Anda di halaman 1dari 14

Perbandingan PER-UU-AN Terkait Narkotika,Psikotropika & Prekursor

ASPEK NARKOTIK PSIKOTROPIK PREKURSOR


Izin Edar UU no 36 tahun PMK no 03 tahun PMK no 03 tahun
2009 (1)(3), 2015 Pasal 5 (1)(2) 2015 Pasal 5 (1)(2)
PMK no 03 tahun
2015 Pasal 5 (1)(2).
Produksi PMK no 3 tahun PMK no 3 tahun PMK no 3 tahun
2016 pasal 6, pasal 2016 pasal 29 2016 pasal 35
24, pasal 28
Peredaran PMK no 3 tahun PMK no 3 tahun PMK no 3 tahun
2016 pasal 8, Pasal 2016 pasal 8, Pasal 2016 pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 15, 9, Pasal 13, Pasal
11, Pasal 14,Pasal pasal 18, Pasal 19 15, pasal 18
15, pasal 18, Pasal
19
Ekspor & Impor PP No 10 tahun PP No 10 tahun PP No 10 tahun
2013 pasal 2, pasal 2013 pasal 2, Pasal 4 2013 pasal 2, Pasal
3, Pasal 6, Pasal 20, (1) (3), pasal 7, 4(1) (3), Pasal 8 (1)
Pasal 23, Pasal 30, Pasal 8 (1)(2)(3), (3), Pasal 13, Pasal
Pasal 31 Pasal 13, Pasal 23, 23, Pasal 31
Pasal 31
Label, Publikasi & Iklan UU No.35 tahun
2009 Pasal
45(1)(2)(3) , Pasal 46
Distribusi PP no 40 tahun
2013 Pasal 50 (1) .
PMK no 03 tahun
2015 Pasal 8
Pelayanan Kefarmasian UU no 36 tahun
2009 Pasal 7 , Pasal
8 (1), Pasal 9 (1),
Pasal 35, Pasal147.
PMK no 26 tahun
2014 Pasal 18
(1)(2)(3)(4)
Pengobatan, Rehabilitasi UU no 35 tahun
2009 Pasal 55
(1)(2), Pasal 56
(1)(2), Pasal 57,
Pasal 58.
PP no 25 tahun
2011 Pasal 13,
Pasal 17
Pencegahan & UU no 35 tahun
pemberantasan 2009 Pasal 76 dan
Pasal 71.
PP no 40 tahun
2013 Pasal 1 (30)
Perlakuan Terhadap
Pengguna/Pecandu
Pencatatan & Pelaporan UU no 35 tahun PMK no 03 tahun PMK no 03 tahun
2009 Pasal 14 (2), 2015 Pasal 43 2015 Pasal 43
Pasal 52. (1)(2)(3)(4) (1)(2)(3)(4)
PP no 40 tahun
2013 pasal 2
(1)(2)(3)(4) . PMK
no 26 tahun 2014
Pasal 7.
PMK no 03 tahun
2015 Pasal 43
(1)(2)(3)(4)
Peran Serta Masyarakat UU no 35 tahun
2009 Pasal 104,
Pasal 105, Pasal
106 dan Pasal 107
Pemusnahan/Penghapusan UU no 35 tahun PMK no 03 tahun PMK no 03 tahun
2009 Pasal 91 2015 Pasal 37, Pasal 2015 Pasal 37, Pasal
(2)(3) Pasal 92 (2). 38 (2)(33), Pasal 39, 38 (2)(33), Pasal 39,
PP 40 tahun 2013 Pasal 40, Pasal 41 Pasal 40, Pasal 41
Pasal 25 (1), Pasal
26(1)(2)(3), Pasal
27 (1), Pasal 28
(1)(2)(3), Pasal 29,
Pasal 30 (1)(2).
PMK no 03 tahun
2015 Pasal 37,
Pasal 38 (2)(33),
Pasal 39, Pasal 40,
Pasal 41
Keterangan:

1. Izin Edar
Undang Undang no 35 tahun 2009 tentang Narkotik
Pasal 36 (1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin
edar dari Menteri.
Pasal 36 (3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi harus
melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
PMK no 03 Tahun 2015 tentang Peredaran,Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika danPrekursor Farmasi
Pasal 5 (1) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat
diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
Pasal 5 (2) Untuk mendapatkan izin edar Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.

2. Produksi
PMK no 3 tahun 2016 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotik,
Psikotropika, dan Prekursor
Pasal 6 Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau Instalasi Farmasi
Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib memiliki izin khusus dari Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24 Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di fasilitas
produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu
menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi.
Pasal 28 Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika harus memiliki tempat penyimpanan
Narkotika berupa gudang khusus, yang terdiri atas:
a. gudang khusus Narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
b. gudang khusus Narkotika dalam bentuk obat jadi.
Pasal 29 Industri Farmasi yang memproduksi Psikotropika harus memiliki tempat penyimpanan
Psikotropika berupa gudang khusus atau ruang khusus, yang terdiri atas:
a. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk bahan baku; dan
b. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk obat jadi.
Pasal 35 Industri Farmasi yang menggunakan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku untuk
memproduksi Prekursor Farmasi atau PBF yang menyalurkan Prekursor Farmasi dalam bentuk
bahan baku harus memiliki tempat penyimpanan Prekursor Farmasi berupa gudang khusus atau
ruang khusus.

3. Peredaran
PMK no 3 tahun 2016 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotik,
Psikotripika, dan Prekursor
Pasal 8 Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi Cara
Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9 Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan
berdasarkan:
a. surat pesanan; atau
b. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari
Puskesmas.
Pasal 10 Penyaluran Narkotika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan.
Pasal 11 Penyaluran Narkotika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada Industri Farmasi
dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
Pasal 12 Penyaluran Psikotropika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh PBF
yang memiliki izin sebagai IT Psikotropika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga
Ilmu Pengetahuan.
Pasal 13 Penyaluran Prekursor Farmasi berupa zat/bahan pemula/bahan kimia atau produk
antara/produk ruahan hanya dapat dilakukan oleh PBF yang memiliki izin IT Prekursor
Farmasi kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
Pasal 14 Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi
hanya dapat dilakukan oleh:
a. Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi Farmasi Pemerintah;
b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan;
c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada Industri
Farmasi, untuk penyaluran Narkotika;
d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara
Nasional Indonesia atau Kepolisian; dan
e. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik
Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik milik Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.
Pasal 15 Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi oleh
Industri Farmasi kepada PBF hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi pemilik izin
edar.
Pasal 18 Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi kepada pasien, harus
dilaksanakan oleh Apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian.
Pasal 19 Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh:
a. Apotek;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik; dan
e. dokter.

4. Ekspor dan impor


PP no 10 tahun 2013 tentang Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Pasal 2 Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 3 Impor Narkotika hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) perusahaan PBF milik negara yang telah
memiliki izin khusus sebagai importir dari Menteri

Pasal 4 (1) Impor Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi,
PBF, atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.

Pasal 4 (3) Lembaga Ilmu Pengetahuan tidak memerlukan izin sebagai importer Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi.

Pasal 6 Perusahaan PBF milik negara yang memiliki izin khusus sebagai importir Narkotika hanya dapat
menyalurkan Narkotika yang diimpornya kepada Industri Farmasi yang telah memiliki izin
khusus untuk memproduksi Narkotika atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.

Pasal 7 IP Psikotropika dan/atau IP Prekursor Farmasi dilarang memperdagangkan dan/atau


memindahtangankan

Pasal 8 (1) Psikotropika dan/atau IT Prekursor Farmasi hanya dapat mengimpor Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi berdasarkan pesanan dari Industri Farmasi atau Lembaga Ilmu
Pengetahuan.

Pasal 8 (2) Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi sebagaimana wajib didistribusikan secara langsung
kepada Industri Farmasi atau Lembaga Ilmu Pengetahuan pemesan.

Pasal 8 (3) Industri Farmasi atau Lembaga Ilmu Pengetahuan pemesan dilarang memperdagangkan
dan/atau memindahtangankan Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi

Pasal 13 Izin IP Psikotropika/IP Prekursor Farmasi atau Izin IT Psikotropika/IT Prekursor Farmasi
berlaku selama jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperbaharui dengan memenuhi
persyaratan.

Pasal 20 Ekspor Narkotika hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) perusahaan PBF milik negara yang telah
memiliki izin khusus sebagai eksportir dari Menteri.

Pasal 23 Dalam rangka pelaksanaan Ekspor, eksportir yang memiliki izin khusus sebagai eksportir
Narkotika, EP Psikotropika/EP Prekursor Farmasi, atau ET Psikotropika/ET Prekursor
Farmasi wajib menyampaikan informasi secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan

Pasal 31 Perusahaan PBF milik negara yang melaksanakan Impor dan/atau Ekspor Narkotika, atau
Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu Pengetahuan yang melaksanakan impor dan/atau ekspor
Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi wajib melakukan pencatatan dan menyimpan catatan
mengenai pemasukan dan pengeluaran Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi yang
berada dalam penguasaannya.

Pasal 30 Terhadap permohonan izin sebagai importir/eksportir Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi
atau perpanjangannya dan permohonan SPI/SPE Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor
Farmasi atau perpanjangannya, serta permohonan Analisa Hasil Pengawasan, dikenai biaya
sebagai penerimaan negara bukan pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Label dan periklanan


UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 45 (1) Wajib mencantumkan label pada kemasan obat jadi ataupun bahan baku Narkotika

Pasal 45 (2) Label dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain
disertakan pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau
merupakan bagian dari wadah, dan/atau kemasannya

Pasal 45 (3) Label kemasan Narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan

Pasal 46 Tidak boleh dipublikasikan ditempat lain selain dipublikasikan pada media cetak ilmiah
kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi

PP No. 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang Undang no 35 tahun 2009

Pasal 51 (2) Ketentuan mengenai label yang memuat penandaan dan informasi yang lengkap,
obyektif, dan tidak menyesatkan

6. Distribusi
PP no 40 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang Undang no 35 tahun 2009
Pasal 50 (1) Pembinaan dalam rangka memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dilaksanakan dengan:
a. menyusun rencana kebutuhan Narkotika yang tepat dan akurat berdasarkan data
pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi Produksi tahunan;
b. membuat pedoman pengadaan, penyimpanan, pendistribusian atau penyaluran,
pengendalian dan pengawasan Narkotika secara nasional;
c. melaksanakan pengendalian terhadap Produksi Narkotika sesuai rencana
kebutuhan tahunan; dan
d. menjamin Peredaran Narkotika pada sarana distribusi yang sah dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
PMK no 03 tahun 2015 tentang Peredaran,Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi.
Pasal 8 Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi Cara
Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Pelayanan Kefarmasian
Undang Undang no 36 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 7 Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 8 (1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Pasal 9 (1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 35 Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran
atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan
maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 147 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
a. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana
penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan
Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
PMK no 26 tahun 2014 tentang Rencana Kebutuhan Narkotik,Psikotropik, Prekursor
Pasal 18 (1) Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan
dalam bentuk obat jadi.
Pasal 18 (2) Dalam hal Penyerahandilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker
di fasilitas pelayanan kefarmasian.
Pasal 18 (3) Penyerahan dilakukan secara langsung sesuai dengan standar pelayanan
kefarmasian.
Pasal 18 (4) Dikecualikan dari ketentuan penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk
golongan obat bebas terbatas di Toko Obat dilakukan oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian.

8. Pengobatan dan Rehabilitasi


Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 55 (1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Pasal 55 (2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan
oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah
untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Pasal 56 (1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh
Menteri.
Pasal 56 (2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau
masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat
persetujuan Menteri.
Pasal 57 Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu
Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui
pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 58 Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi
pemerintah maupun oleh masyarakat.
PP no 25 tahun 2011 tentang Wajib Lapor Candu Narkotika
Pasal 13 (1) Pecandu Narkotika yang telah melaksanakan Wajib Lapor wajib
menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sesuai dengan rencana
rehabilitasi.
(2) Kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berlaku juga
bagi Pecandu Narkotika yang diperintahkan berdasarkan:
a. putusan pengadilan jika Pecandu Narkotika terbukti bersalah melakukan tindak
pidana Narkotika;
b. penetapan pengadilan jika Pecandu Narkotika tidak terbukti bersalah melakukan
tindak pidana Narkotika.
(3) Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan
dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial.
(4) Penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial
merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat
pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Dokter.
(5) Ketentuan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi social
berlaku juga bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penempatan dalam lembaga
rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi
dengan instansi terkait.
Pasal 17 (1) Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui rawat jalan atau rawat inap sesuai
dengan rencana rehabilitasi dengan mempertimbangkan hasil asesmen.
(2) Rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lembaga
rehabilitasi sosial sesuai dengan rencana rehabilitasi dengan mempertimbangkan hasil
asesmen.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi medis diatur dengan
Peraturan Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi sosial diatur dengan
Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
9.Pencegahan dan Pemberantasan
Undang Undan nomo 35 tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 70 BNN mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam
pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Pasal 71 Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan
penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
PP no 40 tahun 2013 tentang pelaksanaan Undang Undang no 35 tahun 2009
Pasal 1 (30) Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat BNN adalah Lembaga
Pemerintah Non Kementerian yang bertanggung jawab dibidang pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika.

10. Perlakuan terhadap pengguna atau pecandu

11. Pencatatan dan Pelaporan


Undang Undang no 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 14 (2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter,
dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan
laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada
dalam penguasaannya.
Pasal 52 Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan
dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
PP no 40 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang Undang no 35 tahun 2009
Pasal 2 (1) Penanggung Jawab Pengangkut yang melakukan Transito Narkotika wajib
melaporkan Narkotika yang ada dalam penguasaannya kepada Kepala Kantor Bea
dan Cukai setempat.
Pasal 2 (2) Kewajiban melaporkan Narkotika disampaikan paling lama 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam setelah Narkotika tiba di bandar udara, pelabuhan, atau perbatasan
antar negara.
Pasal 2 (3) Laporan sekurang-kurangnya memuat:
a. nama dan alamat Pengangkut;
b. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor;
c. nama Sarana Pengangkut dan nomor penerbangan atau pelayaran;
d. negara pengekspor dan pengimpor;
e. lamanya Transito Narkotika;
f. tempat penyimpanan khusus Narkotika; dan
g. nama, bentuk, jumlah, jenis, dan golongan Narkotika.
Pasal 2 (4) Laporan harus dilengkapi dengan dokumen atau SPE Narkotika yang sah dari
pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau SPI Narkotika yang sah dari
pemerintah negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di negara pengekspor dan negara pengimpor.
PMK no 26 tahun 2014
Pasal 7 Data pencatatan dan pelaporan yang digunakan untuk menyusun Rencana Kebutuhan
Tahunan Narkotika dan Psikotropika terdiri dari:
a. rencana kebutuhan dari Industri Farmasi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan;
b. laporan penggunaan dari fasilitas pelayanan kesehatan dan Lembag Ilmu
Pengetahuan;
c. laporan realisasi produksi dan peredaran dari Industri Farmasi;
d. laporan realisasi impor dan ekspor dari importir dan eksportir; dan
e. laporan ketersediaan dari instalasi farmasi pemerintah.
PMK 03 tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan
Narkotika dan Psikotropika dan Prekursor Farmasi.
Pasal 43 (1) Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau
dokter praktik perorangan yang melakukan produksi, Penyaluran, atau Penyerahan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi.
Pasal 43 (2) Toko Obat yang melakukan penyerahan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi
wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi.
Pasal 43 (3) Pencatatan paling sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi;
b. jumlah persediaan;
c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
d. jumlah yang diterima;
e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan;
f. jumlah yang disalurkan/diserahkan;
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan; dan
h. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
Pasal 43 (4) Pencatatan yang dilakukan harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan
dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor dan/atau dokumen
penyerahan.

12. Peran Serta Masyarakat


UU No 35 Tahun 2009
Pasal 104 Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
Pasal 105 Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
Pasal 106 Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam
bentuk:
a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak
hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada
penegak hukum atau BNN;
e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan
haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.
Pasal 107 Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui
adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

13. Pemusnahan/Penghapusan
Undang Undang no 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 91 (2) Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada dalam penyimpanan
dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib
dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima
penetapan pemusnahan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
Pasal 91 (3) Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu paling lama 1 x 24
(satu kali dua puluh empat) jam sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan
menyerahkan berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia setempat dan tembusan berita acaranya disampaikan
kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat,
Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 92 (2) Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan daerah yang sulit terjangkau
karena faktor geografis atau transportasi, pemusnahan dilakukan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari.
PP no 40 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang Undang no 35 tahun 2009
Pasal 25 (1) Dalam hal terdapat sisa dari penggunaan untuk kepentingan pengembangan
ilmupengetahuan dan teknologi, dan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan,
kementerian/lembaga yang bersangkutan wajib melakukan Pemusnahan terhadap barang
yang sudah daluwarsa.
Pasal 26 (1) Pelaksanaan Pemusnahan Barang Sitaan dilakukan oleh:
a. penyidik BNN dan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan
penetapan kepala kejaksaan negeri setempat; dan
b. jaksa berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 26 (2) Selain Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyidik BNN dan
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, dapat melakukan Pemusnahan Barang
Sitaan berupa tanaman Narkotika tanpa melalui penetapan kepala kejaksaan negeri
setempat, termasuk:
a. sisa dari hasil Pengujian Sampel laboratorium; atau
b. setelah digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan
dan pelatihan, dan tidak digunakan lagi karena rusak atau sudah tidak memenuhi
persyaratan.
Pasal 26 (3) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dibuatkan berita
acara oleh penyidik BNN dan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, bentuk, warna, sifat, dan jumlah barang, atau berat Barang Sitaan;
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya
Pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman Narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Pasal 27 (1) Dalam melaksanakan Pemusnahan, penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia wajib mengundang pejabat kejaksaan, Kementerian Kesehatan,
Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan/atau pejabat lain terkait serta anggota
masyarakat setempat sebagai saksi.
Pasal 28 (1) Pelaksanaan Pemusnahan Barang Sitaan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan penetapan kepala
kejaksaan negeri setempat, wajib dibuatkan berita acara dalam waktu paling lama 1
x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak Pemusnahan dilakukan, yang sekurang-
kurangnya memuat:
a. nomor dan tanggal surat penetapan dari kejaksaan negeri;
b. nama, jenis, bentuk, warna, sifat, dan jumlah barang, berat atau butir Barang
Sitaan yang dimusnahkan;
c. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya
Pemusnahan;
d. nomor dan tanggal berita acara penyimpanan; dan
e. tanda tangan dan identitas lengkap penyidik BNN atau penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang melakukan Pemusnahan dan 2 (dua) orang saksi.
Pasal 28 (2) Pelaksanaan Pemusnahan Barang Sitaan yang dilakukan oleh jaksa berdasarkan
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, wajib dibuatkan berita
acara dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak
Pemusnahan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. putusan pengadilan;
b. nama, jenis, bentuk, warna, sifat, dan jumlah barang, berat atau butir Barang
Sitaan yang dimusnahkan;
c. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya
Pemusnahan;
d. berita acara penyimpanan; dan
e. tanda tangan dan identitas lengkap jaksa yang melakukan Pemusnahan dan 2
(dua) orang saksi.
Pasal 28 (3) Pelaksanaan Pemusnahan untuk tanaman Narkotika, wajib dibuatkan berita acara
Pemusnahan sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, bentuk, dan jumlah barang, berat Barang Sitaan yang dimusnahkan;
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya
Pemusnahan;
c. tanda tangan dan identitas lengkap penyidik BNN atau penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang melakukan penyitaan dan Pemusnahan;
d. keterangan pemilik atau yang menguasai Barang Sitaan;
e. surat perintah Pemusnahan dari pejabat atasan penyidik BNN atau penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bersangkutan;
f. berita acara penyisihan untuk pengujian laboratorium, pembuktian perkara,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan pelatihan; dan
g. tanda tangan dan identitas lengkap 2 (dua) orang saksi.
Pasal 29 Pelaksanaan Pemusnahan Barang Sitaan oleh penyidik BNN atau penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia tanpa melalui penetapan kepala kejaksaan negeri setempat ,
wajib menyampaikan berita acara Pemusnahan kepada kepala kejaksaan negeri
setempat dengan tembusan kepada ketua pengadilan negeri setempat, kepala BNN
propinsi setempat, kepala kepolisian daerah setempat, dan kepala balai pengawas obat
dan makanan setempat.
Pasal 30 (1) Pelaksanaan Pemusnahan dilakukan di tempat yang aman melalui pembakaran atau
cara kimia lainnya yang tidak menimbulkan akibat buruk terhadap kesehatan dan
kerusakan lingkungan setempat.
Pasal 30 (2) Pedoman teknis tentang Pemusnahan Barang Sitaan secara aman, diatur dengan
Peraturan Kepala BNN, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia.
PMK no 03 Tahun 2015 tentang Peredaran,Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Pasal 37 Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam
hal:
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak
dapat diolah kembali;
b. telah kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan;
d. dibatalkan izin edarnya; atau
e. berhubungan dengan tindak pidana.
Pasal 38 (2) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan harus melakukan
penghapusan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Pasal 38 (3) Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang berhubungan
dengan tindak pidana dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 39 Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus dilakukan dengan:
a. tidak mencemari lingkungan; dan
b. tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
Pasal 40 Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, produk
antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian oleh
petugas yang berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus dilakukan
pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan.
Pasal 41 Dalam hal Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan oleh
pihak ketiga, wajib disaksikan oleh pemilik Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi dan saksi.

Anda mungkin juga menyukai