FRAKTUR EPIFISIOLISIS
Disusun Oleh :
2018/2019
A. DEFINISI
Growth plate atau fisis adalah lempeng kartilago yang terletak di antar epifisis
(pusat penulangan sekunder) dan metafisis. Ini penting bagi pertumbuhan tulang panjang
agar terjadi. Bagian ini juga menjadi satu titik kelemahan dari semua struktur tulang
terhadap trauma mekanik. Fisis, secara histologik terdiri dari 4 lapisan, yaitu :
a. Resting zone: Lapisan teratas yang terdiri dari sel-sel germinal yang datar dan
merupakan tempan penyimpanan bahan-bahan metabolik yang akan digunakan
nantinya.
b. Proliferating zone: Sel-sel di area ini secara aktif bereplikasi dan tumbuh menjadi
lempeng. Sel-sel tersebut disebut seperi tumpukan lempeng. Pada area ini, sel-selnya
menggunakan bahan metabolik yang sebelumnya disimpan untuk perjalanan mereka ke
metafisis.
c. Hypertrophic zone: Sel-sel di area ini cenderung membengkak dan berubah menjadi
lebih katabolik. Sel mempersiapkan matriks untuk mengalami kalsifikasi dan berubah
menjadi tulang. Area ini menjadi letak terlemah secara mekanis.
d. Calcified zone: Secara metabolik, matriks menyebar untuk deposisi garam kalsium,
dan membentuk osteoid. Di daerah yang dekat metafisis, cabang-cabang pembuluh
darah kecil menjalar ke lapisan basal dari lempeng fisis.
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur piringan epifiseal Salter-Haris berdasarkan pada mekanisme
fraktur dan juga hubungan garis patahan terhadap sel tumbuh piringan epifiseal, selain
itu, ini berkaitan dengan metode perawatan dan juga prognosis luka yang berhubungan
dengan gangguan pertumbuhan.
2. Tipe II ( Above)
Garis pemisah patah tulang memanjang sepanjang piringan epiphyseal hingga jarak
tertentu dan kemudian keluar melalui bagian metaphysis sehingga mengakibatkan
fragmentasi metaphyseal berbentuk triangular. Sel tumbuh pada piringan tersebut masih
melekat pada epiphysis. Jenis fraktur ini, akibat dari gaya gunting dan tekuk, biasanya
terjadi pada anak-anak yang lebih besar dimana piringan epiphyseal relatif tipis.
Periosteum tersobek pada sisi cembung angulasi tersebut tetapi melekat pada sisi
cekung sehingga engsel periosteal utuh dan selalu berada pada sisi potongan metafiseal.
Fraktur tipe 2 ini adalah fraktur yang paling sering terjadi (75%).
Gambar 5. Fraktur tipe 2 distal tibia.
5. Type V (Raised)
Fraktur yang relatif kurang umum ini diakibatkan oleh gaya tekan yang keras yang terjadi
pada epifisis menuju ke piringan epifiseal. Tidak ada fraktur yang kelihatan tetapi
lempeng pertumbuhan remuk dan ini mungkin mengakibatkan terhentinya pertumbuhan.
Seperti juga yang terjadi pada daerah lutut dan pergelangan kaki.
Gambar 8. Fraktur tipe 5 distal tibia
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri
Nyeri continue / terus-menerus dan meningkat karena adanya spasme otot dan
kerusakan sekunder sampai fragmen tulang tidak bisa digerakkan.
2. Echmiosis
3. Deformitas atau kelainan bentuk
Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang dan patah
tulang itu sendiri yang diketahui ketika dibandingkan dengan daerah yang tidak
luka.
4. Gangguan fungsi
Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung
menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur
karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang mana tulang
tersebut saling berdekatan.
5. Bengkak/memar
Terjadi memar pada bagian atas lengan yang disebabkan karena hematoma pada
jaringan lunak.
E. PATOFISIOLOGI
Gambaran histologis dari fisis sangat penting untuk memahami prognosis patah
physeal. Lapisan germinal tulang rawan berada diatas epiphisis dan menguraikan nutrisi
dari bejana epifiseal. Sel tulang rawan tumbuh dari epiphysis menuju metafisis, yang
kemudian terjadi degeneratif, fragmentasi dan mengalami hipertrofi. Fragmentasi sel
kemudian termineralisasi. Ini merupakan zona pengerasan sementara yang membentuk
pembatas metafiseal, dan bukan tulang rawan.
Neovaskularisasi terjadi dari metafisis menuju epifisisis. Sel endotelial berubah
menjadi osteoablast dan menggunakan puing-puing sel yang mengalami degeneratif
untuk membentuk tulang muda primer. Tulang muda ini secara progresif dibentuk kembali
menjadi tulang dewasa dan pembentukan ini kemudian menjadi tulang harversian
dewasa. Kerusakan baik pada saluran vascular epiphyseal maupun metaphyseal
mengganggu pertumbuhan tulang, akan tetapi kerusakan lapisan tulang rawan mungkin
tidak signifikan jika permukaannya tidak terganggu dan saluran vaskular ke tulang rawan
tidak terganggu secara permanen. Jika kedua dasar vaskular saling bersentuhan, fisis
tersebut tertutup dan tidak ada lagi pertumbuhan tulang berikutnya yang terjadi.
Daerah piringan epifiseal merupakan bagian tulang rawan yang mengeras, dan
jika terjadi fraktur yang melibatkan piringan epifiseal, biasanya garis pemisah berjalan
melintang melalui lapisan hipertrofik atau lapisan kapur pada lempeng pertumbuhan, dan
sering masuk kedalam metafisis pada salah satu tepi dan mencakup bibir segitiga dari
tulang. Ini tidak memberikan banyak efek terhadap pertumbuhan longitudinal yang terjadi
dalam lapisan germinal fisis dan lapisan fisis yang sedang berkembang biak.
Tetapi kalau fraktur melintasi lapisan sel reproduksi pada lempeng dapat
mengakibatkan penulangan premature pada bagian yang mengalami cidera dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang. Selain itu suplai darah piringan epfisieal
yang masuk dari permukaan epiphyseal dapat kehilangan pasokan darahnya sehingga
dapat mengakibatkan piringan tersebut menjadi nekrotis dan tidak tumbuh lagi. Pada
beberapa tempat suplai darah pada epifiseal tidak rusak pada saat terjadi luka karena
pada epifiseal femoral proximal dan epifiseal radial proximal pembuluh darah mengalir
melalui leher tulang dan memotong sekeliling epifiseal.
F. PATHWAY
FRAKTUR
Diskontinuitas tulang
Tindakan Bedah Pergeseran
fragmen tulang
Nyeri
Perubahan
Perubahan
jaringan sekitar Kerusakan fragmen tulang
Pre op Kurang
pengetahuan
Pergeseran fragmen
tulang Ansietas
Laserasi otot
Deformitas Post op
Luka insisi
Gangguan
mobilitas fisik Kerusakan
integritas
kulit Resiko infeksi
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi
2. Pemeriksaan Laboratorium
H. KOMPLIKASI
a. Komplikasi Awal
1. Kerusakan Arteri
2. Kompartement Syndrom
Terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan.
3. Fat Embolism Syndrom
Terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke
aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
4. Infeksi
5. Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN)
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
6. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur.
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
2. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
3. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
I. PENATALAKSANAAN
Yang harus diperhatikan pada waktu mengenal fraktur adalah :
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas klien, meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, nomor registrasi, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS)
dan diagnose medis.
b. Keluhan utama pada kasus fraktur humerus adalah nyeri yang bersifat
menusuk. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien,
perawat dapat menggunakan metode PQRST.
Provoking Incedent : Hal yang menjadi faktor presipitas nyeri adalah trauma
pada lengan atas.
Quality Of Plain: Klien yang merasakan nyeri yang menusuk.
Region, Radiation, Relief: Nyeri terjadi dilengan atas. Nyeri dapat redah
dengan imobilitas atau istirahat. Nyeri tidak dapat menjalar atau menyebar.
Severity (Scale) of Plain: secara subjektif, klien merasakan nyeri dengan
skala 2-4 pada rentang 0-4.
Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang. pengumpalan data dilakukan untuk menentukan
penyebab fraktur yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Pengkajian yang di dapat adalah adanya riwayat trauma pada
lengan. klien datang dengan lengan yang sakit tergantung tidak berdaya pada
sis tubuh dan di sangga oleh lengan yang sehat.
b. Riwayat penyakit dahulu. pada pengkajian ini, perawat dapat menemukan
kemungkinan penyebab fraktur dan mendapat petunjuk berapa lama tulang
tersebut akan menyambung. Penyakit- penyakit tertentu, seperti kanker tulang
dan penyakit paget, menyebabkan fanktor patologis sehingga tulang sulit
menyambung.
c. Riwayat penyakit keluarga. penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
1) Kesadaran: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
3) TTV : Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
b. Head to Toe
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
11) Jantung
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
12) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
13) Abdomen
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
14) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
4. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan pergeseran fragmen tulang
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan laserasi otot
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas
5. Intervensi
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional
6. Implementasi
Tindakan dari intervensi sesuai kebutuhan pasien
7. Evaluasi
Dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keefektifitasan asuhan
keperawatan yang dilakukan dengan mengacu pada kriteria hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Helmi. Zein Noor. 2016. Buku Saku Kedaruratan di Bidang Bedah Ortopedi. Jakarta;
Salemba medika
Wilkinson. Mjudith. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9 Nanda NIC NOC.
Jakarta; EGC
Brunner,Suddarth . 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah ,edisi 8 vol 3 . EGC :
Jakarta
http://lpkeperawatan.blogspot.com/2013/11/laporan-pendahuluan-fraktur.html
http://ideperawatind.blogspot.com/2016/01/asuhan-keperawatan-askep-laporan_12.html
http://bangsalsehat.blogspot.com/2018/04/laporan-pendahuluan-fraktur-lp-patah.html