IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny Re
Usia : 29 tahun
Status : Menikah
Alamat : Sawah Lebar
Tgl. MRS : 28/02/2018
Tgl. Pemeriksaan : 28/02/2018
AUTOANAMNESIS
Keluhan Utama:
Pasien datang ke UGD RSUD Kota dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak dua
hari Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Pada awalnya nyeri dirasakan di ulu hati,
kemudian berpindah diperut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus-menerus dan tidak
menjalar, nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan dirasakan makin lama makin
memberat. Nyeri dirasakan memberat saat perut ditekan dan pasien bergerak, sehingga
pasien sulit beraktivitas. Pasien mengeluh nyeri pada perut kanan bawah semakin
memberat hebat sejak tadi pagi Sebelum Masuk Rumah Sakit.
Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan sejak 2hari yang lalu, mual, muntah (1x,isi
makanan, air dan lendir keputihan) dan perut terasa kembung. Pasien mengalami
demam sejak satu hari Sebelum Masuk Rumah Sakit, demam dirasakan terus-menerus
sepanjang hari.
Pasien tidak BAB selama 2 hari, BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Riw. trauma (-).
Riwayat Pengobatan:
Riwayat Alergi:
Riwayat Psikososial:
Os tidak merokok dan mengonsumsi alkohol. Polah makan bervariasi dengan frekuensi
2-3 kali sehari dan jarang berolahraga.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Tanda Vital
TD : 100/60 mmHg
Nadi : 90/menit
RR : 25x/menit
Suhu : 37,8 °C
3. Status Generalisata
Kepala : Normocephal, rambut warna hitam, rontok (-)
Thorax
Abdomen
Rectal toucher
Tonus sphinter ani baik, ampula tidak prolaps, mukosa licin, nyeri tekan(+) jam 9-12,
massa(-). Pada handscoon feses(+), darah(-).
Ekstremitas atas: Akral hangat, RCT < 2 detik, Edem (-/-)
4. Status Lokalis
e/r abdomen
Abdomen
6. Diagnosis Kerja
Appendicitis acute
7. Planning
Terapi :
1. Inf. RL 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxon 2x1gr IV
3. Inj. Ranitidin 2x50mg IV
4. Inj. Metronidazol 3x500mg IV
5. Duragesic patch 25mcg.
6. Pro Appendiktomy
7. Puasa pre operasi
1. Monitoring : Vital sign, keluhan
2. Edukasi : Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit, tindakan
yang akan dikukan, prognosa dan pengobatan setelah operasi
Tinjauan Pustaka
1. Apendisitis
A. Anatomi dan Fisiologi Apendiks
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10
cm dan berpangkal pada sekum. Apendiks memiliki lumen sempit dibagian
proximal dan melebar pada bagian distal. Saat lahir, apendiks pendek dan melebar
dipersambungan dengan sekum. Selama anak-anak, pertumbuhannya biasanya
berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam intraperitoneal. Pada apendiks
terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan berguna dalam
menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah
retrocaecal (74%), pelvic (21%), patileal (5%), paracaecal (2%), subcaecal
(1,5%) dan preleal (1%).
Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
radang apendiks, diantaranya :
Faktor Obstruksi
Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan lymphoid
submukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya
1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut.
Bakteri yang ditemukan biasanya E.coli, Bacteriodes fragililis, Splanchicus,
Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
memudahkan terjadi apendisitis.
Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.
Apendisitis akut merupakan peradangan akut pada apendiks yang disebabkan oleh
bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Obstruksi pada lumen
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama
mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Tekanan di dalam
sekum akan meningkat. Kombinasi tekanan tinggi di seikum dan peningkatan flora
kuman di kolon mengakibatkan sembelit, hal ini menjadi pencetus radang di
mukosa apendiks. Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi apendisitis
komplit yang meliputi semua lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi oleh
berbagai faktor pencetus setempat yang menghambat pengosongan lumen apendiks
atau mengganggu motilitas normal apendiks.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Auskultasi
1. Biasanya normal
2. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat
apendisitis perforata
Rectal Toucher
Tonus musculus sfingter ani baik
Ampula kolaps
Nyeri tekan pada daerah jam 9 dan 12
Terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses).
Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan
atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks
yang meradang menepel di m. poas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan
nyeri.
Uji Obturator
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti
infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir
sama dengan appendicitis.
2. Radiologis
b. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
c. Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
d. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
e. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan
dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan
ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan appendix (appendectomy).
Perawatan Kegawatdaruratan
- Berikan terapi kristaloid untuk pasien dengan tanda-tanda klinis dehidrasi atau
septicemia.
- Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
mulut.
- Berikan analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan pasien.
- Pertimbangkan adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur, dan lakukan
pengukuran kadar hCG
- Berikan antibiotik intravena pada pasien dengan tanda-tanda septicemia dan
pasien yang akan dilanjutkan ke laparotomi.
Antibiotik Pre-Operatif
- Pemberian antibiotik pre-operatif telah menunjukkan keberhasilan dalam
menurunkan tingkat luka infeksi pasca bedah.
- Pemberian antibiotic spektrum luas untuk gram negatif dan anaerob
diindikasikan.
- Antibiotik preoperative harus diberikan dalam hubungannya pembedahan.
Tindakan Operasi
- Apendiktomi, pemotongan apendiks.
- Jika apendiks mengalami perforasi, maka abdomen dicuci dengan garam
Apendisitis akut merupakan salah satu kasus di bidang bedah yang paling banyak
ditemukan di ruang gawat darurat dan membutuhkan penanganan yang cepat. Diagnosis
yang cepat dan tepat dapat mengurangi komplikasi yang mungkin terjadi, seperti
perforasi, peritonitis dan sepsis. Apabila telah terjadi komplikasi akibat keterlambatan
diagnosis maka prognosis pasien akan semakin buruk. Oleh karena itu, dibutuhkan
suatu alat atau metode untuk mempermudah dokter di ruang gawat darurat untuk
mendiagnosis apendisitis akut. Sistem skoring merupakan suatu cara penilaian dengan
menggunakan keluhan (anamnesis), hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
untuk membantu penegakkan diagnosis apendisitis akut dengan lebih cepat dan mudah.
Selama 30 tahun terakhir ini, skor Alvarado (1989) telah digunakan secara luas
diseluruh dunia untuk diagnosis apendisitis akut. Namun, kini telah terdapat beberapa
sistem skoring baru yang telah dilaporkan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih baik daripada skor Alvarado. Salah satu sistem skoring terbaru yang ditemukan di
wilayah Asia Tenggara adalah skor Raja Isteri Pengiran Anak Saleha Appendicitis
(RIPASA) pada tahun 2010. Penggunaan skor RIPASA dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti skor Alvarado dalam membantu diagnosis apendisitis akut karena memiliki
akurasi, sensitivitas dan nilai duga negatif yang lebih tinggi. Selain itu, skor ini lebih
cocok digunakan untuk populasi Asia Tenggara.
Karena skoring Alvarado dibuat di negara Barat maka ketika diaplikasikan di wilayah
Asia dan Timur Tengah, tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya sangat rendah. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa perbedaan etnis mempengaruhi keakuratan
skor Alvarado dalam diagnosis apendisitis akut. Yang menarik dalam skor RIPASA
adalah penggunaan parameter tambahan yaitu warga negara asing. Chong et al.
menemukan bahwa warga negara asing (selain Brunei Darusalam) memiliki probabilitas
yang tinggi (80%) mengalami apendisitis akut pada pasien dengan keluhan nyeri fossa
iliaka kanan. Skoring ini lebih ditekankan terutama pada populasi di wilayah Asia
Tenggara, yang memiliki etnis dan diet yang hampir sama.
Skor minimal RIPASA adalah 2 dan skor maksimal 16. Batas skor RIPASA untuk
kemungkinan besar mengalami apendisitis akut adalah 7,5-11. Pasien perlu
dikonsultasikan dengan ahli bedah dan skor diulang 1-2 jam kemudian. Apabila skor
masih tinggi, maka perlu dilakukan prosedur apendektomi. Sedangkan, pada pasien
wanita, disarankan untuk menjalani pemeriksaan USG untuk menyingkirkan penyebab
ginekologis pada nyeri Right Iliaca Fossa (RIF). Skor lebih dari 12 dinyatakan sebagai
apendisitis akut definite dan perlu dilakukan apendektomi.
Skor ini telah diteliti di beberapa negara, dan didapatkan hasil yang baik pada populasi
Asia maupun Barat (Irlandia). Penelitian di India menyatakan skor RIPASA memiliki
akurasi 93-94%, sensitivitas 94,7-95,6% dan spesifisitas
60-80%.
Meskipun penggunaan skor RIPASA lebih ditujukan pada populasi Asia khususnya
Asia Tenggara, skor ini juga memiliki sensitivitas yang tinggi pada populasi Irlandia
(85,39%).
Indonesia masuk dalam wilayah Asia Tenggara dan skor RIPASA yang memang lebih
ditujukan pada populasi Asia mungkin lebih tepat untuk digunakan dalam diagnosis
apendisitis akut. Hingga kini, telah dilakukan dua penelitian klinis di dua rumah sakit
yang berbeda mengenai penggunaan skor RIPASA dan perbandingannya dengan skor
Alvarado yang telah digunakan selama ini. Rahmanto (2014) menyatakan bahwa sistem
skoring RIPASA lebih baik dibandingkan dengan skor Alvarado di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta karena skor RIPASA memiliki akurasi, sensitivitas dan nilai duga negatif
yang lebih tinggi.
Wijaya dan Setiawan (2015) melaporkan bahwa skor RIPASA memiliki sensitivitas
yang lebih tinggi (84,2%) namun skor Alvarado memiliki spesifisitas lebih tinggi (75%)
pada pasien apendisitis akut di Rumah Sakit Atma Jaya Jakarta.
Dari laporan kasus diatas diperoleh data seorang pasien atas nama Ny.Re, usia 29 tahun
(skor 1) dilakukan perawatan di instalasi rawat inap bagian bedah dengan diagnosis
appendicitis akut. Didapatkan keluhan nyeri perut kanan bawah (skor 0,5), perpindahan
nyeri (skor 0,5), penurunan nafsu makan (skor 1), mual dan muntah 1x (skor 1) gejala
dirasakan sejak 2 hari SMRS (skor 0,5). Dari pemeriksaan fisik didapatkan tenderness
di RIF 9 (skor 1), guarding (skor 2), rebound tenderness (skor 1) rovsing sign (skor 1)
demam 37,8 (skor 1) leukositosis 16.200 (skor 1), urinalisis negatif (skor 1) dari sistem
skoring RIPASA diperoleh jumlah skor 12,5 dinyatakan sebagai apendisitis akut
definite dan perlu dilakukan apendektomi, sehingga diagnosis dan penatalaksanaan pada
kasus ini sudah tepat.
Daftar Pustaka
Towsend, M. Jr, dkk. 2008. Sabiston textbook of Surgery. Elsivier. United State of
America
Cole et al. 1970. Cole and Zollinger textbook of Surgery 9th edition. Appelton-Century
Corp
Fauci et al. 2008. Horrison’s Principal of Internal Medicine Volume 1. McGraw hill
Zinner M. Dkk. 1997. Abdominal Operations tenth editions. United States of America