Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang dibekali dengan berbagai
potensi fitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Potensi istimewa ini
dimaksudkan agar manusia dapat mengembangkan dua tugas utama, yaitu sebagai
khalifatullah di muka bumi dan juga abdi Allah untuk beribadah kepada-Nya.
Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan,
sehingga apa yang akan diembannya dapat terwujud. Pada era modern ini
persaingan diberbagai lini kehidupan semakin ketat, pendidikan pun tidak luput
dari tunuttan era modern sehingga muncullah istilah modernisasai pendidikan.
Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan non formal
yang tersebar di Indonesia. Dimana pondok pesantren lahir ditengah-tengah
masyarakat. Setiap pondok pesantren memiliki ciri khas yang berbeda-beda
tergantung dari bagaimana tipe reader shipnya dan metode seperti apa yang
diterapkan dalam pembelajarannya.
Dalam arus modernisasi dunia pendidikan yang seperti itu pondok pesantren
tampil sebagai salah satu lembaga pendidikan islam yang masih menunjukkan
eksisitensinya di era modern ini. Memang cukup mengherankan karena pesantren
identik dengan sistem pendidikannya yang “jadul”, usang dan sudah ketinggalan
jaman akan tetapi perlu diingat bahwa pendidikan pondok pesantren sangat
digandrungi oleh masyarakat Indonesia terutama dalam bidang kajian ilmu agama.
Pesantren sudah sangat membumi terutama bagi masyarakat jawa dan
disamping itu pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang paling sah sebagai
pewaris khazanah intelektual islam di tanah air Indonesia. Hal ini dikarenakan wali
songo sebagai garda depan dalam syiar agama islam dan juga para kyaiterdahulu
menggunakan pesantren sebagai pusat kajian intelektual keislaman dan generasi
selanjutnya hingga sekarang tetap mempertahanakan keberadaan pesantren sebagai
pusat kajian keislaman di era modern.

1
Oleh karena adanya berbagai tuntutan yang harus dipenuhi di era modern,
pondok pesantren ada yang tetap mempertahan ciri khasnya sebagai lembaga
pendidikan konvensonal dan ada juga pondok pesantren yang mengintregasikan
antara modernisasai dan system salaf atau lebih terkenal dengan pondok modern.
Santri tersebut berada dalam komplek yang juga menyediakan masjid untuk
beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan keagamaan lainnya. Komplek ini
biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para
santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan pada latar belakangdi atas maka
rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian modernisasi?
2. Apa pengertian dan ciri-ciri masyarakat modern?
3. Apa pengertian pendidikan pesantren?
4. Sejarah dan potret perkembangan pendidikan pesantren?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini berdasarakan dengan rumusan masalah
diatas yaitu:
1. Untuk menganalisis pengertian modernisasi
2. Untuk menganalisis pengertian dan ciri-ciri masyarakat modern
3. Untuk menganalisis pengertian pendidikan di pesantran
4. Untuk menganalisis sejarah perkembangan pendidikan pesantren.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Modernisasi
Istilah modernisme bukan merupakan hal yang baru dalam pendengaran
mayoritas masyarakat di dunia ini. Secara definitif modernisasi bukanlah suatu
penciptaan standar norma baru. Tetapi, standar norma itu telah ada sebelumnya.
Secara bahasa “modernisasi” berasal dari kata modern yang berarti; a). Terbaru,
mutakhir. b). Sikap dan cara berpikir sesuai dengan perkembangan zaman.
Kemudian mendapat imbuhan “sasi”, yakni “modernisasi”, sehingga mempunyai
pengertian suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat
untuk bisa hidup sesuai dengan perkembangan zaman.1
Kata “modern”, “modernisme” dan modernisasi” mengandung arti pikiran,
aliran gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat,
institusi-institusi lama dan lain sebagainya agar menjadi sesuai dengan
pendapatpendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.2
Menurut Nurcholis Madjid, modernisasi adalah proses perombakan pola
berfikir dan tata kerja lama yang tidak ‘aqliyyah (rasional). 3 Dalam hal ini Noeng
Muhadjir, menyatakan dengan pernyataan yang lebih tegas bahwa kata modern
dalam identifikasinya bukan westernisasi yang sekuler, tetapi lawan dari tradisional
dan konvensional, karakter utamanya adalah rasional efisien sekaligus
mengintregasikan wawasan ilmu dan wahyu.4
Modernisasi bisa juga disebut dengan reformasi yaitu membentuk kembali,
atau mengadakan perubahan kepada yang lebih baik, dapat pula diartikan dengan
perbaikan. Dalam bahasa arab sering diartikan dengan tajdid yaitu memperbaharui,

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 589
2
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, cet. IV, (Bandung: Mizan,
1996), h. 181.
3
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, cet. I (Bandung : Mizan,
1993), h. 172.
4
Noeng Muhajir, Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Prespektif Modern,
Al-Ta’dib, Forum kajian ilmiah Kependidikan Islam, No.1 (Juni,2000), h. 38

3
sedangkan pelakunya disebut mujaddid yaitu orang yang melakukan
pembaharuan.5
Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para siswanya tinggal
bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan
kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada
dalam komplek yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk
belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Komplek ini biasanya dikelilingi oleh
tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan
peraturan yang berlaku.6
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, pesantren ditengarai oleh
beberapa ahli sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan pada masa Hindu-Budha
pra Islam. Terdapat beberapa kesamaan antara pesantren dengan sistem pendidikan
sebelumnya seperti: letaknya yang biasa terdapat di pedesaan, didirikan oleh tokoh
agama, pola dan materi pembelajarannya yang mengarah kepada asketisme,
kesederhanaan dan kemandirian.7
Sebagai sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan dari sistem
pendidikan sebelumnya, pesantren berhasil memadukan sistem pendidikan Islam –
yang di dalamnya diajarkan ajaran Islam – dengan budaya lokal yang mengakar
pada saat itu. Upaya pemaduan antara ajaran Islam dengan budaya lokal itu,
merupakan ciri penyebaran Islam pada masa awal Islam, yang mengutamakan
kelenturan dan toleransi terhadap keyakinan dan nilai-nilai yang hidup subur di
masyarakat sejak sebelum Islam datang ke Nusantara.
Dengan demikian, dalam sejarah perjalanannya pesantren telah berhasil
melakukan upaya kontekstualisasi ajaran Islam dengan budaya lokal. Kalangan
pesantren pada masa awal Islam telah dapat menampilkan sekaligus mengajarkan
Islam yang dapat bersentuhan dengan nilai-nilai, keyakinan, serta ritual pra Islam.

5
Yusran asmuni, Pengantar Studi pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam
(Dirasah Islamiyah) Ed.I Cet.II (Jakarta : PT. raja Grafindo Persada, 1996), h. 1-2
6
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, h. 20
7
Karel A. Steenbrink. Pesantren Madrasah dan Sekolah, h, 21

4
Beberapa ritus tersebut bahkan dipertahankan dan dipraktekkan – dengan diberi
muatan dan corak Islami – oleh sebagian masyarakat Muslim hingga saat ini.8
Dari gambaran di atas jelas bahwa pesantren merupakan lembaga
pendidikan di Indonesia yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun lalu
masih eksis dan dibutuhkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat Muslim
Indonesia.

B. Pengertian dan ciri-ciri masyarakat modern


a. Pengertian Masyarakat
Banyak deskripsi yang dituliskan oleh para pakar mengenai
pengertian masyarakat. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang
berasal dari kata Latin socius, berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri
berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia saling “bergaul”, atau dengan
istilah ilmiah, saling “berinteraksi” (Koentjaraningrat, 2009: 116). Menurut
Phil Astrid S. Susanto (1999: 6), masyarakat atau society merupakan
manusia sebagai satuan sosial dan suatu keteraturan yang ditemukan secara
berulangulang, sedangkan menurut Dannerius Sinaga (1988: 143),
masyarakat merupakan orang yang menempati suatu wilayah baik langsung
maupun tidak langsung saling berhubungan sebagai usaha pemenuhan
kebutuhan, terkait sebagai satuan sosial melalui perasaan solidaritas karena
latar belakang sejarah, politik ataupun kebudayaan yang sama.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dimaknai bahwa
masyarakat merupakan kesatuan atau kelompok yang mempunyai hubungan
serta beberapa kesamaan seperti sikap, tradisi, perasaan dan budaya yang
membentuk suatu keteraturan.

b. Pengertian modern
Untuk memahami istilah modern perlu mengikuti perkembangan
historis yang terjadi di Eropa sejak abad pertengahan yang merupakan

8
Karel A. Steenbrink. Pesantren Madrasah dan Sekolah , h, 67-68

5
zaman kegelapan (dark age), untuk kemudian disusul dengan munculnya
zaman kebangkitan kembali (renaissance), abad pencerahan (aufklarung),
hingga abad modern sekarang ini.
Paham dan pandang tentang modern yang berkembang di Eropa
pada dasarnya diawali pemutusan hubungan dengan kekuasaan Gereja pada
abad pertengahan. Seperti yang diketahui, bahwa pada abad pertengahan
tersebut masyarakat Eropa beranggapan bahwa dunia merupakan bagian
dari kerajaan Tuhan.
Dengan demikian segala sesuatu yang dipandang benar dan menjadi
keputusan Gereja harus diterima sebagai kebenaran mutlak. Prinsip-prinsip
yang dikembangkan oleh Gereja di Eropa pada abad pertengahan
bertentangan dengan prinsip prinsip rasionalitas. Itulah sebabnya muncul
gerakan intelektual yang menghendaki adanya kebebasan dalam berpikir,
berkesenian, dan sekaligus beragama. Gerakan intelektual tersebut telah
memunculkan paham rasionalisme yang merupakan tonggak dari kehidupan
modern di Eropa. Lalu apakah yang disebut modern itu?
Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Antropologi, Harsojo
mendefinisikan istilah modern sebagai suatu sikap pikiran yang mempunyai
kecenderungan untuk mendahulukan sesuatu yang baru dibandingkan
dengan sesuatu yang bersifat tradisi. Dampak dari pandangan modern
tersebut adalah adanya sikap yang revolusioner karena munculnya
keinginan untuk meninggalkan dan sekaligus mengganti adat istiadat dan
tradisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai rasionalitas dan menggantinya
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Uraian di atas mengantarkan pada pengertian bahwa masyarakat
modern merupakan Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Antropologi,
Harsojo mendefinisikan istilah modern sebagai suatu sikap pikiran yang
mempunyai kecenderungan untuk mendahulukan sesuatu yang baru
dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat tradisi. Dampak dari pandangan
modern tersebut adalah adanya sikap yang revolusioner karena munculnya
keinginan untuk meninggalkan dan sekaligus mengganti adat istiadat dan

6
tradisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai rasionalitas dan menggantinya
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

c. Ciri-ciri masyarakat modern


Uraian di atas mengantarkan pada pengertian bahwa masyarakat
modern merupakan suatu masyarakat yang lebih mengutamakan rasionalitas
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai perwujudannya dari pada
segala sesuatu yang bersifat tradisi, adat istiadat, dan lain sebagainya.
Adapun ciri-ciri manusia modern ditunjukkan oleh sosiolog
Soerjono Soekanto, sebagai berikut:
1. Bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru maupun
penemuan-penemuan baru sehingga tidak mengembangkan sikap apriori
(purbasangka).
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai adanya
beberapa kekurangan yang dihadapi pada saat itu.
3. Memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah yang terjadi di
lingkungan sekitarnya, sekaligus mempunyai kesadaran bahwa masalah-
masalah tersebut memiliki hubungan dengan keberadaan dirinya.
4. Senantiasa memiliki informasi yang lengkap berkenaan dengan
pendiriannya.
5. Berorientasi pada masa kini dan pada masa yang akan datang.
6. Memiliki kesadaran akan potensi-potensi yang ada pada dirinya dan
sekaligus memiliki keyakinan bahwa potensi tersebut dapat
dikembangkan dengan baik.
7. Memiliki kepekaan terhadap perencanaan.
8. Tidak mudah menyerah kepada nasib.
9. Percaya terhadap manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya
peningkatan kesejahteraan umat manusia.
10. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, serta kehormatan pihak
lain.

C. Pengertian Pesantren Moderenisasi


Pesantren Modernisasi sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1910 M.
Hal ini ditandai dengan sudah adanya pondok untuk santriwati atau santri
perempuan di Pondok Denanyan Jombang. Kemudian tahun 1920 M mulai adanya

7
penambahan mata pelajaran umum seperti pelajaran berhitung, bahasa Indonesia
dan Belanda, ilmu bumi.9
Di era modern ini eksistensi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikian
mulai dipertanyakan eksistensi dan kredibelitasnya kaitannya dengan membangun
intelektualitas generasi muda. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri dan selanjutnya
menjadi pertanyaan besar karena di era yang serba cepat dan serba modern ini
masih ada lembaga pendidikan yang masih mempertahankan sistem pembelajaran
dengan model tradisonal. Kemudian bagaimana pondok pesantren membekali para
santrinya dalam menghadapi tuntutan era modern sedangkan dalam pondok
pesantren cenderung menutup diri dari tuntutan era modern.10
Seiring berjalannya waktu pondok pesantren dibagi menjadi dua jenis antara
lain pondok pesantren salaf dan pondok pesantren modern. Pondok poseantren
modern muncul karena memang ada tuntutan yang harus dipenuhi di era modern
terutama ada integralisasi ilmu pengetahuan umum kedalam kurikulum pesantren
yang pada awalnya cenderung dikotomis. Selain itu juga pondok pesantren modern
muncul dikarenakan keberadaaan pondok pesantren tersubordinasi oleh pendidikan
yang mengadadopsi kurikulum matapelajaran umum karena memang tuntutan
zaman yang sedemikian rupa, kemudian muncullah pondok pesantren modern yang
hadir untuk mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan
pondok pesantren salaf merupakan jenis pondok pesantren yang tetap memegang
teguh tradisi lama dalam proses ta’alum bahkan cenderung menutup diri terhadap
perkembangan zaman bahkan pada tuntutan zaman di era modern ini.
Maka sejak Orde Baru mulai munculah pesantren modern. Hal ini
disebabkan perekonomian masyarakat yang meningkat. Pesantren modern ini
mengadopsi sistem pendidikan formal. Namun masih berpegang teguh pada ajaran
Islam. Sistem pembelajaranya di seimbangkan dengan sistem pembelajaran modern
yaitu dengan mengikuti kurikulum pemerintah yang kemudian dicampur dengan
kurikulum keislaman. Sehingga pesantren modern lebih unggul dibanding dengan

9
Yasmadi, M.A. Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan
Islam Tradisional. Ciputat: Quantum Teaching. 2005 hlm 39
10
Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 6

8
lembaga pendidikan lain karena sumber daya manusia yang akan dihasilkan akan
lebih mampu bersaing dalam dunia kemasyarakatan.
Tenaga pendidiknya pun diambilkan dari sarjana-sarjana dan tidak hanya
berpusat pada Kyai saja. Jenis pesantren yang disebut pesantren modern adalah
pesantren khalafi. Pesantren khalafi dapat menerima hal-hal baru yang positif tetapi
tetap bisa mempertahankan tradisi lama. Pesantren jenis ini membuka sekolah
reguler dilingkungan pesantren. Kurikulum yang diajarkan pun disesuaikan
kurikulum terbaru namun pengajaran agama pesantren dan pelajaran kitab-kitab
klasik tetap dilaksanakan.
Dalam kenyataannya, pesantren telah berperan dalam merespon
modernisasi yang telah berkembang saat ini, yakni dengan menyediakan pedoman
spiritual pada masyarakat dengan cara menyesuaikan agama dengan tantangan
modernisasi. Dengan kata lain agama tidak cukup dimanifestasikan dalam
rangkaian upacara-upacara keagamaan, tetapi merumuskan kembali kerja
keagamaan yang patut dilakukan.11
Pesantren tradisional berubah menjadi pesantren modern tidak langsung
menghilangkan tradisi lama. Pesantren modern tetap memegang nilai-nilai tradisi
kefalsafahanya. Untuk menyetarakan dengan sekolah umum, pesantren dapat
menempuh jalan menambah mata pelajaran tambahan seperti keterampilan
komputer, kursus bahasa Inggris dan bahasa asing lainya dan mengadakan program
kejar paket A, B dan C agar santri-santrinya mendapat ijazah persamaan. Sehingga
santri-santri lulusan pesantren juga bisa terjun dan bersaing dalam dunia kerja.

D. Pengertian Pendidikan Pesantran


Pada dasarnya, pendidikan pesantren dirumuskan dari dua pengertian dasar
yang terkandung dalam istilah “pendidikan” dan istilah “pesantren”. Kedua istilah
itu di satukan dan arti keduanya menyatu dalam definisi pendidikan pesantren.
Pendidikan adalah usaha sadar, teratur dan sistematis yang dilakukan oleh orang
dewasa yang diberi tanggung jawab untuk menanamkan akhlak yang baik dan

11
Faiqoh, Nyai Agen Perubahan di Pesantren, (Jakarta:Kucica, 2003), hlm, 247.

9
nilai-nilai luhur, serta norma-norma susila kepada anak didik sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani untuk mencapai kedewasaan.
Sedangkan perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe
dan akhiran an, berarti tempat tinggal santri. Secara etimologi pesantren berasal
dari kata pe-santri-an, berarti “tempat santri” 12
Menurut sumber tersebut jika
dilihat secara bahasa pengertian pesantren merujuk kepada keterangan tempat yaitu
tempat di mana para santri menuntut ilmu atau menganyam pendidikan.13
Mengenai asal usul kata “Santri”, banyak pendapat tentangnya, menurut
Zamakhsyari Dhofier, bahwa Profesor Johns berpendapat, istilah “Santri”, berasal
dari bahasa Tamil, “Sastri” yang berarti guru mengaji, sedangkan C.C. Berg
berpendapat bahwa “Santri” berasal dari bahasa India “Shastri” yang berarti orang
yang tahu buku-buku suci atau buku-buku agama. Robson berpendapat, kata
“Santri ” berasal dari bahasa Tamil “Sattiri” yang berarti orang tinggal di rumah
miskin atau bangunan secara umum.
Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan khas Indonesia yang
menjadi tempat para santri mendalami pendidikan agama Islam. Dari masa ke masa
pesantren terus melakukan pembaharuan agar dapat tetap menunjukkan
eksistensinya di tengah gempuran global. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
pesantren berpedoman pada ajaran agama dengan menekankan pada aspek moral
dalam berinteraksi dan bergaul. Sehingga sikap dan perilaku masyarakat pesantren
akan terjaga dengan baik.
Secara terminologi pesantren adalah lembaga pendidikan Islam untuk
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaquh fiddina)
dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-
hari. Sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur dan
bekerja sama secara terpadu, dan saling melengkapi satu sama lain menuju
tercapainya tujuan pendidikan yang telah menjadi cita-cita bersama pelakunya.

12
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S,
(Jakarta, 1983) hlm.18
13
Manfret, Ziamek. Pesantren Islamiche Bildung In Sozialen Wandel. Butche B.
Soendjojo, (Penj), (Jakarta: Guna Aksara,1986), hlm. 16

10
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam untuk mendalami dan menyebarkan ilmu-ilmu keislaman dan
menekankan pada moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari.

E. Sejarah Pendidikan Pesantran


Sejarah pendidikan pesantren tidak akan lepas dari sejarah pesantren itu
sendiri. Sejarah berdirinya pesantren sering diidentikkan dengan sejarah masuknya
Islam di Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tumbuh dan berkembang
sejak masuknya Islam di Indonesia, proses Islamisasi di Indonesia tidak bisa lepas
dari peranan lembaga-lembaga tersebut. Lembaga ini belum muncul pada masa
kontak pertama agama Islam dengan penduduk pribumi. Menurut Abdurrachman
Mas’ud bahwa penelitian antropologi Clifford Geertz yang mengasosiasikan Islam
dengan warisan-warisan Hindu-Budha. Bahwa Islam di Jawa sinkretis dan
superfisial sebagaimana asumsi Geertz jelas tidak didasarkan pada pengamatan
proses Islamisasi dan transformasi sosial yang panjang serta memisahkan Islam
Jawa dari peta dunia Islam secara keseluruhan.
Data sejarah tentang kapan pesantren berdiri dan siapa serta di mana secara
detail sulit untuk ditelusuri. Data dan keterangan tentang pesantren tidak
didapatkan secara pasti. Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Subdit pesantren
Depag R.I. pada tahun 1994/1995 diperoleh keterangan bahwa pondok pesantren
tertua didirikan pada 1062 dengan nama pesantren Jan Tampes II di Pamekasan,
Madura. Namun data ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut: jika ada pesantren
Jan Tampes II, tentu ada pesantren Jan Tampes I yang usianya lebih tua, sayangnya
data tersebut tidak mengikutkan data tentang Jan Tampes I yang mungkin usianya
lebih tua.14
1. Masa Walisongo
Sejarah perkembangan pesantren di Indonesia tidak sampai sekarang
tidak dapat dipisahkan dengan asal-usul pesantren yang dipengaruhi oleh
sejarah Walisongo abad 15-16 Masehi. Walisongo adalah tokoh-tokoh

14
http://ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/elhikam/article/download/1916/1419
di akses pada tanggal 25/02/2019 pukul 09. 30 WIB

11
penyebar Islam di Jawa yang telah mengkombinasikan aspek-aspek sekuler
dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka secara
berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Kalijaga, Sunan Derajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Dan
Sunan Gunung Jati. Dari ke-9 wali tersebut Maulana Malik Ibrahim
(meninggal 1419) sebagai spiritual father Walisongo, dan dalam masyarakat
santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di
Jawa.
Tradisi yang diperkenalkan Walisongo merupakan kelanjutan perjuangan
Rasulullah yang diterjemahkan dalam menyebarkan agama Islam tanpa
kekerasan dan berorientasi pada perdamaian sebagaimana keberadaan Islam
sebagai rahmatan lil alamin. Menurut Abdurrachman Mas’ud modeling
pesantren yang dicontohkan oleh Walisongo antara lain :15
a. Orientasi kehidupan yang lebih mementingkan akhirat dari pada kehidupan
dunia. Hal ini dapat dilihat dari pendirian masjid Demak pada tanggal 1
Zulqo’dah 1428 H. lebih dahulu dari pada mendirikan sebuah negara
(pemerintahan) yaitu kerajaan Demak.
b. Kepemimpinan dari seorang tokoh yang karismatik, seperti kepemimpinan
Rasulullah dan Walisongo yang menjadi kiblat para santri sehingga
kepemimpinan yang bersifat paternalisme dan patronclient relation yang
sudah mengakar pada budaya Jawa.
c. Misi Walisongo sebagai penerus Nabi Muhammad SAW. Di mana
Walisongo berusaha menerangkan, memperjelas dan memecahkan
persoalan masyarakat serta memberi model ideal bagi kehidupan sosial
masyarakat.
d. Walisongo berusaha menghilangkan dikotomi atau gap antara ulama dan
raja atau yang kita kenal dengan istilah “Sabdo Pandito Ratu”. Hal ini
sesuai dengan watak dasar agama tauhid yang tidak memberi ruang
terhadap sekularisme.

15
Zamakhsyari Dhofir,Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S,
(Jakarta, 1983). Hlm. 50

12
e. Pendidikan Walisongo yang mudah ditangkap dan dilaksanakan. Hal ini
sesuai dengan sabda nabi wa khatibinnas ‘ala qodri uqulihim.
2. Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan (kolonialisme). Kebijakan Pendidikan di
Indonesia pada masa penjajahan berawal dari bentuk pendidikan sparadis oleh
VOC melalui misi-misi agama. Pendidikan relatif lebih maju dilaksanakan
dalam rangka politik etik tahun 1878, dengan dilahirkannya Comptabilitiet Wet
atau undang-undang mengenai keuangan. Meskipun demikian dalam
praktiknya penindasan terhadap pendidikan dan kesejahteraan rakyat tidak
berubah.
Kebijakan pendidikan pasca masa Kolonial berusaha menekan dan
mendiskreditkan Islam, pada masa ini oleh, sikap yang demikian dilakukan
oleh Belanda tidak hanya menghambat perkembangan pendidikan Islam
terutama pesantren tapi juga sistem pendidikan yang ditawarkan oleh pesantren
dianggap terlalu jelek dan tidak mungkin untuk diterapkan sebagai pendidikan
modern, karena kedua sistem pendidikan ini memiliki berbagai perbedaan
seperti : biaya pendidikan, tujuan pendidikan, peserta didik dll.
Bahkan pesantren bersikap nonkooperatif dengan kolonial Belanda
dengan cara tidak memperdulikan dan menutup kerja sama bahkan melakukan
perlawanan. Memang tidak ada bukti secara kelembagaan bahwa pesantren
memerintahkan santrinya melawan pemerintahan kolonial, namun hal itu
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, seperti melatih para santri dengan
beladiri dan kanuragan, di samping tetap melaksanakan fungsinya sebagai
lembaga pendidikan Islam.
3. Masa Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan sampai dekade kedua, pondok pesantren tetap
menempatkan diri sebagai alternatif dari sistem pendidikan seperti sekolah.
Ketika pemerintah menawarkan sistem madrasah diterapkan di pesantren,
sikap yang muncul adalah sikap curiga dan bertanya-tanya. Kebanyakan
pesantren menganggap bahwa sistem sekolah adalah warisan kaum kafir

13
kolonial, sementara mereka yang menirunya merupakan bagian dari kaum kafir
itu. Sebuah jargon yang sangat populer di kalangan pesantren adalah:16
‫”من تشبه بقوم فهو منه‬barang siapa yang menyerupai sebuah kaum, maka
mereka termasuk bagian dari kaum tersebut” sebagai dasar penolakan mereka
untuk kerja sama. Baru memasuki era 1970-an pesantren mengalami
perubahan yang signifikan. Perubahan ini dapat ditilik melalui dua sudut
pandang: Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas yang luar
biasa dan menakjubkan baik di wilayah pedesaan, pinggir kota dan perkotaan.
Data Departemen Agama menyebutkan pada tahun 1977 jumlah pesantren
sekitar 4.185 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Pada tahun
1985 jumlah pesantren sekitar 6.239 buah dan jumlah santri 1.084.801 orang.
Pada tahun 1997 jumlah pesantren sekitar 9.388 buah, dan jumlah santri sekitar
1.770.768 orang. Dan pada tahun 2001 dari jumlah 11.312 pesantren memiliki
santri sekitar 2.737.805 orang. Jumlah ini meliputi jumlah pesantren
tradisional dan modern. Selain menunjukkan tingkat keragaman orientasi
pimpinan pesantren dan independensi kiai dan ulama. Jumlah ini memperkuat
argumentasi bahwa pesantren merupakan lembaga swasta yang sangat mandiri
dan sejatinya merupakan praktik pendidikan berbasis masyarakat. Kedua
menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk
pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk
pesantren diklasifikasikan menjadi empat tipe yakni:
Tipe 1 pondok pesantren modern Pondok pesantren ini merupakan
pengembangan tipe pesantren dari tradisional yang telah berinovasi, karena
orientasi belajarannya cenderung telah sebagian mengadopsi seluruh sistem
baru dan meninggalkan sistem belajar tradisional.Penerapan sistem belajar
modern ini terutama nampak pada bangunan kelas-kelas belajar baik dalam
bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum
sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional.Santrinya ada yang
menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kyai sebagai
koordinator pelaksana proses belajar mengajar langsung di kelas.

16
Ibid 52

14
Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi
pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum
lokal.Tidak sedikit para alumnus pondok pesantren modern yang kemudian
menjadi orang-orang hebat di Negara kita.
Tipe 2 pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski
tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo, dan
Darul Rahmat Jakarta. Tipe 3 pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu
agama dalam bentuk madrasah diniah (MD) sepeti pesantren Lerboyo Kediri
dan pesantren Tegal Rejo Magelang. dan Tipe 4 pesantren yang hanya menjadi
tempat pengajian.
Pada era reformasi, setelah Departemen Agama memiliki unit tersendiri
yang khusus mengurusi pondok pesantren dalam sub-derektorat, maka usaha-
usaha untuk meningkatkan peran dan fungsi pondok pesantren menjadi lebih
sistematis. Nama pembina pondok pesantren ialah Sub Direktorat pembinaan
pondok pesantren dan madrasah (Subdit PP & MD) di bawah direktorat
pembinaan perguruan agama Islam (Ditjen Bimbaga Islam) Departemen
Agama RI. Dengan terbentuknya Sub Direktorat khusus pesantren ini, usaha-
usaha pengembangan dan pemberdayaan pondok pesantren digalakkan dan
diintensifkan. Rancangan program pondok pesantren dewasa ini, dan
kemungkinan besar akan dipertahankan pada waktu mendatang, ialah
mengembangkan dan membina namun tetap mempertahankan keragaman dan
ciri khas masing-masing pesantren.

F. Tujuan Pendidikan Pesantren


Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan
kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia, bermanfaat dan berkhidmat kepada masyarakat, mampu berdiri
sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama dan menegakkan

15
Islam dan kejayaan umat, mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian Indonesia.17
Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan mempunyai tujuan yang
dirumuskan dengan jelas sebagai acuan progam-progam pendidikan yang
diselenggarakannya.
Profesor Mastuhu menjelaskan bahwa tujuan utama pesantren adalah untuk
mencapai hikmah atau wisdom (kebijaksanaan) berdasarkan pada ajaran Islam yang
dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan serta
realisasi dari peran-peran dan tanggung jawab sosial.18 Setiap santri diharapkan
menjadi orang yang bijaksana dalam menyikapi kehidupan ini. Santri bisa
dikatakan bijaksana manakala sudah melengkapi persyaratan menjadi seorang yang
‘alim (menguasai ilmu, cendekiawan), shalih (baik, patut, lurus, berguna, serta
cocok), dan nasyir al-‘ilm (penyebar ilmu dan ajaran agama).
Secara spesifik, beberapa pondok pesantren merumuskan beragam tujuan
pendidikannya kedalam tiga kelompok; yaitu pembentukan akhlak/kepribadian,
penguatan kompetensi santri, dan penyebaran ilmu.19
a. Pembentukan akhlak/kepribadian
Para pengasuh pesantren yang notabene sebagai ulama pewaris para nabi,
terpanggil untuk meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam
membentuk kepribadian masyarakat melalui para santrinya. Para pengasuh
pesantren mengharapkan santri-santrinya memiliki integritas kepribadian yang
tinggi (shalih). Dalam hal ini, seorang santri diharapkan menjadi manusia yang
seutuhnya, yaitu mendalami ilmu agama serta mengamalkannya dalam
kehidupan pribadi dan masyarakat.
b. Kompetensi santri
Kompetensi santri dikuatkan melalui empat jenjang tujuan, yaitu:20
1. Tujuan-tujuan awal (wasail)

17
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren. (Jakarta: INIS.2007), hlm 13
18
M. Dian Nafi’, dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Instite for training and
development (ITD) Amherst, 2007), hlm: 49
19
Ibid
20
Ibid, hlm. 57

16
Rumusan wasail dapat dikenali dari rincian mata pelajaran yang masing-
masing menguatkan kompetensi santri di berbagai ilmu agama dan
penunjangnnya
2. Tujuan-tujuan antara (ahdaf)
Paket pengalaman dan kesempatan pada masing-masing jenjang (ula,
wustha, ‘ulya) terlihat jelas dibanyak pesantren. Di jenjang dasar (ula)
pengalaman dan tanggung jawab terkait erat dengan tanggung jawab
sebagai pribadi. Di jenjang menengah (wustha) terkait dengan tanggung
jawab untuk mengurus sejawat santri dalam satu kamar atau beberapa
kamar asrama. Dan pada jenjang ketiga (‘ulya) tanggung jawab ini sudah
meluas sampai menjangkau kecakapan alam menyelenggarakan
musyawarah mata pelajaran, membantu pelaksanaan pengajaran, dan
menghadiri acara-acara di masyarakat sekitar pesantren guna mengajar di
kelompok pengajian masyarakat.lebih jauh lagi rumusan tujuan pendidikan
dalam tingkat aplikasinya, santri diberi skill untuk membentuk insan yang
memiliki keahlian atau kerampilan, seperti ketrampilan mengajar atau
berdakwah.21
3. Tujuan-tujuan pokok (maqashid)
Tujuan pokok yang ingin dihasilkan dari proses pendidikan dilembaga
pesantren adalah lahirnya orang yang ahli dalam bidang ilmu agama Islam.
Setelah santri dapat bertanggung jawab dalam mengelola urusan
kepesantrenan dan terlihat kemapanan bidang garapannya, maka dimulailah
karir dirinya. Karir itu akan menjadi media bagi diri santri untuk mengasaha
lebih lanjut kompetensi dirinya sebagai lulusan pesantren. Disinilah ia
mengambil tempat dalam hidup, menekuni, menumbuhkan, dan
mengembangkannya.

4. Tujuan-tujuan akhir (ghayah)

21
Hasbi Indra, Pesantren dan Tranformasi Sosial: Studi Atas Pemikiran KH. Abdullah
Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam, (Jakarta: penamadani, 2003), Hlm: 170

17
Tujuan akhir adalah mencapai ridla Allah SWT. Itulah misteri kahidupan
yang terus memanggil dan yang membuat kesulitan terasa sebagai rute-rute
dan terminal-terminal manusiawi yang wajar untuk dilalui.
c. Penyebaran ilmu
Penyebaran ilmu menjadi pilar utama bagi menyebarnya ajaran Islam.
Kalangan pesantren mengemas penyebaran ini dalam dakwah yang memuat
prinsip al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Perhatian pesantren
terhadap penyebaran ilmu ini tidak hanya dibuktikan denga otoritasnya
mencetak da’i, akan tetapi juga partisipasinya dalam pemberdayaan masyarakat.

G. Karakteristik Pondok Pesantren


Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai karakteristik
yang sangat kompleks.
Ciri-ciri semacam umum ditandai dengan adanya:
1. Kyai, sebagai figur yang biasanya juga sebagai pemilik.
2. Santri, yang belajar dari kyai22
3. Asrama, sebagai tempat tinggal para santri dimana Masjid sebagai pusatnya
4. Adanya pendidikan dan pengajaran agama melalui sistem pengajian (weton,
sorogan, dan bandongan), yang sekarang sebagian sudah berkembang
dengan sistem klasikal atau madrasah.
Sedangkan ciri secara khusus ditandai dengan sifat kharismatik dan suasana
kehidupan keagamaan yang mendalam. Kedua ciri ini masuk kedalam lima
klasifikasi pondok pesantren. Kelima klasifikasi pesantren ini adalah: 23
1. Pondok pesantren salaf/klasik: yaitu pondok yang didalamnya terdapat sistem
pendidikan salaf (weton dan sorogan), dan sistem klasikal (madrasah) salaf.

22
HA. Mukti Ali, Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional: dalam
Pembangunan Pendidikan dalam Pandangan Islam, (Surabaya: IAIN sunan ampel, 1986), hlm: 73-
74
23
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di Tengah
Arus Perubahan, hlm: 87-88

18
2. Pondok pesantren semi berkembang: yaitu pesantren yang didalamnya
terdapat sistem pendidikan salaf, sistem klasikal swasta dengan kurikulum
90% agama dan 10% umum.
3. Pondok pesantren berkembang: yaitu pesantren yang kurikulum
pendidikannya 70% agama dan 30% umum.
4. Pondok pesantren khalaf/modern: yaitu pesantren yang sudah lengkap
lembaga pendidikannya, antara lain adanya diniyah, perguruan tinggi, bentuk
koperasi, dan dilengkapi takhasus (bahasa arab dan inggris).
5. Pondok pesantren ideal: yaitu pesantren modern yang dilengkapi dengan
bidang ketrampilan meliputi pertanian, teknik, perikanan, perbankan. Dengan
harapan alumni pesantren benar-benar berpredikat khalifah fil ardli.
Secara umum, pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni
pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern). Pembedaan ini
didasarkan atas dasar materi-materi yang disampaikan dalam pesantren.
Dalam sistem dan kultur pesantren dilakukan perubahan yang cukup
drastis24
1) Perubahan sistem pengajaran dari perorangan atau sorogan menjadi sistem
klasikal yang kemudian dikenal dengan istilah madrasah (sekolah).
2) Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan
pengetahuan agama dan bahasa Arab.
3) Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya
ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar,
kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan
dan olahraga serta kesenian yang Islami.
4) Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat
dari pesantren tersebut. Biasanya ijazah bernilai sama dengan ijazah negeri.
5) Lembaga pendidikan tipe universitas sudah mulai didirikan di kalangan
pesantren.
Modernisasi dalam pendidikan Islam merupakan pembaharuan yang terjadi
dalam pondok pesantren. Setidak-tidaknya dapat menghapus image sebagian

24
http//www.blogrspesantren.co.id. di akses tanggal 25/02/2019 pukul 08.10 WIB

19
masyarakat yang menganggap bahwa pondok pesantren hanyalah sebagai lembaga
pendidikan tradisional. Kini pesantren disamping berkeinginan mencetak para
ulama juga bercita-cita melahirkan para ilmuwan sejati yang mampu mengayomi
umat dan memajukan bangsa dan negara.

20
BAB III
PENUTUP

Dari uraian di atas dapat diambil simpulan sebagai berikut:


Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang
bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai
pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu,
serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah
diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga
pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia
pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan
kemerdekaan bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di
pesantren.
Pondok pesantren ini bisa dikatakan bersifat dinamis yaitu berkembang dari
waktu kewaktu karena dilihat dari segi bangunan dan dilihat dari segi metode
pembelajaran.
Pesantren modern ialah lembaga pendidikan yang bernafaskan islam dan
sudah menambahkan kurikulum pemerintah. Bentuk lain dari pesantren modern
yaitu boarding school. Alumni yang dihasilkan sudah mampu menghadapi
tantangan zaman karena paham ilmu agama dan juga teknologi modern.
Perubahan pesantren tradisional ke pesantren modern bukanlah perubahan yang
total namun hanya penyesuaian terhadap tututan zaman namun tetap
mempertahankan tradisi dan nilai-nilai pesantren.
Faktor-faktor yang menyebabkan modernisasi pesantren yaitu adanya
perubahan lingkungan sosial, pertumbuhan ekonomi dan sudut pandang religius
serta ketidakpuasan terhadap jenjang pendidikan umum.
Modernisasi merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar, terlebih
lagi bagi sebuah pesantren. Ketika pesantren menolak eksistensi teknologi dari
sebuah produk modernisasi maka pesantren akan terasing dan tidak bisa
memberikan kontribusi untuk menata kehidupan masyarakat modern. Sebaliknya

21
ketika pesantren bisa dan mau menerima teknologi pesantren akan memiliki peran
yang signifikan dalam kehidupan masyarakat.

Modernisasi pesantren bisa saja (menurut miles) menyangkut personalia


dalam arti orang-orang yang terlibat dalam kehidupan pesantren seharusnya mereka
yang memiliki jenjang pendidikan formal disamping non formal. Mungkin juga
menyangkut fasilitas keagamaan yaitu kurikulum yang berkaitan dengan pesantren
maupun waktu dalam artian bagaimana mengatur waktu dengan menyesuaikan
dengan kurikulumnya sehingga bisa berjalan efektif dan tepat sasaran.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti. 1986. Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional: dalam
Pembangunan Pendidikan dalam Pandangan Islam, (Surabaya: IAIN sunan
ampel.

Asmuni, Yusran, 1996, Pengantar Studi pemikiran dan Gerakan Pembaharuan


dalam Dunia Islam (Dirasah Islamiyah) Ed.I Cet.II (Jakarta : PT. raja
Grafindo Persada)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


(Jakarta: Balai Pustaka)

Dian Nafi’, M dkk. 2007. Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Instite


for training and development (ITD) Amherst.

Dhofier, Zamakhsyari. 1983. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup


Kyai, LP3S, Jakarta

Faiqoh. 2003. Nyai Agen Perubahan di Pesantren, Jakarta: Kucica.

Indra, Hasbi. 2003. Pesantren dan Tranformasi Sosial: Studi Atas Pemikiran KH.
Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam. Jakarta: penamadani.

Nasir, Ridwan. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di


Tengah Arus Perubahan.

Nasution, Harun, 1996, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, cet. IV,
(Bandung: Mizan)

Madjid, Nurcholis, 1993, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, cet. I (Bandung :


Mizan)

Mastuhu. 2007. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang


Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS.

Muhajir, Noeng, 2000, Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam


Prespektif Modern, Al-Ta’dib, Forum kajian ilmiah Kependidikan Islam,
No.1 (Juni)

23
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah

Prasodjo, Sudjono.1982. Profil Pesantren. Jakarta: LP3S.

Yasmadi, M.A. Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap


Pendidikan Islam Tradisional. Ciputat: Quantum Teaching.

Ziamek, Manfret. 1986. Pesantren Islamiche Bildung In Sozialen Wandel. Butche


B. Soendjojo, (Penj), Jakarta: Guna Aksara.

http//www.blogrspesantren.co.id. di akses tanggal 25/02/2019

http://ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/elhikam/article/download/1916/
1419

24

Anda mungkin juga menyukai