Anda di halaman 1dari 12

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS (OAT) PADA PASIEN

TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS JUMPANDANG BARU MAKASSAR

Asrul Ismail1), Gemy Nastity Handayany1), Megawati Bakri1)


Jurusan Farmasi FKIK Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai evaluasi penggunaan obat antituberkulosis


(OAT) pada pasien Tuberkulosis (TB) Paru di Puskesmas Jumpandang Baru Makassar
selama periode Januari - Desember 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola
penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT), mengevaluasi kesesuaian penggunaan OAT
berdasarkan Pedoman Penanggulangan Nasional Tuberkulosis tahun 2014 dari
Kementrian Kesehatan RI, dan uji hubungan antara hasil pengobatan dengan jenis
kelamin, umur, lama pengobatan dan banyaknya penyakit penyerta kronik. Penelitian ini
merupakan jenis penelitian survey deskriptif dengan pengumpulan data dilakukan secara
retrospektif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 98,3% pasien di puskesmas
tersebut diberikan OAT jenis KDT (kombinasi dosis tetap) sedangkan untuk kesembuhan
mencapai 60%. Berdasarkan kesesuaian terhadap standar Pedoman Penanggulangan
TB Nasional tahun 2014, diperoleh hasil untuk paduan pengobatan kategori 1 hanya
memenuhi 98,3% sedangkan kategori 2 telah memenuhi 100%, untuk indikasi dan dosis
mencapai 100% kesesuaian. Analisis hubungan antara beberapa faktor terhadap hasil
pengobatan diperoleh kesimpulan bahwa faktor umur (p=0,027; p<0,05)lama pengobatan
(p=0,000; p<0,05) dan banyaknya penyakit penyerta kronik yang diderita pasien (p=0,002;
p<0,05), ketiganya memiliki hubungan yang bermakna terhadap hasil pengobatan pasien.
Sedangkan hanya jenis kelamin (p=0,325; p>0,05), sehingga tidak memiliki hubungan
yang bermakna dengan hasil pengobatan pasien.

Kata kunci:Puskesmas Jumpandang Baru Makassar, obat anti tuberculosis, tuberculosis


paru

PENDAHULUAN Program tersebut memiliki fokus


Tuberkulosis (TB) merupakan suatu dalam penemuan dan penyembuhan
penyakit menular yang disebabkan oleh pasien sehingga akan memutuskan
Mycobacterium tuberculosis. penularan TB dan dengan demikian akan
Penyakit TB ini masih menjadi kasus menurunkan angka kejadian TB di
yang perlu diperhatikan masyarakat (Kementrian Kesehatan,
penanggulangannya, sehingga untuk 2014).
mengoptimalkannya dibuatlah sebuah Berdasarkan pelaporan per-tahun,
standar pedoman Penanggulangan TB diperoleh angka kejadian di Puskesmas
Nasional oleh Kementrian Kesehatan ini terus mengalami peningkatan. Hal ini
Republik Indonesia yang kemudian terlihat dari pencatatan angka penemuan
menjadi acuan (guideline) bagi para kasus / Case Detection Rate (CDR)
tenaga kesehatan di unit-unit pelayanan dalam kurun 5 tahun terakhir yaitu pada
kesehatan masyarakat (Puskesmas) di tahun 2011 terdapat berkisar 44 orang
Indonesia, salah satunya adalah penderita, tahun 2012 dilaporkan
”Puskesmas Jumpandang Baru berkisar 58 orang penderita, tahun 2013
Makassar”. berkisar 61 jiwa, jumlah penderita TB
Paru diobati 47 jiwa, dan jumlah TB paru
sembuh 20 jiwa. CDR tahun 2014 Puskesmas Jumpandang Baru Makassar
berkisar 72 jiwa, sedangkan tahun 2015, yang mencakup pengkajian pola
CDR sebanyak 86 penderita. Upaya penggunaan, kesesuaian penggunaan
penanggulangan terus dilakukan, salah terhadap standar pedoman serta analisis
satunya adalah dengan penentuan hubungan antara umur, jenis kelamin,
wilayah suspek TB (terduga TB). lama pengobatan dan penyakit penyerta
Pada puskesmas ini, para pasien kronik terhadap hasil pengobatan
akan masuk dan menerima pengobatan seorang pasien.
sesuai dengan prosedur berdasarkan
standar pedoman. Mereka rerata METODE PENELITIAN
merupakan pasien yang tergolong dalam Jenis penelitian ini adalah penelitian
suspek TB terlebih dahulu, kemudian non eksperimental dengan rancangan
selanjutnya menjalani uji mikroskopis penelitian statistik deskriptif dengan
dan diagnosis untuk penentuan status pengambilan data secara retrospektif
kasus TB dan pemilihan OAT yang Lokasi penelitian dilakukan di bagian
harus mereka terima. Umumnya pasien rekam medis di Puskesmas Jumpandang
yang terinfeksi bakteri TB dapat Baru Makassar.
menularkan penyakitnya melalui kontak
intensif (dalam keluarga) dan kontak Analisis Data
pasif (lingkungan), oleh sebabnya faktor Analisis data dalam penelitian ini
yang memungkinkan seseorang dilakukan dengan cara:
terkontaminasi oleh kuman TB a. Untuk data distribusi jenis kelamin,
ditentukan oleh lamanya dia berada hasil pengobatan, kategori
pada lokasi terkontaminasi tersebut pengobatan, lama pengobatan, umur,
(Priyanto, 2009:156). penyakit penyerta kronik, kesesuaian
Penekanan dan pemberantasan dosis, kesesuaian kombinasi,
terkait dengan tingkat keberhasilan kesesuaian indikasi, dan jenis OAT
pengobatan TB bisa ditentukan dari hasil b. Untuk uji korelasi antara umur, lama
pengobatan seorang pasien yakni pengobatan, jenis kelamin dan
persentase kesembuhan, sehingga penyakit penyerta kronik terhadap
dengan demikian pencatatan hasil hasil pengobatan pasien dapat
pengobatan perlu dilakukan.Berkembang dilakukan dengan bivariate chi-square
atau tidaknya penyakit secara klinik test dengan bantuan SPSS 20.0 for
setelah infeksi mungkin dipengaruhi oleh Windows untuk diperoleh nilai p
umur, banyaknya penyakit penyerta (signifikansi) dan nilai pearson chi-
kronik yang diderita, jenis kelamin, square value (nilai chi-square hitung)
hingga lama pengobatan, sehingga yang kemudian dibandingkan dengan
faktor-faktor tersebut mungkin berperan nilai tetapan chi-square tabel untuk
terhadap hasil pengobatan seorang pengujian hipotesisnya.
pasien nantinya.Dalam upaya untuk
mencapai kesembuhan, salah satunya HASIL DAN PEMBAHASAN
juga dapat terealisasi dengan Hasil Penelitian
penggunaan OAT yang sesuai dengan Analisis data evaluasi penggunaan
Standar Pedoman Nasional oleh pasien- obat antituberkulosis pada Pasien TB
pasien yang menjalani pengobatan TB. Paru di Puskesmas Jumpandang Baru
Atas semua dasar tersebut diatas, tampak sebagai berikut.
sehingga peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian terkait evaluasi
penggunaan OAT pada pasien penyakit
Tuberkulosis Paru yang dirawat di
1. Data karakteristik pasien pasien tanpa disertai penyakit penyerta
Tabel 1 :Karakteristik pasien TB Paru berdasarkan kronik sebanyak 21 orang (35,0%),
jenis kelamin di Puskesmas Jumpandang Baru dengan 1 penyakit penyerta kronik
Variasi Frekue Present
Karakteri
Kelomp nsi ase
TOT sebanyak 20 orang (33,3) sedangkan
stik AL dengan 2 atau lebih penyakit penyerta
ok (n) (%)
Peremp
22 21,7 60
kronik sebanyak 19 orang (31,7%).
Jenis uan Tabel 4 : Karakteristik pasien TB Paru
(100
Kela-min berdasarkan tipe pasiendi Puskesmas
Laki-laki 38 63,3 %)
Jumpandang Baru
Pada Tabel 1 menyimpulkan bahwa Varia-si Fre- Present
Karakteri TOT
jumlah penderita berjenis kelamin laki- Kelomp kuensi( ase
stik AL
laki lebih banyak daripada ok n) (%)
Kasus
perempuan.Hal ini terlihat dari Tipe baru
57 95,0 60
persentase penderita laki-laki (38%) (100
pasien Kam-
3 5,0 %)
sedangkan perempuan (22%). buh
Tabel 2 : Karakteristik pasien TB Paru Berdasarkan tabel 4 disimpulkan
berdasarkandistribusi umur di Puskesmas bahwa mayoritas pasien yang masuk
Jumpandang Baru
Variasi Frekue Present berobat adalah pasien dengan kasus
Karakteri TOT baru yaitu sebanyak 57 orang (95%)
Kelomp nsi ase
stik AL
ok (n) (%) sedangkan kasus kambuh berjumlah 3
15-20 orang (5,0%).
3 5,0
tahun Tabel 5 : Karakteristik pasien TB Paru
21-59 60 berdasarkan kategori pengobatan
42 70,0
Umur tahun (100 di Puskesmas Jumpandang Baru
60 %) Variasi Frekue Present
tahun 15 25,0 Karakteri TOT
Kelomp nsi ase
keatas stik AL
ok (n) (%)
Pada tabel 2 dapat dijelaskan untuk Kate-
Kategori 57 95,0 60
karakteristik pasien TB Paru gori 1
peng- (100
berdasarkan distribusi umur digolongkan Kate-
obatan 3 5,0 %)
gori 2
dalam 3 variasi kelompok, yaitu 15-20
Pada tabel 5 terlihat bahwa
tahun, pasien 21-59 tahun dan pasien 60
mayoritas pasien yang dirawat
tahun keatas. Jumlah terbanyak berada
merupakan pasien yang menerima
pada usia rentang 21-59 tahun yaitu 42
pengobatan kategori 1 yaitu sebanyak 57
orang (70%) sedangkan untuk 15-20
orang (95%) sedangkan pasien dengan
tahun 3 orang (5%) dan 60 tahun keatas
terapi OAT kategori 2 sebanyak 3 orang
sebanyak 15 orang (25%).
Tabel 3 : Karakteristik pasien TB Paru (5%).
berdasarkan penyakit penyerta kronik yang 2. Data penggunaan OAT
diderita pasien di Puskesmas Jumpandang Baru Tabel 6 : Penggunaan berdasarkan lama
Fre- pengobatandi Puskesmas Jumpandang Baru
Variasi Present Prese
Karakter kuens TOTA Variasi Fre-
Kelom- ase Karak- n- TOTA
istik i L Kelomp kuensi(
pok (%) teristik tase( L
(n) ok n)
Tanpa %)
21 35,0
P.PK <6
Penya- 24 40,0
Deng-an bulan
kit 20 33,3 60
1 P.PK
penyer- (100 Lama 60
Deng-an Tepat 6
ta kronik %) pengobat 17 28,3 (100
2 atau bulan
(P.PK) 19 31,7 an %)
lebih
P.PK >6
19 31,7
bulan
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat
bahwa distribusi pasien dengan penyakit
penyerta kronik cenderung merata, untuk
Tabel 6 menjelaskan bahwa pasien Pada tabel 9 dilihat bahwa
terbanyak menjalani pengobatan selama keseluruhan pasien yaitu 60 orang
kurang 6 bulan yaitu sebanyak 24 orang diberikan OAT sesuai dengan indikasi
(40,0%), diikuti pasien dengan lama TB.hal ini disimpulkan bahwa untuk
tepat 6 bulan 17 orang ( 28,3%) kesesuaian indikasi berdasarkan
sedangkan pasien lebih dari 6 bulan 19 Pedoman RI Tahun 2014 dari
orang (31,7%). Kementrian Kesehatan RI untuk
Tabel 7 : Jenis OAT Pasien TB Paru di Penanggulangan TB telah memenuhi
PuskesmasJumpandang Baru Makassar 100%.
Perse Tabel 10 : Kesesuaian pemilihan kombinasi
Jumlah TO-
No Jenis Obat ntase OAT yang diberikanPada pasien TB Paru di
(n) TAL
(%) Puskesmas Jumpandang Baru Makassar
1 OAT KDT 59 98,3
OAT Ketepatan (n) Persentase (%)
60 Kategori
Sediaan No TOTAL
2 1 1,7 (100%) OAT Ti-dak Tidak
Obat Sesuai Sesuai
Tunggal sesuai sesuai
Kate- 57
Berdasarkan data tabel 7 dapat 1
gori I
56 1 98,3 1,7
(100%)
terlihat bahwa pasien mayoritas Kate- 3
2 3 0 100 0
diberikan OAT jenis KDT (Kombinasi gori II (100%)
Dosis Tetap) daripada OAT sediaan Sumber : olahan data 2016
tunggal (Kombipak). Yaitu untuk OAT Pada tabel 10 diperoleh bahwa
KDT sebesar 59 pasien (98,3%) dan 1 pasien kategori 1 memenuhi kesesuaian
orang diresepkan OAT sediaan obat dengan pedoman RI tahun 2014 sebesar
tunggal. 98,3% yaitu sebanyak 56 pasien,
3. Data Kesesuaian Penggunaan Obat sedangkan yang tidak memenuhi
Antituberkulosis kesesuaian sebesar 1,7% yaitu
Tabel 8 : Kesesuaian Dosis yang diberikan sebanyak 1 orang. Untuk kategori 2 telah
pada pasienTB Paru di Puskesmas Jumpandang
memenuhi kesesuaian dengan pedoman
Baru Makassar
Ketep Frekuensi Persentas sebesar 100%.
No TOTAL
atan (n) e (%)
1
Se-
60 100
4. Hubungan umur, jenis kelamin,
suai 60 lama pengobatan dan penyakit
2
Tidak
0 0
(100%) penyerta kronik terhadap hasil
sesuai
pengobatan pasien.
Berdasarkan tabel 8 menjelaskan
bahwa keseluruhan pasien yang Tabel 11 : tabel tabulasi silang antara X1 dengan Y
berjumlah 60 orang (100%) diberikan
OAT dengan dosis yang sesuai dengan Hasil
Umur
Pedoman RI Tahun 2014 dari pengobatan Total
60
Kementrian Kesehatan RI untuk 15-20 21-59
tahun
Penanggulangan TB. tahun tahun
keatas
Sembuh 3 28 5 36
Tabel 9 : Kesesuaian Indikasi OAT Pasien
yang diberikan padapasien TB Paru di Puskesmas Tidak
0 14 10 24
Jumpandang Baru Makassar sembuh

Kete- Frekuens Persen- Total 3 42 15 60


No Total
patan i (n) tase (%) Berdasarkan tabel 11 terlihat bahwa
1
Se-
60 100 60 persentase kesembuhan paling tinggi di
suai rentang umur 21-59 tahun yaitu
(100%
Tidak
2
sesuai
0 0 ) sebanyak 28 orang sedangkan untuk 15-
20 tahun sebanyak 3 orang dan 60 tahun
keatas sebanyak 5 orang pasien adanya penyakit penyerta kronik sebesar
dinyatakan sembuh TB. 19 orang, dengan 1 penyakit penyerta
Tabel 12 : tabel tabulasi silang antara X2 kronik sebanyak 9 orang sedangkan
dengan Y dengan 2 atau lebih penyakit penyerta
Lama pengobatan kronik sebanyak 8 orang.
Hasil Tepat Lebih Total Tabel 15 : tabel uji chi-square X(1,2,3,4) terhadap Y
pengobatan Kurang Asymp.
6 6 2
6 bulan Variabel (X) X hitung Db Sig. (2-
bulan bulan
sided)
Sembuh 19 17 0 36 Umur (X1) ,7,222 2 0,027
Tidak Lama
0 0 24 24 60,000 2 0.000
sembuh pengobatan (X2)
Jenis kelamin
Total 19 17 24 60 0,969 1 0.325
(X3)
Pada tabel 12 disimpulkan bahwa Penyakit
penyerta kronik 12,537 2 0,002
persentase pasien sembuh terbanyak (X4)
yang menjalani lama pengobatan lebih 6 N of Valid Cases 60
bulan yaitu sebesar 17 orang, Berdasarkan tabel 15 didapatkan
sedangkan tepat 6 bulan sebesar 19 untuk umur (X1) nilai p=0,027 < 0,05;
orang dan tidak ada pasien yang lama pengobatan (X2) dengan nilai
sembuh kurang dari 6 bulan masa p=0.000 < 0.05; dan nilai p penyakit
pengobatan. penyerta kronik (X4) sebesar 0,002<0,05,
Tabel 13 : tabel tabulasi silang antara X3
dengan Y
sehingga disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara
Jenis kelamin
Hasil
Total variabel X1,3,4 dengan Y. Sedangkan
Laki-
pengobatan
laki
Perempuan pada variabel nilai p jenis kelamin (X3)
sebesar 0,325 > 0,05 sehingga hal ini
Sembuh 21 15 36
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
Tidak
sembuh
17 7 24 yang bermakna antara variabel X3
dengan Y.
Total 38 22 60
Tabel 16 :chi-square ( 2 ) hitung dan ( 2
) tabel
Pada tabel 13 untuk pasien yang Variabel 2 2 Kesim-
hi-
Db
berhasil sembuh berdasarkan distribusi (X) tung tabel pulan
2
jenis kelamin, diperoleh pasien berjenis Umur (X1) 2 7,222 5,991
hitung
kelamin laki-laki memiliki persentase > 2 tabel
lebih tinggi yaitu 21 orang sedangkan Lama 2
hitung
pengoba- 2 60,000 5,991 2
perempuan sebanyak 15 orang. tan (X2) > tabel
Tabel 14 : tabel tabulasi silang antara X4
Jenis 2
dengan Y hitung
kelamin 1 0,969 3,841 2
Penyakit penyerta Kronik (X3) < tabel
(P.PK) Penyakit
Hasil 2
Dengan To- penyerta hitung
pengobatan Tan- 2 12,537 5,991 2
Dengan 2 atau tal kronik > tabel
pa (X4)
1 P.PK lebih
P.PK
P.PK Berdasarkan tabel 16, untuk nilai
Sembuh 19 9 8 36 chi-square value ( 2 hitung) yang lebih
Tidak
2 11 11 24 besar dari chi-square table ( 2 tabel)
sembuh
makan hipotesis alternatif (H1) diterima
Total 21 20 19 60
sedangkan hipotesis null (H0) ditolak,
Berdasarkan tabel 14 diperoleh berarti variabel X tersebut
persentase kesembuhan untuk pasien mempengaruhi Y. sehingga dari data
dengan atau tanpa penyakit penyerta tabel tersebut disimpulkan bahwa
kronik yaitu untuk pasien sembuh tanpa
variabel umur (X1), lama pengobata dalam 3 varian kelompok, yaitu pasien
(X2), dan penyakit penyerta (X4) tanpa penyakit penyerta kronik, pasien
memiliki pengaruh terhadap hasil dengan 1 penyakit penyerta kronik dan
pengobatan pasien. Sedangkan jenis pasien dengan 2 atau lebih penyakit
kelamin ( X3), tidak memiliki pengaruh penyerta kronik. Dari analisis data
terhadap pasien. diperoleh distribusi pasien terbanyak
Pembahasan yaitu pasien TB tanpa penyakit penyerta
Dari hasil penelitian yang telah kronik sebesar 40%. Penyakit penyerta
dilakukan untuk evaluasi penggunaan kronik ini mungkin dapat mempengaruhi
obat antituberkulosis pada pasien TB kesembuhan pasien, contoh penyakit
Paru di Puskesmas Jumpandang Baru yang digolongkan penyakit kronik salah
Makassar, jumlah sampel yang dipilih satunya yaitu Diabetes mellitus, dengan
sebanyak 60 orang. Berdasarkan penyakit ini dapat mempengaruhi asupan
karakteristik pasien Tuberkulosis (TB) di nutrisi yang masuk dan bisa
Puskesmas ini didapatkan frekuensi mengganggu metabolisme tubuh
kasus penderita berjenis kelamin laki-laki sehingga berpengaruh pada proses
lebih tinggi dari penderita berjenis penyembuhan. Begitupun pada penyakit
kelamin perempuan yaitu sebesar kronik lainnya, penyakit kronik ini pun
63,3%. Angka kasus penderita laki-laki mungkin bisa memicu ketidakberhasilan
cenderung lebih banyak dibandingkan pengobatan ataukah memperlambat
dengan perempuan, hal ini dikarenakan kesembuhan pasien.
oleh beberapa faktor resiko yaitu seperti Ditinjau dari tipe pasien yang
kebiasaan merokok sehingga lebih diperoleh dari data riwayat pengobatan
meningkatkan resiko terjangkit yang tertera pada rekam medik diperoleh
penyakit.Long et al. (1999) dalam data bahwa mayoritas pasien yang
Vetreany Simamora (2010) melaporkan masuk untuk menerima perawatan TB
bahwa prevalensi kasus tuberkulosis adalah pasien dengan status kasus baru
paru di negara berkembang duapertiga (95%), yaitu pasien yang belum pernah
pada laki-laki dan sepertiga pada terpapar TB sebelumnya, sedangkan
perempuan. pasien dengan status kasus kambuh
Ditinjau dari segi umur, frekuensi hanya 5%. Berdasarkan Kementrian
kasus terbesar ada pada pasien dengan Kesehatan RI (2014) dalam buku
usia pertengahan (dewasa) 21-59 tahun pedoman penanggulangan TB Nasional,
yaitu 70% kejadian, diikuti oleh pasien kasus baru merupakan pasien yang
untuk usia 60 tahun keatas sebanyak belum pernah diobati dengan OAT atau
25%, sedangkan pasien umur 15-20 sudah pernah menelan OAT kurang dari
tahun hanya 5% kejadian. Kementrian satu bulan (4 minggu) dimana
kesehatan RI (2014) menyatakan, sekitar pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA )
75% pasien TB adalah kelompok usia bisa positif atau negatif, sedangkan
yang paling produktif secara ekonomis kasus kambuh yaitu pasien TB yang
(15-54 tahun), diperkirakan seorang sebelumnya pernah mendapatkan
dengan TB dewasa, akan kehilangan pengobatan TB dan telah dinyatakan
rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 sembuh atau pengobatan lengkap, dan
bulan. Sehingga diperkirakan dapat didiagnosis kembali dengan BTA positif
merugikan secara ekonomis, TB juga (apusan atau kultur). Di Indonesia
memberikan dampak buruk secara sosial diperkirakan setiap tahun ada 429.730
stigma bahkan dikucilkan oleh kasus baru dan kematian 62.260 orang.
masyarakat. Angka insiden kasus TB baru terbilang
Ditinjau dari penyakit penyerta kronik selalu menduduki posisi teratas angka
pasien di puskesmas ini, dikelompokkan kasus tipe pasien TB Paru tiap tahunnya,
diwilayah Timur bersadarkan hasil survei TB paru atau ektra paru dengan hasil
prevalensi TB (2014), Case Detection BTA positif/negatif, rontgen
Rate (CDR) atau angka penemuan positif/negatif. Sedangkan pasien yang
kasus adalah 210 per 100.000 tergolong kategori 2 adalah kasus
penduduk. Tingginya kasus baru diduga kambuh (Relaps), putus obat (Default),
tidak luput dari peran kontak fisik melalui dan pasien gagal (failure). Untuk kategori
lingkungan tempat tinggal para 1 pada tahap intensif diberikan tiap hari
penderita, karena melihat dari data lokasi kombinasi RHZE (Rifampisin, Isoniazid,
tempat tinggal subjek penelitian dimana Pirazinamid, Etambutol) atau 4KDT
rerata pasien berasal dari beberapa titik (kombinasi dosis tetap) selama 56 hari
wilayah yang sama. Umumnya kemudian dilanjutkan tahap lanjutan
penularan terjadi dalam ruangan dimana diberikan RH (rifampisin, isoniazid) atau
percikan dahak berada dalam waktu 2KDT (kombinasi dosis tetap) sebanyak
yang lama, daya penularan seorang 3 kali seminggu selama 16 minggu atau
pasien ditentukan oleh banyaknya 4 bulan.Untuk kategori 2 pada tahap
kuman yang dikeluarkan dari intensif diberikan RHZES (Rifampisin,
parunya.Makin tinggi derajat kepositifan Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol, Injeksi
hasil pemeriksaan dahak, makin menular Streptomisin) atau 4KDT (kombinasi
pasien tersebut.Faktor yang dosis tetap) + Inj. Streptomisin selama
memungkinkan seseorang 56 hari kemudian dilanjutkan pemberian
terkontaminasi oleh kuman TB RHZE atau 4KDT selama 28 hari.Lanjut
ditentukan oleh lamanya dia berada ke tahap lanjutan diberikan RHE
pada lokasi terkontaminasi tersebut. (Rifampisin, Isoniazid, Etambutol) atau
Risiko penularan menurut Annual Risk of 4KDT (kombinasi dosis tetap) + E
TB Infection (ARTI) yaitu proporsi (Etambutol) selama 20 minggu atau 4
penduduk yang beresiko terinfeksi TB bulan.Disiapkan tahap sisipan untuk
selama satu tahun sebesar 1%, berarti pasien yang tidak mengalami konversi
10/1000 penduduk atau 1000/100.000 BTA setelah pengobatan intensif yaitu
penduduk terinfeksi setiap tahun. Di tiap diberikan RHZE (Rifampisin, Isoniazid,
puskesmas ataupun pelayanan Pirazinamid, Etambutol) tiap hari
kesehatan lainnya, termasuk di sebanyak 28 hari.
Puskesmas Jumpandang Baru Makassar Ditinjau dari lama pengobatan
ini, suspek TB terbagi atas 2 aspek yang kedalam 3 varian analisis, yaitu pasien
utama, yaitu pasien dengan hasil BTA dengan lama pengobatan kurang dari 6
positif dan pasien yang hasil BTA negatif bulan (< 6 bulan), tepat 6 bulan, dan
tetapi hasil rontgen positif. Untuk pasien yang menerima pengobatan
penentuan kategori pengobatan dan selama lebih dari 6 bulan (>6 bulan).
status kasus pasien, terlebih dahulu Penentuan pasien yang masuk di tiap
pasien harus melewati pemeriksaan varian, dilakukan dengan melihat data
secara diagnosis yaitu melalui foto penggunaan obat yang tercantum dalam
rontgen atau melalui pemeriksaan pengobatan tahap awal dan tahap
secara mikroskopis yaitu pemeriksaan lanjutan pasien. Dari hasil analisis lama
SPS (sewaktu, pagi, sewaktu). pengobatan pasien, yang terbanyak
Ditinjau dari kategori pasien, adalah pasien yang menjalani
sebagian dari jumlah subjek penelitian pengobatan selama kurang 6 bulan
adalah pasien yang menerima sebesar 40% diikuti pasien tepat 6 bulan
pengobatan kategori 1 yaitu sebanyak 57 sebesar 28,3%, sedangkan pasien lebih
orang (95%) sedangkan kategori 2 dari 6 bulan sebesar 31,7%. Sehingga
sebanyak 3 orang (5%). Pasien yang disimpulkan alur pengobatan di
tergolong kategori 1 yaitu pasien-pasien puskesmas ini telah sesuai standarTB
Nasional tahun 2014 yaitu pengobatan pedoman yang telah ditetapkan RI tahun
yang dianjurkan adalah pengobatan 6 2014.
bulan atau lebih. Pengobatan yang lama Untuk kesesuaian dosis dan indikasi
ini dibutuhkan karena bakteri untuk semua subyek penelitian (60
Mycobacterium tuberculosis berbeda dari pasien) ditemukan semuanya telah
bakteri lainnya, bakteri ini sulit untuk sesuai dengan standar penanggulangan
dimatikan.Sehingga untuk TB Nasional yaitu sebesar 100%.Tidak
mengoptimalkan penyembuhan pasien ditemukan adanya dosis kurang dan
membutuhkan jangka waktu pengobatan dosis lebih karena semuanya telah
yang panjang. sesuai pedoman. Untuk penentuan dosis
Untuk penggunaan jenis OAT yang didasarkan pada berat badan seorang
dipilih di puskesmas ini, diperoleh data pasien, sehingga semakin besar berat
sebanyak 59 pasien (98,3%) diberikan badan pasien tersebut maka semakin
obat anti tuberkulosis (OAT) jenis besar pula dosis OAT yang akan
Kombinasi Dosis Tetap (KDT) atau Fixed diberikan.
doses combination (FDC), sedangkan 1 Ditinjau dari kesesuaian kombinasi
orang diberikan OAT sediaan tunggal. OAT untuk kategori pengobatan,
Penggunaan OAT jenis KDT lebih dipilih berdasarkan analisis data, diperoleh
daripada jenis OAT sediaan tunggal pasien yang menerima pengobatan OAT
ataupun kombipak dikarenakan oleh kategori 1 sebesar 98,3%, terdapat 1
penggunaan obat KDT lebih orang pada kategori ini yang tidak
menguntungkan, Dosis OAT KDT dapat memenuhi kesesuaian dengan
disesuaikan dengan berat badan pedoman. Pada kategori 2 telah
sehingga menjamin efektifitas obat dan memenuhi kesesuaian sebesar 100%.
mengurangi efek samping, selain itu Penggunaan yang tidak sesuai pada
penggunaan OAT KDT dapat pasien kategori 1 tersebut adalah pasien
mengurangi resiko resistensi obat dan dengan nomor registrasi 7371/440,
dan mengurangi kesalahan penulisan nomor rekam medik 217741, usia 53
resep, serta jumlah tablet yang tahun dengan BB 41kg menerima terapi
dikonsumsi lebih sedikit sehingga OAT sediaan tunggal HRE pada tahap
membuatnya lebih sederhana dan dapat intensif, yaitu Isoniazid 300 mg satu kali
meningkatkan kepatuhan pasien. Selain sehari, Rifampisin 450 mg satu kali
itu, penggunaan OAT dalam bentuk sehari, dan etambutol 500 mg 3 kali
sediaan tunggal dapat memperbesar sehari, pasien tidak diberikan
efek samping obat dan mengurangi Pirazinamid. Sedangkan berdasarkan
tingkat kepatuhan pasien meminum obat, standar pedoman untuk tahap intensif
sehingga bisa berakibat pada proses pasien kategori 1 yaitu paduan OAT
penyembuhan pasien kemudian. HRZE.Hal yang menjadi penyebab
Berdasarka kesesuaian penggunaan ketidaksesuaian adalah faktor komplikasi
OAT pada pasien TB Paru terhadap dengan penyakit penyerta yang diderita
Pedoman Penanggulangan TB Paru oleh pasien. Pasien ini menderita
yang ditetapkan oleh Kementrian hiperurisemia, pirazinamid dapat
Kesehatan Tahun 2014 digolongkan menghambat sekresi asam urat dari
dalam beberapa varian kelompok yaitu ginjal sehingga akan menimbulkan
kesesuaian dosis, ketepatan indikasi, hiperurisemia, sehingga pirazinamid ini
dan kesesuaian pemilihan kombinasi dapat memperparah penyakit
OAT. Analisis dilakukan dengan hiperurisemia yang diderita pasien.
membandingkan data penggunaan OAT Namun penggunaan kombinasi
pada rekam medik dengan guideline pengobatan yang sesuai sangat
(anjuran) penggunaan berdasarkan diperlukan untuk menghindari terapi
yang tidak adekuat (undertreatment) dengan melihat nilai probabilitas
sehingga mencegah timbulnya (significant 2-tailed). Jika x2 hitung >x2
resistensi, menghindari pengobatan yang tabel atau probabilitas < 0.05 maka H0
tidak perlu (overtreatment) serta dapat ditolak, dan jika x2 hitung <x2 tabel atau
mengurangi efek samping (Kementrian probabilitas ≥ 0.05 maka H0 diterima
Kesehatan RI, 2014). (Sopyudin, 2012).
Ditinjau dari hubungan antara hasil Ditinjau dari hubungan varibel umur
pengobatan bila dikaitkan dengan umur, terhadap hasil pengobatan (X1↔Y),
lama pengobatan, jenis kelamin dan berdasarkan tabulasi silang diperoleh
penyakit penyerta kronik.Hasil pasien sembuh umur 15-20 tahun
pengobatan dikategorikan dalam 2 sebanyak 3 orang dan tidak ada pasien
variasi, yaitu sembuh dan tidak sembuh. yang tidak sembuh, sedangkan pada
Pasien yang dikategorikan sembuh umur 21-59 tahun pasien sembuh
adalah pasien yang mengalami konversi sebanyak 28 orang dan tidak sembuh
pada pemeriksaan dahak ulang (follow sebanyak 14 orang, serta umur 60 tahun
up) menjadi negative, sedangkan pasien keatas pasien sembuh sebanyak 5 orang
tidak sembuh adalah pasien yang tidak dan tidak sembuh sebanyak 10 orang,
mengalami konversi BTA dan tidak total keseluruhan sebanyak 60 pasien.
memenuhi kriteria sembuh. Pada Sedangkan hasil pengujian dengan chi-
penelilitian ini pasien-pasien yang hasil square, diperoleh untuk X1 dan Y
akhir pengobatannya gagal (failure) dan p=0,027 (p<0,05), untuk x2hitung = 7,222
lalai (default) dikategorikan kedalam sedangkan x2tabel = 5,99, maka
pasien yang tidak sembuh, karena belum disimpulkan x2hit > x2tab, sehingga
memenuhi kriteria sembuh menurut hipotesis alternatif (H1) diterima,
pedoman dan tidak menerima terapi sementara hipotesis null (H0) ditolak. Hal
secara lengkap. ini berarti terdapat terdapat hubungan
Untuk menganalisis korelasi dan yang bermakna antara umur terhadap
pengaruh antara X dan Y, dimana Y hasil pengobatan pasien. Hal ini berarti
adalah hasil pengobatan dan X(1,2,3,4) ternyata umur dapat berpengaruh
adalah berturut-turut umur (X1), lama terhadap kesembuhan pasien,
pengobatan (X2), jenis kelamin (X3) dan berdasarkan data maka disimpulkan
penyakit penyerta kronik (X4) dilakukan bahwa penetuan pengaruh seorang
dengan teknik korelasi chi-square. pasien untuk dapat sembuh dapat dilihat
Namun terlebih dahulu dilakukan dari segi umur. Ini menjunjukkan bahwa
pengkodean untuk kemudian ditabulasi semakin tua umur seseorang maka
silang (crosstab) untuk tiap variabel yang semakin sulit pasien tersebut mencapai
dihubungkan dengan hasil pengobatan, kesembuhan karena tidak bisa dipungkiri
selanjutnya dilakukan uji korelasi chi- bahwa semakin tua seseorang, maka
square untuk mendapatkan nilai fungsi fisiologis dapat semakin menurun,
probabilitas (nilai p) dan menjawab sehingga akan mengganggu pada
hipotesis dengan membandingkan nilai proses farmakokinetik dan
chi-square (x2 hitung) dan chi-square farmakodinamik obat nantinya dalam
tabel (x2 tabel). Hipotesis awal (H0) yaitu tubuh.
tidak ada hubungan antara variabel X Ditinjau dari hubungan lama
dan variabel Y atau variabel X pengobatan dengan hasil pengobatan
mempengaruhi variabel Y, sedangkan (X2↔Y), dari hasil tabulasi silang
hipotesis akhir (H1) yaitu ada hubungan diperoleh pasien lebih 6 bulan pasien
antara variabel X dan variabel Y atau X sembuh 17 pasien dan tidak ada pasien
mempengaruhi variabel Y. Untuk yang tidak sembuh , pasien tepat 6 bulan
penarikan kesimpulan, ditentukan diperoleh pasien sembuh 19 orang dan
tidak ada pasien yang tidak sembuh, yang lebih ringan dibandingkan bobot
sedangkan pasien kurang dari 6 bulan tubuh laki-laki. Selain itu, intensitas efek
pasien tidak sembuh sebanyak 24 orang obat dapat berbeda yang disebabkan
dan tidak ada pasien yang sembuh. oleh perbedaan hormonal.Namun hal ini
Selanjutnya berdasarkan analisis tidak nampak pada hasil analisis yang
korelasi chi-square diperoleh nilai diperoleh, ini mungkin dikarenakan
p=0,000<0,05; didapatkan x2hitung regimen pengobatan yang diterapkan
2
=60,000 sedangkan x tabel = 5,99; maka tidak dikhususkan pada jenis kelamin
disimpulkan x2hit > x2tab, sehingga sehingga tidak ada pembeda antara
hipotesis alternatif (H1) diterima pengobatan antar laki-laki dan
sedangkan hipotesis null (H0) ditolak. Hal perempuan.
ini berarti terdapat hubungan yang Ditinjau dari hubungan banyaknya
bermakna antara lama pengobatan penyakit penyerta kronik dengan hasil
terhadap hasil pengobatan pengobatan pasien (X4↔Y), berdasarkan
pasien.Sehingga semakin lama analisis diperoleh hasil untuk tabulasi
pengobatan seseorang maka semakin silang, untuk pasien tanpa penyakit
meningkatkan peluang untuk mencapai penyerta kronik sebanyak 19 pasien
kesembuhan.Lamanya pengobatan yang sembuh dan ada 2 pasien yang
untuk penyakit TB ini untuk memastikan tidak sembuh, untuk pasien dengan 1
bakteri TB ini mati dan meminimalisir penyakit penyerta kronik sebanyak 9
kekambuhan yang terjadi. orang sembuh dan 11 orang tidak
Ditinjau dari hubungan jenis kelamin sembuh, sedangkan untuk pasien
dengan hasil pengobatan pasien dengan 2 atau lebih penyakit penyerta
(X3↔Y), berdasarkan analisis diperoleh kronik sebanyak 8 orang sembuh dan 11
hasil untuk tabulasi silang, pasien laki- orang tidak sembuh. Untuk uji korelasi
laki yang mengalami kesembuhan chi-square diperoleh nilai p=0.002 >
sebanyak 21 orang dan tidak sembuh 17 0,05; sedangkan untuk x2hitung =12,537
orang, sedangkan perempuan, pasien sedangkan x2tabel = 5,99; maka
sembuh sebanyak 15 orang dan tidak disimpulkan x2hit > x2tab ; hipotesis
sembuh 7 orang. Untuk korelasi chi- alternatif (H1) diterima sedangkan
square diperoleh nilai p=0,325 > 0,05, hipotesis null (H0) ditolak. Hal ini
sedangkan untuk x2hitung =0,969 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang
sedangkan x2tabel = 3,841; maka bermakna antara jenis kelamin dengan
disimpulkan x2hit < x2tab ; hipotesis hasil pengobatan pasien.Ini berarti
alternatif (H1) ditolak sedangkan semakin banyak penyakit penyerta
hipotesis null (H0) diterima. Hal ini kronik seorang pasien TB maka semakin
menunjukkan bahwa tidak terdapat kecil peluang kesembuhannya. Hal
pengaruh yang bermakna antara jenis tersebut karena penyakit kronik yang
kelamin dengan hasil pengobatan diderita pasien akan mempengaruhi
pasien.Ini berarti jenis kelamin tidak pengobatan sehingga dapat berimbas
dapat mempengaruhi peluang seorang pada proses penyembuhan.
pasien untuk mencapai kesembuhan Berdasarkan observasi di lapangan,
baik laki-laki maupun perempuan. menyimpulkan bahwa secara
Namun berdasarkan teori, faktor jenis keseluruhan menunjukkan bahwa mulai
kelamin ini sendiri dapat mempengaruhi dari penentuan diagnosis, pelayanan TB
daya kerja obat dalam tubuh, terhadap hingga pemilihan paduan terapi pada
beberapa macam obat, perempuan pasien TB paru di Puskesmas
dapat hiper reaktif dalam memicu daya Jumpandang Baru Makassar telah
kerja sebuah obat, hal ini disebabkan mengikuti standar penanggulangan TB
seorang wanita umumnya memiliki bobot Nasional oleh Kementrian Kesehatan RI
tahun 2014 untuk pemilihan paduan, Dinas Kesehatan. 2013. Profil Kesehatan
dosis, indikasi dan pemilihan jenis OAT. Sulawesi Selatan.Makassar.
Namun hal tersebut belum tampak pada
angka penurunan kasus yang masuk di Kementrian Kesehatan Republik
puskesmas ini dan rerata masih berasal Indonesia.2008. Peraturan
dari wilayah suspek TB.Hal ini Kemenkes RI Nomor 269/Menkes
menunjukkan bahwa konseling /Per/2008 Tentang Rekam Medis.
mengenai TB pada warga sekitar area
tersebut masih perlu ditingkatkan dan Kementrian Kesehatan Republik
pengkajian mengenai faktor penyebab Indonesia.2011. Direktorat
pasien tidak mengindahkan hal-hal yang Jenderal Pengendalian Penyakit
meminimalkan penularan sangat perlu dan Penyehatan Lingkungan :
dilakukan. Strategi Nasional Pengendalian
TB di Indonesia. Pusadatin.
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan yang telah Kementrian Kesehatan Republik
dilakukan terkait evaluasi penggunaan Indonesia, Direktorat Jenderal
obat anti tuberkulosis pada pasien Pengendalian Penyakit dan
tuberkulosis paru di Puskesmas Penyehatan Lingkungan.
Jumpandang Baru Makassar, dapat 2014.Pedoman Nasional
disimpulkan bahwa berdasarkan pola Pengendalian Tuberkulosis :
penggunaan dan kesesuaian OAT Indonesia Bebas Tuberkulosis.
berdasarkan Pedoman penanggulangan Kementrian Kesehatan RI,
TB oleh Kementrian Kesehatan RI Tahun Jakarta.
2014 semua kategori 1 telah sesuai
kecuali kategori 2 hanya memenuhi Kementrian Kesehatan Republik
98,3% kesesuaian. Sedangkan Indonesia. 2014. Permenkes
berdasarkan analisis hubungan antara tentang Kesehatan Masyarakat
umur, lama pengobatan, jenis kelamin RI NO. 75.
dan banyaknya penyakit penyerta kronik
terhadap hasil pengobatan pasien Kementrian Kesehatan Republik
diperoleh hasil bahwa umur (p=0,027; p Indonesia. 2015Infodatin:
< 0,05), lama pengobatan (p=0,000; p < Tuberkulosis Temukan Obat
0,05) dan banyaknya penyakit penyerta Sampai Sembuh. Pusadatin.
kronik yang diderita pasien (p=0,002; p < Kondensus TB. 2014. Pedoman
0,05), ketiganya memiliki hubungan yang Diagnostik dan Penatalaksanaan
bermakna dengan hasil pengobatan Tuberkulosis di Indonesia.
pasien. Sedangkan hanya jenis kelamin
(p=0,325; p > 0,05), sehingga tidak Perhimpunan Dokter Paru
memiliki hubungan yang bermakna Indonesia.2012. Tuberkulosis,
dengan hasil pengobatan pasien. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
KEPUSTAKAAN Citra Grafika, Jakarta.

Aditama, T, Y. 2011. Tuberkulosis Paru : Permatasari.2012. Pemberantasan


Masalah dan Penyakit TB Paru dan Strategi
Penanggulangannya. Penerbit DOTS. Bagian Paru, Fakultas
Universitas Indonesia (UI-Press), Kedokteran USU Medan.
Jakarta.
Priyanto. 2009.Farmakoterapi dan
Terminologi Medis. Lembaga
Studi Farmakologi, Jawa Barat.

Simamora, Vetreeany. 2011. Evaluasi


Penggunaan Obat
Antituberkulosis Pada Pasien
Tuberkulosis Paru di Instalasi
Rawat Inap BLU RSUP Prof.
DR.R.D. Kandou Manado
Periode Januari – Desember
2010. Program Studi Farmasi
FMIPA UNSRAT, Manado.

Veraine, Francis., et al. 2014. Medicine


Sans Frontieres and Parthner in
Health. Tuberculosis:Practical
guideline for clinians, nurses,
laboratory technicians, and
medical auxiliaries 2014 edition.
Medecen Sans Frontieres, Paris.

World Health Organization.2014.The End


TB Strategy. Geneva, Spanyol.

Anda mungkin juga menyukai