Anda di halaman 1dari 19

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang dibekali dengan berbagai potensi

fitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Potensi istimewa ini dimaksudkan agar
manusia dapat mengemban dua tugas utama, yaitu sebagai khalifatullah di muka bumi
dan juga abdi Allah untuk beribadah kepada-Nya.

Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan,


sehingga apa yang akan diembannya dapat terwujud. H. M. Arifin, dalam bukunya
Ilmu Pendidikan Islam, mengatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk
mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim baik secara lahir maupun batin,
mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari keridhaan Allah SWT.
Dengan demikian, hakikat cita-cita pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-
manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, satu sama lain saling menunjang.

Pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan psikologi. Pendidikan


merupakan suatu proses panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia
sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Dalam proses mengaktualisasi diri
tersebut diperlukan pengetahuan tentang keberadaan potensi, situasi dan kondisi
lingkungan yang tepat untuk mengaktualisasikannya. Pengetahuan tentang diri
manusia dengan segenap permasalahannya akan dibicarakan dalam psikologi umum.
Dalam hal pendidikan Islam yang dibutuhkan psikologi Islami, karena manusia
memiliki potensi luhur, yaitu fitrah dan ruh yang tidak terjamah dalam psikologi
umum (Barat).

Berdasarkan uraian diatas, maka sudah selayaknya dalam pendidikan Islam memiliki
landasan psikologis yang berwawasan kepada Islam, dalam hal ini dengan berpandu
kepada al-Quran dan hadits sebagai sumbernya, sehingga akhir dari tujuan pendidikan
Islam dapat terwujud dan menciptakan insan kamil bahagia di dunia dan akhirat.
Sebenarnya, banyak sekali istilah untuk menyebutkan psikologi yang berwawasan
kepada Islam. Diantara para psikolog ada yang menyebut dengan istilah psikologi
Islam, psikologi al-Qur’an, psikologi Qur’ani, psikologi sufi dan nafsiologi. Namun
pada dasarnya semua istilah tersebut memiliki makna yang sama.

Fondasi Psikologi Islami ?

Dalam Al-Quran, ada beberapa kata kunci yang berbicara mengenai psikologi
yaitu al-nafs, al-qalb, al-aql, al-ruh, dan fitrah. Dari analisa terhadap kosa kata
tersebut, secara metode tafsir maudhu’i atau tematik akan diformulasikan sejumlah
konsep-konsep psikologi dari Al-Quran, selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk
menyusun paradigma teori psikologi Islami.

Psikologi Islam merupakan sebuah aliran baru dalam dunia psikologi yang
mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada Islam. Islam
sebagai subjek dan objek kajian dalam ilmu pengetahuan, harus dibedakan kepada
tiga bentuk: Islam sebagai ajaran, Islam sebagai pemahaman dan pemikiran serta
Islam sebagai praktek atau pengamalan. Islam sebagai ajaran bersifat universal dan
berlaku pada semua tempat dan waktu, bersifat absolut dan memiliki kebenaran
normatif, yaitu benar berdasarkan pemeluk agama tersebut, sehingga bebas ruang dan
waktu. Islam sebagai pemahaman dan praktek, selalu berhubungan dengan ruang dan
waktu, sehingga bersifat partikular, lokal dan temporal. Dan itu semua adalah fondasi
awal untuk melakukan gagasan aktulisasi psikologi Islami. Dalam kontek Aceh paska
pengesahan RUU-PA, kita berharap supaya qanun-qanun tentang pendidikan secara
umum dapat memuat rincian ketiga hal tersebut, karena itu adalah ruh dari psikolongi
pendidikan kita kedepan post conflict and post tsunami.

Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut Poerbakawatja dan Harahap, Pendidikan adalah “….Usaha secara sengaja
dari orang dewasa dengan pengaruhnya untuk meningkatkan si anak ke kedewasaan,
yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moral dari segala
perbuatannya…” Orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang yang atas
dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik, misalnya saja
guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan keagamaan kepala-kepala asrama
dan sebagainya.

“Pendidikan” dalam Islam lebih banyak dikenal dengan menggunakan istilah al-
tarbiyah, al-ta`lim, al-ta`dib dan al-riyadah.” Setiap terminologi tersebut mempunyai
makna yang berbeda satu sama lain, karena perbedaan teks dan kontek kalimatnya
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha maksimal
untuk menentukan kepribadian anak didik berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
telah digariskan dalam al-Qur`an dan Sunnah. Usaha tersebut senantiasa harus
dilakukan melalui bimbingan, asuhan dan didikan, dan sekaligus pengembangan
potensi manusia untuk meningkatkan kualitas intelektual dan moral yang
berpedoman pada syariat Islam.

Aktualisasi Psikologi Islami dalam Pendidikan Islam

Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu
sebagai khalifah Allah dan Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua
tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Hasan
Langgulung mengatakan, potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan
fitrah. Sejalan dengan itu, Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi dasar tersebut
berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun ada juga yang menyebutnya dengan jismiah,
nafsiah dan ruhaniah.

Aspek jismiah
Aspek jismiah adalah keseluruhan organ fisik-biologis, serta sistem sel, syaraf dan
kelenjar diri manusia. Organ fisik manusia adalah organ yang paling sempurna
diantara semua makhluk. Alam fisik-material manusia tersusun dari unsur tanah, air,
api dan udara. Keempat unsur tersebut adalah materi dasar yang mati. Kehidupannya
tergantung kepada susunan dan mendapat energi kehidupan yang disebut dengan
nyawa atau daya kehidupan yang merupakan vitalitas fisik manusia. Kemampuannya
sangat tergantung kepada sistem konstruksi susunan fisik-biologis, seperti: susunan
sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, tulang, jantung, hati
dan lain sebagainya. Jadi, aspek jismiah memiliki dua sifat dasar. Pertama berupa
bentuk konkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan kedua bentuk abstrak berupa
nyawa halus yang menjadi sarana kehidupan tubuh. Aspek abstrak jismiah inilah yang
akan mampu berinteraksi dengan aspek nafsiah dan ruhaniah manusia.

Aspek nafsiah
Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas insaniah yang khas dimiliki dari manusia
berupa pikiran, perasaan dan kemauan serta kebebasan. Dalam aspek nafsiah ini
terdapat tiga dimensi psikis, yaitu dimensi nafsu, ‘aql, dan qalb.
v Dimensi nafsu merupakan dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam
sistem psikis manusia, namun dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah
mendapatkan pengaruh dari dimensi lainnya, seperti ‘aql dan qalb, ruh dan fitrah.
Nafsu adalah daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda, yaitu: daya yang
bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala yang membahayakan dan
mencelakakan (daya al-ghadabiyah) Serta daya yang berpotensi untuk mengejar
segala yang menyenangkan (daya al-syahwaniyyah).

v Dimensi akal adalah dimensi psikis manusia yang berada diantara dua dimensi
lainnya yang saling berbeda dan berlawanan, yaitu dimensi nafsu dan qalb. Nafsu
memiliki sifat kebinatangan dan qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya
cita-rasa. Akal menjadi perantara diantara keduanya. Dimensi ini memiliki peranan
penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniah pada diri manusia.

v Dimensi qalb memiliki fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta seperti
berpikir, memahami, mengetahui, memperhatikan, mengingat dan melupakan. Fungsi
emosi yang menimbulkan daya rasa seperti tenang, sayang dan fungsi konasi yang
menimbulkan daya karsa seperti berusaha.

Aspek ruhaniah
Aspek ruhiyah adalah keseluruhan potensi luhur (high potention) diri manusia.
Potensi luhur itu memancar dari dimensi ruh dan fitrah. Kedua dimensi ini merupakan
potensi diri manusia yang bersumber dari Allah. Aspek ruhaniyah bersifat spiritual
dan transedental. Spiritual, karena ia merupakan potensi luhur batin manusia yang
merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ciptaan Allah. Bersifat
transidental, karena mengatur hubungan manusia dengan yang Maha transenden yaitu
Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi fitrah.

Dari penjabaran diatas, dapat disebutkan bahwa aspek jismiah bersifat empiris,
konkrit, indrawi, mekanistik dan determenistik. Aspek ruhaniah bersifat spiritual,
transeden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam dan cenderung
kepada kebaikan. Aspek nafsiah berada diantara keduanya dan berusaha mewadahi
kepentingan yang berbeda.

Pada hakikatnya, proses pendidikan merupakan proses aktualisasi potensi diri


manusia. Sistem proses menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan
secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menyebabkan
manusia dapat menjalankan tugas yang telah dibebankan Allah.
Pendidikan Agama Islam dalam Perspektik Filsafat
Pendidikan Agama Islam dalam Perspektik Filsafat

A. Pendahuluan
Hubungan filsafat dengan pendidikan adalah pendidikan memiliki ruang lingkup
pembahasan yang luas, menyangkut seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia.
permasalahan pendidikan tersebut terkadang harus menggunakan analisa pemikiran dengan
filsafat. Secara rinci filsafat dalam pendidikan sebagai suatu lapangan studi mengarahkan pusat
perhatiannya dan memusatkan kegiatannya pada dua fungsi tugas normatif ilmiah, yaitu,

1. Merumuskan dasar-dasar dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat hakikat manusia,
serta konsepsi hakikat dan pendidikan serta isi moral pendidikannya.[1]
2. Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education) yang meliputi politik
pendidikan, kepemimpinann atau organisasi pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran,
termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat dan
negara.[2]

Filsafat sebagai suatu ikhtiar berfikir bukan berarti merumuskan suatu doktrin yang final,
konklusif dan tidak bisa diganggu gugat. Filsafat hanya yang suatu kegiatan perenungan yang
bertujuan mencapai tujuan tentang hakikat dari segala yang nyata.
Sebagai salah satu yang melandasi pemikiran pentingnya transformasi pendidikan dalam
konteks nilai-nilai moralitas keagamaan, maka menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam
dapat dilihat dari tiga sudut pandang yakni [4], yang pertama,pengembangan potensi, potensi
manusia sebagai karunia Tuhan itu harus dikembangkan. Kedua, pendidikan adalah pewarisan
budaya memindahkan nilai-nilai budaya dari satu generasi kepada generasi
berikutnya. ketiga,interaksi antar potensi dan budaya
Pendidikan dengan nilai memiliki relevansi yang sangat erat. Nilai terlibat dalam tiap
tindakan pendidikan baik dalam merencanakan suatu proses belajar maupun dalam pengajaran
karena dengan nilai guru dapat memberikan tindakan pembelajaran dan evaluasi, demikian pula
siswa dapat mengukur hasil proses pembelajaran yang diterima dengan nilai tersebut. Maka
nilai-nilai yang terkandung dalam kajian aksiologi akan memberikan pemahaman dalam makna
nilai etika dan nilai estetika

B. Pendidikan Agama Islam dalam Kajian Ontologi

Penjelasan mengenai Ontologi penulis sampaikan sebagaimana disebutkan oleh Amsal Bakhtiar,
dalam bukunya “Filsafat Ilmu”, menyatakan bahwa, orang akan menghadapi persoalan bagaimanakah
kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini ? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua
macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan yang kedua,
kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).[3]

Permasalahan pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin adalah
bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia,
masyarakat dan dunia[4]. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi yang
dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith terdapat istilah fitrah, samakah potensi
dengan fitrah tersebut? Potensi dan atau fitrah apa dan dimana yang perlu mendapat prioritas
pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau fitrah itu merupakan pembawaan
(faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan
atau faktor ajar?

Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya? Ataukah hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujud dalam realitas sejarah umat
Islam yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu mendapat
penegasan.

Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan


nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang
sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab
sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan
baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan
ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-
ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang
akan bahagia baik di dunia dan di akhirat[5]
Oleh karena itu dalam al Quran Allah Swt berfirman,

“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs,Al Baqoroh, 30)

C. Pendidikan Agama Islam dalam Kajian Epistimology


Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub system dari filsafat bersama ontologi dan
aksiologi. Epistemologi merupakan teori pengetahuan, yakni membahas tentang bagaimana cara
mendapat pengetahuam dari objek yang ingin dipikirkan. Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai
cirri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan itu disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, dan tidak mungkin bahasan epistemologi
terlepas sama sekali dari intologi dan aksiologi. Namun demikian, ketika kita membicarakan epistemologi
di sini, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara atau langkah-langkah untuk
mendapatkan pengetahuan. Berikut ini adalah pengertian epistemology menurut para ahli,
1. Menurut D.W.Hamlyn epistemologi merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan
ruang lingkup pengetahuan, dasar, dan pengandai-andaiannya serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
2. Menurut Dagobert D. Runes mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang membahas
sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.
3. Menurut Azyrumardi Azra, epistemologi merupakan ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian,
struktur, metode, dan aliditas ilmu pengetahuan[6]
Dalam filsafat terdapat dua jenis objek, yakni objek material dan forma. Objek material adalah
sarwa –yang ada, yang secara garis besar meliputi hakekat Tuhan, hakekat alam, dan hakekat manusia.
Sedangkan objek forma adalah usaha mencari keterangan secara radikal tentang objek material filsafat.
Lebih khusus lagi, objek material pendidikan adalah manusia sedangkan objek formanya adalah
persoalan-persoalan kemampuan manusia. Menurut Jujun S. Suriasumantri, objek epistemologi berupa
segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.
Sedangkan dalam pendidikan Agama Islam, menurut Hasan Basri merupakan proses pembinaan
manusia secara jasmaniah dan rohaniah. Adapun hakikat pendidikan agama Islam dapat diartikan secara
praktis sebagai pengajaran al-Qur’an dan Hadits. Secara spesifik M.Arifin menambahkan bahwa
pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam
dengan hikmah mengajarkan, mengarahkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua
ajaran Islam.[7]
Adapun objek formal pendidikan agama Islam sebagaimana pendidikan lainnya, yakni manusia,
atau lebih spesifiknya muslim. Adapun objek materialnya meliputi semua persoalan pengalaman
keagamaan manusia. Dalam hal ini, materi PAI meliputi: Qur’an Hadits, Fiqih, Akidah Akhlak, dan SKI.
Menurut Hasan Basri, epistemologi pendidikan Islam merupakan seluk-beluk dari sumber-
sumber pendidikan Islam sebagaimana telah ditegaskan bahwa al-Qur’an adalah segala sumber hukum
dalam ajaran Islam. Pendidikan Islam merujuk pada nilai-nilai al-Qur’an yang universal dan abadi. Al-
qur’an selain sebagai sumber hukum, juga digunakan sebagai penentu validitas suatu kebenaran. [8] Di
samping al-Qur’an, pendidikan Islam juga menggunakan sumber kebenaran lainnya yaitu as-Sunnah,
atsar dan ijma’ sahabat, dan ijtihad ulama.[9]
Membicarakan epistemology, tidak bisa terlepas dari metode. Metode pendidikan Islam dalam
hal ini membahas hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan Islam. Di antara metode yang
digunakan dalam menyusun ilmu pendidikan Islam, dengan merujuk pada sumber utama, al-Qur’an, di
antaranya dengan metodologi hermeneutik. Hermeneutik adalah kiat untuk memahami teks-teks
keagamaan dalam pencarian melalui pencarian makna dari susunan kalimat, konteks budaya, tafsir
transendensi dan yang lainnya. Menurut Noeng Muhadjir, konsep teoritiknya berangkat dari linguistik,
narasi bahasa, historis, hukum, etika dan lain-lain.[10]
Al-Quran yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam perlu untuk diinterpretasikan dalam
pencarian kebenaran kontekstual. Dalam hermeneutik, Arkoun membagi model-model teks menjadi dua,
yaitu teks pembentuk naskah al-Qur’an, dan teks penjelas dan hermeneutik, literatur-literatur yang
memberikan interpretasi dan penjelasan terhadap teks pembentuk yang dimunculkan oleh para pemikir
Islam sejak empat abad pertama hijriah hingga sekarang termasuk juga hadits Nabi SAW.[11]
Dalam kajian epistimologi Islam Muhammad Abid al-Jabiri membagi epistemologi ilmu keislaman
menjadi tiga, yaitu, pertama, epistemologi bayani, Yakni, menyingkap makna dari suatu pembicaraan
serta menjelaskan secara terinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada taklif (orang
yang terbebani hukum). Epistemologi ini menjadikan teks sebagai rujukan pokok dalam membangun
konsepsi tentang alam semesta untuk memperkuat akidah Islam
Dalam memahami teks ini, segala potensi akal dikerahkan untuk mendapatkan pengetahuan
maupun kebenaran, yang kemudian dikenal dengan istilah ijtihad. Adapun dalam
mengimplementasikannya melalui metode qiyas (analogi) dan istinbat (penetapan kesimpulan)
Kedua, epistemologi Irfani, Yakni pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek
pengetahuan (ma’rifat). Epistemology ini mulai dikenal seiring berkembangnya doktrin ma’rifat yang
diyakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang Tuhan.
Karena sumber ilmunya berasal dari pengalaman, maka metode yang digunakan adalah
penghayatan intuitif, sedangkan teknik yang digunakan adalah riyadhoh. Adapun validitas kebenaran
hasil pengetahuannya sulit untuk diukur menggunakan akal, karena pengalaman atau perasaan sangat
subjektif. Oleh karena itu melalui simpati, empati, memahami orang lain, perlu dikedepankan untuk
mengukur validitas kebenaran pengetahuan tersebut. Adapun akal hanya bersifat partisipatif.
Ketiga, epistemologi Burhani, Epistemologi ini menyatakan bahwa sumber atau asal
pengetahuan adalah realitas, baik realitas alam, social, maupun kemanusiaan dan keagamaan.
Pengetahuan burhani diperoleh melalui proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih.
Tujuannya adalah mencari sebab dan musabab. Ukuran validitas hasil pengetahuan burhani adalah
korespondensi yaitu kesesuaian antar rumus yang diciptakan manusia dengan hokum-hukum alam,
koherensi yakni keruntutan dan keteraturan berpikir logis.[12]
Jika Pendidikan Agama Islam diurai menjadi empat mata pelajaran, yakni Qur’an Hadits, Akidah
Akhlak, Fiqih, dan SKI, maka bisa ditentukan epistemology mana yang mendominasi antar sub-mata
pelajaran tersebut.
Qur’an Hadits lebih menekankan pada epistemology bayani, karena pembahasannya terpusat
pada penafsiran teks al-Qur’an dan Hadits. Sementara Akidah Akhlak akan lebih didominasi
pengetahuan Irfani, karena memfokuskan pada pengalaman intuisi berupa keyakinan dan pengalaman
psikologi berupa sikap.
Adapun Fiqih akan berimbang antara epistemology bayani dan burhani, karena selain
menyangkut pengkajian teks dalil yang menjadi bahasan ushul fiqih, juga mempertimbangkan
pengetahuan social yang menyangkut korespondensi dan koherensi dengan kondisi social
kemasyarakatan. Demikian pula Sejarah Kebudayaan Islam, akan didominasi kedua epistemology
tersebut, karena sejarah Islam selain ditelisik dari teks-teks naqli (asbabun nuzul/ wurud), juga
membutuhkan kesesuaian antara pengalaman inderawi dengan teks-teks kesejarahan (baik dalam hal
kronologi dan periodisasi).
D. Pendidikan Agama Islam dalam Kajian Aksiology
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya
ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan
yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan
estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan
masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[13]
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal
etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika
mempelajari tingkah laku manusia ditinjaudari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang
melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimilki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.

Etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara


memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku
manusia. Filsafat Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan Antara ilmu (pendidikan) dan etika
memiliki hubungan erat.[14]

Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran,
sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan
keberanian moral.Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari
nilai-nilai etika agama.

Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan
sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap
persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan
masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas.

Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian
yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental,
moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam.
Oleh sebab itu berdasarkan pada pendekatan etik moral pendidikan Islam harus berbentuk
proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah
idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik
sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
Disamping penjelasan mengenai etika dalam kajian aksiologi, terdapat penjelasan
mengenai estetika seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, bahwa kajian aksiologi merupakan
kajian tentang nilai dari etika dan estetika.

Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler


mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni, Seni sebagai penembusan terhadap
realitas, selain pengalaman, Seni sebagai alat kesenangan, Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya
tentang pengalaman.[15]
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika
menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan
pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif
yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah,
pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni yang sesuai dengan Islam.

E. Kesimpulan
1. Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi adalah merupakan cabang-cabang dan dasar-dasar utama
daripada Filsafat Ilmu, oleh karena itu maka setiap berbicara tentang Filsafat ilmu pastilah salah satunya
membicarakan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
2. Ontologi adalah berbicara tentang hakekat ataupun kenyataan sesuatu yang ada baik yang jasmani
maupun yang rohani. Untuk dapat melihat hakekat realitas maka ada dua pendekatan utama, yaitu
Pertama, Pendekatan Kuantitatif dan Kedua, Pendekatan Kualitatif. penyelenggaraan pendidikan Islam
diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia
3. Epistemologi adalah membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. Adapun cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dapat
dilakukan dengan beberapa metode
4. Aksiologi adalah berbicara tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi haruslah
diberi nilai-nilai agama dan kemanusiaan

Daftar Pustaka

Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993)


Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, diterjemahkan oleh Hidayatullah, (Bandung : Pustaka, 2000)
Aziz, Abdul, 2009, Filsafat Pendidikan Islam,sebuah gagasan membangun pendidikan
Islam, (Yogyakarta : Teras)
Basri , Hasan, FIlsafat Pendidikan Islam. (Pustaka Setia, Bandung, 2009)
Bakhtiar, Amsal, Dr., MA., Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT. Raja Grafindo)
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin,
1998. )
Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan
Perguruan Tinggi. (Jakarta: Raja Grafindo Persada.)
Kattsoff. O.Louis Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono( Yogyakarta. Penerbit Tiara
Wacana, 1996)
Prasetya,1997, Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia, (Bandung: Pustaka Setia)
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam. (Erlangga: Jakarta. 2005)
Sadulloh, Uyoh Pengantar Filsafat Pendidikan,(Bandung: Penerbit Alfabeta, 2007)
Saifullah, Ali 1983, Antara Filsafat Dan Pendidikan, (Surabaya :Usaha Nasional)
Ulya, FIlsafat Ilmu Pengetahuan, (, Kudus, : STAIN Press 2011. )

[1] Prasetya,1997, Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia, (Bandung: Pustaka Setia), 157
[2] Ali Saifullah, 1983, Antara Filsafat Dan Pendidikan, (Surabaya :Usaha Nasional)
[3] Amsal Bakhtiar, Dr., MA., Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT. Raja Grafindo)
[4] Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan
Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 65
[5] Abdul Aziz, 2009, Filsafat Pendidikan Islam,sebuah gagasan membangun pendidikan Islam,(Yogyakarta :
Teras)
[6]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam. Erlangga: Jakarta. 2005. h. 4
[7] M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1993, h.15.
[8] Hasan Basri, FIlsafat Pendidikan Islam. Pustaka Setia, Bandung, 2009, h 19
[9]Ibid, 149
[10] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998. h
85
[11] M.Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, diterjemahkan oleh Hidayatullah, Bandung : Pustaka, 2000, h.234
[12] Ulya, FIlsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Press, Kudus, 2011. h 120-126
[13] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono( Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana,
1996), 327
[14] Basri , Hasan, FIlsafat Pendidikan Islam. (Pustaka Setia, Bandung, 2009)
[15] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono, 328
Politik Pendidikan Islam.
Pendidikan dalam Islam harus kita pahami sebagai upaya mengubah manusia
dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka
nilai/ideologi Islam. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan
proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan
mengembangkan kemampuannya yang dipandu oleh ideologi/akidah Islam.
Secara pasti, tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan SDM yang
berkepribadian Islami, dalam arti, cara berpikirnya harus didasarkan pada nilai-
nilai Islam serta berjiwa sesuai dengan ruh dan nafas Islam. Metode pendidikan
dan pengajarannya juga harus dirancang untuk mencapai tujuan tersebut.
Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut
tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata
melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu
pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak.
Dalam kerangka ini, diperlukan monitoring yang intensif oleh seluruh lapisan
masyarakat, termasuk pemerintah (negara), terhadap perilaku peserta didik,
sejauh mana mereka terikat dengan konsepsi-konsepsi Islam berkenaan
dengan kehidupan dan nilai-nilainya. Rangkaian selanjutnya adalah tahap
merealisasikannya sehingga dibutuhkan program pendidikan dan kurikulum
yang selaras, serasi, dan berkesinambungan dengan tujuan di atas.
Kurikulum dibangun di atas landasan akidah Islam sehingga setiap pelajaran
dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu
pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islâm dan nilai-nilai yang terdapat di
dalamnya mendapat porsi yang besar. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai
dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu
(formal). Di tingkat perguruan tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan
secara utuh. Misalnya, materi tentang ideologi sosialisme-komunisme atau
kapitalisme-sekularisme dapat disampaikan untuk diperkenalkan kepada kaum
Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain
Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk
dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan serta dipahami cacat-cela dan
ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Pada jenjang PT tentu saja dibuka berbagai jurusan, baik dalam cabang ilmu
keislaman ataupun jurusan lainnya seperti teknik, kedokteran, kimia, fisika,
sastra, politik, dll. Dengan begitu, peserta didik dapat memilih sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan. Dengan model sistem pendidikan Islam seperti ini,
kekhawatiran akan munculnya dikotomi ilmu agama dan ilmu duniawi tidak
akan terjadi. Dikotomi ilmu itu hanya terjadi pada masyarakat sekular-
kapitalistik, tidak dalam masyarakat Islam. Generasi yang akan terbentuk
adalah SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya sekaligus memahami nilai-
nilai Islam serta berkepribadian Islam yang utuh. Beberapa paradigma dasar
bagi sistem pendidikan dalam Islam adalah sebagai berikut:
Pertama, Prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan didasarkan pada
akidah Islam. Tujuannya adalah membentuk sumberdaya manusia terdidik
dengan ‘aqliyah islâmiyah (pola berpikir islami) dan nafsiyah islâmiyah (pola
sikap islami).
Kedua, Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan sehingga
melahirkan amal salih dan ilmu yang bermanfaat. Perhatikan bagaimana al-
Quran mengungkapkan tentang ahsanu ‘amalanatau amalan shâlihan (amal
yang terbaik atau amal shalih).
Ketiga, Pendidikan ditujukan dalam rangka membangkitkan dan mengarahkan
potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah
manusia dan meminimaliasi aspek buruknya.
Keempat, Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu
proses pendidikan. Teladan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan
demikian, Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia.
Kelima, Adapun strategi dan arah perkembangan ilmu pengetahuan dapat kita
lihat dalam kerangka berikut ini:
Keenam, Tujuan utama ilmu yang dikuasai manusia adalah dalam rangka untuk
mengenal Allah Swt. sebagai al-Khaliq, mengagungkan-Nya, serta mensyukuri
seluruh nikmat yang telah diberikan-Nya.
Ketujuh, Ilmu harus dikembangkan dalam rangka menciptakan manusia yang
hanya takut kepada Allah Swt. semata sehingga setiap dimensi kebenaran dapat
ditegakkan terhadap siapa pun tanpa pandang bulu.
Kedelapan, Ilmu yang dipelajari ditujukan untuk menemukan keteraturan
sistem, hubungan kausalitas, dan tujuan alam semesta.
Kesembilan, Ilmu dikembangkan dalam rangka mengambil manfaat dalam
rangka ibadah kepada Allah Swt. karena Allah telah menundukkan matahari,
bulan, bintang, dan segala hal yang terdapat di langit atau di bumi untuk
kemaslahatan umat manusia.
Kesepuluh, Ilmu yang dikembangkan dan teknologi yang diciptakan tidak
ditujukan dalam rangka menimbulkan kerusakan di muka bumi atau pada diri
manusia itu sendiri.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram,
dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki:
1. Kepribadian Islam
Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim, yaitu keteguhan
dalam memegang identitas kemuslimannya dalam pergaulan sehari-hari.
Identitas itu tampak pada dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir
(‘aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang berpijak pada akidah Islam. Paling
tidak, terdapat tiga langkah untuk membentuk kepribadian Islam sebagaimana
yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu: Pertama, Menanamkan akidah Islam
sebagai sebagai ‘aqîdah ‘aqliyah—akidah yang muncul dari proses pemikiran
yang mendalam—kepada setiap orang. Kedua, Menanamkan sikap konsisten
dan istiqamah kepada setiap orang agar cara berpikir dan kecenderungan
insaninya tetap berada di atas pondasi akidah yang
diyakininya. Ketiga,Mengembangkan kepribadian dengan senantiasa mengajak
setiap orang bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya
dengan tsaqâfah Islâmiyah dan mengamalkan perbuatan yang selalu
berorientasi pada ketaatan kepada Allah Swt.
2. Menguasai tsaqâfah islâmiyah dengan handal.
Islam mendorong setiap Muslim untuk menjadi manusia yang berilmu dengan
cara mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya,
menurut al-Ghazali, ilmu dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: (1) ilmu yang
fardlu ‘ain, yaitu wajib dipelajari setiap Muslim seperti: ilmu-
ilmu tsaqâfah Islam yang terdiri konsepsi, ide, dan hukum-hukum
Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah Nabi, Ulumul Quran, tahfîdz al-Quran, Ulumul
Hadits, ushul fikih, dll; (2) ilmu yang dikategorikan fardhu kifayah, biasanya
ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan
seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
3. Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK).
Menguasai PITEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan
material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah di muka
bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardhu kifayah,
yaitu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian Muslim apabila ilmu-ilmu
tersebut sangat diperlukan umat seperti kedokteran, kimi, fisika, industri
penerbangan, biologi, teknik, dll. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan terdiri
atas dua hal, yaitu: (1) pengetahuan yang mengembangkan akal manusia
sehingga ia dapat menentukan suatu tindakan tertentu; (2) pengetahuan
mengenai perbuatan itu sendiri.
Allah Swt. telah memuliakan manusia dengan akalnya. Allah menurunkan al-
Quran dan mengutus Rasul-Nya dengan membawa Islam agar beliau menuntun
akal manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar. Pada sisi yang lain,
Islam memicu akal untuk dapat menguasai PITEK karena dorongan dan perintah
untuk maju merupakan buah dari keimanan. Dalam kitab Fath al-Kabîr, juz III,
misalnya, diketahui bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus dua orang
sahabatnya ke negeri Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata muktahir,
terutama alat perang yang bernama dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas
kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasulullah saw.
memahami manfaat alat ini bagi peperangan melawan musuh dan
menghancurkan benteng lawan.
4. Memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdayaguna.
Penguasaan keterampilan yang serba material ini merupakan tuntutan yang
harus dilakukan umat Islam dalam rangka pelaksanaan amanah Allah Swt. Hal
ini diindikasikan dengan terdapatnya banyak nash yang mengisyaratkan setiap
Muslim untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum dan keterampilan. Hal ini
dihukumi sebagai fardhu kifayah.
Negara Sebagai Penyelenggara Pendidikan
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang
berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan; negara wajib
mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.
Rasulullah saw. bersabda: Seorang imam (khalifah/ kepala negara) adalah
pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban
atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau
menetapkan para tawanan Perang Badar yang ingin bebas untuk mengajarkan
baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah sebagai tebusan atas diri
mereka. Menurut hukum Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal
(kas negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang
Badar. Artinya, dengan tindakan membebankan pembebasan tawanan Perang
Badar pada Baitul Mal (kas negara)—dengan memerintahkan mereka
mengajarkan baca tulis—berarti Rasulullah saw. telah menjadikan biaya
pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan. Dengan kata lain, beliau
memberi upah kepada para pengajar itu (tawanan perang) dengan harta benda
yang seharusnya menjadi milik kas negara.
Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala
negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan,
sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.
Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam, kita akan melihat perhatian para
khalifah (kepala negara) yang sangat besar terhadap pendidikan rakyatnya;
demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Sebagai contoh,
Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadhiyah bin
Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang
mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji pada
mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).
Fakta menunjukkan kepada kita bahwa perhatian para kepala negara kaum
Muslim (khalifah) bukan hanya tertuju pada gaji para pendidik dan biaya
sekolah, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium,
observatorium, dll. Di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan
Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering
dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung
perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis seperti
pena, tinta, kertas, dll. Bahkan, para mahasiswa yang secara rutin belajar di
perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama, Yaqut
ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena
mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun
perorang. Ini terjadi masa kekhalifahan Islam abad 10 Masehi. Bahkan, para
khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis
buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
DASAR EKONOMI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
DASAR EKONOMI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata dasar memiliki banyak arti diantaranya alas
atau fondasi, pokok atau pangkal.
Menurut Abudin Nata dasar pendidikan adalah segala sesuatu yang bersifat konsep, pemi
kiran dan gagasan yang mendasari, melandasi dan mengasasi pendidkan.
Dengan demikian dasar pendidikan Islam adalah segala sesuatu yang bersifat konsep, pe
mikiran dan gagasan yang mendasari, melandasi dan mengasasi pendidkan Islam itu sendiri yang
dalam hal ini akan di bahas mengenai dasar pendidikan Islam yang ketiga selain dasar religious
dan dasar filsafat Islam yaitu dasar ilmu pengetahuan yang salah satunya ialah ilmu ekonomi.
Buat sebahagian besar orang perbincangan tentang ekonomi dalam pendidikan barangkali
terus dikaitkan dengan gaji guru. Mengenai gaji ini ahli-
ahli fikir dan filosof berbeda pendapat dalam hal guru menerima gaji atau menolaknya.
Socrates menerangkan kenapa ia menolak gaji itu. Katanya, keutamaan (fadilah) diambil
dari jiwa, dan orang hanya sampai ke ilmu itu dengan berfikir (berenung). fadilah tak bisa diajark
an, oleh sebab itu guru tidak berhak menerima gaji.
Sudah tentu pengaruh guru kepada muridnya adalah lebih kuat dan lebih besar, begitu jug
a murid-murid lebih menerima pendapat guru-
gurunya jika ia tidak menerima gaji. Sebab hubungan antara keduanya bersifat spiritual, dimana
hubungan antara keduanya tidak dipengaruhi oleh keadaan yang bisa merusak hubungan itu.
Yang memandang bahwa gaji itu harus diadakan karena kalau orang akan terus bergantun
g pada tenaga sukarela maka banyak anak-anak akan ketiadaan pendidikan dan jahil akan al-
Qur'an, yang akhirnya akan membawa kehancuran masyarakat Islam sendiri.
B. Konsumsi dan Investmen
Konsumsi adalah setiap kegiatan memakai, menggunakan, atau menikmati barang atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan. Dalam hal pendidikan contoh barang atau jasa yang biasanya di ko
nsumsi siswa antara lain buku tulis, buku pelajaran, pensil, pulpen, penghapus, spidol, dll.
Sedangkan investment dalam bahasa Indonesia berarti investasi. Definisi menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, investasi diartikan sebagai penanaman uang atau di suatu perusahaan at
au proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Pada dasarnya investasi adalah membeli suatu
aset yang diharapkan di masa datang dapat dijual kembali dengan nilai yang lebih tinggi.
Banyak karya dalam ekonomi pendidikan khusus membahas mengenai persoalan keuangan
untuk sistem pendidikan dan mengenai cara perbelanjaan pendidikan itu diurus. Prinsip pertama
dalam pengumpulan uang adalah berkenaan dengan persoalan siapa yang harus menanggung bia
ya. Salah satu prinsip perpajakan adalah bahwa biaya pelayanan haruslah dipikul oleh orang-
orang yang pada akhirnya mendapat keuntungan dari situ. Jika murid-
murid pada akhirnya mendapat keuntungan dari pendidikan, maka sudah logislah bahwa keluarg
anya harus membayarnya. Sebaliknya, sebahagian perbelanjaan pendidikan itu dibayar bukan ha
nya karena untuk kepentingan murid-
murid tetapi juga karena kepentingan masyarakat, baik secara lokal atau nasional. Pada akhirnya,
pekerjaan itu baik awam ataupun persendirian mendapat keuntungan karena adanya tenaga kerja
terampil dan terpelajar. Juga tidak boleh dilupakan bahwa di antara orang-
orang yang prihatin terhadap pendidikan adalah yayasan-
yayasan kebajikan dan agama. Sebenarnya asal mula pendidikan di negara Barat kebanyakannya
karena badan-badan agama.
Pada prinsipnya, bayaran melalui pajak ini boleh digantikan dengan suatu sistem pinjaman
keluarga yang dapat dibayar kemudian melalui pendapatan, diharapkan pendapatan itu diperoleh
oleh murid-murid yang berhasil.
Tetapi pinjaman ini menimbulkan masalah administratif di samping masalah nilai-
nilai sosial, sebab mungkin mengkhawatirkan murid-
murid berpotensi, dan banyak orang berpendapat bahwa, pada prinsipnya, pendidikan itu harusla
h cuma-cuma. Kalau tidak, mustahil pendidikan itu wajib.
Di berbagai negara yang mempunyai sistem kesatuan dalam administrasi, seperti negara Pe
rancis, biaya pendidikan adalah tanggung jawab nasional. Di negara-
negara lain, seperti Amerika Serikat, ada pembagian antara pemerintah daerah dan pemenrintah
pusat, dimana pendidikan biasanya tanggungjawab daerah, juga biaya di tanggung oleh daerah. I
ni menimbulkan masalah yang serius sebab sumber keuangan pemerintah pusat dan daerah kada
ng-kadang sangat sedikit.
Telah dikatakan bahwa perdagangan merupakan sektor utama yang beruntung dari sistem p
endidikan, dan perdagangan memberi sumbangan besar kepada pajak pusat dan daerah.
Kemudian investmen, apakah pendidikan itu diusahakan demi untuk dia sendiri, misalnya s
eorang setengah umur mengikuti pelajaran bahasa asing dengan tujuan untuk hiburan. Atau apak
ah pendidikan dapat juga dipandang sebagai investmen untuk masa depan. Suatu masyarakat yan
g dengan sengaja menguntukkan kadar yang tinggi dari sumber-
sumber pendapatannya untuk mempertinggi keterampilan dan kemampuan generasi mudanya ber
harap melihat suatu perubahan dalam performans ekonomi dan sosialnya di tahun-
tahun mendatang. Ini tentu benar juga pada individu dan keluarga.

C. Ekonomi dan Pendidikan dalam Islam


Hubungan penidikan dan ekonomi telah wujud semenjak dunia ini tercipta. Juga dalam se
jarah Pendidikan Islam tampak hubungan antara ekonomi dan pendidikan itu erat sekali, terutam
a yang tergambar dalam lembaga wakaf dan zakat yang menjadi sumber keungan lembaga-
lembaga pendidikan Islam. Wakaf dan zakat juga memegang peranan penting dalam pendidikan
di dunia Islam semenjak lebih dari seribu tahun.
Zakat merupakan potensi untuk meningkatkan partisipasi umat Islam dalam pembanguna
n nasional. Jika potensi zakat ini digali sungguh-
sungguh dan sebagian umat Islam dapat mengeluarkan zakat, maka akan menghasilkan jumlah d
ana yang sangat besar. Jumlah tersebut dapat memberikan arti tersendiri dalam memecahkan mas
alah-
masalah kemiskinan, pendidikan, pembangunan keagamaan, dan kesenjangan sosial yang pada gi
lirannya dapat membantu dan mempercepat keberhasilan pembangunan nasioanal.
Jika, misalnya, separuh dari umat Islam di Indonesia mau dan sadar untuk melaksanakan
kewajiban membayar zakat maka akan dapat terhimpun dana 6,7 triliun rupiah setiap tahun. Hal i
ni, seperti dikatakan dalam hasil riset Syechul Hadi Purnumo (2006) merupakan asumsi minimal
karena ada asumsi lain yang lebih optimistik memperkirakan sebesar Rp. 84,5 triliun setiap tahun
. Angka tersebut nilainya kira-
kira dua kali lipat dari anggaran pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan yang ada di de
partemen-departemen lembaga pemerintah dan nonpemerintah.
Kemudian mengenai wakaf, hukum wakaf itu sunnat jika dimaksudkan keredaan Allah S
wt., seperti firman Allah: “Carilah kebaikan, mudah-
mudahan kamu beruntung”. (QS. 22:77). Wakaf yang diwakafkan kepada sekolah itulah yang m
engokohkan dan mengekalkan usaha pendidikan dan mendorongnya terus menerus, juga supaya
guru-guru dan murid-
murid dapat bekerja sepenuh waktu mengerjakan missinya dengan tentram dan senang hati. Guru
-guru menerima gaji tunai setiap bulan begitu juga muurid-
murid, bukan saja pendidikan gratis tetapi juga di jamin pakain dan tempat tinggal.
Pendapatan wakaf-wakaf ini tidak tetap maka akibatnya berubah-
ubahlah tingkat hidup pelajar-pelajar dan guru-
guru, dimana ia turun naik dari masa kemasa. Pengaruh wakaf terhadap pendidikan itu tidak terb
atas, bahwa ia adalah sumber keungan lembaga pendidikan, tetapi juga meliputi semua aspek pra
ktek pendidikan.
Namun teori yang membahas mengenai hubungan ekonomi dan pendidikan ini adalah hal
baru. Dan tidaklah ada salahnya kaum Muslimin menggunakan teori-
teori itu untuk memperbaiki keadaan dan mutu pendidikan asalkan tidak bertentangan dengan pri
nsip-prinsip pokok yang membentuk pandangan hidup Islam.
Hubungan ekonomi dan pendidikan dilihat dengan kacamata Islam bercirikan:
1. Ekonomi Islam adalah salah satu bahagian dari sistem Islam yang menyeluruh.
Ekonomi Islam berkaitan erat dengan agama, akidah, dan syari’at Islam. Sistem ekonomi I
slam adalah sebahagian dari syari’at dan berkaitan erat dengan akidah. Misalnya, dalam persoala
n halal haram yang meruncingkan seorang Muslim ketika ia ingin mengerjakan salah satu mu’am
alah.
Perkaitan ekonomi Islam dengan akidah dan syari’at Islam itulah yang memberi kepada akt
ivitas ekonomi dalam Islam suatu corak ibadat dan tujuan mulia. Keterangannya sebagai berikut:
a. Aktivitas Ekonomi dalam Islam Memiliki Ciri-Ciri Ibadat
Setiap perbuatan yang dikerjakan oleh seorang Muslim, baik bersifat ekonomi atau tidak, b
isa berubah dari perbuatan materialistis biasa kepada ibadat dimana ia diberi pahala kalau dengan
perbuatannya itu ia mengharapkan keridhaan Allah, dan memusatkan niatnya kepada-Nya.
Berdasarkan pada prinsip umum ini maka aktivitas ekonomi dalam Islam, berlainan dengan
aktvitas ekonomi pada sistem buatan manusia seperti kapitalisme atau sosialisme, mungkin beru
bah dari aktivitas materialistis semata-
mata menjadi ibadat dimana si Muslim di beri pahala jika dengan aktivitasnya ia menuntut kerid
haan Allah semata.
b. Aktivitas Ekonomi dalam Islam Mempunyai Tujuan yang Mulia
Ekonomi Islam walaupun bertujuan mencapai kegunaan material, ia tidak menjadikannya tu
juan sendiri, tetapi sebagai jalan kepada tujuan yang lebih besar dan maksud yang lebih mulia ya
itu memakmurkan bumi dan menyiapkan bumi dan menyiapkan untuk tempat hidup manusia itul
ah tujuannya, maka persaingan, egoisme, dan monopoli akan berubah menjadi saling mengerti da
n kerjasama untuk memakmurkannya dan mengeksploitasi kekayaannya sebaik-
baiknya untuk kepentingan umat seluruhnya.
c. Pengawasan Mengamalkan Aktivitas Ekonomi dalam Islam adalah Pertama Sekali Pengawasan S
endiri
Di bawah sistem ekonomi Islam di samping pengawasan undang-
undang yang dijalankan oleh para penguasa, ada pengawasan yang lebih keras dan lebih berkesa
n yaitu pengawasan hati nurani Muslim yang tegas di atas keimanan kepada Allah dan hisab di h
ari akhirat. Hati nurani ini hidup bersama dengan al-
Qur’an dan Sunnah yang mendengar dan mendapat pengaruh daripada keduanya.
2. Ekonomi Islam mencipta keseimbangan antara kemaslahatan masyarakat.
Perekonomian merupakan salah satu pilar penting dalam pembangnan masyarakat suatu ba
ngsa. Tujuan utama pembangunan ekonomi ialan untuk mewujudkan masyarakat yang makmur d
an sejahtera.
Tidak dapat diragukan bahwa tujuan setiap sistem ekonomi adalah untuk mencapai kemasl
ahatan pengikut-
pengikutnya. Tetapi kemaslahatn ini mungkin bersifat khusus mungkin juga bersifat umum.
Sistem ekonomi kapitalis menggambarkan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan u
ntuk mempunyai hak kepemilikan. Mendahulukan kemaslahatan khusus atas kemaslahatan umu
m dalam sistem kapitalis mempunyai banyak keburukan, yang paling menonjol adalah krisis-
krisis, pengangguran, perbedaan besar antara pendapatan dan kekayaan, dan timbulnya monopoli
.
Sistem ekonomi sosialis, berlainan dengan sistem kapitalis, mendahulukan kepentingan ma
syarakat dari kepentingan individu, malah ia mengorbankan sama sekali kepentingan individu un
tuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu sistem ini membatalkan sama sekali hak milik indivi
du untuk alat-
alat produksi, sebagaimana ia membatalkan kebebasan ekonomi individual, dan digantikannya d
engan hak milik umum dan kebebasan ekonomi umum atau hak milik dan kebebasan masyarakat
.
Cara ini juga mempunyai keburukan yang tidak kurang dari keburukan sistem kapitalis, kal
au tidak lebih buruk. Sebab membatalkan hak milik individu dan kebebasan ekonomi bertentang
an dengan naluri manusia yang akan mengakibatkan jatuhnya cita-cita, dan malas.
D. Kesimpulan
Dasar ilmu ekonomi ini diperlukan dalam rangka memberikan perspektif tentang potensi-
potensi finansial, menggali dan mengatur sumber-
sumber, serta mempertanggungjawabkannya terhadap rencana dan anggaran pendidikan. Ilmu ek
onomi yang diatur berdasarkan ajaran Islam ini diperlukan untuk membiayai penyelenggaraan pe
ndidikan. Seperti untuk membangun gedung dan infrastruktur, sarana prasarana, gaji pendidik da
n tenaga kependidikan. Pengadaan alat-
alat praga, alat tulis dan lain sebagainya melalui zakat, wakaf dan sebagainya yang diperuntukka
n untuk kepentingan pendidikan.
Dalam bidang ekonomi, yang sangat relevan dengan pendidikan seperti yang su
dah di jelaskan adalah hal-
hal yang berkaitan dengan investmen dan hasilnya, artinya kalau modal ditanam sekian berapa b
anyak nanti keuntungan yangdiharapkan dari situ.
Tentunya dalam pendidikan Islam hasil pendidikan itu tidak selalu harus diukur dengan u
ang, tetapi hal-
hal yang tidak bersifat benda, seperti status, prestasi, kebahagiaan, kesempatan, penghargaan, ya
ng tentunya dapat dilihat bekasnya pada individu yang mempunyai pendidikan itu.

DAFTAR PUSTAKA
http://makalahnih.blogspot.com/2014/06/makalah-dasar-dan-asas-pendidikan-islam.html, Banjarmasin, 18-03-2015.

http://Pengertian/konsumsi/Dunia/Ilmu.html/Banjarmasin, 18-03-2015.

http://tugasinvestment.blog.com/arti-investment-2/Banjarmasin, 18-03-2015.

Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003.

Mahfud, Rois. Al-Islam Pendidikan Agama Islam, Palangka Raya, Erlangga, 2010.

Nata, Abudin. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012.

Yustika, Ahmad Erani. Ekonomi Kelembagaan, Malang, Bayu Media Publishing, 2006.

Anda mungkin juga menyukai