Anda di halaman 1dari 65

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 92


BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 93
A. Latar Belakang ....................................................................................... 93
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 95
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 95
D. Manfaat Penulisan .................................................................................. 95
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 97
A. Deskripsi Kasus ...................................................................................... 97
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 137
A. Desain penelitian ....................................................................................... 137
B. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 137
C. Subjek Peneltian ........................................................................................ 137
D. Variabel Penelitian .................................................................................... 138
E. Instrumen Penelitian .................................................................................. 138
F. Teknik Analisis Data ................................................................................. 140
G. Meode Pengumpulan Data dan Analisis data. ........................................... 140
H. Jalannya Penelitian .................................................................................... 141
BAB IV PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI ............................................. 143
A. Pengkajian Fisioterapi .......................................................................... 143
1. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF................................................................ 144
2. PEMERIKSAAN OBYEKTIF .................................................................. 145
B. DIAGNOSIS FISIOTERAPI ............................................................... 151
C. TUJUAN FISIOTERAPI ..................................................................... 151
D. PROGNOSIS FISIOTERAPI ............................................................... 153
E. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI ............................................ 153
F. Evaluasi................................................................................................. 155

1
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil

penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan

kuesioner ISAAC (InternationalStudy on Asthma and Allergy in Children)

tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada

tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak

sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta,

Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan

prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-

6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%.

Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi

masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius (Iris,

2008, 445).

Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang penting dan

merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius diberbagai negara

diseluruh dunia. Penyakit ini bisa timbul pada semua usia meskipun

paling banyak pada usia anak. Meskipun penyakit ini jarang menimbulkan

kematian, tetapi penyakit ini sering menimbulkan masalah baik pada

anak maupun orang dewasa, karena gangguan yang ditimbulkannya sering

menyebabkan kehilangan hari kerja pada orang dewasa dan mangkir


2

sekolah pada anak dan remaja. Disamping itu penyakit ini sering

menimbulkan gangguan pada berbagai aktivitas sehari-hari sehingga

menurunkan kualitas hidup bagi penderita asma. Pada asma, kendati

memang bukan merupakan penyebab kematian yang utama, tetapi

dampaknya terhadap produktivitas kerja terasa cukup meng- ganggu dan

angka kejadiannya nampak meningkat dari waktu ke waktu. Penanganan

terapi pada kondisi asma dapat dilakukan secara komprehensif, yaitu

kerjasama antara penderita, orang tua, guru, keluarga dan fisioterapis.

Sedangkan untuk pemberian terapi pada kondisi asma selain peng- gunaan

obat oral juga dapat diberikan pengobatan secara inhalasi yang langsung

masuk kejalan napas, pemberian heating, latihan pernapasan serta

pengaliran sputum dengan posisioning.

WHO medefiniskan asma sebagai penyakit yang ditandai dengan

serangan berulang dari sesak napas dan mengi, yang bervariasi dalam

keparahan dan frekuensi dari orang ke orang. Pada seorang individu dapat

terjadi dari jam ke jam dan hari ke hari . Serangan asma terjadi pada semua

kelompok umur tetapi sering dimulai pada masa kanak-kanak. Kondisi ini

disebabkan peradangan saluran udara di paru-paru dan mempengaruhi

sensitivitas ujung saraf di saluran napas sehingga mereka menjadi mudah

teriritasi. Dalam sebuah serangan, lapisan bagian membengkak

menyebabkan saluran udara untuk mempersempit dan mengurangi aliran

udara masuk dan keluar dari paru-paru (Wells, 2009, 906).


2

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah pemberian Nebulizer,

Infra Red (IR) dan Deep Breathing dapat mengurangi sputum, mengurangi

sesak nafas pada asma bronchiale dan meningkatkan aktivitas fungsional ?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mengetahui proses penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Asma

bronchiale dengan modalitas Nebulizer, Infra Red (IR) dan Deep

Breathing di BPKBM Surakarta.

2. Tujuan Khusus

a) Untuk mengetahui apakah pemberian intervensi Nebulizer dapat

mengurangi sputum pada penderita Asma bronchiale ?

b) Untuk mengetahui apakah pemberian intervensi Infra Red (IR)

dapat membantu mengurangi spasme pada otot bantu pernafasan

pada penderita Asma bronchiale ?

c) Untuk mengetahui apakah pemberian intervensi Deep Breathing

dapat memberikan relaksasi pada penderita Asma bronchiale ?

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Menambah dan memperluas pengetahuan mengenai kasus asma

bronchiale dan manfaat pemberian modalitas fisioterapi dengan


2

menggunakan Asma bronchiale dengan modalitas Nebulizer, Infra Red

(IR) dan Deep Breathing pada kondisi asma bronchiale di BPKBM

Surakarta .

2. Manfaat Akademis

Penelitianini dapat memberikani nformasi dan dapat digunakan sebagai

rujukan untuk mahasiswa fisioterapi khususnya dan kepada tenaga

kesehatan baik di bidang fisioterapi maupun tenaga kesehatan pada

umumnya mengenai penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi asma

bronchiale dengan modalitas Nebulizer, Infra Red (IR) dan Deep

Breathing

3. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada tenaga kesehatan

khususnya di bidang fisioterapi mengenai penatalaksanaan fisioterapi

pada kondisi asma bronchiale dengan modalitas Asma bronchiale

dengan modalitas Nebulizer, Infra Red (IR) dan Deep Breathing

sebagai salah satu metode yang dapat diaplikasikan kepada pasien

dengan kondisi asma bronchiale sehingga dapat ditangani secara

optimal.
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus
1. Definisi

The National Asthma Education and Prevention Program

(NAEPP) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis pada

saluran nafas di mana banyak sel dan elemen seluler berperan

didalamnya. Pada individu yang rentan, peradangan menyebabkan

mengi berulang, sesak napas, dada sesak, dan batuk. Hal ini biasanya

berhubungan dengan obstruksi aliran nafas yang sering reversibel baik

secara spontan atau dengan pengobatan. Peradangan juga menyebabkan

peningkatan hiperresponsof bronkial pada berbagai rangsangan (Wells,

2009, 906).

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada jalan napas.

Pada individu yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode rekuren/

berulang dari batuk, mengi, dada terasa sesak, dan sulit bernapas.

Inflamasi membuat jalan napas peka terhadap rangsangan seperti

allergen, iritan kimia, asap rokok, udara dingin, atau olahraga. Saat

terpajan dengan rangsangan ini, jalan napas dapat menjadi bengkak,

terkonstriksi, terisi mukus dan hiperresponsif terhadap berbagai

rangsangan. Keterbatasan aliran udara yang disebabkannya bersifat

reversible (tetapi tidak seluruhnya pada beberapa pasien), baik secara

spontan maupun dengan pengobatan. Jika terapi asma memadai,


2

inflamasi dapat diturunkan untuk jangka waktu yang panjang, gejala

dapat dikontrol, dan sebagian besar masalah yang berhubungan dengan

asma dapat dicegah (GINA, 1995 dalam Buku Perawatan Respirasi).

Tipe-tipe Asma

a. Ekstrinsik (atopic)

Yaitu asam yang terjadi pada kelompok usia muda/anak-anak yang

siap membentuk antibody terhadap allergen. Pasien biasanya

sensitive terhadap factor yang berbeda-beda: protein, tepung sari,

spora jamur, debu, dll.

b. Instrinsik (Non atopic)

Yaitu asma yang cenderung pada kelompok usia tua sebagai suatu

keadaan kronik. Asma ini penyebabnya tidak jelas. Tipe asma ini

merupakan gabungan dari infeksi broncus, bronchitis kronik

(Soemarno, 2005).

2. Etiologi

Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa.

Klasifikasi asma dibuat berdasarkan rangsangan utama yang

membangkitkan atau rangsangan yang berkaitan dengan episode akut.

Berdasarkan stimuli yang menyebabkan asma, dua kategori timbal

balik dapat dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Asma ekstrinsik imunologik

b. Asma intrinsik imunologik

c. Asma Gabungan
2

Jon Ayres asma ini mempunyai karakteristik gabungan dari bentuk

alergik dan non-alergik. Ada beberapa hal yang merupakan

faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial,

yaitu :

1) Faktor predisposisi.

Faktor ini bersifat genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat

alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara

penurunannya secara jelas. Penderita dengan penyakit alergi

biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit

alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah

terkena penyakit asma bronchiale jika terpapar dengan faktor

pencetus. Selain itu hipersensitifisitas saluran pernafasannya juga

bisa diturunkan.

2) Faktor presipitasi

a) Alergen

b) Perubahan cuaca

c) Stress

d) Olahraga/Aktifitas fisik yang berlebihan

(Putri, 2013).

3. Anatomi

Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar

yang mengandung oksigen serta menghembuskan udara yang banyak

mengandung karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh.


2

Pengisapan udara ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut

ekspirasi (Syaifuddin, 2006).

Sistem respirasi dapat dibagi menjadi saluran pernapasan bagian

atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Saluran pernapasan atas terdiri

atas bagian diluar rongga dada : udara melewati hidung, kavitas nasalis,

faring, laring, dan trakea bagian atas. Saluran pernapasan bawah terdiri

atas bagian yang terdapat dalam rongga dada : trakea bagian bawah dan

paru-paru itu sendiri, yang meliputi pipa bronchial dan alveoli. Bagian

sistem respirasi ialah membran pelura dan otot pernapasan yang

membentuk rongga dada : diafragma dan otot-otot intercostalis (Scalon,

Valerie C, 2006)

a. Organ-organ Pernapasan Bawah

1) Trakea

Trakea memiliki panjang kurang lebih 10-13cm dan

menghubungkan laring sampai bronkus primaries. Dinding

trakea terdiri dari 16-20 lempeng kartilago dengan bentuk

menyerupai huruf C, yang menjaga trakea terbuka. Celah pada

cincin kartilago yang tidak bisa menutup secara penuh ini

berada di sisi posterior, sehingga memungkinkan ekspansi

esophagus ketika makanan ditelan. Mukosa dari trakea adalah

epitel bersilia dengan sel goblet. Sebagaimana dilaring, silia

menyapu keatas menuju faring (Scalon, Valerie C, 2006).


2
2

Keterangan Gambar 2. 4 Trakea


(William, 2009)
1. Cartilago thyroidea 8. Bronchus lobaris inferior dexter
2. Cartilago cricoidea 9. Bronchus lobaris medius dexter
3. Paries membranaceus 10. Cartilagines tracheales
4. Glandulae tracheales 11. Ligg. Anularis
5. M. Trachealis 12. Bifurcatio tracheae
6. Bronchus principalis dexter 13. Bronchus principalis sinister
7. Bronchus lobaris superior dexter 14. Bronchus lobaris superior
sinister
15. Bronchus lobaris inferior
sinister

2) Bronkus

Bronkus atau cabang tenggorok merupakan lanjutan dari

trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra

torakalis IV dan V, mempunyai struktur serupa dengan trakea

dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan

kebawah dan ke samping kearah tampuk paru-paru. Bronkus


2

kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri, terdiri

dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih

panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12

cincin mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang,

cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada

bronkioli tak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli

terdapat gelembung paru/gelembung hawa atau alveoli

(Syaifuddin, 2006).

Gambar : 2.2 Anatomi Bronkus

(Spalteholz, 1993)

Keterangan Gambar 2. 5 Bronkus :


2

Carina tracheae

Bronchus principalis dexter

Bronchus principalis sinister

1. Bronchus segmentalis 1.Bronchus segmentalis

apicalis apicoposterior

2. Bronchus segmentalis 2.Bronchus segmentalis

posterior apicoposterior

3. Bronchus segmentalis 3. Bronchus segmentalis anterior

anterior

3) Paru-paru

Paru-paru terletak di kedua sisi jantung dalam rongga dada

dan dilindungi secara melingkar oleh rongga yang dibentuk oleh

rangka iga. Dasar masing-masing paru terletak pada diagfragma

dibawahnya, apeks (ujung atas) terletak setingkat klavikula.

Pada permukaan medial masing-masing paru terdapat suatu

bentukan yang disebut hilus, tempat bronkus primaries dan

arteri dan vena pulmonalis memasuki paru.

Membran pleura adalah suatu membran serosa pada rongga

toraks. Pleura parietal melapisi rongga toraks, dan pleura


2

visceral terdapat pada permukaan paru-paru. Diantara membran

pleura tersebut terdapat cairan serosa, yang mencegah fiksi dan

menjaga kedua membran tetap bersama selama pernapasan

(Scalon, Valerie C, 2006).

Paru-paru dibagi dua : paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus,

lobus pulmo dekstra superior, lobus medial, dan lobus inferior.

Tiap lobus tersusun oleh lobules. Paru-paru kiri, terdiri dari

pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior (Syaifuddin,

2006).

4) Alveoli

Unit fungsional paru-paru adalah suatu kantung udara yang

disebut alveoli. Suatu sel pipih alveolar tipe I yang menyusun

dinding alveoli adalah selapis epitel gepeng. Dalam ruang

diantara sebaran alveoli terdapat jaringan ikat elastic, yang

penting untuk ekshalasi (Scalon, Valerie C, 2006).


2

Gambar : 2.3 Lobus Paru-paru


(Gull, 2010)
Keterangan gambar 2.6 Lobus Paru-paru

1 Apical 1 Apico 9 Superior 16 Anterior


2 Asteriol posterior 10 Lateral basal 17 Superior
3 Posterior 2 Anterior 11 Superior 18 Anterior
2

4 Lateral 3 Superior 12 Lateral basal 19 pico-posterior


5 Medial 4 Inferior 13 Posterior
6 Anterior basal 5 Anteromedial basal
7 Medial basal 6 Posterior basal 14 Posterior
8 Lateral basal 7 Lateral basal basal
9 Posterior basal 8 Anterior 15 Lateral basal

a. Otot-otot Pernapasan

Semua otot inspirasi bekerja untuk meningkatkan volume toraks,

yang menyebabkan penurunan tekanan intrapleura dan alveolar

sehingga menimbulkan gradient tekanan alveolar-mulut, kemudian

menarik udara kedalam paru. Kubah diafragma, yang merupakan otot

inspirasi utama, bergerak turun ketika diafragma berkontraksi, sekitar

1,5 cm selama pernapasan tenang 6-7 cm selama pernapassan dalam.

Selama pernapasan tenang, iga pertama tetap tidak bergerak dan otot

interkostalis eksterna naik dan membalikkan iga lainnya, yang

meningkatkan baik diameter anterior-posterior maupun diameter

trasnversa dinding dada, dan disebut aksi “menangani timba”. Dinding

dada dan paru yang membesar akan kembali ke keadaan semula (recoil)

dengan sendirinya dan pernapasan tenang tidak menggunakan otot

ekspirasi.
2

Ketika ventilasi atau resistensi terhadap pernapasan meningkat,

otot-otot inspirasi aksesorius membantu inspirasi. Otot-otot tersebut

meliputi, muskulus skalenus, sternocledomastoideus, dan seratus

anterior. Jika lengan difiksasi dengan cara memegang tepi meja,

kontraksi pectoralis major, yang dalam keadaan normal mengaduksi

lengan, membantu mengembangkan dada. Bila ventilasi melebihi

sekitar 40 L/menit, terjadi aktivitas otot ekspirasi, terutama otot-otot

abdomen (rectus abdominis, obliqus eksternus dan internus), yang

mempercepat recoil diafragma dengan meningkatkan tekanan intra-

abdomen.

Pada pernapasan tenang, ventilasi sebagian besar bersifat

diafragmatik, tetapi bila nervus frenikus rusak, maka ventilasi normal

dapat dipertahankan oleh otot-otot interkosta. Pada transeksi medulla

vertebra servikalis tinggi semua otot respirasi mengalami paralisis,

tetapi bila kerusakan terjadi dibawah radiks nervus frenikus (C3. 4. 5)

pernapasan terus terjadi hanya melalui diafragma. Pada bayi baru lahir,

iga terletak horizontal, sehingga gerakan iga tidak dapat meningkatkan

volume dada dan pernapasan seluruhnya berasal dari kerja diafragma ke

atas dan ke bawah atau yang disebut pernapasan abdomen. Iga menjadi

lebih oblik seiring pertambahan usia, sehingga gerakannya menjadi

lebih penting untuk menghasilkan perrnapasan toraks (perrnapasan

dada) (Ward, Jeremy P.T, et al, 2008).


2

Tabel Otot Pernafasan


(Kultz, 2009)
1. M. stylohyoideus 12. M. trapezius 23. M. constrictor
2. Glandula parotidea 13. Acromion pharyngis inferior
3. Lig. Stylohyoideum; M. 14. M. deltoideus 24. Glandula thyroidea,
stylopharyngeus 15. M. masseter lobus sinister
4. M. digastricus, venter 16. Mandibula 25. M.
posterior 17. M. digastricus, sternocleidomastoideus
5. M. sternocleidomastoideus venter anterior 26. clavicula
6. M. semispinalis capitis 18. M. mylohyoideus 27. M. omohyoideus,
7. M. splenius capitis 19. Os. Hyoideum venter inferior
8. M. levator scapulae 20. M. omohyoideus, 28. M. pectoralis
9. M. scalenus anterior venter superior
2

10. M. scalenus medianus 21. M. major, pars


11. M. scalenus posterior sternohyoideus sternocostalis
22. M. thyrohyoideus

b. Mekanisme Pernapasan

Ventilasi adalah istilah untuk pergerakan udara dari dan keluar

alveoli. Dua aspek ventilasi adalah inhalasi dan ekshalasi, yang

dijalankan oleh sistem saraf dan otot-otot pernapasan (Scalon, Valerie

C, 2006).

Pernapasan terbagi dalam 2 bagian yaitu inspirasi (menarik napas)

dan ekspirasi (menghembuskan napas). Bernapas berarti melakukan

inspirasi dan ekspirasi secara bergantian, teratur, berirama dan terus-

menerus. Bernapas merupakan gerak reflex yang terjadi pada otot-otot

pernapasan. Reflex bernapas ini diatur oleh pusat pernapasan yang

terletak didalam sumsum penyambung (medula oblongata).

Inspirasi terjadi bila mukus diafragma telah mendapat rangsangan

dari nervus frenikus lalu mengerut datar. Muskulus interkostalis yang

letaknya miring, setelah mendapat rangsangan kemudian mengerut dan

tulang iga (kosta) menjadi datar. Dengan demikian jarak antara sternum

(tulang dada) dan vertebra semakin luas dan melebar. Rongga dada

membesar maka pleura akan tertarik, yang menarik paru-paru sehingga

tekanan udara didalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar.


2

Ekspirasi, pada suatu saat otot-otot akan kendor lagi (diafragma

akan menjadi cekung, muskulus intercostalis miring lagi) dan dengan

demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara didorong

keluar. Jadi proses respirasi atau pernapasan ini terjadi karena adanya

perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru-paru.

Pernapasan dada, pada waktu seseorang bernapas, rangka dada

terbesar bergerak, pernapasan ini dinamakan pernapasan dada. Ini

terdapat pada rangka dada yang lunak, yaitu pada orang-orang muda

dan perempuan.

Pernapasan perut, jika pada waktu bernapas diafragma naik-turun,

maka ini dinamakan pernapasan perut. (Syaifuddin, 2006).

c. Volume Paru

Udara yang masuk ke dalam paru setiap inspirasi (atau jumlah

udara yang keluar pada paru setiap ekspirasi) di namakan volume alun

nafas (tidal volume / TV). Jumlah udara yang masih dapat masuk

kedalam paru pada inspirasi maksimal, setelah inspirasi biasa disebut

volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume / TV). Jumlah

udara yang dapat dikeluarkan secara aktif dari dalam paru melalui

kontraksi otot ekspirasi, setelah ekspirasi biasa disebut volume

cadangan ekspirasi (expiratory reserve / ERV), dan udara yang masih

tertinggal di dalam paru setelah ekspirasi maksimal disebut volume

residu (residual volume / RV). Nilai normal bagi volume paru dan

istilah yang digunakan untuk kombinasi berbagai volume paru. Ruang


2

di saluran nafas yang berisi udara yang ikut serta dalam proses

pertukaran gas dengan darah dalam kapiler paru di sebut ruang rugi

pernapasan. Pengukuran kapasitas vital, yaitu jumlah udara yang dapat

dikeluarkan dari paru-paru setelah inspirasi maksimal, sering kali

digunakan di klinik sebagai indeks fungsi paru. Nilai tersebut

bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan otot-otot

pernapasan serta beberapa aspek fungsi pernapasan lain. Fraksi

kapasitas vital yang dikeluarkan pada satu detik pertama melalui

ekspirasi paksa (volume ekspresi paksa 1 detik, FEV, FEV 1, kapasitas

vital berwaktu/timed vital capasity) dapat memberikan informasi

tambahan mungkin menambah kapasitas vital yang normal tetapi nilai

FEV1 menurun pada penderita penyakit seperti asma, yang mengalami

peningkatan tahanan udara akibat kontriksi bronkus. Pada keadaan

normal, jumlah udara yang diinspirasikan selama satu menit (ventilasi

paru, volume respirasi semenit) sekitar 6L (500 ml/napas x 12

napas/menit). Ventilasi volunter maksimal (maximal voluntary

vantilation / MVV), atau yang dahulu disebut kapasitas pernapasan

maksimum (maximal breathing capasity), adalah volume gas terbesar

yang dapat dimasukkan dan di keluarkan selama 1 menit secara

volunter. Pada keadaan normal, MVV bereaksi antara 125-170 L/menit

(Soemarno, 2005).
2

4. Fisiologi Saluran Pernapasan

Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari

luar yang mengandung O2 (oksigen) kedalam tubuh serta menghembuskan

udara yang banyak mengandung CO2 (karbondioksida) sebagai sisa dari

oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara disebut inspirasi dan

menghembuskan udara disebut ekspirasi. Dalam paru-paru terjadi

pertukaran zat antara O2 dan CO2. Oksigen ditarik dari udara masuk

kedalam darah dan CO2 akan dikeluarkan dari udara secara osmose.

Selanjutnya CO2 akan dikeluarkan melalui traktus respiratorius (jalan

pernafasan) dan O2 masuk kedalam tubuh melalui kapiler-kapiler vena

pulmonalis kemudian masuk ke ventrikel sinistra kemudian ke aorta dan

dilanjutkan ke seluruh tubuh (jaringan-jaringan dan sel-sel), disini terjadi

oksidasi. Dan sisa dari oksidasi adalah CO2 dan zat ini dikeluarkan

melalui peredaran darah vena masuk ke jantung melalui ventrikel dekstra

kemudian ke atrium dekstra dan selanjutnya keluar melalui arteri

pulmonalis ke jaringan paru-paru yang dikeluarkan menembus lapisan

epitel dari alveoli. Proses pengeluaran CO2 ini adalah sebagian dari sisa

metabolisme sedangkan sisa metabolisme lainnya akan dikeluarkan

melalui traktus urogenitalis, dan kulit. Fungsi pernafasan:

a. Mengambil O2 (oksigen) yang kemudian dibawa oleh darah keseluruh

tubuh untuk mengadakan pembakaran.


2

b. Mengeluarkan CO2 (karbondioksida) yang terjadi sebagai sisa dari

pembakaran, kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang

(karena tidak berguna lagi oleh tubuh).

c. Menghangatkan dan melembabkan udara. Peran system respirasi

hanya terbatas pada proses ventilasi dan pertukaran gas antara udara

alveoli dengan darah kapiler. Proses respirasi selanjutnya dilakukan

oleh sistem peredaran darah. “Istilah pernafasan, yang lazim

digunakan mencakup dua proses : pernafasan luar (eksterna), yaitu

penerapan O2 dan pengeluaran CO2 dari tubuh secar keseluruhan,

serta pernafasan dalam (interna), yaitu penggunaan O2 dan

pembentukan CO2 oleh sel-sel serti pertukaran gas antara sel-sel

tubuh dengan media cair sekitarnya”. Volume pernafasan normal kira-

kira 500 ml dengan frekuensi pernafasan 16-18x/menit pada orang

dewasa, kira-kira 24x/menit pada anak-anak, dan kira-kira 30x/menit

pada bayi. Sekitar 7-8 liter udara masuk ke paru-paru setiap menitnya,

tetapi karena terdapat volume saluran pernafasan penghantar (ruang

rugi) kira-kira 150 ml maka hanya 350 ml dari 500 ml udara yang di

inhalasi pada setiap pernafasan mencapai bagian gas alveolar, sisanya

terdapat dibelakang saluran pernafasan dan kemudian diekshalasi

setiap volume gas segar yang masuk alveoli setiap menitnya kira-kira

5 liter ini dikenal sebagai ventilasi alveolar. Dari 5 liter udara yang

masuk alveoli sekitar 300 ml oksigen masuk ke dalam darah setiap


2

menit untuk ditukar dengan kira-kira 250 ml karbondioksida

(Soemarno, 2005).

5. Patofisiologi

Hiperesponsivitas saluran nafas dan keterbatasan aliran udara

merupakan dua manifestasi utama dari gangguan fungsi paru pada

penderita asma. Komponen penting asma yang mendasari

ketidakstabilan saluran nafas adalah adanya respon bronkokontriksi

terhadap bermacam stimulus aksogen maupun endogen akibat dari

hiperesponsivitas saluran nafas tercermin pada peningkatan variasi

dari ukuran saluran nafas. Episode berulang dari keterbatasan aliran

udara pada asma mempunyai empat bentuk, masing-masing

berhubungan dengan respon inflamasi saluran nafas.

a. Bronkhokontriksi akut

Mekanisme keterbatasan aliran udara bervariasi tergantung dari

rangsangan. Bronkhokontriksi allergen-inducen, disebabkan oleh

pelepasan mediator IgE dependent termasuk histamine,

prostaglandin dan leukatrien dari saluran nafas yang menyebabkan

kontraksi otot polos.

b. Penebalan dinding saluran nafas

Keterbatasan aliran udara juga terjadi oedem dari dinding saluran

nafas atau tanpa kontraksi atot polos disebut bronkhokontriksi.

Kerusakan dan peningkatan permiabilitas mikrovaskuler,


2

menyebabkan penebalan mukosa dan pembengkakan saluran nafas

diluar otot polos, hal ini menyebabkan oedem dinding saluran

nafas dan hilangnya elastic recoil pressure.

c. Pembentukan mucus plug kronis

Merupakan keterbatasan aliran udara yang sulit diatasi, hal ini

disebabkan peningkatan sekresi mucus yang bersamaan dengan

eksudasi protein serum dan sel debris membentuk mucus plug

yang kental sehingga menutup saluran nafas perifer pada penderita

asma bronchiale.

d. Remodeling dinding saluran nafas

Keterbatasan aliran udara kadang kurang membaik dengan

pemberian kortikosteroid, sehingga adanya perubahan struktur dari

matriks saluran nafas akibat inflamasi yang berat dalam waktu

yang lama.

Berdasarkan patologi tersebut di atas maka kesulitan utama bagi

penderita asma bronchiale pada saat ekspirasi, dimana

percabangan trakheobronchiale yang melebar dan memanjang

selama inspirasi (Soemarno, 2005).

6. Tanda dan gejala

Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk

penyempitan yang meluas pada saluran pernafasan yang dapat sembuh

spontan atau sembuh dengan terapi. Penyakit ini bersifat episodik dengan

eksaserbasi akut yang diselingi oleh periode tanpa gejala. Keluhan utama
2

penderita asma adalah sesak nafas mendadak disertai inspirasi yang lebih

pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti oleh bunyi mengi

(wheezing), batuk yang disertai serangan sesak nafas yang kumat-

kumatan. Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat menjadi

ringan, sedang atau berat serta sesak nafas penderita timbul secara

mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba

menjadi berat. Hal ini sering terjadi terutama pada penderita dengan

bronkhitis alergika atau radang saluran nafas bagian atas. Sedangkan

pada sebagian besar penderita keluhan utama ialah sukar bernafas disertai

rasa tidak enak didaerah retrosternal (Putri, 2013).

7. Catatan Klinis

a. Riwayat Tindakan Medis

Riwayat tindakan medis adalah perjalanan atau tindakan yang

diberikan kepada pasien melalui dokter atau tindakan medis lainnya

yang pernah dialami atau dijalani pasien (Mardiman, 1994)

b. Medikametosa

Medikmetosa adalah pemberian obat-obatan untuk membantu

proses penyembuhan pasein seperti untuk mengurangi nyeri atau yang

lain (Mardiman, 1994)

c. Data Pendukung

Data pendukung merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat

mendukung diagnosa bila anamnesis dan pemeriksaan fisik belum

dapat mengetahui diagnosa itu benar (Mardiman, 1994).


2

8. Diagnosa Banding

Diagnosa banding pada kasus asma bronchiale antara lain :

a. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

b. Penyakit Jantung

c. Tumor : Laring, Trakea, Paru

d. Bronkiektasis

e. Emboli Paru

f. Penyakit Paru Interstisial

g. Disfungsi Pita Suara

h. Hiperventilasi

(Francis, Caia, 2008).

9. Komplikasi

Komplikasi timbul karena kurang tepatnya penanganan pada suatu

kondisi. Begitu pula pada penderita Asma Bronchiale jika tidak ditangani

dengan tepat akan menimbulkan penyakit baru dan memperparah keadaan.

Komplikasi itu antara lain :

a. Bronchitis kronik

b. Emphysema

c. PPOK

(Putri, 2013).

10. Pemeriksaan Fisioterapi

a. Pemeriksaan Subyektif
2

Anamnesis : Cara pengumpulan data dengan jalan tanya

jawab antara terapis dengan sumber data yang berisi tentang

identitas penderita (Hudaya, 2002).

1) Keluhan Utama : Salah satu atau lebih gejala dominan yang

mendorong penderita untuk mencari pertolongan (Hudaya,

2002).

2) Riwayat Penyakit Sekarang : Merinci keluhan dan

menggambarkan riwayat penyakit secara lengkap seperti

lokasi, kualitas, waktu, sifat, factor – factor yang memperberat

dan memperingan keluhan, manifestasi lain yang menyertai,

aktualisasi keluhan, pertolongan sebelumnya, pemeriksaan

lain, penyebab sakit menurut penderita, pengaruh terhadap

kehidupan (Hudaya, 2002).

3) Riwayat Penyakit Dahulu : Pertanyaan diarahkan pada

penyakit – penyakit yang pernah dialami yang tidak

berkesinambungan langsung dengan munculnya keluhan

sekarang (Hudaya, 2002).

4) Riwayat Penyakit Keluarga : Dimaksudkan untuk menelusuri

adanya penyakit-penyakit yang bersifat menurun

(heredofamilial) dari orang tua atau keluarga yang lain.

Misalnya TBC, DIABETES MELITUS dan lain-lain (Hudaya,

2002).

b. Pemeriksaan Objektif
2

a) Tanda-tanda vital

Tanda-tanda vital terdiri dari (1) tekanan darah, (2)

denyut nadi, (3) frekuensi pernafasan, (4) temperatur, (5)

tinggi badan, (6) berat badan.Data tersebut digunakan untuk

mengetahui apakah ada hipertensi, takikardi, obesitas, dan

sebagainya (Hudaya, 2002).

b) Inspeksi

Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan

mengamati. Hal-hal yang bisa dilihat/diamati seperti keadaan

umum, sikap tubuh, adanya deformitas, langkah (gait), daerah

atrofis, warna kulit, ekspresi wajah dan lain-lain. Pemeriksaan

inspeksi dibedakan menjadi dua yaitu inspeksi statis (yang

dilakukan saat pasien tidak melakukan apa-apa) dan inspeksi

dinamis (saat pasien bergerak) (Hudaya, 2002).

c) Perkusi

Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan

mengetuk/vibrasi, seperti mengetuk untuk mengetahui keadaan

suatu rongga pada bagian tubuh tertentu, dan lain-lain

(Hudaya, 2002).

d) Palpasi

Palpasi adalah cara pemeriksaan dengan jalan

meraba,menekan dan memegang bagian tubuh pasien untuk


2

mengetahui tentang adanya spasme otot, nyeri tekan, suhu,

tumor/oedema, kontour organ dan lain-lain (Hudaya, 2002).

e) Auskultasi

Auskultasi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan

dengan cara mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh.

Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan

stetoskop.Hal-hal yang didengar adalah bunyi jantung, suara

nafas, dan bising usus.Suara tidak normal yang dapat

diauskultasi pada nafas adalah :

(1) Rales : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket saat

saluran-saluran halus pernafasan mengembang pada

inspirasi (rales halus, sedang, kasar). Misalnya pada pasien

pneumonia, TBC.

(2) Ronchi : nada rendah dan sangat kasar terdengar baik saat

inspirasi maupun saat ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah

akan hilang bila pasien batuk. Misalnya pada edema paru.

(3) Wheezing :bunyi yang terdengar “ngii…k” bisa dijumpai

pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Misalnya pada

bronchitis akut, asma.

(4) Pleura Friction Rub :bunyi yang terdengar “kering” seperti

suara gosokan amplas pada kayu. Misalnya pada pasien

dengan peradangan (Hudaya, 2002).

f) Pemeriksaan gerak dasar


2

(1) Gerak aktif

Pasien diminta menggerakkan anggota gerak yang

diperiksa secara aktif, kalau memungkinkan dilakukan

secara bilateral. Terapis melihat dan mengamati serta

memberi aba-aba. Informasi yang diperoleh dari

pemeriksaan ini antara lain adalah rasa nyer, lingkup gerak

sendi, kekuatan otot, koordinasi gerak dan lain-lain

(Hudaya, 2002).

(2) Gerak pasif

Gerak pasif adalah suatu cara pemeriksaan yang

dilakukan oleh terapis pada pasien sementara pasien dalam

keadaan rileks atau pasif dan gerakan dilakukan oleh

terapis. Informasi yang didapat berupa lingkup gerak

sendi, end feel, dan provokasi nyeri (Hudaya, 2002).

(3) Gerak isometrik melawan tahanan

Cara pemeriksaan gerak yang dilakukan oleh

penderita secara aktif sementara terapis memberikan

tahanan yang berlawanan arah dari gerakan yan dilakukan

oleh penderita (Hudaya, 2002).

g) Kognitif, intrapersonal dan interpersonal

(1) Kognitif
2

Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah pasien

dapat memahami dan mengikuti instruksi fisioterapi

(Hudaya, 2002).

(2) Intrapersonal

Kemampuan seseorang dalam memahami dirinya,

menerima dirinya, dan memotivasi diri (Hudaya, 2002).

(3) Intrapesonal

Kemampuan seseorang dalam berhubungan atau

berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain

(Hudaya, 2002).

h) Kemampuan fungsional dan lingkup aktivitas

(1). Fungsional dasar

Kemampuan fungsional dasar Kemampuan

fungsional dasar merupakan kemampuan transfer dan

ambulasi (Hudaya, 2002).

(2). Aktivitas fungsional

Aktivitas fungsional adalah aktifitas yang

dilakukan sehari-hari, seperti aktifitas perawatan diri,

mandi, makan, buang air besar, buang air kecil,

berpakaian (Hudaya, 2002).

(3). Lingkungan aktivitas


2

Lingkungan aktifitas adalah kondisi atau

keadaan disekitar pasien yang dapat membantu atau

menyulitkan dalam kesembuhan pasien (Hudaya, 2002).

i) Pemeriksaan spesifik

(1) Pemeriksaan Spasme

Spasme otot merupakan kontraksi otot yang tidak

disadari yang menyebabkan otot tidak dapat berelaksasi.

Bila spasme ini terjadi terus-menerus dan kuat, maka

terjadilah kram otot. Parameter yang digunakan untuk

mengukur spasme otot adalah palpasi.

Tabel 2.1 Pemeriksaan Spasme

(Trisnowiyanto, 2012)

Nilai Keterangan

0 Tidak ada spasme

1 Ada spasme

(2) Pemeriksaan Sesak Napas

Sesak nafas yaitu perasaan sulit bernafas yang

biasanya terjadi ketika kita melakukan aktivitas fisik.

Sesak nafas adalah suatu tanda gejala dari beberapa

penyakit yang dapat bersifat kronis. Sesak nafas juga

dikenal dengan istilah “shortness of breath”.

Kejadian-kejadian sesak nafa sbergantung dari tingkat


2

keparahan dan sebabnya. Perasaan itu sendiri

merupakan hasil dari kombinasi impuls (rangsangan)

ke otak dari saraf yang berakhir di paru-paru, tulang

iga, otot dada, atau diafragma, ditambah dengan

persepsi dan interprestasi pasien (Cahyo, 2012).

Untuk pemngukuran sesak nafas pada kondisi

asma dapat dilihat dari respiratory rate yang dihitung

secara manual, baik dengan mengjhitung frekuensi,

palpasi dan melihat gerakan dada, dilakukan selama I

menit penuh. Normalnya pada orang dewasa yaitu 16-

24x per menit. Menurut artikel Tim Kesehatan

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

sesak nafas dan frekuensi bernafas mengalami

peningkatan. Pada orang dewasa frekuensinya lenih

dari 24x per menit.

(3) Asthma Control Test (ACT)

Pengenalan dini terhadap perubahan tingkat

kontrol asma pasien yang dapat dideteksi sendiri oleh

pasien merupakan tindakan yang sangat penting

karena dapat mencegah terjadinya serangan akut asma

berat. Pasien dapat segera mengenali tanda-tanda

perburukan penyakit mereka, sehingga intervensi

yang sesuai dengan keadaan pasien dapat segera


2

dilakukan. Salah satu alat yang dapat dipakai oleh

pasien dalam mendeteksi tingkat kontrol asmanya

adalah dengan menggunakan kuesioner Asthma

Control Test (ACT) yang terdiri dari lima pertanyaan

yang dapat mendeteksi adanya perburukan penyakit

hal tersebut berdasarkan gejala harian, gejala malam,

hambatan aktifitas, penggunaan obat pelega serta

penilaian sendiri pasien terhadap penyakitnya (Sabri,

Yessy Susanty dan Yusrizal Chan, 2014).

Tabel 2.2 Kuesioner Asthma Control Test

NO Keterangan Score

1. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering penyakit penyakit


asma mengganggu anda dalam melakukan pekerjaan sehari-
hari, dikantor, dirumah, disekolah?
Setiap waktu (1), sebagian waktu (2), beberapa waktu (3),
sedikit waktu (4), tidak ada waktu (5)
2. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering anda mengalami
sesak nafas?
Lebih dari sekali sehari (1), sekali sehari (2), 3-6 waktu dalam
seminggu (3), sekali atau 2 kali seminggu (4), tidak semua (5)
3. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering gajala asma
(wheezing, batuk, sesak nafas, nyeri dada/tertekan didada)
menyebabkan anda terbangun dimalam hari atau lebih awal
dari biasanya?
4 atau lebih dalam seminggu (1), 1 atau 2 waktu per hari (2), 2
atau 3 waktu per minggu (3), 1 kali seminggu atau kurang (4),
tidak semua (5)
4. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering anda menggunakan
obat inhalasi?
3 atau lebih per hari (1), 1 atau 2 waktu per hari (2), 2 atau 3
waktu per minggu (3), 1 kali seminggu atau kurang (4), tidak
semua (5)
2

5. Bagaimana penilaian anda terhadap tingkat control asma


anda?
Tidak terkotrol sama sekali (1), sedikit terkontrol (2), agak
terkontrol (3), terkontrol dengan baik (4), sepenuhnya
terkendali (5)
(Sabri, 2014)

(4) 6 Minute Walking Test

Tes jalan 6 menit (6 MWT, 6-minute walking

test) merupakan uji yang bersifat sederhana, objektif,

dan murah yang dapat dilakukan di klinik dengan

manajemen waktu yang cepat dan efisien. Tes ini

dapat digunakan untuk menilai kapasitas fungsional

dan sangat berguna untuk menilai prognosis pasien

dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Menurut studi

yang di lakukan oleh American Thoracic Society pada

117 laki-laki dan 173 wanita normal, kemampuan

berjalan selama 6 menit adalah 580 m (pria) dan 500

m (wanita). Jarak ini bisa berubah berdasarkan faktor-

faktor penentu seperti tinggi badan, berat badan,

umur, dan adanya disabilitas pasien (Agung, 2016)

11. Diagnosa Fisioterapi

Merupakan upaya penegakan masalah kapasitas fisik dan

kemampuan fungsional berdasarkan hasil interpretasi data yang

telah dirumuskan menjadi pernyataan yang logis dan dapat dilayani

oleh fisioterapi, terdiri atas:


2

1) Impairment merupakan adanya setiap kelemahan atau keadaan

abnormal secara fisiologi dan atau secara struktur dan fungsi

anatominya (Hudaya, 2002).

2) Disability adalah ketidakmampuan ini dianggap sebagai setiap

ketidak mampuan atau kekurangan (hasil dari impairment) untuk

melakukan aktivitas normal (Hudaya, 2002).

3) Fungsional Limitation merupakan istilah yang digunakan pada

setiap keadaan dimana seseorang mengalami keterbatasan

fungsinya, sehingga tidak mampu melakukan aksi atau gerak

(Hudaya, 2002).

12. Prognosis

Prognosis berarti ramalan klinis mengenai kemungkinan-

kemungkinan yang akan terjadi yang berhubungan dengan penyakit,

untuk timbul lagi atau mungkin berakhir sembuh (Dachlan, 2001).

Macam- Macam Prognosis :

a. Quo ad vitam : Mengenai perkiraan hidup atau mati pasien

b. Quo ad sanam : Mengenai perkiraan sembuh atau tidaknya pasien

c. Quo ad fungsional : Mengenai perkiraan kemampuan fungsi

aktivitas sehari-hari.

d. Quo ad cosmeticam: Mengenai perkiraan penampilan pasien.

Penilaianya dapat berupa :

Bonam : Baik
2

Malam : Buruk atau Jelek

Dubia ad Bonam : Tidak tentu atau ragu-ragu, cenderung

sembuh atau baik)

Dubia ad Sanam : Tidak tentu atau ragu-ragu, cenderung

buruk atau Jelek)

(Bennylin, 2013).

13. Tujuan Fisioterapi

Pada tujuan fisioterapi dibagi menjadi dua yaitu tujuan

jangka pendek dan tujuan jangka panjang, dimana tujuan tersebut

saling berhubungan dan berkesinambungan.

1) Tujuan jangka pendek: berkaitan dengan keadaan klien atau

pasien atau hal-hal yang dianggap atau bersifat penting dalam

kelangsungan hidupnya, pekerjaan dan penampilannya

(Hudaya, 2002).

2) Tujuan jangka panjang: Hasil yang diharapkan akan

memerlukan jangka waktu yang lama atau dipengaruhi oleh

tujuan jangka pendek dan berkesinambungan yang

membutuhkan waktu lama (Hudaya, 2002).

14. Teknologi Intervensi Fisioterapi

a) Inframerah
2

(1). Pengertian Inframerah

Sinar merah bila dilihat dari susunan spektrum sinar

(hertzian, infra merah, merah, jingga, kuning, hijau, biru,

ungu, ultra ungu/violet, ritgment, cosmic), terletak

diantara sinar merah dan hertzian. Dengan demikian

definisi sinar infra merah adalah pancaran gelombang

elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700 – 4 juta

angstrom (Sujatno, 2002).

(2). Efek fisiologis

(a) Meningkatkan proses metabolisme

Proses metabolisme terjadi pada lapisan superficial

kulit aka meningkat sehingga pemberian oksigen dan

nutrisi kepada jaringan lebih diperbaiki, begitu juga

pengeluaran sampah-sampah pembakaran.

(b) Vasodilatasi pembuluh darah

(c) Sensasi hangat

(3). Efek Terapeutik

(a) Relief of pain (mengurangi/menghilangkan rasa sakit)

(b) Muscle Relaxation (relaksasi otot)

(c) Increased blood supply (meningkatkan suplai darah)

(d) Menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme.

(4). Aplikasi

Metode aplikasi
2

Pada dasarnya metode pemasangan lampu diatur

sedemikian rupa sehingga sinar yang berasal dari lampu

jatuh tegak lurus terhadap jaringan yang diobati. Jarak

penyinaran untuk lampu non-luminous antara 45-60 cm,

sedangkan untuk lampu luminous antara 35-45 cm. Jarak

ini bukanlah merupakan jarak yang mutlak, karena masih

dipengaruhi oleh toleransi penderita atau besarnya watt

lampu (Sujatno, 2002).

(5). Prosedur aplikasi

(a) Persiapan alat

Perlu dipersiapkan alat serta pemeriksaan alat

antara lain meliputi kabelnya, jenis lampu, besar watt.

Pada umumnya generator non-luminous diperlukan

waktu pemanasan sekitar 5 menit.

(b) Persiapan pasien

Posisi pasien diatur senyaman mungkin

disesuaikan dengan daerah yang diobati. Posisi bisa

duduk, terlentang, atau tengkurap. Daerah yang

diterapi bebas dari pakaian serta perlu dilakukan tes

sensibilitas terhadap panas dan dingin.

(c) Pengaturan dosis

Pada penggunaan lampu non-luminous jarak

lampu jarak antara 45-60 cm, sinar diusahaka tegak


2

lurus dengan daerah yang akan diterapi serta waktu

antara 10-15 menit. Pada penggunaan lampu

luminous jarak 35-45 cm. Sinar diusahakan tegak

lurus, waktu antara 10-30 menit disesuaikan dengan

kondisi penyakit.

(e) Evaluasi

Hal ini bisa dilakukan sebelum dilakukan

penyinaran dengan sinar infra merah dan juga saat

penyinaran, apakah terlalu panas atau terlalu banyak

keringat keluar ini harus dihindari. Apabila waktu

pengobatan selesai perlu dievaluasi lagi dan

dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.

(g) Indikasi dan kontra indikasi

(1). Indikasi

(a)) Persiapan exercise dan massage

(b))Spasme otot

(2). Kontra indikasi

(a)) Gangguan pada pembuluh darah

(b))Gangguan sensibilitas kulit

(c)) Dehidrasi

(d))Suhu badan tinggi (demam) (Sujatno, 2002).

(h) Mekanisme Terapeutik


2

Sinar inframerah merupakan salah satu pemanasan

superficial yang menggunakan mekanisme konversi

panjang gelombang sinar infra merah yang digunakan

untuk pengobatan adalah 7700 – 150.000 Angstrom

(Prodyanatasari, 2015).

Inframerah memancarkan gelombang

elektromagnetik yang digunakan untuk keluhan yang

hanya sampai di bagian kulit (superficial) (Wahyu,

2013).

Adanya efek sedatif dari infra merah dimana

stimulasi panas sampai pada jaringan sub cutan yang

akan mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah

sehingga aliran dalam pembuluh darah meningkat dan

substansi “P” atau sisa metabolisme akan terbuang

(Wahyu, 2013).

Penyinaran dari inframerah menimbulkan efek panas

yang akan meningkatkan metabolisme dan menimbulkan

peningkatan suplay nutrisi dan oksigen ke jaringan

sehingga nyeri dapat berkurang (Wahyu, 2013).

Terapi inframerah akan menghasilkan panas yang

menyebabkan pembuluh kapiler mengalami pembesaran,

serta meningkatkan suhu kulit dan memperbaiki sirkulasi

darah di dalam tubuh. Apabila sirkulasi darah di dalam


2

tubuh menjadi lancar, maka tekanan jantung akan

semakin menurun. Selain itu racun dapat dibuang dari

tubuh melalui metabolisme dan dapat mengurangi beban

kerja liver dan ginjal (Prodyanatasari, 2015).

Relaksasi akan mudah dicapai bila jaringan otot

tersebut dalam keadaan hangat dan tidak ada rasa nyeri.

Radiasi sinar infra merah disamping dapat mengurangi

rasa nyeri, dapat juga menaikan suhu/temperatur

jaringan, sehingga dengan demikian bisa menghilangkan

spasme otot dan membuat otot relaksasi (Sujatno, 2002).

(1) Inhalasi

Inhalasi adalah suatu cara pemberian obat-obatan

dengan penghirupan, setelah obat-obatan tersebut

terlebih dahulu di pecahkan menjadi partikel-partikel

yang lebih kecil melalui cara aerosol, humidifikasi dan

lain-lain yang di lakukan untuk memperbaiki hygiene

bronkhos akibat penyakit, hiperaktivitas atau adanya

spasme saluran pernafasan, dan yang paling sering di

gunakan adalah dengan aerosol dan humidifikasi.

Aerosol adalah suatu system di mana molekul-molekul

yang ukurannya lebih besar di uraikan dalam satu atau

medioum lain. Spektrum partikel obat-obatan yang biasa


2

di gunakan dalam pengobatan terletak dalam diameter

yang berkisar antara 0,5-10 Um.

(5). Mekanisme Terapeutik

(a) Inhalasi

Inhalasi dilakukan dengan cara pemberian

obat-obatan dengan penghirupan, setelah obat-

obatan tersebut terlebih dahulu di pecahkan menjadi

partikel-partikel yang lebih kecil melalui cara

aerosol, humidifikasi dan lain-lainyang di lakukan

untuk memperbaiki hygiene bronkhos akibat

penyakit, hiperaktivitas atau adanya spasme saluran

pernafasan, dan yang paling sering di gunakan

adalah dengan aerosol dan humidifikasi.

Aerosol adalah suatu sistem di mana

molekul-molekul yang ukurannya lebih besar di

uraikan dalam satu atau medium lain. Spektrum

partikel obat-obatan yang biasa di gunakan dalam

pengobatan terletak dalam diameter yang berkisar

antara 0,5-10 Um. Dengan ukuran partikel tersebut

akan lebih mudah masuk ke paru-paru dan seluruh

traktusrespirasi. Partikel uap air atau obat-obatan

seperti : ventolin atau berotec, mucolitik yaitu


2

bisolvon dan NaCL kemudian di bentuk oleh suatu

alat yang di sebut aerosol generator atau nebulizer.

Dengan cara aerosol tersebut dapat

menimbulkan bronkodilatasi yang efektif dengan

reaksi sistemik yang minimal, tujuannya untuk

memperoleh efek dekongestan dan efek

bronkodilator dalam saluran nafas dari perifer

sampai pada ukuran medium bronkus. Sehingga

dapat menghilangkan obstruksi sekresi dan

memperbaiki hygiene bronchus dan melembabkan

udara inspirasi (Soemarno, 2005).


2

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Disini penulis akan membahas metode penelitian yang digunkan dalam sub

BAB III, meliputi : 1) Desain Penelitian, 2) Tempat dan Waktu Penelitian, 3)

Subjek Penelitian, 4) Variabel Penelitian, 5) Instrumen Penelitian, 6) Teknik

Analisa Data, 7) Metode Pengumpulan Data dan Analisa Data, 8) Jalannya

Penelitian

A. Desain penelitian
Desain penelitian adalah suatu konsep pelaksanaan program yang

sesuai dengan perencanaan, secara teknis sesuai dengan prosedur –

prosedur pada masing - masing metodologi. Dalam desain penelitian

tersebut harus sesuai dengan prinsip – prinsip pencatatan pada proses

fisioterapi.

Dalam Makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif

analitik untuk mengetahui assessment dan perubahan yang dapat diketahui.

Desain penelitian yang digunakan adalah “Studi Kasus”

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Kasus penelitian Makalahini diambil di BPKBM Surakarta pada

tanggal 1 Maret 2019 sampai dengan selesai terapi ke-enam.

C. Subjek Peneltian
Kasus yang digunakan oleh penulis dalam penelitian Makalah ini adalah

“Asma bronchiale”
2

D. Variabel Penelitian
1. Variabel dependen yaitu ariabel yang bersifat tergantung atau terikat,

dimana hasil yang diperoleh tergantung dari variabel independent,

variabel dependent disini berupa sesak nafas, Penumpukan sputum

dan spasme otot bantu pernafsan.

2. Variabel independent yaitu variabel yang bersifat bebas, dimana

akan sangat mempengaruhi hasil dari variabel dependent. Dalam hal

ini variabel independent adalah pelaksanaan terapi yang

dilaksanakan yaitu : Nebulizer, Infra Red (IR) dan Deep Breathing

E. Instrumen Penelitian
No. Objek yang Parameter Kriteria Penilaian Kriteria

Dibahas Penyampaian

Hasil

1. Spygnomanom Adalah sebuah alat

eter untuk melakukan

proses auskultasi pada

rongga dada agar

suara menjadi

erdengar dengan jelas.

2. Skala Dapat digunakan

Respiratory untuk mengukur

Rate derajat sesak nafas

dengan hitungan per


2

menit dalam seiap

penilaian.

3. Spasme Spasme adalah

dengan palpasi ketegangan otot yang

meningkat akibat

adanya kompensasi

kerja yang berlebih,

Palpasi adalah teknik

dalam fisioterapi yang

digunakan untuk

melakukan

pemeriksaan dengan

meode perabaan.

4. Skala BORG Skala yang digunakan

untuk mengukur

seberapa besar usaha

yang dikeluarkan oleh

seseorang yang

dinamakan sebagai

(Ratig of Perceived

Exertion)
2

F. Teknik Analisis Data


Cara analisis yang digunakan adalah pendekatan analisis induktif.

Data-data yang diperoleh dari hasil Tanya jawab dan pemeriksaan umum

maupun khusus dikumpulkan untuk menentukan diagnose, dari diagnose

tersebut akan didapatkan untuk menentukan tindak lanjut dari

permasalahan yang akan didapatkan setelah melalui proses terapi pertama

hingga ke-enam.

G. Meode Pengumpulan Data dan Analisis data.


1. Data primer dengan menggunakan

a. Pemeriksaan Fisik

Bertujuan untuk mengetahui keadaan fisik pasien, keadaan

fisik terdiri dari vital sign, Inspeksi, Palpasi, Perkusi, dan

Auskultasi.

b. Observasi

Metode ini dilakukan untuk mengambil perkembangan

pasien selama dilakukan tindakan fisioterapi.

2. Data sekunder dengan menggunakan :

a. Studi Dokumentasi

Dalam studi dokumentasi penulis mengamati dan mempelajari data

– data medis (Rekam Medis) dan Fisioterapi dari awal sampai

akhir.

b. Studi Pustaka
2

Dalam penulisan Makalahsumber – sumber diambil dari buku, Jurnal,

Ejurnal, Ebook yang berkaitan dengan kondsi Asma bronchiale.

H. Jalannya Penelitian
1. Penulis mempersiapkan materi dan konsep yang mendukung

penelitian dan pembuatan proposal Karya Tulis Ilmiah.

2. Penulis menyusun proposal Makalahyang terlebih dahulu dikonsulkan

kepada pembimbing.

3. Penulis melakukan revisi proposal Makalahsebelum melakukan

peneitian yang kemudian dikonsulkan kembali kepada pembimbing.

4. Penulis melaksanakan ujian proposal Kary Tulis Ilmiah.

5. Penulis meminta permohonan ijin penelitian kepada isntansi terkait.

6. Pelaksanaan intervensi terhadap pasien dengan kondisi Asma

bronchiale yang meliputi :

a. Anamnesis yang dilakukan secara Hetero anamnesis dengan

keluarga pasien.

b. Pemeriksaan IPPA (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)

c. Pemeriksaan spesifik berupa pemeriksaan skala BORG.

d. Intervensi fisioterapi berupa: Nebulizer, Infra Red (IR) dan

Deep Breathing.

7. Penulis melakukan evaluasi dari terapi pertama sampai terapi ke-enam

untuk membandingkan membandingkan hasil terapi yang telah

dilakukan.
2
2

BAB IV

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

A. Pengkajian Fisioterapi

2. KETERANGAN UMUM PENDERITA


NAMA : Tn. T
UMUR : 41 Tahun
JENIS KELAMIN : Laki - laki
AGAMA : Islam
PEKERJAAN : penjual sangkar burung
ALAMAT : Banjarsari Surakarta

3. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT


A. DIAGNOSIS MEDIS:
Asma (J45)

B. CATATAN KLINIS :
( medika mentosa, hasil lab, EKG, Foto rontgen, CT-Scan, catatan
operasi, spirometri, analisa gas darah, dll yang terkait dengan
permasalahan fisioterapi)
a. Medika mentosa : Amilod 104 xxx 1x1, Salbit xx 2x1, Lapited,
Mpap 2x1, Symblcott.

b. Foto Rontgen :
Cor – Normal
Pulmo – Corakan vaskuler sangat kasar.
Diagfragma dan sinus normal
Infiltrat (-)
Kesan : Bronchitis Chronic
2

C. TERAPI UMUM (GENERAL TREATMENT)


a. Dokter – Medikamentosa
b. Fisoterapi
D. RUJUKAN FISIOTERAPI DARI DOKTER (asal rujukan dan isi rujukan)
Isi Rujukan Dokter : Mohon dilakukan tindakan fisioterapi atas nama
Tn. T dengan diagnosis medis Asma dengan modalitas Nebulizer,
Stretching.

4. SEGI FISIOTERAPI
TANGGAL : 08 Maret 2019
1. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF (ANAMNESIS (AUTO/HETERO)
a. KELUHAN UTAMA :
a. Sesak napas Y/T : saat malam hari dingin
b. Batuk Y/T : saat malam hari dan dingin
c. Dahak Y/T :
d. Mengi Y/T :
e. Nyeri dada Y/T :

b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:


(Berupa perjalanan penyakit dan riwayat pengobatan)
1 minggu yang lalu pasien merasakan sesak napas dan batuk
pada malam hari saat musim hujan. Setelah itu pasien memakai alat
bantu pernafasan / inhaler untuk mengurangi sesak napasnya. Keesokan
harinya pasien berobat ke BBKPM Surakarta dan terapi di poli
fisioterapi. Keluhan bertambah ketika pasien mandi dan berkurang saat
istirahat.

c. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:


Tahun 2009 pasien sudah merasakan batuk dan sesak nafas.
Pasien periksa ke puskesmas terdekat.Setelah itu mendapatkan rujukan
ke BBKPM untuk ditindak lanjuti.

d. RIWAYAT PRIBADI :
144
2

Pasien adalah seorang perokok pasif.

e. RIWAYAT PENYAKIT PENYERTA:


Pasien tidak memiliki penyakit penyerta.

f. RIWAYAT KELUARGA:
Keluaga pasien tidak mempunyai penyakit yang sama dengan
pasien.
7. STATUS SOSIAL:
(Hobby, Lingkungan kerja, tempat tinggal, aktivitas rekreasi dan diwaktu
senggang, aktivitas sosial)
- Tempat tinggal : rumah pasien dekat dengan jalan raya
- Lingkungan kerja : pasien adalah seorak penjual sangkar burung
yang setiap harinya memindah-mindahkan sangkar burungnya
sehingga pasien kadang merasakan sesak napas.
- Aktivitas social : pasien mampu mengikuti acara kerja bakti.

2. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
a. PEMERIKSAAN TANDA VITAL
1) Tekanan darah : 130 / 80 mmHg
2) Denyut Nadi : 74 x / Menit
3) Pernapasan : 25 x / Meni
4) Temperatur : 33 ℃
5) Tinggi Badan : 170 cm
6) Berat Badan : 72 Kg

b. INSPEKSI

a. Respiratori equipment:

Pasien tidak menggunakan alat bantu pernafasan.

b. Bentuk dada : (Gambar. Normal/ Barrel Chest, Pigeon Chest, dll)

145
2

c. Pola Pernafasan : (Normal, Prolonged expiration, pursed lip


breathing)
Pola pernafasan pasien normal.

d. Clubbing finger Y / T

Pasien tidak mengalami Clubbing Finger.

c. PALPASI :
a. Ekspansi thoraks R/L : Normal/Normal (Normal, Menurun)
b. Vocal Fremitus : (Normal, Meningkat, Menurun, Hilang)

Vocal fremitus teraba normal.

c. Spasme otot pernapasan (disebutkan nama otot)


Terdapat spasme pada M. Upper trapezius dextra..

Nilai 2 (Ada Spasme)

d. Nyeri tekan (+/_, lokasi dimana?)

146
2

tidak ada nyeri

d. PERKUSI :
(Sonor, Hypersonor, redup, pekak)

Terdengar suara hypersonor pada paru kiri inferior segmen


medial basal.

e. AUSKULTASI :
a. Suara napas
Terdengar suara Ronchi pada paru kanan segmen anterior lobus
apikal.
b. Letak Sputum
Terdapat sputum diparu kanan segmen anterior lobus apikal.

147
2

f. GERAK DASAR (sendi bahu, leher, dada)


a. Gerak Aktif:

Pasien mampu melakukan semua gerakkan pada sendi bahu,

leher dan dada full rom disertai nyeri.

b. Gerak Pasif:

Pasien dapat digerakkan ke semua gerakan pada sendi bahu,

leher dan dada full rom disertai nyeri.

c. Gerak Isometrik:

Pasien mampu melawan tahanan maksimal ke semua gerakan

pada sendi bahu, leher dan dada full rom disertai nyeri.

g. PEMERIKSAAN EKSPANSI THORAKS


Tabel 4.1 Pemeriksaan Ekspansi Thorak
Axila Costa 4 – 5 Xyphoideus
Normal 84 cm 85 cm 80 cm
Inspirasi 86 cm 87 cm 82 cm
148
2

Ekspirasi 84 cm 85 cm 79 cm
Selisih 2 cm 2 cm 3 cm

h. PEMERIKSAAN SESAK NAFAS (VAS, BORG Scale)

Pemeriksaan Sesak Nafas dengan skala BORG

Nilai 3 : sedang

i. PEMERIKSAAN NYERI
Tidak dilakukan

j. PEMERIKSAAN SPIROMETRI
Hasil dari pemeriksaan spirometri adalah :
g. Normal
h. Restriksi : Sedang
i. Obstruksi : Sedang

149
2

Tabel 4.2 Pemeriksaan Spirometri


NILAI
No Pemeriksaan
Hasil Prediksi Normal Uji Bronkodilator Kenaikan Vep 1
1 Kapasitas 1.2260 ml
Vital 2. 2240 ml 4010 ml
3. 2080 ml
2 % KV (KV /
KVP 56 % 80 %
Prediksi)
3 Kapasitas 1. 1820 ml
Vital Paksa

2. 1800 ml 4010 ml
3. 1800 ml
4 % KV (KV /
KVP 45 % 80 % 63
Prediksi)
5 Volume 1. 1050 ml 1. 2550 ml
Ekspirasi 2. 950 ml 3320 ml 2. 2550 ml
Paksa Detik 3. 900 ml 3. 2550 ml
1 (VEP 1)
6 % VEP 1
(VEP 31 % 80 % 76 %
1/Prediksi)
7 VEP 1 %
(VEP 57 % 126 % 75 % %
1/KVP)
8 Arus Puncak 1.260 ml Ml/detik
Ekspirasi 2. 250 ml Ml/detik
(APE) 3. 230 ml Ml/detik
9 Air
Trapping

k. PEMERIKSAAN PANJANG OTOT (m. pectoralis mayor dan minor,


m. Sternocleidomastoideus, m. upper trapezius)
150
2

Terdapat perbedaan panjang otot M. Upper trapezius

l. TES KOGNITIF, INTRA PERSONAL DAN INTERPERSONAL


Tes Kognitif : Pasien mampu menceritakan riwayat perjalanan
penyakitnya.
Intra Personal : Pasien mempunyai keinginan yang besar untuk
sembuh.
Inter Personal : Pasien mampu berinteraksi dan kerja sama
dengan terapis.

m. PEMERIKSAAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL


(Pemeriksaan toleransi aktivitas)
Pasien mengalami keterbatasan dan gangguan aktivitas sehari-
hari seperti berjalan jauh 1 km, aktivitas menjual sangkar burung dan
membawa barang seberat 5 kg.

B. DIAGNOSIS FISIOTERAPI
(Menetapkan diagnosa gerak dan fungsi melalui interpretasi, analisa dan sintesis
hasil pemeriksaan serta pengukuran pasien / klien).
1. IMPAIRMENT
a. Adanya sesak nafas saat aktivitas berlebih.
b. Adanya penurunan eskpansi sangkar thorak
c. Adanya spasme pada M. Pectoralis Mayor Sinistra

2. DISABILITY
Pasien mengalami keterbatsan untuk bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar seperti kerja bakti

3. FUNGTIONAL LIMITATION

Pasien mengalami gangguan aktivitas sehari-hari seperti berjalan 100

meter,bersepeda 500 meter dan berdagang sangkar burung yang setiap

berjalan memindah sangkar burung.

C. TUJUAN FISIOTERAPI
151
2

1. TUJUAN FISIOTERAPI :

a. Jangka Pendek
1) Mengurangi sesak nafas
2) Meningkatkan ekspansi sangkar thorak
3) Mengurangi spasme
b. Jangka Panjang
1) Melanjutkan jangka pendek
2) Meningkatkan Aktivitas Fungsional Sehari-hari

2. TINDAKAN FISIOTERAPI :
a. Teknologi Fisioterapi :
1) Nebulizer
2) Strecthimg
3) Deep breathing
4) TEE

3. EDUKASI DAN HOME PROGRAM


a. EDUKASI
1) Jika malam hari pasien diminta memakai jaket, dan perbanyak minum air
putih hangat.
2) Menghindari asap rokok dan polusi yang memicu sakitnya kambuh
3) Pasien diminta untuk memakai masker
4) Pasien dianjurkan untuk melaksanakan pengobatan yang maksimal.
5) Pasien diminta untuk berjalan kaki setiap pagi selama 10 menit.

b. HOME PROGRAM
1) Pasien diminta untuk melakukan strecthing yang sudah diajarkan.

152
2

2) Pasien diminta umtuk jalan pagi dengan jarak maksimal 100 meter
kemudian keesokan harinya dapat ditambah jaraknya selama tidak
mengalami sesak nafas maupun pusing

6) RENCANA EVALUASI
(sesuai dengan interpretasi data fisioterapi)
1. Evaluasi sesak nafas dengan skala MRC.
2. Evaluasi ekspansi sangkar thorak dengan midline.
3. Evaluasi spasme dengan palpasi.

D. PROGNOSIS FISIOTERAPI
(Menetapkan prognosis gerak dan fungsi melalui interpretasi, analisis dan sintesis
pemeriksaan dan pengukuran pasien/klien).
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad sanam : Dubia ad malam
Quo ad fungsional : Dubia ad bonam
Quo ad cosmeticam : Bonam

E. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI :
1. Nebulizer
Tujuan :
a) Melebarkan jalan nafas.

b) Mengurangi sesak nafas

c) Mengurangi sputum

a) Persiapan alat dan Bahan.

(1) Nebulizer – Medikamentosa (Flexoted Meptin)

(2) Masker Nebulizer.


153
2

(3) Selang Nebulizer.

(4) Bed dan Bantal

b) Persiapan pasien dan Penatalaksanaan.

a) Posisikan pasien duduk bersandar ditembok / diganjal bantal.

b) Sebelum pemasangan masker nebulizer, pasien di anjurkan untuk nafas

normal / biasa selama proses inhalasi.

c) Kemudian pasang selang masker pada nebulizer.

d) Pasang masker pada hidung dan mulut pasien.

e) Tekan tombol ON.

f) Lakukan monitoring selama terapi.

g) Apabila obat didalam tabung masker sudah habis, tekan tombol OFF.

Terapi selesai.

h) Lalu rapikan alat dan bahan.

2. Strecthing
Tujuan :
a) Mengurangi spasme
b) Releksasi otot
a) Persiapan alat dan bahan
Bed
b) Persiapan pasien dan Penatalaksanaan
a) Pasien diminta duduk diatas bed senyaman mungkin
b) Posisi terapis berada di depan pasien
c) Selanjutnya terapis menjelaskan latihan yang akan dilakukan

154
2

d) Fiksasi tangan pasien berada pada samping kepala pasien dan bahu
e) Terapis menggerakkan kepala pasien ke atas samping kanan dan kiri
kemudian kearas depan belakang dengan sedikit diberikan tarikan.
f) Setiap gerakan dilakukan 3 kali bergantian

3. Deep breathing
Tujuan :
a) Mengurangi sesak nafas
b) Melatih pola nafas menggunakan otot perut
a) Persiapan alat dan bahan
Bed
b) Persiapan pasien dan penatalaksanaan
 Pasien diminta duduk diatas bed senyaman mungkin
 Terapis berada di samping pasien
 Kemudian terapis memberikan contoh untuk latihan ini
 Dengan cara ambil nafas panjang, pelan, serta dalam memalui hidung.
Diusahakan agar menjaga dada dan bahu tetap dalam keadaan relaks,
lakukan 3-5 kali nafas dalam.
 Selanjutnya pasien diminta untuk melakukan seperti yang sudah
dicontohkan

4. Thoracic Ekspansi Exercise


Tujuan : Penigkatn ekspansi sangkar thorak

F. Evaluasi
(Setelah Tindakan Terapi/per tanggal) :
a. Evaluasi Sesak nafas
Tabel Evaluasi Sesak Nafas
Tanggal Terapi Nilai
155
2

8 Maret 2019, TI 3

16 Maret 2019, TII 2

b. Evaluasi Sangkar Thorak


Tabel 4.4 Evaluasi Sangkar Thorak
Tanggal Terapi Titik Patokan Selisih
Axila 9 cm
8 Maret 2019, TI Costa 3 cm
Xyphoideus 3,5 cm
Axila 5 cm
16 maret 2019, TII Costa 3 cm
Xyphoideus 2 cm

c. Evaluasi Spasme M. Pectoralis Mayor Sinistra


Tabel 4.5 Evaluasi Spasme

Tanggal Terapi Nilai Keterangan


8 Maret 2019, TI 2 Ada Spasme
16 Maret 2019, TII 1 Ada Spasme

d. HASIL TERAPI AKHIR :


Pasien Tn. T yang berumur 41 tahun, setelah dilakukan 2 kali tindakan
fisioterapi didapatkan hasil :
a. Penurunan sesak nafas dari nilai 2 menjadi nilai 1
b. Peningkatan Ekspansi sangkar thorak
Axila : selisih nilai 9 menjadi nilai 5
Costa 4-5 : selisih nilai 3 menjadi nilai 3
Xyphoideus : selisih nilai 3,5 menjadi nilai 2
c. Penurunan spasme dari nilai 2 (ada spasme) menjadi nilai 1 (tidak ada
spasme)
156

Anda mungkin juga menyukai