Oleh:
2019
LAPORAN PENDAHULUAN ASMA BRONKHIAL
2. Klasifikasi
Menurut Soemantri (2009), berdasarkan penyebabnya asma bronkial dibagi menjadi 3
yaitu :
a. Asma alergik/ekstrinsik
Merupakan suatu bentuk asma dengan alergen seperti bulu binatang, debu,
ketombe, tepung sari, makanan, dan lain-lain. Alergen terbanyak adalah airbone
dan musiman. Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit
alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau rhinitis alergik. Paparan
terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Bentuk asma ini biasanya
dimulai saat kanak-kanak.
b. Idiopatik atau non alergik asma/intrinsik
Merupakan suatu bentuk asma yang tidak berhubungan langsung dengan
alergen spesifik. Faktor-faktor seperti commond cold, infeksi saluran napas atas,
aktivitas, emosi/stress, dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan.
Serangan dari asma idiopatik atau non alergik menjadi lebih berat dan sering kali
dengan berjalannya waktu dapat berkembang menjadi bronkitis dan enfisema. Pada
beberapa tahun akan menyebabkan asma campuran. Bentuk asma ini biasanya
dimulai ketika dewasa (> 35 tahun).
c. Asma campuran
Merupakan bentuk asma yang paling sering. Dikarakteristikkan dengan
bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergi.
Menurut Musliha (2010), berdasarkan tingkat kegawatan Asma Bronkial dapat dibagi
menjadi 4 tingkat yaitu :
a. Intermitten
1) Gejala kurang dari 1 kali / minggu
2) Serangan singkat
3) Gejala noktural tidak lebih dari 2 kali/bulan
b. Persisten ringan
1) Gejala lebih dari 1 kali/minggu, tetapi kurang dari 1 kali/hari
2) Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
3) Gejala noktural >2kali/bulan
c. Persisten sedang
1) Gejala terjadi setiap hari
2) Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
3) Gejala noktural >1 kali dalam seminggu
d. Persisten berat
1) Gejala terjadi setiap hari
2) Serangan sering terjadi
3) Gejala noktural sering terjadi
3. Etiologi
Etiologi Asma Bronkhial menurut Nurarif & Kusuma (2016) adalah sebagai
pemicu timbulnya serangan dapat berupa infeksi (infeksi virus, RSV), iklim
(perubahan mendadak suhu, tekanan udara), inhalan(debu, kapuk, sisa-sisa seranga
mati, bulu binatang, serbuk sari, bau asap, uap cat), makanan, obat (aspirin), kegiatan
fisik (olahraga berat, kecapaian, tertawa terbahak-bahak), dan emosi.
Etiologi Asma Bronkial menurut Muttaqin (2008) adalah sebagai berikut :
a. Alergen
Alergen adalah zat-zat yang bila dihisap atau dimakan dapat
menimbulkan serangan asma misalnya debu rumah, spora jamur, bulu kucing,
beberapa makanan laut, dan sebagainya.
b. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus influenza
merupakan salah satu aktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma
bronkial. Diperkirakan dua pertiga penderita asma dewasa serangan asmanya
ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan.
c. Tekanan jiwa
Tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi pencetus asma, karena banyak
orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi penderita asma bronkial,
beberapa faktor ini mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak
labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak.
d. Olahraga / kegiatan jasmani yang berat
Sebagai penderita asma bronkial akan mendapatkan serangan asma yang
bila melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan
bersepeda adalah dua jenis kegiatan paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena kegiatan jasmani tejadi setelah olahraga atau aktivitas
fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah
olahraga.
e. Obat-obatan
Beberapa klien dengan asma bronkial sensitif terhadap obat tertentu
seperti penisilin, salsilat, beta bloker, kodein, dan sebagainya.
f. Polusi udara
Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik, kendaraan,
asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal,
serta bau yang tajam.
g. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor pencetus yang
menyumbang 2-5% klien dengan asma bronkial.
4. Pathways
Faktor pencetus :
allergen, cuaca, stress
Permeabilitas kapiler
meningkat
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Sudoyo(2010) :
a. Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma
adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup
(inhaler dan nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP 1 sebanyak
≥ 12% atau (≥ 200 ml) menunjukkan diagnosis asma. Tetapi respons yang
kurang dari ≥ 12% atau (≥ 200 ml) tidak berarti bukan asma. Pemeriksaan
spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Banyak pasien asma tanpa
keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini
mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bila
berlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruktif
kronik.
b. Uji provokasi bronkus
Uji provokasi dilakukan beberapa cara seperti uji provokasi dengan
histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan
bahkan dengan aquadestilata. VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna.
Dianggap bermakna bila APE paling sedikit 10%. Akan halnya uji provokasi pada
pasien alergi terhadap alergen yang di uji.
c. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat
dominan pada bronkitis kronik.
d. Pemeriksaan eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal
ini dapat membantu dalam membedakan antar asma dan bronchitis kronik.
Pemeriksaan ini dapat juga dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup
tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma.
e. Uji kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk membedakan adanya antibodi IgE spesifik dalam
tubuh.Uji ini hanya menyokong anamnesis karena uji alergen yang positif tidak
selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
f. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
g. Foto dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran nafas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologi di paru atau
komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumodiastinum, atelektasis, dan lain-
lain.
h. Analisa gas darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat.Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2, 35 mmHg) kemudian pada
stasium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-
kapnia.Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 > 45
mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
7. Terapi
Pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan menurut Nurarif & Kusuma
(2016) :
1) Serangan ringan
Pengobatan: Inhalasi agonis beta-2, kombinasi oral agonis beta-2 dan teofilin.
2) Serangansedang
Pengobatan : nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam, agonis beta-2 subkutan,
aminofilin IV, adrenalin 1/1000 0,3 ml SK, oksigen bila mungkin,
kortikosteroid sistemik.
3) Serangan berat
Pengobatan : nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam, aminofilin bolus dilanjutkan
drip, oksigen, kortikosteroid.
4) Mengancam jiwa
Pengobatan : pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik.
Menurut Djojodibroto (2016) terapi pada asma bronkial adalah sebagai berikut :
a. Agonis β-2
Agonis β-2 yang menyebabkan relaksasi otot polos saluran pernapasan dan
menghambat kerja mediator yang dilepaskan sel mast. Pemberian agonis β-2
dilakukan secara inhalasi karena pemberian secara parenteral tidak terlalu
memberikan hasil berbeda. Pemberian secara parenteral baru dilakukan jika
pemberian secara inhalasi tidak memberikan hasil yang diharapkan. Pemberian
agonis β-2 memberikan efek samping, seperti takikardia, hipokalemia, aritmia,
tremor, iskemia miokardial, dan asidosis asam laktat. Itu sebabnya pemberian
inhalasi menjadi pilihan utama dibandingkan dengan pemberian secara
parenteral. Pemberian agonis β-2 dapat berupa adrenalin atau sabutamol.
b. Antikolinergik
Antikolinergik bukan pengobatan pertama, tetapi dapat digunakan untuk
menolong serangan asma ringan maupun sedang. Pada serangan asma berat,
pengobatan pertama sebaiknya disertai dengan pemberian obat antikolinergik.
Antikolinergik yang diberikan secara inhalasi adalah ipratropium bromida
dengan MDI atau wet nebulizer (WN). Jika diberikan secara parenteral,
antikolinergik yang digunakan adalah atropin sulfat.
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid sangat bermanfaat dalam pengobatan asma bronkial, tetapi
efeknya lambat, baru tampak setelah beberapa jam. Oleh sebab itu,
kortikosteroid sebaiknya diberikan pada saat mulai tampak adanya serangan
asma. Kortikosteroid yang diberikan berupa metilprednisolon. Pada saat
serangan asma, pemberian kortikosteroid melalui inhalasi tidak banyak
memberikan manfaat.
d. Aminofilin
Aminofilin digunakan sebagai pengobatan kedua asma bronkial.
Aminofilin mempunyai sifat bronkodilator meski lemah, tetapi aminofilin dapat
menambah kontraktilitas diafragma, diuresis, dan sebagai anti inflamasi.
Biasanya jika pengobatan pertama tidak memberikan hasil yang diharapkan,
aminofilin dapat ditambahkan pada pengobatan ini.
8. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada asma menurut Sudoyo (2010) antara lain :
a. Pneumotoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Ateletaksis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
Aktivitas
a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
b. Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
c. Tidur dalam posisi duduk tinggi.
Pernapasan
a. Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
b. Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
c. Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya:meninggikan bahu,melebarkan
hidung.
d. Adanya bunyi napasmengi.
e. Adanya batuk berulang.
Sirkulasi
a. Adanya peningkatan tekanan darah.
b. Adanya peningkatan frekuensi jantung.
c. Warna kulit atau membrane mukosa normal/abu-abu/sianosis.
d. Kemerahan atau berkeringat.
Integritas ego
a. Ansietas
b. Ketakutan
c. Peka rangsangan
d. Gelisah
Asupan nutrisi
a. Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
b. Penurunan berat badan karena anoreksia.
Hubungan social
a. Keterbatasan mobilitas fisik.
b. Susah bicara atau bicara terbata-bata.
c. Adanya ketergantungan pada oranglain
Seksualitas
a. Penurunan libido
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon individu terhadap rangsangan yang timbul dari
diri sendiri maupun luar (lingkungan). Sifat diagnosis keperawatan adalah berorientasi
pada kebutuhan dasar manusia, menggambarkan respon individu terhadap proses,
kondisi, dan situasi sakit, dan berubah bila respon individu juga berubah. Unsur dalam
diagnosis keperawatan meliputi problem, etiologi, dan sign / symptom (Nursalam,
2016).
Diagnosa keperawatan pada penyakit asma bronkial menurut DPP PPNI (2016)
adalah :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
dibuktikan dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih, wheezing, dispneu,
gelisah, frekuensi napas berubah
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas dibuktikan
dengan penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, kussmaul,
pernafasan cuping hidung, kapasitas vital menurun, dan ekskursi dada berubah
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus
kapiler dibuktikan dengan PCO2 meningkat, PO2 menurun, takikardia, PH
arteri meningkat/menurun, sianosis, gelisah, pola nafas abnormal, kesadaran
menurun
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dan kebutuhan oksigen dibuktikan dengan frekuensi jantung meningkat
>20% dari kondisi istirahat, tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat,
gambaran EKG menunjukkan aritmia setelah aktivitas, gambaran EKG
menunjukkan iskemia, dan sianosis
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan tujuan mengubah
atau manipulasi stimulus fokal, konstektual, dan residual. Pelaksanaannya juga
ditunjukkan kepada kemampuan klien dalam menggunakan koping secara luas,
supaya stimulus secara keseluruhan dapat terjadi pada klien (Nursalam, 2016).
Intervensi keperawatan yang tepat bagi penderita asma bronkial menurut Kidd, Sturt
dan Fultz (2010) dan Nurarif & Kusuma (2016) adalah :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
dibuktikan dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih, wheezing, dispneu,
gelisah, frekuensi nafas berubah
Tujuan:
Bersihan jalan napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
Dapat mendemonstrasikan batuk efektif, dapat menyatakan strategi untuk
menurunkan sekret, tidak ada suara napas tambahan, pernapasan normal
(bernapas 16-22 x/menit).
Rencana tindakan keperawatan :
1) Kaji status pernapasan dan perubahan tanda-tanda vital
Rasional : Menilai status pernapasan dan perubahan tanda-tanda vital
2) Atur posisi semi fowler
Rasional : Meningkatkan ekspansi dada
3) Auskultasi suara napas
Rasional : Auskultasi suara nafas tambahan menunjukkan kelainan
pernapasan
4) Berikan oksigen sesuai program
Rasional : Memperbaiki status oksigenasi
5) Bantu pasien latihan batuk efektif
Rasional:Batuk efektif dapat mempermudah pengeluaran sekret pada jalan
napas
6) Lakukan pengisapan endotrakea sesuai program
Rasional : Pengisapan endotrakea atau suction dapat mengeluarkan sekret
7) Berikan agen mukolitik dan bronkhodilator atau nebulizer sesuai program
Rasional: Pemberian bronkhodilatorakan langsung menuju area bronkus
yang mengalami spasme sehingga lebih cepat berdilatasi
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas dibuktikan
dengan penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, kussmaul,
pernapasan cuping hidung, kapasitas vital menurun, dan ekskursi dada berubah
Tujuan :
Pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil :
Pasien tidak mengalami sesak napas, menunjukkan jalan napas yang paten,
tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Rencana tindakan keperawatan :
1) Kaji status pernapasan dan perubahan tanda-tanda vital
Rasional : Menilai status pernapasan dan perubahan tanda-tanda vital
2) Auskultasi suara napas
Rasional : Auskultasi suara nafas tambahan menunjukkan kelainan
pernapasan
3) Atur posisi semi fowler
Rasional : Memaksimalkan ekspansi dada
4) Berikanoksigen sesuai program
Rasional : Memperbaiki status oksigenasi
5) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi (bronkodilator dan
kortikosteroid)
Rasional : Bronkodilator membantu menurunkan spasme jalan napas.
Kortikosteroid untuk menurunkan spasme jalan napas dan inflamasi
pernapasan
4. Implementasi
Pelaksanaan asuhan keperawatan ini merupakan realisasi dari rencana
tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien. Pelaksanaan adalah inisiatif dari
rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik, tahap pelaksanaan dimulai
setelah rencana tindakan disusun dan diharapkan untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping (Nursalam, 2016).
Pasien membutuhkan tindakan yang cepat. Keluhan utama adalah
berdasarkan pada ancaman serius terhadap nyawa, tubuh, atau organ. Respon pasien
harus diperhatikan dan perlu dilakukan observasi secara terus-menerus (Kartikawati,
2014).
5. Evaluasi
Penilaian terakhir proses keperawatan didasarkan pada tujuan keperawatan
yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan pada
perubahan perilaku dari kriteria hasil yang telah ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi
pada individu (Nursalam, 2016).
Evaluasi tergantung pada kriteria hasil tiap kategori kegawatan, dan dilakukan
paling sedikit satu jam, kecuali pada pasien dengan kondisi emergency atau urgent
setiap 15 menit (Musliha, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma Berat. Jakrta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Carpenito, L.J. 2009.Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta:
EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
GINA (Global Initiative for Asthma) 2006.;Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Dimuat dalam www.Ginaasthma.org
Johnson, M., et all. 2010. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Saheb, A. 2011.Penyakit Asma. Bandung: CV medika