membawa banyak manfaat bagi
kehidupan manusia.

Jelaslah kita lihat belakangan ini ilmu


pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat.
Kini filsafat klasik seolah pisau silet yang sudah
ketinggalan zaman. Filsafat tidak dapat menjelaskan
perilaku penerowongan kuantum pada elektron,
filsafat tidak mampu menjelaskan pemuluran waktu
pada kerangka yang bergerak, dan filsafat tidak
membantu saat kita mengirim lagu antar ponsel
dengan sinyal bluetooth.

Meskipun terlihat jelas bahwa filsafat klasik


kini telah menjadi sangat kuno, tidak berarti tidak ada
hal berguna yang tertinggal dari filsafat. Hal itu ialah
sistematika berpikir. Apakah itu berarti kita masih
akan mendalami sedikit dari filsafat yang berguna itu?
Tidak juga, kita hanya mengambil kerangka dan tujuan
dari sistematika berpikirnya filsafat itu. Metodenya

13
sendiri bukan seutuhnya berasal dari kajian filsafat
klasik, karena metode kita ialah logika matematika.
Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri dasar-dasar
logika matematika berawal dari kajian filsafat
mengenai sistematika bepikir. Tapi kita tak akan
menggunakan versi lama itu, kini kita akan belajar
berpikir dengan logika matematika, sesuatu yang lebih
mumpuni dibanding logika ala filsafat klasik.

Filsafat, kata para filsuf pada zamannya, adalah


ilmu dari segala ilmu, ilmu yang berusaha mencari
kebenaran yang asli. Sebaliknya logika matematika
tidak menawarkan kebenaran yang asli atau
kebenaran yang hakiki. Logika matematika
menawarkan cara berpikir yang benar dan efisien
untuk memperoleh solusi yang kita harapkan sebagai
suatu kebenaran. Matematika tidak cuma menawarkan
algoritma-algoritma yang lengkap untuk memecahkan
masalah, tetapi juga menawarkan banyak pilihan jalan
penyelesaian dengan perangkat aturan yang jelas dan
dapat dibuktikan kesahihannya.

Berikut ini beberapa persoalan logika yang


mungkin membuat Anda kebingungan.

1. Mobil A berjalan dari terminal X ke terminal Y


yang berjarak 35 km dengan kelajuan 30 km/jam.
Di saat yang bersamaan, mobil B berjalan dari
terminal Y menuju terminal X dengan kecepatan
40 km/jam. Di saat itu juga seekor lalat terbang
dari mobil A saat di terminal X menuju mobil B.

14
Saat lalat sampai di mobil B ia segera balik lagi
terbang ke mobil A dan begitu seterusnya, lalat
terbang bolak-balik hingga pada akhirnya ia mati
terjepit saat mobil A dan mobil B bertabrakan.
Andaikan lalat selalu terbang dengan kecepatan
tetap, 50 km/jam (abaikan selang singkat saat lalat
berbalik), berapakah total lintasan yang ditempuh
oleh lalat dari pertama ia terbang di terminal X
hingga ia tewas terjepit?
2. Terdapat sepuluh dompet yang masing-masing
hanya berisi sepuluh koin. Sembilan dari sepuluh
dompet itu berisikan koin-koin asli yang beratnya
10 gram per koin. Adapun dompet terakhir berisi
koin-koin palsu yang sangat mirip dengan aslinya,
kecuali beratnya hanya 9 gram per koin.
Bagaimanakah cara mengetahui dompet mana
yang berisi koin-koin palsu hanya dengan
menimbang sekali saja?
3. Sukri berniat mengunjungi juru kunci Gunung
Bawakaraeng untuk meminta petunjuk. Di sekitar
kaki Gunung Bawakaraeng tinggallah dua orang
bersaudara kembar yang bertani di sana. Seluruh
penduduk sekitar tahu bahwa sang kakak selalu
berkata jujur sedangkan sang adik selalu berkata
bohong. Dalam perjalanannya mencari rumah juru
kunci Gunung Bawakaraeng, Sukri tersesat dan
bertemu salah satu dari dua bersaudara itu (Sukri
tak tahu itu sang adik atau sang kakak). Baru saja
mau bertanya tentang rumah juru kunci, orang itu
keburu memberi syarat bahwa ia hanya akan

15
menjawab satu pertanyaan saja. Seperti apakah
pertanyaan Sukri agar orang itu (baik dia si jujur
atau si pembohong) akan selalu menjawab jalan
menuju rumah juru kunci Gunung Bawakaraeng
yang benar?
4. Apakah pernyataan “Jika kalimat ini benar, maka
Matahari terbitnya di barat” bernilai benar atau
salah?1
5. “Saya tahu kamu tidak tahu kalau saya tahu
ternyata kamu tidak ingat hari ulangtahunku.” Apa
inti dari kalimat di atas?
6. Anda diberi tiga gelas berkapasitas 800 mL, 500
mL, dan 300 mL tanpa skala ukuran. Pada gelas
800 mL berisi 800 mL jus jeruk. Bagaimana cara
membagi jus jeruk itu ke dalam dua gelas tepat
sama banyak (400 mL)?
7. Pak Boker ingin menuju kota Pare-Pare dari kota
makassar dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam.
Ternyata, tepat saat menempuh setengah
perjalanan kecepatan rata-ratanya ialah 30
km/jam. Berapakah kecepatan rata-rata yang
diperlukan pada setengah perjalanan berikutnya
agar target kecepatan rata-rata 60 km/jam dari
Makassar ke Pare-Pare itu terpenuhi?
8. Rukun Islam terdiri dari iman, mendirikan sholat,
berzakat, berpuasa, dan berhaji bila mampu.
Dalam hidupnya Kakek Ramli telah menjalankan
iman, sholat, zakat, dan puasa, tetapi tidak pernah

1
Problem ini dikenal sebagai Curry Paradox.

16
naik haji karena memang tak pernah mampu
secara ekonomi dalam hidupnya. Saat kakek Ramli
wafat, apakah ia telah menjalankan semua rukun
Islam, ataukah ia cuma menjalankan empat yang
pertama dan yang ke-lima tidak berlaku bagi
kakek Ramli?

Dalam buku ini saya akan memberikan


petunjuk untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan
di atas, sambil membimbing Anda dalam proses
pemecahan masalah secara logis dan ilmiah. Dalam
buku ini saya akan mencoba merubah pandangan
Anda mengenai pola pikir ilmiah yang rumit. Dalam
buku ini saya ingin menunjukkan mengapa di zaman
ini masih banyak orang (dimaksudkan yang
berjurusan eksakta) yang menggandrungi retorika
filsafat ialah karena ketidakmampuannya berpikir
abstrak (berpikir tanpa mengetahui perangkat-
perangkat pikir apa yang diperlukan) dan harapan
kosongnya untuk memahami dunia hanya dengan
menghapalkan metode-metode dan pandangan-
pandangan orang lain yang hidup ratusan tahun yang
lalu.

17
2. Dasar Sistematika Filsafat
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa objek kajian filsafat ialah Tuhan, alam dan
manusia. Dari hal itu, kajian filsafat dibagi-bagi secara
sistematis menjadi oleh para filsuf antara lain:

1. Menurut Plato, filsafat dapat dibagi menjadi tiga


macam cabang yakni dialektika, fisika, dan etika.
2. Menurut Aristoteles, filsafat dapat dibagi menjadi
logika, filsafat teoritis (fisika, matematika, dan
metafisika), filsafat praktis (etika, ekonomi, dan
politik), dan filsafat poetika.

Saat ini, setelah berkembangnya ilmu


pengetahuan alam dan antropologi sehingga sulit lagi
untuk menggolongkannya sebagai “anak” dari filsafat.
Untuk itu kajian filsafat dapat kita sederhanakan
menjadi:

a. Logika
b. Metafisika dan ontologi
c. Epistemologi
d. Aksiologi (etika dan estetika)

Metafisika dan Ontologi

Metafisika dan ontologi pada awalnya ialah


sama, yakni cabang filsafat yang berusaha menjelaskan
hakikat dari keberadaan dan alam semesta sampai

18
pada akar-akarnya. Pada perkembangan selanjutnya,
terdapat perbedaan objek kajian antara metafisika dan
ontologi. Kajian ontologi ialah penelusuran hakikat
dari objek fisik, sedangkan metafisika menulusuri
hakikat dari objek nonfisik (meta = setelah, di luar).
Bagaimana pun, metafisik tetap berangkat dari
penginderaan terhadap objek alam yang kemudian
berkembang dalam pikiran dan imajinasi manusia.

Penelusuran mengenai keberadaan pastilah


mengkaji segala yang ada. Sesuatu yang memiliki
keberadaan unik dan berbeda disebut entitas. Entitas
tidak harus dalam bentuk fisik, ia bisa saja berupa
benda/materi, konsep, fenomena, atau tempat.
Tentunya entitas itu pastilah memiliki sesuatu, yang
membuat dirinya bersifat unik. Untuk memahami
hakikat mendasar dari entitas, kita perlu
mengidentifikasi hakikat dari apa yang ingin kita kaji
itu. Untuk itu, perlu ditelaah konsep dasar dari
keberadaan (entitas) dan sifat-sifatnya yakni
substansi, esensi, dan aksiden.

Substansi, Esensi, dan Aksiden

Substansi adalah konsep yang sangat penting


dalam filsafat, tetapi substansi bukanlah suatu konsep
yang jelas apa lagi terang-benderang maknanya. Filsuf
yang satu mendefiniskan substansi secara berbeda

19
dengan filsuf lain. Untuk itu, kita akan bahas dengan
cukup panjang mengenai substansi.

Substansi pra-Aristoteles

Sebelum masa aristoteles, substansi merujuk


sebagai elemen (materi fisis) yang menyusun suatu
hal, misalkan substansi dari panci adalah aluminium.

Thales menyatakan segala sesuatu berasal dari


air, Anaximenes menyatakan segala sesuatu berasal
dari udara, dan menurut Anaximander, unsur dasar di
alam ini ialah api, air, tanah, dan udara (seperti
Avatar). Demokritos mengajukan pandangan bahwa
semua yang ada tersusun dari atom, yakni partikel
terkecil yang tak dapat dibagi lagi.

Substansi menurut Aristoteles

Dalam bukunya Categories, Aristoteles


memberikan definisi mengenai substansi yakni:

1. Primary substance: merujuk pada individu


(substansi individu)
2. Secondary substance: merujuk pada “sesuatu yang
melekat” pada individu itu.

Aristoteles memberikan penjelasan, misalkan


X ialah seekor anjing gemuk berwarna cokelat yang
bernama Fido, maka substansi primer dari X adala si
Fido itu sendiri, sedangkan substansi sekundernya

20
adalah anjing. Penjelasan Aristoteles ini masih
menimbulkan pertanyaan, mengapa substansi
sekunder dari X mesti anjing, bukan makhluk
berwarna cokelat, bukan karnivora, atau binatang?

Aristoteles menganalisis substansi sebagai


suatu bentuk (form) dan materi (matter), form adalah
“what kind of thing the object is” dan matter sebagai
“what it is made of”. Aristoteles mengetahui ada tiga
kandidat untuk substansi yakni ‘materi’ [materi
menurut aristoteles tidak harus berupa materi fisis],
bentuk, dan komposisi.

Masih menurut Aristoteles, substansi ialah


hakikat dari entitas, segala sifatnya yang awet,
independen, dan identik. Awet artinya bertahan
sepanjang waktu, sampai entitas itu benar-benar
musnah. Independen berarti dapat berdiri sendiri,
terpisah, tidak bergantung pada entitas lain. Adapun
identik artinya substansi itu memiliki ‘identitas’,
misalkan sepatu saya dan sepatu Anda pastilah
memiliki substansi yang sama sehingga keduanya
dapat disebut sebagai sepatu.

Jika kita mendefinisikan substansi sebagai apa


yang ada dalam suatu entitas, yang membuat entitas
itu berbeda dari entitas lain, nampaknya kita harus
menyingkirkan materi dari kandidat substansi.
Misalkan 2 atom helium dan 1 atom berilium.
Keduanya memiliki 4 proton, 4 neutron, dan 4
elektron. Lalu mengapa keduanya jelas-jelas berbeda?

21
Jika ditinjau dalam ilmu fisika, perbedaan sifat fisis
dan kimia helium dan berilium disebabkan hanya
karena perbedaan konfigurasi/susunan proton,
neutron, dan elektron penyusunnya. Jika ditinjau
dalam kebanyakan kasus di alam, nampaknya semua
materi yang akrab dengan kita tersusun cuma dari
proton, elektron, dan neutron itu. Jadi di sinilah
substansi materiil kehilangan maknanya, karena
substansi itu cuma tiga sub-atom ini (tidak ada yang
unik), dan ternyata subatom yang serupa dengan
kuantitas yang sama dapat membentuk dua substansi
yang berbeda.

Jadi, jika kita mendefinisikan substansi sebagai


hakikat dari sesuatu, maka nampak bahwa substansi
bukan apa-apa selain sekumpulan sifat saja.

Konklusi

Dari penjelasan di atas, dapat kita tuliskan


setidaknya dua definisi substansi yakni:

1) Substansi ialah materi/zat/partikel yang


menyusun sesuatu.
2) Hakikat dari sesuatu; yakni sekumpulan sifat-sifat
yang dimiliki objek itu yang membedakannya
dengan benda lain.

Definisi pertama bersifat fisis, sehingga disebut


juga definisi ontologis, sedangkan definisi ke-dua
disebut juga definisi substansi secara metafisis.

22
Esensi dan Aksiden

Menurut Aristoteles, esensi (essence =


intisari) adalah atribut atau seperangkat atribut wajib
yang menjadi ciri unik dari suatu entitas atau
substansi. Dengan demikian, substansi pasti memuat
esensi, tetapi esensi belum tentu memuat substansi.
Jika suatu substansi kehilangan esensinya, maka
substansi itu tidak akan sama lagi, ia akan menjadi
entitas yang berbeda. Sebaliknya, aksiden adalah sifat-
sifat lain yang tidak menjadi syarat perlu suatu entitas.

Misalkan sebuah kursi memiliki banyak sifat,


antaranya memiliki permukaan yang dapat diduduki.
Sifat ini merupakan sifat esensial dari kursi karena
kursi yang tak dapat diduduki tak lagi dapat disebut
kursi. Sebaliknya, jumlah kaki, bentuk sandaran, dan
seterusnya atau terbuat dari kayu, plastik, atau besi
merupakan aksiden dari kursi. Aksiden merupakan
suatu sifat pelengkap yang tidak menjadi syarat perlu
suatu substansi. Identitas-identitas berbeda untuk
substansi yang sama pastilah memiliki esensi yang
sama, tetapi aksidennya dapat berbeda-beda. Bahkan
perubahan aksiden tidak akan membuat esensi ikut
berubah. Aksiden sendiri terdiri dari kuantitas,
kualitas, relasi, kebiasaan, waktu, ruang, situasi, aksi,
dan keinginan. Kesembilan macam aksiden ditambah
dengan esensi membentuk suatu substansi.

Lain pula halnya dalam filsafat timur, misalkan


filsafatnya Ibnu Sina. Menurut Ibnu Sina, segala yang

23
ada, dengan kodratnya masing-masing, disebut
sebagai esensi. Esensi sendiri tersusun atas substansi
dan aksiden. Substansi adalah sifat-sifat yang
merupakan intisari dari suatu esensi, sedangkan
aksiden merupakan sifat-sifat lain yang yang tidak
mempengaruhi perubahan esensi. Misalkan H2O, dapat
berwujud cair dan dapat pula berwujud padat (es).
Substansi dari H2O adalah gabungan dua molekul
hidrogen dan satu molekul oksigen. Wujud atau fase
dari H2O tidak merubah H2O itu menjadi esensi yang
lain. Begitu pula dengan jumlah, sebuah molekul H2O,
setetes H2O, ataukah segentong H2O memiliki esensi
yang sama. Sifat-sifat berbeda antara identitas-
identitas yang memiliki esensi yang sama ini disebut
aksiden.

Dengan demikian dapat kita petakan menurut


Aristoteles, esensi dan aksiden ialah properti dari
substansi. Sedangkan menurut Ibnu Sina, substansi
dan aksiden ialah properti dari esensi. Manakah yang
lebih benar bukanlah masalah yang penting, karena
sebenarnya ini hanya masalah pemaknaan saja.
Meskipun begitu, perbedaan pemaknaan yang tidak
dijelaskan dapat membuat perdebatan menjadi tak
berujung. Oleh karena itu, baiknya kita memberi
rujukan versi manakah pemaknaan substansi dan
esensi yang Anda maksud. Dalam buku ini, digunakan
terminologi Aristoteles.

24
Idealisme dan Materialisme

Mazhab utama filsafat di dunia ini ada dua,


yakni idealisme dan materialisme. Di sini, saya tidak
bermaksud memberikan penjelasan panjang lebar
mengenai idealisme dan materialisme, mengingat saya
sendiri tidak merasa memasukkan diri ke dalam salah
satu dari keduanya.

Idealisme (dari kata idea, ide) ialah pandangan


yang menyatakan bahwa elementer dari alam ini
sebenarnya hanyalah ide. Materi hanyalah perwujudan
dari ide, dengan kata lain materi itu adalah
“materialisasi” dari ide sehingga ide lebih dahulu ada
daripada materi. Contohnya rasa sakit, jika anjing dan
bangkai anjing yang baru saja mati kita pukul, maka
anjing akan melolong kesakitan sedangkan bangkai
tidak, padahal keduanya sama-sama materi, bahkan
sama-sama menunjukkan luka lebam. Ini berarti
terdapat perbedaan antara anjing dan bangkai anjing,
yakni roh (yang dianggap bagian dari ide), yang
berdiri sendiri (independen) dari materi. Bahkan
selanjutnya idealisme berpandangan bahwa materilah
yang bergantung terhadap ide.

Materialisme (dari kata matter, materi) adalah


pandangan yang menyatakan elementer dari alam ini
adalah materi. Materialisme sendiri tidak menafikan
keberadaan ide, tetapi materialisme berpandangan ide
hanyalah perwujudan dari materi dalam kasus-kasus
tertentu. Materi adalah segala sebab bagi akibat

25
(bahkan sebagai causa prima). Contohnya, menurut
pandangan materialisme, rasa sakit (ide) sebenarnya
hanyalah perwujudan dari kondisi tubuh (materi)
yang tidak normal.

Penjelasan lebih mendalam mengenai


idealisme dan materialisme dapat Anda peroleh dalam
buku-buku filsafat lain. Saran dari saya, bacalah
kesemuanya: buku yang memihak idealisme,
materialisme, atau yang bersifat netral.

Penting pula untuk membedakan antara


idealisme dan materialisme dengan idealistis dan
materialistis. Dalam Bahasa Indonesia, materialistis
merujuk pada paham hidup yang mengagungkan
materi (kekayaan), sedangkan idealistis berasal dari
kata ideal (yang juga berasal dari kata idea), yang
berarti pandangan untuk menerima paham yang ada
di kepalanya sebagai yang paling ideal, dan
melaksanakannya sepenuhnya. Seorang idealistis
beranggapan hidup akan berjalan sesuai dengan
pahamnya secara utuh, dan tidak mempertimbangkan
hal-hal praktis yang terjadi (naif). Jadi, seorang
penganut materialisme maupun idealisme dapat saja
menjadi idealis.

26
Rasionalisme dan Empirisme

Jika ditinjau dalam segi epistemologi,


perdebatan filsafat sampai pada sumber dan cara
memperoleh kebenaran. Dua pandangan besar yang
muncul ialah rasionalisme dan empirisme, yang mana
terkait erat dengan idealisme dan materialisme.

Rasionalisme

Rasionalisme berasal dari kata latin ratio yang


berarti akal (reason). Tokoh-tokoh yang menganut
pandangan rasionalisme antara lain Rene Descartes,
Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang mana
dipengaruhi oleh filsuf besar seperti Aristoteles.
Rasionalisme berpandangan adanya prinsip-prinsip
dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio
manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh
pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia.
Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi
manusia, dan tidak dijabarkan dari pengalaman.
Menurut Aristoteles, kebenaran cukuplah diperoleh
dari pemikiran semata, suatu hal yang sesuai dengan
rasio manusia sudah cukup untuk diterima sebagai
kebenaran dan tidak mesti dicek dengan pengamatan,

Paham rasionalisme beranggapan bahwa


sumber pengetahuan dan kebenaran manusia adalah
rasio (pikiran). Bahkan bagi Descartes, realita sendiri
patut diragukan karena ia tidak menemukan pembeda
yang jelas antara realita dan mimpi, realita dapat

27
berisi tipu daya terhadap pembuktian kebenara hakiki.
Prinsip keragu-raguan Descartes inilah yang
dikatakannya sebagai “Aku yang sedang ragu-ragu
menandakan bahwa aku sedang berpikir, dan karena
aku sedang berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum).
Kant mengkritik pandangan Descartes yang rapuh itu,
satu-satunya yang tidak kita ragukan adalah diri kita
sendiri, padahal keraguan itu bersumber dari diri kita.

Empirisme

Empirisme berasal dari kata Yunani, emperia


yang berarti pengalaman. Tokoh-tokoh penganut
empirisme antara lain Thomas Hobbes, John Locke,
dan David Hume. Menurut pandangan empirisme,
sumber pengetahuan manusia adalah pengalaman
berdasarkan realita (baik lahiriah maupun batiniah).
Thomas Hobbes beranggapan bahwa pengalaman
inderawi sebagai permulaan segala pengenalan.
Demikian pula jalinan antara pengalaman-pengalaman
itu membentuk pengetahuan manusia. Menurut John
Locke, akal manusia bersifat pasif saat pengetahuan
itu didapat. Akal tidak bisa memperoleh pengetahuan
dari dirinya sendiri, meskipun pengetahuan baru bisa
diperoleh dari akal dengan pengalaman-pengalaman
sebelumnya yang terkait. Locke mengemukakan
pandangannya yang terkenal bahwa akal manusia saat
lahir hanyalah seperti kertas putih (tabula rasa), dan
kertas putih itu akan berisikan pengalaman-

28
pengalaman yang diperoleh seseorang dalam
kehidupannya.

Dalam perkembangan sains terutama ilmu


fisika dan kimia, empirisme adalah dasar/acuan bagi
para ilmuwan. Para ilmuwan menolak pandangan
rasionalisme yang menyatakan bahwa ‘hukum alam
dapat diperoleh dari absolut idea semata’, sebab apa
yang nampak sesuai dengan rasio belum tentu sesuai
dengan realita. Ungkapan Plato mengenai seorang
manusia gua yang keluar dari guanya dan menemukan
“realita di luar gua” sangat tepat untuk
menggambarkan situasi ini. Perkataan orang itu—
sekembalinya ia ke gua—tidak akan dapat diterima
oleh rasio kawan-kawannya yang tak pernah
meninggalkan gua. Meskipun dasar rasionalisme
dalam ilmu pengetahuan sangatlah rapuh, tetapi
pandangan aristoteles ini masih bertahan selama
hampir dua ribu tahun. Adalah Galileo Galilei, bapak
sains modern yang mencoba mematahkan pandangan
aristotelian ini dengan membuktikan kebenaran teori
Copernikus dengan mengamati langit dan satelit-
satelit Jupiter. Ia pula yang mematahkan argumen
Aristoteles yang menyatakan bahwa benda berat jatuh
lebih cepat daripada benda yang lebih ringan.

Pandangan rasionalisme dan empirisme


sendiri sebenarnya sangat bervariasi, dan ikut
berubah seiring dengan waktu. Oleh sebab itu,
pandangan seorang penganut rasionalisme satu

29
dengan yang lain dapat saja berbeda, begitu pula
dengan seorang penganut empirisme.

3. Pengetahuan, Ilmu, Sains, dan Matematika


Pengetahuan (knowledge) ialah apa saja yang
Anda dapatkan dari pengalaman maupun dari buah
pikiran sebelumnya yang diyakini benar. Jadi,
pengetahuan tidak berarti sekedar “tahu”. Tahu tapi
tidak diyakini benar namanya bukan pengetahuan.
Misalkan Anda tahu gelombang pasang maksimum
terjadi dua kali sebulan. Gelombang pasang
maksimum memang terjadi dua kali sebulan, yakni
saat bulan baru dan bulan purnama. Jadi jika Anda
mengetahui tentang gelombang pasang itu, tidak
peduli Anda mengatahui atau tidak sebabnya dan
mekanisme apa yang terjadi di belakangnya, hal itu
tetaplah sebuah pengetahuan bagi Anda. Jika Ambo
berpikiran bahwa jika Anda menunjuk pelangi maka
jari Anda akan bisulan. Hal ini sama sekali tidak benar
bahkan tidak berhubungan sama sekali. Sejak Ambo
meyakini itu benar, meskipun kenyataannya tidak
benar, hal itu tetap menjadi pengetahuan Ambo
(pengetahuan yang salah).

Lain halnya jika saya menyatakan ada seratus


empat belas buah sunspot di Matahari saat ini, atau

30
pak presiden sedang memakai kolor berwarna biru
sore ini. Itu bukanlah pengatahuan bagi saya karena
saya cuma menebak-nebak saja dan saya tidak
meyakini kebenarannya. Jika pun ternyata benar,
maka itu adalah suatu kebetulan. Contoh berikutnya
ialah jika kita mengamati pola rambut-rambut kaki
yang tumbuh, kita akan mengetahui jika rambut-
rambut ini dicukur, maka saat rambut itu tumbuh lagi
ia akan semakin lebat. Kita tak tahu apakah ini
memang benar ataukah cuma sekedar mengandung
sedikit nilai kebenaran, tapi memang nyatanya rambut
kaki sialan itu nampak lebih lebat sehingga kita cukup
yakin. Entah ini karena suatu reaksi kimia, efek cuaca,
misteri Ilahi, ataukah mata yang menipu kita, tetapi
rambut kaki ini memang nampak lebih lebat jika
tumbuh lagi setelah di cukur. Dari pengamatan ini,
ialah cukup untuk membuat pengamatan kita
digolongkan sebagai pengetahuan. Tidak peduli kita
tahu sebabnya atau tidak.

Ilmu ialah suatu hiponim dari pengetahuan.


Semua ilmu ialah pengetahuan, tapi tidak semua
pengetahuan merupakan ilmu. Seperti halnya jika
Anda mencret ya berarti Anda buang air besar, tapi
tidak berarti jika Anda buang air besar maka itu
adalah mencret. Jadi, nampaknya ada satu atau
beberapa syarat agar pengetahuan itu dapat
digolongkan sebagai ilmu. Syarat-syarat itu antara
lain:

31
1. Empiris: dapat dibuktikan berdasarkan
pengalaman inderawi, baik secara langsung
maupun dengan bantuan instrumen.
2. Objektif; penggalian kebenaran pada objek tanpa
melibatkan prasangka/dugaan subjektif.
3. Metodis dan sistematis, menggunakan cara-cara
yang baku, sesuai dengan aksioma-aksioma yang
berlaku dan memiliki struktur yang padu dan
terarah.
4. Universal; kebenaran yang hendak dicapai adalah
kebenaran yang berlaku umum, dalam batas-batas
yang diberikan.

Sains yang saya maksudkan di sini ialah s-a-i-


n-s, bukan s-c-i-e-n-c-e. Meskipun kata sains sendiri
merupakan kata serapan adaptasi dari kata bahasa
Inggris, science, namun terdapat pergeseran makna
dalam peralihannya sehingga maknanya tidak persis
sama. Science merupakan kata Inggris yang sepadan
maknanya dengan ilmu, meskipun dapat juga merujuk
secara khusus kepada ilmu alam (natural science).
Jadi, science merupakan kata yang memiliki
pengertian umum dan pengertian khusus. Adapun
sains memiliki arti yang sepadan dengan ilmu alam
(natural science).

Jadi, sesuatu yang tidak empiris tak dapat


digolongkan sebagai ilmu, tapi pengetahuan yang
bukan ilmu tidak berarti pasti salah.

32
Bab 2

PROSES BERPIKIR

1. Definisi Berpikir
Sebelum membahas lebih jauh tentang konsep
berpikir dan berpikir ilmiah, baiknya kita menggali
terlebih dahulu hakikat berpikir. Saya mendefinisikan
berpikir sebagai proses mencari penjelasan dari suatu
permasalahan yang didapat dengan cara identifikasi
masalah, mencari peristiwa lampau yang memiliki pola
serupa, membandingkan (compare), manganalisis, dan
berupaya menarik kesimpulan atau memutuskan solusi.

Setelah mencari referensi di artikel-artikel lain,


tidak banyak yang dapat mendefinisikan berpikir
dengan baik. Satu yang menurut saya sangat baik
adalah yang diberikan Taqiyuddin an-Nabhani dalam
bukunya Hakekat Berpikir. Nabhani mendefinisikan
berpikir sebagai pemindahan penginderaan terhadap
fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai
adanya informasi-informasi terdahulu yang akan
digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut.

Saat kita berpikir, apakah yang lebih dahulu


ada, proses berpikir atau apa yang membuat kita
berpikir? Tentu saja yang lebih dahulu ada ialah sebab
yang membuat kita berpikir, dan sebab itu adalah

33
masalah dan masalah itu adalah fakta. Kita tahu bahwa
yang organ tubuh untuk berpikir adalah otak, dan
fakta yang menjadi masalah itu adanya di lingkungan.
Jadi pastilah informasi dari lingkungan itu masuk ke
dalam otak, dan dalam hal ini pelakukanya adalah
indera kita. Dengan indera ini kita mengidentifikasi
masalah di lingkungan, sehingga selanjutnya dapat
kita olah.

Hal penting lain ialah, dalam berpikir, kita


membutuhkan alat. Alat itu tidak lain adalah konsep-
konsep, pengalaman, dan semua informasi yang
tersimpan dalam ingatan kita. Setelah semua bahan
lengkap, dapatlah kita melakukan proses pemecahan
masalah yakni dengan membandingkan, menganalisis,
dan menggabungkan informasi tadi untuk
menyimpulkan suatu penjelasan atau solusi.

2. Konsep dalam Berpikir


Entitas dan Identitas

Entitas ialah sesuatu yang eksis oleh dirinya


sendiri (berwujud), baik itu objek fisik maupun
abstrak. Suatu entitas dapat saja melekat pada entitas
lain, tetapi bukan sebagai suatu hal yang tak dapat
dipisahkan. Misalkan apel adalah sebuah entitas fisik
yang dapat berdiri sendiri. Apel satu dan apel yang lan
adalah entitas yang sama, tetapi memiliki identitas

34
yang berbeda. Masih terdapat banyak perdebatan
mengenai batasan dari identitas itu, dalam artian
hubungannya dengan entitas. Contoh yang paling
sederhana ialah kaitan antara identitas dengan waktu.
Apakah Anda saat ini identik dengan Anda setahun ke
depan?2

Jika seekor ulat telah berubah menjadi kupu-


kupu, apakah kupu-kupu itu memiliki identitas yang
sama dengan ulat tadi? Jika kayu dibakar menjadi abu,
apakah abu dan kayu tadi merupakan identitas yang
sama? Jika nyala api pada suatu lilin nyaris padam, dan
tepat sebelum padam kita berhasil menyalakan sumbu
lilin lain, apakah api pada lilin baru merupakan
identitas yang sama dengan api yang baru padam tadi?

Definisi

Tentunya tidak mungkin pembaca tak


memahami apa itu definisi. Yang dimaksudkan dalam
bagian ini hanyalah memperjelas mengenai definisi
yang baik dan benar. Secara fungsional, definisi ialah
satu atau beberapa kalimat berupa penjelasan (ciri
atau batasan) tentang suatu objek yang mampu
mengantarkan pemikiran seseorang kepada objek
yang didefinisikan itu. Jelaslah untuk mengantarkan
pikiran seseorang terhadap suatu hal, maka perlu

2
Sebagai rujukan, cobalah cari dan baca tulisan tentang “Ship of
Theseus Paradox”.

35
diberikan penjelasan yang berupa ciri-ciri dan
batasan-batasan dari hal tadi. Ciri-ciri dan batasan ini
dapat disampaikan dengan beragam cara dan
pendekatan.

Well, itu adalah definisi dari definisi menurut


saya, yang saya tinjau dari segi fungsional. Jadi, agar
seseorang dapat mengetahui apa yang ingin kita
sampaikan, kita bisa memberikan definisi tentang hal
itu. Patut juga diketahui bahwa definisi tidak berarti
definisi yang baik. Dalam Bahasa Indonesia, kata
“definisi” hampir sepadan dengan kata “peri” yang
berarti deskripsi, meskipun penggunaan kata “peri”
lebih terbatas semisal dalam “perikemanusiaan”,
“pemerian”, “perihal”, “tak terperi”, dan lain-lain.

Jika kita menggunakan gambaran umum


definisi, maka dapat kita kategorikan macam definisi
itu menjadi:

1) Definisi demonstratif, yakni dengan langsung


menunjukkan objek yang didefinisikan.
Contoh: Kalimat yang Anda baca ini berbahasa
Indonesia.
2) Definisi padanan, yakni memberikan
persamaan/padanan kata dari hal yang
didefinisikan.
Contoh: Biri-biri itu tidak lain ialah domba.
3) Definisi analitik, yaitu definisi yang memberikan
penjelasan dalam uraian yang rinci dan sistematis.

36
Contoh: Bintang ialah benda langit yang utamanya
terbuat dari gas hidrogen serta memancarkan
panas dan radiasi elektromagnetik yang berasal
dari reaksi fusi nuklir dalam intinya.
4) Definisi deskriptif, yaitu definisi yang memberikan
penjelasan dalam bentuk pemaparan ciri-ciri saja.
Jadi, kita berupaya menggambarkan objek yang
hendak didefinisikan dengan menggunakan kata-
kata.
Contoh: Pisang ialah buah yang tumbuh dalam
tandan dari pohon sejenis semak raksasa,
berbentuk bulat panjang, agak melengkung,
kulitnya tebal namun lunak, jika matang berwarna
kuning dan rasanya manis.

Oke, sekarang mari kita perhatikan contoh


percakapan antara Sukma dan Barbara di bawah ini.

Barbara : “What is the meaning of “kucing” in


English?”

Sukma : “Engg… Kucing is…”

Sialnya Sukma tiba-tiba lupa Bahasa Inggris dari


kucing. Ia pun terpaksa memutar otak mencari definisi
untuk kucing.

Sukma : “Kucing is… miaww…”

Barbara : “Oh… a cat!”

Sukma : “Ah! Yes, yes… Kucing is cat.”

37
Jadi di sini Sukma telah berhasil mengantarkan
pemikiran Barbara kepada mamalia yang mengeong
itu. Ia telah memberikan definisi untuk kucing, dengan
caranya sendiri tentunya.

Oke, mari kita akui definisi yang diberikan oleh


Sukma bukanlah definisi yang baik. Untuk membuat
definisi yang baik perlu diperhatikan syarat-syarat
berikut ini.

1. Menghindari menggunakan unsur-unsur yang


abstrak, apalagi memuat kata yang lebih abstrak
daripada kata yang hendak didefinisikan.
2. Tidak memuat makna unsur yang justru hendak
didefinisikan (looping).
3. Jelas dan tidak ambigu, sebuah definisi hanya
merujuk tepat pada yang hendak didefinisikan itu,
sehingga tidak ada dua entitas berbeda yang
memiliki definisi yang sama.
4. Seringkas mungkin tetapi tidak lebih ringkas lagi.

Untuk melengkapi tujuan dari definisi,


biasanya ditambahkan penjelasan berupa contoh atau
analogi. Namun demikian, definisi yang baik haruslah
cukup jelas dalam kalimat definisi itu sendiri. Sebagai
contoh definisi kurang baik, berikut beberapa definisi
menurut beberapa sumber yang pernah penulis
dengarkan:

1. esensi : sesuatu yang membuat sesuatu itu


menjadi sesuatu.

38
2. berpikir : gerak akal dari satu titik ke titik lain3.

Silakan terpukau atau bingung membaca


definisi di atas. Masih cukup banyak orang yang
senang membuat definisi semacam itu. Mungkin
sekilas terdengar lebih puitis. Tetapi alih-alih
terdengar keren, definisi itu justru kehilangan
fungsinya untuk mengantarkan pemikiran seseorang
mengenai hal yang dimaksud. Untuk contoh pertama
misalnya, sesuatu yang mana yang dimaksud itu?
Absurd sekali. Lalu sesuatu yang membuat sesuatu itu
menjadi sesuatu ya sesuatu itu, masalahnya sesuatu
itu apa? Jadi apa lagi yang akan diperoleh lawan bicara
selain kebingungan? Untuk contoh ke-dua, berpikir
ialah gerak akal dari satu titik ke titik lain. Masalahnya
kata “akal” sendiri lebih abstrak daripada “berpikir”.
Lalu, bagaimana bisa akal itu bergerak? Dari titik
mana? Dan ke titik mana? Coba hampirilah seseorang
di jalan lalu katakanlah: “Gerak akal dari satu titik ke
titik lain, apakah itu?” Adakah yang mampu menebak
yang Anda maksud ialah berpikir?

Oke, saya akan mencoba mendefinisikan esensi


dan berpikir dengan kata-kata saya sendiri.

esensi : Segala sifat fisik ‘wajib’ yang melekat pada


suatu hal yang menjadi suatu ciri yang unik

3
Dalam materi kerangka berpikir ilmiah HMI diberikan penjelasan
lanjut, meskipun tampak juga kelemahannya.

39
dan membedakan hal itu dengan hal
lainnya.

berpikir : proses memecahkan suatu permasalahan


dengan cara identifikasi masalah/fakta,
mencari peristiwa lampau yang memiliki
pola serupa, membandingkan (compare),
manganalisis, dan berupaya menarik
kesimpulan/penjelasan.

Ya, meskipun tidak terdengar puitis, tapi saya


kira definisi saya di atas lebih mampu membimbing
pikiran orang kepada hal yang dinamakan esensi dan
berpikir.

Himpunan dan Hirarki

Himpunan adalah kumpulan objek-objek


(elemen) dengan syarat tertentu. Objek-objek yang
memenuhi syarat suatu himpunan dapat kita
masukkan ke dalam himpunan tadi, misalkan sapi,
kerbau, dan kambing merupakan elemen dari
himpunan hewan bertanduk. Terkadang, syarat suatu
himpunan tidak perlu diberikan secara eksplisit, kita
cukup memberikan elemen-elemen dalam suatu
himpunan.

Dua atau lebih himpunan dapat digabung


(union) atau saling beririsan (intersection). Misalkan
himpunan manusia laki-laki digabung dengan

40
himpunan manusia perempuan menjadi himpunan
manusia. Secara matematis, gabungan himpunan A
dan B ditulis 𝐴 ∪ 𝐵. Adapun irisan himpunan A dan B
adalah kelompok elemen-elemen yang merupakan
anggota himpunan A sekaligus anggota himpunan B,
secara matematis ditulis 𝐴 ∩ 𝐵. Contohnya himpunan
bilangan genap dan himpunan bilangan prima
beririskan di 2.

Dari definisi gabungan dan irisan itu, dapatlah


kita temukan hubungan di antara keduanya

𝐴 ∪ 𝐵 = 𝐴 + 𝐵 − (𝐴 ∩ 𝐵

Selain itu, dikenal pula himpunan bagian


(subset) dan himpunan induk (superset). Jika
himpunan A (misalkan himpunan hewan mamalia)
merupakan bagian dari himpunan B (misalkan
himpunan hewan bertulang belakang), disebut A
subset dari B, 𝐴 ⊂ 𝐵 atau B superset dari A, 𝐵 ⊃ 𝐴 .

Himpunan-himpunan tertentu dapat


membentuk hirarki berdasarkan pola subset–superset
ini, salah satu yang sangat akrab ialah pola umum–
khusus. Himpunan induk dapat berisikan beberapa
himpunan bagian. Himpunan-himpunan bagian ini
memiliki semua properti dari himpunan induk, selain
memiliki properti lain yang berbeda antara satu
himpunan bagian dengan himpunan bagian yang lain.
Tentunya himpunan bagian ini dapat menjadi
himpunan induk bagi himpunan bagian yang lain.

41
Dengan demikian, semua yang berlaku pada himpunan
induk dapat dipastikan berlaku pada himpunan-
himpunan bagiannya (spesialisasi), tetapi tidak berarti
semua yang berlaku pada satu himpunan bagian
berlaku pula pada himpunan induk dan himpunan-
himpunan bagian lainnya (generalisasi). Oleh karena
itu, kita harus berhati-hati dalam melakukan
generalisasi. Dalam melakukan generalisasi, kita harus
memastikan hal yang digeneralisasikan itu adalah
properti berlaku secara umum.

Analogi

Analogi ialah salah satu metode berpikir yang


paling mendasar, bisa dibilang sebagai salah satu
metode berpikir yang paling primitif selain
pengambilan kesimpulan secara langsung dari
pengamatan.

Prinsipnya, analogi ialah membandingkan


faktor-faktor dari suatu masalah yang dihadapi dengan
faktor-faktor dari masalah/contoh kasus lain yang
telah kita ketahui prinsip atau solusinya. Jika ternyata
banyak kesamaan faktor antara masalah yang kita
hadapi dengan contoh kasus X, maka diambillah
kesimpulan solusi dari masalah kita akan serupa
dengan solusi dari contoh kasus yang kita jadikan
pembanding.

42
Contoh sederhana pengambilan kesimpulan
berdasarkan analogi:

1. Kadal terbang memiliki lembaran kulit di sisi


tubuhnya untuk membantunya melayang dari
pohon ke pohon. Jenis tupai tertentu memiliki
lembaran kulit di sisi tubuhnya, maka
kesimpulannya tupai itu juga dapat melayang dari
pohon ke pohon.
2. Kita tidak punya bukti dinosaurus berdarah dingin
atau berdarah panas. Dinosaurus itu reptil, dan
semua reptil yang hidup sekarang berdarah dingin.
Kesimpulannya dinosaurus berdarah dingin.

Analogi sangatlah praktis, dan bisa dikatakan


cukup mudah. Tetapi patut diingat analogi yang
dangkal kemungkinan tidak tepat. Kekeliruan ini
terjadi karena kita salah mengambil contoh kasus yang
dijadikan pembanding. Kasus pembanding itu
mungkin memiliki faktor-faktor yang serupa dengan
masalah kita, tapi faktor-faktor yang serupa itu tidak
ada hubungannya dengan konteks masalah (bukan
indikator yang benar), kesamaan itu ada di luar
konteks masalah. Berikut contoh pengambilan
kesimpulan menggunakan analogi yang keliru.

1. Lembaga hukum dan peradilan berupaya


menegakkan hukum. Kesimpulannya, semakin
banyak lembaga hukum dan peradilannya di suatu
negara maka negara itu pasti semakin tertib dan
adil.

43
2. Sapi, kambing, dan kerbau punya tanduk, mereka
makan dedaunan. Singa, serigala, dan beruang
tidak punya tanduk, mereka makan daging. Kuda
tidak punya tanduk, kesimpulannya kuda makan
daging seperti halnya singa, serigala, dan beruang.
3. Perhatikan gambar perahu layar dan speedboat
yang sedang melaju di bawah ini. Apakah ada yang
keliru dengan gambar perahu layarnya?

Gambar 2.1. Perahu layar dan speedboat.

Pada contoh pertama kekeliruan terjadi karena


lembaga hukum berfungsi untuk menegakkan hukum.
Jika terlalu banyak lembaga hukum itu malah
mengindikasikan tingginya pelanggaran hukum. Kasus
yang analog ialah obat berguna untuk menyembuhkan
orang sakit, tapi di mana banyak terdapat obat, tidak
berarti di situ banyak orang sehat, malah besar
kemungkinan di situ terdapat orang sakit.

44
Pada contoh ke-dua kita salah memilih faktor
yang termasuk dalam indikator permasalahan.
Permasalahan pada contoh ke-dua ialah “makanan”,
sehingga tanduk bukanlah faktor yang cocok
digunakan sebagai indikator dalam pemilihan kasus
yang analog. Jadi, meskipun benar dalam hal
kepemilikan tanduk kuda lebih menyerupai singa dan
serigala, tetapi kita tak dapat menggeneralisasikan
makanan singa dan serigala sebagai makanan kuda
karena tanduk tak ada hubungannya dengan makanan.
Faktor yang lebih cocok digunakan sebagai indikator
ialah bentuk gigi dan kuku/cakar, karena kuku
digunakan untuk memperoleh makanan dan gigi
digunakan untuk mengoyak atau mengunyah
makanan. Jika kita menggunakan kuku dan gigi
sebagai indikator, maka kuda jelas lebih menyerupai
kambing dan kerbau. Jadi, kesimpulannya kuda
memakan dedaunan, dan kenyataannya pun demikian.

Pada contoh ke-tiga saya cukup yakin Anda


tidak akan menemukan kejanggalan kecuali Anda
seorang pelaut atau sudah akrab dengan perahu.
Nyatanya, bendera dari perahu layar itu mengarah ke
depan (jika perahu bergerak ke arah depan), bukan ke
belakang. Hal ini disebabkan perahu layar bergerak
maju jika angin menghembuskannya dari belakang ke
depan, yang berarti meniup bendera ke depan. Jadi
arah bendera pada perahu layar tidak analog dengan
arah bendera pada speedboat atau kendaraan lain yang
digerakkan oleh mesin.

45
Generalisasi

Generalisasi merupakan hal yang sangat


penting dan riskan dalam analogi. Secara umum,
generalisasi ialah menganggap sifat-sifat yang melekat
pada suatu hal juga dimiliki oleh hal lain yang
merupakan hiperterm (hal yang lebih umum) dari hal
tadi. Generalisasi melibatkan teori himpunan tentang
subset – superset dan pemahaman mengenai sifat
esensial dan aksidensial dari suatu substansi.

Misal substansi yang ditinjau adalah “hewan”,


maka himpunan hewan dapat merangkum
subset/himpunan bagian “moluska”, “arthropoda”,
“chordata 4 ”, dan lain-lain. Sifat-sifat perlu bagi
substansi yang ditinjau menjadi esensi bagi subset-
subset yang terkandung di dalam set “hewan”. Atau
dalam alur terbalik, subset-subset tadi dapat
digolongkan dalam superset “hewan” karena memiliki
syarat himpunan (esensi “hewan”, antara lain
bertumbuh, memerlukan makanan, bernafas,
berkembang biak, dan melakukan metabolisme.
Selanjutnya, sifat-sifat lain dari tiap-tiap subset yang
saling berbeda antara subset satu dengan subset
lainnya kita sebut aksiden dari himpunan “hewan”
seperti tak bertulang sejati (moluska), anggota gerak

4
Divisi dari kingdom animalia yang berisikan hewan-hewan yang
memiliki sumbu tubuh (notochord) pada arah anterior – posterior,
semisal tulang belakang atau bentuk serupa yang lebih sederhana.
Vertebrata termasuk dalam divisi ini.

46
berbuku-buku (arthropoda), dan memiliki sumbu
tubuh (chordata).

Namun, jika kita tinjau “chordata” sebagai


substansi, maka yang tadi merupakan aksiden bagi
“hewan” dapat menjadi esensi bagi “chordata”, semisal
memiliki sumbu tubuh. Dengan demikian diperoleh
hasil bahwa esensi dari suatu himpunan pastilah
menjadi esensi bagi subset-subsetnya, namun tidak
berarti semua esensi dari suatu subset juga
merupakan esensi bagi himpunan induknya. Hal inilah
yang perlu diperhatikan dalam generalisasi dalam
beranalogi. Patut diperhatikan apakah sifat yang
digeneralisasikan itu merupakan esensi dari
himpunan induk ataukah bukan.

Dualisme dan Dikotomi

Dualisme merupakan paham bahwa setiap hal


di dunia ini tercipta secara berpasang-pasangan yang
saling berlawanan. Baik-buruk, benar-salah, hitam-
putih, panas-dingin, terang-gelap, panjang-pendek,
kaya-miskin, feminim-maskulin, pintar-bodoh, dan
sebagainya. Ada pun dikotomi merupakan
pengklasifikasian menjadi dua entitas yang
berlawanan. Jadi jelaslah dualisme pasti berwujud
dikotomi, tetapi menggunakan dikotomi tidak berarti
harus menganut paham dualisme.

47
Dikotomi dibuat oleh manusia untuk
mempermudah pemahaman tentang dua hal yang
saling berlawanan. Namun dua hal yang saling
berlawanan belum tentu adalah dua terma berbeda
yang memang saling berlawanan. Contohnya ialah
panas-dingin. Sepintas terlihat panas dan dingin saling
berlawanan, masalahnya kita tidak punya batas yang
jelas antara panas dan dingin. Padahal, jika panas dan
dingin merupakan suatu elementer yang berbeda dan
saling berlawanan, pastilah sangat mudah
membedakan antara keduanya. Sekarang kita tahu
bahwa panas dan dingin hanyalah persepsi kita
terhadap banyak atau sedikitnya kalor dalam suatu
benda. Makin banyak kalor yang dikandung suatu zat,
makin panaslah ia, sehingga tidak ada batas yang jelas
antara panas dan dingin.

Untuk membuktikan bahwa panas dan dingin


hanyalah persepsi, Anda dapat mengulang eksperimen
yang diajarkan saat SD dulu, yakni dengan merendam
tangan kanan ke air panas dan tangan kiri ke air es
selama tiga hingga lima menit, lalu kedua tangan
dicelupkan bersamaan dalam air bersuhu kamar.
Tangan yang telah direndam di air panas akan
menanggapi penurunan suhu sebagai rasa dingin,
sedangkan tangan yang telah direndam di air es akan
menanggapi kenaikan suhu sebagai rasa panas. Jadi,
meskipun kedua tangan dicelupkan ke dalam air
bersuhu sama, tangan kanan Anda akan merasakan
dingin dan tangan kiri Anda akan merasakan panas.

48
Jadi, kebanyakan kualitas yang tampak
hanyalah sebuah persepsi dari kuantitas yang berbeda
dari suatu elementer. Hal yang sama berlaku untuk
pasangan gelap-terang, panjang-pendek, pintar-bodoh,
dan lainnya. Untuk kasus gelap-terang, elementernya
ialah cahaya/foton. Untuk kasus panjang-pendek,
elementernya ialah dimensi panjang (pendek hanyalah
berarti kurang panjang). Untuk kasus pintar-bodoh,
elementernya ialah pengetahuan. Tetapi patut
diperhatikan, terdapat pula pandangan yang
menyatakan semua kualitas hanyalah persepsi dari
kuantitas elementernya. Pandangan ini betul, tetapi
tidak selalu terbukti benar. Salah satu contoh untuk
membantah pandangan ini ialah adanya kondisi netral.
Contoh yang paling populer ialah pasangan baik-
buruk. Apakah elementer dari pasangan baik-buruk?
Kebanyakan orang yang menganut pandangan ‘anti-
dualisme’ mengatakan elementernya ialah kebaikan.
Kejahatan atau keburukan hanyalah ketiadaan dari
kebaikan. Kualitas hanyalah persepsi.

Tetapi, ada satu contoh yang tak sesuai dengan


pandangan di atas, ambillah contoh perilaku Acok,
Boneng, dan Choky. Asumsikan pada suatu hari Acok
hanya melakukan kebaikan saja, Boneng cuma
tiduran—tidak melakukan apa-apa seharian penuh,
dan Choky hanya melakukan tindakan-tindakan zalim
saja. Jelaslah hanya Acok yang melakukan tindakan
baik, Boneng dan Choky sama sekali tidak. Jika baik
dan jahat hanyalah persepsi dari kadar kebaikan,

49
maka jelaslah pada hari itu Acok merupakan orang
baik sedangkan Boneng dan Choky sama jahatnya
(karena sama-sama tidak melakukan kebaikan).
Padahal menurut logika kita tidak mungkin Boneng
sama jahatnya dengan Choky. Kita dapat menyebut
Boneng bersifat netral, tidak melakukan kebaikan dan
tidak pula melakukan kejahatan. Jika baik-jahat
merupakan kadar dari suatu elementer, maka keadaan
“kadar nol” (tidak memiliki kadar sama sekali)
pastilah berada pada salah satu terminal, bukan
bersifat netral atau berada di tengah-tengah terminal.

Jadi, di sini kita telah mencoba membuktikan


bahwa beberapa hal ternyata tidak bisa dianggap
sebagai persepsi dari kuantitas elementer saja.
Beberapa hal nampak seperti memang diciptakan
sebagai dualitas. Pandangan akhir tetaplah menjadi
hak Anda untuk menentukannya sendiri.

Kekeliruan (Fallacy)

Kekeliruan ialah kesalahan pengambilan


kesimpulan, membuat kesimpulan yang tidak benar.
Pada pembahasan tentang analogi telah diberikan
beberapa contoh mengenai kesalahan dalam menarik
kesimpulan, inilah yang disebut sebagai kekeliruan.
Ada dua hal yang dapat membuat kita salah
mengambil kesimpulan yaitu:

50
1. Kesalahan mengidentifikasi masalah (semisal
kesalahan merumuskan premis/pernyataan).
2. Kesalahan dalam proses pemecahan masalah.

Kedua hal di atas terjadi akibat minimnya


pengetahuan/pengalaman atau karena kita kurang
teliti. Kekeliruan dapat saja disadari keberadaannya
akibat adanya ketidaklogisan dari kesimpulan yang
keliru itu. Ketidaklogisan ini dapat berupa
ketidakkonsistenan atau paradoks.

Contoh kekeliruan dalam menarik kesimpulan:

1. Kuda itu hewan, kucing itu bukan kuda. Jadi,


kucing itu bukan hewan.
2. Api yang berwarna biru lebih panas daripada api
yang berwarna merah dan kuning. Api kompor gas
berwarna biru sedangkan Matahari berwarna
kuning. Artinya akan terasa lebih panas jika
berdiri 10 meter di depan kompor gas dibanding
jika berdiri 10 meter di depan Matahari.
3. Di sebuah jalan di kota X, terlihat air yang
ditumpahkan mengalir dari tempat yang lebih
rendah ke tempat yang lebih tinggi. Sepertinya di
jalan ini hukum gravitasi Newton tidak berlaku.

Untuk contoh pertama, kesalahannya terletak


pada proses penalaran dan pengambilan keputusan
yang tidak valid. Kuda dan kucing tidak setara dengan
hewan, sebab hewan merupakan hipernim (lebih
umum) dari kuda dan kucing. Dalam bahasa

51
matematik, hewan disebut superset dari kuda, dengan
kata lain kuda termasuk elemen dalam hewan dan
terdapat elemen-elemen lain yang juga termuat dalam
himpunan “hewan”. Jadi, tidak berarti bila bukan kuda
berarti bukan hewan.

Untuk contoh ke-dua, kekeliruannya terdapat


dalam penalaran. Meskipun api kompor gas lebih
panas daripada permukaan Matahari, tetapi daya atau
energi dari api kompor gas sangat jauh lebih kecil
daripada Matahari. Akibatnya, semakin jauh dari
sumber panas, suhu lingkungan di sekitar api kompor
gas menurun jauh lebih cepat dibanding suhu
lingkungan di sekitar Matahari. Berdasarkan
persamaan Stefan-Boltzmann,

𝑃 = 4𝜋𝑟 2 𝑒𝜎𝑇 4

Nampak bahwa perubahan suhu terhadap


1
𝑑𝑇 𝑃 4
jarak, 𝑑𝑟
=− 64𝜋𝑒𝜎
𝑟 −3/2 . Jika dihitung, akan
diperoleh hasil yang sesuai dengan kenyataan bahwa
Matahari pada jarak seratusan juka kilometer lebih
panas dari pada api kompor gas dari jarak sepuluh
meter.

Untuk contoh ke-tiga, hal yang menarik ialah


ada banyak kekeliruan di situ. Yang pertama, hukum
gravitasi Newton menyatakan benda bermassa akan
saling tarik-menarik. Implikasinya, benda-benda di
dekat permukaan Bumi akan tertarik ke arah pusat
massa Bumi (ke arah bawah). Jadi manakah yang lebih

52
dapat dipercaya untuk mengetahui arah bawah,
hukum gravitasi ataukah pengelihatan? Saat tukang
memasang ubin, apakah yang mereka andalkan agar
ubin terpasang lurus? Apakah mengandalkan
penglihatan langsung untuk mengetahui kemiringan
lantai ataukah menggunakan waterpass? Jadi sangat
jelas, jika air nampak mengalir ke daerah yang lebih
“tinggi”, maka berarti bukan hukum gravitasi yang
salah melainkan pengelihatan kita yang salah (ilusi
optik). Lagi pula, seandainya hukum Newton memang
tidak berlaku di daerah itu—alih-alih airnya mengalir
ke tempat lebih tinggi—air, Anda, dan mobil Andalah
yang akan naik mengambang ke udara.

3. Perangkat Berpikir
Pengetahuan ialah hal-hal apa saja yang
pernah terekam dan tersimpan dalam ingatan
manusia, baik itu melalui pengalaman, ilham, atau
hasil pemikiran sebelumnya.

Logika atau penalaran ialah proses


memecahkan permasalahan baru dengan
menggunakan pengetahuan sebagai modalnya dan
metodologi berpikir sebagai langkahnya. Metodologi
berpikir dapat kita golongkan yaitu:

1. metode deduksi (analisis)


2. metode induksi (sintetis)

53
Sistematika, aturan, dan klasifikasi ialah pola-
pola atau teori baku yang dibuat untuk memudahkan
pengambilan kesimpulan tanpa perlu menggunakan
penalaran yang mendalam. Misalkan dengan
penalaran yang mendalam, kita mengambil
kesimpulan dari persoalan hubungan antara harga dan
permintaan-penawaran.

Bila jumlah barang yang ditawarkan terbatas


sedangkan permintaan konsumen tinggi (banyak
masyarakat yang membutuhkannya), maka para
penjual akan menjual barangnya dengan harga yang
lebih mahal karena toh meski mahal sedikit tetap saja
dagangannya akan laku karena bagaimanapun
konsumen memerlukan barang itu dan tidak banyak
yang menawarkannya sehingga mereka tetap akan
membelinya (tidak punya pilihan lain).

Bila jumlah barang yang ditawarkan melimpah


sedangkan permintaan konsumen rendah (masyarakat
tak terlalu membutuhkannya), maka para penjual
terpaksa menurunkan harga barangnya agar konsumen
yang awalnya tidak ingin membeli (karena tidak terlalu
butuh) pada akhirnya terpancing untuk membeli
karena toh harganya tidak seberapa. Selain itu penjual
juga menurunkan harga barang agar cenderung lebih
rendah daripada harga yang ditawarkan pedagang lain
(pesaing) yang juga banyak menjual barang serupa
supaya konsumen lebih memilih membeli darinya.

54
Jadi, dari penalaran mendalam di atas,
diperoleh hukum permintaan dan penawaran:

“Harga berbanding lurus dengan permintaan


dan berbanding terbalik dengan penawaran (ceteris
paribus5).”

Dengan hukum permintaan dan penawaran,


jika kita menemukan suatu kasus, misalkan
memprediksi harga cabai menjelang lebaran, maka
berdasarkan hukum permintaan dengan mudah
diketahui harga cabai akan naik karena banyak orang
membutuhkan cabai (permintaan tinggi) menjelang
lebaran. Jadi hukum ini bersifat praktis, sudah terpola:
jika ini maka itu—sehingga kita tak perlu lagi
melakukan penalaran yang mendalam. Kita cukup
melakukan penalaran mendalam sekali saja dalam tiap
model kasus, yakni untuk menemukan hukum (atau
membuktikan yang sudah ada) atau pola yang berlaku
dalam kasus sejenis.

Bagi beberapa orang, mereka lebih suka


menganalisis dan menalarkan suatu fenomena secara
mendalam alih-alih hanya menggunakan pola atau
aturan kompleks yang sudah tersusun (formulasi),
tentunya terkecuali jika pemecahan dari suatu
masalah itu perlu diperoleh dengan segera. Pun bila
demikian, setelah selesai mendapatkan pemecahan
masalah menggunakan aturan itu, setelah lewat

5
Jika faktor-faktor lainnya tetap atau dianggap tetap.

55
tuntutannya, mereka akan kembali memikirkan
persoalan tadi dengan penalaran mendalam, yang
memberikan kesenangan bagi orang-orang semacam
itu. Orang-orang yang seperti itu ialah pemikir tulen,
yang senang menjungkirbalikkan logikanya, berpikir
siang-malam demi memuaskan dahaganya. Buku ini
dibuat dengan harapan Anda memiliki—meskipun
hanya sedikit saja—sifat-sifat pemikir seperti itu.
Janganlah hanya mengandalkan formula “siap pakai”
untuk memecahkan masalah. Setidaknya, sekali Anda
telah berpikir secara mendalam untuk membuktikan
bahwa aturan itu memang benar. Jika Anda telah
berhasil membuktikan aturan itu benar (dengan
demikian Anda telah memahami aturan itu), maka
dalam persoalan lain yang sejenis Anda dapat
langsung menemukan solusinya dengan aturan tadi
tanpa ada perasaan ragu.

Berikut ini kelemahan dari memecahkan


masalah hanya dengan menggunakan formula tanpa
pernah membuktikan kebenaran formula itu sendiri.

1. Kita sebenarnya tidak mengerti solusi dari suatu


permasalahan, kita hanya sekedar tahu
permasalahan ini solusinya ialah itu.
2. Seandainya formula atau pola itu keliru, maka kita
juga akan keliru. Dengan demikian kita
menempatkan diri sendiri dalam posisi yang
menawarkan diri untuk dibodohi oleh orang lain.
3. Pada permasalahan yang cukup kompleks,
terkadang ada suatu faktor yang tidak

56
diperhitungkan oleh formula yang dikenal (di luar
batasan kesahihannya), sehingga untuk
memperoleh solusinya formula tadi harus
dimodifikasi atau digeneralisasi. Jika kita tak
menganalisis masalah itu, maka kita tidak akan
mengetahui hal ini sehingga pemecahan yang kita
peroleh dari aturan baku tadi menjadi tidak atau
kurang tepat.

Sebagai contoh, kita semua tahu bahwa semua


bilangan jika dipangkatkan nol hasilnya adalah satu.
Yang membedakan adalah beberapa orang “tahu apa”
dan beberapa orang yang lain “tahu bagaimana”. Oke,
di sini akan saya buktikan mengapa sembarang
bilangan jika dipangkatkan nol hasilnya selalu satu.

𝑎0 = 𝑎𝑏−𝑏

Mengingat pemangkatan x adalah perkalian


berulang sebanyak x, maka pengurangan pangkat
sebesar y berarti kita perlu membaginya berulang
sebanyak y.

𝑎𝑏
𝑎𝑏−𝑏 = =1
𝑎𝑏

Saya tidak mengatakan bahwa pola dan


formula-formula itu tidak penting, malah saya
menegaskan bahwa mereka itu sangat penting. Tetapi
alangkah bijaknya, di saat tidak begitu sibuk, kita
berusaha menganalisis suatu persoalan secara
mendalam, dengan menggunakan aturan-aturan

57
baku/dasar, dan meminimalkan penggunaan formula
jadi siap pakai. Untuk itu dirasa perlu untuk
membahas sedikit pola-pola dan aturan-aturan baku
berdasarkan tingkat kepercayaannya.

1. Aksioma
Aksioma merupakan suatu hal yang tak perlu
diragukan kebenarannya karena jelas pada dirinya
sendiri. Hal ini dikarenakan aksioma ialah
kebenaran definitif.
Contoh:
 1 + 1 = 2. Kebenaran definitif maksudnya 1 + 1
ialah suatu bilangan yang nilainya setara
dengan 1 lalu diberi lagi 1. Nah, kita sepakat
jumlah itu diberi nama “2”.
 Jarak antara semua titik di keliling lingkaran
ke pusatnya pastilah sama, karena jika tidak
sama namanya bukan lingkaran.
2. Teorema
Teorema bukanlah suatu kebenaran definitif,
tetapi kebenarannya telah terbukti secara
matematis dan selalu sesuai dengan realita
sehingga tidak ada keraguan mengenai
kebenarannya. Teorema merupakan implikasi
langsung dari beberapa aksioma.
Contoh:
 Teorema Pythagoras, yang menyatakan
kuadrat panjang sisi miring suatu segitiga siku-

58
siku 6 sama dengan jumlah kuadrat panjang
kedua sisi lainnya.
 Pusat suatu segiempat pasti berada pada
perpotongan diagonal-diagonalnya.
3. Hukum (law)
Hukum ialah suatu pola kebenaran yang logis dan
telah terbukti kebenarannya secara empiris
sampai dengan lingkup yang dimaksudkan oleh
hukum tadi dan tidak ada penjelasan lain yang
sesuai dengan realita.
Contoh:
 Hukum gravitasi Newton merumuskan gaya
gravitasi bergantung antara dua benda sebanding
dengan perkalian massa kedua benda dibagi
dengan kuadrat jaraknya. Hal ini telah terbukti
berkali-kali dalam percobaan menggunakan
sembarang materi dalam keadaan apa pun yang
dibatasi oleh hukumnya sendiri (dalam kasus
hukum gravitasi Newton, hukum ini hanya berlaku
untuk keadaan non-relativistik).
 Hukum permintaan dan penawaran juga termasuk
hukum karena telah berkali-kali dibuktikan
kebenarannya dalam realita dan tidak pernah
ditemukan hukum ini tak berlaku dalam batasan
hukumnya (yakni ceteris paribus).
4. Teori
Teori hampir serupa dengan hukum, tetapi
kepercayaannya lebih lemah. Meskipun teori

6
Dimaksudkan segitiga planar (datar).

59
sudah dibuktikan secara parsial cocok dengan
kenyataan, tetapi masih dimungkinkan adanya
penjelasan lain yang juga dapat sesuai dengan
kenyataan. Terkadang, perbedaan antara hukum
dan teori sangatlah tipis.
Contoh:
Teori Big Bang memberikan hasil yang sesuai
dengan data-data yang kita peroleh dari alam
semesta masa kini. Teori ini juga memberikan
mekanisme evolusi alam semesta yang sangat
masuk akal. Tapi bagaimanapun, karena kita tak
bisa mengulangi percobaan “membuat alam
semesta”, kita belum dapat memastikan bahwa
kenyataannya memang seperti teori Big Bang.
5. Hipotesa
Hipotesa ialah “kebenaran” yang paling rendah
tingkat kepercayaannya. Syarat bagi hipotesa ialah
“dapat menjelaskan”, tetapi belum terbukti
kebenarannya melalui percobaan nyata. Patut
diingat yang nampak logis belum tentu kenyataan.
Contoh:
Prinsip many-worlds interpretation 7 merupakan
hipotesa untuk aturan yang berlaku bagi
perjalanan waktu. Prinsip ini logis (tidak
menimbulkan pertentangan dengan kenyataan dan
dirinya sendiri), namun belum dapat dibuktikan
kebenarannya dalam eksperimen.

7
Hipotesis yang menyatakan terdapat tak hingga banyaknya alam
semesta parallel (alam semesta yang memiliki sejarahnya sendiri-
sendiri).

60
Nah, sekarang kita akan membahas aturan-
aturan baku dalam logika. Beberapa yang fundamental
saya rangkumkan di bawah ini.

1. Hukum identitas
Suatu identitas yang paling sederhana (makna
sempit) dari suatu objek adalah objek itu sendiri
pada waktu yang sama.
2. Hukum kausalitas
Semua hal akan menjadi sebab bagi hal lain dan
tak ada hal yang tidak terlahir dari suatu akibat.
3. Hukum kontradiksi Ptolomeus
Hukum kontradiksi Ptolomeus menyatakan bahwa
kebenaran pada suatu identitas tidak mungkin
saling kontradiksi. Misalkan jumlah kaki meja
belajar saya, pada saat yang sama, tidak mungkin
empat sekaligus bukan empat. Jumlah kaki meja
belajar saya pastilah empat saja atau bukan empat
saja pada saat yang sama. Contoh lain tidak
mungkin suatu benda basah disaat yang sama ia
tidak basah.

Masih banyak aturan-aturan/konsep-konsep


klasik tentang dasar berpikir. Untuk sementara ketiga
itu yang dianggap penting. Selebihnya Anda dapat
mencarinya pada buku-buku lain.

61
4. Berpikir Ilmiah
Telah dijabarkan pada bab 1 mengenai posisi
ilmu dalam pengetahuan dan pada bab 2 mengenai
berpikir. Pengetahuan adalah hasil dari pengalaman
dan proses berpikir, dari yang tersederhana (misalnya
menghubungkan benda dan namanya) hingga yang
paling rumit. Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh
dari metode berpikir khusus yang disebut metode
berpikir ilmiah. Metode berpikir ilmiah adalah metode
yang sangat baik namun terbatas. Yang dimaksud
dengan terbatas di sini adalah berpikir ilmiah tidak
dapat digunakan untuk hal-hal yang tidak memenuhi
syarat utama ilmu, yakni empiris. Tetapi untuk hal-hal
yang empiris, metode berpikir ilmiah memberikan
penawaran yang baik dalam memecahkan suatu
permasalahan.

Dasar berpikir ilmiah ialah menganggap


permasalahan sebagai objek yang akan diteliti dalam
laboratorium. Kita harus meninggalkan opini-opini
dan prasangka yang kita punyai terhadap objek itu,
lalu melaksanakan “pembedahan”, “penggabungan”,
dan mengukur hasil-hasilnya. Setelah itu dapat ditarik
kesimpulan menggunakan metode-metode yang telah
disinggung sebelumnya sebagai solusi dari
permasalahan.

Dapat dirangkumkan beberapa ciri berpikir


ilmiah ialah sebagai berikut:

62
1. Objektif, bebas dari opini dan prasangka,
menggunakan data yang faktual.
2. Rasional, menggunakan metode analisis yang valid
dan logis.
3. Kritis, berpandangan terbuka tetapi tetap skeptis,
tidak menerima kebenaran suatu pendapat yang
belum teruji kebenarannya.
4. Sistematis, berdasarkan langkah-langkah yang
terarah, terencana, dan terukur.
5. Universal, berlaku umum serta dapat diuji ulang
untuk membuktikan kebenarannya.

Sangat banyak buku maupun artikel-artikel


yang membahas kerangka berpikir ilmiah secara
lengkap, oleh sebab itu penjelasan lanjut mengenai
kerangka berpikir ilmiah tidak akan dibahas di sini.
Namun, di sini akan diperjelas kembali bahwa metode
berpikir ilmiah hanya dijamin ampuh untuk hal-hal
yang ilmiah, hal-hal yang empiris. Pengertian empiris
sebagai dapat diindera jangan diterjemahkan secara
sempit sebagai dapat diindera secara langsung.
Sebagian orang meremehkan konsep berpikir ilmiah
yang berbasis inderawi dengan dalih indera sangat
terbatas kemampuannya dan dapat menciptakan ilusi,
seperti dispersi pensil yang sebagian dicelup ke dalam
air atau ilusi terhadap panas. Kita dapat membuat
rumus dispersi dengan mencoba kemiringan pensil
yang berbeda-beda dan menghitung sudut biasnya.
Begitu pula kita dapat membuat termometer untuk
mengukur suhu, dengan skala yang mudah dibaca

63
dengan mata. Instrumen dapat membantu indera kita
untuk mengukur fenomena fisis dengan cermat.

Pada kenyataannya, nampaknya dunia ini tidak


hanya berisi objek-objek fisis, ataukah ada objek-objek
fisis yang belum dapat diempiriskan. Untuk itu,
metode berpikir ilmiah tidak menjamin memberikan
hasil yang baik. Untuk itu pula kita harus dapat
memisahkan antara pengetahuan yang merupakan
ilmu dan pengetahuan yang bukan merupakan ilmu
sehingga tidak keliru dalam penggunaan metode
berpikir.

64
Bab 3

LOGIKA MATEMATIKA

1. Proposisi dan Operator Logika


Proposisi

Proposisi ialah pernyataan yang hanya dapat


bernilai benar dan salah, tidak mungkin keduanya
(benar tetapi juga salah) dan tidak mungkin juga
bukan keduanya (tidak benar juga tidak salah). Oleh
karena itu berlaku dikotomi untuk kebenaran suatu
proposisi, yakni nilai “1” untuk nilai “benar” serta nilai
“0” untuk nilai “salah”. Contoh pernyataan yang
merupakan proposisi antara lain:

1. Sukarno ialah presiden pertama Republik


Inonesia.
2. Asia ialah benua terkecil di dunia.
3. Diameter Bumi di katulistiwanya ialah (12.756,3 ±
0,1) km.
4. Penemu bola lampu pijar ialah Rene Descartes.

Contoh pernyataan yang bukan proposisi ialah:

1. Sayur pare rasanya sangat tidak enak.


2. Pulau Lombok lebih indah daripada Pulau Bali.
3. Rina lebih cantik daripada Rani.

65
4. Sidik itu tampan.

Pada kalimat proposisi, nilai kebenarannya


hanya mungkin “benar” (seperti nomor 1 dan 3) atau
“salah” (seperti nomor 2 dan 4 . Sedangkan pada
pernyataan yang bukan proposisi, hanya berupa opini
yang kebenarannya sangat subjektif. Bagaimanapun,
sering sebuah kalimat tidaklah jelas merupakan
proposisi atau bukan. Misalnya, “Ruangan ini kotor”
adalah sebuah opini, bukan proposisi. Tiap-tiap orang
dapat setuju atau tidak setuju tentang kebenarannya.
Tetapi jika kita mengatakan “Anjungan Pantai Losari
kotor sekali setelah konser musik”, meskipun kalimat
ini juga merupakan opini, namun semua orang waras
akan menyetujui kebenarannya.

Contoh lain, pernyataan “Jejari Matahari ialah


6,9 × 105 km” ialah suatu proposisi yang bernilai
benar. Tapi toh ternyata masih ada kelompok yang
mengklaim jejari Matahari hanyalah beberapa
kilometer dan tergantung di langit tidak jauh dari
Bumi. Jadi apakah pernyataan itu tidak sah lagi
digolongkan sebagai proposisi?

Berikut ini contoh populer dari filsuf John W.


Carrol yang dikutip oleh Stephen Hawking dalam
bukunya The Grand Design:

1. Semua bola emas garis tengahnya lebih pendek


daripada satu mil.

66
2. Semua bola uranium-235 garis tengahnya lebih
pendek daripada satu mil.

Pengamatan kita di dunia, dan dari apa yang


kita ketahui dalam sejarah, tidak pernah ada bola emas
yang garis tengahnya lebih besar daripada satu mil.
Jadi kita dapat cukup yakin tidak akan pernah ada bola
emas yang garis tengahnya lebih dari satu mil. Tetapi
bagaimanapun, kita tak punya alasan untuk
mengatakan tidak bisa ada bola emas yang garis
tengahnya lebih besar daripada satu mil.

Agak berbeda halnya dengan kalimat ke-dua.


“Semua bola uranium-235 garis tengahnya lebih
pendek daripada satu mil” dapat dianggap hukum
(yang jelas nilai kebenarannya) karena berdasarkan
apa yang diketahui dalam fisika nuklir, kalau ada bola
uranium-235 yang garis tengahnya lebih panjang dari
15 cm, maka bola itu akan hancur sendiri dalam
ledakan nuklir. Jadi kita dapat yakin tidak ada bola
uranium-235 yang garis tengahnya lebih besar
daripada satu mil dan tidak akan bisa ada.

Contoh lainnya ialah pernyataan:

Tuhan itu tidak ada.

Dari pengalaman sehari-hari, kalau mau jujur, toh kita


tak pernah berhasil membuktikan keberadaan Tuhan
secara ilmiah. Jadi, Tuhan itu tidak terbukti eksis.
Tetapi masalahnya, “Tuhan tidak terbukti eksis”
merupakan pernyataan yang berbeda dengan “Tuhan

67
terbukti tidak eksis”. Jadi meskipun kita tidak bisa
membuktikan bahwa Tuhan itu eksis secara ilmiah,
tidak berarti kita telah membuktikan bahwa Tuhan itu
tidak eksis.

Contoh lain yang setara

Ada jenis kadal yang dapat menyemburkan api.

Dari pengalaman dan sejarah yang dapat dipercaya,


tidak terbukti ada kadal yang bisa menyemburkan api
layaknya naga. Tapi siapa yang bisa memastikan di
seluruh penjuru alam semesta ini tidak ada kadal yang
bisa menyemburkan api? Pernyataan “tidak terbukti
ada kadal yang bisa menyemburkan api” tidaklah
setara dengan pernyataan “terbukti tidak ada kadal
yang bisa menyemburkan api”.

Dari pemaparan di atas, jelaslah terlihat


kerumitan dalam sains bahwa nilai kebenaran untuk
pernyataan sehari-hari, hipotesis, teori, dan hukum
fisika itu berbeda tingkatannya. Untuk menghindari
hal ini (lebih tepatnya mengelak), untuk penjelasan
berikutnya kita akan selalu mengambil kondisi ideal
untuk penentuan kebenaran suatu proposisi, kecuali
diberikan penjelasan lain.

68
Operator Logika

Operator logika terdiri atas ingkaran/negasi


(NOT) dan perangkai logika. Perangkai logika ialah
hubungan logis antara dua
terma/premis/syarat/klausa. Secara umum terdapat
dua macam dasar perangkai logika, yakni konjungsi
(AND) dan disjungsi inklusif (OR), Selain itu, dikenal
pula disjungsi ekslusif (XOR). Disjungsi inklusif sering
disebut “disjungsi” saja.

Negasi

Negasi atau ingkaran dari suatu pernyataan


ialah pernyataan yang setara dengan tidak
terpenuhinya pernyataan pertama. Bisa dikatakan
ingkaran ialah keadaan tak terpenuhi dari suatu
pernyataan. Jadi bila suatu pernyataan bernilai benar
maka ingkarannya bernilai salah, sedangkan bila suatu
pernyataan bernilai salah, maka ingkarannya bernilai
benar. Patut diingat bahwa ingkaran tidak sama
dengan lawan, meskipun mereka berkaitan.

Contoh pada pernyataan.

A = Anto memakai baju berwarna putih.

B = Hujan turun.

Lawan dari pernyataan B ialah misalkan “Anto


memakai baju berwarna hitam”, sedangkan ingkaran
dari A (ditulis A atau ~𝐴 ialah “Anto tidak

69
memakai baju berwarna putih”. Jadi, ingkaran bersifat
lebih umum daripada lawan suatu pernyataan. Anto
tidak memakai baju berwarna putih bisa saja karena ia
memakai baju berwarna hitam (kondisi lawan), tetapi
bisa juga karena ia memakai baju berwarna kuning,
biru, atau malah tidak memakai baju. Lawan dari
pernyataan B ialah “Hujan naik”, sedangkan ingkaran
dari B ialah “Hujan tidak turun”. Jelas bahwa lawan
dari pernyataan B tidak logis.

Ingkaran dari suatu Ingkaran

Misalkan diberikan suatu pernyataan A,

𝐴 = Kekuasaan presiden terbatas.

¬𝐴 = Kekuasaan presiden tidak terbatas.

¬(¬𝐴) = Kekuasaan presiden tidak tak terbatas.

Perhatikanlah pernyataan ¬(¬𝐴) yang


berbunyi “Kekuasaan presiden tidak tak terbatas”
memiliki arti yang sama dengan pernyataan 𝐴 yang
berbunyi “Kekuasaan presiden terbatas”. Jadi dapat
dituliskan

¬(¬𝐴 = 𝐴

Dalam matematika kita cukup akrab dengan


pola ini, yakni negatif dikalikan dengan negatif
hasilnya akan positif. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

70
Jika X pernyataan dengan sebuah kemungkinan, maka
¬X ialah pernyataan dengan banyak kemungkinan.
Jika ¬(¬X) = X, bagaimana bisa ¬(¬X) kembali hanya
memiliki satu kemungkinan? Kita ambil contoh dengan
kondisi seideal mungkin.

Keadaan: Hanya ada tujuh benua di Bumi ini, yakni


Asia, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika,
Australia, dan Antartika. Parto terlahir di salah satu
benua di muka Bumi ini.

X = Parto lahir di Benua Asia.

¬X = Parto tidak lahir di Benua Asia.

“Parto tidak lahir di Benua Asia” setara dengan “Parto


lahir di Benua Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan,
Afrika, Australia, atau Antartika”. Dengan demikian,
negasi dari ¬X ialah:

¬ (¬X) = Parto tidak tak terlahir di Benua Asia.

“Parto tidak tak terlahir di Benua Asia” setara dengan


“Parto tidak lahir di Benua Eropa, Amerika Utara,
Amerika Selatan, Afrika, Australia, atau Antartika”.
Mengingat selain Eropa, Amerika Utara, Amerika
Selatan, Afrika, Australia, dan Antartika tinggal Benua
Asia yang tersisa, maka pastilah Parto terlahir di
benua Asia.

¬ (¬X) = Parto terlahir di Benua Asia. = X

71
Konjungsi dan Disjungsi

Konjungsi dan disjungsi merupakan logika


keadaan bersyarat majemuk (lebih dari satu syarat).
Jika syarat-syarat itu harus dipatuhi semuanya (kita
kenal sebagai syarat), maka hubungannya ialah
konjungsi. Sedangkan jika satu saja syarat yang harus
dipenuhi (boleh lebih tentunya) maka hubungannya
ialah disjungsi (syarat semacam ini lebih dikenal
sebagai kriteria). Hubungan konjungsi ditandai
dengan perangkai “dan” sedangkan disjungsi ditandai
dengan perangkai “atau”.

Dalam logika matematika, digunakan simbol " ∧ "


untuk mengganti kata “dan”, serta digunakan simbol
" ∨ " untuk mengganti kata “atau”. Misalkan
dinamakan

A = saya mau makan burger

B = saya mau minum soda

Maka rangkaian konjungtif dari kedua klausa di atas


menjadi:

Saya mau makan burger dan minum soda.

Dapat dinotasikan sebagai 𝐴 ∧ 𝐵. Sedangkan rangkaian


disjungtif dari kedua klausa tadi menjadi:

Saya mau makan burger atau minum soda.

Dapat dinotasikan sebagai 𝐴 ∨ 𝐵.

72
Nilai Kebenaran Konjungsi dan Disjungsi

Misalkan suatu pernyataan bersyarat majemuk


dengan perangkai konjungsi.

Anda bisa mendaftar dalam kompetisi ini jika Anda


mahasiswa dan belum pernah menang dalam
kompetisi ini sebelumnya.

Kita pahami bahwa Anda bisa mendaftar


dalam kompetisi jika Anda memenuhi kedua syarat
yang diberikan, yakni jika:

a. Anda mahasiswa, Anda juga belum pernah


memenangkan kompetisi yang sama pada tahun-
tahun sebelumnya.

Dan Anda tidak bisa mendaftarkan diri dalam


kompetisi itu jika:

b. Anda mahasiswa tapi sudah pernah memenangkan


kompetisi yang sama pada tahun sebelumnya.
c. Anda belum pernah memenangkan kompetisi yang
sama pada tahun sebelumnya tetapi Anda bukan
mahasiswa.
d. Anda sudah pernah memenangkan kompetisi yang
sama pada tahun sebelumnya serta Anda juga
bukan mahasiswa (bukan mahasiswa lagi
misalnya).

Nah, sekarang diberikan pernyataan bersyarat


majemuk dengan perangkai konjungsi.

73
Anda bisa mengikuti babak perempat-final ini bila
Anda lulus dari babak penyisihan atau mendapatkan
undangan dari pihak penyelenggara.

Dari kalimat di atas dapat kita pahami bahwa kita


dapat mengikuti babak perempat-final jika:

a. Tidak punya undangan, tapi lulus dari babak


penyisihan.
b. Tidak lulus babak penyisihan, tapi punya
undangan.
c. Lulus babak penyisihan sekaligus memiliki
undangan.

Dan kita tak dapat mengikuti babak perempat-final


jika:

d. Kita tidak punya undangan dan juga tidak lulus


babak penyisihan.

Dapat kita gambarkan kebenaran pernyataan yang


terdiri dari dua syarat dengan perangkai konjungsi
dan disjungsi dalam bentuk tabel kebenaran (ingat “1”
berarti “benar” dan “0” berarti “salah” .

𝑨 𝑩 𝑨∧𝑩 𝑨∨𝑩
1 1 1 1
1 0 0 1
0 1 0 1
0 0 0 0

74
Bandingkan untuk konjungsi dua syarat, dari
empat kemungkinan yang ada, hanya satu
kemungkinan Anda memenuhi aturan. Sedangkan
untuk disjungsi dua syarat, dari empat kemungkinan
yang ada, ada tiga kemungkinan Anda memenuhi
aturan.

Untuk syarat yang jumlahnya lebih dari dua,


alih-alih menggunakan lebih dari satu tanda “dan” atau
“atau”, digunakan tanda koma. Contohnya:

Ibu membeli beras, gula, dan mi instan di pasar.

Tanda koma di atas berarti “dan”, sehingga


kalimat di atas setara dengan “Ibu membeli beras dan
gula dan mi instan di pasar”. Agar kalimat tadi bernilai
benar, maka ketiga syaratnya harus terpenuhi, yakni
membeli beras, membeli gula, dan membelimi instan.

Siswa yang mendapat nilai rapor bagus ialah siswa


yang cerdas, tekun, atau orangtuanya kaya.

Tanda koma di atas berarti “atau”, sehingga


kalimat di atas setara dengan “Siswa yang mendapat
nilai rapor bagus ialah siswa yang cerdas atau tekun
atau orangtuanya kaya”. Agar kalimat kedua ini
bernilai benar, maka setidaknya paling sedikit satu
syarat harus dipenuhi. Misalkan cerdas = syarat A,
tekun = syarat B, dan orangtua kaya = syarat C.
Beberapa kombinasi syarat yang mungkin:

75
𝐴 𝐵 𝐶 𝐴∨𝐵 𝐴 𝐵 𝐶 𝐴∨𝐵
∨𝐶 ∨𝐶
1 1 1 1 0 1 1 1
1 1 0 1 0 1 0 1
1 0 1 1 0 0 1 1
1 0 0 1 0 0 0 0

Sedangkan untuk konjungsi tiga syarat berikut


contohnya.

Untuk membuat minuman kopi panas diperlukan air


panas, kopi, dan gula.

Jika kita simbolkan A = ada air panas, B = ada


kopi, dan C = ada gula. Maka minuman kopi bisa
dibuat jika A, B, dan C semuanya terpenuhi. Kalau
salah satunya saja tidak terpenuhi, maka minuman
kopi panas tidak bisa dibuat.

𝐴 𝐵 𝐶 𝐴∧𝐵 𝐴 𝐵 𝐶 𝐴∧𝐵
∧𝐶 ∧𝐶
1 1 1 1 0 1 1 0
1 1 0 0 0 1 0 0
1 0 1 0 0 0 1 0
1 0 0 0 0 0 0 0

76
Disjungsi Ekslusif

Disjungsi ekslusif bukanlah operator dasar


dalam logika matematika, karena disjungsi ekslusif
dapat disusun dari tiga perangkai dasar negasi,
perangkai “dan”, dan perangkai “tidak”. Disjungsi
ekslusif bernilai benar jika hanya salah satu dari dua
terma bernilai benar, tidak keduanya dan tidak pula
bukan keduanya. Berikut tabel kebenaran untuk XOR.

𝑨 𝑩 𝐗𝐎𝐑(𝑨, 𝑩)
1 1 0
1 0 1
0 1 1
0 0 0

Dalam bahasa verbal, terdapat keambiguan


mengenai kata “atau”, apakah yang dimaksud disjungsi
inklusif atau disjungsi ekslusif. Secara umum, “atau”
merujuk pada disjungsi inklusif, meski untuk hal-hal
yang sensitif digunakan frase “dan/atau” untuk
mempertegas bahwa yang dimaksud adalah disjungsi
inklusif.

Sebagai latihan, cobalah buktikan bahwa XOR


setara dengan ¬(𝐴 ∧ 𝐵 ∧ (𝐴 ∨ 𝐵)8.

8
Bentuk logika matematik yang hanya memuat operator AND, OR,
atau NOT disebut bentuk normal.

77
Ingkaran dari Pernyataan Berperangkai

Jika suatu pernyataan X berperangkai “dan”,


maka negasi dari X berperangkai “atau”. Demikian
pula jika pernyataan Y berperangkai “atau”, maka
negasi dari Y berperangkai “dan”.

A B ¬𝐴 ¬𝐵 𝐴 𝐴 (¬𝐴 (¬𝐴 ¬(𝐴 ¬(𝐴


∧𝐵 ∨𝐵 ∧ (¬𝐵 ∨ (¬𝐵 ∧𝐵 ∨𝐵
1 1 0 0 1 1 0 0 0 0
1 0 0 1 0 1 0 1 1 0
0 1 1 0 0 1 0 1 1 0
0 0 1 1 0 0 1 1 1 1

Dari tabel di atas diperoleh bukti bahwa:

1. ¬(𝐴 ∧ 𝐵 ≡ (¬𝐴 ∨ (¬𝐵


2. ¬(𝐴 ∨ 𝐵 ≡ (¬𝐴 ∧ (¬𝐵

Kedua identitas di atas dikenal sebagai hukum de


Morgan.

Contoh:

1.a. Tidak boleh makan atau minum di dalam


perpustakaan.
¬(𝐴 ∨ 𝐵

setara dengan

1.b. Tidak boleh makan dan tidak boleh minum di


dalam perpustakaan.

78
(¬𝐴 ∧ (¬𝐵

2.a. Jangan (tidak) menyalakan kipas angin dan


memasukkan jarimu ke bilah kipas.
¬(𝐴 ∧ 𝐵

setara dengan

2.b. Jangan menyalakan kipas angin atau jangan


memasukkan jarimu ke bilah kipas.
(¬𝐴 ∨ (¬𝐵

Jadi, jika Anda memiliki perpustakaan di


rumah dan Anda tidak ingin para tamu makan dalam
perpustakan dan Anda juga tak ingin mereka minum di
dalam sana, pastikan Anda memasang peringatan:

Dilarang Makan atau Minum dalam ruangan ini!

bukan:

Dilarang Makan dan Minum dalam ruangan ini!

Sebagai contoh kasus, misalkan Andri dituduh


merampok dan membunuh Budi. Dan sebenarnya
Andri memang membunuh Budi karena dendam,
tetapi tidak mencuri apa pun dari Budi. Dalam
pengadilan Andri bersumpah:

“Saya bersumpah tidak membunuh dan


merampok Budi.”

Apakah Andri bersumpah palsu?

79
2. Implikasi dan Biimplikasi
Implikasi

Implikasi dan biimplikasi merupakan suatu


operator logika yang menunjukkan keadaan
bersyarat 9 . Sebenarnya kita telah banyak
menyebutnya dalam contoh-contoh terdahulu.
Implikasi ditandai dengan penanda verbal “jika
[sebab], maka [akibat]” atau “if [antecedent], then
[consequent]” atau simbol [𝑠𝑒𝑏𝑎𝑏] ⇒ [𝑎𝑘𝑖𝑏𝑎𝑡] .
Implikasi menunjukkan hubungan sebab yang
menghasilkan akibat. Misalkan “Jika X maka Y”, bila
terjadi X maka pastilah terjadi Y. Agar lebih melekat
dalam pemahaman Anda, mari kita ambil contoh
dalam kehidupan sehari-hari.

Jika kain disiram air, maka kainnya menjadi basah.

Kita berikan simbol X = kain disiram air dan Y = kain


menjadi basah. Jadi kalimat di atas dapat dituliskan
dalam notasi 𝑋 ⇒ 𝑌 . Dari pernyataan ini dapat
dianalisis:

1. Jika kain disiram air (𝑋 = 1 , kainnya akan basah


(𝑌 = 1 . Hal ini masuk akal.
2. Jika kain disiram air (𝑋 = 1 , kainnya tidak basah
(𝑌 = 0 . Hal ini tidak masuk akal.

9
Bentuk atomik dari implikasi 𝐴 ⇒ 𝐵 ialah ¬𝐴 ∨ 𝐵. Ancaman “Jika
masih mau hidup maka serahkan dompetmu!” setara dengan “Mau
mati atau mau serahkan dompetmu?”.

80
3. Jika kain tidak disiram air (𝑋 = 0 , kainnya basah
(𝑌 = 1 . Hal ini mungkin saja dikarenakan sebab-
sebab lain (misalnya kainnya direndam air atau
kehujanan).
4. Jika kain tidak disiram air (𝑋 = 0 , kainnya tidak
basah (𝑌 = 0 . Hal ini mungkin saja jika sebab lain
tidak muncul (kainnya tidak direndam, tidak
kehujanan, dsb).

Dari analisis di atas diperoleh sebuah


pernyataan implikasi hanya akan bernilai benar
(masuk akal, mungkin) bila kejadiaan seperti pada
poin 1, 3, dan 4. Sedangkan pernyataan implikasi
bernilai salah (tidak mungkin terjadi) bila kejadiannya
seperti pada poin 2. Dapat kita buat tabel
kebenarannya.

𝑿 𝒀 𝑿⇒𝒀
1 1 1
1 0 0
0 1 1
0 0 1

Hal ini menunjukkan dalam implikasi tidak dikenal


yang namanya sebab tunggal. Misalkan peristiwa
“telur ayam menjadi matang” sebagai akibat. Sebabnya
yang dapat membuat peristiwa itu terjadi ada banyak,
lebih dari satu. Misalnya jika telur digoreng, direbus,
dikukus, dan sebagainya. Satu saja sebab terjadi sudah
cukup membuat akibat terjadi. Kita dapat
menganalogikannya dengan rangkaian paralel.

81
Gambar 3.1. Analogi rangkaian listrik dalam implikasi.
X = sakelar X tertutup, Y = sakelar Y tertutup, Z =
sakelar Z tertutup.

A = lampu A menyala

Misalkan sistem seperti pada gambar di atas.


Bila sakelar X tertutup, menyebabkan lampu A
menyala. Hal ini memenuhi implikasi 𝑋 ⇒ 𝐴. Jadi jika X
terjadi maka A pasti terjadi. Tetapi kebalikannya, jika
𝐴 ⇒ 𝑋 tidak setara dengan 𝑋 ⇒ 𝐴 . Karena bila A
terjadi belum tentu itu karena X, bisa saja karena
sebab lain yakni Y dan Z.

Jika A maka B tidak berarti jika


B maka A.
𝐴⇒𝐵≠𝐵⇒𝐴

Dari tabel kebenaran implikasi dapat pula kita


tarik beberapa kesimpulan yang bisa dijadikan teknik
penarikan kesimpulan yakni:

82
1. jika 𝐴 ⇒ 𝐵 bernilai benar, dan A bernilai benar,
maka pastilah B juga bernilai benar (perhatikan
tabel kebenaran dari implikasi pada baris
pertama). Dengan kata lain agar implikasi 𝐴 ⇒ 𝐵
bernilai benar bila A bernilai benar maka B harus
bernilai benar. Konsep seperti ini disebut modus
Ponens.

𝐴⇒𝐵
𝐴
_________
𝐵

2. jika 𝐴 ⇒ 𝐵 bernilai benar, dan B bernilai salah,


maka pastilah A juga bernilai salah (perhatikan
tabel kebenaran dari implikasi pada baris
terakhir)*. Dengan kata lain agar implikasi 𝐴 ⇒ 𝐵
bernilai benar bila B bernilai salah maka A harus
bernilai salah. Konsep seperti ini disebut modus
Tollens.

𝐴⇒𝐵
¬𝐵
_________
¬𝐴

Perhatikan bahwa pernyataan (*) dapat dituliskan


dalam notasi

[(𝐴 ⇒ 𝐵 ∧ ¬𝐵] ⇒ ¬𝐴

Kita akan membuktikan bahwa modus Tollens itu


konsisten dengan pembuktian terbalik.

83
1. Agar argumen dalam kurung siku bernilai benar
(dipenuhi) maka 𝐴 ⇒ 𝐵 dan ¬𝐵 harus bernilai
benar. Ingat bahwa Konjungsi bernilai benar jika
dan hanya jika semua argumennya bernilai benar.
2. Mengingat nilai kebenaran [(𝐴 ⇒ 𝐵 ∧ ¬𝐵] pasti
sama dengan nilai kebenaran (𝐴 ⇒ 𝐵 , yakni 1,
maka argumen di atas dapat kita reduksi menjadi:
(𝐴 ⇒ 𝐵 ⇒ ¬𝐴
Tanpa merubah nilai kebenarannya.
3. Semenjak ¬𝐵 bernilai benar (1), maka pastilah 𝐵
bernilai salah (0). Jika kita substitusikan nilai B,
(𝐴 ⇒ 0 ⇒ ¬𝐴
4. Jika 𝐴 bernilai 0, maka ¬𝐴 bernilai 1.
(0 ⇒ 0 ⇒ 1
1 ⇒ 1; bernilai benar dalam implikasi.
Dan bila 𝐴 bernilai 1, maka ¬𝐴 bernilai 0.
(1 ⇒ 0 ⇒ 0
0 ⇒ 0; juga bernilai benar.
5. Jadi nampak bahwa modus Tollens selalu bernilai
benar. Dengan demikian modus Tollens dikatakan
konsisten dengan logika.

Biimplikasi

Jika implikasi berbentuk seperti pemetaan


fungsi (tiap elemen dari daerah asal (sebab) hanya
terpetakan sekali di daerah hasil (akibat)), maka
bentuk biimplikasi merupakan pemetaan satu satu.
Biimplikasi dinotasikan dengan 𝐴 ⇔ 𝐵, menyatakan

84
jika A maka B, dan jika B maka A. Secara verbal dapat
diringkas sebagai “B terjadi jika dan hanya jika A
terjadi”.

Gambar 3.2. Analogi rangkaian listrik dalam biimplikasi.

Pada ilustrasi di atas, Y = sakelar tertutup dan


A = lampu menyala. Dapat kita berikan hubungan
biimplikasi 𝐴 ⇔ 𝐵, Lampu A menyala jika dan hanya
jika sakelar Y tertutup. Jika sakelar Y tertutup pasti
lampu A menyala, sebaliknya bila lampu A menyala
pasti sakelar Y tertutup.

Jadi biimplikasi menunjukkan sebab tunggal,


sehingga berlaku sifat simetris 𝐴 ⇔ 𝐵 ≡ 𝐵 ⇔ 𝐴 .
Berikut ini tabel kebenaran dari biimplikasi.

𝑿 𝒀 𝑿↔𝒀
1 1 1
1 0 0
0 1 0
0 0 1

85
Sebenarnya sangat jarang ada hukum alam
yang berbentuk biimplikasi, karena kebanyakan
besaran fisis tidak bergantung hanya terhadap satu
faktor. Contoh sederhana ialah hukum gravitasi
Newton yang berbentuk

𝐺𝑀𝑚
𝐹=
𝑟2

Jadi, gaya gravitasi muncul akibat tiga faktor, yakni


massa benda-1, massa benda-2, dan jarak kedua
benda. Contoh lainnya ialah kecepatan yang
didefinisikan sebagai

perubahan posisi Δ𝑥
𝑣= =
perubahan waktu Δ𝑡

Jadi, kecepatan bergantung terhadap dua


faktor (atau setidaknya kita menganggapnya begitu
dalam mekanika klasik). Untuk melihat adanya hukum
alam yang bersifat biimplikasi, Anda perlu
menemukan hukum alam yang persamaannya
berbentuk:

𝐴 = 𝑏 × konstanta

Terlepas dari apakah A dan b itu. Sampai saat


ini saya tidak dapat menemukan hukum alam yang
berbentuk seperti itu kecuali b adalah bentuk lain
(yang sebenarnya sama) dari A. Ataukah dalam teori
matematika hal ini dapat muncul dari suatu
pendefinisian matematis, semisal:

86
Sebuah segitiga datar disebut segitiga siku-siku jika
dan hanya jika salah satu sudut segitiga itu besarnya
90°.

Perhatikanlah bila salah satu sudut suatu


segitiga datar 90°, maka ia pasti segitiga siku-siku. Hal
sebaliknya pun berlaku, bila segitiga itu segitiga siku-
siku maka pastilah salah satu sudutnya sebesar 90°.
Hal ini sama sekali tidak luar biasa karena biimplikasi
ini hanya menyangkut sebuah entitas dan definisinya,
atau sebuah syarat dan penamaan bila syarat itu
terpenuhi. Ini adalah sebuah kebenaran definitif dalam
matematika – tidak mungkin keliru – karena kita
sendiri yang menyepakatinya begitu. Bahkan Yang
Maha Kuasa pun tak kan bisa melanggar kebenaran
definitif dari matematika. Sang omnipotence sendiri
tidak akan mungkin mampu menciptakan segitiga
siku-siku yang tidak memiliki sudut 90°, karena
semenjak segitiga itu tidak memiliki sudut 90° maka
segitiga itu jelas bukan segitiga siku-siku.

Patut pula diingat bahwa biimplikasi

𝐴⇔𝐵

Bernilai sama dengan

(¬𝐴 ⇔ (¬𝐵

87
Ingkaran dari Pernyataan Implikasi dan Biimplikasi

Perhatikan contoh implikasi berikut.

Jika ditendang, maka bola sepak itu akan meluncur.

Yang memiliki makna:

1. Jika bola ditendang ia pasti meluncur.


2. Jika bola tidak ditendang ia bisa saja tidak
meluncur atau meluncur karena sebab lain.

Negasi dari implikasi di atas ialah:

Tidak benar bahwa jika bola sepak ditendang maka


bola itu akan meluncur.

Negasi ini dapat dinyatakan dengan argumen bola


sepak ditendang dan bola itu tidak meluncur

Coba perhatikan tabel berikut.

𝑨 𝑩 ¬𝑨 ¬𝑩 𝑨⇒𝑩 ¬(𝑨 ⇒ 𝑩 𝑨 ⇒ ¬𝑩 ¬𝑨 ⇒ ¬𝑩
1 1 0 0 1 0 0 1
1 0 0 1 0 1 1 1
0 1 1 0 1 0 1 0
0 0 1 1 1 0 1 1

Pola argumen yang berbentuk “Tidak benar


jika A maka B” secara verbal setara dengan “Jika A,
maka tidak benar terjadi B”, meskipun jika dilihat nilai
kebenaran implikasi ¬(𝐴 ⇒ 𝐵 berbeda dengan
𝐴 ⇒ ¬𝐵.

88
Kita coba mengambil contoh lain,

Jika siswa kurang mampu atau berprestasi, maka ia


berhak memperoleh beasiswa.

Dinotasikan (𝐴 ∨ 𝐵 ⇒ 𝐶,

dengan A = kurang mampu, B = berprestasi, dan C =


berhak memperoleh beasiswa.

Untuk menyangkal pernyataan di atas, perlu


dibuktikan ada siswa yang berprestasi atau kurang
mampu yang tidak berhak memperoleh beasiswa.

Pada biimplikasi, kita ambil contoh

Jika dan hanya jika diameter suatu lingkaran sama


dengan D, maka kelilingnya pasti sama dengan 𝜋𝐷.

𝑃⇔𝑸
Untuk menyangkal pernyataan ini, maka perlu
dibuktikan ada lingkaran berdiameter D yang
kelilingnya bukan 𝜋𝐷, atau lingkaran yang memiliki
kelilingnya 𝜋𝐷 tetapi diameternya bukan D.
¬(𝑃 ⇔ 𝑄

𝑷 𝑸 ¬𝑷 ¬𝑸 𝑷⇔𝑸 ¬(𝑷 ⇔ 𝑸 ¬𝑷 ⇔ 𝑸 𝑷 ⇔ ¬𝑸
1 1 0 0 1 0 0 0
1 0 0 1 0 1 1 1
0 1 1 0 0 1 1 1
0 0 1 1 1 0 0 0
Dapat dilihat bahwa ¬(𝑃 ⇔ 𝑄 sama saja dengan
¬𝑃 ⇔ 𝑄 dan 𝑃 ⇔ ¬𝑄.

89
3. Quantifier
Operator kuantitas atau quantifier tidak
menunjukkan nilai kualitas suatu kebenaran (benar
atau salah), melainkan kuantitasnya. Terdapat dua
jenis operator kuantitas, yakni:

a. Operator “semua” (“for all”), disimbolkan ∀.


b. Operator “ada” (“there exist”), disimbolkan ∃.

Operator “semua” bersifat universal, yakni


mencakup semua yang ada, tidak ada yang tidak.
Sebaliknya operator “ada” bersifat partikular,
mencakup semua atau cuma sebagian, yang jelas di
antaranya ada yang termasuk.

Contohnya, pernyataan “semua manusia pasti


akan mati”. Kita berikan simbol

𝑥 = manusia

𝑃(𝑥 = pasti akan mati

Pernyataan di atas dapat ditulis dalam notasi


(∀ 𝑥 𝑃(𝑥 .

Contoh lainnya, misalkan 𝑥 = bilangan,


𝑈(𝑥 = "𝑥 adalah bilangan prima”, dan 𝑉(𝑥 = "𝑥
adalah bilangan riil”, maka dapat dibuat pernyataan:

1. “Ada bilangan yang merupakan bilangan prima”.


Dapat dituliskan dalam notasi (∃ 𝑥 𝑈(𝑥 .

90
2. “Semua bilangan prima ialah bilangan riil” yang
setara dengan “jika x bilangan prima, maka x ialah
bilangan riil”.
Dapat dituliskan dalam notasi (∀ 𝑥 𝑈(𝑥 ⇒
𝑉(𝑥 .

Ingkaran bagi Pernyataan Berkuantitas

Perhatikan contoh pernyataan di bawah ini.


(1) Seluruh anggota DPR RI saat ini bersih dari
korupsi.
(∀ 𝑥 𝐴(𝑥
(2) Ada siswa SMA Kejar Impian yang tidak lulus ujian
nasional tahun ini.
(∃ 𝑥 𝐵(𝑥

Untuk menyanggah pernyataan (1), maka


perlu membuktikan ada anggota DPR RI saat ini
yang korup. Satu saja anggota DPR yang ternyata
korup, maka kita telah menumbangkan pernyataan
(1), inilah ingkaran dari pernyataan (1). Dapat kita
simpulkan negasi dari pernyataan berbentuk
(∀ 𝑥 𝐴(𝑥 ialah (∃ 𝑥 ¬𝐴(𝑥 . Dengan kata lain

¬ (∀ 𝑥 𝐴(𝑥 ≡ (∃ 𝑥 ¬𝐴(𝑥

Untuk menyanggah pernyataan (2), kita harus


dapat membuktikan bahwa semua siswa SMA Kejar
Harapan lulus ujian nasional tahun ini. Jika semuanya
terbukti lulus, maka jelas tidak ada yang tidak lulus.
Inilah ingkaran dari pernyataan (2).

¬ (∃ 𝑥 𝐵(𝑥 ≡ (∀ 𝑥 ¬𝐵(𝑥

91
4. Ekuivalen, Tautologi dan Kontradiksi
Tautologi

Suatu proposisi disebut tautologi bila apapun


nilai-nilai inputnya tidak akan merubah nilai output,
yakni tetap bernilai benar.

Contoh: “Jika ia punya anak, maka anaknya pasti laki-


laki atau bukan laki-laki”.

Pola: 𝑋 ⇒ (𝑌 ∨ ¬𝑌

𝑋 𝑌 ¬𝑌 𝑌 ∨ ¬𝑌 𝑌 ⇒ (𝑋 ∨ ¬𝑋
1 1 0 1 1
1 0 1 1 1
0 1 0 1 1
0 0 1 1 1

- Jika Abdul punya anak, tidak mungkin anaknya


bukan laki-laki bukan pula bukan laki-laki.

Kontradiksi

Prinsip kontradiksi ialah tidak mungkin X


benar jika ¬X juga benar [secara bersamaan]. Dengan
begitu pernyataan yang memuat kontradiksi akan
selalu bernilai salah. Dengan demikian, apapun nilai
input yang dimasukkan, outputnya selalu bernilai 0
(kemustahilan untuk terjadi)

92
Contoh: Saya akan belajar hanya jika suasana
hening dan ada konser di belakang rumah.

- Kita tahu jelas jika ada konser (B), maka suasana


pasti tidak hening (¬A)
- Pola 𝐶 ⇒ (𝐴 ∧ ¬𝐴
- Jadi pernyataan di atas setara dengan “Saya akan
belajar hanya jika suasana hening dan ribut
[sekaligus]” yang jelas tak akan mungkin terjadi.
- Kesimpulannya: bagaimanapun, saya tidak akan
belajar (-C)

𝐴 ¬𝐴 𝐴 ∧ ¬𝐴 𝐶 ⇒ (𝐴 ∧ ¬𝐴
1 0 0 0
0 1 0 0

Hukum Ekuivalensi

A dan B disebut ekuivalen secara logis jika


𝐴 ⇔ 𝐵 tautologi. Ingat biimplikasi 𝐴 ⇔ 𝐵 bernilai
benar jika nilai kebenaran A sama dengan nilai
kebenaran B. Artinya, jika 𝐴 ⇔ 𝐵 tautologi (bernilai
benar untuk segala kombinasi keadaan) maka jelaslah
A bernilai benar jika dan hanya jika B benar.

Bentuk ekuivalen yang mendasar antara lain:

1. ¬¬𝐴 ≡ 𝐴
2. (𝐴 ⇒ 𝐵 ≡ ¬𝐴 ∨ 𝐵
3. (𝐴 ⇔ 𝐵 ≡ (𝐴 ⇒ 𝐵 ∧ (𝐵 ⇒ 𝐴
(𝐴 ⇔ 𝐵 ≡ (𝐴 ∧ 𝐵 ∨ (¬𝐴 ∧ ¬𝐵

93
4. ¬(𝐴 ∧ 𝐵 ≡ ¬𝐴 ∨ ¬𝐵
5. ¬(𝐴 ∨ 𝐵) ≡ ¬𝐴 ∧ ¬𝐵
6. ¬(𝐴 ⇒ 𝐵 ≡ ¬(¬𝐴 ∨ 𝐵
≡ (¬¬𝐴 ∧ ¬𝐵
≡ 𝐴 ∧ ¬𝐵
7. ¬(𝐴 ⇔ 𝐵 ≡ ¬ (𝐴 ⇒ 𝐵 ∧ (𝐵 ⇒ 𝐴
≡ ¬ (¬𝐴 ∨ 𝐵 ∧ (¬𝐵 ∨ 𝐴
≡ ¬(¬𝐴 ∨ 𝐵 ∨ ¬(¬𝐵 ∨ 𝐴
≡ (𝐴 ∧ ¬𝐵 ∨ (¬𝐴 ∧ 𝐵

Hukum Kontradiksi

Hukum kontradiksi sebenarnya berasal dari


logika filsafat yang sudah dikembangkan dalam logika
matematika, yakni ingkaran. Tetapi sebagai
pembanding, maka saya tuliskan terlebih dahulu di
sini.

Dalam kontradiksi, terdapat dua komponen


yang penting yakni:

a. kualitas (ya dan tidak)


b. kuantitas (seluruhnya atau sebagian)

Dari kombinasi kedua faktor di atas dapat


diperoleh empat kombinasi yakni seluruhnya ya,
seluruhnya tidak, sebagian ya, dan sebagian tidak.
Misalkan diberikan contoh kasus.

94
(a) Seluruh maba Fisika mengikuti prosesi
pengkaderan.
(b) Seluruh maba Fisika tidak mengikuti pengkaderan.
(c) Sebagian maba Fisika mengikuti prosesi
pengkaderan.
(d) Sebagian maba Fisika tidak mengikuti prosesi
pengkaderan.

Pasangan kontradiksi yang mungkin terbentuk


ialah:

a. Kontradiktoris, yakni pertentangan pada kualitas


dan kuantitas.
b. Kontrair, yakni pertentangan pada kualitas saja
dan kuantitasnya universal.
c. Sub-kontrair, yakni pertentangan pada kualitas
saja dan kuantitasnya partikulir.
d. Sub-alternasi, yakni pertentangan pada kuantitas
saja.

Hukum-hukum yang berlaku ialah:

a. Kontradiktoris
Contohnya pasangan kontradiksi antara (a) dan
(d). Sifat kontradiktoris ialah salah satu premis
harus benar dan yang lainnya salah.
b. Kontrair
Contohnya pasangan kontradiksi antara (a) dan
(b). Sifat kontrair ialah salah satu atau kedua
premis harus salah (bisa salah satunya salah, bisa

95
juga keduanya salah, namun tak mungkin
keduanya benar).
c. Sub-kontrair
Contohnya pasangan kontradiksi antara (c) dan
(d). Sifat sub-kontrair ialah salah satu atau kedua
premis harus benar (bisa salah satunya benar, bisa
juga keduanya benar, namun tak mungkin
keduanya salah).
d. Sub-alternasi
Contohnya pasangan kontradiksi antara (a) dan (c)
atau (b) dan (d). sifat sub-alternasi ialah salah satu
atau kedua premis dapat bersifat benar (bisa
keduanya benar, keduanya salah, atau salah satu
benar).

Penjelasan pada contoh:

Untuk kontradiktoris, perhatikan premis (a)


dan (d), yakni “seluruh maba Fisika mengikuti prosesi
pengkaderan” dan “sebagian maba Fisika tidak
mengikuti pengkaderan”. Jelas pada pembahasan
mengenai operator kuantitas, kedua premis itu
merupakan pasangan negasi. Jadi jika seluruh maba
Fisika mengikuti prosesi pengkaderan, otomatis tak
ada yang tidak mengikuti pengkaderan. Jadi, tak
mungkin kedua premis itu benar dan tak mungkin juga
keduanya salah. Tepat salah satunya haruslah benar.

Untuk kontrair, perhatikan premis (a) dan (b),


yakni “seluruh maba Fisika mengikuti prosesi
pengkaderan” dan “seluruh maba Fisika tidak

96
mengikuti prosesi pengkaderan”. Jelaslah bila (a)
benar otomatis (b) menjadi tidak benar, begitu pula
sebaliknya. Dalam kasus ini, jika keadaannya ialah
premis (c), “sebagian maba Fisika yang mengikuti
prosesi pengkaderan” [berlaku juga untuk premis (d)],
maka kedua premis, (a) dan (b) menjadi salah.

Untuk sub-kontrair, perhatikan premis (c) dan


(d), yakni “sebagian maba Fisika mengikuti
pengkaderan” dan “sebagian maba Fisika tidak
mengikuti pengkaderan”. Kedua premis ini dapat
bernilai benar bersamaan jika sebagian ikut prosesi
dan sebagian lagi tidak, bisa salah satunya saja yang
benar, tetapi mustahil kedua premis ini salah
bersamaan.

Untuk sub alternasi, perhatikan premis (a) dan


(c), yakni “seluruh maba Fisika mengikuti prosesi
pengkaderan” dan “sebagian maba Fisika mengikuti
prosesi pengkaderan. Jika (a) benar, otomatis (c) juga
benar dan jika (c) benar mungkin saja (a) benar. Jadi
tidak terdapat pertentangan yang bermakna di sini.
Hal yang sama berlaku untuk premis (b) dan (d).

Sekarang kita akan mencoba membandingkan


antara negasi/ingkaran dan kontradiksi/lawan.
Quantifier dalam logika matematika adalah semua dan
ada, sedangkan dalam logika filsafat adalah semua dan
sebagian. Semua adalah lawan dari sebagian, sehingga
menurut hukum kontradiksi Ptolomeus keduanya
tidak mungkin benar pada kasus dan saat yang sama.

97
Sebaliknya semua dan ada jika dihubungkan dengan
suatu kualitas akan menjadi pasangan ingkaran. Ada
bisa berarti sebagian bisa juga berarti semua.

Lawan ialah subset dari ingkaran. Contohnya


lawan dari kering adalah basah, sedangkan ingkaran
dari kering adalah tidak kering, yang dalam
pemahaman sehari-hari berarti basah. Jadi dalam
dikotomi, lawan dan ingkaran menjadi setara. Tetapi
pada banyak kasus dikotomi tidak berlaku. Misalkan
lawan dari siswa adalah guru, sedangkan ingkaran
dari siswa ialah bukan siswa—bisa guru, petani, atau
yang lain. Jadi dalam hal ini jelas lawan ialah subset
dari ingkaran.

Pada kebanyakan kasus, lawan dari suatu


pernyataan sulit dientukan, bahkan tidak logis.
Misalkan proposisi “hujan turun”, apakah lawannya?
Hujan naik? Panas turun? Ataukah panas naik? Lain
halnya jika kita menentukan ingkaran dari proposisi di
atas, kita peroleh “hujan tidak turun” ataukah “bukan
hujan yang turun”, yang keduanya ekuivalen. Contoh
lain ialah lawan dari siswa adalah guru, lalu
bagaimana jika ada guru yang juga merupakan siswa
(tentunya ini hal yang lumrah)? Jika kita
menggunakan ingkaran, maka hal ini menjadi praktis
dan tidak membingungkan. Bukan siswa ya berarti
bukan siswa. Guru tadi, semenjak ia juga siswa, maka
ia tidak termasuk dalam pengecualian.

98
Demikian pula halnya dalam memberikan
bantahan dari suatu argumen (antitesa), kita tak perlu
repot menentukan lawan dari proposisi dalam
argumen tadi (yang bisa jadi tidak logis), kita cukup
memberikan ingkarannya saja. Misalkan pada contoh
proposisi “Semua anak kandung Pak Anto Susanto
laki-laki”, maka ingkarannya ialah “Ada anak kandung
Pak Anto Susanto yang perempuan”, selesai. Apakah
hanya sebagian anaknya yang perempuan ataukah
semuanya perempuan yang jelas kita telah
memberikan bantahan dari proposisi di atas. Jadi,
ingkaran/negasi ini telah merangkumkan
kontradiktoris, kontrair, sub-kontrair, dan sub-
alternasi.

99
5. Pengambilan Kesimpulan
Kita dapat menarik suatu kesimpulan dari dua
pernyataan yang saling berkaitan, yang mana
keduanya telah jelas bernilai benar. Pernyataan-
pernyataan ini disebut premis mayor (premis yang
memuat predikat kesimpulan) dan premis minor
(premis yang memuat subjek kesimpulan).

Silogisme

Silogisme ialah metode penarikan kesimpulan


dari dua pernyataan yang disebut premis mayor dan
premis minor. Agar ada sesuatu yang bisa
disimpulkan, maka haruslah ada keterkaitan antara
premis mayor dan premis minor. Keterkaitan yang
dimaksud ialah unsur yang sama (sederhananya,
premis mayor dan premis minor memberikan
informasi berbeda dari satu hal yang sama). Unsur
yang terdapat dalam premis mayor dan premis minor
ini disebut medium.

S = subjek

P = predikat

M = medium (unsur yang sama yang terdapat pada


kedua premis)

100
Berikut keempat bentuk dasar silogisme:

M P P M M P P M
(1) S M (2) S M (3) M S (4) M S
S P S P S P S P

Dalam menarik kesimpulan menggunakan


silogisme, penting untuk mencermati quantifier dari
premis mayor dan premis minor (yang kadang tak
dituliskan secara eksplisit), apakah bersifat universal
ataukah partikular.

M P Semua mamalia menyusui.


S M Kuda ialah mamalia.
S P Semua kuda menyusui.

P M Semua ikan hidup di air.


S M Semua udang hidup di air.
S P Semua ikan dan udang hidup di air

M P Semua bintang memancarkan radiasi termal.


M S Semua bintang memancarkan gelombang EM .
S P Semua bintang memancarkan radiasi termal dan
gelombang EM .

101
P M Semua siswa mengenakan seragam.
M S Semua yang mengenakan seragam terlihat rapi.
S P Sebagian yang terlihat rapi itu adalah siswa.

Kasus Satu Premis Berimplikasi

Kasus 1:

a. Jika cuaca buruk, maka pesawat dilarang terbang.


b. Cuaca tidak buruk.

Dari kedua premis di atas, kita tidak dapat


menyimpulkan apa-apa. Kita tak bisa menyatakan
karena cuaca tidak buruk maka pesawat boleh terbang
sebab meskipun cuaca tidak buruk, pesawat tetap
tidak boleh terbang jika landasan pacunya rusak. Jadi,
tidak ada kesimpulan yang dapat diambil jika
argumen-argumennya berbentuk

i) 𝐴 ⇒ 𝐵
ii) ¬𝐴

Kasus 2:

Sekarang contohnya seperti berikut ini

a. Jika cuaca buruk, maka pesawat dilarang terbang.


b. Pesawat dilarang terbang.

Kedua premis di atas berbentuk,

102
i) 𝐴 ⇒ 𝐵
ii) 𝐵

Dari kedua argumen itu juga tidak dapat ditarik


kesimpulan. Pesawat dilarang terbang bisa saja karena
cuaca buruk, tetapi bisa saja karena sebab lain yang
tak bisa kita ketahui jika tidak dipastikan.

Kasus 3:

Berikutnya contoh seperti berikut ini.

a. Jika cuaca buruk, maka pesawat dilarang terbang.


b. Cuaca buruk.

Kedua premis di atas berbentuk,

i) 𝐴 ⇒ 𝐵
ii) 𝐴

Dari kedua argumen di atas, berdasarkan modus


Ponens dapat kita tarik kesimpulan:

Kesimpulan : Pesawat dilarang terbang (B).

Kasus 4:

Terakhir, untuk contoh berbentuk seperti:

a. Jika cuaca buruk, maka pesawat dilarang terbang.


b. Pesawat tidak dilarang terbang.

Kedua premis di atas berbentuk,

103
i) 𝐴 ⇒ 𝐵
ii) ¬𝐵

Dari kedua argumen di atas dapatlah kita tarik


kesimpulan berdasarkan modus Tollens:

Kesimpulan : Cuaca tidak buruk (¬A).

Logikanya ialah karena pesawat tidak dilarang


terbang, maka pastilah cuaca tidak buruk karena bila
cuaca buruk pesawat tidak boleh terbang.

Kasus Kedua Premis Berimplikasi

AB AB
(1) B  C (2) A  C
AC A  (B  C)

AB AB
(3) CB (4) C  A
( A  C)  C C  B 10

Contoh:

Kasus (1)

a. Jika suatu hewan menyusui, maka hewan itu


mamalia.

10
Kasus (1) dan (4) sebenarnya sama saja.

104
b. Jika suatu hewan mamalia, maka ia berdarah
panas.

Kesimpulan: Jika suatu hewan menyusui, maka ia


berdarah panas.

Kasus (2)

a. Jika diberi jeruk nipis, sambal menjadi lebih asam.


b. Jika diberi jeruk nipis, sambal menjadi lebih awet.

Kesimpulan: Jika diberi jeruk nipis, sambal menjadi


lebih asam dan lebih awet.

Kasus (3)

a. Jika lulus SNMPTN, pendaftar berhak menjadi


mahasiswa.
b. Jika lulus seleksi PMDK, pendaftar berhak menjadi
mahasiswa.

Kesimpulan: Jika lulus SNMPTN atau lulus seleksi


PMDK, pendaftar berhak menjadi mahasiswa.

Kasus (4)

a. Jika Anto punya pencaharian, maka ia bukan


pengangguran.
b. Jika Anto pns, maka ia punya pencaharian.

Kesimpulan: Jika Anto pns, maka ia punya


pencaharian.

105
Kasus untuk Biimplikasi

AB AB
(1) B  C (2) A  C
AC BC

(ingat pada biimplikasi (𝐴 ⟷ 𝐵 ≡ (𝐵 ⟷ 𝐴 ).

Jelaslah tidak terdapat kerumitan pada biimplikasi,


sebab dua hal yang berimplikasi pastilah ekuivalen.

Contoh:

1) 𝑎2 = 𝑐 jika dan hanya jika 𝑐 = 𝑎.


2) Bulan terbit saat Matahari terbenam jika dan
hanya jika saat bulan baru.
3) Suatu bilangan disebut bilangan genap jika dan
hanya jika bilangan itu habis dibagi dengan 2.

106
Latihan:

1. Buktikanlah bahwa (𝐴 ∧ ¬𝐵) ⇒ ¬𝐶 tautologi!

2. Diberikan premis-premis
a) Jika saya lapar maka saya makan.
b) Jika saya makan maka saya kenyang.
Apakah kesimpulan dari kedua premis di atas?

3. Diberikan dua pernyataan


a) Aldy mengulang matakuliah komputasi atau
biologi.
b) Tidak benar bahwa Aldy mengulang matakuliah
komputasi dan biologi.
Apakah kedua pernyataan di atas sama maknanya?
Buktikanlah!

4. Ratna berkata bahwa semua pengurus OSIS SMA


Tunas Bambu periode ini merupakan anggota
pramuka. Patrick menyanggah, “Ah, kamu salah,
buktinya Yoko dan Yuma yang anggota pramuka tidak
masuk pengurus OSIS”. Apa pendapat Anda mengenai
sanggahan Patrick?

5. Jika hari tidak hujan bila Andi menggunakan seragam


dan berangkat ke sekolah, maka Andi tidak bersekolah
saat hujan.
Cari dan buktikan apakah pernyataan di atas bernilai
logis atau tidak!

107
Bab 4

PEMECAHAN MASALAH

1. Metode Bepikir
Sampailah kita pada bab mengenai pemecahan
masalah. Pada bab ini, akan kita gunakan semua
perkakas yang telah dipaparkan pada ketiga bab
sebelumnya.

Metode berasal dari kata Latin, methodos yang


berarti peneitian, hipotesa ilmiah, atau uraian ilmiah.
Jadi, dapat dikatakan metode adalah cara kerja
sistematis yang digunakan untuk memahami suatu
objek yang dipermasalahkan. Metode berpikir meliputi
identifikasi masalah dan penalaran masalah tadi
melalui proses argumentasi yang menggunakan
perangkat-perangkat logika tersistematis. Secara
umum, metode berpikir terbagi menjadi dua, yakni
metode deduktif dan metode induktif.

Metode Deduktif

Metode berpikir secara deduktif (umum –


khusus) melibatkan pemecahan/pembagian masalah
umum menjadi masalah-masalah yang lebih kecil,
kemudian memahami pola antara masalah-masalah
kecil tadi untuk mengambil kesimpulan. Metode ini
disebut pula metode analitik (analyein = memisahkan),

108
memisahkan suatu masalah rumit menjadi masalah-
masalah sederhana. Bahkan menurut Russel,
pemecahan ini dapat sampai ke skala logika terkecil,
yang disebut “atom logika”.

Metode deduktif adalah metode yang umum


dipakai untuk memecahkan suatu masalah yang
teridentifikasi dengan jelas, mencari solusi, atau
pembuktian analitik, seperti metode reductio ad
absurdum.

Contoh metode deduktif:

1. Semua benda fisik memiliki massa.


1.1. Udara dapat dikurung dalam balon.
1.2. Benda yang tak dapat menembus benda
fisik pastilah benda fisik juga.
1.3. Udara adalah benda fisik.
2. Udara adalah benda fisik.
3. Kesimpulan: udara memiliki massa.

Metode reductio ad absurdum (reductio =


menyusutkan, membagi, absurdum = kemustahilan)
adalah metode pembuktian kebenaran suatu argumen
dengan cara membuktikan bahwa sangkalan dari
argumen tadi adalah keliru atau mustahil, atau metode
membuktikan suatu argumen keliru dengan cara
menunjukkan akan muncul kejanggalan,
ketidaklogisan, atau kontradiksi jika argumen tadi
diterima. Metode ini sering digunakan oleh Euclid
untuk membuktikan teorema-teorema geometrinya.

109
Berikut contoh penggunaan metode reductio ad
absurdum untuk membuktikan suatu argumen itu
benar.

Batu pastilah memiliki berat, sebab jika tidak


maka ia akan melayang di udara.

Atmosfer pastilah ikut berotasi dengan Bumi,


sebab jika tidak maka udara akan bertiup secepat
perputaran Bumi (1.670 km/jam di khatulistiwa)
akibat efek relatif.

Dan berikut contoh penggunaannya untuk


membuktikan suatu argumen keliru.

Tidak mungkin ada bilangan rasional positif


yang terkecil, sebab jika ada, maka bilangan tadi dapat
dibagi dua, yang mana bernilai lebih kecil.

Tidaklah mungkin ‘tiada yang mustahil’ di


semesta ini, sebab jika semua mungkin, maka mungkin
pula semuanya itu mustahil.

Metode Induktif

Metode induktif merupakan metode berpikir


dengan menggabungkan unit-unit masalah yang dapat
kita peroleh, menjalin hubungan di antaranya,
kemudian menarik kesimpulan sebagai solusi
pemecahan umum dari masalah-masalah tadi. Metode
ini disebut pula dengan metode sintesis (syntithenai =

110
menempatkan, yang kemudian sering digunakan
untuk proses menggabungkan unsur-unsur berbeda
untuk memperoleh unsur baru.), menempatkan
kombinasi konsep-konsep dan merangkaikannya
untuk memperoleh kebenaran yang bersifat lebih
umum. Dalam konsep triad dari Hegel, metode ini
berupa penalaran antara tesis dan antitesis untuk
mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, sintesis.
Selanjutnya, sintesis ini dapat saja kembali menjadi
tesis, dan alur pemikiran pun berulang.

Metode induktif adalah metode yang umum


dipakai untuk mengidentifikasikan masalah yang
belum jelas, menemukan teori baru, atau dalam
pembuktian terbalik.

Contoh metode induktif:

1. Makin dekat kita ke sumber panas, maka akan


terasa lebih panas.
2. Bumi paling dekat ke Matahari pada bulan
Desember dan paling jauh dari Matahari pada
bulan Juni.
3. Akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi terhadap
bidang edarnya, Matahari berada di garis balik
utara pada bulan Juni dan di garis balik selatan
pada bulan Desember.
4. Makin kecil sudut Matahari dari atas kepala maka
akan terasa makin panas.

111
Kesimpulan: Musim dingin di kutub selatan lebih
dingin daripada musim dingin di kutub utara dan
musim panas di kutub selatan lebih panas daripada
musim panas di kutub utara.

Dapat kita lihat bahwa metode deduktif


cenderung bersifat apriori, sedangkan metode induktif
cenderung bersifat aposteriori.

2. Problem Matematika
Salah satu konsep penting dalam pemecahan
masalah ialah dengan melakukan analisa. Analisa
berarti kita memecah masalah-masalah rumit yang tak
kita ketahui metode pemecahannya menjadi masalah-
masalah kecil yang dapat kita pecahkan menggunakan
aturan-aturan yang telah dikenal dengan baik. Dalam
buku ini penulis tak bermaksud membahas
matematika secara mendalam, tetapi di sini kita akan
sedikit membahas problem geometri dan konsep
integral sebagai contoh pemecahan masalah secara
analitis.

Di sini kita akan mencoba mencari luas suatu


trapesium seperti pada gambar 4.1. Asumsikan bahwa
kita belum tahu rumus untuk menghitung luas
trapesium (toh sebagian dari yang tahu pun belum
pernah membuktikannya), yang kita ketahui hanya
rumus yang lebih dasar yakni rumus luas segiempat

112
(definitif) dan segitiga (yang dapat diperoleh dari
pemecahan segiempat secara diagonal). Untuk itu, kita
perlu memecah trapesium itu menjadi tiga, seperti
pada gambar di kanan.

Gambar 4.1. Menghitung luas trapesium.


Kita simbolkan alas segitiga I dan III dengan a
dan b, sehingga 𝑙2 = 𝑎 + 𝑙1 + 𝑏. Luas tiap-tiap fragmen
ialah:
𝑎ℎ
 Fragmen I: 𝐿I = 2
.
 Fragmen II: 𝐿II = 𝑙1 ℎ
𝑏ℎ
 Fragmen III: 𝐿III =
2

Sehingga diperoleh luas trapesium sama


dengan jumlah luasan ketiga segmen, 𝐿 = 𝐿I + 𝐿II +
𝐿III .
𝑎ℎ 𝑏ℎ
𝐿= + 𝑙1 ℎ +
2 2

𝑎ℎ (𝑙 2 −𝑙 1 −𝑎 ℎ
𝐿= + 𝑙1 ℎ +
2 2

𝑎 𝑙2 𝑙1 𝑎 𝑙 1 +𝑙 2
𝐿=ℎ + 𝑙1 + − −2 = ℎ
2 2 2 2

113
Jadi, diperoleh rumus luas trapesium dengan
dua rusuk sejajar tidak bergantung terhadap
perbandingan nilai a dan b.

Nah, sekarang kita akan mendekatkan diri


pada konsep integral luasan. Misalkan terdapat suatu
𝑥2
luasan yang dibentuk oleh kurva 𝑦 = , sumbu-X,
2
garis x = 0, dan garis x = 3. Bagaimana cara kita
menghitung daerah itu, sedangkan kita hanya
mempunyai rumus untuk menghitung luas benda-
benda beraturan? Ya! Caranya ialah dengan memecah
luasan nggak karuan itu sampai menjadi bentuk yang
sederhana, yang akrab oleh kita, yang telah kita
ketahui formulanya.

𝑥2
Gambar 4.2. Luas daerah di bawah kurva 𝑦 = 2
.

Dengan membagi daerah tadi menjadi tiga


segmen dalam selang 0 – 1, 1 – 2, dan 2 – 3, diperoleh
bentuk tiap segmen menyerupai segitiga dan
trapesium. Makin banyak segmen yang dibuat, maka

114
bentuk tiap-tiap segmen akan semakin menyerupai
trapesium, sehingga total luas segmen akan semakin
mendekati luas daerah di bawah kurva (daerah yang
ingin dicari luasnya).

Jika dipilih pembagian menjadi tiga segmen


saja (lebar tiap segmen = 1), maka diperoleh tinggi
02 12
pada titik x = 0, ialah 2
= 0 , pada x = 1 ialah 2
= 0,5,
22 32
pada x = 2 ialah = 2, dan pada x = 3 ialah = 4,5.
2 2
Dengan menggunakan perumusan luas trapesium yang
diperoleh sebelumnya, maka luas daerah di bawah
kurva ialah:

0,5 × 1 (0,5 + 2 × 1 (2 + 4,5 × 1


𝐿= + + = 4,75
2 2 2

Jadi, luas daerah yang ditanyakan adalah


sekitar 4,75 satuan luas. Mengapa sekitar? Ya karena
dalam penyelesaiannya kita melakukan pendekatan
luasan tiap segmen sebagai trapesium (perhatikan
luas sebenarnya pastilah lebih kecil daripada luas
pendekatan ini). Jika jumlah segmen diperbanyak,
akan diperoleh hasil yang semakin teliti, hingga nilai
luas sebenarnya yakni 4,5 satuan luas dapat diperoleh.

115
3. Paradoks
Paradoks ialah suatu pernyataan atau
proposisi yang menyatakan (atau nampaknya
menyatakan) pemikiran dari premis yang dapat
diterima, berujung pada kesimpulan yang terlihat
tidak logis atau kontradiksi dengan dirinya sendiri
(Oxford Dictionary). Paradoks dapat juga didefinisikan
sebagai argumen yang nampaknya menurunkan
kesimpulan yang kontradiktif melalui deduksi yang
valid dari premis yang dapat diterima (Merriam-
Webster). Jadi, dapat kita nyatakan paradoks muncul
dari suatu argumen yang diterima kebenarannya,
kemudian setelah dilakukan deduksi yang valid dari
argumen tadi akan muncul kesimpulan yang (nampak)
tidak logis (kontra-intuitif) atau kontradiktif. Hal yang
membuat paradoks nampak istimewa dari problem
lainnya ialah bagaimana bisa argumen yang benar,
diturunkan secara benar pula, menghasilkan
kesimpulan yang kontra-intuitif.

Paradoks dapat muncul dari segala disiplin


ilmu, baik matematika, ilmu alam, ilmu sosial, verbal,
visual, hingga logika itu sendiri. Sebagian besar
paradoks yang dikenal telah terpecahkan, sedangkan
sebagian lainnya tetap tak terpecahkan. Pemecahan
paradoks akan berujung pada tiga macam
kemungkinan yakni:

a. Argumen awal—yang nampaknya dapat diterima


kebenarannya, sebenarnya keliru, ataukah tidak

116
mungkin terjadi dalam kenyataan. Contohnya
Aristotele’s Cycle Paradox.
b. Ada kekeliruan dalam metode menurunkan
kesimpulan yang paradoks itu dari argumen awal.
Contohnya Missing Square Puzzle dan Twin
Paradox.
c. Kesimpulan yang kontra intuitif itulah realita yang
sebenarnya. Contohnya Monty Hall Paradox.

Paradoks merupakan bukti bahwa apa yang


kita anggap logis dapat saja keliru dan apa yang
nampaknya kontra-intuitif dapat saja nyata. Paradoks
juga menunjukkan kemungkinan kesalahan metode
deduksi yang nampaknya sudah benar, membuat kita
merasa was-was tentang deduksi-deduksi yang lain.
Sebagai contoh, dalam buku ini akan dipaparkan
tentang Missing Square Puzzle dan Monty Hall
Paradox. Contoh lainnya (beserta pemecahannya)
dapat Anda temukan di Wikipedia atau di blog saya.
Gambar 4.3.
Missing square
puzzle. Perhatikan
kedua bangun
tersusun dari
elemen yang
sama, tetapi luas
totalnya nampak
berbeda.

117
Oke, pertama akan kita bahas tentang Missing
Square Puzzle. Cobalah perhatikan kedua segitiga pada
gambar di atas. Pada gambar diberikan dua bangun
(atas dan bawah) dengan panjang alas dan tinggi yang
sama. Keduanya tersusun dari empat segmen yang
sama persis, dua segitiga kecil dan dua bangun letter L
tetapi pada bangun di bawah ada petak yang ‘hilang’.

Kita coba analisis, luas segitiga pada gambar


atas ialah 32,5 satuan, tetapi pada segitiga pada
gambar bawah ada satu petak yang hilang, padahal
mereka tersusun dari segmen-segmen yang sama
persis! Ke mana hilangnya satu petak itu?

Untuk memecahkan problem ini, Anda perlu


melakukan pengamatan dan analisis yang teliti.
Kuncinya ialah menghitung luas total segmen-segmen
penyusun kedua segitiga itu.

Sekarang kita beralih ke Monty Hall Paradox.


Paradoks ini mengenai kuis tebak hadiah di Amerika
di mana pembawa acaranya bernama Monty Hall,
kurang-lebih serupa dengan kuis Superdeal 2 Milyar
yang pernah tayang di salah satu stasiun TV nasional.
Nah, pada paradoks ini diberikan suatu kondisi di
mana terdapat tiga pintu yang di baliknya berisi
hadiah. Salah satu pintu “berisi” mobil mewah,
sedangkan dua yang lainnya “berisi” kambing. Anda
diberikan kesempatan untuk memilih salah satu pintu
yang berisi hadiah Anda. Setelah Anda memilih pintu
Anda, sang host kemudian membuka salah satu pintu

118
yang berisi kambing, lalu menawarkan Anda untuk
memilih lagi: tetap pada pintu yang dipilih pertama
atau pindah ke pintu satunya lagi yang belum terbuka.
Untuk peluang mendapatkan mobil yang lebih tinggi,
apakah pilihan Anda?

Sebagian besar orang beranggapan bahwa


peluang mendapatkan mobil sama saja ketika tetap
pada pilihan pertama atau pindah pada pintu yang lain
(50:50), mengingat hadiah yang tersisa adalah satu
mobil dan satu kambing. Tetapi kenyataannya, jika
Anda memilih untuk beralih pilihan, maka peluang
Anda mendapatkan mobil mewah menjadi 67%, dan
peluang mendapatkan mobil jika tetap pada pilihan
pertama ialah 33%. Lho, kok bisa begitu? Nampak
kontra-intuitif?

Gambar 4.4. Ilustrasi paradoks Monty Hall.

Ya, saat ketiga pintu tertutup, maka peluang


suatu pintu berisi mobil masing-masing ialah 33%.
Ketika Anda memilih satu pintu (sebut pintu 1), maka
peluang pintu Anda berisi mobil ialah 33%, dan
peluang pintu yang tidak Anda pilih (pintu 2 dan 3)
berisi mobil masing-masingjuga 33%, sehingga

119
totalnya 67%. Ketika pintu 3 yang berisi kambing
dibuka, maka peluang pintu 3 berisi mobil runtuh
menjadi nol, sehingga meningkatkan peluang pintu 2
berisi mobil menjadi 67%.

Mungkin beberapa dari Anda tetap tidak


percaya, untuk itu akan saya berikan contoh yang
lebih ekstrim. Saya menunjukkan seratus kartu yang
tertutup, di satu di antaranya ialah kartu joker (saya
tahu yang mana kartu joker itu). Saya meminta Anda
untuk memilih satu kartu untuk mendapatkan joker.
Setelah Anda memilih satu kartu (tidak dibuka),
tersisa 99 kartu yang tidak terpilih dan saya membuka
98 di antaranya yang bukan joker. Kini tersisa dua
kartu, satu yang Anda pilih sebelumnya dan satu yang
tidak Anda pilih. Manakah yang paling besar
kemungkinannya merupakan kartu joker? Secara
matematis, peluang kartu yang Anda pilih merupakan
joker ialah 1%, sedangkan peluang kartu satunya lagi
ialah 99%. Suatu langkah bodoh bila Anda tidak
mengganti pilihan Anda.

Oke, sebagai bonus, saya akan memberikan


suatu deret matematika, 𝑆 = 1 − 2 + 4 − 8 + 16 − ⋯,
seterusnya sampai tak hingga. Pertanyaannya adalah,
berapakah nilai dari S ? Ternyata jumlahan dari deret
tadi ialah 1/3! Lho, bagaimana mungkin jumlahan dari
deret yang hanya berisi bilangan bulat bisa jadi
pecahan? Tidak percaya? Mari kita buktikan.

𝑆 = 1 − 2 + 4 − 8 + 16 − ⋯

120
−2 × 𝑆 = −2 + 4 − 8 + 16 − 32 + ⋯

Perhatikan bahwa −2 × 𝑆 tidak lain ialah 𝑆 −


1, sehingga bila dipersamakan,

−2 𝑆 = 𝑆 − 1

−3 𝑆 = −1

𝑆 = 1/3

Nah, terbukti kan? Atau…

4. Alam Semesta adalah Masalah


Kita hidup di dunia ini dan kita selalu dilanda
masalah, baik masalah kecil yang nyaris tak
membebani sama sekali hingga yang sangat pelik, dari
yang tidak begitu penting untuk dipecahkan hingga
yang menyangkut hidup-matinya kita. Mengapa kita
manusia, dan beberapa hewan lainnya, nampak selalu
dilanda masalah, sedangkan Gunung Bawakaraeng
nampak tenang-tenang saja berdiri di sana? Saya
menganggap bahwa alam semesta ini adalah masalah,
lebih tepatnya sumber dari segala masalah. Tapi alam
semesta bukanlah satu-satunya faktor, ada satu faktor
lain dan tanpa kedua faktor itu maka masalah takkan
muncul. Faktor yang membuat hewan cerdas seperti
manusia selalu dirundung masalah ialah karena
ketidakpuasan. Dari repotnya menggosok gigi sebelum

121
tidur, spp yang tidak pernah tiba-tiba saja terbayar
tanpa sepengetahuan kita, kisah asmara yang tidak
sesuai dengan harapan, hingga ketidakpuasan kita
terhadap penjelasan dosen mengenai pertambahan
entropi dua sistem terisolasi yang digabungkan.

Dari masalah itu, sering muncullah rasa takut.


Mengapa kita merasa takut? Kita merasa takut karena
keidakpastian—ketidakpastian ending dari masalah,
dan karena dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak
pasti, maka kita selalu merasa takut. Saat kecil kita
takut ke kamar mandi saat kebelet tengah malam,
siapa yang menjamin sesosok pocong tidak akan
muncul di balik pintu kamar mandi? Kita takut
melawan penjahat yang bersenjata, siapa yang jamin
kita bisa merobohkannya sebelum pisau penjahat itu
menancap di tubuh? Kita takut melawan pihak
dominan dan berkuasa, siapa yang jamin kita bisa
selamat atau tidak dikucilkan? Tetapi kita tidak perlu
takut untuk mencari kebenaran semesta, hukum-
hukum yang mengatur dari jagat terkecil hingga jagat
terbesar. Permasalahan ini tidak akan menimbulkan
rasa takut, malah menjadi kekaguman terhadap
keagungan semesta ini. Yah, meskipun jika dibawa ke
ranah lain boleh jadi berbeda. Setelah terbiasa
memecahkan masalah-masalah yang “aman”, kita bisa
melakukan gebrakan.

Dengan begitu, jika tak ada hal pelik dalam


hidup, baiknya kita mencari-cari masalah alih-alih
menghabiskan banyak waktu untuk bermalas-malasan

122
tanpa hasil. Einstein pernah berujar, “Hal yang paling
tak dapat dimengerti dari alam semesta ialah bahwa ia
dapat dimengerti”. Ya, alam semseta dapat dimengerti,
dan jika alam semesta mengizinkan kita untuk
mengerti dirinya, mengapa kita tak mencoba?

Anda tidak hanya bisa memikirkan


permasalahan-permasalahan matematika dan alam,
permasalahan sosial, politik, sampai sejarah pun
menarik untuk disantap. Yang diperlukan pertama
ialah kepekaan terhadap masalah dan rasa penasaran
untuk memecahkan suatu masalah. Kalau kedua tadi
tidak dipunyai, maka segala metode berpikir yang
telah diulas dalam buku ini tiada gunanya.

Latihan:

1. Perhatikan pernyataan berikut ini:


1) Semua Pap adalah Pip 3) Semua Pup adalah Pep
2) Semua Pip adalah Pup 4) Semua Pep adalah Pop

Jika keempat pernyataan di atas benar, berilah tanda


pada kesimpulan yang keliru.
⎕ Semua Pap adalah Pep
⎕ Semua Pip adalah Pop
⎕ Semua Pup adalah Pap
⎕ Semua Pop adalah Pep

2. Terdapat dua golongan di suatu desa, yakni golongan


kesatria yang selalu berkata jujur dan golongan

123
penjarah yang selalu berkata bohong. Jika A
mengatakan “B adalah seorang kesatria” dan B
mengatakan “Kami dari golongan yang berbeda”. Maka
kesimpulan yang dapat ditarik adalah…
a. A kesatria dan B penjarah
b. A penjarah dan B kesatria
c. A dan B penjarah
d. A dan B kesatria
e. tak dapat diperoleh kepastian

3. Pada suatu kejuaraan bulu tangkis, tim X akan


berhadapan dengan tim Y. Pertandingan terdiri dari
lima partai, tim mana yang memenangkan partai lebih
banyak akan menjadi pemenangnya. Di atas kertas, tim
X memiliki pemain dengan peringkat lebih baik, yakni
peringkat 1, 3, 7, 9, dan 11. Sebaliknya tim Y memiliki
pemain dangan peringkat 4, 5, 10, 13, dan 21. Apakah
tim Y memiliki peluang untuk memenangkan
pertandingan? Bagaimana?

4. Pilihlah jawaban yang benar.


a. Memilih opsi b e. memilih opsi a, c, dan d
b. Memilih opsi e f. semua opsi salah
c. Tidak memilih opsi a g. opsi a. b, c, dan f salah
d. Tidak memilih opsi e

5. Saya menantang Anda untuk tidak menerima


tantangan saya. Bagaimana cara Anda untuk
memenangkan tantangan saya?

124
Bab 5

PENUTUP

1. Aksiologi
Kita telah cukup panjang membahas mengenai
proses berpikir dan buah pemikiran. Akhirnya kita
sampai pada pertanyaan sakral: untuk apa itu semua?
Untuk apa kita berpikir? Jawabnya adalah untuk
kehidupan yang lebih baik. Untuk hidup lebih bahagia.

Aksiologi merupakan cabang ilmu filsafat yang


membahas tentang penggunaan dari ilmu, apa
gunanya ilmu yang kita punya itu. Aksiologi berasal
dari kata Latin, axio yang berarti nilai dan logos yang
berarti kajian. Bagaimana penerapan ilmu itu dinilai,
baik-buruk, indah-jelek. Berbicara tentang nilai
semacam itu jelaslah bukan suatu topik matematika
yang bagus, karena pemahaman tentang nilai itu dapat
berbeda antara penilai satu dengan penilai yang lain.
Nah, kajian mengenai hakikat nilai itulah yang disebut
aksiologi.

Ada beberapa karakteristik dari nilai, yaitu:

1. Nilai objektif atau subjektif.


Suatu nilai dikatakan objektif jika tidak
bergantung terhadap perbedaan subjek yang
menilai, sedangkan dikatakan nilai subjektif jika

125
maknanya bergantung terhadap subjek yang
menilai.
2. Nilai absolut atau berubah.
Nilai dikatakan absolut jika persepsi subjek
terhadap objek tidak berubah, abadi (setidaknya
selama kehidupan masih ada), sedangkan nilai
disebut berubah jika persepsi subjek dapat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Permasalahan mengenai nilai ini dapat dibagi


berdasarkan nilai baik-buruknya (etika) dan
berdasarkan keindahannya (estetika).

Etika

Etika berasal dari kata Latin, ethos, yang


berarti karakter. Etika merupakan cabang filsafat yang
mengkaji perilaku manusia. Tomas Paul dan Linda
Elder mendefinisikan etika sebagai konsep-konsep
dan prinsip yang memandu kita untuk menentukan
perbuatan apa yang dapat menolong atau melukai
makhluk berperasaan. Jadi, konsep etika erat
kaitannya dengan moral.

Etika sendiri berasal dari beberapa sumber,


antara lain yaitu:

1. Fitrah manusia, baik sebagai hewan maupun


kelebihannya sebagai makhluk yang berpikir.
2. Adat dan pemahaman tentang kebiasaan yang
berkembang dan dipertahankan dalam masyarakat
setempat.

126
3. Doktrin atau paham dari suatu kepercayaan,
seperti agama, aliran filsafat, dan lain-lain.

Sumber etika yang paling utama ialah fitrah


manusia, nilai baik-buruk yang tertanam dalam
pikiran manusia sejak dilahirkan. Karena begitu
abstraknya sumber ini, sering kita tidak dapat
membedakan hal-hal mana yang dapat menolong
makhluk lain dan mana yang dapat melukai
perasaannya.

Sumber yang ke-dua ialah adat pemahaman


tentang kebiasaan dalam masyarakat. Nilai-nilai dari
sumber ini bersifat unik, dapat berbeda antara satu
kelompok dan kelompok lain. Misalkan dalam budaya
masyarakat tertentu bersendawa setelah makan itu
sangat tidak sopan, sedangkan budaya masyarakat lain
menganggap itu adalah hal yang biasa. Penilaian dua
orang terhadap suatu tindakan dapat saja
bertentangan, karena orang cenderung mengambil
referensi dari perilaku masyarakat sekitar.

Sumber yang ke-tiga adalah doktrin agama dan


paham kepercayaan yang dianut. Bahkan dua orang
yang memiliki agama yang sama pun dapat berbeda
pandangan mengenai suatu hal. Misalkan bagi umat
muslim radikal, mendengar musik pop itu bukanlah
hal yang baik, sedangkan bagi umat beragama lain,
bahkan bagi penganut Islam yang lebih moderat atau
liberal, mendengar musik pop itu sah-sah saja selagi
tidak mendatangkan kerugian bagi diri sendiri dan

127
orang lain (misalnya memutar musik dengan keras di
perpustakaan dapat mengakibatkan kita ditegur dan
membuat orang lain jengkel).

Tentunya diperlukan metode untuk


mengetahui hal-hal mana saja yang dapat menolong
manusia dan hal-hal mana saja yang dapat melukainya.
Metode pertama ialah dengan “eksperimen bertukar
posisi”. Tentunya eksperimen yang dimaksud adalah
eksperimen angan-angan. Bila kita hendak melakukan
sesuatu pada orang lain, cobalah bayangkan bila orang
lainlah yang melakukan hal yang sama pada diri kita.
Metode ke-dua ialah mengamati dan mempelajari. Jika
kita melakukan suatu tindakan pada makhluk lain,
amatilah tanggapannya, dan pelajari. Misalkan jika kita
melempari kucing dengan batu, alih-alih mengeong
dengan gembira menghampiri kita, kucing itu akan
mengerang dan kabur. Kita dapat mengamati bahwa
kucing juga tidak suka disakiti, maka kita belajar
bahwa melempari kucing (atau semacamnya seperti
menginjak kecoa dan menembak cicak dengan karet
gelang) bukanlah hal yang baik.

Estetika

Secara etimologi, estetika berasal dari kata


Latin, aisthetikos yang berarti keindahan, perasaan.
Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji

128
nilai-nilai dalam kreasi dan seni serta hubungannya
dalam kehidupan manusia.

Keindahan setidaknya dapat kita bagi menjadi


keindahan individual dan harmoni atau keselarasan.
Keindahan individual menyangkut persepsi kita
mengenai indah tidaknya suatu hal, sedangkan
harmoni menyangkut kesesuaiaan objek-objek yang
dikumpulkan. Misalkan lukisan yang berisi gambar
gelas dan cangkul. Gelas dapat digambar dengan
indah, begitu pula dengan cangkul, tetapi seindah apa
pun gambar gelas dan cangkulnya lukisan tadi tidak
akan terlihat menarik karena tidak ada keselarasan
dalam objek-objek penyusunnya.

Aksiologi dan Teknologi

Pada masa Aristoteles, pengertian hidup yang


lebih baik itu cukup sederhana: tertib, indah, etis, dan
bijak dalam bertindak. Sekarang, kehidupan yang lebih
baik berhubungan dengan kemudahan beraktivitas,
sekarang ilmu itu digunakan untuk perkembangan
teknologi. Teknologi tidak dapat dipisahkan dari
manfaat, etika, dan estetika. Dengan teknologi terkini
kita dapat menyimpan isi buku satu perpustakaan
hanya dalam komputer yang seukuran buku. Dengan
teknologi kita dapat bercakap dan melihat wajah
kawan yang berada di belahan dunia lain. Teknologi
menghasilkan rudal balistik dengan hulu ledak nuklir

129
yang memiliki jangkauan hingga ribuan kilometer.
Dengan teknologi, selaput dara yang sudah rusak
dapat diperbaiki lagi.

Teknologi ibarat pedang bermata dua, dapat


memberi manfaat dan dapat pula membawa petaka,
tergantung niat dan cara kita menggunakannya. Untuk
itu saya berikan beberapa kasus yang melibatkan
teknologi, etika, dan estetika.

Sejak revolusi industri, pabrik-pabrik besar


berdiri menghasilkan produk-produk teknologi. Efek
sampingnya, dihasilkan limbah produksi yang tentulah
harus dibuang. Sebagian limbah ini dibuang di sungai
atau laut sehingga mengotori dan mencemari
lingkungan. Akibat limbah produksi maupun sampah
dari produk yang sudah tak terpakai yang dibuang
sembarangan, sungai menjadi kotor dan masyarakat
maupun flora-fauna di beberapa tempat mengalami
keracunan.

Beberapa tahun yang lalu, pemerintah


berencana membangun pembangkit listrik tenaga
nuklir untuk memasok energi listrik yang selama ini
tidak cukup, sering terjadi pemadaman listrik di
seluruh Indonesia. Pihak pemerintah dan badan
peneliti terkait telah mengkaji beberapa daerah yang
cocok untuk dijadikan lahan PLTN, tetapi warga di
semua daerah yang direncanakan tadi umumnya
menolak didirikannya PLTN di kabupaten mereka—
meskipun PLTN-nya dibangun di daerah yang jauh

130
dari pemukiman. Warga dan pemerintah daerah
berdalih PLTN sangat berbahaya, bahkan negara maju
seperti AS dan Jepang pun mulai berencana
meninggalkan sumber energi nuklir. Padahal, jumlah
orang yang mati karena kecelakaan atau
penyalahgunaan senjata tajam masih jauh lebih
banyak daripada orang yang mati karena kecelakaan
atau penyalahgunaan nuklir.

Beberapa tahun silam, dunia kedokteran


menemukan teknik untuk menjahit kembali selaput
dara (himen) yang sudah sobek. Beberapa kalangan
menentang operasi ini sebagai sesuatu yang tidak etis
dan melawan kodrat. Keperawanan itu bukanlah
diukur berdasarkan keutuhan selaput dara saja, tetapi
intinya ialah mengenai perempuan yang mampu
menjaga kesuciannya. Meskipun selaput dara dijahit
hingga utuh pun, keperawanan dalam artian
sebenarnya tidaklah akan kembali. Padahal, stigma
perawan/tidak perawan itu diciptakan oleh
masyarakat sendiri sehingga (calon) pasien yang
mungkin karena kecelakaan, menjadi korban
kejahatan, atau kelalaian di masa mudanya telah
kehilangan selaput daranya, oleh karena masih hidup
dalam stigma perawan-tidak perawan, ia berusaha
memperbaiki selaput daranya, dengan niat baik agar
tidak mengecewakan sang calon suami dan
keluarganya.

Sebagai latihan bab ini, silakan Anda


berpendapat mengenai kasus-kasus di atas.

131
2. Berpikiran Terbuka dan Pluralisme
Dari subbab 5.1, telah kita pahami bahwa
pemahaman individu mengenai nilai tidak sepenuhnya
sama. Umumnya kita sepakat tentang mana yang baik
dan yang salah, sebagian lagi kita berbeda pendapat.

Merupakan kecenderungan manusia untuk


berkumpul bersama orang-orang yang sepandangan
pemikiran dengannya. Saat kita masuk ke sekolah
yang baru, kita akan mencoba bergaul dengan orang
lain sebanyak mungkin. Seiring waktu, kita akan
mendapatkan teman-teman yang cocok, klop, dan
dengan merekalah kita banyak menghabiskan waktu.
Lalu mungkin akan tercipta nama geng sebagai suatu
identitas kelompok. Itu manusiawi sekali. Sering, kita
menganggap diri kita adalah bagian dari kelompok,
bukan berkelompok adalah bagian dari kehidupan
kita. Ini mungkin akan menciptakan egoisme
kelompok. Jika mujur, mungkin saja paham kelompok
tadi akan diberi nama dengan akhiran –isme atau
sejenisnya, dan tak menutup kemungkinan terjadi
pertengkaran antara pihak penganut apelisme dan
jerukisme, perihal buah mana yang sebenarnya lebih
enak (saya pilih apel).

Di dunia ini, di mana orang-orang mengklaim


berdiri atas paham filsafat, agama, dan ajaran lain
yang menekankan cinta dan kebijaksanaan, tengah
berperang atas nama cinta, seteru atas nama
kebijaksanaan, dan mendirikan kebenaran melalui

132
tindakan-tindakan yang (nampaknya) tidak benar.
Sepertinya kita tidak perlu kebenaran, kita hanya ingin
dianggap sebagai “yang benar”. Kita menghakimi,
mungkin lebih pada suka dan tidak suka, alih-alih pada
baik-buruk atau benar-salah. Di tengah itu semua,
beberapa orang berusaha mengacungkan tangan dan
memberi usul tentang pluralisme.

Pluralisme

Tentunya tidak asing lagi di telinga Anda


bahwa pluralisme di Indonesia mendapat tanggapan
pro dan kontra. Sebenarnya, akar dari polemik tadi
adalah ambiguitas dari kata pluralisme dalam Bahasa
Indonesia (atau mungkin ada yang sengaja
membuatnya menjadi ambigu?). Untuk itu, di sini kita
akan menelusuri definisi dari pluralisme.

Secara etimologi, plural = beragam, isme =


paham.

A condition or system in which two or more


states, groups, principles, source of authority, etc.,
coexist (Oxford Dictionary).

A state of society in which members of diverse


ethnic, racial, religious, or social group maintain and
develop their traditional culture or special interest
within the confines of a common civilization
(Merriam-Webster).

133
Keadaan masyarakat yang majemuk
(bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya)
(KBBI).

Pluralism is a framework of interaction in


which groups show sufficient respect and tolerance of
each other, that they fruitfully coexist and interact
without conflict or assimilation (Wikipedia).

Dari pemahaman pluralisme menurut


Wikipedia di atas, dapat kita ketahui bahwa pluralisme
adalah pandangan untuk saling menghormati dan
menoleransi pihak lain, berinteraksi tanpa ada konflik
dan tanpa ada asimilasi. Tanpa asimilasi artinya adalah
tidak mencampurkan pandangan A dan pandangan B,
A ya A dan B ya B, tapi kita harus mendukung kedua
pihak berjalan bersama-sama tanpa konflik dalam
pergaulan sosial. Saling menghormati tidak harus
berarti sepenuhnya membenarkan pandangan
kelompok lain.

Meskipun demikian, pemahaman pluralisme di


Indonesia telah banyak diplintir, beberapa pihak
menyamakan pluralisme dengan paham asimilasi.
Entah oleh oknum yang senang dengan paham gado-
gado, ataukah pihak egois yang tidak senang paham
lain eksis sehingga memelintir definisi pluralisme
menjadi pluralisme-asimilasi, berharap masyarakat
terbodohi lalu menolak pluralisme seperti itu, dan
menggeneralisasikannya pada definisi pluralisme yang
asli. Ujung-ujungnya seseorang menolak pluralisme

134
hanya karena kawannya atau gurunya mengatakan
“pluralisme itu jahat, mari kita injak” tanpa pernah
mengetahui arti pluralisme sebenarnya.

Well, sebagai penulis, saya pribadi tidak


sepakat dengan paham pluralisme-asimilasi menurut
saya nyeleneh itu, tapi itu tidak berarti saya menolak
pluralisme. Sekedar mengingatkan, falsafah dan
semboyan negara kita, “Bhineka Tunggal Ika” sendiri
menyiratkan bahwa negara ini berdiri atas dasar
pluralisme—dalam pengertian yang asli tentunya.

3. Cinta akan Kebijaksanaan


Kita telah membahas mengenai konsep dan
seluk-beluk berpikir dari sistematika filsafat, logika
matematika, dan metode ilmiah secara ringkas namun
saya rasa cukup jelas dalam buku ini. Sebagai penutup,
saya akan mengutip salah satu cerita favorit saya. Saya
telah berusaha mencari sumber asli dari cerita ini,
namun gagal. Sumber paling awal yang saya ketahui
memuat cerita ini ialah buku “Jadilah Pelita” terbitan
September 2005. Kisah ini secara khusus
membicarakan tentang keberagaman agama, tapi
marilah kita memahaminya dalam segala bentuk
keberagaman pandangan filosofi dan budaya. Dengan
semangat tinggi, saya persembahkan bagi pembaca.

135
Suara yang Paling Indah

Seorang tua yang tak berpendidikan tengah


mengunjungi suatu kota besar untuk pertama kali
dalam hidupnya. Dia dibesarkan di sebuah dusun di
pegunungan yang terpencil, bekerja keras
membesarkan anak-anaknya, dan kini sedang
menikmati kunjungan perdananya ke rumah anak-
anaknya yang modern.

Suatu hari, sewaktu dibawa berkeliling kota,


orang tua itu mendengar suara yang menyakitkan
telinga. Belum pernah dia mendengar suara yang
begitu tidak enak didengar di dusunnya yang sepi. Dia
bersikeras mencari sumber bunyi tersebut. Dia
mengikuti sumber suara sumbang itu, dan dia tiba di
sebuah ruangan di belakang sebuah rumah, di mana
seorang anak kecil sedang belajar bermain biola.

“Ngiiik!” Ngoook!” berasal dari nada sumbang


biola tersebut.

Saat dia mengetahui dari putranya bahwa


itulah yang dinamakan “biola”, dia memutuskan untuk
tidak akan pernah mau lagi mendengar suara yang
mengerikan tersebut.

Hari berikutnya, di bagian lain kota, orang tua


ini mendengar sebuah suara yang seolah membelai-
belai telinga tuanya. Belum pernah dia mendengar
melodi yang begitu indah di lembah gunungnya, dia
pun mencoba mencari sumber suara tersebut. Ketika

136
sampai ke sumbernya, dia tiba di ruangan depan
sebuah rumah, di mana seorang wanita tua, seorang
maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya.

Seketika, orang tua ini menyadari


kekeliruannya. Suara tidak mengenakkan yang
didengarnya kemarin bukanlah kesalahan dari biola,
bukan pula salah sang anak. Itu hanyalah proses
belajar seorang anak yang belum bisa memainkan
biolanya dengan baik.

Dengan keluguannya, orang tua itu berpikir


bahwa mungkin demikian pula halnya dengan agama.
Sewaktu kita bertemu dengan seseorang yang
menggebu-gebu terhadap kepercayaannya, tidaklah
benar untuk menyalahkan agamanya. Itu hanyalah
proses belajar seorang pemula yang belum bisa
memainkan agamanya dengan baik. Sewaktu kita
bertemu dengan seorang bijak, seorang maestro
agamanya, itu merupakan pertemuan indah yang
menginspirasi kita selama bertahun-tahun, apa pun
kepercayaan mereka.

Namun ini bukanlah akhir dari cerita.

Hari ke-tiga, di bagian lain kota, si orang tua


mendengar suara lain yang bahkan melebihi
kemerduan dan kejernihan suara sang maestro biola.
Suara itu melebhi indahnya suara aliran air
pegunungan pada musim semi, melebihi indahnya
suara angin musim gugur di sebuah hutan, melebihi

137
merdunya suara burung-burung pegunungan yang
berkicau setelah hujan lebat. Bahkan melebihi
indahnya keheningan pegunungan sunyi pada suatu
malam musim salju. Suara apakah gerangan yang telah
menggerakkan hati si orang tua melebihi apa pun itu?

Itu adalah suara sebuah orkestra besar yang


memainkan sebuah simfoni.

Bagi si orang tua, alasan mengapa itulah suara


terindah di dunia adalah, pertama, setiap anggota
orkestra merupakan maestro alat musiknya masing-
masing; dan kedua, mereka telah belajar lebih jauh lagi
untuk bisa bermain bersama-sama dalam sebuah
harmoni.

“Mungkin ini sama dengan agama,” pikir si


orang tua. “Marilah kita semua mempelajari hakikat
kelembutan agama kita melalui pelajaran-pelajaran
kehidupan. Marilah kita semua menjadi maestro cinta
kasih di dalam agama kita masing-masing. Lalu,
setelah mempelajari agama kita dengan baik, lebih
jauh lagi, mari kita belajar untuk bermain, seperti
halnya para anggota sebuah orkestra, bersama-sama
dengan penganut agama lain dalam sebuah harmoni!”

Itulah suara yang paling indah.

138
Glosarium

aksiden : sifat dari suatu hal yang tidak esensial,


pelengkap dan dapat bervariasi untuk
hal yang sama.

aksiologi : cabang ilmu filsafat yang mempelajari


fungsi dan tujuan kajian tentang
kebenaran.

aksioma : pernyataan yang tidak perlu


dipertanyakan lagi kebenarannya karena
merupakan landasan konsep.

analogi : cara berpikir dengan membandingkan


dua hal yang memeiliki kesamaan dalam
suatu hal yang ditinjau.

analisa : metode berpikir dengan memecah-


mecah suatu masalah untuk dipahami.

antitesa : bantahan dari suatu tesa (jamak:


antitesis).

apriori : anggapan tanpa mempedulikan


pengalaman atau keadaan sebenarnya.

aposteriori : anggapan dengan menggunakan


pengalaman sebelumnya sebagai
pertimbangan.

139
dualisme : paham yang menyatakan di dunia ini
selalu terdapat pasangan-pasangan dua
sifat yang saling berlawanan.

entitas : keberadaan, semua objek yang ada baik


berwujud fisis maupun nonfisis.

epistemologi : cabang filsafat yang mengkaji sumber


dan bagaimana cara kita memperoleh
ilmu/kebenaran.

esensi : sifat yang merupakan intisari dari suatu


hal, sehingga disebut juga sifat wajib
(dalam filsafat timur definisi esensi dan
substansi saling bertukar).

empirisme : paham dalam epistemologi yang


menyatakan bahwa sumber dari ilmu
ialah pengalaman.

ekuivalen : kesamaan/kesetaraan nilai.

fitrah : kodrat: sifat suatu benda yang sudah ada


saat ia tercipta sehingga tidak diperoleh
atas usahanya sendiri.

himpunan : suatu kumpulan objek-objek yang


memiliki kesamaan, yakni memenuhi
syarat/aturan himpunan itu.

hipernim : hal yang bersifat lebih umum.

hiponim : hal yang bersifat lebih khusus.

140
idealisme : paham/mazhab dalam filsafat yang
menyatakan bahwa akal adalah inti dari
keberadaan.

identitas : diri yang sama.

implikasi : hubungan sebab akibat satu arah, sebab


menimbulkan akibat.

kontradiksi : pertentangan antara dua hal.

logika : Ilmu yang mempelajari tentang nilai


kebenaran dan cara berpikir yang benar.

logis : sejalan dengan logika (tidak


bertentangan dengan pengetahuan).

metafisika : cabang ilmu filsafat yang berupaya


mengkaji tentang kebenaran (ilmu) baik
yang fisis maupun yang non fisis (dalam
pengertian khusus metafisika hanya
membahas hal-hal di luar alam fisis).

materialisme : paham/mazhab dalam filsafat yang


menyatakan bahwa materi adalah inti
dari keberadaan.

ontologi : cabang filsafat yang mengkaji mengenai


kebenaran dalam alam fisis.

premis : proposisi yang dijadikan landasan dari


penarikan suatu kesimpulan dalam

141
logika; suatu pernyataan yang dianggap
benar.

proposisi : suatu pernyataan yang hanya dapat


bernilai benar saja atau salah saja.

rasionalisme : paham dalam epistemologi bahwa ilmu


dapat diperoleh hanya dengan
menggunakan akal (reason).

sintesa : 1) metode berpikir dengan


menggabungkan hal-hal yang kecil
menjadi hal yang lebih besar (jamak:
sintesis).
2) gabungan konsep dari tesa dan
antitesa yang menghasilkan
pernyataan baru yang lebih benar.

subset : himpunan yang terkandung (bagian) dari


suatu himpunan lain yang dimaksud.

substansi : sifat-sifat yang melekat pada suatu


entitas yang membuat kita dapat
mengenali dan membedakan entitas-
entitas yang ada.

superset : himpunan induk yang memuat himpunan


lain yang dimaksud.

terma (term) : deskripsi nilai/konsep pokok.

tesa : konsep/pernyataan awal tentang suatu


hal (jamak: tesis).

142
Daftar Pustaka

Bakry, Hasbullah, Systematik Filsafat, Ab. Sitti Sjamsijah,


Solo, 1961

Hawking, Stephen, dan Mlodinow, Leonard, The Grand


Design, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010

Malaka, Tan, Madilog, versi pdf, 1943

Penerbit, Jadilah Pelita: Ajaran Universal Buddha, Yayasan


Penerbit Karaniya & Ehipassiko Foundation,
Jakarta, 2005

Purwanto, H., Indriani, G., dan Dayanti, E., Logika


Matematika, P.T. Ercontara Rajawali, Jakarta, 2006

Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, Pustaka


Thariqul Izzah, Bogor, 2008

Wijaya, Putu, Yel, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001

http://en.wikipedia.org/wiki/Philosophy

http://mujib-ennal.blogspot.com/2012/10/aliran-
rasionalisme-dan-empirisme.html

http://oxforddictionaries/com/

http://plato.stanford.edu/entries/substance/

http://www.merriam-webster/com/

143
144
145
Konsep Berpikir
Paradoks Softbook Publisher
2013
146

Anda mungkin juga menyukai