Anda di halaman 1dari 4

EFEK KEHAMILAN TERHADAP EPILEPSI

Epilepsi pada kehamilan dibagi dalam 2 kelompok:

1. Yang sebelumnya sudah menderita epilepsi


2. Berkembang menjadi epilepsi selama hamil

Wanita-wanita yang mendapat bangkitan selama masa reproduksi, dapat terjadi secara insidentil
pada kehamilan(Laidlaw, 1988). Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan pada ibu
epilepsi yang hamil adalah estrogen dan progesteron. Pada seorang wanita yang hamil kadar
estrogen dalam darah akan menurun,sehingga merangsang aktifitas enzim asam glutamat
dekarboksilase dan karena itu sintesa gamma amino butiric acid (GABA) akan menurun dalam
otak. Dengan menurunnya konsentrasi GABA di otak akan merangsang bangkitan epilepsi
(Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992).

Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulus berkurang sehingga
terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar obat dalam plasma akan menurun. Retensi
cairan yang terjadi menyebabkan hiponatremi. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan parsial
dari “sodium pump” yang mengakibatkan peninggian eksitabilitas neuron dan mempresitasi
bangkitan (Plum, 1982: Laidlaw, 1988). Pada pasien wanita epilepsi yang hamil sangat sulit
untuk menduga terjadinya bangkitan, karena fenomena ini tidak berhubungan dengan tipe
bangkitan selama menderita epilepsi (Yerby, 1991; Lander, 1992).

Terjadinya suatu bangkitan sangat berbahaya baik untuk ibu maupun fetus akibat trauma yang
timbul. Supresi detak jantung janin selama proses persalinan akibat bangkitan yang timbul.
Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Schmid dan kawan-kawan, ari 122 wanita hamil,
ditemukan bahwa kehamilan tidak berpengaruh terhadap frekuensi bangkitan pada 68 kehamilan
(50%), jumlah bagkitan meningkat 37%, dan frekuensi bangkitan menurun pada 13% (Laidlaw,
1988). Studi terdahulu menemukan pasien-pasien dengan epilepsi yang berat kemungkinan akan
bertambah buruk, dan kadar obat anti epilepsi yang diminum tidak sesuai, tetapi studi yang baru
membuktikan bahwa perburukan tidak terjadi (Holmes, 1985; Liadlaw, 1988) Pada wanita hamil
volume plasma meningkat kira-kira sepertiga pada trisemester ketiga, hal ini disebabkan oleh
efek dilusi. Penentuan dan angka penurunan dari konsentrasi obat anti epilepsi berbeda ubtuk
setiap jenis obat. Penurunan kadar obat dalam adrah untuk fenitoin kira-kira 80% terjadi pada
trisemester pertama, juga serupa dengan fenobarbital. Untuk karbamazepin terbesar
penurunannya pada trisemester ketiga (Yerby,1991).

1. Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti epilepsi maka pemeriksaan
yang perlu dilakukan yaitu: pemeriksaan kadar obat dalam darah
2. EEG
3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium kehamilan.
Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitor setiap
bulan.

KOMPLIKASI KEHAMILAN

Wanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik dlam masa kehamilan dari pada
wanita penduduk rata-rata. Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan yaitu:

1. Melahirkan bayi prematur, didapat 4-11%


2. Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr, ditemukan pada 7 – 10%
3. Mikrosefali
4. Apgar skor yang rendah (Yerby, 1991)

Beberapa peneliti tak dapat membuktikan bahwa komplikasi pada kehamilan tidak lebih besar pada
wanita epilepsi (Laidlaw, 1988).

Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:

 Frekuensi bangkitan meningkat 33%


 Perdarahan post partum meningkat 10%
 Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi
 Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat resiko 1)% terjadi
perdarahan perinatal pada bayi (Johnston, 1992)

Pengobatan / Tata laksana

1. Penyuluhan Prekonsepsi
Pada umumnya perkembangan malformasi fetal sudah dimulai sebelum wanita menyadari
kehamilannya secara mantap. Penutupan langit-langit terjadi pada hari ke 47 kehamilan. Wanita
epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang resiko hamil yang berhubungan dengan penggunaan
obat anti epilepsi. Mereka harus tahu juga bahwa serangan epileptik dapat membahayakan
kandungan dan diri sendiri. Namun demikian mereka harus mengetahui bahwa resiko dapat
diperkecil dengan tindakan pencegahan. Dalam masalah tersebut, dokter harus memberikan advis
yang tepat dalam menghadapi dua problematik yang rumit ini. Disatu pihak ia harus menggunakan
obat anti epilepsi untuk mengontrol timbulnya serangan epileptik pada ibu yang hamil dan
sekaligus ia harus mencegah terkenanya fetus oleh efek obat anti epilepsi digunakan oleh ibu yang
hamil.
Terapi yang dianjurkan ialah penggunaan monoterapi dengan dosis serendah mungkin paad tahap
pertama kehamilan. Dosis dapat dinaikkan pada trisemester ketiga kehamilan. Pada tahap lanjut
dapat diberikan juga vitamin K (20mg/hari) untuk mencegah perdarahan neonatal (Laidlaw, 1988;
Warta Epilepsi,1992)
Prosentase malformasi akibat obat anti epilepsi adalah: 1. Trimetadion, lebih 50% 2. Fenitoin, 30%
3. Sodium Valproat, 1,2% 4. Karbamazepin, 0,5-1 % 5. Fenobarbital, 0,6% (Yerby, 1991)
2. Obat-obat anti epilepsi
Semua obat-obat anti epilepsi adalah bersifat teratogenik dan dihubungkan dengan kadar obat anti
epilepsi misalnya fenitoip, berakibat malformasi : palatum yang terbelah dan ini merupakan
malformasi yang terbanyak tampak pada epilepsi (Laidlaw, 1988; Hirano, 1989).
Umumnya obat anti epilepsi yang digunakan adalah fenitoin,karbamazepin, dan sodium valproat,
dihubungkan dengan malformasi konginetal minor seperti wajah dismorfik dan hipoplasia phalang
distal.
Trimetadion dihubungkan dengan abnormalitas berat, dan fenobarbital adalah obat anti epilepsi
yang paling rendah toksisitasnya.
Obat-obat tersebut adalah:
 Trimetadion Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik disebut sindrom
trimetadion fetus. Golongan obat ini tidak digunakan pada kehamilan.
 Fenitoin Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsi pada kehamilan dan
mempunyai efek teratogenik. Penggunaan fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom
hidantoin fetus. menggambarkan pola abnormalitas yang diamati pada neonatus, dimana ibu
epilepsi yang hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasi dengan fenobarbital.
Sindrom ini terdiri dari abnormalitas kraniofasial,kelainan anggota gerak, defisiensi
pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau sedang (Gilroy, 1992).
Dosis fenitoin antara 150-600 mg/hari.
 Sodium Valproat Obat ini relatif baru dan sedikit data yang berefek pada uterus. Penggunaan
obat ini dapat mengakibatkan kelainan pada janin berupa sindrom valproat fetus. Obat ini pada
manusia dapat menembus plasenta secara bebas dan memberikan dosis yang lebih tinggi pada
neonatus dari ibu
Dosis sodiumm valproat antara 600-3000 mg/hari
 Karbamazepin Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan kepala janin.
Dosis karbamazepin 400-1800 mg/hari.
 Fenobarbital Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi
awalmengatakan bahwa sebagian besar manita epilepsi mendapat kombinasi antara fenotoin
dan fenobarbital. Efek teratogenik obat ini kurang bila dibandingkan dengan obat anti epilepsi
lain dan pada manusia, Shapiro dan kawan-kawan (1976) menemukan fenobarnbital tidak
menyebabkan meningkatnya angka malformasi.
Bagian Obstetri dan Ginekologi Akademi Amerika menganjurkan pemakaian fenobarbital sebagai
obat pilihan untuk wanita epilepsi yang hamil .
Dosis Fenobarbital antara 30 – 240 mg/hari (Gilman AG, 1991)

Anda mungkin juga menyukai