Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN

PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI

Acara I
(Media Kultur Jaringan Tumbuhan)

Oleh
Winda Dwi Astuti
NIM. 110210153015
Program Studi Pendidikan Biologi

LABORATORIUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN


JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kebutuhan
akan tanaman pangan dan tanaman hias jauh lebih besar dibandingkan dengan laju
peningkatan produksinya sehingga negara kita harus mengimpor hingga puluhan
ribu ton setiap tahunnya untuk dapat memenuhi kebutuhan akan tanaman pangan
dan tanaman hias dalam negeri. Hal ini dipertegas oleh pendapat (Baharsjah dan
Azhari dalam Mirni Ulfa Bustami, 2011) yang menjelaskan penyebab utama
rendahnya produksi tanaman pangan dan tanaman hias di Indonesia adalah
rendahnya produktivitas yang disebabkan beberapa faktor, antara lain teknik
budidaya, serangan hama dan penyakit, mutu benih rendah dan penggunaan
varietas lokal yang berdaya tumbuh rendah.
Suatu upaya dalam hal meningkatkan produktivitas tanaman pangan atau
tanaman hias adalah dengan penyediaan dan pengunaan bibit yang bermutu baik
yang diperbanyak melalui kultur jaringan dapat menyediakan bibit dalam waktu
relatif singkat dengan jumlah yang memadai dan tidak tergantung musim, serta
tanaman yang dihasilkan lebih seragam dan bebas patogen (Wattimena dalam
Mirni Ulfa Bustami, 2011).
Kultur jaringan merupakan teknik atau salah satu metode pembiakan
vegetatif yang cepat dan secara genetik sifat-sifat tanaman anak yang dihasilkan
akan sama atau identik dengan induknya. Hal lain dalam teknik kultur jaringan
yang perlu mendapat perhatian adalah komposisi media kultur dan zat pengatur
tumbuh yang tepat serta sumber eksplan yang digunakan untuk menghasilkan
plantlet sangat erat hubungannya selain faktor lainnya yaitu cahaya, suhu dan
kelembaban pada lingkungan sekeliling media (Rainiyati, 2009)
Salah satu media yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah
medium padat, dan medium cair. Keadaan media akan mempengaruhi
pertumbuhan kultur, kecepatan pertumbuhan dan diferensiasi dari suatu kultur.
Hal ini dikarenakan dapat mempengaruhi pertumbuhan antara lain karena efeknya
terhadap osmolaritas larutan dalam media serta ketersediaan oksigen bagi
pertumbuhan eksplan yang sedang dikulturkan.
Dalam hal mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang
hendak dikultur, komposisi dalam media kultur telah diformulasikan dengan
kandungan unsur-unsur antara lain seperti unsur hara mikro, unsur hara makro,
gula yaitu sucrose, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan agar-agar. Media kultur
jaringan yang digunakan pada praktikum ini adalah media MS (Murashige and
Skoog). Hal ini dikarenakan di dalamnya sudah terdapat konsentrasi yang tepat
dan sesuai untuk semua jenis eksplan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada
botol kultur yang terbuat dari kaca. Setelah itu harus disterilkan dengan cara
sterilisasi yaitu memanaskannya dengan autoklaf selama 20-30 menit. Sehingga
media yang sudah steril sudah dapat digunakan.
Konsentrasi dan kandungan hormon pertumbuhan yang ditambahkan dalam
media sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan yang
dikulturkan sehingga sangat tergantung dari jenis eksplan yang dikulturkan dan
tujuan pengkulturannya. Konsentrasi hormone pertumbuhan optimal yang
ditambahkan ke dalam media tergantung pula dari eksplan yang dikulturkan serta
kandungan hormon pertumbuhan endogen yang berasal dari jaringan tumbuhan
pada eksplan yang hendak dikultur.
Terdapat dua kelompok zat pengatur tumbuh yang paling sering digunakan
dalam kultur jaringan, yaitu auksin, seperti NAA dan IBA, serta sitokinin seperti
BAP. Penggunaan auksin (NAA atau IBA) bersama sitokinin (BAP) pada
konsentrasi yang sudah di tetapkan dapat memacu pertumbuhan eksplan, terutama
dalam pembentukan daun, tunas dan ruas yang intensif. Pertumbuhan eksplan
yang sangat dikehendaki, terutama pada tahap multiplikasi suatu kultur. Faktor
yang menentukan keberhasilan pelaksanaan kultur jaringan salah satunya adalah
genotipe (varietas) tanaman serta komposisi media yang digunakan. Dari beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa setiap genotipe (varietas) tanaman
membutuhkan komposisi media tertentu guna mendukung pertumbuhan eksplan
yang optimal. Tanaman dihasilkan dari regenerasi jaringan pada kultur in vitro
memungkinkan mempunyai fenotip yang toleran terhadap kondisi seleksi. Karena
seleksi pada in vitro lebih efisien karena kondisi seleksi dapat dibuat homogen,
tempat yang relative sedikit dengan efektivitas yang tinggi (Kadir dalam Erni).
Aspek penting yang harus diperhatikan pada komposisi suatu media yaitu
kebutuhan terhadap zat pengatur tumbuh, khususnya kombinasi dan konsentrasi
dari zat pengatur tumbuh yang digunakan. Namun hingga saat ini, kemampuan
multiplikasi tanaman melalui teknik kultur jaringan (in vitro culture) belum
banyak diketahui oleh masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu sangatlah
penting bagi praktikan sebagai generasi penerus bangsa untuk mengetahui teknik
kultur jaringan untuk memperbanyak produksi tanaman pangan dan tanaman hias
yang sangat dibutuhkan demi memajukan bangsa ini di masa yang akan datang.

1.2 Tujuan
1. Mempelajari cara pembuatan media dengan baik dan benar
2. Mengenal perbedaan bermacam-macam media kultur jaringan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat menyediakan bibit


dalam waktu relatif singkat dengan jumlah yang memadai dan tidak tergantung
musim, serta tanaman yang dihasilkan lebih seragam dan bebas patogen
(Wattimena dalam Mirni Ulfa Bustami, 2011).
Kalus merupakan sekelompok massa sel yang berkembang dengan sangat
cepat, tetapi belum terorganisir atau belum terdiferensiasi (George dalam Marlin,
2012). Pembentukan kalus sangat menguntungkan karena dapat dikultur secara
terus menerus. Kalus dapat diinisiasi dari semua bagian tumbuhan, walaupun
kecepatan pembelahan sel dari masing-masing bagian tumbuhan tersebut berbeda
(Marlin, 2012). Menginduksi atau menginisiasi kalus yang bersifat embrionik
yang dilakukan dengan cara memacu pembelahan sel secara terus menerus dari
bagian tanaman tertentu seperti daun, akar, batang, dan sebagainya dengan
menggunakan zat pengatur tumbuh hingga terbentuk massa sel. Massa sel (kalus)
tersebut selanjutnya akan beregenerasi melalui organogenesis ataupun
embriogenesis hingga menjadi tanaman lengkap. Hal itulah yang merupakan awal
dari beberapa teknik kultur jaringan yang antara lain fusi protoplas, keragaman
somaklonal, seleksi in vitro dan transformasi genetik.
Menurut (Vasil dalam Mirni Ulfa Bustami, 2011) keberhasilan
pelaksanaan kultur jaringan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain komposisi
zat pengatur tumbuh, sumber eksplan dan jenis tanaman. Hal ini berkaitan bahwa
zat pengatur tumbuh berguna untuk menstimulasi pembentukan kalus dan organ
tanaman. Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk menginduksi
pembentukan kalus adalah auksin. Diantara golongan auksin yang umum
digunakan pada media kultur jaringan adalah 2, 4-dichlorophenoxy Acetic Acid
(2, 4-D) dan Indole Acetic Acid (IAA). Dibanding dengan IAA, 2, 4-D memiliki
sifat lebih stabil karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan
oleh sel tanaman ataupun oleh pemanasan pada proses sterilisasi (Hendaryono,
1994: 38).
Berdarkan (Soeryowinoto (1996) hasil penelitian Suprapto (1987) dalam
Ertina, 2011) menunjukkan penambahan 2, 4-D pada media MS padat dapat
menstimulasi pembentukan kalus pada eksplan daun tebu.

Pengertian dari kultur jaringan yang menjadi salah satu teknik dalam
perbanyakan tanaman secara klonal dalam rangka perbanyakan masal.
Keuntungan yang diperoleh dalam pengadaan bibit melalui kultur jaringan antara
lain dapat diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam jumlah banyak dan
seragam, selain itu dapat diperoleh biakan yang steril atau pure (mother stock)
sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk perbanyakan selanjutnya (Lestari
dalam Endang, 2011). Maka dari itu untuk mendapatkan hasil yang optimal dari
teknik kultur jaringan hal utama yang paling penting guna mencapai suatu
keberhasilan dalam kultur jaringan maka penggunaan media dasar dan zat
pengatur tumbuh yang tepat merupakan satu kombinasi media dasar dan zat
pengatur tumbuh yang sesuai dengan takaran akan meningkatkan aktivitas
pembelahan sel dalam proses morfogenesis dan organogenesis pada tanaman yang
hendak di kultur.
Hal ini yang mendasari bahwa mengapa media harus perlu ditambahkan
dengan sejumlah zat pengatur tumbuh yang sering digunakan terdiri dari golongan
sitokinin dan auksin. Kegunaan auksin mempunyai peran yang ganda tergantung
pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan.
Karena umumnya auksin hanya digunakan untuk menginduksi pembentukan
kalus, kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu pemanjangan dan
pembelahan sel di dalam jaringan kambium (George dalam Rainiyati). Pada
konsentrasi rendah auksin akan memacu pembentukan akar adventif, sedangkan
dalam hal memacu pembentukan kalus embriogenik dan struktur embrio somatik
seringkali auksin diperlukan dalam konsentrasi yang relatif tinggi.
Fungsi lain dari zat pengatur tumbuh tanaman berperan dalam mengontrol
proses biologi dalam jaringan tanaman yang diantaranya dengan mengatur
kecepatan pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan mengintegrasikan setiap
bagian guna menghasilkan bentuk yang lengkap sebagai tanaman. Aktivitas zat
pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur kimia,
konsentrasi, genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi dalam
Mirni, 2011).
Adanya interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen yang ditambahkan
ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh endogen yang dihasilkan oleh
jaringan tanaman yang merupakan proses penting dalam pembentukan organ
seperti tunas dan atau akar. Hal ini dikarenakan dapat mengubah level zat
pengatur tumbuh endogen sel. Maka dalam hal penambahan auksin atau sitokinin
ke dalam media kultur akan dapat meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh
endogen di dalam sel, sehingga menjadi “faktor pemicu” dalam proses tumbuh
kembang jaringan dalam memacu pembentukan tunas dapat dilakukan dengan
memanipulasi dosis auksin dan sitokinin eksogen (Poonsapaya et al, dalam Mirni,
2011).
Zat pengatur tumbuh auksin dapat berpengaruh terhadap pemanjangan sel,
pembentukan kalus dan akar adventif namun juga dapat menghambat
pembentukan tunas aksilar. Penggunaan auksin dalam konsentrasi rendah akan
memacu pembentukan akar adventif, sedangkan penggunaan auksin dalam
konsentrasi tinggi mendorong pembentukan kalus (Pierik dalam Rainiyati, 2009).
Dalam kultur jaringan jenis auksin yang sering dipakai adalah IAA (Indoleacetic
Acid), 2,4-D (2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid), IBA (Indolebutyric Acid) dan
NAA (Naphtaleneacetic Acid) (George dalam Rainiyati,2009)
Sama halnya dengan auksin, zat pengatur tumbuh sitokinin yang berperan
dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Fungsi dari aktivitas utama
sitokinin adalah untuk mendorong pembelahan sel, menginduksi pembentukan
tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar. Namun
sitokinin juga aktif menghambat perombakan protein dan klorofil dan
menghambat penuaan (senescence). Dalam kultur jaringan jenis sitokinin yang
sering dipakai adalah BAP (Benzylamino Purine) dan kinetin (George dalam
Rainiyati, 2009).
Salah satu zat pengatur tumbuh 2.4-D berperan sebagai inisiasi kalus dan
induksi kalus yang dilakukan dengan jalan memacu pembelahan sel secara terus
menerus dari bagian tanaman tertentu seperti daun, akar, batang, dan sebagainya
dengan menggunakan zat pengatur tumbuh hingga terbentuk massa sel. Massa sel
(kalus) tersebut selanjutnya akan beregenerasi melalui organogenesis ataupun
embriogenesis hingga menjadi tanaman lengkap (Mirni Ulfa Bustami, 2011).
Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung pada
tujuan atau arah pertumbuhan tanaman yang diinginkan. Pada metode kultur
jaringan sangat diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh seperti auksin dan
sitokinin. NAA (Naphtalen Asam Asetat) yang merupakan golongan auksin untuk
perangsang akar dan BAP (Benzyl Amino Purin) sebagai sitokinin untuk
merangsang tunas (Triningsih, 2013). Oleh karena itulah keseimbangan
penggunaan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin yang sesuai memberikan
pengaruh yang sangat besar untuk menghasilkan plantlet dari tanaman yang
hendak dikulturkan.
BAB 3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Kultur Jaringan Tumbuhan dengan acara Media Kultur Jaringan
dilaksanakan pada hari Sabtu, 10 Mei 2014 pukul 12.00 s/d selesai bertempat di
Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Jember.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Beaker Glass 1 liter sebagai tempat larutan baku MS
2. Autoklaf sebagai alat sterilisasi
3. Stirer untuk mengaduk agar semua larutan dapat tercampur menjadi
homogen
4. Timbangan analitik untuk meninmbang agarose dan gula sucrose
5. Botol kultur (10 buah) untuk memasukkan media yang agarnya sudah
melarut
6. Pipet untuk menambahkan HCL 1N atau NaOH 1N
7. Pipet Volume untuk memindahkan larutan baku MS dalam beaker glass
8. pH meter untuk mengukur pH sebesar 7
9. Botol semprot yang berisi alcohol agar ruangan, alat dan bahan, serta
praktikan tetap steril
10. Kertas aluminium foil (10 buah) untuk menutupi botol kuljar yang telah
berisi media
11. Kertas biasa untuk wadah agar dan gula sucrose
12. Kertas label untuk menandai pada botol kultur
13. Alat-alat tulis untuk menulis pada kertas label
14. Pemanas (kompor) untuk melarutkan agar
15. Centong untuk mengaduk media pada saat dipanaskan
3.2.2 Bahan
1. Larutan Baku MS untuk 250ml media yang terdiri dari:
 Stok A dan Stok B (5ml)
 Stok C dan Stok D (2,5ml)
 Stok E dan Stok F (1,25ml)
 Vitamin (Mio inositol 2,5ml dan Vit yang lain 0,25ml)
 Karbohidrate (gula sucrose 30gr)
2. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dengan perlakuan
a. MS 0
b. NAA 0, 25 ppm dan BAP 1 ppm
c. NAA 1 ppm dan BAP 0, 25 ppm
d. BAP 0,5 ppm
e. 2,4 D 0,5 ppm
3. Aquades
4. Gula sucrose 30 gr
5. Agarose 8gr
6. NaOH 1 N
7. HCL 1 N

3.3 Cara Kerja


Pembuatan media padat MS kultur jaringan sebanyak 250 ml
1. Menyiapkan semua larutan baku MS.
2. Mengambil larutan baku sesuai ketentuan dan menuang ke dalam baker
glass 1 liter yang sudah terisi aquades 300 ml.
3. Menimbang gula 30 gr dan 8 gr bahan pemadat (agar) dan memasukkan
ke dalam beker glass.
4. Mengaduk campuran di atas stier dan mengukur derajat keasaman
dengan pH meter 7, menggunakan NaOH dan HCL untuk mengaturnya.
5. Menambahkan aquades hingga mencapai 1000 ml.
6. Mendidihkan larutan di atas perapian sampai agar larut.
7. Menuangkan media dalam keadaan cair ke dalam botol – botol dengan
ukuran ketebalan 1 cm.
8. Menutup semua botol dengan aluminium foil, dan menandai menurut
jenis medianya.
9. Mensterilkan botol – botol berisi media di dalam autoclave selama 30
menit temperatur 121 °C tekanan 17,5 psi.
10. Menyimpan media setelah autoclave mati sambil menguji kesterilannya
selama 3 x 24 jam.
11. Menanami media yang telah steril.

3.4 Parameter Pengamatan


Mengamati kontaminasi media selama 6 x 24 jam
Pengamatan hari ke
No 1 2 3 Dst
∑ K ∑ K ∑ K ∑ K
1 0 - 1 j 2 j dst
2
Dst
Keterangan :
∑ = jumlah kontaminasi
K = jenis kontaminasi
J = jamur
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


Mengamati kontaminasi media selama 6 x 24 jam

Pengamatan hari ke

No 1 2 3 4 5 6

∑ K ∑ K ∑ K ∑ K ∑ K ∑ K

1 0 - 0 - 0 - 0 - 0 - 0 -

2 0 - 0 - 0 - 0 - 0 - 0 -

3 0 - 0 - 0 - 0 - 0 - 0 -

4 0 - 0 - 0 - 0 - 0 - 0 -

5 0 - 0 - 0 - 0 - 0 - 0 -

Keterangan :
∑ = jumlah kontaminasi
K = jenis kontaminasi
J = jamur
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kultur jaringan dengan acara pembuatan media bertujuan
untuk mengetahui bagaimana cara membuat media yang baik dan benar serta
membedakan macam-macam media yang ada pada kultur jaringan. Sebelum
memulai praktikum ini maka praktikan harus mempersiapkan alat dan bahan yang
dibutuhkan.
Alat yang dibutuhkan dalam pembuatan media yaitu, beaker glass 1 liter
sebagai tempat larutan baku MS, autoklaf sebagai alat sterilisasi, stirer untuk
mengaduk agar semua larutan dapat tercampur menjadi homogen, timbangan
analitik untuk menimbang agarose dan gula sucrose, botol kultur (10 buah) untuk
memasukkan media yang agarnya sudah melarut, pipet untuk menambahkan naoh
1n, pipet volume untuk memindahkan larutan baku ms dalam beaker glass, ph
meter untuk mengukur ph sebesar 7, botol semprot yang berisi alcohol agar
ruangan, alat dan bahan, serta praktikan tetap steril, kertas aluminium foil (10
buah) untuk menutupi botol kuljar yang telah berisi media, kertas biasa untuk
wadah agar dan gula sucrose, kertas label untuk menandai pada botol kultur. Alat-
alat tulis untuk menulis pada kertas label, pemanas (kompor) untuk melarutkan
agar dan juga centong untuk mengaduk media pada saat dipanaskan
Alat yang dibutuhkan dalam pembuatan media yaitu larutan Baku MS
untuk 250 ml media yang terdiri dari, stok a dan stok b (5ml), stok c dan stok d
(2,5ml), stok e dan stok f (1,25ml), vitamin (mio inositol 2,5ml dan vit yang lain
0,25ml), karbohidrate (gula sucrose 30gr). Setelah itu dapat ditambahkan Zat
Pengatur Tumbuh (ZPT) dengan perlakuan yang berbeda pada setiap kelompok.
Perlakuan ZPT dengan MS 0 pada kelompok 1, perlakuan dengan menggunakan
NAA 0,25 ppm dan BAP 1 ppm pada kelompok 2, perlakuan dengan
menggunakan NAA 1 ppm dan BAP 0, 25 ppm pada kelompok 3, perlakuan
dengan BAP 0,5 ppm pada kelompok 4, perlakuan dengan 2,4 D 0,5 ppm pada
kelompok 5.
Selain itu aquades, gula sucrose sebanyak 30 gr, Agarose sebanyak 8gr,
NaOH 1 N dan HCL 1 N untuk mengatur pH. Segera setelah semuanya siap baru
dimulai proses pembuatan media kultur jaringan sebanyak 250 ml yaitu dengan
menyiapkan semua larutan baku MS, mengambil larutan baku sesuai ketentuan
dan menuang ke dalam beaker glass 1 liter yang sudah terisi aquades 300 ml,
menimbang gula 30 gr dan 8 gr bahan pemadat (agar) dan memasukkan ke dalam
beker glass, mengaduk campuran di atas stirer dan mengukur derajat keasaman
dengan pH meter 7, menggunakan NaOH 1N untuk mengaturnya, menambahkan
aquades hingga mencapai 1000 ml, mendidihkan larutan di atas perapian sampai
agar larut. Agar merupakan bahan pemadat yang merupakan campuran beberapa
polisakharida. Kandungan dalam agar meliputi unsur Ca, Mg, K dan Na dalam
jumlah yang sedikit. Agar dapat membeku pada 45oC dan mencair pada suhu
100oC. Hal ini merupakan kelebihan dari agar yang tidak dapat dicerna oleh enzim
yang dihasilkan suatu kultur apabila masa penkulturan. Setelah larut menuangkan
media dalam keadaancair ke dalam botol – botol dengan ukuran ketebalan 1 cm,
menutup semua botol kultur dengan aluminium foil, dan menandai menurut jenis
medianya.
Setelah semuanya selesai botol–botol berisi media dapat disterilkan
didalam autoclave selama 30 menit temperatur 121°c tekanan yang biasa
digunakan antara 15-17,5 psi (pound per square inci) atau 1 atm. Lama proses
sterilisasi dilihat dari volume dan jenis. Alat dan air disterilkan membutuhkan
waktu selama 1 jam, tetapi untuk proses sterilisasi media kultur jaringan antara
20-40 menit tergantung dari volume bahan yang disterilkan. Dalam hal sterilisasi
ruangan umumnya menggunakan alkohol 70% karena fungsi dari alkohol 70%
dalam menyeterilkan bahan tanam atau media tanam lebih aman. Setelah proses
sterilisasi berhasil praktikan harus menyimpan media pada ruangan dengan suhu ±
21oC sambil menguji kesterilannya selama 6 x 24 jam, media steril yang tidak ada
kontaminannya dapat digunakan dalam proses penanaman.
Setelah dilakukan pengamatan diperoleh hasil bahwa tidak adanya
kontaminan yang terjadi. Dalam tabel telah disebutkan bahwa ke-5 media dalam
botol kultur yang telah dibuat selama 6 hari pengamatan tidak ditemukan adanya
kontaminasi. Berdasarkan tabel pada hari pertama dilakukan pengamatan, jumlah
kontaminan (dalam ∑) adalah 0 dan untuk jenis kontaminan (dalam K) adalah -
pada ke-5 media. Pada hari kedua dilakukan pengamatan, jumlah kontaminan
(dalam ∑) adalah 0 dan untuk jenis kontaminan (dalam K) adalah - pada ke-5
media. Pada hari ketiga dilakukan pengamatan, jumlah kontaminan (dalam ∑)
adalah 0 dan untuk jenis kontaminan (dalam K) adalah - pada ke-5 media. Pada
hari keempat dilakukan pengamatan, jumlah kontaminan (dalam ∑) adalah 0 dan
untuk jenis kontaminan (dalam K) adalah - pada ke-5 media. Pada hari kelima
dilakukan pengamatan, jumlah kontaminan (dalam ∑) adalah 0 dan untuk jenis
kontaminan (dalam K) adalah - pada ke-5 media. Pada hari keenam yang
merupakan hari terakhir dilakukan pengamatan, jumlah kontaminan (dalam ∑)
adalah 0 dan untuk jenis kontaminan (dalam K) adalah - pada ke-5 media.
Tidak adanya kontaminan dikarenakan alat-alat yang digunakan, ruang
kerja saat pembuatan media, dan praktikan yang melakukan pembuatan media
dalam keadaan steril. Karena kondisi yang steril akan menentukan berhasil
tidaknya suatu kegiatan kultur jaringan. Jika kondisinya tidak steril, maka akan
mudah terjadi kontaminasi sehingga kemampuan totipotensi sel pada kultur akan
terhambat.
Vitamin yang dapat sering digunakan dalam media kultur jaringan
tanaman, adalah thiamine (vitamin B1), Nicotinic acid (niacin) dan pyridoxine
(vitamin B6). Thiamine merupakan vitamin yang esensial dalam kultur jaringan
tanaman. Nicotinic acid, penting keberadaannya di dalam media kultur akar tomat,
ercis dan lobak, begitu juga pyroxidin diperlukan dalam kultur akar tomat.
Satu hal yang seringkali diabaikan adalah perubahan pH pada media akibat
proses pemanasan dengan autoklaf yang terjadinya penguapan selama proses hal
ini dapat menyebabkan penurunan pH pada media. Pengukuran pH menggunakan
pH meter, media yang akan digunakan harus mempunyai pH netral tidak boleh
terlalu asam maupun basa dikarenakan guna menghindari penurunan pH yang
berlebihan atau melewati batas bawah toleransi pH dalam media. Batas toleransi
bawah pH pada media sekitar 5.5-5.8. Mengingat fungsi dari pH pada media dapat
mempengaruhi kelarutan hara, pengambilan hara oleh tanaman dalam kultur dan
pembekuan agar atau pengaruh terhadap morfologinya.
Sehingga dalam kultur jaringan, media merupakan salah satu factor
penentu keberhasilan suatu kultur jaringan. Menjadi suatu syarat untuk
mendukung kehidupan jaringan yang dibiakkan. Hal yang paling esensial adalah
wadah dan media tumbuh yang steril. Karena suatu media adalah tempat bagi
jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang diperlukan untuk kehidupan
jaringan. Oleh karena itu suatu media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang
diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya sama seperti tujuan
dari kultur jaringan. Berdasarkan buku Teknik Kultur Jaringan yang di karang
oleh Hendaryono, 1994 menyebutkan bahwa ada beberapa macam media dasar
yang pada umumnya diberi nama sesuai dengan nama penemunya, antara lain
adalah: Medium Dasar Murashige dan Skoog (MS) yang biasanya digunakan
untuk hampir berbagai macam tanaman, terutama tanaman yang masih dalam
herba (herbaceus). Hal ini dikarenakan media ini mempunyai konsentrasi garam-
garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+. Oleh
karena itu medium dasar Murashige dan Skoog (MS) yang paling sering
digunakan dalam berbagai jenis teknik kultur jaringan.
Medium yang kedua yaitu Medium dasar B5 atau Gamborg yang biasanya
digunakan untuk kultur suspensi sel kedelei, alfafa dan legum (kacang-kacangan)
lain. Medium jenis ketiga yaitu Medium dasar White yang biasanya digunakan
untuk kultur akar. Salah satu kelemahannya karena medium satu ini merupakan
medium dasar dengan konsentrasi garam-garam mineral yang rendah. Setelah itu
Medium Vacin Went (VW) yang memang hanya dapat digunakan khusus untuk
medium anggrek. Selanjutnya adalah Medium dasar Nitsch dan Nitsch yang
biasanya hanya digunakan untuk kultur tepungsari (pollen) dan kultur sel. Setelah
itu adalah Medium dasar Woody Plant Medium (WPM) yang biasanya digunakan
untuk tanaman yang berkayu. Medium selanjutnya yaitu Medium dasar Schenk
dan Hildebrandt yang biasanya digunakan untuk kultur jaringan tanaman
monokotil. Media yang terakhir adalah Medium dasar N6 yang hanya dapat
digunakan untuk tanaman serealia terutama padi.
Ada dua penggolongan media tumbuh berdasarkan bentuknya yaitu media
padat dan media cair. Media padat pada umumnya berupa padatan gel, seperti
agar. Nutrisi dicampurkan pada agar. Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan di
air. Media cair dapat bersifat tenang atau dalam kondisi selalu bergerak,
tergantung kebutuhan (Willadsen 1979 dalam buku Kuljar Skala Rumah Tangga
oleh Yuliarti, 2010)
Pada dasarnya hal yang harus diketahui sebelum membuat suatu media
yaitu mengetahui pengertian dari kultur jaringan yang menjadi salah satu teknik
dalam perbanyakan tanaman secara klonal dalam rangka perbanyakan masal.
Keuntungan yang diperoleh dalam pengadaan bibit melalui kultur jaringan antara
lain dapat diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam jumlah banyak dan
seragam, selain itu dapat diperoleh biakan yang steril atau pure (mother stock)
(Lestari dalam Endang, 2011 sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk
perbanyakan selanjutnya dapat dikulturkan dalam media buatan dengan kondisi
lingkungan yang steril dan terkendali.
Maka dari itu untuk mendapatkan hasil yang optimal dari teknik kultur
jaringan hal utama yang paling penting guna mencapai suatu keberhasilan dalam
kultur jaringan maka penggunaan media dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat
merupakan satu kombinasi media dasar dan zat pengatur tumbuh yang sesuai
dengan takaran akan meningkatkan aktivitas pembelahan sel dalam proses
morfogenesis dan organnogenesis pada tanaman yang hendak di kultur.
Dalam hal mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman
yang hendak dikultur, komposisi dalam media kultur telah diformulasikan dengan
kandungan unsur-unsur antara lain seperti unsur hara mikro, unsur hara makro,
gula yaitu sucrose, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan agar-agar. Hal ini
dikarenakan di dalamnya sudah terdapat konsentrasi yang tepat dan sesuai untuk
semua jenis eksplan. Konsentrasi dan kandungan hormon pertumbuhan yang
ditambahkan dalam media sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan
regenerasi eksplan yang dikulturkan sehingga sangat tergantung dari jenis eksplan
yang dikulturkan dan tujuan pengkulturannya. Konsentrasi hormone pertumbuhan
optimal yang ditambahkan ke dalam media tergantung pula dari eksplan yang
dikulturkan serta kandungan hormon pertumbuhan endogen yang berasal dari
jaringan tumbuhan pada eksplan yang hendak dikultur.
Hal ini yang mendasari bahwa mengapa media harus perlu ditambahkan
dengan sejumlah zat pengatur tumbuh yang sering digunakan terdiri dari golongan
sitokinin dan auksin. Sehingga aspek penting yang harus diperhatikan pada
komposisi suatu media yaitu kebutuhan terhadap zat pengatur tumbuh, khususnya
kombinasi dan konsentrasi dari zat pengatur tumbuh yang digunakan. Kombinasi
zat pengatur tumbuh dapat diberikan pada medium kultur konsentrasi yang lebih
rendah, berkisar 0, 1-2,0 mg/l (Zulkarnain dalam Triningsih, 2013).
Selain kombinasi zat tumbuh (ZPT) factor lain yang sangat penting adalah
sumber karbon yang merupakan salah satu penentu keberhasilan kultur jaringan.
Hal ini dikarenakan fungsinya sebagai sumber energi yang dibutuhkan oleh sel
untuk dapat melakukan pertumbuhan (Kimball dalam Ertina, 2011). Salah satu
sumber karbon yaitu glukosa dan fruktosa sebagai hasil hidrolisis sukrosa dapat
merangsang pertumbuhan beberapa jaringan. Hal ini dikarenakan konsentrasi
sukrosa berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus (Srilestari dalam Ertina, 2011).
Induksi kalus embrio somatik misalnya, kacang tanah pada media MS dengan
kandungan konsentrasi sukrosa 20 g/L, 30 g/L dan 40 g/L menunjukkan hasil
bahwasanya, pada media yang mengandung sukrosa 40 g/L, embrio tumbuh lebih
cepat dibandingkan pada media dengan konsentrasi sukrosa 20 g/L dan 30 g/L,
namun pada induksi kalus rimpang jahe konsentrasi sukrosa diatas 60 g/L dapat
menghambat (Marlin, 2005 & Srilestari, 2005 dalam Ertina, 2011).
Kegunaan auksin mempunyai peran yang ganda tergantung pada struktur
kimia, konsentrasi, dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan. Karena umumnya
auksin hanya digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus, kultur suspensi,
dan akar, yaitu dengan memacu pemanjangan dan pembelahan sel di dalam
jaringan kambium (George dalam Rainiyati). Pada konsentrasi rendah auksin akan
memacu pembentukan akar adventif, sedangkan dalam hal memacu pembentukan
kalus embriogenik dan struktur embrio somatik seringkali auksin diperlukan
dalam konsentrasi yang relatif tinggi.
Terdapat dua kelompok zat pengatur tumbuh yang paling sering digunakan
dalam kultur jaringan, yaitu auksin, seperti NAA dan IBA, serta sitokinin seperti
BAP. Penggunaan auksin (NAA atau IBA) bersama sitokinin (BAP) pada
konsentrasi yang sudah di tetapkan dapat memacu pertumbuhan eksplan, terutama
dalam pembentukan daun, tunas dan ruas yang intensif. Pertumbuhan eksplan
yang sangat dikehendaki, terutama pada tahap multiplikasi suatu kultur. Faktor
yang menentukan keberhasilan pelaksanaan kultur jaringan salah satunya adalah
genotipe (varietas) tanaman serta komposisi media yang digunakan. Dari beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa setiap genotipe (varietas) tanaman
membutuhkan komposisi media tertentu guna mendukung pertumbuhan eksplan
yang optimal. Tanaman dihasilkan dari regenerasi jaringan pada kultur in vitro
memungkinkan mempunyai fenotip yang toleran terhadap kondisi seleksi. Karena
seleksi pada in vitro lebih efisien karena kondisi seleksi dapat dibuat homogen,
tempat yang relative sedikit dengan efektivitas yang tinggi (Kadir dalam Erni).
Fungsi lain dari zat pengatur tumbuh tanaman berperan dalam mengontrol
proses biologi dalam jaringan tanaman yang diantaranya dengan mengatur
kecepatan pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan mengintegrasikan setiap
bagian guna menghasilkan bentuk yang lengkap sebagai tanaman. Aktivitas zat
pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur kimia,
konsentrasi, genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi dalam
Mirni, 2011).
Adanya interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen yang ditambahkan
ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh endogen yang dihasilkan oleh
jaringan tanaman yang merupakan proses penting dalam pembentukan organ
seperti tunas dan atau akar. Hal ini dikarenakan dapat mengubah level zat
pengatur tumbuh endogen sel. Maka dalam hal penambahan auksin atau sitokinin
ke dalam media kultur akan dapat meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh
endogen di dalam sel, sehingga menjadi “faktor pemicu” dalam proses tumbuh
kembang jaringan dalam memacu pembentukan tunas dapat dilakukan dengan
memanipulasi dosis auksin dan sitokinin eksogen (Poonsapaya et al., dalam
Mirni, 2011).
Zat pengatur tumbuh auksin dapat berpengaruh terhadap pemanjangan sel,
pembentukan kalus dan akar adventif namun juga dapat menghambat
pembentukan tunas aksilar. Penggunaan auksin dalam konsentrasi rendah akan
memacu pembentukan akar adventif, sedangkan penggunaan auksin dalam
konsentrasi tinggi mendorong pembentukan kalus (Pierik dalam Rainiyati, 2009).
Dalam kultur jaringan jenis auksin yang sering dipakai adalah IAA (Indoleacetic
Acid), 2,4-D (2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid), IBA (Indolebutyric Acid) dan
NAA (Naphtaleneacetic Acid) (George dalam Rainiyati, 2009).
Sama halnya dengan auksin, zat pengatur tumbuh sitokinin yang berperan
dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Fungsi dari aktivitas utama
sitokinin adalah untuk mendorong pembelahan sel, menginduksi pembentukan
tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar. Namun
sitokinin juga aktif menghambat perombakan protein dan klorofil dan
menghambat penuaan (senescence). Dalam kultur jaringan jenis sitokinin yang
sering dipakai adalah BAP (Benzylamino Purine) dan kinetin (George dalam
Rainiyati, 2009).
Salah satu zat pengatur tumbuh 2.4-D berperan sebagai inisiasi kalus dan
induksi kalus yang dilakukan dengan jalan memacu pembelahan sel secara terus
menerus dari bagian tanaman tertentu seperti daun, akar, batang, dan sebagainya
dengan menggunakan zat pengatur tumbuh hingga terbentuk massa sel. Massa sel
(kalus) tersebut selanjutnya akan beregenerasi melalui organogenesis ataupun
embriogenesis hingga menjadi tanaman lengkap (Mirni Ulfa Bustami, 2011)
dengan adanya BA maka pembentukan tunas adventif menjadi lebih aktif.
Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung pada tujuan
atau arah pertumbuhan tanaman yang diinginkan. Pada metode in vitro,
diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh seperti auksin dan sitokinin. NAA
(Naphtalen Asam Asetat) yang merupakan golongan auksin untuk perangsang
akar dan BAP (Benzyl Amino Purin) sebagai sitokinin untuk merangsang tunas
(Triningsih, 2013). Oleh karena itulah keseimbangan penggunaan zat pengatur
tumbuh auksin dan sitokinin yang sesuai memberikan pengaruh yang sangat besar
untuk menghasilkan plantlet dari tanaman yang hendak dikulturkan.
Pembuatan media media merupakan unsur penting dalam memulai suatu
teknik kultur jaringan yang menjadi alas an dan mendasari tujuan dari suatu media
kultur jaringan sebagai suatu formulasi media sangat baik untuk memacu
pertunasan pada tahap awal sampai subkultur keenam, namun pada subkultur
berikutnya menjadi tidak begitu baik (karena semua biakan menghitam, layu, dan
mati). Hal tersebut terjadi karena terdapat komponen organik tertentu yang tidak
baik digunakan pada jaringan yang sudah mengalami periode kultur in vitro lama.
Formulasi media baru yang lebih sederhana komponen organiknya dicoba dan
biakan mengalami penyembuhan serta tumbuh normal kembali. Bahwa untuk
memecahkan sistem regenerasi tanaman tidaklah mudah. Karena masih banyak
hal yang harus dipelajari dan dikuasai seperti mekanisme fisiologi, daya aktivitas,
laju transportasi, sifat persistensi, daya aktivitas dari berbagai komponen yang ada
(Mariska, 2009).
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Cara pembuatan media dengan benar yaitu dengan mengikuti langkah-
langkah yang sudah ditentukan, langkah pertama adalah menyiapkan
semua larutan baku MS dan mengambilnya sesuai ketentuan menggunakan
pipet volume. Menimbang gula 30 gr dan 8 gr bahan pemadat (agar)
dengan menggunakan timbangan analitik. Mengaduk campuran di atas
stirer dan mengukur derajat keasaman dengan pH meter, menggunakan
NaOH dan HCL untuk mengaturnya. Menuangkan media yang larut dalam
keadaan cair ke dalam botol kultur dengan ketebalan 1 cm. Menutup
semua botol dengan aluminium foil, Mensterilkan botol – botol berisi
media di dalam autoclave selama 30 menit temperatur 121 °C tekanan 17,5
psi. Setelah itu media dapat di simpan di ruangan yang steril. Semua hal
yang berkaitan dengan media harus dalam keadaan steril hal ini
dikarenakan kondisi yang steril akan menentukan berhasil tidaknya suatu
kegiatan kultur jaringan. Jika kondisinya tidak steril, maka akan mudah
terjadi kontaminasi sehingga kemampuan totipotensi sel pada kultur akan
terhambat. Karena suatu media adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh
dan mengambil nutrisi yang diperlukan untuk kehidupan jaringan.
2. Perbedaan media dapat dibedakan dari segi jenis dan juga bentuknya.
Berdasarkan jenisnya media ada berbagai macam yaitu medium dasar
Murashige dan Skoog (MS) yang paling sering digunakan dalam berbagai
jenis teknik kultur jaringan. Medium yang kedua yaitu Medium dasar B5
atau Gamborg yang biasanya digunakan untuk kultur suspensi sel kedelei,
alfafa dan legum (kacang-kacangan) lain. Medium jenis ketiga yaitu
Medium dasar White yang biasanya digunakan untuk kultur akar. Salah
satu kelemahannya karena medium satu ini merupakan medium dasar
dengan konsentrasi garam-garam mineral yang rendah. Setelah itu
Medium Vacin Went (VW) yang memang hanya dapat digunakan khusus
untuk medium anggrek. Selanjutnya adalah Medium dasar Nitsch dan
Nitsch yang biasanya hanya digunakan untuk kultur tepungsari (pollen)
dan kultur sel. Setelah itu adalah Medium dasar Woody Plant Medium
(WPM) yang biasanya digunakan untuk tanaman yang berkayu. Medium
selanjutnya yaitu Medium dasar Schenk dan Hildebrandt yang biasanya
digunakan untuk kultur jaringan tanaman monokotil. Media yang terakhir
adalah Medium dasar N6 yang hanya dapat digunakan untuk tanaman
serealia terutama padi hal ini ditegaskan dalam buku Teknik Kultur
Jaringan karangan Hendaryono, 1994). Media berdasarkan bentuknya
yaitu media padat dan media cair. Media padat pada umumnya berupa
padatan gel, seperti agar. Nutrisi dicampurkan pada agar. Media cair
adalah nutrisi yang dilarutkan di air. Media cair dapat bersifat tenang atau
dalam kondisi selalu bergerak, tergantung kebutuhan hal ini ditegaskan
(Willadsen 1979 dalam buku Kuljar Skala Rumah Tangga oleh Yuliarti,
2010)

5.2 Saran
Dalam hal menaikkan keberhasilan pada praktikum ini, adapun beberapa
saran yang pastinya perlu untuk diperhatikan, yaitu
1. Sangat memperhatikan kesterilan alat dan bahan dan memastikan semuanya
dalam keadaan steril.
2. Selalu memakai jas praktikum saat praktikum maupun pada saat
pengamatan baik pada praktikan maupun asisten laboratorium untuk
menghindari adanya kontaminasi.
DAFTAR PUSTAKA

Hendaryono, Daisy P Sriyanti; Wijayanti, Ari. 1994. Teknik Kultur Jaringan


Cetakan ke-13. Yogyakarta: Kanisius

Endang G. Lestari. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan


Tanaman melalui Kultur Jaringan. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
Jurnal AgroBiogen 7(1):63-68

Erni Royani Harahap, Luthfi A. M Siregar, Eva Sartini Bayu. 2013.


PERTUMBUHAN AKAR PADA PERKECAMBAHAN BEBERAPA
VARIETAS TOMAT DENGAN PEMBERIAN POLYETHYLENE
GLIKOL (PEG) SECARA IN VITRO. Jurnal Online Agroekoteknologi
Vol.1, No.3, Juni 2013 ISSN No. 2337- 6597

Ertina Novaria Sitorus, Endah Dwi Hastuti dan Nintya Setiari. 2011. Induksi
Kalus Binahong (Basella rubra L.) Secara In Vitro Pada Media
Murashige & Skoog Dengan Konsentrasi Sukrosa Yang Berbeda.
BIOMA, Juni 2011 ISSN: 1410-8801 Vol. 13, No. 1
Mariska, Ika. 2009. Perkembangan Penelitian Kultur In Vitro pada Tanaman
Industri, Pangan, dan Hortikultura. Buletin AgroBio 5(2):45-50 VOL 5,
NO. 2

Marlin, Yulian, dan Hermansyah. 2012. INISIASI KALUS EMBRIOGENIK


PADA KULTUR JANTUNG PISANG ‘CURUP’ DENGAN
PEMBERIAN SUKROSA, BAP DAN 2,4-D. Initiation of embryogenic
callus formation of Banana ‘Curup’ male bud culture supplemented
with sucrose, BAP, and 2,4-D. J. Agrivigor 11(2): 275-283, Mei –
Agustus 2012; ISSN 1412-2286

Mirni Ulfa Bustami. 2011. PENGGUNAAN 2, 4-D UNTUK INDUKSI


KALUS KACANG TANAH. Media Litbang Sulteng IV (2): 137 – 141,
Desember 2011 ISSN: 1979 – 5971

Rainiyati, Dede Martino, Gusniwati dan Jasminarni. 2009. THE


DEVELOPMENT OF BANANA (Musa sp.) CV. RAJA NANGKA
VIA TISSUE CULTURE USING SUCKER AND FLORAL
MERISTEM EXPLANTS. Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari –
Juni 2009 ISSN 1410-1939
Triningsih, Luthfi A. M Siregar, Lollie A. P. Putri. 2013. PERTUMBUHAN
EKSPLAN PUAR TENANGAU (Elettariopsis sp.) SECARA IN
VITRO. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.2, Maret 2013 ISSN
No. 2337- 6597

Yuliarti, Nurheti. 2010. KULTUR JARINGAN TANAMAN SKALA RUMAH


TANGGA. Yogyakarta: Lily Publisher 1

Anda mungkin juga menyukai